tinjauan pustaka

3
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan hasil pertanian yang cukup diperhitungkan dalam penyediaan bahan baku bagi industri dan peningkatan nilai ekspor pertanian. Kakao memiliki nilai jual yang cukup tinggi karena mengandung berbagai mancam komponen kimia, zat gizi dan senyawa bioaktif di dalamnya salah satunya pada biji kakao sehingga cocok untuk dimanfaatkan dalam industri farmasi dan pengolahan pangan. Wahyudi et al. (2008) dalam Djangoen (2013), menerangkan bahwa biji kakao memiliki komposisi yang sangat bervariasi setelah mengalami proses pengolahan. Bubuk kakao mengandung 228,49 Kkal, lemak 13,5 g, serat 27,90 g, protein 19,59 g, air 2,58 g, dan kadar abu 6,33, yang meliputi : kalium 1495,5 mg, natrium 8,99 mg, kalsium 169,45 mg, besi 13,86 mg, seng 7,93 mg, tembaga 4,61 mg, dan mangan 4,73 mg. Komponen senyawa bioaktif dalam bubuk kakao adalah senyawa polifenol yaitu flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan. Kandungan polifenol total dalam bubuk kakao lebih tinggi dibandingkan dalam anggur maupun teh. Tahun 2012 berdasarkan data statistic Dinas Kehutanan dan Perkebunan – Dishutbun (2012) dalam Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (2013), prosentase dari produksi biji kakao di Indonesia berdasarkan data Dinas Perkebunan tahun 2005, diantaranya Sulawesi Selatan tercatat memiliki luasan lahan tanaman kakao sekitar 224,743 ha dan menghasilkan yang diikuti dengan Sulawesi Tenggara 196,626 ha dengan produksi 132,470 ton, dan Sulawesi Tengah yang memiliki luasan lahan 174, 529 ha dengan produksi 152,418 ton, dan Sulawesi Barat yang memiliki lahan 132,100 ha dengan produksi kakao sebanyak 96,481 ton. Khusus di Sulawesi Barat, perkebunan kakao terdapat di seluruh daerah, salah satunya Kab. Majene. Jumlah petani kakao di Majene sebanyak 10.289 KK. Selain itu Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (2013), mengemukakan, jika diasumsikan setiap keluarga memiliki empat anggota (bapak, ibu dan dua anak), maka total jumlah petani yang ada sekitar 40.000 petani. Namun demikian usaha perkebunan kakao di Majene masih dalam skala usaha pertanian tradisional. Rata-rata kepemilikan lahan kakao oleh para petani hanya sebesar 1 Ha. Total lahan yang digunakan untuk budidaya kakao hingga tahun 2012 mencapai 12.412 Ha. Salah satunya di Topore terdapat suatu komunitas petani kakao yang telah mengembangkan tanaman ini lebih dari 5 tahun, sejak diusahakan oleh pendahulunya sekitar tahun 1980.

Upload: rhya-darmayanti-haedar

Post on 09-Nov-2015

5 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

green science com[etition

TRANSCRIPT

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan hasil pertanian yang cukup diperhitungkan dalam penyediaan bahan baku bagi industri dan peningkatan nilai ekspor pertanian. Kakao memiliki nilai jual yang cukup tinggi karena mengandung berbagai mancam komponen kimia, zat gizi dan senyawa bioaktif di dalamnya salah satunya pada biji kakao sehingga cocok untuk dimanfaatkan dalam industri farmasi dan pengolahan pangan. Wahyudi et al. (2008) dalam Djangoen (2013), menerangkan bahwa biji kakao memiliki komposisi yang sangat bervariasi setelah mengalami proses pengolahan. Bubuk kakao mengandung 228,49 Kkal, lemak 13,5 g, serat 27,90 g, protein 19,59 g, air 2,58 g, dan kadar abu 6,33, yang meliputi : kalium 1495,5 mg, natrium 8,99 mg, kalsium 169,45 mg, besi 13,86 mg, seng 7,93 mg, tembaga 4,61 mg, dan mangan 4,73 mg. Komponen senyawa bioaktif dalam bubuk kakao adalah senyawa polifenol yaitu flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan. Kandungan polifenol total dalam bubuk kakao lebih tinggi dibandingkan dalam anggur maupun teh.

Tahun 2012 berdasarkan data statistic Dinas Kehutanan dan Perkebunan Dishutbun (2012) dalam Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (2013), prosentase dari produksi biji kakao di Indonesia berdasarkan data Dinas Perkebunan tahun 2005, diantaranya Sulawesi Selatan tercatat memiliki luasan lahan tanaman kakao sekitar 224,743 ha dan menghasilkan yang diikuti dengan Sulawesi Tenggara 196,626 ha dengan produksi 132,470 ton, dan Sulawesi Tengah yang memiliki luasan lahan 174, 529 ha dengan produksi 152,418 ton, dan Sulawesi Barat yang memiliki lahan 132,100 ha dengan produksi kakao sebanyak 96,481 ton. Khusus di Sulawesi Barat, perkebunan kakao terdapat di seluruh daerah, salah satunya Kab. Majene. Jumlah petani kakao di Majene sebanyak 10.289 KK. Selain itu Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (2013), mengemukakan, jika diasumsikan setiap keluarga memiliki empat anggota (bapak, ibu dan dua anak), maka total jumlah petani yang ada sekitar 40.000 petani. Namun demikian usaha perkebunan kakao di Majene masih dalam skala usaha pertanian tradisional. Rata-rata kepemilikan lahan kakao oleh para petani hanya sebesar 1 Ha. Total lahan yang digunakan untuk budidaya kakao hingga tahun 2012 mencapai 12.412 Ha. Salah satunya di Topore terdapat suatu komunitas petani kakao yang telah mengembangkan tanaman ini lebih dari 5 tahun, sejak diusahakan oleh pendahulunya sekitar tahun 1980.

Dari keseluruhan produksi kakao hamper 80 persennya diekspor keluar negeri dalam bentuk kakao biji. Sebagai produsen kakao tiga utama dunia dan terbesar di Asia, Indonesia masih tertinggal jauh oleh Malaysia dalam hal industri pengolahan, baik dalam bentuk produk setengah jadi seperti lemak, pasta atau bubuk kakao maupun dalam bentuk produk jadi seperti permen cokelat berbentuk padat maupun pasta. Padahal pengolahan kakao dapat meningkatkan nilai ekonomis bahan baku, paling sedikit 100 persennya (Sukendar, 2007). Permen cokelat merupakan produk hasil olahan kakao yang dipercaya sebagai makanan tinggi kalori untuk memompa energi. Riset menemukan indikasi bahwa beberapa komponen yang terkandung dalam kakao dapat membantu mencegah penyakit cardiovascular dan dapat mengurangi resiko kanker. Adanya anti-oksidan yang kuat dari biji kakao dapat memberikan keuntungan dari produk cokelat dalam bidang kesehatan. Anti-oksidan tersebut dapat membantu daya tahan tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas, yang terbentuk oleh serangkaian proses termasuk saat tubuh memerlukan oksigen untuk menghasilkan energi. Hasil laboratorium dan penelitian telah mengindikasikan bahwa flavonoids kakao dapat mencegah oksidasi kolesterol-LDL yang dapat menyebabkan penyakit jantung. Timbul juga fakta bahwa kakao dan cokelat dapat mengurangi resiko beberapa jenis kanker (Departemen Perindustrian, 2007). Selain kakao, adapula tanaman kelapa (Cocos Nucifera L.) yang merupakan salah satu tanaman yang produktivitasnya sangat tinggi di Sulawesi Barat. Potensi kelapa di Sulawesi Barat sangat besar, berdasarkan hasil satitisk Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), produksi kelapa di Sulawesi Barat dari tahun 2008 sampai 2012 terus meningkat. Tahun 2008 produksi kelapa sebanyak 38.034 ton, pada tahun 2009 47.395 ton, pada tahun 2010 47.395 ton, 2011 40.948 ton, dan tahun 2012 sebanyak 49.860 ton (BKPMD Sulbar, 2014).

Bungkil kelapa adalah hasil sisa dari pembuatan dan ekstraksi minyak kelapa yang didapat dari daging kelapa yang telah dikeringkan terlebih dahulu. Bungkil kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku makanan karena megandung nutrisi, mudah dicerna dan harganya paling murah serta mudah mendapatkan dibandingkan bungkil yang lainnya. Kandungan nutrisi pada bungkil minyak kelapa dapat dilihat pada tabel 01. Selain itu, bungkil kelapa juga mempunyai kandungan serat yang cukup tinggi yaitu mencapai 18,33-21,3%. Tabel 01. Kandungan Nutrisi Bungkil Kelapa

Kandungan nutrisiNilai gizi (%)

Air11

Minyak20

Protein45

Karbohidrat12

Abu5

Sumber : Unsoed, 2014.