tinjauan pustaka penatalaksanaan terkini artritis reumatoid filemenyesuaikan terapi yang tepat, dan...
TRANSCRIPT
1
Tinjauan Pustaka
Penatalaksanaan terkini Artritis Reumatoid
dengan paradigma baru Treat-to-Target (T2T)
Putu Gede Surya Wibawa, Gede Kambayana. Program Studi Pendidikan DokterSpesialis Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar Bali
Pendahuluan
Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit yang tersebar luas serta
melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu
penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis
erosif simetris yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, disertai
keterlibatan jaringan ektraartikular (1).
Dalam banyak bidang medis, target terapi telah terbukti meningkatkan
keluaran dan menurunkan risiko kerusakan organ. Dalam perawatan pasien
diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, aspek ini telah diadopsi secara luas dalam
praktek klinis, dokter melakukan pemeriksaan laboratorium untuk kolesterol dan
trigleserida, gula darah, dan nilai HbA1c, memeriksa tekanan darah dan
menyesuaikan terapi yang tepat, dan pasien mengetahui nilai dari hal ini dan lebih
peduli akan target terapi. Pengobatan AR telah mengalami perubahan dramatis
dalam 20 tahun terakhir, salah satunya melalui perubahan paradigma yang disebut
rekomendasi 'treat to target’ (T2T). T2T bertujuan meningkatkan keluaran dan
pengurangan risiko kerusakan organ. Dalam RA, kerusakan sendi dan cacat fisik
adalah keluaran utama yang merugikan terkait dengan penurunan kualitas hidup
dan kematian dini (2).
Akhirnya, saat ini remisi tercapai pada sebagian besar pasien dalam
penelitian dan praktek klinis berkat rekomendasi T2T, dan pencapaian cepat
remisi dapat menghentikan kerusakan sendi terlepas dari jenis DMARD, sintetis
atau biologis. Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk meningkatkan
pengelolaan RA dalam praktek klinis, dengan paradigma baru T2T.
2
Batasan
Artritis Reumatoid (AR) adalah merupakan suatu penyakit autoimun
melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia yang etiologinya belum
diketahui. Ditandai oleh sinovitis erosif simetris yang walaupun terutama
mengenai jaringan persendian, disertai keterlibatan jaringan ektraartikular.
Perjalanan penyakit AR ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif.
Sebagian besar kasus perjalanannya kronik fluktuaktif yang mengakibatkan
keruskan sendi yang progresif, kecacatan dan bahkan kematian dini (1,3-5).
Epidemiologi
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu
dengan lainya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR
sekitar 1% pada kaukasia dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan
Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar
0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa
Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di
Indonesia dari hasil survey epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah
didapatkan prevalensi AR 0,3 %, sedang di Malang pada penduduk berusia
diatas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah Kotamadya dan
0,6% di daerah Kabupaten, sementara di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru AR merupakan 4,1% dari
seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan 9%
dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002. Wanita 3 kali lebih
sering terkena dibandingkan pria. Dapat mengenai semua usia namun prevalensi
muncul seiring waktu dan lebih tinggi pada perempuan berusia diatas 65 tahun,
dikaitkan faktor hormonal sex yang ikut berperan. (1,5-6)
Etiologi
Penyebab AR belum diketahui dengan pasti, diperkirakan ada 2 faktor
penyebab yaitu: 1). Faktor luar (infeksi, lingkungan) dan 2). Faktor dalam
(genetik, usia, jenis kelamin, dan psikologis). Infeksi virus (Epstein-barr virus,
cytomegalovirus, parvovirus dan rubella virus), bakteri dan mycoplasma
3
diperkirakan sebagai faktor pencetus AR. Faktor lingkungan yang utama adalah
merokok, faktor lain adalah minum alkohol, kopi, status vitamin D, dan status
sosial ekonomi rendah. Faktor genetik adalah 50% risiko terjadinya AR, faktor
genetik seperti produk komplek histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR4)
telah lama diduga berperanan dalam timbulnya penyakit ini, dimana risiko relatif
4:1 untuk menderita penyakit ini pada mereka dengan HLA-DR4. (3-6)
Patogenesis
Patogenesis AR diawali adanya antigen dalam membran sinovial.
Selanjutnya antigen tersebut diproses antigen presenting cells (APC) yang terdiri
dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte A, sel denritik atau makrofag yang
semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen
tersebut lalu dilekatkan pada CD4+, suatu subset sel T sehingga terjadi aktivasi
sel. Proses aktivasi CD4+ ini dibantu oleh interleukin-1(IL-1) yang disekresi oleh
monosit dan makrofag. Selanjutnya antigen, determinan, HLA-DR pada
permukaan membran APC dan CD4+ akan membentuk suatu komplek
trimolekular. Komplek antigen trimolekular akan mengekspresi reseptor
interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. Lalu, IL-2 akan mengikatkan diri
pada reseptornya dan menyebabkan mitosis dan proliferasi sel. Proliferasi CD4+
ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkungan tersebut.
Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai
limfokin seperti A-interferon, TNF ß, IL-3,IL4 GM-CSF serta beberapa mediator
lain yang merangsang makrofag meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan
merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B untuk memproduksi
antibodi. Antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang
berdifusi secara bebas kedalam ruang sendi lalu mengendap dan menyebabkan
aktivasi sistem komplemen dan membebaskan komplemen C5a. Komplemen C5a
meningkatkan permeabilitas vaskular, menarik lebih banyak sel PMN yang
memfagositosis kompleks imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi
mast cells dan pembebasan radikal oksigen, leukotrine, enzim lisosomal,
prostaglandin, collagenase dan stromelysin yang semuanya akan mengakibatkan
inflamasi dan kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang.
4
Radikal oksigen menyebabkan terjadinya depolimerisasi hyaluronate
sehingga viskositas cairan sendi menurun, merusak kolagen dan proteoglikan
rawan sendi. Leukotrien LTB4 menyebabkan migrasi dan agregasi kuat neftrofil.
Prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator kuat dan merangsang resorpsi tulang
osteoklastik, juga memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat sekresi IL-2,
A-interferon.
Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T kedalam
membran sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan
elemen paling bersifat destruktif pada patogenesis AR. Pannus adalah jaringan
granulasi yang terdiri dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang
berproliferasi dan jaringan mikrovaskular. Sitokin IL-1 dan TNF memainkan
peran penting untuk memicu sel pannus menghasilkan kolagen dan enzim
proteolitik yang merusak tulang rawan secara lokal dan menghambat
pembentukan molekul matrik baru. Dua sitokin tersebut bersama IL-6 juga
berperan dalam dimineralization dari tulang yang berperan dalam aktivasi
osteoklast yang berakumulasi pada daerah lokal resorpsi tulang. Pannus akan
menginvasi jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi serta tulang sehingga
mengancurkan struktur persendian. Bila proses pembentukan pannus ini tidak
terhenti baik oleh karena pengobatan atau remisi spontan, maka akan terjadi
ankilosis dan juga peningkatan ekspresi intracellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) yang merupakan tempat perlekatan sel mononukleus pada endotel
mikrovaskular, yang mengakibatkan peningkatan adhesi sel mononukleus pada
endotel kapiler.
Peristiwa tersebut menunjukan bahwa pengenalan antigen AR terjadi
setelah subset sel T tersebut meninggalkan thymus. Terdapatnya reseptor MHC
Class II seperti HLA-DR,DQ dan DP pada permukaan sel T bersama dengan
adanya very late antigen type 1(VLA-1) menunjukan bahwa aktivasi dan
proliferasi sel T terjadi secara lokal. Sehingga disimpulkan bahwa aktivasi sel T
mungkin dicetuskan oleh suatu antigen yang tidak diketahui, APC atau komplek
peptida trimolekuler dalam ruang sendi yang mengakibatkan terjadinya sinovitis
pada AR.
5
Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen
penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR,
antigen atau komponennya umumnya akan menetap pada struktur persendian
sehingga proses dekstruksi sendi akan terus berlangsung. Hal ini terjadi juga
karena terbentuknya faktor reumatoid, Faktor reumatoid adalah autoantibodi
klasik dalam radang sendi. IgM dan IgA faktor reumatoid adalah penanda patogen
kunci yang ditunjukan terhadap fragmen Fc IgG. Jenis antibodi tambahan (dan
semakin penting) yang ditujukan against citrullinated peptides (ACPA). Meskipun
sebagian besar, tapi tidak semua, pasien dengan ACPA positif juga positif untuk
faktor reumatoid, ACPA tampak lebih spesifik dan sensitif untuk diagnosis AR
dan tampak menjadi prediktor yang lebih baik terhadap prognosis yang buruk
seperti kerusakan sendi yang progresif. 50-80% dari individu dengan AR
memiliki faktor reumatoid, ACPA, atau keduanya. Bagaimanapun suatu
imunoglobulin dapat berubah sifatnya menjadi antigen, hal ini belum
dapatditerangkan dengan jelas. Faktor reumatoid juga dapat berikatan dengan
komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan
terus berlanjut. Terbentuknya autoantibodi terhadap colagen type II baik yang
bersifat native ataupun yang telah mengalami denaturasi dapat pula mengekalkan
terjadinya peradangan dengan mekanisme yang sama. Pentingnya peran sel
limfosit B pada proses inflamasi kronik telah dibuktikan melalui observasi terapi
dengan antibodi monoklonal terhadap marker sel B, CD 20, menyebabkan deplesi
yang cepat dari limfosit B, penurunan titer serum faktor reumatoid, dan perbaikan
parsial tanda dan gejala peradangan. (3,5,6)
Manifestasi klinis
Ciri khas gejala klinis AR adalah poliartritis kronis yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tualng disekitarnya. Kerusakan ini
terutama mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat
simetris. Gejala klinis umumnya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu
atau bulan. Sering pada keadaan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas.
Keluhan tersebut dapat berupa manifestasi umum, manifestasi artikuler dan
manifestasi ekstraartikuler.
6
Manifestasi umum. Sebagian besar pasien dengan keluhan konstitusional berupa
perasaan badan lemah, mudah lelah, nafsu makan menurun, penurunan berat
badan. Meskipun demam bisa sampai 40 o C, namun demam > 38OC jarang dan
kemungkinan ada infeksi.
Manifestasi Artikuler. Meskipun inflamasi dapat mengenai setiap sendi
diartrosis. Namun, paling sering mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi
pergelangan tangan, lutut dan kaki. Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi
siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan pada tulang
belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi pagi hari,
pembengkakan dan nyeri sendi. Lamanya kaku sendi pagi hari mencerminkan
beratnya penyakit. Keluhan nyeri dan kekakuan akan meningkat sejalan dengan
beratnya keadaan dan diikuti dengan hambatan untuk jalan, naik tangga,
membuka pintu dan lainnya. Kelainan fisik awal khas terlihat jari berbentuk
fusiform akibat pembengkakan sendi interphalangeal proksimal yang simetris.
Jarang mengenai interphalangeal distal. Juga bersama pembengkakan simetris
metakarpophalangeal. Akibat kelemahan jaringan lunak terjadi deformitas bentuk
leher angsa (swan neck deformity) atau “boutonniere deformity”. Keadaan ini
menyebabkan kemampuan memegang dan menggenggam berkurang. Pada
pergelangan tangan, kelainan bervariasi dapat berupa pembengkakan sinovium,
hambatan gerakan, sindrom “carpal tunnel” atau atropi otot tenar. Kelainan pada
kaki mirip pada tangan.
Manifestasi Ekstraartikuler. AR merupakan penyakit sistemik dengan
manifestasi ekstraartikular yang beragam. Sekitar 40% pasien dengan manifestasi
ekstraartikular, dimana 15% adalah berat. 1).Kulit. Nodul reumatoid, mengenai
20-30% pasien AR. Jarang di Indonesia, namun di barat merupakan tanda AR
yang patognomonik. Terutama didapatkan pada daerah yang menerima tekanan,
seperti olekranon, permukaan ekstensor lengan dan tendon achilles. Nodul ini
selalu mencerminkan keadaan AR yang progresif dan destruktif. Pada beberapa
pasien, terapi dengan metotrexate dapat meningkatkan jumlah nodul secara
dramatis; 2) Mata. Kelainan mata <1%, paling sering adalah keratokonjungtivitis
sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjogren (15-20% pasien). Kelainan
7
lain berupa episkleritis yang ringan dan akan sembuh spontan. Dapat pula terjadi
skleritis yang dapat menimbulkan gejala skleromalasia perforans yang dapat
menyebabkan kebutaan; 3)Sistem Kardiovaskular. Kelainan jantung
asimptomatis perikarditis ditemukan sekitar 50% pada autopsi. Meskipun
perikarditis biasanya asimptomatik, namun kasus jarang bisa terjadi kematian
karena tamponade. Kelainan jantung yang simptomatis sering berupa perikarditis
konstriktif yang berat. Kelainan jantung lain dapat berupa nodul rematoid pada
miokardium dan katub jantung. Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katub,
embolisasi, ganguan konduksi, aortitis dan kardiomiopati; 4) Sistem respiratorik.
Manifestasi paling sering pada pria, penyakit pleura, fibrosis interstitial, nodul
pleuropulmonary, pneumonitis, dan arteritis. Manifestasi jarang adalah hipertensi
pulmoner sekunder. ; 5) Sistem Saraf. Manifestasi AR pada sistem neuro sering
tidak jelas. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas vertebra,
servikal, neuropati jepitan atau neuropati iskemik akibat vaskulitis; 6) Sistem
Hematologis. Anemia akibat penyakit kronik dengan gambaran eritrosit
normositik normokromik atau hipomikromik ringan disertai kadar besi serum
rendah dan TIBC yang normal atau rendah adalah gambaran umum pada AR.
Sindrom Felty adalah AR dengan splenomegali, neutropenia, anemia dan ulkus
pada tungkai. Sindrom Felty juga sering dengan limpadenopati, trombositopeni.
Sering terjadi pada AR yang sangat berat dan HLA-DR4 positif; 7) Osteoporosis
Sekunder, adalah umum dan dikaitkan dengan terapi glukokortikoid dan AR itu
sendiri. (1,3-6)
Gambar 1. Patogenesis dari Artritis Reumatoid (6)
8
Diagnosis
Selama ini diagnosis AR memakai kriteria ACR tahun 1987 dengan
sensitivitas 77-95% dan spesifitas 85-98%. Tapi kriteria ini mulai dipertanyakan
kesahihannya dalam mendiagnosis AR dini sehingga dipandang perlu untuk
menyusun kriteria baru yang tingkat kesahihannya lebih baik
Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut
American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010
yaitu: (1,6-7)
Tabel 1. Kriteria klasifikasi AR ACR/EULAR 2010 (1)
Keterlibatan sendi
1 Sendi besar
2-10 sendi besar
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)
4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)
Lebih dari 10 sendi (minimal 1 sendi kecil)
0
1
2
3
5
Serologi (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)
RF dan ACPA negative
RF atau ACPA positif rendah
RF atau ACPA positif tinggi
0
2
3
Reaktan Fase Akut (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)
LED dan CRP normal
LED atau CRP abnormal
0
1
Lamanya sakit
Kurang dari 6 minggu
6 minggu atau lebih
0
1
Kriteria ini ditunjukan untuk klasifikasi pasien baru
Skor kurang dari 6 tidak diklasifikasikan sebagai AR
Terkenanya sendi : adanya bengkak atau nyeri sendi pada pemeriksaan yang dapat didukung oleh
adanya bukti sinovitis secara pencitraan. Sendi DIP, CMC I, dan MTP I tidak termasuk dalam
kriteria. Penggolongan distribusi sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan jumlah sendi yang
terkena, dengan penempatan kedalam kategori yang tertinggi yang dapat dimungkinkan.
Sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha dan pergelangan kaki.
Sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, IP ibu jari dan pergelangan tangan.
Hasil laboratorium negatif adalah nilai yang kurang atau sama dengan batas atas ambang batas
9
normal;
positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari batas atas normal tapi sama atau kurang dari 3
kali nilai tersebut; positif tinggi adalah nilai yang lebih tinggi dari 3 kali batas atas. Jika RF hanya
diketahui positif atau negatif, maka positif harus dianggap sebagai positif rendah
Lamanya sakit adalah keluhan pasien tentang lamanya keluhan atau tanda sinovitis (nyeri, bengkak
atau nyeri pada perabaaan)
Diagnosis banding
Pada kasus dengan poliartritis inflamasi selain AR perlu dipertimbangkan
diagnosis banding seperti spondiloartropati seronegatif, misalnya artritis psoriatik,
artritis gout poliartikuler, lupus eritematosus sistemik, dan artritis reaktif. (1,3-6)
Penatalaksanaan
Evaluasi Awal Pasien
Apabila diagnosis AR telah ditegakan maka:
1). Tentukan aktivitas penyakit (LED, CRP, sinovitis), status fungsional,
masalah mekanik sendi, gejala ekstraartikular serta adanya kerusakan
radiologis pada sendi yang terlibat.
2). Apabila pasien AR akan mendapatkan DMARD, a). Lakukan pemeriksaan
laboratorium awal yaitu darah perifer lengkap, LED, CRP, RF atau ACPA,
fungsi hati dan ginjal karena beberapa obat DMARD bersifat toksik
terhadap hati dan ginjal. Sebaiknya pasien diperiksa serologi untuk hepatitis B
dan C terutama yang direncanakan untuk penggunaan MTX; b). Foto toraks
diperlukan untuk mendeteksi ada tidaknya infeksi (misalnya tuberkulosis
paru), karena beberapa jenis DMARD dapat berpotensi meningkatkan
kerentanan untuk mendapat infeksi, dan manifestasi ekstra artikular pada
paru; c).Pastikan wanita penderita AR yang akan memakai DMARD tidak
dalam keadaan hamil.
3). Karena kerusakan struktural tidak bisa diperkirakan hanya dari pemeriksaan
fisik saja maka harus dilakukan pemeriksaan rontgen tangan dan atau kaki.
Penatalaksanaan yang komprehensif meliputi pilar penatalaksanaan berikut.(1,3,8)
10
Tabel 2. Pilar penatalaksanaan (1)
Pilar Penatalaksanaan Artritis Reumatoid
1) Edukasi
2) Latihan / Program Rehabilitasi
3) Pilihan Pengobatan: 1. DMARD 2. Agen Biologik 3. Kortikosteroid 4. Obat
Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID).
4) Pembedahan
Penatalaksanaan AR dengan rekomendasi ‘treat to target’ (T2T) perbaikan
tahun 2014.
Berbagai studi telah menunjukan bahwa penatalaksanaan AR dengan
rekomendasi T2T lebih superior dibandingkan penatalaksanaan konvensional.
Dalam Penatalaksanaan AR dengan rekomendasi ‘treat to target’ (T2T) perbaikan
tahun 2014 secara umum ada 2, yaitu prinsip umum penatalaksanaan dan sasaran
penatalaksanaan.
Prinsip Umum Penatalaksanaan
1. Pengobatan AR harus didasarkan pada keputusan bersama antara pasien
dengan reumatologis. Pasien tak hanya diberikan penjelasan tentang pilihan
terapi yang dapat dipergunakan dan alasan-alasan dipergunakan suatu
pendekatan terapi tertentu dengan menimbang keuntungan dan kerugian,
tetapi pasien hendaknya juga diberikan peran dalam menetapkan pilihan terapi
mana yang akan dipilih. Perbaikan 2014 juga merekomendasikan keterlibatan
petugas kesehatan profesional, khususnya spesialis nurse.
2. Sasaran utama pengobatan pasien-pasien AR adalah memperpanjang
selama mungkin kualitas hidup yang baik dengan mengatasi keluhan,
mencegah kerusakan struktural, menormalkan fungsi dan kehidupan
sosialnya dan aktivitas terkait pekerjaan
3. Penekanan keradangan adalah cara yang penting untuk mencapai
sasaran tersebut. Prinsip ini berkaitan dengan kenyataan bahwa keradangan
pada AR berperan penting pada timbulnya keluhan dan gejala penyakit serta
berkaitan dengan prognosis.
11
4. Pengobatan diarahkan melalui penilaian aktivitas penyakit dan disesuaikan
berdasarkan hal tersebut untuk mencapai keberhasilan pengobatan yang
optimal
Selanjutnya ada 10 rekomendasi dari T2T dengan perbaikan 2014 terkait
target penatalaksanaan. Dimana sebelumnya akan dijelaskan bukti,
rekomendasi, persetujuan dan pengambilan suara terhadap 10 item tersebut
melalui tabel berikut.
Tabel 3. Evidence, grade of recommendation, agreement and votes for each
of the recommendations (as pertinent)(9)
Item Category of
Evidence
Grade of
recommendations
Level of
agreement
Percentage of
votes at last
ballot*
I 1b A 9.53±0.80 100
2 2c B 9.50±0.69 100
3 1b,4+ A,D 9.68±0.57 97
4 1b, 4V‡ A,D 9.26±1.13 97
5 4 D 9.18±1.09 67
6 1b, 4§ A,D 9.21±1.09 94
7 4 D 9.47±1.06 67
8 1b, 4¶ A,D 9.08±1.08 67
9 2c B 9.61±0.75 67
10 4 D 9.73±0.77 67
Sebagian besar item membutuhkan hanya satu suara dan tidak menjalani lebih dari dua
votings.
† 1b untuk bukti bahwa aktivitas rendah-penyakit adalah target pengobatan yang baik, tapi 4
karena pendapat ahli bahwa itu adalah tujuan alternatif untuk remisi.
‡ 1b untuk bukti bahwa penggunaan penilaian penting dibandingkan dengan
perawatan rutin, tetapi tidak ada penelitian besar telah membandingkan penilaian yang
termasuk jumlah sendi
dengan beberapa yang tidak; Oleh karena itu 4 untuk menghitung bagian sendi.
§1b untuk kebutuhan untuk menggunakan penilaian , 4 untuk beberapa komponen waktu
disebutkan.
¶1b untuk penyesuaian biasa yang sebagian besar dilakukan setiap tiga bulan, tapi 4 untuk
jadwal disebutkan, karena tidak ada perbandingan antara penyesuaian pada titik waktu yang
berbedayang telah dilakukan
12
Sasaran Penatalaksanaan
1. Sasaran utama pengobatan AR adalah suatu kondisi remisi klinis. Remisi
klinis secara konsisten telah menunjukkan hasil yang lebih baik daripada
kondisi aktivitas penyakit lainnya, bahkan aktivitas low disease. Sementara itu
juga, dua studi menargetkan DAS28 <2.6 dibandingkan dengan konvensional
bukan DAS28, satu pihak dengan AR dini dan satu pihak AR yang telah
berlangsung, menunjukkan keuntungan yang signifikan menargetkan kondisi
ini. Meskipun hal ini sulit dicapai. Beberapa ahli menilai hal ini dengan
frekuensi remisi yang diperoleh melalui suatu pengobatan.
2. Remisi klinis adalah tidak adanya keluhan dan tanda dari aktivitas
keradangan penyakit. Meskipun hilangnya keradangan tidak dapat ditemukan
pada seluruh sendi yang terkena, tetapi bengkaknya sendi pada 1 jari saja
dapat merupakan remisi. Kadar CRP juga perlu diperhitungkan dalam
menentukan adanya remisi.
3. Jika remisi total tidak dapat dicapai, aktivitas penyakit yang rendah dapat
diterima sebagai sasaran terapi terutama pada pasien yang sudah lama
menderita
4. Penggunaan cara penilaian aktivitas penyakit yang valid yang termasuk
penilaian pada sendi diperlukan dalam praktek sehari-hari untuk
mengarahkan cara pengobatan. Rekomendasi ini bergeser ke atas dari posisi
sebelumnya no.6 di tahun 2010. Perubahan ini memiliki dua alasan: pertama,
tampaknya lebih rasional untuk merujuk pada cara mengukur aktivitas
penyakit segera setelah mendefinisikan target terapi, yaitu remisi klinis atau
aktivitas penyakit yang rendah; kedua, membuat item ini lebih terlihat di
urutan rekomendasi mencerminkan keyakinan Task Force pentingnya
penilaian aktivitas penyakit rutin dengan metode yang tepat. Dalam
menentukan perubahan pengobatan, gangguan fungsi dan perubahan struktur
sendi juga harus menjadi dipertimbangkan. Bukti klinis telah menunjukan
secara konsisten hubungan antara jumlah sendi yang bengkak dengan penyakit
yang progresif.
13
5. Pemilihan penilaian aktivitas penyakit dan nilai target harus dipengaruhi oleh
komorbiditas, faktor pasien dan risiko terkait obat. Rekomendasi itu bergeser
dari posisi no. 9 tahun 2010 ke no.5. Sekali lagi, keputusan ini muncul atas
dasar pemikiran dan keinginan untuk memberikan sesuatu yang lebih
menonjol dan perhatian terhadap rekomendasi ini. Sejak kehadiran beberapa
penyakit penyerta, seperti penyakit jantung berat, diabetes yang tidak
terkontrol, atau gangguan fungsi ginjal atau hati, mungkin menghalangi upaya
untuk mengubah arah pengobatan untuk mencapai target pengobatan utama,
tujuan pengobatan mungkin harus berbeda pada pasien tersebut. Pengalaman
serupa berkaitan dengan kontraindikasi atau aspek keselamatan; jika pasien
menderita infeksi berulang, salah satu kemungkinan akan menahan diri dari
intensifikasi terapi untuk menghindari risiko terapi berlebihan. Dengan
demikian, secara keseluruhan, rekomendasi ini berkaitan terhadap pendekatan
personal dari strategi pengobatan, mengingat semua faktor yang berhubungan
dengan individu pasien.
6. Harus diperoleh data tentang aktivitas penyakit yang dicatat secara
regular, mungkin setiap bulan pada pasien yang mempunyai aktivitas
tinggi/sedang atau lebih jarang ( misal setiap 6 bulan) pada pasien dengan
aktivitas penyakit rendah atau remisi. Perubahan terhadap rekomendasi ini
hanya terkait perpindahan ke no.6 dari no.5 tahun 2010. Perubahan lain terkait
pernyataan “3-6 bulan” untuk kontrol pada pasien dengan aktivitas penyakit
rendah, pemeliharaan remisi menjadi tujuan penting. Namun interval 3 bulan
dirasa tidak semestinya pada populasi pasien, bahkan beberapa ahli rematologi
mempertimbangkan kontrol yang lebih jarang, dan 6 bulan menjadi pilihan
yang sesuai. Dalam berbagi pendapat dengan pasien adalah penting untuk
menasehati pasien untuk segera ke ahli rematologi meskipun belum waktunya
bila menemui kondisi yang tidak sesuai. Tanpa evaluasi rutin pasien akan
undertreated dan mungkin menghadapi fungsi dan struktur yang lebih buruk,
juga penyakit penyerta yang lebih banyak. Pasien yang pertama kali mencapai
remisi masih dalam kondisi rentan, sehingga interval kontrol yang lebih lama
hanya disarankan pada remisi yang sudah berkelanjutan. Durasi remisi
14
berkelanjutan belum jelas, 3 atau 6 bulan mungkin dianggap sebagai
persyaratan mutlak minimum.
7. Perubahan struktural dan gangguan fungsional serta komorbiditas harus
dipertimbangkan ketika membuat keputusan klinis, selain menilai aktivitas
penyakit. Penambahan kata “komorbiditas” kedalam rekomendasi T2T 2014
dengan perbaikan, adalah untuk memberi penegasan pentingnya
mempertimbangkan komorbiditas didalam membuat keputusan klinis. Harus
diingat bahwa gangguan fungsional pada pasien dengan AR mungkin tidak
hanya disebabkan karena penyakit sendi tetapi juga konsekuensi dari penyakit
penyerta; memang, bahkan pada pasien dengan remisi ketat mungkin
mengalami skor cacat yang tinggi sebagai akibat dari komplikasi penyakit
lain.
8. Sampai sasaran pengobatan yang diinginkan tercapai, obat-obatan
hendaknya disesuaikan minimal setiap 3 bulan. Berbagai uji klinik
menunjukkan bahwa manfaat klinik maksimal suatu pengobatan biasanya
diperoleh setelah 3 bulan. Dengan demikian jika pasien tidak memperoleh
minimal aktivitas penyakit rendah dalam 3 bulan sejak awal terapi, maka
terapi perlu ditinjau ulang.
9. Sasaran pengobatan yang diinginkan harus dipertahankan sepanjang
perjalanan sisa penyakit. Rekomendasi ini didasarkan pada pengamatan
bahwa berhentinya kerusakan sendi dan perbaikan dari fungsi fisik tergantung
dari pemeliharaan kondisi remisi klinis. Aspek kepatuhan terhadap terapi juga
harus dipertimbangkan karena ketidakpatuhan akan membuat pasien
mengalami flare hingga empat kali lebih sering daripada pasien yang patuh.
10. Ahli rematologi harus melibatkan pasien dalam menetapkan target
pengobatan dan strategi untuk mencapai target tersebut. Rekomendasi tidak
hanya telah disederhanakan, tetapi peran proaktif sekarang ditugaskan ke ahli
rematologi (sebelumnya: 'di bawah pengawasan ahli rematologi’). Tidak
hanya ahli rematologi, tetapi juga semua profesional kesehatan lainnya yang
merawat pasien dengan AR, diingatkan bahwa alasan untuk mengusulkan
target pengobatan tertentu dan sarana untuk mencapai hal ini seharusnya
dikomunikasikan tidak hanya benar untuk pasien, tetapi juga disepakati
15
dengan pasien, di sejalan dengan informasi masing-masing pada penyakit dan
manfaat dan risiko dari berbagai terapi. Memang, pasien memiliki berbagai
keyakinan yang berkaitan dengan terapi DMARD dan komunikasi yang tepat
memungkinkan pasien untuk membuat keputusan. Selain itu, kepatuhan
terhadap pengobatan telah jelas terbukti tergantung pada tingkat informasi dan
interaksi yang baik dengan rheumatologist tersebut. Dalam konteks ini, juga
harus menegaskan bahwa pasien dengan AR memerlukan perawatan
multidisiplin dan bahwa di banyak negara perawat praktisi /spesialis atau
profesional kesehatan lainnya mengambil peran yang sangat penting dalam
memberikan informasi dan pengelolaan pasien. Menawarkan perawatan yang
tersedia, atau mencoba untuk membangun itu, juga merupakan bagian dari
peran keseluruhan ahli rematologi tersebut. Item ini inheren terdiri dari semua
aspek rekomendasi saat ini, seperti pengaturan target terapi, sarana evaluasi
penyakit, obat yang dipilih dan terapi non-medis termasuk risiko mereka,
fokus pada komorbiditas dan faktor pasien lainnya, tindak lanjut semua proses
ini harus dipertimbangkan ketika ahli rematologi 'melibatkan' pasien.
Memang, suatu tantangan untuk menjelaskan kepada pasien yang aktivitas
penyakitnya telah meningkat secara signifikan dan bahwa terapi harus
diintensifkan-dan rekomendasi ini dan terutama mereka versi pasien mungkin
akan membantu untuk tujuan ini. Program edukasi yang mendukung proses ini
perlu disebarluaskan. (2,9-14)
Penatalaksanaan
Edukasi
Penjelasan penyakit dan diet. Edukasi pasien meliputi mengenai penyakit AR,
sasaran pengobatan, pilihan pengobatan dan bagaimana pasien bisa membantu
keberhasilan pengobatan. Meskipun tidak ada bukti nyata tentang pengaruh diet
pada pasien AR. Beberapa ahli menyarankan untuk makan sayuran, buah dan ikan
serta mengurangi komsumsi lemak/daging merah. (1-3,9-11,15)
16
Latihan/Program Rehabilitasi
Pada saat diagnosis AR ditegakan maka program latihan fisik aerobik bisa
direkomendasikan. Latihan fisik harus disesuaikan secara individual berdasarkan
kondisi penyakit dan komorbiditas yang. Latihan aerobik dapat dikombinasikan
dengan latihan penguatan otot (regio terbatas atau menyeluruh), dan latihan
untuk kelenturan, koordinasi dan kecekatan tangan serta kebugaran tubuh
Mengurangi nyeri dalam jangka pendek yaitu terapi fisik TENS
(transcutaneous electrical nerve stimulation) dan laser kekuatan rendah. Terapi
lain adalah kombinasi parafin (termoterapi) dan latihan aktif. Penggunaan
ultrasound, muscular electro stimulation dan magnetotherapy masih belum cukup
bukti untuk bisa digunakan secara rutin, tetapi bisa dipertimbangkan pada kasus-
kasus tertentu yang tidak respon dengan terapi lainnya
Pada penderita AR stadium lanjut perlu diberi penjelasan tentang cara-
cara proteksi sendi. Penggunaan alat bantu perlu dipertimbangkan pada
penderita yang memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Pada periode inflamasi aktif maka ortotik statis dapat digunakan (pertama selama
sehari penuh dan sesudahnya hanya pada malam hari. Kegunaannya seharusnya
dievaluasi secara periodik, dan ortotik yang tidak memberi manfaat sebaiknya
tidak digunakan. Upaya terapi psikologis (misalnya relaksasi, mengatasi stress
dan memperbaiki pandangan hidup yang positif) dapat membantu pasien AR
menyesuaikan hidup dengan kondisi mereka.(1,3-6,16)
Pilihan Pengobatan
Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARDs)
Obat-obatan yang mempengaruhi proses perjalanan AR disebut sebagai
“Slow Acting Anti Rheumatic Drugs” (SAARD) atau dikenal DMARDs. memiliki
potensi untuk mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan integritas dan
fungsi sendi dan pada akhirnya mengurangi biaya perawatan dan
meningkatkan produktivitas pasien AR. Semua DMARDs memiliki beberapa ciri
yang sama yaitu bersifat relatif slow acting yang memberikan efek setelah 1-6
17
bulan pengobatan kecuali agen biologik yang efeknya lebih awal. Ada dua cara
pendekatan pemberian DMARDs pada pasien AR. Pertama, DMARDs tunggal
yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Kedua,
DMARDs kombinasi dua atau lebih secara simultan seperti penggunaan obat-
obatan imunosupresif pada penyakit keganasan.
Prinsip penggunaan DMARDs :
1. Semua AR yang diagnosisnya sudah tegak harus mendapatkan DMARDs
sedini mungkin kecuali ada kontra indikasi. Idealnya dalam waktu 3 bulan
sejak timbulnya gejala.
2. Penggunaan DMARD pada pasien yang hamil. Sebagian besar pasien AR
akan membaik selama kehamilan. Tetapi kemudian terdapat risiko terjadi
kekambuhan pada saat postpartum. Tidak didapatkan peningkatan kejadian
abortus atau kematian ibu hamil dengan AR. Sebagian besar obat-obat
yang digunakan pada pengobatan AR (DMARDs) belum terbukti
keamananya sehingga tidak bisa diberikan pada kehamilan. Studi pada
pasien SLE, klorokuin dan azatioprin dapat diberikan pasien yang hamil
sehingga obat tersebut dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien
AR yang hamil. Kortikosteroid merupakan obat yang dapat
dipertimbangkan untuk digunakan pada wanita hamil dengan AR, tetapi
perlu penilaian lebih cermat mengenai manfaat dan risikonya sebelum
memberikan obat ini.
3. Pemilihan jenis DMARDs ditentukan oleh 3 faktor
a. Faktor obat: efektivitasnya, kemudahan pemberian, sistem monitoring,
waktu yang diperlukan sampai obat memberikan khasiat, kemungkinan
efek samping dan yang tidak kalah penting adalah biaya pengobatan.
b. Faktor pasien: kepatuhan pasien, komorbiditas, beratnya penyakit dan
kemungkinan prognosisnya.
c. Faktor dokter: kompetensi dalam pemberian dan monitoring obat.
18
Memulai dan menghentikan DMARDs
Sebelum memulai pengobatan dengan DMARDs harus dilakukan pemeriksaan
untuk menyingkirkan adanya TB. (tes tuberculin dan foto toraks; jika
ada keraguan dapat dikonsulkan dengan bagian paru).
Pertimbangkan pengobatan jangka pendek dengan glukortikoid (oral,
intramuskular atau intra-artikular) untuk memperbaiki gejala secara cepat
pada pasien AR baru terdiagnosa jika mereka belum menerima glukokortikoid
sebagai bagian dari terapi kombinasi DMARD.
Pada pasien dengan recent onset RA yang menerima terapi kombinasi
DMARD dan yang bertahan dengan hasil yang memuaskan, kurangi dosis
obat dengan hati-hati ke tingkat yang masih dapat mempertahankan kontrol
penyakit.
Pada pasien AR yang baru terdiagnosis dimana terapi kombinasi DMARDs
tidak dapat diberikan (misalnya karena penyakit penyerta atau
kehamilan), mulai monoterapi DMARD dengan penekanan pada peningkatan
yang cepat hingga dosis klinis efektif.
Pada pasien AR yang kondisi penyakitnya stabil, kurangi dosis obat DMARD
atau agen biologik dengan hati-hati. Segera kembali ke dosis penuh pada tanda
pertama timbulnya kekambuhan.
Ketika memulai obat baru untuk memperbaiki pengendalian penyakit pada
rejimen pengobatan pasien AR, pertimbangkan mengurangi atau
menghentikan obat DMARD yang sudah ada saat penyakit telah dapat
dikendalikan.
Pada setiap pasien AR dimana dosis obat DMARDs non biologik atau
biologik sedang diturunkan atau dihentikan, harus disiapkan review dini.
Mengingat banyaknya pertimbangan dalam pemberian DMARDs ini, maka
konsultasi dengan konsultan reumatologi sangat penting pada saat akan
memulai pemberian DMARDs (1,3,8,16-18)
Agen biologik. Dengan ditemukannya agen biologik yang baru maka timbul
harapan adanya kontrol terhadap penyakit AR. Semakin banyak bukti yang
menunjukan efikasi agen biologik yang lebih baik pada pengobatan AR, akan
tetapi respon pasien dan adanya efek samping obat dapat berbeda-beda. Beberapa
19
agen biologik adalah: 1) Anti TNF-∂ (Etanercept, Infliximab, Golimumab). TNF-
∂ adalah sitokin pro inflamasi yang diproduksi oleh makrofag dan limfosit dalam
jumlah besar dalam sendi pasien AR yang diproduksi secara lokal oleh sel
makrofag dan limfosit yang menginfiltrasi ruang sinovial. Sehingga hambatan
TNF-∂ sangat berguna secara klinis dalam pengobatan AR; 2) Anti CD20
(Rituximab). Pentingnya peran sel limfosit B pada proses inflamasi kronik telah
dibuktikan melalui observasi terapi dengan antibodi monoklonal terhadap marker
sel B, CD 20, menyebabkan deplesi yang cepat dari limfosit B, penurunan titer
serum faktor reumatoid, dan perbaikan parsial tanda dan gejala peradangan; 3)
Anti IL-6R (Tocilizumab). Sitokin IL-1 dan TNF memainkan peran penting untuk
memicu sel pannus menghasilkan kolagen dan enzim proteolitik yang merusak
tulang rawan secara lokal dan menghambat pembentukan molekul matrik baru.
Dua sitokin tersebut bersama IL-6 juga berperan dalam dimineralization dari
tulang yang berperan dalam aktivasi osteoklast yang berakumulasi pada daerah
lokal resorpsi tulang, sehingga hambatan terhadap IL-6 ini dapat memberikan
hasil yang baik dalam pengelolaan AR. Dan beberapa yang belum beredar di
Indonesia yaitu, anti CTLA-4 (abatacept), anti TNF-∂ (adalimumab,
certolizumab), anti IL-1(anakinra) dan tofacitinib (1,3-6,8)
Kortikosteroid. Kortikosteroid oral dosis rendah/sedang ( dosis rendah <7,5
mg/hari dan sedang 7,5-30 mg/hari) bisa menjadi bagian dari pengobatan AR.
Hindari pemberian bersama OAINS sambil menunggu efek terapi dari
DMARDS. Kortikosteroid diberikan dalam jangka waktu sesingkat mungkin dan
dosis serendah mungkin yang dapat mencapai efek klinis. Pemberian
kortikosteroid bersama DMARDs dapat menurunkan LED dan CRP lebih cepat,
meningkatkan fungsi mobilisasi serta mengurangi progresi erosi sendi (1,3-6,19)
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). Diberikan dengan dosis efektif
serendah mungkin dalam waktu sesingkat mungkin untuk mengatasi nyeri
sendi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang
bermakna. Perlu diingatkan bahwa OAINS tidak mempengaruhi perjalanan
penyakit ataupun mencegah kerusakan sendi. Efek berbagai jenis OAINS
tergantung respon individu.Efek samping terutama keluhan gastrointestinal(1,3-6)
20
Tabel 4. DMARDs yang dipergunakan pada AR (1,3,8)
DMARDs Mekanisme Dosis Efektiv
itas
Efek
samping
Persiapan
monitoring
Kloroquin Menghambat lisosom
dan pelepasan IL-1
6,5
mg/kgbb/h
ari (200-
400 mg)
+ Jarang,
kerusakan
makula
Pemeriksaan mata
pada awal
pengobatan,
selanjutnya setiap 1
tahun
Sulfazalasin Menghambat
angiogenesis dan
migrasi PMN
2x500
mg/hari
ditingkatka
n sampai
3x1000 mg
++ Supresi
sumsum
tulang
Awal pengobatan:
G6PD, darah perifer
tiap 4 minngu
selama 3 bulan
selanjutnya tiap 1
bulan, fungsi hati di
cek 1 bulan
selanjutnya tiap 3
bln
Metotreksat Menurunkan
kemotaksis PMN dan
pengaruhi sintesa
DNA
7,5–25
mg/mingg
u
+++ Fibrosis
hati,
pneumonia
interstisiel
dan supresi
sumsum
tulang
Awal: rontgen
thorak, fungsi hati,
darah tepi lengkap,
kreatinin.
Selanjutnya darah
tepi dan fungsi hati
tiap bulan
Leflunomide Menghambat enzim
dihidroorotat
dehidrogenase,
sehingga pembelahan
sel limfosit T auto
reaktif menjadi
terhambat
Loading
dose 100
mg/hari
selama 3
hari,
selanjutnya
20 mg/hari
+++ Diare,alop
ecia,rash,
sakit
kepala,
secara
teoritisberi
siko
infeksi
karena
imunosupr
esi
Darah tepi lengkap,
fungsi hati dan
ginjal
21
Tabel 4. DMARD Biologik untuk pengobatan Artritis Reumatoid (1,3,8)
Obat Mekanisme Dosis Waktu
Timbulnya
Respon
Efek samping Monitoring
Etanercept Anti
TNF-α
25 mg sc
2x/minggu atau
50 mg sc/minggu
2-12
minggu
Infeksi, TB,
demielinisasi
saraf
TB, jamur,
infeksi lain;
TT, DPL,
TFH saat awal
lalu tiap 2-3
bulan
Infliximab Anti
TNF-α
3 mg/kg iv
pada minggu
0,2, & 4,
kemudian
tiap8minggu
2-12
minggu
Infeksi, TB,
demielinisasi
saraf
TB,
demielinisasi
saraf TB, jamur,
infeksi lain; TT,
DPL, TFH saat
awal lalu tiap 2-
3 bulan
Golimumab Anti TNF-
α
50 mg im tiap
4 minggu
2-12
minggu
Infeksi, TB,
demielinisasi
saraf
TB, jamur,
infeksi lain; TT,
DPL, TFH saat
awal lalu tiap 2-
3 bulan
Rituximab Anti CD20 1000 mg iv
pada
hari 0, 15
12 minggu Reaksi infus,
aritmia, HT,
infeksi,reaktivasi
hepatitis B
TB, jamur,
infeksi lain; TT,
DPL, TFH saat
awal lalu tiap 2-
3 bulan
Tocilizumab Anti Il-6R 8 mg/kg iv tiap 4 2 minggu Infeksi, TB, HT,
gangguan fungsi
hati
TB, jamur,
infeksi lain;
TT, DPL, TFH,
profil
lipid saat awal
lalu tiap
2-3 bulan
TB = tuberculosis, TT= tes tuberculin, DPL =darah perifer lengkap, TFH=tes fungsi hati, HT=
hipertensi
22
Gambar 2. Rekomendasi penggunaan DMARD sintetis dan biologik pada pasien
AR (bDMARD = biologic DMARD) (1,3,8).
Pembedahan. Memainkan peran yang penting pada kerusakan sendi yang berat.
Pasien yang mengalami nyeri yang terus menerus yang tidak dapat dikendalikan
dengan obat juga perlu dikonsultasikan dengan spesialis bedah. Operasi
dianjurkan jika nyeri persisten/ gangguan fungsi akibat kerusakan sendi dan
jaringan ikat, deformitas progresif dan sinovitis lokal yang menetap. Pasien
23
dirujuk juga jika didapatkan ruptur tendon, kompresi saraf dan stress fracture.
(1,3-6,20).
Pemantauan Pengobatan
Pengobatan pasien AR memerlukan pemantuan aktivitas penyakit yang
baik melalui evaluasi klinis maupun laboratorium dengan menggunakan skor
seperti Disease Aktivity Score 28 (DAS28) atau kriteria remisi dari ACR 1987.
Pengukuran LED atau CRP merupakan kunci untuk pemantauan penyakit.
(1,2,9,20)
Tabel 6. Nilai ambang batas aktivitas penyakit Artritis Reumatoid berdasarkan
nilai Disease Aktivity Score (DAS28) (1)
Aktivitas penyakit Nilai DAS28-LED Nilai DAS28-CRP
Remisi ≤ 2,6 ≤ 2,3
Rendah ≤ 3,2 ≤ 2,7
Sedang > > 3,2 s/d ≤ 5,1 >2,7 s/d ≤ 4,1
Tinggi > 5,1 > 4,1
Kriteria AR menurut ACR 1987 dikatakan dalam remisi klinis apabila :
1. Lama keluhan kaku sendi tidak lebih dari 15 menit
2. Tanpa keluhan kelelahan
3. Tanpa keluhan nyeri sendi
4. Tanpa adanya tenderness atau nyeri gerak sendi
5. Tanpa ada pembengkakan jaringan sekitar sendi
6. LED (cara Westergren) kurang dari 20 mm pada pria dan kurang dari 30
mm pada wanita
Disebut remisi bila memenuhi 5 atau lebih kriteria diatas dan berlangsung selama
2 bulan atau lebih secara terus-menerus (1,20).
Daftar pustaka
1. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan
pengelolaan Artritis Reumatoid. Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta Pusat 2014:pp 1-22
24
2. Smolen Josef S, Aletaha Daniel, Bijlsma Johannes W J, Breedveld Ferdinand
C, Boumpas Dimitrios, Burmester Gerd et al. Treating rheumatoid arthritis to
target: recommendations of an international task force. Ann Rheum Dis
2010;69:631–637
3. Daud Rizasyah. Artritis Reumatoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jakarta: Internal Publishing 2010;pp.1184-1191
4. Hellmann David B., Imboden John B. Rheumatoid Arthritis In Current
Medical Diagnosis and Treatment 52nd Edition. New York:The McGraw-Hill
Companies, Inc 2013;pp.826-831
5. Longo Dan L, Kasper Dennis L, Jameson J. Larry, et al. Rheumatoid Arthritis
in Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th edition. New York:The
McGraw-Hill Companies, Inc 2012; pp.314
6. Scott David L, Wolfe Frederick, Huizinga Tom W J. Rheumatoid arthritis.
Lancet 2010; 376: 1094–1108
7. Barnabe Cheryl, Xiong Juan, Pope Janet E., Boire Gilles, Hitchon Carol,
Haraoui Boulos, Thorne J. Carter, et al. Factors associated with time to
diagnosis in early rheumatoid arthritis. Rheumatol Int 2014;34:85–92
8. Smolen Josef S, Landewé Robert, Breedveld Ferdinand C, Buch Maya,
Burmester Gerd, Dougados Maxime, et al. EULAR recommendations for the
management of rheumatoid arthritis with synthetic and biological disease-
modifying antirheumatic drugs: 2013 update. Ann Rheum Dis 2013;0:1–18
9. Smolen Josef S, Breedveld Ferdinand C, Burmester Gerd R, Bykerk Vivian,
Dougados Maxime, Emery Paul et al. Treating rheumatoid arthritis to target:
2014 update of the recommendations of an international task force. Ann
Rheum Dis 2015;0:1–13
10. Schoels Monika, Knevel Rachel, Aletaha Daniel, Bijlsma Johannes W J,
Breedveld Ferdinand C, Boumpas Dimitrios T, Gerd Burmeste, et al. Evidence
for treating rheumatoid arthritis to target: results of a systematic literature
search. Ann Rheum Dis 2010;69:638–643
11. Wit M P T de , Smolen J S , Gossec L , Heijde D M F M van der.
Treating rheumatoid arthritis to target: the patient version of the
25
international recommendations. Ann Rheum Dis 2011 doi:
10.1136/ard.2010.146662
12. Haraoui Boulos, Smolen Josef S, Aletaha Daniel, Breedveld Ferdinand C,
Burmester Gerd, Codreanu Catalin , et al. Treating Rheumatoid Arthritis to
Target: multinational recommendations assessment questionnaire. Ann Rheum
Dis 2011. doi:10.1136/ard.2011.154179
13. Ruderman Eric M., Nola Kamala M., Ferrell Stanley, Sapir Tamar, Cameron
Davecia R .Incorporating the Treat-to-Target concept in Rheumatoid Arthritis.
JMCP 2012; 18(9): 1-17
14. Harrold Leslie R, Reed George W, Harrington J Timothy, Barr Christine J,
Saunders Katherine C, Gibofsk Allan. The rheumatoid arthritis treat-to-target
trial: a cluster randomized trial within the Corrona rheumatology network.
BMC Musculoskeletal Disorders 2014,15:389
15. Marloes Vermeer, Hillechiena H Kuper, Hein J Bernelot Moens, Monique
Hoekstra, Marcel D Posthumus, Piet LCM van Rie. Adherence to a treat-to-
target strategy in early rheumatoid arthritis: results of the DREAM remission
induction cohort. Arthritis Research & Therapy 2012,14:R254
16. Bingham Clifton, Ruffing Victoria. Rheumatoid Arthritis Treatment. 2014.
site by: www.hopkins-arthritis.org
17. Harrold Leslie R, Reed George W, Barr Christine J, Saunders Katherine C,
Gibofsky Allan, Jeffrey Greenberg D, et al. The rheumatoid arthritis treat-to-
target trial: a cluster randomized trial within the Corrona rheumatology
network. BMC Musculoskeletal Disorders 2014, 15:389 doi:10.1186/1471-
2474-15-389
18. Saeki Yukihiko, Matsui Toshihiro, Saisho Koichiro, Tohma Shigeto. Current
treatments of rheumatoid arthritis: from the ‘NinJa’ registry. Expert Rev. Clin.
Immunol 2012;8(5):455–465
19. Duru N, Goes M C van der, Jacobs J W G, T Andrews, Boers M, Buttgereit F,
Caeyers N, Cutolo M, et al. EULAR evidence-based and consensus-based
recommendations on the management of medium to high-dose glucocorticoid
therapy in rheumatic diseases. Ann Rheum Dis 2013;0:1–9
26
20. Lipsky Peter E. Rheumatoid Arthritis in Harrison’s Rheumatology second
edition. New York:The McGraw-Hill Companies, Inc 2010; pp.94