tinjauan pustaka (repaired)

123
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar bela Acute Flaccid Paralisis (AFP) bukan merupakan diagnosis suatu penyakit tetapi penyakit apapun yang mempunyai gejala lumpuh-layu akut pada saat ditemukan tanpa memperhatikan penyebab kecuali ruda paksa (benturan). (1) Kelumpuhan secara acutea dalah perkembangan kelumpuhan yang berlangsung cepat antara 1-14 hari sejak terjadinya gejala awal (nyeri, kesemutan, rasa kebas) sampai kelumpuhan maksimal. (1) Kelumpuhan Flaccid adalah kelumpuhan yang bersifat layu/ lemas/ tonus otot menurun atau hilang sehingga kekuatan otot menurun (paresis) atau tidak ada kekuatan otot (paralysis). (1) Acute Flaccid Paralysis adalah setiap paralisis yang disertai dengan hilangnya tonus otot dan tidak adanya 1

Upload: angga-mahayasa

Post on 12-Dec-2015

221 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

bbb

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Pustaka (Repaired)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Acute Flaccid Paralisis (AFP) bukan merupakan diagnosis suatu penyakit

tetapi penyakit apapun yang mempunyai gejala lumpuh-layu akut pada saat

ditemukan tanpa memperhatikan penyebab kecuali ruda paksa (benturan).

(1)Kelumpuhan secara acutea dalah perkembangan kelumpuhan yang berlangsung

cepat antara 1-14 hari sejak terjadinya gejala awal (nyeri, kesemutan, rasa kebas)

sampai kelumpuhan maksimal.(1)Kelumpuhan Flaccid adalah kelumpuhan yang

bersifat layu/ lemas/ tonus otot menurun atau hilang sehingga kekuatan otot

menurun (paresis) atau tidak ada kekuatan otot (paralysis).(1)

Acute Flaccid Paralysis adalah setiap paralisis yang disertai dengan hilangnya

tonus otot dan tidak adanya refleks tendo pada bagian yang mengalami paralisis

dengan pola perjalanan penyakit yang singkat dan relatif berat. (2)Kasus AFP

adalah setiap kelemahan atau kelumpuhan yang bersifat flaccid yang terjadi

secara akut pada anak usia kurang dari 15 tahun dan bukan karena trauma.(1)

ICD 10 menetapkan 16 kriteria diagnosis penyakit yang digolongkan sebagai

kasus AFP, yaitu poliomyelitis, polioencephalitis, guillain-barre syndrome (GBS),

transverse myelitis, paraplegia, diplegia, monoplegia-upper, monoplegia lower,

quadriplegia/tetraplegia, plegia-unspecified, plegia-other, flaccid muscie

1

Page 2: Tinjauan Pustaka (Repaired)

paralysis, transient paralysis of a limb, myelitis-postvaccinal, mononeuritis-upper

limb, mononeuritis-lower limb.(3)Berdasarkan data WHO di kawasan Asia yaitu

data Negara peserta SEARO, New Delhi, 2013 yang di publikasikan pada tanggal

5 Februari 2014, yaitu India, Nepal, Myanmar, Indonesia, Bangladesh dan

Thailand total kasus AFP adalah 59.221,dengan jumlah kasus AFP di Indonesia

sebesar 1902. Total kasus AFP non-polio di tahun 2013 adalah sebesar 56.183

penderita, dengan jumlah kasus tertinggi di Negara India yaitu sebesar 51.800 dan

Indonesia berada pada urutan kedua yaitu dengan jumlah kasus 1824.(4)

Profil kesehatan NTT tahun 2012 melampirkan bahwa jumlah kasus AFP

pada tahun 2013 adalah sebesar 69 kasus. Ditjen. PP & PL Kementerian

Kesehatan telah menetapkan indikator surveilans AFP yaitu ditemukannya Non

Polio AFP Rate minimal sebesar 2/100.000 anak usia< 15 tahun. Provinsi NTT

dengan Non Polio AFP Rate pada tahun 2010 sebesar 1,5 per 100.000 anak usia <

15 tahun, sedangkan pada tahun 2011 sebesar 4,4 per 100.000 anak usia < 15

tahun, dan pada tahun 2012 sebesar 3,9 per 100.000 anak usia < 15 tahun, ini

berartiNTT pada tahun 2012 sudah memenuhi target nasional yakni Non Polio

AFP Rate ≥ 2 per 100.000 usia di bawah 15 tahun.(5)

Dalam dunia kesehatan dikenal tiga pilar pilar utama dalam meningkatkan

kesehatan masyarakat yaitu preventif, kuratif dan rehabilitatif. Imunisasi

merupakan unsur utama dalam preventif atau pencegahan.(6) Imunisasi merupakan

induksi imunitas. Imunisasi dibagi atas dua yaitu imunisasi aktif dan pasif. (2)

2

Page 3: Tinjauan Pustaka (Repaired)

imunisasi adalah cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu

penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit tersebut ia tidak akan

menjadi sakit. Kekebalan yang diperoleh dari imunisasi dapat berupa kekebalan

pasif maupun aktif. Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit

tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok

masyarakat (populasi), atau bahkan menghilangkanya dari dunia seperti pada

keberhasilan imunisasi cacar variola.(6) Terdapat lima imunisasi wajib yang harus

diberikan pada anak yaitu imunisasi Polio, Campak, Hepatitis B, BCG dan DPT

tetapi berdasarkan jadwal Imunisasi IDAI 2011 tidak dibedakan lagi mana

imunisasi wajib dan imunisasi tidak wajib karena semuanya penting untuk

menurunkan angka perkembangan penyakit berdasarkan IDAl 2011 imunisasi-

imunisasi yang harus diberikan adalah imunisasi Hepatitis B, Polio, BCG, DPT,

Hib, PCV, Rotavirus, Influenza, Campak, MMR, Tifoid, Hepatitis A,Varizela dan

HPV.(7)

Pedoman imunisasi di Indonesia menjelaskan bahwa oral polio virus (OPV)

merupakan vaksin yang aman dan efektif tetapi kandungan vaksin berupa virus

hidup yang dilemahkan sehingga dapat mengakibatkan 1 kelumpuhan untuk

setiap 3 juta dosis, baik pada anak yang di vaksin atau orang di sekitarnya.(6)

menurut data dari IDAI kejadian pasca ikutan imunisasi hepatitis B jarang terjadi.

Segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak terlalu tinggi dan pada

tempat suntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri

sendi.(6) Tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Luiz Fernando

3

Page 4: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Fonseca et al menjelaskan bahwa akut tranverse myelitis dapat terjadi akibat

pemberian vaksin hepatitis B dan infeksi saluran pernapasan. Hal ini terjadi pada

anak usia tiga tahun yang menderita transverse myelitis akut setelah mendapatkan

imunisasi hepatitis B. (8) Selain itu berdasarkan penelitian Joerg-Patrick Stubgen

mengatakan bahwa terjadi immune-mediated myelitis yang terjadi setelah

pemberian vaksin hepatitis B.(9)

Mark R. Geier et al menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara

pemberian vaksin influenza(10) dan vaksin hepatitis B(6) terhadap kejadian Guillain

Barre Syndrome (GBS).(10) Selain itu berdasarkan data Kejadian Ikutan Pasca

Imunisasi (KIPI) GBS juga dapat disebabkan oleh imunisasi DPT (DT/Td/TT). (6)

Poliomyelitis, Tranverse Myelitis dan GBS merupakan tiga penyakit utama yang

menyebabkan terjadinya AFP pada anak di bawah 15 tahun sehingga

menyebabkan kelumpuhan permanen atau bahkan kematian.

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan atau kogntif

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang

(overt behaviour). Rendahnya pengetahuan ibu tentang kejadian pasca imunisasi

bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya AFP pada anak yang terjadi justru

pasca imunisasi. Hal ini berdasarkan observasi yang peneliti lakukan pada

beberapa ibu yang anaknya menderita AFP padahal anaknya telah dimunisasi.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada tahun Januari 2013

4

Page 5: Tinjauan Pustaka (Repaired)

sampai April 2014 terdapat 20 kasusAFP yang tersebar di beberapa kecamatan,

yaitu : 10 kasus di Kecamatan Bajawa, 1 kasus di Kecamatan Aimere, 3 kasus di

kecamatan Golewa, 4 kasus di Kecamatan Bajawa utara, 1 kasus di kecamatan

Riung dan 1 kasus di Kecamatan Soa.(11)

Berdasarkan data di atas peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Analisa Pengaruh Pemberian Imunisasi dan Tingkat Pengetahuan Ibu

terhadap Kejadian AFP di Kabupaten Ngada Tahun 2014”

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan permasalahan sebagai berikut

apakah terdapat hubungan antara pemberian imunisasi dan pengetahuan ibu

terhadap kejadian AFP di Kabupaten Ngada?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 tujuan umum

Menganalisa hubungan pemberian imunisasi dan tingkat pengetahuan ibu

terhadap kejadian AFP di kabupaten Ngada

1.3.2 tujuan khusus

a. Mengidentifikasi komponen-komponen imunisasi yang dapat

menyebabkan AFP pada anak

b. Mengindentifikasi pengetahuan ibu terhadap gejala ikutan pasca imunisasi

pada anak

c. Mengidentifikasi faktor resiko utama yang menyebabkan AFP

d. Mengetahui karakteristik setiap diagnosa yang digolongkan AFP

e. Mengetahui persentase derajat AFP di Kabupaten Ngada

5

Page 6: Tinjauan Pustaka (Repaired)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi ilmu kedokteran khususnya kedokteran tropis dan kedokteran

anak

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberikan suatu diagnosa kasus yang

tepat dalam bidang kedokteran anak dan penyakit tropis khususnya yang

berhubungan dengan AFP

1.4.2 Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada dan dinas Kesehatan Propinsi

Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dalam pengambilan

kebijakan suatu program kesehatan terutama dalam menangulangi penyakit

infeksi di Kabupaten Ngada dan di daerah seluruh NTT khususnya AFP

1.4.3 Masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Ngada

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi dan bahan

pengajaran untuk masyarakat agar semakin waspada terhadap penyakit AFP.

1.5

6

Page 7: Tinjauan Pustaka (Repaired)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Acute flaccid paralysis (AFP)

I. Pengertian

Acute Flaccid Paralisis (AFP) bukan merupakan diagnosis suatu penyakit

tetapi penyakit apapun yang mempunyai gejala lumpuh- layu akut pada saat

ditemukan tanpa memperhatikan penyebab kecuali ruda paksa (benturan).

(1)Kelumpuhan secara acute adalah perkembangan kelumpuhan yang

berlangsung cepat antara 1-14 hari sejak terjadinya gejala awal (nyeri,

kesemutan, rasa kebas) samapai kelumpuhan maksimal.(1)Kelumpuhan

Flaccid adalah kelumpuhan yang bersifat layu/ lemas/ tonus otot menurun

atau hilang sehingga kekuatan otot menurun (paresis) atau tidak ada kekuatan

otot (paralysis).(1)

Acute flaccid paralysis (AFP) atau lumpuh layu akut adalah setiap

paralisis yang disertai dengan hilangnya tonus otot dan tidak adanya refleks

tendon pada bagian yang mengalami paralisis dengan pola perjalanan penyakit

yang singkat dan relatif berat. (2) Kasus AFP adalah setiap kelemahan atau

kelumpuhan yang bersifat flaccid yang terjadi secara akut pada anak usia

kurang dari 15 tahun dan bukan karena ruda paksa(benturan).(1)

7

Page 8: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Berdasarkan data SEARO New Delhi pada tahun 2013 jumlah penderita

AFP non-polio adalah 1824 dan jumlah penderita terendah adalah pada

bulan desember sebanyak 73 penderita. (4)Dapat dilihat pada

table 1 : data Searo-India tentang kasus AFP di Indonesia 2013

WHO dalam upaya menanggulangi kasus AFP telah mengeluarkan

beberapa protocol untuk setiap Negara dalam melakukan survey AFP di

Negara masing-masing. Dalam hal ini dilampirkan contoh protokol

survailans yang digunakan oleh Negara Malaysia untuk melakukan

pengawasan terhadap perkembangan kasus AFP.(12)

8

Page 9: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Table 2 : protocol for AFP surveillance in Malaysia

II. Etiologi(13)

AFP merupakan kumpulan gejala tetapi bukan merupakan diagnosis

akhir penyakit. AFP dapat disebabkan oleh beberapa agent yaitu enterovirus

(termasuk poliovirus), echovirus, edenovirus, West Nile virus, campylobacter

spp.

AFP juga dapat disebabkan oleh tranverse myelitis, neuropati perifer,

meningitis non-bakterial akut, abses otak, sindrom China,porphyria dan

botulism.

III. Mode Transmisi dan Periode inkubasi(13)

Berdasarkan agent penyebab

9

Page 10: Tinjauan Pustaka (Repaired)

IV. Perjalanan klinis AFP(14)

Perjalanan klinis AFP dimulai dengan anak yang kesulitan berjalan

padahal pada awalnya anak tersebut dapat berjalan tanpa ada riwayat trauma

tungkai yang terjadi pada anak dibawah 15 tahun.

Karakteristik utama dari AFP berhubungan dengan polio paralisis yang

bersifat asimetris (tidak menyebabkan kelumpuhan kedua tungkai), yang

merusak beberapa otot, gejala ini biasanya didahului oleh demam.

kesulitan berjalan dapat disebabkan oleh 3 kerusakan, yang dapat dilihat

pada tabel di bawah ini :

10

Page 11: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Bagan 1 : bagan perjalanan klinis penyakit AFP

V. Diagnosis dan test laboratorium(13)

Konfirmasi klinik merupakan onset akut dari kelumpuhan fokal atau

paralisis yang digolongkan sebagai flaccid tanpa ada penyebab lain terutama

trauma yang terjadi pada anak di bawah 15 tahun. AFP merupakan gejala

yang bisa disebabkan oleh beberapa patogen. Uji laboratorium digunakan

untuk menentukan penyebab terjadinya AFP, sampel yang digunakan berupa :

11

Page 12: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Sampel tinja

Pengumpulan tiga sampel tinja dan apusan pharing dua minggu

sampai enam minggu setelah terjadinya paralisis. Pengumpulan

sampel ini bertujuan untuk melihat apakah kelumpuhan tersebut

disebabkan oleh virus atau campylobacter.

Sampel serum

Harus dikumpulkan segera mungkin untuk test serologis polio.

Sampel serum yang kedua harus dikumpulkan dua minggu setelah

pasien mengalami fase akut paralisis, atau satu bulan setelah pasien

berada pada fase penyembuhan. Sampel yang dikumpulkan

bertujuan untuk melakukan test titer antibodi Poliovirus dengan

menggunakan neutralization testing.

Apusan nasopharing, apusan tenggorokan, dan cairan

cerebrospinalis

MRI, CT-scan, uji konduksi nervus,dan elektromyografi untuk

pemeriksaan neurologi

VI. Pembagian AFP

A. poliomyelitis

1. Pengertian

Poliomyelitis adalah penyakit infeksi akut yang terjadi secara sporodis

atau endemik dan yang disebabkan oleh virus, biasanya polio virus tetapi

kadang oleh coxsackievirus atau echovirus. Penyakit ini secara klinis

12

Page 13: Tinjauan Pustaka (Repaired)

ditandai dengan demam, sakit tenggorokan, sakit kepala dan muntah, yang

seringkali disertai kekakuan pada leher dan punggung.(2) virus polio adalah

RNA rantai tunggal positif virus ultra microscopic dengan ukuran

27µ,termasuk enterovirus dalam family Picornaviridae. Terbagi atas lima

genus, diantaranya yang paling patogenik pada manusia adalah

Enterovirus, Hepatovirus, dan Rhinovirus. Enterovirus terbagi lagi dalam

71 spesies, yaitu berbagai virus Polio, virus Coxsackie, dan Enterovirus

68-71. Virus terdiri dari tiga strain yaitu strain 1 (Brunhilde), strain 2

(Lansig) dan strain 3 (leon). 30% terdiri dari dari virion mayor protein

(VP1-4) dan satu protein minor (VPg). Perbedaan tiga jenis strain terletak

pada sekuen nukleotidanya. VP1 adalah antigen yang paling dominan

dalam membentuk antibody netralisasi. Strain 1 adalah yang paling

paralitogenik dan sering menimbulkan wabah, sedang strain tiga paling

tidak imunogenik. Virus ini ditutup oleh kapsid protein.Selain berfungsi

sebagai pelindung meteri genetik virus kapsid protein juga membuat virus

dapat menginfeksi semua tipe sel.(15) Tipe 1 menjadi penyebab 85% dari

semua kasus poliomyelitis paralitik dan penyebab sebagian besar epidemic

poliomyelitis. Tipe 3 menjadi penyebab sekitar 10 % kasus poliomyelitis

paralitik dan kadang-kadang menimbulkan epidemik. Tipe 2 menjadi

penyebab sekitar 5 % kasus poliomyelitis paralitik. Reservoir dari virus ini

adalah manusia.(16)Polio juga dapat disebabkan oleh enterovirus lain yaitu

13

Page 14: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Coxsackie A (A7,A9) dan B (B2 sampai B4) virus-virus (tipe 1,2, 4, 6, 7,

9, 11, 16, 18, 30) ECHO virus dan enterovirus 70 dan 71. (15)

Pada minor illness (abortive poliomyelitis) mungkin hanya gejala

diatas yang terjadi. Mayor illness dengan atau tanpa didahului gejala

minor, ditandai dengan gangguan system saraf pusat, kaku leher,

pleositosis dalam cairan spinalis, dan kadang-kadang paralisis.

Selanjutnya dapat terjadi atrofi pada kelompok-kelompok otot yang

berakhir dengan kontraksi dan deformitas yang menetap. Penyakit

poliomyelitis ditandai dengan rusaknya cornu anterior (sel motorneuron)

dari sel ganglion medulla spinalis atau pada batang otak.Virus polio

umumnya menerang anak berusia dibawah 3 tahun dan jarang menyerang

anak usia lebih dari 15 tahun.Virus polio tahan terhadap asam, sabun,

ether, dan chloroform.Virus ini dapat diinaktivasi dengan pemanasan,

formalin, UV, chlorine, dan pengeringan.Virus polio dapat bertahan hidup

berdasarkan suhu. (16)

a) Suhu beku : beberapa tahun

b) Suhu lemari es : beberapa bulan

c) Suhu kamar : beberapa hari

d) Suhu 500C atau lebih : cepat rusak

2. Penularan (16)

Fecal-oral :

14

Page 15: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Penularan paling banyak, karena virus akan hidup dalam tinja

penderita, beberapa saat atau hari sebelum lumpuh, maksimal

100 hari setelah lumpuh.

Disebabkan oleh kebersihan lingkungan yang rendah, tinja

dapat mencemari makanan dan minuman atau virus dari tinja

yang di bawa oleh lalat ke makanan dan minuman

Oral-oral

Jarang terjadi, karena virus yang hidup dalam liur penderita

sangat pendek, maksimal 2 minggu

Biasanya terjadi pada lingkungan yang bersih

Masa inkubasi virus ini pendek 7-14 hari (yang terpendek 4 hari),

dengan range 3-35 hari. Ekskresi virus melalui tinja secara intermiten

sampai 6-8 minggu atau melalui ludah 1-2 minggu setelah lumpuh.

Ekskresi terbanyak pada beberapa saat sebelum lumpuh sampai 2 minggu

setelah lumpuh. Ekskresi virus sangat menurun setelah 4 minggu lumpuh.

3. Patogenesis

virus masuk melalui mulut (oral) lalu melakukan replikasi pada lapisan

tonsil dan usus, serta kelenjar limfe. Virus ini dapat masuk karena

berikatan dengan immunoglobin-like reseptor, yang dikenal sebagai

polio reseptor atau CD155, pada permukaan selnya.(17) Kemudian virus

akan masuk ke dalam sel induk dan melakukan replikasi. Virus polio

15

Page 16: Tinjauan Pustaka (Repaired)

akan membelah pada sel ganstrointelstinal dalam waktu kurang lebih 1

minggu. Setelah membelah virus akan bermigrasi dan melekat pada

tonsil (terutama pada sel dendritik folikular dan akan tinggal di dalam

centrum germinativum tonsil), juga melekat pada jaringan limfoid usus

juga melekatpada sel M dan plaque peyeri dan virus masuk ke dalam

cervical dan mesenterika limfe nodus sehingga akan mengalami

multiple replikasi.(18)

Virus juga akan diserap masuk ke dalam darah (viremia).

Apabila virus sudah berada di dalam peredaran darah maka virus

masuk ke seluruh bagian tubuh. Virus polio dapat bertahan dan

melakukan pembelahan dalam darah dan limfe nodus untuk waktu

yang lama kurang lebih 17 minggu.(19) Pada beberapa kasus polio virus

dapat masuk dan bereplikasi pada lemak coklat dan sel

retikuloendotheal dan juga pada otot.(20) Virus akan masuk ke dalam

sistem saraf pusat menyebabkan respon inflamasi lokal. Mekanisme

virus polio dapat masuk ke dalam sistem saraf pusat sampai sekarang

belum diketahui.(21)

4. Gambaran klinis polio(22)

Poliomyelitis subklinis

Adanya demam tanpa gejala lain atau dengan beberapa gejala berikut ini

yang berlangsung kurang lebih 72 jam : demam ringan, lemas, anoreksia,

mual, muntah, sakit kepala, tenggorokan kering, muntah, sembelit, dan

16

Page 17: Tinjauan Pustaka (Repaired)

myeri perut yang tidak khas. Batuk kering, batuk dengan lender di

tenggorokan, diare, keram dan kejang perut tidak umum terjadi. Demam

biasanya mencapai 39.50C, dan kerongkongan biasanya menunjukan

sedikit saja perubahan bila dibndingkan dengan keluhan nyeri.

Abortive polio

Karakteristik dari abortif polio adalah adanya respiratori infeksi dan

gastroenteritis, tetapi biasanya tidak berbahaya. Infeksi ini dapat diatasi

oleh pertahanan tubuh host sebelum masuk system saraf pusat. Gejalanya

meliputi demam, sakit kepala, muntah, diare, konstipasi dan sakit

tenggorokan

Polio non- paralitik

Gejalanya hampir sama seperti poliomyelitis subklinis, kecuali sakit

kepala, mula, dan muntah terjadi lebih sering, dan rasa perih dan nyeri

pada otot leher, badan dan tungkai. Paralisis kandung kemih jarang

terjadi dan biasanya sering susah buang air besar. Kurang lebih dua dari

tiga anak-anak mengalami fase bebas- gejala antara fase pertama (fase

sakit ringan) dan fase kedua (mengenai sistem saraf pusat dan sakti

berat). Kedua fase ini jarang terjadi pada orang dewasa, dimana

perubahan gejala lebih tersembunyi dan membahayakan. Kaku kuduk

dapat ditemukan sebagai tanda penting pada diagnosa poliomyelitis non

paralisis fase kedua.

17

Page 18: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Pemerikasaan fisik menunjukan tanda-tanda kaku kuduk dan perubahan

pada refleks superfisial dan refleks dalam. Jika diagnosa masih

menunjukan ketidakpastian, pemmeriksaan harus dilakukan untuk

membuktikan tanda-tanda Kernig dan Brudzinski. Menekukan kepala

dengan perlahan dapat berlanjut ke kaku punggung. Posis kepala jatuh

dapat diperiksa dengan menempatkan tangan dibawah bahu pasien dan

mengangkat badan pasien. Biasnaya kepala akan mengikuti jatuhnya

badan tetapi pada kasus poliomyelitis seringkali kepala jatuh lebih jauh

ke belakang. Jatuhnya kepala bukan karena kelumpuhan otot fleksor

leher. Pada gejala awal refleks biasanya aktif dan berlangsung seperti itu

kecuali paralisis berat. Kerusakan sensoris tidak terjadi pada

poliomyelitis.

Polio paralitik (mayor illness)

Kurang lebih 1% pasien yang terinfeksi, virus polio akan masuk dan

menyebar ke dalam serabut saraf dan merusak saraf motorik yang berada

di medulla spinalis, batak otak dan korteks motorik.

Manifestasi klinisnya seperti poliomyelitis non-paralisis dengan

tambahan pada lemahnya beberapa kelompok otot, baik otot rangka

maupun otot cranial. Gejala ini biasanya diikuti oleh fase bebas gejala

selama beberapa hari dan kemudia terjadi lagi paralisis berulang.

Paralisis kandung kemih selama satu sampai tiga hari terjadi kurang lebih

pada 20% pasien, dan antonia usus biasa terjadi, biasanya pada titik

18

Page 19: Tinjauan Pustaka (Repaired)

paralisis ileus. Pada beberapa pasien, paralisis otot dapat menjadi tanda

utama. Pasien dengan paralisis otot, 30% akan sembuh, 30% akan

menunjukan kecacatan, 30% akan mengalami cacat berat, dan 10% akan

menunjukan gejala sakit parah yang dapat mengakibatkan kematian.

Pada stadium akut (sejak gejala klinis pertama dan dua minggu

kemudian) akan ada kenaikan temperatur dan kurang dari sepuluh hari

disertai dengan sakit kepala dan muntah. Paralisis terlihat satu minggu

setelah gejala klinis pertama. Paralisis ini terjadi karena rusaknya saraf

motorik di sumsum tulang belakang karena invasi virus. Paralisis ini

memiliki kecenderungan terjadi secara asimetris dan menyebabkan

deformitas permanen. Kebanyakan paralisis akan menyerang tungkai

(78.6%), sekitar 41.4% akan menyerang lengan. Paralisis akan terus

terjadi selama dua hari sampai dua minggu. Selama stadium sub-akut

(dua minggu sampai dua bulan), demam akan menurun dalam 24 jam.

Kadang-kadang ada nyeri otot dan sakit. Ada juga paralisis pada satu sis

ekstremitas.

Pada stadium penyembuhan (dua bulan sampai dua tahun) terlihat tanda-

tanda kelemahan otot. Sekitar 50-70% dari fungsi otot kembali pulih

dalan enam sampai sembilan bulan satelah fase akut. Kemudian, setelah

dua tahun, tidak ada lagi kekakuan otot. Stadium kronis setelah dua tahun

dari saat gejala dimulai, biasanya menunjukan kelemahan otot yang

permanen dan kecacatan.

19

Page 20: Tinjauan Pustaka (Repaired)

5. Faktor Resiko (16)

a. Host

Tidak mempunyai kekebalan terhadap virus polio

Belum mendapatkan imunisasi polio atau imunisasi belum lengkap

Anak usia kurang dari 3 tahun memiliki resiko tinggi untuk tertular

Anak usia lebih dari 15 tahun sangat kecil kemingkinan untuk

tertular

b. Tempat

Daerah dengan cakupan imunisasi rendah

Sanitasi lingkungan yang buruk

Pemukiman kumuh yang padat penduduk

c. Waktu-musim

Di Negara tropis : musim hujan

Negara subtropics : musim dingin dan awal musim semi

B. Guillain-Barre Syndrome

a) Pengertian(2)

Guillain-barre syndrome (GBS) adalah paralisis asendens dari neuron

motorik yang berlangsung progresif dan cepat tanpa diketahui etiologinya,

sering terjadi setelah infeksi enterik atau respiratorik. Gejala dimulai

dengan parastesis kaki, yang kemudian diikuti oleh paralysis flaccid

tungkai, lalu naik mencapai lengan, batang tubuh dan muka yang disertai

dengan sedikit demam, kelumpuhan bulbar, penurunan atau hilangnya

20

Page 21: Tinjauan Pustaka (Repaired)

refleks tendo, dan peningkatan kadar protein dalam cairan sebrospinalis

tanpa terjadi peningkatan jumlah sel.

b) Epidemiologi

Dapat menyerang semua jenis umur. Insiden antara 0.5-2 kasus per

100.000 orang per tahun. Populasi perempuan : laki-laki = 2:1. pasien

GBS yang disebabkan oleh infeksi C. jejuni adalah 0.25-0.65 per 1000

kasus. Dan pasien GBS yang disebabkan oleh infeksi cytomegalovirus 0.6-

2.2 per 1000 kasus. Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada

semua musim. Dowling dkk menemukan bahwa frekuensi tersering pada

akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus

influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun ditemukan bahwa penyakit ini

hampir terjadi setiap saat dalam setahun, dan ditemukan bahwa 60% kasus

terjadi antara bulan juli sampai dengan oktober yaitu pada akhir musim

panas dan musim gugur, dan dapat terjadi pada saat musim hujan untuk

daerah tropis.

Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinik telah

melakukan penelitian terhadap insiden usia terkena GBS. Terjadi puncak

insiden antara usia 15-35 tahun dan antara 40-74 tahun. Jarang mengenai

usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3

bulan dan yang paling tua usia 95 tahun.

c) Etiologi dan Pathogenesis

21

Page 22: Tinjauan Pustaka (Repaired)

GBS biasanya disebabkan oleh beberapa penyebab. Walaupun sampai

sekarang tidak diketahui etiologi secara pasti, tetapi pada beberapa pasien,

penyakit ini didahului oleh infeksi Mycoplasma pneumoniae atau akibat

infeksi varicella-zoster virus, paramyxoviruses (mumps), HIV, Epstein-

barr virus (mononucleosis infeksi), atau akibat Campylobacter

jejuni.Campylobacter jejuni biasanya menjadi pencetus dari respon

autoimun. Hampir sebagian kasus didahului oleh infeksi saluran napas

atas (ISPA) dan diare. Infeksi ang paling banyak diidentifikasi yang

berhubungan dengan GBS adalah Campylobacter jejuni, yaitu sekitar 30%

kasus dan 10% kasus disebabkan oleh Cytomegalovirus.

Hipotesis yang masih dianut sampai saat ini adalah bahwa sistem imun

menyerang tubuhnya sendiri, sistem imun mulai menghancurkan selubung

myelin yang mengelilingi akson saraf perifer atau bahkan menghancurkan

akson saraf. Teori yang membenarkan hipotesis ini adalah teori organisme

(virus atau bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel saraf sehingga

sistem imun tubuh mengenalnya sebagai benda asing. Organisme tersebut

kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti limfosit dan makrofag untuk

menyerang myelin. Limfosit T dan B yang tersensitisasi akan

memproduksi antibody melawan komponen-komponen selubung myelin

dan menyebabkan destruksi dari myelin

d) Klasifikasi

22

Page 23: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan,

yaitu:

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

3. Acute motor axonal neuropathy

4. Acute motor sensory axonal neuropathy

5. Muller Fisher’s syndrome

6. Acute pandysautonomia

e) Faktor resiko

Semua jenis umur dengan puncak insiden antara usia 15-35 tahun dan

antara usia 40-74 tahun, jarang pada usia di bawah 2 tahun

Dapat dipicu oleh :

Paling sering infeksi dengan campylobacter jejuni, micoplasma

pneumonia, cytomrgalovirus

Jarang akibat rabies

Penyakit Hodgkin

HIV/AIDS

Mononucleosis

Virus Epstein-barr

Vaksin influenza

Vaksin hepatitis B

23

Page 24: Tinjauan Pustaka (Repaired)

f) Gambaran Klinis

Demam biasanya terjadi 2-3 minggu sebelum paralisis

Gejala awalnya adalah mati rasa pada tungkai, parestesis (dapat

merupakan gejala awal penyakit), lemah, sakit pada tungkai dan

lengan.

Kelumpuhan umumnya tungkai bawah tapi dapat juga dari lengan atas

(derajat berbeda), dapat dari otot wajah tetapi jarang terjadi dan selalu

simetris. Apabila mengenai otot interkostal dan leher dapat

menyebabkan gagal napas

Biasanya menyerang saraf kranial, biasanya VII (unilateral atau

bilateral), IX, X jarang III,IV,VI

Rasa sakit dan dan lemah pada otot biasanya mendahului gejala

lumpuh (paralisis).

Gangguan miksi atau defekasi, sinus takikardi, aritmia jantung,

hipotensi postural, hipertensi dan gangguan vasomotor

Hipotoni dan hipofleksi selalu ditemukan

Jarang terjadi gangguan objektif sensorik

g) Criteria diagnosa klinik GBS menurut Ashubury

a. Criteria yang harus ada

Kelemahan progresif lebih dari satu anggota gerak

Hiporefleksia atau arefleksia

b. Menunjang diagnosa

24

Page 25: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Progresitivitas sampai 4 minggu

Relative simetris

Gangguan sensoris ringan

Keterlibatan saraf cranial (paling sering N VII)

Perbaikan dalam 4 minggu

Disfungsi autonom ringan

Tanpa demam

Protein LCS < 10/mm3

Perlambatan hantar saraf

c. Meragukan diagnosa

Asimetris

Disfungsi BAB dan BAK

Leukosit LCS > 50/mm3

Gangguan sensoris berbatas nyata

d. Mengevaluasi diagnosa

Gangguan sensoris saja

Terdiagnosa sebagai polineuropati lain

h) Perjalanan penyakit

1) Periode progresif

Gangguan fungsi motorik progresif baik distribusi maupun derajat

rata-rata 9 hari (2-21 hari)

2) Periode stabil

25

Page 26: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Mulai periode progresif berakhir sampai permulaan proses

penyembuhan 6 hari

3) Periode penyembuhan

Tanda-tanda penyembuhan klinis sampai penyembuhan lengkap

antara 3-4 minggu, kadang bulan bahkan tahun

i) Penilaian fungsi motorik

Tingkat I : gangguan motorik anggota gerak bawah

Tingkat II : gangguan keempat anggota gerak, kemungkinan kena

wajah uni atau bilateral

Tingkat III : gangguan keempat anggota gerak disertai otot tubuh

dan otot pernapasan ringan

Tingkat IV : tingkat III disertai gangguan suara, mengunyah dan

saraf cranial disertai gangguan pernapasan berat

j) Penilaian keadaan gangguan fungsi motorik

Tingkat I : kelumpuhan otot, penderita masih dapat berdiri dan

berjalan dengan bantuan

Tingkat II : penurunan kekuatan otot sampai 80%, fungsi gerakan

masih ada tetapi tidak dapat berdiri dan berjalan hanya berubah posisi

tidur

Tingkat III : penurunan hebat fungsi motorik sulit mengangkat kaki

dan tangan lebih100, tidak dapat merubah posisi

26

Page 27: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Tingkat IV : gangguan motorik lengkap anggota gerak hanya dapat

menggerakkan mata kadang leher, tingkat ini mutlak diperlukan

bantuan pernapasan

C. Transverse mielitis

1. Pengertian

Myelitis merupakan peradangan medulla spinalis, sering merupakan

bagian dari suatu proses penyakit yang lebih spesifik.

Transverse myelitis merupakan mielitis yang efek fungsional lesinya

melebar mengenai seluruh permukaan melintang sebuah segmen medulla

spinalis.

Gejala transverse mielitis mencakup hilangnya fungsi medulla spinalis

dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Biasanya diawali dengan

sakit punggung yang tiba-tiba, kelemahan otot atau sensasi abnormal pada

jari dan tungkai yang akan berkembang cepat menjadi gejala yang berat

yang mencakup kelumpuhan otot dan retensi urine.

Postvaksin myelitis merupakan transverse myelitis akut yang terjadi

tiga minggu setelah vaksinasi yang biasanya disebabkan oleh reaksi

imunologi terhadap komponen vaksin. Beberapa vaksin yang dapat

menyebabkan tranverse myelitis yaitu vaksin hepatitis B, rubella,

influenza (H1N1), dan DPT.

Walaupun ada beberapa individu yang sembuh dari transverse myelitis

dengan kerusakan yang kecil atau sembuh sempurna, beberapa individu

27

Page 28: Tinjauan Pustaka (Repaired)

menderita transverse myelitis dengan kerusakan medulla spinalis yang

permanen. Kerusakan pada nervus sacralis yang merupakan segmen

bawah medulla spinalis yang membawa impuls ke paha, jari dan beberapa

bagian dari kaki. Kerusakan pada satu segmen dapat mempengaruhi

fungsi segmen tersebut dan segment di bawahnya. Kerusakan pada pada

level toracalis dapat menyebabkan abnormalitas pada pergerakan kaki,

control usus dan kandung kemih.

2. Epidemiologi

Dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa dengan range usia 10-

19 tahun dan 30-39 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian Luiz Fernando Fonseca dkk, tranverse

mielitis akut juga menyerang anak usia 3 tahun setelah mengalami infeksi

respirasi oleh virus dan setelah imunisasi hepatitis B.

3. Etiologi

28

Page 29: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Tabel 3 : agen penyebab transverse mielitis

4. Gambaran klinis

Gejala tranverse myelitis berkembang secara akut (dalam hitungan jam

sampai beberapa hari) atau subakut (berkembang selama 1-4 minggu).

Deficit neurologis berkembang selama dua sampai tiga hari dan

kemudian masuk dalam fase plateau yang ditandai dengan paraparesis

yang berkembang menjadi paraplegia dan bersamaan dengan tanda

penurunan neuron motorik bagian atas pada tungkai.

29

Page 30: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Gejalanya berupa sakit punggung bagian bawah, parastesi secara tiba-

tiba pada kaki, hilangnya fungsi sensoris,dan paraparesis, paraparesis ini

dapat berkembang menjadi paraplegia yang menyebabkan paralisis pada

kaki dan bagian tubuh bawah. Selain itu penderita akan mulai merasakan

disfungsi usus dan kandung kemih. Beberapa orang akan mengalami

spasma otot, rasa tidak nyaman pada tubuh, kepala pusing,demam, dan

kehilangan nafsu makan.

Berdasarkan luasnya gejala, transverse myelitis dibagi atas empat

klasifikasi yaitu :

Kelemahan tangan dan tungkai

Rasa sakit pada tangan dan tungkai

Perubahan sensasi

Disfungsi kandung kemih dan usus

5. Faktor resiko

Anak berusia di bawah 15 tahun dengan puncak usianya 9 tahun

Pernah terinfeksi virus: Herpes Simplex, Herpes Zooster,

Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, Enterovirus (Poliomyelitis,

coxsackle virus, echovirus), human T-cell, leukemia virus,

HIV,influenza, rabies, hepatitis A dan B, rubella

Mycoplasma pneumonia, Lyme borreliosis, Syphilis, Tuberculosis

Pernah mendapatkan imunisasi hepatitis B, influenza, DPT, rabies dan

rubella

30

Page 31: Tinjauan Pustaka (Repaired)

B. Imunisasi

Pengertian

Imunisasi adalah induksi imunitas. Imunisasi aktif adalah stimulus sistem

imun untuk membentuk pertahanan melawan penyakit contohnya dengan

pemberian vaksin atau toksoid. Imunisasi adoptif adalah imunisasi pasif

dengan transfer limfosit yang tersensitisasi dari donor imun ke resipien yang

sebelumnya non-imun. Imunisasi pasif adalah timbulnya reaktifitas imun

spesifik yang sebelumnya non imun melalui pemberian sel limfoid

tersensitisasi atau serum dari individu yang imun.(2)

Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu

pada seseorang, dan menghilangkan penyakti tersebut pada sekelompok

masyarakat ( populasi) atau bahkan menghilangkan dari dunia.(6)

Kualitas dan kuantitas vaksin(6)

Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan

keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian

adjuvan yan dipergunakan, dan jenis vaksin :

Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respon imun yang

timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas

lokal disamping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan

memberikan imunitas sistemik saja

Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi

respon imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat

31

Page 32: Tinjauan Pustaka (Repaired)

respon imun yang diharapkan, sedangkan dosis yang terlalu rendah

tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat

diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai

dengan dosis yang direkomendasi

Frekuensi pemberian mempengaruhi respon imun yang terjadi.

Sebagaimana telah kita ketahui, respon imun sekunder

menimbulkan sel reseptor aktif lebih cepat, dan produksi serta

afinitas lebih tinggi. Disamping frekunsi, jarak pemberian vakin

juga mempengaruhi respon imun yang terjadi. Bila pemberian

vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik

masih tinggi, maka antigen yang masuk setelah dinetralkan oleh

antibodii spesifik yang masih tinggi tersebut sehinggs tidak sempat

merangsang sel imunokompeten. Bahkan dapat terjadi apa yang

dinamakan reaksi Arthus yaitu bengkak kemerahan di daerah

suntikan antigen akibat pembetukan kompleks antigen-antibodi

lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian

ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan

produsen vaksin sesuai dengan hasil uji klinis.

Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan

respon imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respon

imun dengan mempertahankan antigen pada atau dekat dengan

tempat suntikan, dan mengaktifasi sel APC (Antigen Precenting

32

Page 33: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Cells) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi

interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten.

Jenis vaksin hidup akan menimbulkan respon imun lebih baik

dibandingkan vaksin mati atau yang diinaktivasi, atau vaksin

komponen mikroorganisme. Ransangan sel Tc memori

membutuhkan sesuatu sel yang terinfeksi, karena itu dibutuhkan

vaksin hidup. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi

(dilemahkan) untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat

menimbulkan penyakti yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh

dengan cara memodifikasi kondisi tempat tumbuh

mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi

anaerob, atau menambah empedu pada medium hidup pada media

kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam

selama 13 tahun. Dapar pula dipakai mikroorganisme yang virulen

untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen.

Persyaratan vaksin(6)

Apabila dilihat dari sudut pandang mekanisme respon imun terhadap

pajanan antigen maka terdapat empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu:

Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan

memproduksi sitokin

Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel

memori

33

Page 34: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Mengaktivasi sel Th dan Tc terhadap beberapa epitop antigen

untuk mengatasi variasi respon yang ada didalam populasi karena

adanya polimorfisme MHC

Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikuler

dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga

dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang

membentuk antibodi terus-menerus sehingga kadarnya lebih

tinggi.

Vaksin yang memenuhi keempat criteria tersebut adalah vaksin hidup.

Pada umumnya antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi sudah cukup untuk

mencegah terjadinya infeksi sehingga pembentukan sel Tc terhadap berbagai

epitop antigen tidak merupakan keharusan. Misalnya pada penyakit difteria

dan tetanus misalnya yang dibutuhkan adalah antibodi untuk netralisasi

toksin.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)(6)

Kejadian Ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse events following

immunization (AEFI) adalah kejadian medic yang berhubungan dengan

imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi

sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi

suntikan, atau hubungan kasual yang tidak dapat ditentukan.

1. Epidemiologi KIPI

34

Page 35: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin

dalam jumlah besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan

melalui uji klinis yang lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis fase 1

dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase selanjutnya pada manusia.

Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan vaksin (reactogenicity and

safety), sedangkan pada fase 3 keamanan juga dilakukan uji efektivitas vaksin.

Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak,

maka untuk menilai KIPI diperlukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar

yang dikenal sebagai post marketing survailence (PMS), tujuan PMS adalah

untuk memonitor dan mengetahui keamaan vaksni setelah pemakaian yang

cukup luas di masyarakat (dalam hal ini program imunisasi). Data PMS dapat

memberikan keuntungan bagi program apabila semua KIPI terutama KIPI

berat) dilaporkan dan masalah akan segera diselesaikan. Sebaliknya akan

merugikan apabila program tidak segera tanggap terhadap masalah KIPI yang

timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadao efek samping vaksin

dengan segala akibatnya.

Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committee of the

Institute of Medicine (IOM) di USA sangant sulit untuk mendapatkan data

KIPI oleh karena:

Mekanisme biologis gejala KIPI kurang dipahami

Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan akurat

Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh

35

Page 36: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Surveilans KIPI belum dilakukan untuk jangka panjang

Publikasi KIPI dalam jumlah kasus yang besar masih kurang

2. Klasifikasi KIPI

Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI)

mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi:

a. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pasific (1999) untuk

petugas kesehatan lapangan. Berdasarkan klasifikasi ini KIPI

dikelompokan dalam lima kelompok yaitu:

Kesalahan program atau teknik pelaksanaan

Reaksi suntikan

Induksi vaksin

Faktor kebetulan

Penyebab tidak diketahui

b. Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah

Komnas PP KIPI.

Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifiaksi KIPI yang sedikit

berbeda dengan laporan Committee Institute of Medicine (1991) dan

menjadi dasar klasifikasi saat ini, yaitu:

Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated)

Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan

kausal (unlikely)

Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)

36

Page 37: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable)

Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)

Pada tahun 2009, WHO merekomendasikan klasifikasi kausalitas baru

berdasarkan dua aspek yaitu waktu timbulnya gejala (onset time) dan

penyebab lain yang dapat menerangkan terjadinya KIPI (alternate

explanation: no, maybe, yes). Klasifikasi tersebut dibagi atas:

Certain/very likely

Kejadian secara klinis terjadi dan hubungan waktu pemberian

vaksin adalah sesuai berhubungan dan tidak dapat dijelaskan oleh

pemberian obat lain atau penyakit lain yang bersamaan.

Probable

Kejadian yang secara klinis terjadi hubungan waktu pemberian

vaksin adalah sesuai berhubungan dan sepertinya masih bisa

berhubungan dengan pemberian obat atau penyakit lain yang

bersamaan.

Possible

Kejadian yang secara klinis terjadi dengan hubungan waktu

pemberian vaksin adalah sesuai berhubungan tetapi juga

berhubungan dengan pemberian obat atau kebetulan sama dengan

penyakti yang diderita atau pemberian obat.

37

Page 38: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Unlikely

Kejadian yang secara klinis yang terjadi dengan hubungan waktu

pemberian vaksin adalah tidak sesuai berhubungan dan kejadian

tersebut juga sepertinya tidak disebabkan oleh pemberian obat atau

penyakit lain.

Unrelated

Sebuah peristiwa klinis dengan hubungan waktu yang tidak sesuai

dan yang dapat dijelaskan karena ada penyakit yang mendasari

atau obat lain atau bahan kimia.

Unclassifiable

Kejadian yang secara klinis yang terjadi tidak cukup informasi

yang menjelaskan kejadian tersebut dan tidak juga berhubungan

dengan obat atau penyakit dengan pemerian obat atau penyakit

lain.

3. Gejala klinis KIPI

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat

dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta

reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat gejala KIPI makin berat

gejalanya.

Jenis Imunisasi

38

Page 39: Tinjauan Pustaka (Repaired)

4. Hepatitis B

Pengertian

Hepatitis B merupakan penyakit virus yang disebabkan oleh virus

hepatitia B yang endemik di seluruh dunia. Virus disebarkan melalui

seluruh cairan tubuh penderita dengan infeksi atau kronik dan oleh

karier asimptomatik, dan terutama ditularkan lewat jalur parenteral

seperti transfusi vertikal dari ibu ke neonatus. Masa inkubasi rata-rata 90

hari. (2) vaksin hepatitis B dihasikan dengan cara memasukkan suatu

segmen gen virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah

berubah ini menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni. Vaksin

hepatitis B bisa bertahan selama 30 hari pada suhu di atas 80C dan tidak

beku. Vaksin hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir,

mengingat vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat

efektif untuk memutuskan ratai penularan melalui transmisi maternal

dari ibu kepada bayinya. (23)

Pencegahan (6)

Pencegahan umum

Skrining ibu hamil ( trimester 1 dan trimester 3 terutama ibu yang

beresiko tinggi) dan skrining populasi resiko tinggi ( hidup di

daerah hiperendemis dan belum pernah diimunisasi, hoh-

heteroseksual, pasangan seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis,

keluarga pasien VHB, kontak seksual dengan pasien VHB).

39

Page 40: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Imunisasi pasif

Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat segera

memberikan proteksi meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6

bulan). HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (needle

stick injury, kontak seksual, bayi dari ibu VHB, terciprat darah

mukosa atau ke mata). Sebaiknya HIBg diberikan bersama vaksin

VHB sehingga proteksinya berlangsung lama. Bila sumber

penularan needle stick injury HBsAg-HBeAg positif, maka 22%-

31% kontak berisiko mengalami hepatitis akut dan 37%-61%

mengalami sero-evidance infeksi VHB. Pada bayi dan ibu VHB,

HBIg (0.5 ml) dibrikan bersama di sisi tubuh, dalam waktu 12 jam

setelah lahir.

Imunisasi aktif

Varian HB yang tersedia adalah vaksin rekombinan. Pemberian

ketiga dosis vaksin dan dengan dosis yang sesuai rekomendasi,

akan mennyebabkan terbentuknya respon protektif (anti HBs ≥ 10

mlU/mL) pada> 90 % dewasam, bayi, anak-anak, dan remaja.

Vaksin diberikan secara intramuscular dalam. Pada neonatus dan

bayi diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar

dan dewasa, diberikan di region deltoid.

Jadwal dan dosis

40

Page 41: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Pada dasarnya jadwal imunisasi hepatitis B sangat fleksibel

sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukanya dalam

program imunisasi terpadu. Beberapa hal yang harus diingat :

Minimal diberikan sebanyak tiga kali

Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir

Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0,1,6 bulan karena

respon antibodi paling optimal

Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan.

Memperpanjang interval antara dosis pertama dan kedua tidak

akan mempengaruhi interval antara dosis pertama dan kedua

tidak akan mempengaruhi imunogenitas atau titer antibodi

sesudah imunisasi selesai ( dosis ketiga)

Dosis ketiga merupakan dosis penentu respon antibodi karena

merupakan dosis booster. Semakin panjang jarak antara

imunisasi kedua dengan imunisasi ketiga (4-12 bulan), semakin

tinggi titer antibodinya.

Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan

imunisasi kedua. Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan

jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi kedua.

Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah

memungkinkan.

41

Page 42: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Imusasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam)

setelah lahir, mengingat paling tidak 3.9% ibu hamil mengidap

hepatitis B aktif dengan resiko penularan kepada bayinya sebesar

45%.

Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari

imunisasi hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk

mendapat respon imun optimal, interval imunisasi imunisasi

hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka

imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan

Setiap vaksin hepatitis B sudah dievaluasi untuk menentukan dosis

sesuai umur (age-spesific dose) yang dapat menimbulkan respon

antibody yang optimum.

Kejadian Pasca Imunisasi (KIPI)

Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan

dan bersifat sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan demam

ringan untuk 1-2 hari.(6) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Luiz Fernando Fonseca, et al bahwa tranvers mielitis akut dapat

disebabkan setelah anak tersebut menerima vaksin hepatitis B. dalam

laporan kasusnya Luis, et al mengatakan bahwa salah satu pemicu dari

transvers mielitis akut adalah infeksi saluran napas dan saluran cerna

tetapi beberapa kasus postvaksinasi juga dapat memicu terjadinya

transvers mielitis. Penelitian ini berdasarkan kasus yang dialami oleh

42

Page 43: Tinjauan Pustaka (Repaired)

seorang anak kulit putih yang didiagnosis menderita transvers mielitis

yang berdasarkan data anamnesis diperoleh bahwa anak tersebut

menerima vaksin Hepatitis B sepuluh hari yang lalu dan memderita

infeksi saluran napas padahal orang tua dan saudara laki-lakinya yang

berusia 6 tahun tidak pernah mengalami hal tersebut dan mereka

dalam keadaan normal serta anak tersebut tidak pernah kontak dengan

hewan liar atau air yang terkontaminasi. Sebelum menderita transvers

mielitis anak tersebut mengeluh sakit yang berat pada leher setelah itu

beberapa jam kemudian mengalami paralisis pada tangan dan kaki.(8)

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Joerg-Patrick Stubgen

mengatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara vaksinasi

hepatitis B dengan kejadian transvers mielitis postvaksinasi. Dalam

penelitian ini Joerg mengemukakan bahwa vaksin Hepb merupakan

vaksin pencetus KIPI terbanyak kedua yang sering dilaporkan pada US

Vaccine Adverse Events Reporting System (VERS). Berdasarkan

berbagai data multi analisis dari berbagai sumber laporan kasus

mengenai transvers mielitis akut postvaksinasi dan vaksin yang paling

sering menjadi pencetus adalah vaksin hepatitis B.(9)

5. Imunisasi polio

Vaksin polio telah dikenal sejak tahun 1950, Inactivated (salk)

Poliovirus Vaccine (IPV) mendapatkan lisensi pada tahun 1955 dan

langsung diguakan secara luas. Pada tahun 1963, mulai digunakan

43

Page 44: Tinjauan Pustaka (Repaired)

trivalen virus polio secara oral (OPV) secara luas. Enhanced potency

IPV (eIPV) yang menggunakan molekul yang lebih besar dan

menimbulkan kadar antibody lebih tinggi mulai digunakan tahun

1988. Perbedaan kedua vaksin ini adalahh IPV merupakan virus yang

sudah mati dengan formaldehid, sedangkan OPV adalah virus yang

masih hidup dan mempunyai kemampuan enterovirulen, tetapi tidak

bersifat pathogen karena sifat neurovirulensinya sudah hilang. Pada

IPV yang berfungsi sebagai vaksin (antigen) adalah protein dari virus

tersebut, terutama protein kapsid yang mengandung gugusan epitop

antigen. (6)

Oral Polio Vaksin/Vaksin Sabin (OPV)

OPV merupakan modifikasi vaksin virus hidup yang mengandung

poliovirus tipe I, II, III yang dilemahkan, dibiakan dalam biakan

jaringan sel ginjal kera dan digunakan untuk imunisasi terhadap

poliomyelitis yang diberikan peroral. OPV memicu imunitas intestinal

serta humoral serta diekskresikan dalam feses setidaknya dalam

beberapa minggu setelah imunisasi. Karena dapat menyebabkan

poliomyelitis paralitik terkait vaksin pada mereka yang divaksin serta

orang-orang disekitarnya, vaksin ini hanya digunakan khusus atau

diberbagai Negara yang belum bebas poliovirus tipe-liar. OPV tidak

boleh diberikan pada pasien dengan tanggap imun yang lemah atau

orang-orang yang tinggal disekitar rumah tangga pasien.(2)

44

Page 45: Tinjauan Pustaka (Repaired)

vaksin ini mulai dibuat tahun 1951 oleh Hilary Koprowski dengan

cara pembiakan virus polio pada tikus. Pada tahun 1955 Albert Bruce

Sabin melakukan modifikasi dengan cara membiakan virus pada

biakan ginjal kera Macaca Rhesus. Hasil yang diperoleh virus yang

lemah dengan daya imunologik yang tinggi. OPV bekerja dengan dua

cara, yaitu dengan memproduksi antibodi dalam darah (imunitas

humoral) terhadap ketiga tipe virus polio sehinggap ada kejadian

infeksi, vaksin ini akan memberikan perlindungan dengan mencegah

penyebaran virus polio ke sistem saraf. OPV juga menghasilkan

respon imun lokal di membran mukosa intestinal tempat terjadinya

multiplikasi virus polio. Antibodi yang terbentuk akan membatasi

multiplikasi virus polio liar di dalam intestinal sehingga mencegah

terjadinya reinfeksi. Respon imun intestinal terhadap OPV merupakan

alasan utama mengapa penggunaan OPV secara masal dapat

menghentikan penyebaran virus polio liar dari seseorang ke orang lain.

Akan tetapi satu dari setiap 6,2 juta dosis OPV dapat menyebabkan

paralisis yang berhubungan dengan vaksin polio VAPP/VDPV.(6)

a. Trivalent Oral Polio Vaccine (tOPV)

Vaksin ini mengandung tipe macam galur polio, setiap dosis 0.1

mL/ 2 tetes terdiri dari tipe 1>106 CCID50, tipe 2>105 CCID50, tipe

3>105.8 CCID50. Pada keadaan ditemukan lebih dari satu tipe virus

polio liar, tOPV secara epidemiologis dan operasional adalah vaksin

45

Page 46: Tinjauan Pustaka (Repaired)

terbaik untuk digunakan karena dapat memberikan perlindungan

terhadap ketiga virus polio. Masing-masing serotipe mempunyai

enterovirulensi yang berbeda dan terdapat kompitisi diantara ketiga

serotipe, sehingga setelah tetesan pertama, kekebalan humoral yang

muncul dulu adalah antibodi terhadap P2 disusul P1 dan terakhir P3.

Kompetisi antara ketiga serotipe tersebut mengakibatkan perlindungan

dengan efisiensi yang berbeda-beda untuk setiap tipe. Imunogenitas

virus polio 2 lebih baik diantara ketiga virus polio tersebut sehingga

perlindungan terhadap virus tipe 2 paling mudah terjadi, kemudian

diikuti tipe 1 dan 3.(6)

b. Monovalent Oral Polio (mOPV)

Vaksin OPV hanya mengandung satu macam strain pemberian

mOPV dengan dosis yang sama dengan tOPV akan memberikan

kekebalan spesifik yang lebih tinggi dan lebih cepat terhadap tipe

tertentu dengan tOPV. Penelitian menunjukan bahwa sekitar 80% anak

di Negara tropis mempunyai kekebalan terhadap virus polio tipe 1

setelah pemberian 1 dosis mOPV1 dibandingkan dengan 40% anak

setelah pemberian tOPV. Begitu juga dengan 72% anak yang

mempunyai kekebalan terhadap virus polio tipe 3 setelah dosis

pertama mOPV3 dibandingkan 31% anak setelah dosis pertama tOPV.

(6)

Keuntungan dan Kekurangan OPV(6)

46

Page 47: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Keuntungan OPV dapat diberikan secara oral, mempunyai

community effect, tidak harus diberikan oleh tenaga kesehatan yang

terlatih dan relatif tidak mahal. OPV aman dan efektif akan tetapi

kandungan vaksin berupa vaksin hidup yang telah dilemahkan dapat

mengakibatkan 1 kelumpuhan untuk setiap 3 juta dosis, baik pada naka

yang divaksin, atau orang disekitarnya (VAPP/VDPV). Hal ini

disebabkan oleh karena terjadi mutasi virus vaksin mukosa usus.

Defisiensi imunitas dari resipien termasuk salah satu penyebabnya,

sehingga selama OPV masih diberikan ancaman VAPP/VDPV akan

tetap ada.

1. Vaccine Associated Paralytic Poliomyelitis (VAPP)(6)

VAPP merupakan kejadian lumpuh layu setelah imunisasi/paralitik

pasca imunisasi. Penelitian kolaborasi WHO yang dilakukan 13 negara

selama 15 tahun (1970-1984) memperlihatkan bahwa resiko VAPP

(pada resipien vaksin atau pada kontak resipien) adalah kecil: kurang

dari 0.3 per juta dosis vaksin (atau kurang dari 1 kasus per 3.3 juta

dosis)

2. Vaccine Derived Polio Viruses (VDPV)

Pada bulan September 2000 terjadi kasus polio yang disebabkan

oleh virus polio yang berasal dari OPV-vaccine derived poliovirus

(VDPV) yang menyebabkan KLB di kepulauan Hispaniola, Pilipina

dan Mesir, bahkan Nigeria dan India. Di Indonesia pada tahun 2005

47

Page 48: Tinjauan Pustaka (Repaired)

terdapat 46 kasus VDPV terjadi bersamaan dengan polio di Madura

dan Probolinggo. Hal ini menunjukan bahwa VDPV merupakan

masalah yang serius, karena virus vaksin yang back mutated ini

berpotensi menimbulkan wabah baru di daerah yang cakupan

imunisasinya menurun. Kasus VDPV umumnya ditemukan pada

populasi penduduk yang cakupan imunisasinya rendah. (6)

Keamanan OPV

Vaksin polio tetes sangat aman dan jarang menyebabkan efek

samping yang dilaporkan adalah lumpuh layu (VAPP/VDPV).

Belum pernah dilaporkan kematian akibat pemberian imunisasi.(6)

Inactivated Polio Vaccine (IPV)/ vaksin Salk

Suspensi polio virus tipe I, II, III yang diinaktifkan menggunakan

formalin dan dibiakan dalam biakan sel ginjal kera, diberikan

intramuskular atau subkutan untuk imunisasi terhadap poliomielitis

pada bayi, anak dan remaja serta pada orang dewasa yang beresiko

tinggi terpaja virus ini.(2) IPV sedikit memberikan kekebalan lokal

pada dinding usus sehingga virus polio masih dapat berkembang biak

dalam usus orang yang telah mendapatkan IPV. Hal inin

memungkinkan terjadinya penyebaran virus ke sekitarnya, yang

membahayakan orang-orang disekitarnya. Sehingga vaksin ini tidak

dapat mencegah virus polio liar.(6)

Keuntungan dan kerugian IPV

48

Page 49: Tinjauan Pustaka (Repaired)

IPV bukan vaksin “hidup”, imunisasi dengan IPV tidak

mempunya resiko terhadap vaccine associated polio paralysis.

IPV menimbulkan sedikit imunitas pada saluran pencernaan.

Ketika seseorang diimunisasi dengan IPV kemudian terinfeksi

oleh virus polio liar, virus dapat tetap bermultiplikasi di dalam

saluran pencernaan dan disebarkan melalui feses. Oleh karena

itu, vaksin OPV yang dipilih ketika KLB polio perlu

dikendalikan, bahkan di negara-negara yang menggunakan IPV

untuk program imunisasi polio rutin. Kerugian lain dari IPV

adalah harga vaksin lebih mahal dan perlunya tenaga terlatih

untuk menyuntikan vaksin.(6)

Jadwal imunisasi polio

Vaksin polio diberikan sebanyak kali dengan perhitungan polio-0

diberikan pada saat lahir, polio-1 diberikan pada saat umur 2 bulan,

polio-2 diberikan pada usia 4 bulan, polio-3 diberikan pada usia 6

bulan, polio-4 diberikan pada bulan ke 18-24 dan polio-5 diberikan

pada usia 5 tahun. Diberikan pada kunjungan pertama bayi yang lahir

di Rumah Bersalin atau Rumah Sakit diberikan vaksin OPV saat bayi

dipulangkan untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi

lain. Selanjutnya untuk polio-1, polio-2, polio 3 dapat diberikan vaksin

OPV atau IPV.(24) Vaksin polio oral diberikan kepada semua bayi

baru lahir sebagai dosis awal, satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 mL).

49

Page 50: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Pada usia 18 bulan dilakukan booster. Imunisasi dapat diberikan

bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib.(6)

Kejadian Pasca Imunisasi (KIPI)

Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada 1 per 2.4 juta dosis

vaksin (CDC Vaccine Information Statement 2000).(6)

3. Imunisasi DPT

1. Toksoid difteria

Antitoksin difteria pertama kali diberikan pada anak tahun 1891 dan

diproduksi secara komersial tahun 1892, penggunaan kuda sebagai

sumber antitoksin dimulai pada tahun 1894. Era pencegahan difteri

dimulai dengan membuat kombinasi toksin dan antitoksin sebagai

ramuan imunisasi yang ternyata tidak efektif. Pengembangan uji Schick

sebagai petanda kekebalan terhadap difteria hanya membantu dalam

pencegahan terjadinya difteri. Untuk imunisasi primer terhadap difteria

digunakan toksoid difteria (alum-precipitated toxoid) yang kemudian

digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk DPT.

Potensi toksoid difteri dinyatakan dalalm jumlah unit flocculate (Lf)

dengan kriteria 1 Lf adalah jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti

toksoid difteria. Kekuatan toksoid difteria yang terdapat dalam

50

Page 51: Tinjauan Pustaka (Repaired)

kombinasi vaksin DPT saat ini berkisar antara 6.7-25 Lf dalam dosis 0.5

ml.

Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5

dosis pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk

sekolah. Dosis keempat harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan

setelah dosis ketiga. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang

mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki

kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertusis. Dalam penelitian

terhadap bayi yang mendapatkan imunisasi DPT di Jakarta, I Made

Setiawan (1992) melaporkan bahwa:

71%-94% bayi saat imunisasi pertama belum memiliki kadar antibodi

protektif terhadap difteria

Pasca DPT 3 kali didapatkan 68%-81% telah memiliki kadar antibodi

protektif terhadap difteria dengan rata-rata 0.0378 III/ml.

Dalam laporan program pengembangan imunisasi, tahun 2005

didapatkan 98.45% bayi mempunyai antibodi 0.1545 (0.1229-0.1936)

setepal mendapatkan DPT-3. Lama kekebalan sesudah mendapatkan

imunisasi dengan toksoid difteria merupakan masalah yang penting

untuk diperhatikan. Beberapa pnelitian serologik membuktikan adanya

penurunan kekebalan sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya

penguatan pada masa anak. Adanya KLB di Jawa Timur mengingatkan

51

Page 52: Tinjauan Pustaka (Repaired)

kembali akan perlunya booster, baik pada setahun setelah DPT ke-3

maupun pada usia sekitar 4-5 tahun.

Selain DTaP dan DTwP yang telah digunakan sejak tahun 1975,

beberapa sediaan vaksin yang berisi toksoid difteri adalah:

Vaksin DT: vaksin ini digunakan untuk booster pada anak usia

diatas 5 tahun (pada anak yang telah mendapat vaksin DPT

sebelumnya) atau imunisasi dasar 3 kali pada anak yang belum

pernah mendapatkan imunisasi DPT. Pada ORI (Outbreak Respons

Immunization) diberikan minimal dua kali dengan interval minimal

satu bulan.

Vaksin DT: vaksin ini digunakan untuk booster pada anak usia

diatas 7 tahun (pada anak yang telah mendapatkan vaksin DPT/DT

sebelumnya) atau imunisasi dasar 3 kali pada anak yang belum

pernah mendapat imunisasi DPT/DT. Pada ORI diberikan minimal

dua kali dengan interval minimal 1 bulan. Kandungan toksoid difteri

hanya seperempat sampai sepersepuluh kandungan toksoid difteri

pada DPT atau DT. Vaksin ini digunakan untuk booster setiap 10

tahun pada seluruh penduduk. Vaksin DT telah digunakan pada ORI

di Jawa Timur dan terbukti aman.

Vaksin TDaP adalah vaksin Td yang ditambahkan dengan

komponen aP (a-selular Pertusis) untuk mengatasi masalah pertusis

pada dewasa yang merupakan sumber penularan untuk kelompok

52

Page 53: Tinjauan Pustaka (Repaired)

bayi dan anak. Digunakan untuk menguatkan kembali kekebalan

terhadap tetanus dan sekaligus difteri dan pertusis.

2. Imunisasi TT

a. Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40

IU dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan

toksoid difteria dan vaksin pertusis.

b. Berbagai kemasan seperti preparat tunggal (TT), kombinasi dengan

toksoid difteria dan atau pertusis (dT, DT, DTwp, DTaP) dan

kombinasi dengan komponen lain seperti Hib dan hepatitis B.

c. Sebagaimana toksoid lain, pemberian toksoid tetanus memerlukan

pemberian berseir untuk menimbulkan dan mempertahankan

imunitas. Tidak diperlukan pengulangan dosis bila jadwal pemberian

tenyata terlambat, sebab sudah terbukti bahwa respon imun yang

diperoleh walaupun dengan interval yang panjang adalah sama

dengan interval yang pendek.

d. Ibu yang mendapatkan TT 2 dan 3 dosis ternyata memberikan

proteksi yang baik bagi bayi baru lahir yaitu terhadap tetanus

neonatorum. Kadar rata-rata antitoksin 0.01 AU/ml pada ibu cukup

memberikan proteksi terhadap bayinya.

e. Jadwal pemberian:

Pemberian TT yang diberikan bersama DPT diberikan sesuai

jadwal imunisasi.

53

Page 54: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Kadar antibodi proteksi setelah pemberian DPT 3 kali mencapai

0.01 IU atau lebih, hal ini juga terbukti pada penelitian bayi-bayi

di Indonesia.

Kejadian ikutan pasca imunisasi terutama reaksi lokal, sangat

dipengaruhi oleh dosis, pelarut, cara penyuntikan, dan adanya

antigen lain dalam kombinasi vaksin itu.

DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari usia 6

minggu, disebabkan respons terhadap pertusis dianggap tidak

optimal, sedang respons terhadap tetanus toksoid dan difteria

cukup baik tanpa memperdulikan adanya antibodi maternal.

3. Vaksin pertusis

Vaksin pertusis DTwP (Difteri Tetanus whole cell Pertusis) adalah

vaksin yang merupakan suspense kuman B. Pertussis mati. Vaksin

wP awalnya dibuat di Amerika Serikat dengan standar yang berbeda-

beda pada tiap pabrik. Umumnya vaksin pertusis diberikan dengan

kombinasi bersama toksoid difteria dan tetanus (DPT).

Vaksin pertusis a-selular

Vaksin pertusis a-selular adalah vaksin pertusi yang berisi

komponen spesifik toksin dari Bordettell

4.

c. Pengetahuan

54

Page 55: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan

domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari

pengalaman akan lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari

pengetahuan.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Pengetahuan yang

dicakup didalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh badan

yang dipelajari atau rangsagna yang telah diterima.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan

materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

4. Analisis (analysa)

55

Page 56: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

subjek

5. Sintesis (syntesa)

Untuk menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Dengan kata lain sistesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada

6. Evaluasi

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek atau materi. Penilaian-

penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau

menggunakan kriteria-kriteria yang ada.

d. Jenis pengetahuan(25)

1. Pengetahuan implisit

Pengetahuan implicit adalah pengetahuan yang masih tertanam dalam

bentuk pengalaman seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak

bersifat nyata, seperti keyakinan pribadi, perspektif, dan prinsip.

Pengatahuan seseorang biasanya sulit ditransfer kepada orang lain

baik secara tertulis ataupun lisan. Pengetahuan implicit sering kali

berisi kebiasaan dan kebudayaan bahkan bisa tidak disadari.

Contoh sederhana: seseorang mengetahui tentang bahaya merokok

bagi kesehatan, namun dia tetap merokok

56

Page 57: Tinjauan Pustaka (Repaired)

2. Pengetahuan eksplisit

Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah didokumentasi

atau disimpan dalam bentuk nyata, bisa dalam wujud perilaku

kesehatan. Pengetahuan nyata dideskripsikan dalam tindakan-

tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.

Contoh sederhana: seseorang yang telah mengetahui tentang bayaha

merokok bagi kesehatan dan ternyata dia tidak merokok.

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara

lain :

1. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseoang kepada

orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri

bahwa makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah pula

bagi mereka untuk menerima informasi, dan pada akhirnya makin

banyak pula pengetahuan yang mereka miliki

2. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh

pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara

tidak langsung

3. Umur

57

Page 58: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan aspek

fisik dan psikologi (mental), dimana aspek psikologis dapat

menyebabkan taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa

4. Minat

Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang

tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba

menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang

lebih mendalam.

5. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu

baik dari dalam dirinya ataupun dari lingkungan. Pada dasarnya

pengalaman mungkin saja menyenangkan atau tidak menyenangkan

bagi individu secara subjektif.

6. Informasi

Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu

mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.

Pengetahuan ibu akan mempengaruhi perilaku ibu tentang pentingnya

imunisasi dan dampak imunisasi terhadap kejadian penyakit AFP. Perilaku

juga dipengaruhi oleh pengalaman, social ekonomi, fasilitas, budaya dan

sebagainya. Terbentuknya perilaku yang lama adalah perilaku yang didasari

oleh pengetahuan dan kesadaran.

Pengukuran tingkat pengetahuan(25)

58

Page 59: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Menurut Skinner, bila seseorang mampu menjawab mengenai materi

tertentu baik secara lisan maupun secara tulisan, maka dikatakan seseorang

tersebut mengetahui bidang tersebut. Sekumpulan jawaban yang diberikan

tersebut dinamakan pengetahuan. Pengukuran bobot pengetahuan seseorang

ditetapkan menurut hal-hal sebagai berikut:

1. Bobot I : tahap tahu dan pemahaman

2. Bobot II : tahap tahu, pemahaman, aplikasi dan analisis

3. Bobot III : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis,

dan evaluasi

Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang

menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian dan

responden. Dalam mengukur pengetahuan harus diperhatikan rumusan

kalimat pertanyaan menurut tahapan pengetahuan. Arikunto (2006) membuat

kategori tingkat pengetahuan seseorang menjadi tiga tingkatan yang

didasarkan pada nilai persentase yaitu sebagai berikut.

1. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya ≥ 75%

2. Tingkat pengetahuan kategori Cukup jika nilainya 56-74%

3. Tingkat pengetahuan kategori Buruk jika nilainya < 55%

Dalam membuat kategori tingkat pengetahuan bisa juga dikelompokkan

menjadi dua kelompok jika yang diteliti masyarakat umum, yaitu sebagai

berikut.

59

Page 60: Tinjauan Pustaka (Repaired)

1. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya > 50%

2. Tingkat pengetahuan kategori Kurang baik jika nilainya ≤ 50%

Namun, jika yang diteliti respondennya adalah petugas kesehatan, maka

persentasenya akan berbeda.

1. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya > 75%

2. Tingkat pengetahuan kategori Kurang Baik jika nilainya ≤ 75%

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

60

Page 61: Tinjauan Pustaka (Repaired)

3.1 Kerangka konsep

Variabel independen Variabel Dependen

3.2 Identifikasi variabel

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah variabel independent yaitu:

pengetahuan pengelola TFC. Sedangkan variabel dependent yaitu peningkatan

berat badan balita gizi buruk.

3.3 Definisi operasional

No variabel Definisi operasional Cara Criteria objektif skala

61

Pengetahuan Pengelola TFC Peningkatan Berat Badan

Balita Gizi Buruk

Page 62: Tinjauan Pustaka (Repaired)

pengukuran

1. Acute

Flaccid

Paralysis

(AFP)

AFP adalah bukan

merupakan diagnosis

suatu penyakit tetapi

penyakit apapun yang

mempunyai gejala

lumpuh-layu akut pada

saat ditemukan tanpa

memperhatikan penyebab

kecuali ruda paksa

Pengukuran

dengan

diagnosa

tenaga medis

dan

berdasarkan

data dari

dinas

kesehatan

Kabupaten

Ngada

0. jika anak tidak

dinyatakan

menderita AFP oleh

tenaga medis dan

berdasarkan data

dinas kesehatan

1. jika anak tidak

dinyatakan

menderita AFP

Nominal

imunisasi

62

Page 63: Tinjauan Pustaka (Repaired)

2. Imunisasi

hepatitis B

Imunisasi yang memberik

kekebalan terhadap

hepatitis B. imunisasi ini

diberikan 12 jam setelah

lahir dan diberikan 3 dosis

yaitu pada umur 0, 1 dan 6

bulan

Pengukuran

dilakukan

dengan

melihat KMS

dan

memberikan

kuisioner

atau

wawancara

0. Anak tidak

mendapatkan

imunisasi hepatits

B

1. Anak

mendapatkan

imunisasi

hepatitis B

nominal

Imunisasi

polio

Imunisasi yang

memberikan kekebalan

terhadap poliovirus.

Imunisasi ini diberikan

merupakan vaksin virus

hidup yang dilemahkan.

Jadwal pemberian umur

0,2,4,6 bulan + 18,60

bulan. Dosis 2 tetes

Pengukuran

dilakukan

dengan

melihat KMS

dan

memberikan

kuisioner

atau

wawancara

0. Anak yang

tidak

mendapatkan

imunisasi polio

1. Anak yang

mendapatkan

imunisasi

hepatitis

nominal

3. Imunisasi

DPT

Imunisasi yang

memberikan kekebalan

terhadap bakteri dipteri,

pertusis, dan tetanus.

Pengukuran

dilakukan

dengan

melihat KMS

0. Anak yang

tidak

mendapatkan

Nominal

63

Page 64: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Diberikan pada umur ≥ 6

minggu. Vaksin DPT

diberikan pada bulan 2, 4,

6, 18-24 dan 5 tahun.

dan

memberikan

kuisioner

atau

wawancara

imunisasi DPT

1. anak yang

mendapatkan

imunisasi DPT

4. Imunisasi

influenza

Imunisasi yang

memberikan kekebalan

terhadap virus influenza.

Umur pemberian vaksin

≥6 bulan dan diberikan 1

kali pertahun

Pengukuran

dilakukan

dengan

melihat KMS

dan

memberikan

kuisioner

atau

wawancara

0. anak yang

tidak

mendapatkan

imunisasi

influenza

1. anak yang

mendapatkan

imunisasi

influenza

nominal

5. demam suatu keadaan saat suhu

badan melebihi 370C yang

disebabkan

oleh penyakit atau

peradangan

Kuisioner

atau

wawancara

0. anak tidak

demam setelah

imunisasi

1. anak demam

setelah imunisasi

nominal

6. kejang suatu kondisi medis

saat otot tubuh mengalami 

Kuisioner

atau

0. anak tidak

kejang setelah

nominal

64

Page 65: Tinjauan Pustaka (Repaired)

fluktuasi konstraksi

dan peregangan

dengan sangat cepat

sehingga menyebabkan

gerakan yang tidak

terkendali

wawancara menerima

imunisasi

1. anak kejang

setelah imunisasi

7. Muntah pengeluaran isi lambung

secara eksplusif melalui

mulut dengan bantuan

kontraksi otot-otot perut

Kuisioner

atau

wawancara

0. anak tidak

muntah setelah

menerima

imunisasi

1. anak

muntah setelah

imunisasi

nominal

8. parastesis Sensasi sentuh abnormal,

seperti rasa terbakar,

tertusuk, atau kesemutan,

sering kali tanpa adanya

rangsangan luar

Kuisioner

atau

wawancara

0. anak tidak

mengalami

parastesis setelah

imunisasi

1. anak

mengalami

parastesi setelah

nominal

65

Page 66: Tinjauan Pustaka (Repaired)

imunisasi

9

99

pengetahuan Merupakan hasil dari

tahu dan ini terjadi

setelah orang melakukan

penginderaan setelah

orang melakukan

penginderaan terhadap

objek tertentu

Kuisioner

atau

wawancara

0. ibu tidak

berpengetahuan

baik

1. ibu

berpengetahuan

baik

nominal

Sakit

punggung

Perasaan nyeri pada

punggung yang secara

spontan dan memiliki

derajat nyeri yang cukup

tinggi sehingga bisa

mengganggu aktivitas dan

postur tubuh

Kuisioner

atau

wawancara

0. anak tidak

menderita sakit

punggung

1. Anak

menderita sakit

punggung

nominal

Sakit

tenggorokan

Rasa sakit pada

tenggorokan atau faring

biasanya akibat

peradangan

Kuisioner

atau

wawancara

0. Anak tidak

menderita sakit

tenggorokan

1. Anak

menderita sakit

tenggorokan

nominal

66

Page 67: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Sakit kepala Rasa sakit di bagian

kepala di atas mata atau

telingan, belakang kepala

(occipital), atau di

belakang leher bagian

atas

Kuisioner

atau

wawancara

0. Anak tidak

menderita sakit

kepala

1. Anak

menderita sakit

kepala

nominal

Retensi

urine

Suatu keadaan

penumpukan urine di

kandung kemih dan tidak

mempunyai kemampuan

untuk mengosongkannya

secara sempurna

Kuisioner

atau

wawancara

0. Anak tidak

menderita retensi

urine

1. Anak

menderita retensi

urine

nominal

3.4 Jenis dan Rancangan Penelitian(26)

Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan

rancangan cross sectional. Desain studi cross sectional yaitu studi dimana

peneliti mencari hubungan antara variabel bebas (faktor resiko) dengan

variabel tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat yang

digunakan untuk menentukan hubungan antara faktor resiko dan penyakit..

Rancangan penelitian bersifat observational analitik, yaitu suatu studi yang

bertolak dari hipotesis tentang alasan-alasan atau dasar-dasar yang mungkin

mengenai distribusi penyakit yang diteliti.

67

Page 68: Tinjauan Pustaka (Repaired)

langkah- langkah pada study cross sectional adalah

1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis yang dianut

2. Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung

3. Menetapkan subjek penelitian

4. Melaksanakan pengukuran

5. Melakukan analisis

Struktur studi cross sectional menilai peran faktor resiko dan terjadinya efek

3.5 Lokasi dan waktu penelitian

penelitian dilakukan di Kabupaten Ngada pada bulan Juli 2014

3.6 Populasi dan sampel

3.6.1 Populasi target

Populasi target meliputi semua anak yang menderita AFP yang berusia

dibawah 15 tahun

68

Faktor resiko

a. Efek (+)

b. efek (-)

c. Efek (+)

d. Efek (-)

Page 69: Tinjauan Pustaka (Repaired)

3.6.2 Populasi terjangkau

Semua anak yang menderita AFP yang berusia dibawah 15 tahun yang

berdomisili di Kabupaten Ngada

3.6.3 Sampel

Anak yang menderita AFP yang berusia di bawah 15 tahun yang tinggal

di Kabupaten Ngada yang memenuhi criteria inklusi dan bersedia

menjadi sampel penelitian sampai penelitian ini berakhir. Pengambilan

sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teknik total

sampling. Pengambilan sampel secara total maksudnya adalah semua

populasi anak yang berusia dibawah 15 tahun yang telah menerima

imunisasi tetapi menderita AFP dijadikan sampel.

3.7 Kriteria inklusi dan kriteria eksklusi

3.7.1 Kriteria inklusi

Anak yang menderita AFP dibawah 15 tahun yang berdomisili di

Kabupaten Ngada

Anak yang sudah pernah menerima imunisasi

3.7.2 Kriteria eksklusi

- Anak yang menderita AFP yang berusia di bawah 15 tahun

akibat trauma

- Penderita AFP yang berusia diatas 15 tahun

- Penderita AFP yang tidak pernah menerima imunisasi

69

Page 70: Tinjauan Pustaka (Repaired)

3.8 Alur penelitian dan cara kerja

3.8.1 Alur penelitian

70

Memilih masalah

Studi permasalahan

Merumuskan masalah

Menentukan variabel Menentukan populasi

Memilih sampel

Informed consent

Mengumpulkan data

Analisa data

Menarik kesimpulan

Menyusun laporan

Page 71: Tinjauan Pustaka (Repaired)

3.8.2 Cara kerja

6. Pra penelitian

Permohonan izin pelaksanaan penelitian dari yang didapat dari

institusi pendidikan

Mengajukan surat permohonan izin penelitian ke lokasi penelitian

7. Saat penelitian

Peneliti meminta bantuan tenaga kesehatan yang berada di daerah

setempat.

Peneliti memberikan penjelasan kepada calon responden tentang

tujuan penelitian, manfaat, dan prosedur pengumpulan data.

Peneliti meminta calon rersponden menandatangani informed

consent sebagai bentuk persetujuan bersedia menjadi responden.

Peneliti melakukan pengumpulan data.

8. Setelah penelitian

Setelah mendapatkan data mengenai pengetahuan dan pengaruh

imunisasi. Peneliti kemudian melakukan analisa hubungan dua

variabel menggunakan uji statistika dengan menggunakan program

komputer

3.9 Analisis data

3.9.1 Identifikasi data

71

Page 72: Tinjauan Pustaka (Repaired)

a. Data primer

Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara terstruktur

terhadap responden dengan menggunakan kuisioner serta melalui

observasi pengamatan data yang diambil meliputi faktor-faktor resiko

AFP

b. Data sekunder diperoleh dari instansi yang berkaitan dengan penelitian

seperti puskesmas dan dinas Kesehatan kabupaten Ngada.

3.9.2 Pengolahan data dengan komputer(27)

1. Editing

Editing adalah merupakan pengecekan dan perbaikan isian formulir atau

kuisioner tersebut:

Apakah lengkap, dalam arti semua pertanyaan telah terisi.

Apakah jawaban atau tulisan dari masing-masing pertanyaan cukup

jelas atau terbaca.

Apakah jawaban relevan dengan pertanyaannya.

Apakah jawaban-jawaban pertanyaan konsisten dengan pertanyaan

jawaban yang lainnya.

2. Coding

Setelah semua kuisioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan

peng”kodean” atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau

huruf menjadi data angka atau bilangan. Coding atau pemberian kode ini

sangat berguna dalam memasukkan data (data entry).

72

Page 73: Tinjauan Pustaka (Repaired)

3. Memasukan data (data entry)

Data yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dlaam

bentuk ”kode” (angka atau huruf) dimasukan ke dalam program atau

“software” komputer. Dalam proses ini juga dituntut ketelitian dari orang

yang melakukan “data entry” ini. Apabila tidak maka akan terjadi bias,

meskipun hanya memasukkan data saja.

4. Pembersihan data

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai

dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan

adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya,

kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini disebut

pembersihan data (data cleaning).

3.9.3 Jenis pengelolahan data(27)

Data yang dikumpulkan akan diolah, dianalisa dan diinterpretasi untuk

menguji hipotesis menggunakan program analisis statistic dengan metode

sebagai berikut :

5. Analisis univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat

tergantung dari jenis datanya. Untuk data numeric digunakan nilai mean

atau rata-rata, median dan standar deviasi. Pada umumnya dalam

73

Page 74: Tinjauan Pustaka (Repaired)

analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari

setiap variabel.

6. Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi. Dalam analisis bivariat dilakukan

beberapa tahap, antara lain :

Analisis proporsi atau presentase, dengan membandingkan

distribusi silang antara dua variabel yang bersangkutan.

Analisis dari uji statistik dalam hal ini menggunakan analisis chi

square, analisis dari hasil uji statistik ini akan dapat disimpulkan

adanya hubungan dua variabel tersebut bermakna atau tidak

bermakna.

Analisis keeratan hubungan dengan melihat hubungan antara dua

variabel tersebut, dengan melihat nilai odds ratio (OR). Besar

kecilnya OR menunjukan besarnya keeratan hubungan antara

dua variabel yang diuji.

7. Analisis multivariate

Analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan lebih dari satu

variabel. Uji statistik yang digunakan biasanya regresi berganda

(multiple regression), untuk mengetahui variabel independent mana

yang lebih erat hubunganya dengan variabel dependent.

74

Page 75: Tinjauan Pustaka (Repaired)

3.10 Jadwal kegiatan penelitian

Kegiatan

Tahun 2014

Bulan

4 5 6 7 8 9 10 11 12

Penyusunan

Proposal

Seminar

Proposal

Pengumpulan

Data

Pengolahan

dan Analisis

Data

Penyusunan

Laporan

75

Page 76: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Seminar

Hasil

Ujian Skripsi

3.11 Rencana anggaran

Perihal Satuan JumlahBiaya satuan

(Rp)Total (Rp)

Transportasi

(pesawat)2 950.000,- 1.900.000,-

Kertas Rim 2 36.000,- 72.000,-

Tinta botol 1 45.000,- 45.000,-

Jilid 2 8.000,- 8.000,-

Lain-lain - - 500.000,- 500.000,-

Jumlah 2.525.000,-

76

Page 77: Tinjauan Pustaka (Repaired)

Daftar Pustaka

1. Kementrian Kesehatan RI [Internet]. 2012. Available from: www.depkes.go.id

2. Dorland WAN (Elsevier I. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. 31st ed. Arfan A, Mahode AA, Intansari DM, Dorothy, Veliani DP, Sagala FSP, et al., editors. Jakarta: ECG Medical Publisher; 2010. p. 572.

3. WHO. International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD) 10. WHO press; 2010.

4. WHO south-east asia. Immunization and Vaccine Development (IVD) SEARO. WHO press; 2013. p. 14–5.

5. Profil Kesehatan NTT. 2012.

6. IDAI. pedoman imunisasi di Indonesia. Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko, editors. 2011.

7. Ikatan R, Anak D, Idai I. Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun. 2011;2011.

8. Fonseca LF, Noce TR, Letícia M, Teixeira G, Lúcio A, Jr T, et al. EARLY-ONSET ACUTE TRANSVERSE MYELITIS FOLLOWING HEPATITIS B VACCINATION Case report. 2003;61(August 2002):265–8.

9. Stubgen J-P. immun-mediated myelitis following hepatitis B vaccination. 2012;

10. Geier MR, Geier DA, Zahalsky AC. Influenza vaccination and Guillain Barre syndrome . 2003;107:116–21.

11. data AFP Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada.

77

Page 78: Tinjauan Pustaka (Repaired)

12. Unit V, Disease I, Lumpur K, Lumpur HK. AFP S URVEILLANCE IN M ALAYSIA LABORATORY ACUTE FLACCID PARALYSIS SURVEILLANCE IN MALAYSIA : A DECADE OF COMMITMENT TO THE WHO GLOBAL POLIO ERADICATION INITIATIVE.

13. Leeds G& L. Acute FLaccid paralysis. 2013;2013.

14. Yahaya NA. acute flaccid paralysis.

15. Soedarma SS poorwo, Gama H, Hadinegoro SRS, Satari HI. buku ajar infeksi dan pediatri tropis. 2012.

16. epidemiologi poliomyelitis dan aspek imunisasi.

17. He Y, Mueller S, Chipman P, Al E. Complexes of Poliovirus Serotyoes with Their common cellular receptor, CD 155. 2003;

18. Baron S et al. Baron’s medical microbiologi : picornavirus, Enterovirus and Poliovirus. 4th ed. Texas: University Of Texas;

19. Todar K, Madison U of W-. Polio. 2006;

20. Sabin A. Pathogenesis of Poliomyelitis : reappraisal in the ligth new data.

21. Mueller S, Wimmer E, Cello J. poliovirus and poliomyelitis : a tale of guts, brains and accidental event. 2005;2–3.

22. INTERNATIONALE AM. PENYAKIT MENULAR : COMMUNICABLE DISEASES. 2006;

23. IDAI. Pedoman Imunisasi di Indonesia. 3rd ed. Badan Penerbit Ikatan Dokter anak Indonesia; 2008.

24. IDAI. jadwal imunisasi Anak umur 0-18 bulan. 2011.

25. Riyanto A. KUESIONER PENGETAHUAN DAN SIKAP DALAM Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian Kesehatan.

26. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. 4th ed. Jakarta: sagung seto; 2011.

78

Page 79: Tinjauan Pustaka (Repaired)

27. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. 1st ed. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.

79