tinjauan pustaka 2009nra-3

15
5 TINJAUAN PUSTAKA Murbei Murbei (Morus alba. L) termasuk marga morus dari keluarga Moraceae yang mempunyai nama asing mulberry (Inggeris), sangye (China) dan beberapa nama daerah seperti walot (Sunda), besaran (Jawa), malur (Batak), nagas (Ambon), tambara mrica (Makassar). Jenis-jenis murbei diklasifikasikan antara lain dari bentuk dan warna bunga, kuncup, tunas dan daun. Bentuk-bentuk yang khas dari daun adalah daun berlekuk, dan daun utuh. Daun-daun berlekuk selanjutnya diklasifikasikan dalam berbagai kategori, tergantung pada jumlah lekukan. Ada enam jenis murbei yang banyak ditanam dan daunnya digunakan sebagai pakan ulat sutera di Indonesia yaitu Morus nigra, Morus multicaulis, Morus australis, Morus alba, Morus alba var macrophylla, dan Morus bombycis. Dari keenam jenis murbei, jenis morus alba tidak digunakan untuk pakan ulat sutera, karena jenis ini umumnya ditanam untuk diambil buahnya disamping itu daun yang dapat dipungut sangat sedikit (Atmosoedarjo et al 2000; Hariana 2007). Gambar 1. Tanaman murbei (Morus multicaulis)

Upload: nurulqamariah

Post on 18-Jan-2016

5 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

farmasi

TRANSCRIPT

5

TINJAUAN PUSTAKA

Murbei

Murbei (Morus alba. L) termasuk marga morus dari keluarga Moraceae

yang mempunyai nama asing mulberry (Inggeris), sangye (China) dan beberapa

nama daerah seperti walot (Sunda), besaran (Jawa), malur (Batak), nagas

(Ambon), tambara mrica (Makassar). Jenis-jenis murbei diklasifikasikan antara

lain dari bentuk dan warna bunga, kuncup, tunas dan daun. Bentuk-bentuk yang

khas dari daun adalah daun berlekuk, dan daun utuh. Daun-daun berlekuk

selanjutnya diklasifikasikan dalam berbagai kategori, tergantung pada jumlah

lekukan. Ada enam jenis murbei yang banyak ditanam dan daunnya digunakan

sebagai pakan ulat sutera di Indonesia yaitu Morus nigra, Morus multicaulis,

Morus australis, Morus alba, Morus alba var macrophylla, dan Morus bombycis.

Dari keenam jenis murbei, jenis morus alba tidak digunakan untuk pakan ulat

sutera, karena jenis ini umumnya ditanam untuk diambil buahnya disamping itu

daun yang dapat dipungut sangat sedikit (Atmosoedarjo et al 2000; Hariana

2007).

Gambar 1. Tanaman murbei (Morus multicaulis)

6

Tanaman murbei dikenal sebagai pakan ulat sutera dalam aktivitas

persuteraan alam. Di lain pihak, daun murbei juga telah diketahui merupakan

ramuan kuno obat tradisional Cina untuk mengobati penyakit diabetes. Daun

murbei juga mengandung asam amino, vitamin A, vitamin B, vitamin C, karoten,

asam folat, mineral dan phytoestrogen. (Hariana 2007).

Berbagai penelitian tentang alkaloid tanaman murbei yang diduga berkaitan

erat dengan efek pengobatan diabetes telah dilakukan, akan tetapi tidak satupun

yang dapat menjelaskan bagaimana mekanisme alkaloid-alkaloid tersebut dapat

mengurangi kadar gula penderita diabetes tersebut. Penemuan tentang senyawa 1-

deoxynojirimycin (DNJ) yang berhasil diisolasi dari tanaman murbei dan

ditemukan tepatnya terkandung didalam getah tanaman murbei, dimana senyawa

acarbose yang mirip dengan glukosa dapat menghambat aktivitas alfa

glukosidase, mengintervensi proses hidrolisis karbohidrat, menghambat

penyerapan glukosa dan monosakarida-monosakarida yang lainnya. Senyawa

acarbose dan senyawa DNJ, kedua-duanya mempunyai mekanisme kerja yang

sama dalam menurunkan kadar glukosa darah penderita diabetes yaitu

menghambat aktivitas enzim glukosidase yang berfungsi memecah senyawa

polisakarida menjadi monomer-monomer glukosa. (Sofian 2005).

Beberapa penelitian yang dilakukan di India melaporkan bahwa daun murbei

mengandung banyak asam amino yaitu dopamine, DOPAC, kynurenine,

norepinephrine, tryptophan, tyramine, tyrosine, HPAC-4 dan L-DOPA dan serat

kasar yang cukup tinggi (Singhal et al 2001).

Diabetes Mellitus

Menurut Hartono (2006) Diabetes mellitus merupakan kumpulan keadaan

yang disebabkan oleh kegagalan pengendalian gula darah. Kegagalan ini terjadi

karena dua hal yaitu produksi hormon insulin yang tidak memadai atau tidak ada

dan resistensi insulin yang meningkat. Resistensi insulin terjadi pada pintu masuk

di permukaan sel tubuh yang dinamakan reseptor insulin. Reseptor ini

memungkinkan lewatnya glukosa yang dibawa oleh hormon insulin masuk ke

dalam sel. Tidak adanya atau tidak memadainya produksi hormon insulin akan

7

mengakibatkan diabetes melitus tipe 1, terutama ditandai dengan penurunan berat

badan, gejala 3 p (polifagia, polidipsia, poliuria). Dan umumnya ditemukan pada

usia anak-anak hingga remaja. Sedangkan peningkatan resistensi insulin dengan

penurunan kuantitas insulin menyebabkan diabetes tipe 2, yang dicirikan oleh

tubuh yang gemuk dan usia menengah keatas.

Sedangkan menurut Poucell (1999) Diabetes mellitus (DM) merupakan

sindroma multifaktor yang secara metabolik dikarakterisasi dengan terjadinya

keadaan hiperglikemik kronik. Keadaan ini terjadi karena adanya gangguan

terhadap sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Disamping itu

ketidaknormalan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta adanya

gangguan hormonal lain seperti glukagon, kortisol dan hormon pertumbuhan.

Klasifikasi

Badan kesehatan dunia (WHO), melalui laporan kedua Expert Committee on

Diabetes mellitus mengelompokkan diabetes menjadi dua kelompok utama, yaitu

Insulin-dependen diabetes mellitus (IDDM) dan Non-insulin-dependent diabetes

mellitus (NIDDM) (WHO 1980). Pada IDDM, pankreas tidak menghasilkan

insulin dalam jumlah yang cukup, sedangkan NIDDM pankreas masih relatif

cukup menghasilkan insulin, tetapi insulin yang ada tidak bekerja secara baik

karena adanya resistensi insulin akibat kegemukan (Dalimartha 2004). Pada tahun

1977, Expert Committee on the Diagnosis dan Classification of Diabetes Mellitus

(ECDCDM) menyepakati klasifikasi baru diabetes mellitus, menjadi DM tipe-1

(yang sebelumnya disebut IDDM atau juvenil diabetes), tipe-2 (sebelumnya

disebut NIDDM atau adult-onset) dan gestational diabetes (Foster-Powel et al.

2002; Rimbawan & Siagian 2004).

Kelompok DM tipe-1 adalah penderita DM yang sangat tergantung pada

suntikan insulin. Kebanyakan penderitanya masih muda dan tidak gemuk.

Gejalanya biasa timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa akil

baliq (Dalimartha 2004). Sekitar 95 % penderita DM tipe-1 terjadi sebelum usia

25 tahun, dengan prevalensi kejadian yang sama pada pria dan wanita. Individu

yang mengalami DM tipe-1 mempunyai ciri-ciri poliuria, polidipsia, dan

poliphagia. Dalam pengujian glukosa darah, pasien yang mengalami tipe ini

8

apabila diberi 75 g glukosa secara oral dan sebelumnya telah melakukan puasa

selama satu malam, konsentrasi gula darahnya akan meningkat lebih dari 200

md/dl. Sedangkan pada individu normal dengan perlakuan yang sama akan

meningkatkan glukosa darahnya berkisar 140 mg/dl. Tingginya kandungan

glukosa darah dalam tubuh, mengakibatkan laju filtrasi glomerulus terhadap

glukosa menjadi berlebih dan urine akan mengandung banyak glukosa (Champe

& Harvey 1994).

Kelompok DM tipe-2 dicirikan oleh resistensi insulin pada jaringan perifer

dan gangguan sekresi insulin dari sel-β pankreas. DM tipe-2 adalah jenis diabetes

yang paling lazim dan berkaitan dengan riwayat diabetes keluarga, usia lanjut,

obesitas, perubahan pola makan dan aktivitas fisik yang kurang (Willett et al.

2002). Resistensi insulin dan hiperinsulinemia akan menyebabkan kerusakan

toleransi glukosa. Sel-β yang rusak akhirnya menjadi lemah, selanjutnya

mendorong intoleransi glukosa dan hiperglikemia (Mayfield 1998).

Gestational diabetes merupakan klasifikasi operasional, bukan klasifikasi

berdasarkan kondisi fisologis. Diabetes yang diderita oleh wanita sebelum hamil

(pregestational diabetes), wanita yang mengalami DM tipe-1 pada saat hamil,

wanita dan penderita DM tipe-2 yang tidak terdiagnosis dikelompokkan menjadi

gestational diabetes. Kebanyakan wanita penderita gestational diabetes memiliki

homeostatis glukosa yang normal selama paruh pertama (sampai bulan kelima)

masa hamil. Pada paruh kedua masa hamil (antara bulan keempat dan kelima)

mengalami defisiensi insulin relatif. Pada umumnya kadar glukosa darah kembali

normal setelah melahirkan (Lebovitz 1999).

Patofisiologis Diabetes mellitus

Insulin yang disekresi oleh sel-sel β pulau Langerhans pankreas merupakan

salah satu hormon terpenting yang berperan dalam pengaturan kadar glukosa

dalam tubuh. Insulin merupakan suatu hormon polipeptida dan merupakan

kelompok sel yang terdiri dari 1% massa pankreas. Insulin adalah salah satu

hormon terpenting yang mengkoordinasikan penggunaan energi oleh jaringan.

Efek metaboliknya ialah anabolik, seperti sintesis glikogen, triasilgliserol, dan

protein (Champe dan Harvey 1994).

9

Pulau Langerhans merupakan suatu cluster dari kelenjar endokrin yang

tersebar disepanjang eksokrin pankreas dan banyak dilalui kapiler-kapiler darah.

Komposisi selular maupun ukuran dari pulau ini dalam satu pankreas tidak selalu

sama. Pada mamalia, 70 sampai 80% tersusun atas sel-sel β yang mensekresikan

insulin, 15-20% adalah sel-sel α yang memproduksi glukagon, sel δ yang

mensekresikan somatostatin sebesar 5 hingga 10% serta terdapat sel-sel lain

seperti sel PP yang menghasilkan polipeptida pankreatik (Gambar 2 dan 3).

Jumlah maupun ukuran pulau Langerhans tidak selalu sama tergantung pada

kebutuhan fungsional disetiap tingkat perkembangan individu. Perubahan dari

embrio menjadi dewasa diikuti dengan meningkatnya jumlah dari pulau, tetapi

volumenya relatif berkurang. Ketika terjadi perubahan baik jumlah maupun

ukuran yang menyebabkan kebutuhan fungsional suatu individu tidak dapat

terpenuhi maka akan menimbulkan keadaan diabetes (Bonner-Weir dan Smith

1994).

Gambar 2. Anatomi pulau Langerhans (Tortora 1996)

10

Gambar 3. Regulasi normal kadar gula darah (Tortora 1996)

Pada DM tipe-1 dicirikan dengan kekurangan insulin absolut akibat dari

kerusakan sel-β. Kerusakan tersebut disebabkan oleh autoimmun sehingga terjadi

peradangan (insulitis). Proses perusakan ini membutuhkan stimulan dari luar

seperti infeksi virus, rubella atau toksin dan determinan genetik. T-lymphocyte

teraktifkan dan merembes ke pulau Langerhans sehingga menyebabkan suatu

keadaan yang disebut insulitis. Setelah beberapa tahun terserang autoimmun,

terjadi penurunan perlahan-lahan jumlah sel-sel β. Gejala akan nampak secara

tiba-tiba ketika 80-90% sel β telah rusak (Gambar 4). Pada keadaan ini, pankreas

gagal merespon glukosa dari makanan. Terapi insulin dibutuhkan untuk

mengembalikan pengendalian metabolik (Champe & Harvey 1994).

11

Pulau Langerhans Normal

Infeksi (virus) pada sel-sel β

Sekresi interferon α oleh sel-sel β

Predisposisi genetik

Insulitis

Ekspresi MHC oleh sel-sel β

Destruksi sel-sel β

Induksi Autoimun

Defisiensi insulin

Gambar 4. Salah satu kemungkinan tahapan etiologi terjadinya DM tipe-1

(Suyono 2002)

Resistensi insulin merupakan kelainan metabolik yang dicirikan oleh

menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin (Kendall & Harmel 2002). Men

urut Brody dan Saltiel (1999) resistensi insulin adalah keadaan dimana

konsentrasi insulin yang dihasilkan normal, namun respon biologisnya rendah.

Keadaan ini terjadi karena jaringan gagal merespon insulin secara normal. Pada

DM tipe-2 sering disertai oleh resistensi insulin pada organ sasaran yang

mengakibatkan penurunan responsivitas, baik terhadap insulin endogenous

maupun eksogenous. Sebagai contoh resistensi insulin di hati menyebabkan

produksi glukosa hepatik (glukoneogenesis) tidak terkendali. Pada otot dan

jaringan adiposa, resistensi insulin mengakibatkan penurunan ambilan glukosa

oleh jaringan tersebut (Gambar 5). Resistensi insulin yang berkembang secara

terus menerus akan mengakibatkan sekresi insulin oleh sel-β mengalami

gangguan (Cefalu 2001)

12

Genetik Resistensi Insulin Didapat

Hiperinsulinemia

Resistensi Insulin Terkompensasi(Toleransi glukosa normal)

Genetik DidapatToksisitas glukosaAsam lemak, dll

Kelelahan sel-sel-β

Diabetes mellitus tipe-2

Gambar 5. Etiologi terjadinya penyakit DM tipe-2 (Suyono 2002)

Diagnosis Diabetes melitus

Kriteria diagnosis diabetes mellitus menurut American Diabetes Association

(ADA) 1998 adalah kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl atau kadar glukosa

puasa ≥ 126 mg/dl.

Diagnosa diabetes mellitus biasanya dibuat dengan mengukur kadar glukosa

puasa (FPG = Fasting Plasma Glucose), kadang-kadang bersama dengan kadar

glukosa setelah makan. Standar untuk glukosa darah puasa (FPG) meningkat pada

semua penderita diabetes kecuali pada penderita diabetes dengan derajat yang

sangat ringan. Kadar glukosa darah plasma yang normal adalah 70-115 mg/dl;

diagnosa dibuat bila dalam 2 kali pemeriksaan yang berbeda ditemukan kadar

glukosa darah puasa (FPG) lebih besar dari 140 mg/dl (kadar dalam darah kapiler

dan darah adalah 120 mg/dl).

Oral Glukosa Tolerance Test (OGTT) menunjukkan kemampuan tubuh

menggunakan sejumlah glukosa dalam jangka waktu yang lama. Walaupun tes ini

masih menjadi konteroversial yang disebabkan tes ini tidak terstandarisasi dengan

baik, akan tetapi OGTT yang tepat dapat digunakan pada mereka dengan kadar

glukosa puasa normal. Pemberian glukosa yang tepat adalah 1 gram/kg berat

13

badan untuk orang dewasa dengan dosis maksimum 100 gram, dan 1,75 gram/kg

berat badan untuk anak-anak yang diberikan dalam bentuk minuman. Glukosa

plasma kemudian diukur sebelum pemberian, kemudian 1 jam, 2 jam, 3 jam, dan

4 sampai 5 jam setelah pemberian glukosa. OGTT dapat digunakan untuk

mendiagnosa diabetes bila kadar glukosa plasma pada saat pemberian glukosa

dan 2 jam sesudah pemberian melebihi 200 mg/dl. (Mayfield 1998).

Komplikasi Diabetes mellitus

Komplikasi akut terjadi jika kadar glukosa darah meningkat atau menurun

tajam dalam waktu relatif singkat. Pada komplikasi akut dapat terjadi

hipoglikemia, yaitu suatu keadaan dengan kadar glukosa darah kurang dari 50

mg/dl dan ketoasidosis diabetik yaitu kadar glukosa darah tinggi tetapi tidak dapat

masuk ke dalam sel karena kekurangan insulin, sehingga kebutuhan energi tubuh

dipenuhi dengan meningkatkan metabolisme lipid yang mengakibatkan

menigkatnya asetil-CoA, yang selanjutnya meningkatkan pembentukan badan

keton yang menyebabkan asidosis. Keadaan ini menyebabkan darah menjadi

asam, jaringan tubuh rusak sehingga pasien mengalami koma (Dalimartha 2004;

Ganiswara 1999).

Kondisi hiperglikemik kronis dapat mendorong produksi radikal bebas yang

berlebihan dari proses auto-oksidasi glukosa, progresi protein dan terjadi

perubahan keseimbangan oksidan dan antioksidan tubuh. Pembentukan radikal

bebas yang berlebih pada penderita diabetes dapat memicu penurunan kandungan

antioksidan enzimatik tubuh dan kerusakan jaringan. Hal ini dapat menyebabkan

timbulnya atherosklerosis dan katarak (Szaleczky et al. 1999; Ferrari & Torres

2003).

Pengobatan Diabetes mellitus

Diabetes merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat

dikontrol. Untuk mengendalikan penyakit DM, Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia (Perkeni) menetapkan empat pilar utama dalam penatalaksanaan DM,

yang meliputi perencanaan diet, latihan jasmani, penyuluhan dan pemberian obat

anti hiperglikemik atau pemberian insulin. Berdasarkan beberapa hasil penelitian

Diabetes Control and Complication Trial ( DCCT) di Amerika dan United

Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) serta beberapa hasil penelitian

14

lain menunjukkan bahwa dengan pengendalian kadar glukosa darah yang baik

maka resiko terjadinya komplikasi pada penderita DM dapat dicegah dan bahkan

pada hewan percobaan pengendalian kadar glukosa mendekati normal dapat

menghindari resiko terjadinya komplikasi (Hartono 2006).

Untuk mencapai kadar glukosa darah yang mendekati normal langkah

pertama dalam pengelolaan diabetes mellitus adalah perencanaan makan dan

aktifitas fisik (pengelolaan non farmakologis), tetapi kedua hal ini sering gagal

untuk menghasilkan kadar glukosa darah yang diinginkan. Apabila langkah ini

tidak berhasil, dilanjutkan dengan penggunaan obat hipoglikemik (pengelolaan

farmakologis). Ada dua macam obat hipoglikemik, yaitu berupa suntikan dan

berupa tablet yang disebut obat hipoglikemik oral.

A. Hipoglikemik oral

(1) Golongan Sulfonilurea bekerja dengan cara merangsang sel-β pulau

Langerhans untuk pankreas untuk mengeksresikan insulin. Obat golongan

ini tidak berguna bila diberikan pada penderita DM tipe 1, karena pada

penderita DM tipe 1 sel-β pulau Langerhans sudah rusak, sehingga tidak

dapat memproduksi insulin. Obat golongan ini dapat berguna bila

diberikan pada penderita DM tipe 2 (Ganiswara et al. 1999). Obat-obat

yang termasuk golongan sulfonilurea adalah: Tolbutamide,

Chlorpropamide, Tolazamide, Acetohexamide sebagai generasi pertama,

sedangkan generasi kedua adalah: Glibenklamide, Glipizide, dan

Glibonuride (Silva 2004).

(2) Golongan Biguanid, derivat biguanid mempunyai mekanisme yang

berlainan dengan derivat sulfonilurea, golongan obat-obat ini bekerja

dengan cara mengurangi resistensi insulin sehingga glukosa dapat

memasuki sel-sel hati, otot dan organ tubuh lainnya. Obat-obat yang

termasuk golongan biguanid adalah Metformin, Phenformin dan

Buformin (Silva 2004).

(3) Golongan Thiazolidinedion, derivat thiazolidinedion bekerja dengan cara

yang sama dengan derivat biguanid, yaitu dengan mengurangi resistensi

insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot dan organ

tubuh lainnya, obat yang termasuk golongan ini adalah Troglitazone.

15

(4) Golongan inhibitor α-Glukosidase, obat ini bekerja dengan cara

menginhibisi secara reversibel kompetitif terhadap enzim hidrolase α-

milase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus seperti

isomaltase, sukrose dan maltase. Enzim-enzim ini berperan pada hidrolisis

karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya. Pada

penderita DM, inhibisi terhadap enzim ini menyebabkan penghambatan

absorpsi glukosa sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah

makan (postpandrial). Obat yang termasuk golongan ini adalah Acarbose

yang dikenal dengan nama dagang Glucobay (Bayer 2004).

Acarbose adalah suatu oligosakarida yang diperoleh dari proses fermentasi

mikroorganisme Actinoplanes utahensis (Gambar 6). Acarbose juga

menghambat enzim α-amilase pankreas yang menghidrolisa tepung dalam

usus halus sehingga menunda penyerapan karbohidrat. Acarbose dapat

digunakan secara kombinasi dengan obat anti diabetik oral lainnya seperti

sulfonilurea, metformin atau insulin untuk meningkatkan kontrol

hiperglikemia, hal ini disebabkan karena acarbose memiliki mekanisme

kerja yang berbeda dengan ketiga golongan antidiabetik oral lainnya

(Bayer 2004).

Gambar 6. Struktur tetrasakarida acarbose dan monosakarida 1-deoxynojirimicyn

(Kanai et al 2001)

16

B Insulin

Insulin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-β dari

pulau Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1% massa

pankreas. Insulin adalah salah satu hormon terpenting yang mengkoordinasikan

penggunaan energi oleh jaringan. Secara fisiologis, fungsi utama insulin adalah

menstimulasi masuknya glukosa ke dalam sel-sel otot dan hati untuk digunakan

sebagai sumber energi atau disimpan dalam bentuk glikogen. Selain itu insulin

juga berperan dalam sintesis protein dan lemak serta menekan produksi glukosa

hepatik. Dalam pengelolaan DM, insulin digunakan untuk terapi penderita DM

tipe-1 tetapi juga tidak jarang digunakan untuk penderita DM tipe-2.

Mekanisme kerja insulin ialah insulin berikatan dengan reseptor spesifik

yang memiliki reaktivitas tinggi pada mebran sel kebanyakan jaringan, termasuk

hati, otot dan adiposa. Ini merupakan tahap pertama aliran reaksi yang akhirnya

menuju kepada susunan aksi biologis yang beranekaragam. Pengikatan insulin

menimbulkan aksi luas. Respon yang paling cepat ialah peningkatan transpor

glukosa ke dalam sel yang terjadi segera setelah insulin berikatan dengan reseptor

membran.

Sesaat setelah glukosa terserap dan masuk ke dalam sistem peredaran darah,

maka glukosa akan segera terdistribusi ke seluruh jaringan tubuh. Dampak

tersebarnya glukosa ke seluruh jaringan tubuh akan meningkatkan keberadaan

insulin pada jaringan tersebut. Mekanisme klasik kerja insulin ini ialah

meningkatkan pemindahan glukosa darah menuju otot dan mencegah proses

glikogenolisis, glukoneogenesis dalam hati dan lipolisis pada jaringan adiposa

(Champe & Harvey 1994; Bessesen 2001).

Hewan Percobaan

Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja

dipelihara dan diternakan untuk dipakai sebagai hewan model untuk mempelajari

berbagai bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Tikus

putih telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, relatif

sehat dan peka terhadap pengaruh perlakuan dalam komponen dietnya, sehingga

17

merupakan hewan yang cocok digunakan untuk berbagai penelitian. Galur tikus

putih yang biasa digunakan untuk hewan percobaan di laboratorium adalah Long

Evans, Osborne-Mendel, Sherman, Sparague Dawley, dan Wistar (Malole &

Pramono 1989).

Hewan percobaan untuk diabetes dapat terjadi secara spontan atau dari hasil

induksi eksperimental. Tikus dan kelinci merupakan hewan percobaan yang

paling banyak digunakan untuk maksud diatas. Beberapa strain tikus yang telah

digunakan secara luas sebagai hewan percobaan spontan untuk IDDM diantaranya

NOD (Non-Obes Diabetic) dan Wistar/BB (bio-breeding). Sedangkan hewan

percobaan spontan untuk NIDDM adalah zuckher dan wistar Goto-kakisaki

(Picarel-Blanchot et al. 1996,diacu dalam Andayani 2003).

Diabetes eksperimental pada hewan percobaan dapat terjadi melalui

beberapa cara diantaranya dengan pankreatektomi ataupun menggunakan bahan

kimia diabetogenik seperti aloksan dan streptozotosin dengan dosis yang dapat

menyebabkan kerusakan selektif terhadap sel-sel beta pankreas sehingga

menghasilkan hiperglikemik permanen yang merupakan salah satu etiologi dari

DM tipe-1. Sifat diabetogenik aloksan ataupun streptozotosin dimediasi oleh

senyawa oksigen reaktif yang terbentuk melalui cara yang berbeda pada kedua

bahan tersebut (Rane dan Reddy 2000).

Aloksan

Aloksan merupakan senyawa yang tidak stabil dan bersifat hidrofilik, waktu

paruhnya hanya 1,5 menit pada pH netral dan temperatur 37˚C, dalam suhu lebih

rendah waktu paruhnya menjadi lama. Mekanisme kerja aloksan pada prinsipnya

terjadi melalui beberapa proses yang secara simultan menghasilkan efek

kerusakan pada sel-sel β pankreas. Proses yang dimaksud diantaranya

pembentukan senyawa radikal bebas, terjadinya oksidasi gugus-SH,

penghambatan glukokinase serta adanya gangguan homeostatis kalsium

intraseluler (Szkudelski 2001 ).

Mekanisme kerja aloksan diawali dengan ambilan aloksan ke dalam sel-sel

beta pankreas dan kecepatan ambilan ini akan menentukan sifat diabetogenik

aloksan. Ambilan ini juga dapat terjadi pada hati atau jaringan lain, tetapi jaringan

18

tersebut relatif lebih resisten dibanding pada sel-sel β pankreas. Sifat inilah yang

melindungi jaringan terhadap toksisitas aloksan (Szkudelski 2001 ).

Faktor lain yang sangat dominan menghasilkan sifat diabetogenik aloksan

adalah pembentukan senyawa oksigen reaktif yang terjadi dalam sel-sel β

pankreas. Beberapa penelitian melaporkan bahwa aloksan meningkatkan

konsentrasi kalsium bebas sitosolik dalam sel-sel β pankreas akibat dari beberapa

proses antara lain peningkatan infulk kalsium dari cairan ekstraseluler, mobilisasi

intraseluler, maupun berkurangnya kalsium yang hilang dalam sitoplasma

(Gambar 7). Aloksan lebih umum digunakan untuk menghasilkan model DM

tipe-1. Kemampuan aloksan untuk dapat menimbulkan diabetes juga tergantung

pada jalur penginduksian, dosis, senyawa, hewan percobaan dan status gizinya

(Szkudelski 2001 ).

- SH HS –Gka

- S – S -Gki

Aloksan HA • Asam Dialurat

O2• O2

O2• + O2

• H2 O2+ O2

Fe3+ Fe2+

OH •

Influk Ca2+ dari ekstraseluler

Mobilisasi Ca2+ dari intraseluler [ Ca2+ ]

Terbatasnya Ca2+ yang hilang dari sitoplasma

Gambar 7. Mekanisme pembentukan senyawa oksigen reaktif dalam sel pankreastikus yang diinduksi aloksan (Szkudelski 2001)

19

Keterangan:Gka dan Gki masing-masing glukokinase aktif dan inaktif.

HA • radikal aloksan.

[ Ca2+ ] konsentrasi kalsium intraseluler.

Efek Hipoglikemik

Efek bahan aktif dari tanaman umumnya dihasilkan melalui proses ekstraksi

dengan menggunakan beragam pelarut, mulai dari air hingga pelarut organik

seperti heksana, etanol, kloroform, maupun metanol. Beberapa penelitian

melaporkan bahwa bahan aktif yang telah berhasil diidentifikasi dari tanaman

yang menunjukkan efek hipoglikemik antara lain asam 4-hidroksibensoat yang

disarikan dari ekstrak air dalam akar pandanus odorus, laktusin-8-O-metilakrilat

yang disari dari ekstrak kloroform buah Pamentiera edulis, senyawa steroid yang

disarikan dari ekstrak kloroform biji Parkia speciosa (Perez et al 2000).

Berdasarkan penelitian Andayani (2003), aktivitas antihiperglikemik ekstrak

buncis dengan menggunakan pelarut alkohol dan kloroform menunjukkan efek

hipoglikemik yang lebih kuat pada tikus diabetes induksi aloksan dibandingkan

dengan pelarut lain, karena menghasilkan penurunan kadar glukosa darah yang

cukup besar (45 %) yang terjadi satu jam setelah perlakuan. Hal ini diduga karena

kerja bahan aktif melalui stimulasi pada sel-sel β pankreas yang masih tersisa

akan meningkatkan kerja insulin terutama di jaringan periferal. Penelitian Ahmed

et al (1998) yang menguji efek hipoglikemik pada tanaman pare (Momordica

charantia) menduga, bahan aktif yang terkandung pada buah pare dapat

meningkatkan jumlah sel-sel β pankreas. Sedangkan penelitian Sopian (2005)

yang menemukan senyawa acarbose dan senyawa1-deoxynojirimycin (DNJ) yang

mirip dengan glukosa menyatakan bahwa senyawa-senyawa tersebut dapat

menghambat aktivitas enzim alfa glukosidase yang berfungsi memecah senyawa

polisakarida menjadi monomer-monomer glukosa.

Beberapa penelitian mengenai efek hipoglikemik tumbuhan yang diberikan

dalam bentuk sediaan ekstrak menunjukkan adanya perbedaan pola respon

terhadap kadar glukosa darah baik pada hewan maupun pada manusia. (Alarcon

et al 2000).