tinjauan pustaka (repaired)
DESCRIPTION
bbbTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Acute Flaccid Paralisis (AFP) bukan merupakan diagnosis suatu penyakit
tetapi penyakit apapun yang mempunyai gejala lumpuh-layu akut pada saat
ditemukan tanpa memperhatikan penyebab kecuali ruda paksa (benturan).
(1)Kelumpuhan secara acutea dalah perkembangan kelumpuhan yang berlangsung
cepat antara 1-14 hari sejak terjadinya gejala awal (nyeri, kesemutan, rasa kebas)
sampai kelumpuhan maksimal.(1)Kelumpuhan Flaccid adalah kelumpuhan yang
bersifat layu/ lemas/ tonus otot menurun atau hilang sehingga kekuatan otot
menurun (paresis) atau tidak ada kekuatan otot (paralysis).(1)
Acute Flaccid Paralysis adalah setiap paralisis yang disertai dengan hilangnya
tonus otot dan tidak adanya refleks tendo pada bagian yang mengalami paralisis
dengan pola perjalanan penyakit yang singkat dan relatif berat. (2)Kasus AFP
adalah setiap kelemahan atau kelumpuhan yang bersifat flaccid yang terjadi
secara akut pada anak usia kurang dari 15 tahun dan bukan karena trauma.(1)
ICD 10 menetapkan 16 kriteria diagnosis penyakit yang digolongkan sebagai
kasus AFP, yaitu poliomyelitis, polioencephalitis, guillain-barre syndrome (GBS),
transverse myelitis, paraplegia, diplegia, monoplegia-upper, monoplegia lower,
quadriplegia/tetraplegia, plegia-unspecified, plegia-other, flaccid muscie
1
paralysis, transient paralysis of a limb, myelitis-postvaccinal, mononeuritis-upper
limb, mononeuritis-lower limb.(3)Berdasarkan data WHO di kawasan Asia yaitu
data Negara peserta SEARO, New Delhi, 2013 yang di publikasikan pada tanggal
5 Februari 2014, yaitu India, Nepal, Myanmar, Indonesia, Bangladesh dan
Thailand total kasus AFP adalah 59.221,dengan jumlah kasus AFP di Indonesia
sebesar 1902. Total kasus AFP non-polio di tahun 2013 adalah sebesar 56.183
penderita, dengan jumlah kasus tertinggi di Negara India yaitu sebesar 51.800 dan
Indonesia berada pada urutan kedua yaitu dengan jumlah kasus 1824.(4)
Profil kesehatan NTT tahun 2012 melampirkan bahwa jumlah kasus AFP
pada tahun 2013 adalah sebesar 69 kasus. Ditjen. PP & PL Kementerian
Kesehatan telah menetapkan indikator surveilans AFP yaitu ditemukannya Non
Polio AFP Rate minimal sebesar 2/100.000 anak usia< 15 tahun. Provinsi NTT
dengan Non Polio AFP Rate pada tahun 2010 sebesar 1,5 per 100.000 anak usia <
15 tahun, sedangkan pada tahun 2011 sebesar 4,4 per 100.000 anak usia < 15
tahun, dan pada tahun 2012 sebesar 3,9 per 100.000 anak usia < 15 tahun, ini
berartiNTT pada tahun 2012 sudah memenuhi target nasional yakni Non Polio
AFP Rate ≥ 2 per 100.000 usia di bawah 15 tahun.(5)
Dalam dunia kesehatan dikenal tiga pilar pilar utama dalam meningkatkan
kesehatan masyarakat yaitu preventif, kuratif dan rehabilitatif. Imunisasi
merupakan unsur utama dalam preventif atau pencegahan.(6) Imunisasi merupakan
induksi imunitas. Imunisasi dibagi atas dua yaitu imunisasi aktif dan pasif. (2)
2
imunisasi adalah cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu
penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit tersebut ia tidak akan
menjadi sakit. Kekebalan yang diperoleh dari imunisasi dapat berupa kekebalan
pasif maupun aktif. Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit
tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok
masyarakat (populasi), atau bahkan menghilangkanya dari dunia seperti pada
keberhasilan imunisasi cacar variola.(6) Terdapat lima imunisasi wajib yang harus
diberikan pada anak yaitu imunisasi Polio, Campak, Hepatitis B, BCG dan DPT
tetapi berdasarkan jadwal Imunisasi IDAI 2011 tidak dibedakan lagi mana
imunisasi wajib dan imunisasi tidak wajib karena semuanya penting untuk
menurunkan angka perkembangan penyakit berdasarkan IDAl 2011 imunisasi-
imunisasi yang harus diberikan adalah imunisasi Hepatitis B, Polio, BCG, DPT,
Hib, PCV, Rotavirus, Influenza, Campak, MMR, Tifoid, Hepatitis A,Varizela dan
HPV.(7)
Pedoman imunisasi di Indonesia menjelaskan bahwa oral polio virus (OPV)
merupakan vaksin yang aman dan efektif tetapi kandungan vaksin berupa virus
hidup yang dilemahkan sehingga dapat mengakibatkan 1 kelumpuhan untuk
setiap 3 juta dosis, baik pada anak yang di vaksin atau orang di sekitarnya.(6)
menurut data dari IDAI kejadian pasca ikutan imunisasi hepatitis B jarang terjadi.
Segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak terlalu tinggi dan pada
tempat suntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri
sendi.(6) Tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Luiz Fernando
3
Fonseca et al menjelaskan bahwa akut tranverse myelitis dapat terjadi akibat
pemberian vaksin hepatitis B dan infeksi saluran pernapasan. Hal ini terjadi pada
anak usia tiga tahun yang menderita transverse myelitis akut setelah mendapatkan
imunisasi hepatitis B. (8) Selain itu berdasarkan penelitian Joerg-Patrick Stubgen
mengatakan bahwa terjadi immune-mediated myelitis yang terjadi setelah
pemberian vaksin hepatitis B.(9)
Mark R. Geier et al menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
pemberian vaksin influenza(10) dan vaksin hepatitis B(6) terhadap kejadian Guillain
Barre Syndrome (GBS).(10) Selain itu berdasarkan data Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi (KIPI) GBS juga dapat disebabkan oleh imunisasi DPT (DT/Td/TT). (6)
Poliomyelitis, Tranverse Myelitis dan GBS merupakan tiga penyakit utama yang
menyebabkan terjadinya AFP pada anak di bawah 15 tahun sehingga
menyebabkan kelumpuhan permanen atau bahkan kematian.
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan atau kogntif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(overt behaviour). Rendahnya pengetahuan ibu tentang kejadian pasca imunisasi
bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya AFP pada anak yang terjadi justru
pasca imunisasi. Hal ini berdasarkan observasi yang peneliti lakukan pada
beberapa ibu yang anaknya menderita AFP padahal anaknya telah dimunisasi.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada tahun Januari 2013
4
sampai April 2014 terdapat 20 kasusAFP yang tersebar di beberapa kecamatan,
yaitu : 10 kasus di Kecamatan Bajawa, 1 kasus di Kecamatan Aimere, 3 kasus di
kecamatan Golewa, 4 kasus di Kecamatan Bajawa utara, 1 kasus di kecamatan
Riung dan 1 kasus di Kecamatan Soa.(11)
Berdasarkan data di atas peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Analisa Pengaruh Pemberian Imunisasi dan Tingkat Pengetahuan Ibu
terhadap Kejadian AFP di Kabupaten Ngada Tahun 2014”
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan permasalahan sebagai berikut
apakah terdapat hubungan antara pemberian imunisasi dan pengetahuan ibu
terhadap kejadian AFP di Kabupaten Ngada?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 tujuan umum
Menganalisa hubungan pemberian imunisasi dan tingkat pengetahuan ibu
terhadap kejadian AFP di kabupaten Ngada
1.3.2 tujuan khusus
a. Mengidentifikasi komponen-komponen imunisasi yang dapat
menyebabkan AFP pada anak
b. Mengindentifikasi pengetahuan ibu terhadap gejala ikutan pasca imunisasi
pada anak
c. Mengidentifikasi faktor resiko utama yang menyebabkan AFP
d. Mengetahui karakteristik setiap diagnosa yang digolongkan AFP
e. Mengetahui persentase derajat AFP di Kabupaten Ngada
5
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi ilmu kedokteran khususnya kedokteran tropis dan kedokteran
anak
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberikan suatu diagnosa kasus yang
tepat dalam bidang kedokteran anak dan penyakit tropis khususnya yang
berhubungan dengan AFP
1.4.2 Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada dan dinas Kesehatan Propinsi
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dalam pengambilan
kebijakan suatu program kesehatan terutama dalam menangulangi penyakit
infeksi di Kabupaten Ngada dan di daerah seluruh NTT khususnya AFP
1.4.3 Masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Ngada
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi dan bahan
pengajaran untuk masyarakat agar semakin waspada terhadap penyakit AFP.
1.5
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Acute flaccid paralysis (AFP)
I. Pengertian
Acute Flaccid Paralisis (AFP) bukan merupakan diagnosis suatu penyakit
tetapi penyakit apapun yang mempunyai gejala lumpuh- layu akut pada saat
ditemukan tanpa memperhatikan penyebab kecuali ruda paksa (benturan).
(1)Kelumpuhan secara acute adalah perkembangan kelumpuhan yang
berlangsung cepat antara 1-14 hari sejak terjadinya gejala awal (nyeri,
kesemutan, rasa kebas) samapai kelumpuhan maksimal.(1)Kelumpuhan
Flaccid adalah kelumpuhan yang bersifat layu/ lemas/ tonus otot menurun
atau hilang sehingga kekuatan otot menurun (paresis) atau tidak ada kekuatan
otot (paralysis).(1)
Acute flaccid paralysis (AFP) atau lumpuh layu akut adalah setiap
paralisis yang disertai dengan hilangnya tonus otot dan tidak adanya refleks
tendon pada bagian yang mengalami paralisis dengan pola perjalanan penyakit
yang singkat dan relatif berat. (2) Kasus AFP adalah setiap kelemahan atau
kelumpuhan yang bersifat flaccid yang terjadi secara akut pada anak usia
kurang dari 15 tahun dan bukan karena ruda paksa(benturan).(1)
7
Berdasarkan data SEARO New Delhi pada tahun 2013 jumlah penderita
AFP non-polio adalah 1824 dan jumlah penderita terendah adalah pada
bulan desember sebanyak 73 penderita. (4)Dapat dilihat pada
table 1 : data Searo-India tentang kasus AFP di Indonesia 2013
WHO dalam upaya menanggulangi kasus AFP telah mengeluarkan
beberapa protocol untuk setiap Negara dalam melakukan survey AFP di
Negara masing-masing. Dalam hal ini dilampirkan contoh protokol
survailans yang digunakan oleh Negara Malaysia untuk melakukan
pengawasan terhadap perkembangan kasus AFP.(12)
8
Table 2 : protocol for AFP surveillance in Malaysia
II. Etiologi(13)
AFP merupakan kumpulan gejala tetapi bukan merupakan diagnosis
akhir penyakit. AFP dapat disebabkan oleh beberapa agent yaitu enterovirus
(termasuk poliovirus), echovirus, edenovirus, West Nile virus, campylobacter
spp.
AFP juga dapat disebabkan oleh tranverse myelitis, neuropati perifer,
meningitis non-bakterial akut, abses otak, sindrom China,porphyria dan
botulism.
III. Mode Transmisi dan Periode inkubasi(13)
Berdasarkan agent penyebab
9
IV. Perjalanan klinis AFP(14)
Perjalanan klinis AFP dimulai dengan anak yang kesulitan berjalan
padahal pada awalnya anak tersebut dapat berjalan tanpa ada riwayat trauma
tungkai yang terjadi pada anak dibawah 15 tahun.
Karakteristik utama dari AFP berhubungan dengan polio paralisis yang
bersifat asimetris (tidak menyebabkan kelumpuhan kedua tungkai), yang
merusak beberapa otot, gejala ini biasanya didahului oleh demam.
kesulitan berjalan dapat disebabkan oleh 3 kerusakan, yang dapat dilihat
pada tabel di bawah ini :
10
Bagan 1 : bagan perjalanan klinis penyakit AFP
V. Diagnosis dan test laboratorium(13)
Konfirmasi klinik merupakan onset akut dari kelumpuhan fokal atau
paralisis yang digolongkan sebagai flaccid tanpa ada penyebab lain terutama
trauma yang terjadi pada anak di bawah 15 tahun. AFP merupakan gejala
yang bisa disebabkan oleh beberapa patogen. Uji laboratorium digunakan
untuk menentukan penyebab terjadinya AFP, sampel yang digunakan berupa :
11
Sampel tinja
Pengumpulan tiga sampel tinja dan apusan pharing dua minggu
sampai enam minggu setelah terjadinya paralisis. Pengumpulan
sampel ini bertujuan untuk melihat apakah kelumpuhan tersebut
disebabkan oleh virus atau campylobacter.
Sampel serum
Harus dikumpulkan segera mungkin untuk test serologis polio.
Sampel serum yang kedua harus dikumpulkan dua minggu setelah
pasien mengalami fase akut paralisis, atau satu bulan setelah pasien
berada pada fase penyembuhan. Sampel yang dikumpulkan
bertujuan untuk melakukan test titer antibodi Poliovirus dengan
menggunakan neutralization testing.
Apusan nasopharing, apusan tenggorokan, dan cairan
cerebrospinalis
MRI, CT-scan, uji konduksi nervus,dan elektromyografi untuk
pemeriksaan neurologi
VI. Pembagian AFP
A. poliomyelitis
1. Pengertian
Poliomyelitis adalah penyakit infeksi akut yang terjadi secara sporodis
atau endemik dan yang disebabkan oleh virus, biasanya polio virus tetapi
kadang oleh coxsackievirus atau echovirus. Penyakit ini secara klinis
12
ditandai dengan demam, sakit tenggorokan, sakit kepala dan muntah, yang
seringkali disertai kekakuan pada leher dan punggung.(2) virus polio adalah
RNA rantai tunggal positif virus ultra microscopic dengan ukuran
27µ,termasuk enterovirus dalam family Picornaviridae. Terbagi atas lima
genus, diantaranya yang paling patogenik pada manusia adalah
Enterovirus, Hepatovirus, dan Rhinovirus. Enterovirus terbagi lagi dalam
71 spesies, yaitu berbagai virus Polio, virus Coxsackie, dan Enterovirus
68-71. Virus terdiri dari tiga strain yaitu strain 1 (Brunhilde), strain 2
(Lansig) dan strain 3 (leon). 30% terdiri dari dari virion mayor protein
(VP1-4) dan satu protein minor (VPg). Perbedaan tiga jenis strain terletak
pada sekuen nukleotidanya. VP1 adalah antigen yang paling dominan
dalam membentuk antibody netralisasi. Strain 1 adalah yang paling
paralitogenik dan sering menimbulkan wabah, sedang strain tiga paling
tidak imunogenik. Virus ini ditutup oleh kapsid protein.Selain berfungsi
sebagai pelindung meteri genetik virus kapsid protein juga membuat virus
dapat menginfeksi semua tipe sel.(15) Tipe 1 menjadi penyebab 85% dari
semua kasus poliomyelitis paralitik dan penyebab sebagian besar epidemic
poliomyelitis. Tipe 3 menjadi penyebab sekitar 10 % kasus poliomyelitis
paralitik dan kadang-kadang menimbulkan epidemik. Tipe 2 menjadi
penyebab sekitar 5 % kasus poliomyelitis paralitik. Reservoir dari virus ini
adalah manusia.(16)Polio juga dapat disebabkan oleh enterovirus lain yaitu
13
Coxsackie A (A7,A9) dan B (B2 sampai B4) virus-virus (tipe 1,2, 4, 6, 7,
9, 11, 16, 18, 30) ECHO virus dan enterovirus 70 dan 71. (15)
Pada minor illness (abortive poliomyelitis) mungkin hanya gejala
diatas yang terjadi. Mayor illness dengan atau tanpa didahului gejala
minor, ditandai dengan gangguan system saraf pusat, kaku leher,
pleositosis dalam cairan spinalis, dan kadang-kadang paralisis.
Selanjutnya dapat terjadi atrofi pada kelompok-kelompok otot yang
berakhir dengan kontraksi dan deformitas yang menetap. Penyakit
poliomyelitis ditandai dengan rusaknya cornu anterior (sel motorneuron)
dari sel ganglion medulla spinalis atau pada batang otak.Virus polio
umumnya menerang anak berusia dibawah 3 tahun dan jarang menyerang
anak usia lebih dari 15 tahun.Virus polio tahan terhadap asam, sabun,
ether, dan chloroform.Virus ini dapat diinaktivasi dengan pemanasan,
formalin, UV, chlorine, dan pengeringan.Virus polio dapat bertahan hidup
berdasarkan suhu. (16)
a) Suhu beku : beberapa tahun
b) Suhu lemari es : beberapa bulan
c) Suhu kamar : beberapa hari
d) Suhu 500C atau lebih : cepat rusak
2. Penularan (16)
Fecal-oral :
14
Penularan paling banyak, karena virus akan hidup dalam tinja
penderita, beberapa saat atau hari sebelum lumpuh, maksimal
100 hari setelah lumpuh.
Disebabkan oleh kebersihan lingkungan yang rendah, tinja
dapat mencemari makanan dan minuman atau virus dari tinja
yang di bawa oleh lalat ke makanan dan minuman
Oral-oral
Jarang terjadi, karena virus yang hidup dalam liur penderita
sangat pendek, maksimal 2 minggu
Biasanya terjadi pada lingkungan yang bersih
Masa inkubasi virus ini pendek 7-14 hari (yang terpendek 4 hari),
dengan range 3-35 hari. Ekskresi virus melalui tinja secara intermiten
sampai 6-8 minggu atau melalui ludah 1-2 minggu setelah lumpuh.
Ekskresi terbanyak pada beberapa saat sebelum lumpuh sampai 2 minggu
setelah lumpuh. Ekskresi virus sangat menurun setelah 4 minggu lumpuh.
3. Patogenesis
virus masuk melalui mulut (oral) lalu melakukan replikasi pada lapisan
tonsil dan usus, serta kelenjar limfe. Virus ini dapat masuk karena
berikatan dengan immunoglobin-like reseptor, yang dikenal sebagai
polio reseptor atau CD155, pada permukaan selnya.(17) Kemudian virus
akan masuk ke dalam sel induk dan melakukan replikasi. Virus polio
15
akan membelah pada sel ganstrointelstinal dalam waktu kurang lebih 1
minggu. Setelah membelah virus akan bermigrasi dan melekat pada
tonsil (terutama pada sel dendritik folikular dan akan tinggal di dalam
centrum germinativum tonsil), juga melekat pada jaringan limfoid usus
juga melekatpada sel M dan plaque peyeri dan virus masuk ke dalam
cervical dan mesenterika limfe nodus sehingga akan mengalami
multiple replikasi.(18)
Virus juga akan diserap masuk ke dalam darah (viremia).
Apabila virus sudah berada di dalam peredaran darah maka virus
masuk ke seluruh bagian tubuh. Virus polio dapat bertahan dan
melakukan pembelahan dalam darah dan limfe nodus untuk waktu
yang lama kurang lebih 17 minggu.(19) Pada beberapa kasus polio virus
dapat masuk dan bereplikasi pada lemak coklat dan sel
retikuloendotheal dan juga pada otot.(20) Virus akan masuk ke dalam
sistem saraf pusat menyebabkan respon inflamasi lokal. Mekanisme
virus polio dapat masuk ke dalam sistem saraf pusat sampai sekarang
belum diketahui.(21)
4. Gambaran klinis polio(22)
Poliomyelitis subklinis
Adanya demam tanpa gejala lain atau dengan beberapa gejala berikut ini
yang berlangsung kurang lebih 72 jam : demam ringan, lemas, anoreksia,
mual, muntah, sakit kepala, tenggorokan kering, muntah, sembelit, dan
16
myeri perut yang tidak khas. Batuk kering, batuk dengan lender di
tenggorokan, diare, keram dan kejang perut tidak umum terjadi. Demam
biasanya mencapai 39.50C, dan kerongkongan biasanya menunjukan
sedikit saja perubahan bila dibndingkan dengan keluhan nyeri.
Abortive polio
Karakteristik dari abortif polio adalah adanya respiratori infeksi dan
gastroenteritis, tetapi biasanya tidak berbahaya. Infeksi ini dapat diatasi
oleh pertahanan tubuh host sebelum masuk system saraf pusat. Gejalanya
meliputi demam, sakit kepala, muntah, diare, konstipasi dan sakit
tenggorokan
Polio non- paralitik
Gejalanya hampir sama seperti poliomyelitis subklinis, kecuali sakit
kepala, mula, dan muntah terjadi lebih sering, dan rasa perih dan nyeri
pada otot leher, badan dan tungkai. Paralisis kandung kemih jarang
terjadi dan biasanya sering susah buang air besar. Kurang lebih dua dari
tiga anak-anak mengalami fase bebas- gejala antara fase pertama (fase
sakit ringan) dan fase kedua (mengenai sistem saraf pusat dan sakti
berat). Kedua fase ini jarang terjadi pada orang dewasa, dimana
perubahan gejala lebih tersembunyi dan membahayakan. Kaku kuduk
dapat ditemukan sebagai tanda penting pada diagnosa poliomyelitis non
paralisis fase kedua.
17
Pemerikasaan fisik menunjukan tanda-tanda kaku kuduk dan perubahan
pada refleks superfisial dan refleks dalam. Jika diagnosa masih
menunjukan ketidakpastian, pemmeriksaan harus dilakukan untuk
membuktikan tanda-tanda Kernig dan Brudzinski. Menekukan kepala
dengan perlahan dapat berlanjut ke kaku punggung. Posis kepala jatuh
dapat diperiksa dengan menempatkan tangan dibawah bahu pasien dan
mengangkat badan pasien. Biasnaya kepala akan mengikuti jatuhnya
badan tetapi pada kasus poliomyelitis seringkali kepala jatuh lebih jauh
ke belakang. Jatuhnya kepala bukan karena kelumpuhan otot fleksor
leher. Pada gejala awal refleks biasanya aktif dan berlangsung seperti itu
kecuali paralisis berat. Kerusakan sensoris tidak terjadi pada
poliomyelitis.
Polio paralitik (mayor illness)
Kurang lebih 1% pasien yang terinfeksi, virus polio akan masuk dan
menyebar ke dalam serabut saraf dan merusak saraf motorik yang berada
di medulla spinalis, batak otak dan korteks motorik.
Manifestasi klinisnya seperti poliomyelitis non-paralisis dengan
tambahan pada lemahnya beberapa kelompok otot, baik otot rangka
maupun otot cranial. Gejala ini biasanya diikuti oleh fase bebas gejala
selama beberapa hari dan kemudia terjadi lagi paralisis berulang.
Paralisis kandung kemih selama satu sampai tiga hari terjadi kurang lebih
pada 20% pasien, dan antonia usus biasa terjadi, biasanya pada titik
18
paralisis ileus. Pada beberapa pasien, paralisis otot dapat menjadi tanda
utama. Pasien dengan paralisis otot, 30% akan sembuh, 30% akan
menunjukan kecacatan, 30% akan mengalami cacat berat, dan 10% akan
menunjukan gejala sakit parah yang dapat mengakibatkan kematian.
Pada stadium akut (sejak gejala klinis pertama dan dua minggu
kemudian) akan ada kenaikan temperatur dan kurang dari sepuluh hari
disertai dengan sakit kepala dan muntah. Paralisis terlihat satu minggu
setelah gejala klinis pertama. Paralisis ini terjadi karena rusaknya saraf
motorik di sumsum tulang belakang karena invasi virus. Paralisis ini
memiliki kecenderungan terjadi secara asimetris dan menyebabkan
deformitas permanen. Kebanyakan paralisis akan menyerang tungkai
(78.6%), sekitar 41.4% akan menyerang lengan. Paralisis akan terus
terjadi selama dua hari sampai dua minggu. Selama stadium sub-akut
(dua minggu sampai dua bulan), demam akan menurun dalam 24 jam.
Kadang-kadang ada nyeri otot dan sakit. Ada juga paralisis pada satu sis
ekstremitas.
Pada stadium penyembuhan (dua bulan sampai dua tahun) terlihat tanda-
tanda kelemahan otot. Sekitar 50-70% dari fungsi otot kembali pulih
dalan enam sampai sembilan bulan satelah fase akut. Kemudian, setelah
dua tahun, tidak ada lagi kekakuan otot. Stadium kronis setelah dua tahun
dari saat gejala dimulai, biasanya menunjukan kelemahan otot yang
permanen dan kecacatan.
19
5. Faktor Resiko (16)
a. Host
Tidak mempunyai kekebalan terhadap virus polio
Belum mendapatkan imunisasi polio atau imunisasi belum lengkap
Anak usia kurang dari 3 tahun memiliki resiko tinggi untuk tertular
Anak usia lebih dari 15 tahun sangat kecil kemingkinan untuk
tertular
b. Tempat
Daerah dengan cakupan imunisasi rendah
Sanitasi lingkungan yang buruk
Pemukiman kumuh yang padat penduduk
c. Waktu-musim
Di Negara tropis : musim hujan
Negara subtropics : musim dingin dan awal musim semi
B. Guillain-Barre Syndrome
a) Pengertian(2)
Guillain-barre syndrome (GBS) adalah paralisis asendens dari neuron
motorik yang berlangsung progresif dan cepat tanpa diketahui etiologinya,
sering terjadi setelah infeksi enterik atau respiratorik. Gejala dimulai
dengan parastesis kaki, yang kemudian diikuti oleh paralysis flaccid
tungkai, lalu naik mencapai lengan, batang tubuh dan muka yang disertai
dengan sedikit demam, kelumpuhan bulbar, penurunan atau hilangnya
20
refleks tendo, dan peningkatan kadar protein dalam cairan sebrospinalis
tanpa terjadi peningkatan jumlah sel.
b) Epidemiologi
Dapat menyerang semua jenis umur. Insiden antara 0.5-2 kasus per
100.000 orang per tahun. Populasi perempuan : laki-laki = 2:1. pasien
GBS yang disebabkan oleh infeksi C. jejuni adalah 0.25-0.65 per 1000
kasus. Dan pasien GBS yang disebabkan oleh infeksi cytomegalovirus 0.6-
2.2 per 1000 kasus. Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada
semua musim. Dowling dkk menemukan bahwa frekuensi tersering pada
akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus
influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun ditemukan bahwa penyakit ini
hampir terjadi setiap saat dalam setahun, dan ditemukan bahwa 60% kasus
terjadi antara bulan juli sampai dengan oktober yaitu pada akhir musim
panas dan musim gugur, dan dapat terjadi pada saat musim hujan untuk
daerah tropis.
Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinik telah
melakukan penelitian terhadap insiden usia terkena GBS. Terjadi puncak
insiden antara usia 15-35 tahun dan antara 40-74 tahun. Jarang mengenai
usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3
bulan dan yang paling tua usia 95 tahun.
c) Etiologi dan Pathogenesis
21
GBS biasanya disebabkan oleh beberapa penyebab. Walaupun sampai
sekarang tidak diketahui etiologi secara pasti, tetapi pada beberapa pasien,
penyakit ini didahului oleh infeksi Mycoplasma pneumoniae atau akibat
infeksi varicella-zoster virus, paramyxoviruses (mumps), HIV, Epstein-
barr virus (mononucleosis infeksi), atau akibat Campylobacter
jejuni.Campylobacter jejuni biasanya menjadi pencetus dari respon
autoimun. Hampir sebagian kasus didahului oleh infeksi saluran napas
atas (ISPA) dan diare. Infeksi ang paling banyak diidentifikasi yang
berhubungan dengan GBS adalah Campylobacter jejuni, yaitu sekitar 30%
kasus dan 10% kasus disebabkan oleh Cytomegalovirus.
Hipotesis yang masih dianut sampai saat ini adalah bahwa sistem imun
menyerang tubuhnya sendiri, sistem imun mulai menghancurkan selubung
myelin yang mengelilingi akson saraf perifer atau bahkan menghancurkan
akson saraf. Teori yang membenarkan hipotesis ini adalah teori organisme
(virus atau bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel saraf sehingga
sistem imun tubuh mengenalnya sebagai benda asing. Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti limfosit dan makrofag untuk
menyerang myelin. Limfosit T dan B yang tersensitisasi akan
memproduksi antibody melawan komponen-komponen selubung myelin
dan menyebabkan destruksi dari myelin
d) Klasifikasi
22
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan,
yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Muller Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia
e) Faktor resiko
Semua jenis umur dengan puncak insiden antara usia 15-35 tahun dan
antara usia 40-74 tahun, jarang pada usia di bawah 2 tahun
Dapat dipicu oleh :
Paling sering infeksi dengan campylobacter jejuni, micoplasma
pneumonia, cytomrgalovirus
Jarang akibat rabies
Penyakit Hodgkin
HIV/AIDS
Mononucleosis
Virus Epstein-barr
Vaksin influenza
Vaksin hepatitis B
23
f) Gambaran Klinis
Demam biasanya terjadi 2-3 minggu sebelum paralisis
Gejala awalnya adalah mati rasa pada tungkai, parestesis (dapat
merupakan gejala awal penyakit), lemah, sakit pada tungkai dan
lengan.
Kelumpuhan umumnya tungkai bawah tapi dapat juga dari lengan atas
(derajat berbeda), dapat dari otot wajah tetapi jarang terjadi dan selalu
simetris. Apabila mengenai otot interkostal dan leher dapat
menyebabkan gagal napas
Biasanya menyerang saraf kranial, biasanya VII (unilateral atau
bilateral), IX, X jarang III,IV,VI
Rasa sakit dan dan lemah pada otot biasanya mendahului gejala
lumpuh (paralisis).
Gangguan miksi atau defekasi, sinus takikardi, aritmia jantung,
hipotensi postural, hipertensi dan gangguan vasomotor
Hipotoni dan hipofleksi selalu ditemukan
Jarang terjadi gangguan objektif sensorik
g) Criteria diagnosa klinik GBS menurut Ashubury
a. Criteria yang harus ada
Kelemahan progresif lebih dari satu anggota gerak
Hiporefleksia atau arefleksia
b. Menunjang diagnosa
24
Progresitivitas sampai 4 minggu
Relative simetris
Gangguan sensoris ringan
Keterlibatan saraf cranial (paling sering N VII)
Perbaikan dalam 4 minggu
Disfungsi autonom ringan
Tanpa demam
Protein LCS < 10/mm3
Perlambatan hantar saraf
c. Meragukan diagnosa
Asimetris
Disfungsi BAB dan BAK
Leukosit LCS > 50/mm3
Gangguan sensoris berbatas nyata
d. Mengevaluasi diagnosa
Gangguan sensoris saja
Terdiagnosa sebagai polineuropati lain
h) Perjalanan penyakit
1) Periode progresif
Gangguan fungsi motorik progresif baik distribusi maupun derajat
rata-rata 9 hari (2-21 hari)
2) Periode stabil
25
Mulai periode progresif berakhir sampai permulaan proses
penyembuhan 6 hari
3) Periode penyembuhan
Tanda-tanda penyembuhan klinis sampai penyembuhan lengkap
antara 3-4 minggu, kadang bulan bahkan tahun
i) Penilaian fungsi motorik
Tingkat I : gangguan motorik anggota gerak bawah
Tingkat II : gangguan keempat anggota gerak, kemungkinan kena
wajah uni atau bilateral
Tingkat III : gangguan keempat anggota gerak disertai otot tubuh
dan otot pernapasan ringan
Tingkat IV : tingkat III disertai gangguan suara, mengunyah dan
saraf cranial disertai gangguan pernapasan berat
j) Penilaian keadaan gangguan fungsi motorik
Tingkat I : kelumpuhan otot, penderita masih dapat berdiri dan
berjalan dengan bantuan
Tingkat II : penurunan kekuatan otot sampai 80%, fungsi gerakan
masih ada tetapi tidak dapat berdiri dan berjalan hanya berubah posisi
tidur
Tingkat III : penurunan hebat fungsi motorik sulit mengangkat kaki
dan tangan lebih100, tidak dapat merubah posisi
26
Tingkat IV : gangguan motorik lengkap anggota gerak hanya dapat
menggerakkan mata kadang leher, tingkat ini mutlak diperlukan
bantuan pernapasan
C. Transverse mielitis
1. Pengertian
Myelitis merupakan peradangan medulla spinalis, sering merupakan
bagian dari suatu proses penyakit yang lebih spesifik.
Transverse myelitis merupakan mielitis yang efek fungsional lesinya
melebar mengenai seluruh permukaan melintang sebuah segmen medulla
spinalis.
Gejala transverse mielitis mencakup hilangnya fungsi medulla spinalis
dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Biasanya diawali dengan
sakit punggung yang tiba-tiba, kelemahan otot atau sensasi abnormal pada
jari dan tungkai yang akan berkembang cepat menjadi gejala yang berat
yang mencakup kelumpuhan otot dan retensi urine.
Postvaksin myelitis merupakan transverse myelitis akut yang terjadi
tiga minggu setelah vaksinasi yang biasanya disebabkan oleh reaksi
imunologi terhadap komponen vaksin. Beberapa vaksin yang dapat
menyebabkan tranverse myelitis yaitu vaksin hepatitis B, rubella,
influenza (H1N1), dan DPT.
Walaupun ada beberapa individu yang sembuh dari transverse myelitis
dengan kerusakan yang kecil atau sembuh sempurna, beberapa individu
27
menderita transverse myelitis dengan kerusakan medulla spinalis yang
permanen. Kerusakan pada nervus sacralis yang merupakan segmen
bawah medulla spinalis yang membawa impuls ke paha, jari dan beberapa
bagian dari kaki. Kerusakan pada satu segmen dapat mempengaruhi
fungsi segmen tersebut dan segment di bawahnya. Kerusakan pada pada
level toracalis dapat menyebabkan abnormalitas pada pergerakan kaki,
control usus dan kandung kemih.
2. Epidemiologi
Dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa dengan range usia 10-
19 tahun dan 30-39 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian Luiz Fernando Fonseca dkk, tranverse
mielitis akut juga menyerang anak usia 3 tahun setelah mengalami infeksi
respirasi oleh virus dan setelah imunisasi hepatitis B.
3. Etiologi
28
Tabel 3 : agen penyebab transverse mielitis
4. Gambaran klinis
Gejala tranverse myelitis berkembang secara akut (dalam hitungan jam
sampai beberapa hari) atau subakut (berkembang selama 1-4 minggu).
Deficit neurologis berkembang selama dua sampai tiga hari dan
kemudian masuk dalam fase plateau yang ditandai dengan paraparesis
yang berkembang menjadi paraplegia dan bersamaan dengan tanda
penurunan neuron motorik bagian atas pada tungkai.
29
Gejalanya berupa sakit punggung bagian bawah, parastesi secara tiba-
tiba pada kaki, hilangnya fungsi sensoris,dan paraparesis, paraparesis ini
dapat berkembang menjadi paraplegia yang menyebabkan paralisis pada
kaki dan bagian tubuh bawah. Selain itu penderita akan mulai merasakan
disfungsi usus dan kandung kemih. Beberapa orang akan mengalami
spasma otot, rasa tidak nyaman pada tubuh, kepala pusing,demam, dan
kehilangan nafsu makan.
Berdasarkan luasnya gejala, transverse myelitis dibagi atas empat
klasifikasi yaitu :
Kelemahan tangan dan tungkai
Rasa sakit pada tangan dan tungkai
Perubahan sensasi
Disfungsi kandung kemih dan usus
5. Faktor resiko
Anak berusia di bawah 15 tahun dengan puncak usianya 9 tahun
Pernah terinfeksi virus: Herpes Simplex, Herpes Zooster,
Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, Enterovirus (Poliomyelitis,
coxsackle virus, echovirus), human T-cell, leukemia virus,
HIV,influenza, rabies, hepatitis A dan B, rubella
Mycoplasma pneumonia, Lyme borreliosis, Syphilis, Tuberculosis
Pernah mendapatkan imunisasi hepatitis B, influenza, DPT, rabies dan
rubella
30
B. Imunisasi
Pengertian
Imunisasi adalah induksi imunitas. Imunisasi aktif adalah stimulus sistem
imun untuk membentuk pertahanan melawan penyakit contohnya dengan
pemberian vaksin atau toksoid. Imunisasi adoptif adalah imunisasi pasif
dengan transfer limfosit yang tersensitisasi dari donor imun ke resipien yang
sebelumnya non-imun. Imunisasi pasif adalah timbulnya reaktifitas imun
spesifik yang sebelumnya non imun melalui pemberian sel limfoid
tersensitisasi atau serum dari individu yang imun.(2)
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu
pada seseorang, dan menghilangkan penyakti tersebut pada sekelompok
masyarakat ( populasi) atau bahkan menghilangkan dari dunia.(6)
Kualitas dan kuantitas vaksin(6)
Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan
keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian
adjuvan yan dipergunakan, dan jenis vaksin :
Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respon imun yang
timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas
lokal disamping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan
memberikan imunitas sistemik saja
Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi
respon imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat
31
respon imun yang diharapkan, sedangkan dosis yang terlalu rendah
tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat
diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai
dengan dosis yang direkomendasi
Frekuensi pemberian mempengaruhi respon imun yang terjadi.
Sebagaimana telah kita ketahui, respon imun sekunder
menimbulkan sel reseptor aktif lebih cepat, dan produksi serta
afinitas lebih tinggi. Disamping frekunsi, jarak pemberian vakin
juga mempengaruhi respon imun yang terjadi. Bila pemberian
vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik
masih tinggi, maka antigen yang masuk setelah dinetralkan oleh
antibodii spesifik yang masih tinggi tersebut sehinggs tidak sempat
merangsang sel imunokompeten. Bahkan dapat terjadi apa yang
dinamakan reaksi Arthus yaitu bengkak kemerahan di daerah
suntikan antigen akibat pembetukan kompleks antigen-antibodi
lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian
ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan
produsen vaksin sesuai dengan hasil uji klinis.
Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan
respon imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respon
imun dengan mempertahankan antigen pada atau dekat dengan
tempat suntikan, dan mengaktifasi sel APC (Antigen Precenting
32
Cells) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi
interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten.
Jenis vaksin hidup akan menimbulkan respon imun lebih baik
dibandingkan vaksin mati atau yang diinaktivasi, atau vaksin
komponen mikroorganisme. Ransangan sel Tc memori
membutuhkan sesuatu sel yang terinfeksi, karena itu dibutuhkan
vaksin hidup. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi
(dilemahkan) untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat
menimbulkan penyakti yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh
dengan cara memodifikasi kondisi tempat tumbuh
mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi
anaerob, atau menambah empedu pada medium hidup pada media
kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam
selama 13 tahun. Dapar pula dipakai mikroorganisme yang virulen
untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen.
Persyaratan vaksin(6)
Apabila dilihat dari sudut pandang mekanisme respon imun terhadap
pajanan antigen maka terdapat empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu:
Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan
memproduksi sitokin
Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel
memori
33
Mengaktivasi sel Th dan Tc terhadap beberapa epitop antigen
untuk mengatasi variasi respon yang ada didalam populasi karena
adanya polimorfisme MHC
Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikuler
dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga
dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang
membentuk antibodi terus-menerus sehingga kadarnya lebih
tinggi.
Vaksin yang memenuhi keempat criteria tersebut adalah vaksin hidup.
Pada umumnya antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi sudah cukup untuk
mencegah terjadinya infeksi sehingga pembentukan sel Tc terhadap berbagai
epitop antigen tidak merupakan keharusan. Misalnya pada penyakit difteria
dan tetanus misalnya yang dibutuhkan adalah antibodi untuk netralisasi
toksin.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)(6)
Kejadian Ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse events following
immunization (AEFI) adalah kejadian medic yang berhubungan dengan
imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi
sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi
suntikan, atau hubungan kasual yang tidak dapat ditentukan.
1. Epidemiologi KIPI
34
Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin
dalam jumlah besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan
melalui uji klinis yang lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis fase 1
dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase selanjutnya pada manusia.
Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan vaksin (reactogenicity and
safety), sedangkan pada fase 3 keamanan juga dilakukan uji efektivitas vaksin.
Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak,
maka untuk menilai KIPI diperlukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar
yang dikenal sebagai post marketing survailence (PMS), tujuan PMS adalah
untuk memonitor dan mengetahui keamaan vaksni setelah pemakaian yang
cukup luas di masyarakat (dalam hal ini program imunisasi). Data PMS dapat
memberikan keuntungan bagi program apabila semua KIPI terutama KIPI
berat) dilaporkan dan masalah akan segera diselesaikan. Sebaliknya akan
merugikan apabila program tidak segera tanggap terhadap masalah KIPI yang
timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadao efek samping vaksin
dengan segala akibatnya.
Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committee of the
Institute of Medicine (IOM) di USA sangant sulit untuk mendapatkan data
KIPI oleh karena:
Mekanisme biologis gejala KIPI kurang dipahami
Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan akurat
Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh
35
Surveilans KIPI belum dilakukan untuk jangka panjang
Publikasi KIPI dalam jumlah kasus yang besar masih kurang
2. Klasifikasi KIPI
Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI)
mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi:
a. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pasific (1999) untuk
petugas kesehatan lapangan. Berdasarkan klasifikasi ini KIPI
dikelompokan dalam lima kelompok yaitu:
Kesalahan program atau teknik pelaksanaan
Reaksi suntikan
Induksi vaksin
Faktor kebetulan
Penyebab tidak diketahui
b. Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah
Komnas PP KIPI.
Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifiaksi KIPI yang sedikit
berbeda dengan laporan Committee Institute of Medicine (1991) dan
menjadi dasar klasifikasi saat ini, yaitu:
Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated)
Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan
kausal (unlikely)
Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)
36
Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable)
Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)
Pada tahun 2009, WHO merekomendasikan klasifikasi kausalitas baru
berdasarkan dua aspek yaitu waktu timbulnya gejala (onset time) dan
penyebab lain yang dapat menerangkan terjadinya KIPI (alternate
explanation: no, maybe, yes). Klasifikasi tersebut dibagi atas:
Certain/very likely
Kejadian secara klinis terjadi dan hubungan waktu pemberian
vaksin adalah sesuai berhubungan dan tidak dapat dijelaskan oleh
pemberian obat lain atau penyakit lain yang bersamaan.
Probable
Kejadian yang secara klinis terjadi hubungan waktu pemberian
vaksin adalah sesuai berhubungan dan sepertinya masih bisa
berhubungan dengan pemberian obat atau penyakit lain yang
bersamaan.
Possible
Kejadian yang secara klinis terjadi dengan hubungan waktu
pemberian vaksin adalah sesuai berhubungan tetapi juga
berhubungan dengan pemberian obat atau kebetulan sama dengan
penyakti yang diderita atau pemberian obat.
37
Unlikely
Kejadian yang secara klinis yang terjadi dengan hubungan waktu
pemberian vaksin adalah tidak sesuai berhubungan dan kejadian
tersebut juga sepertinya tidak disebabkan oleh pemberian obat atau
penyakit lain.
Unrelated
Sebuah peristiwa klinis dengan hubungan waktu yang tidak sesuai
dan yang dapat dijelaskan karena ada penyakit yang mendasari
atau obat lain atau bahan kimia.
Unclassifiable
Kejadian yang secara klinis yang terjadi tidak cukup informasi
yang menjelaskan kejadian tersebut dan tidak juga berhubungan
dengan obat atau penyakit dengan pemerian obat atau penyakit
lain.
3. Gejala klinis KIPI
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat
dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta
reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat gejala KIPI makin berat
gejalanya.
Jenis Imunisasi
38
4. Hepatitis B
Pengertian
Hepatitis B merupakan penyakit virus yang disebabkan oleh virus
hepatitia B yang endemik di seluruh dunia. Virus disebarkan melalui
seluruh cairan tubuh penderita dengan infeksi atau kronik dan oleh
karier asimptomatik, dan terutama ditularkan lewat jalur parenteral
seperti transfusi vertikal dari ibu ke neonatus. Masa inkubasi rata-rata 90
hari. (2) vaksin hepatitis B dihasikan dengan cara memasukkan suatu
segmen gen virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah
berubah ini menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni. Vaksin
hepatitis B bisa bertahan selama 30 hari pada suhu di atas 80C dan tidak
beku. Vaksin hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir,
mengingat vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat
efektif untuk memutuskan ratai penularan melalui transmisi maternal
dari ibu kepada bayinya. (23)
Pencegahan (6)
Pencegahan umum
Skrining ibu hamil ( trimester 1 dan trimester 3 terutama ibu yang
beresiko tinggi) dan skrining populasi resiko tinggi ( hidup di
daerah hiperendemis dan belum pernah diimunisasi, hoh-
heteroseksual, pasangan seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis,
keluarga pasien VHB, kontak seksual dengan pasien VHB).
39
Imunisasi pasif
Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat segera
memberikan proteksi meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6
bulan). HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (needle
stick injury, kontak seksual, bayi dari ibu VHB, terciprat darah
mukosa atau ke mata). Sebaiknya HIBg diberikan bersama vaksin
VHB sehingga proteksinya berlangsung lama. Bila sumber
penularan needle stick injury HBsAg-HBeAg positif, maka 22%-
31% kontak berisiko mengalami hepatitis akut dan 37%-61%
mengalami sero-evidance infeksi VHB. Pada bayi dan ibu VHB,
HBIg (0.5 ml) dibrikan bersama di sisi tubuh, dalam waktu 12 jam
setelah lahir.
Imunisasi aktif
Varian HB yang tersedia adalah vaksin rekombinan. Pemberian
ketiga dosis vaksin dan dengan dosis yang sesuai rekomendasi,
akan mennyebabkan terbentuknya respon protektif (anti HBs ≥ 10
mlU/mL) pada> 90 % dewasam, bayi, anak-anak, dan remaja.
Vaksin diberikan secara intramuscular dalam. Pada neonatus dan
bayi diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar
dan dewasa, diberikan di region deltoid.
Jadwal dan dosis
40
Pada dasarnya jadwal imunisasi hepatitis B sangat fleksibel
sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukanya dalam
program imunisasi terpadu. Beberapa hal yang harus diingat :
Minimal diberikan sebanyak tiga kali
Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir
Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0,1,6 bulan karena
respon antibodi paling optimal
Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan.
Memperpanjang interval antara dosis pertama dan kedua tidak
akan mempengaruhi interval antara dosis pertama dan kedua
tidak akan mempengaruhi imunogenitas atau titer antibodi
sesudah imunisasi selesai ( dosis ketiga)
Dosis ketiga merupakan dosis penentu respon antibodi karena
merupakan dosis booster. Semakin panjang jarak antara
imunisasi kedua dengan imunisasi ketiga (4-12 bulan), semakin
tinggi titer antibodinya.
Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan
imunisasi kedua. Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan
jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi kedua.
Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah
memungkinkan.
41
Imusasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam)
setelah lahir, mengingat paling tidak 3.9% ibu hamil mengidap
hepatitis B aktif dengan resiko penularan kepada bayinya sebesar
45%.
Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari
imunisasi hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk
mendapat respon imun optimal, interval imunisasi imunisasi
hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka
imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan
Setiap vaksin hepatitis B sudah dievaluasi untuk menentukan dosis
sesuai umur (age-spesific dose) yang dapat menimbulkan respon
antibody yang optimum.
Kejadian Pasca Imunisasi (KIPI)
Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan
dan bersifat sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan demam
ringan untuk 1-2 hari.(6) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Luiz Fernando Fonseca, et al bahwa tranvers mielitis akut dapat
disebabkan setelah anak tersebut menerima vaksin hepatitis B. dalam
laporan kasusnya Luis, et al mengatakan bahwa salah satu pemicu dari
transvers mielitis akut adalah infeksi saluran napas dan saluran cerna
tetapi beberapa kasus postvaksinasi juga dapat memicu terjadinya
transvers mielitis. Penelitian ini berdasarkan kasus yang dialami oleh
42
seorang anak kulit putih yang didiagnosis menderita transvers mielitis
yang berdasarkan data anamnesis diperoleh bahwa anak tersebut
menerima vaksin Hepatitis B sepuluh hari yang lalu dan memderita
infeksi saluran napas padahal orang tua dan saudara laki-lakinya yang
berusia 6 tahun tidak pernah mengalami hal tersebut dan mereka
dalam keadaan normal serta anak tersebut tidak pernah kontak dengan
hewan liar atau air yang terkontaminasi. Sebelum menderita transvers
mielitis anak tersebut mengeluh sakit yang berat pada leher setelah itu
beberapa jam kemudian mengalami paralisis pada tangan dan kaki.(8)
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Joerg-Patrick Stubgen
mengatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara vaksinasi
hepatitis B dengan kejadian transvers mielitis postvaksinasi. Dalam
penelitian ini Joerg mengemukakan bahwa vaksin Hepb merupakan
vaksin pencetus KIPI terbanyak kedua yang sering dilaporkan pada US
Vaccine Adverse Events Reporting System (VERS). Berdasarkan
berbagai data multi analisis dari berbagai sumber laporan kasus
mengenai transvers mielitis akut postvaksinasi dan vaksin yang paling
sering menjadi pencetus adalah vaksin hepatitis B.(9)
5. Imunisasi polio
Vaksin polio telah dikenal sejak tahun 1950, Inactivated (salk)
Poliovirus Vaccine (IPV) mendapatkan lisensi pada tahun 1955 dan
langsung diguakan secara luas. Pada tahun 1963, mulai digunakan
43
trivalen virus polio secara oral (OPV) secara luas. Enhanced potency
IPV (eIPV) yang menggunakan molekul yang lebih besar dan
menimbulkan kadar antibody lebih tinggi mulai digunakan tahun
1988. Perbedaan kedua vaksin ini adalahh IPV merupakan virus yang
sudah mati dengan formaldehid, sedangkan OPV adalah virus yang
masih hidup dan mempunyai kemampuan enterovirulen, tetapi tidak
bersifat pathogen karena sifat neurovirulensinya sudah hilang. Pada
IPV yang berfungsi sebagai vaksin (antigen) adalah protein dari virus
tersebut, terutama protein kapsid yang mengandung gugusan epitop
antigen. (6)
Oral Polio Vaksin/Vaksin Sabin (OPV)
OPV merupakan modifikasi vaksin virus hidup yang mengandung
poliovirus tipe I, II, III yang dilemahkan, dibiakan dalam biakan
jaringan sel ginjal kera dan digunakan untuk imunisasi terhadap
poliomyelitis yang diberikan peroral. OPV memicu imunitas intestinal
serta humoral serta diekskresikan dalam feses setidaknya dalam
beberapa minggu setelah imunisasi. Karena dapat menyebabkan
poliomyelitis paralitik terkait vaksin pada mereka yang divaksin serta
orang-orang disekitarnya, vaksin ini hanya digunakan khusus atau
diberbagai Negara yang belum bebas poliovirus tipe-liar. OPV tidak
boleh diberikan pada pasien dengan tanggap imun yang lemah atau
orang-orang yang tinggal disekitar rumah tangga pasien.(2)
44
vaksin ini mulai dibuat tahun 1951 oleh Hilary Koprowski dengan
cara pembiakan virus polio pada tikus. Pada tahun 1955 Albert Bruce
Sabin melakukan modifikasi dengan cara membiakan virus pada
biakan ginjal kera Macaca Rhesus. Hasil yang diperoleh virus yang
lemah dengan daya imunologik yang tinggi. OPV bekerja dengan dua
cara, yaitu dengan memproduksi antibodi dalam darah (imunitas
humoral) terhadap ketiga tipe virus polio sehinggap ada kejadian
infeksi, vaksin ini akan memberikan perlindungan dengan mencegah
penyebaran virus polio ke sistem saraf. OPV juga menghasilkan
respon imun lokal di membran mukosa intestinal tempat terjadinya
multiplikasi virus polio. Antibodi yang terbentuk akan membatasi
multiplikasi virus polio liar di dalam intestinal sehingga mencegah
terjadinya reinfeksi. Respon imun intestinal terhadap OPV merupakan
alasan utama mengapa penggunaan OPV secara masal dapat
menghentikan penyebaran virus polio liar dari seseorang ke orang lain.
Akan tetapi satu dari setiap 6,2 juta dosis OPV dapat menyebabkan
paralisis yang berhubungan dengan vaksin polio VAPP/VDPV.(6)
a. Trivalent Oral Polio Vaccine (tOPV)
Vaksin ini mengandung tipe macam galur polio, setiap dosis 0.1
mL/ 2 tetes terdiri dari tipe 1>106 CCID50, tipe 2>105 CCID50, tipe
3>105.8 CCID50. Pada keadaan ditemukan lebih dari satu tipe virus
polio liar, tOPV secara epidemiologis dan operasional adalah vaksin
45
terbaik untuk digunakan karena dapat memberikan perlindungan
terhadap ketiga virus polio. Masing-masing serotipe mempunyai
enterovirulensi yang berbeda dan terdapat kompitisi diantara ketiga
serotipe, sehingga setelah tetesan pertama, kekebalan humoral yang
muncul dulu adalah antibodi terhadap P2 disusul P1 dan terakhir P3.
Kompetisi antara ketiga serotipe tersebut mengakibatkan perlindungan
dengan efisiensi yang berbeda-beda untuk setiap tipe. Imunogenitas
virus polio 2 lebih baik diantara ketiga virus polio tersebut sehingga
perlindungan terhadap virus tipe 2 paling mudah terjadi, kemudian
diikuti tipe 1 dan 3.(6)
b. Monovalent Oral Polio (mOPV)
Vaksin OPV hanya mengandung satu macam strain pemberian
mOPV dengan dosis yang sama dengan tOPV akan memberikan
kekebalan spesifik yang lebih tinggi dan lebih cepat terhadap tipe
tertentu dengan tOPV. Penelitian menunjukan bahwa sekitar 80% anak
di Negara tropis mempunyai kekebalan terhadap virus polio tipe 1
setelah pemberian 1 dosis mOPV1 dibandingkan dengan 40% anak
setelah pemberian tOPV. Begitu juga dengan 72% anak yang
mempunyai kekebalan terhadap virus polio tipe 3 setelah dosis
pertama mOPV3 dibandingkan 31% anak setelah dosis pertama tOPV.
(6)
Keuntungan dan Kekurangan OPV(6)
46
Keuntungan OPV dapat diberikan secara oral, mempunyai
community effect, tidak harus diberikan oleh tenaga kesehatan yang
terlatih dan relatif tidak mahal. OPV aman dan efektif akan tetapi
kandungan vaksin berupa vaksin hidup yang telah dilemahkan dapat
mengakibatkan 1 kelumpuhan untuk setiap 3 juta dosis, baik pada naka
yang divaksin, atau orang disekitarnya (VAPP/VDPV). Hal ini
disebabkan oleh karena terjadi mutasi virus vaksin mukosa usus.
Defisiensi imunitas dari resipien termasuk salah satu penyebabnya,
sehingga selama OPV masih diberikan ancaman VAPP/VDPV akan
tetap ada.
1. Vaccine Associated Paralytic Poliomyelitis (VAPP)(6)
VAPP merupakan kejadian lumpuh layu setelah imunisasi/paralitik
pasca imunisasi. Penelitian kolaborasi WHO yang dilakukan 13 negara
selama 15 tahun (1970-1984) memperlihatkan bahwa resiko VAPP
(pada resipien vaksin atau pada kontak resipien) adalah kecil: kurang
dari 0.3 per juta dosis vaksin (atau kurang dari 1 kasus per 3.3 juta
dosis)
2. Vaccine Derived Polio Viruses (VDPV)
Pada bulan September 2000 terjadi kasus polio yang disebabkan
oleh virus polio yang berasal dari OPV-vaccine derived poliovirus
(VDPV) yang menyebabkan KLB di kepulauan Hispaniola, Pilipina
dan Mesir, bahkan Nigeria dan India. Di Indonesia pada tahun 2005
47
terdapat 46 kasus VDPV terjadi bersamaan dengan polio di Madura
dan Probolinggo. Hal ini menunjukan bahwa VDPV merupakan
masalah yang serius, karena virus vaksin yang back mutated ini
berpotensi menimbulkan wabah baru di daerah yang cakupan
imunisasinya menurun. Kasus VDPV umumnya ditemukan pada
populasi penduduk yang cakupan imunisasinya rendah. (6)
Keamanan OPV
Vaksin polio tetes sangat aman dan jarang menyebabkan efek
samping yang dilaporkan adalah lumpuh layu (VAPP/VDPV).
Belum pernah dilaporkan kematian akibat pemberian imunisasi.(6)
Inactivated Polio Vaccine (IPV)/ vaksin Salk
Suspensi polio virus tipe I, II, III yang diinaktifkan menggunakan
formalin dan dibiakan dalam biakan sel ginjal kera, diberikan
intramuskular atau subkutan untuk imunisasi terhadap poliomielitis
pada bayi, anak dan remaja serta pada orang dewasa yang beresiko
tinggi terpaja virus ini.(2) IPV sedikit memberikan kekebalan lokal
pada dinding usus sehingga virus polio masih dapat berkembang biak
dalam usus orang yang telah mendapatkan IPV. Hal inin
memungkinkan terjadinya penyebaran virus ke sekitarnya, yang
membahayakan orang-orang disekitarnya. Sehingga vaksin ini tidak
dapat mencegah virus polio liar.(6)
Keuntungan dan kerugian IPV
48
IPV bukan vaksin “hidup”, imunisasi dengan IPV tidak
mempunya resiko terhadap vaccine associated polio paralysis.
IPV menimbulkan sedikit imunitas pada saluran pencernaan.
Ketika seseorang diimunisasi dengan IPV kemudian terinfeksi
oleh virus polio liar, virus dapat tetap bermultiplikasi di dalam
saluran pencernaan dan disebarkan melalui feses. Oleh karena
itu, vaksin OPV yang dipilih ketika KLB polio perlu
dikendalikan, bahkan di negara-negara yang menggunakan IPV
untuk program imunisasi polio rutin. Kerugian lain dari IPV
adalah harga vaksin lebih mahal dan perlunya tenaga terlatih
untuk menyuntikan vaksin.(6)
Jadwal imunisasi polio
Vaksin polio diberikan sebanyak kali dengan perhitungan polio-0
diberikan pada saat lahir, polio-1 diberikan pada saat umur 2 bulan,
polio-2 diberikan pada usia 4 bulan, polio-3 diberikan pada usia 6
bulan, polio-4 diberikan pada bulan ke 18-24 dan polio-5 diberikan
pada usia 5 tahun. Diberikan pada kunjungan pertama bayi yang lahir
di Rumah Bersalin atau Rumah Sakit diberikan vaksin OPV saat bayi
dipulangkan untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi
lain. Selanjutnya untuk polio-1, polio-2, polio 3 dapat diberikan vaksin
OPV atau IPV.(24) Vaksin polio oral diberikan kepada semua bayi
baru lahir sebagai dosis awal, satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 mL).
49
Pada usia 18 bulan dilakukan booster. Imunisasi dapat diberikan
bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib.(6)
Kejadian Pasca Imunisasi (KIPI)
Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada 1 per 2.4 juta dosis
vaksin (CDC Vaccine Information Statement 2000).(6)
3. Imunisasi DPT
1. Toksoid difteria
Antitoksin difteria pertama kali diberikan pada anak tahun 1891 dan
diproduksi secara komersial tahun 1892, penggunaan kuda sebagai
sumber antitoksin dimulai pada tahun 1894. Era pencegahan difteri
dimulai dengan membuat kombinasi toksin dan antitoksin sebagai
ramuan imunisasi yang ternyata tidak efektif. Pengembangan uji Schick
sebagai petanda kekebalan terhadap difteria hanya membantu dalam
pencegahan terjadinya difteri. Untuk imunisasi primer terhadap difteria
digunakan toksoid difteria (alum-precipitated toxoid) yang kemudian
digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk DPT.
Potensi toksoid difteri dinyatakan dalalm jumlah unit flocculate (Lf)
dengan kriteria 1 Lf adalah jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti
toksoid difteria. Kekuatan toksoid difteria yang terdapat dalam
50
kombinasi vaksin DPT saat ini berkisar antara 6.7-25 Lf dalam dosis 0.5
ml.
Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5
dosis pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk
sekolah. Dosis keempat harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan
setelah dosis ketiga. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki
kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertusis. Dalam penelitian
terhadap bayi yang mendapatkan imunisasi DPT di Jakarta, I Made
Setiawan (1992) melaporkan bahwa:
71%-94% bayi saat imunisasi pertama belum memiliki kadar antibodi
protektif terhadap difteria
Pasca DPT 3 kali didapatkan 68%-81% telah memiliki kadar antibodi
protektif terhadap difteria dengan rata-rata 0.0378 III/ml.
Dalam laporan program pengembangan imunisasi, tahun 2005
didapatkan 98.45% bayi mempunyai antibodi 0.1545 (0.1229-0.1936)
setepal mendapatkan DPT-3. Lama kekebalan sesudah mendapatkan
imunisasi dengan toksoid difteria merupakan masalah yang penting
untuk diperhatikan. Beberapa pnelitian serologik membuktikan adanya
penurunan kekebalan sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya
penguatan pada masa anak. Adanya KLB di Jawa Timur mengingatkan
51
kembali akan perlunya booster, baik pada setahun setelah DPT ke-3
maupun pada usia sekitar 4-5 tahun.
Selain DTaP dan DTwP yang telah digunakan sejak tahun 1975,
beberapa sediaan vaksin yang berisi toksoid difteri adalah:
Vaksin DT: vaksin ini digunakan untuk booster pada anak usia
diatas 5 tahun (pada anak yang telah mendapat vaksin DPT
sebelumnya) atau imunisasi dasar 3 kali pada anak yang belum
pernah mendapatkan imunisasi DPT. Pada ORI (Outbreak Respons
Immunization) diberikan minimal dua kali dengan interval minimal
satu bulan.
Vaksin DT: vaksin ini digunakan untuk booster pada anak usia
diatas 7 tahun (pada anak yang telah mendapatkan vaksin DPT/DT
sebelumnya) atau imunisasi dasar 3 kali pada anak yang belum
pernah mendapat imunisasi DPT/DT. Pada ORI diberikan minimal
dua kali dengan interval minimal 1 bulan. Kandungan toksoid difteri
hanya seperempat sampai sepersepuluh kandungan toksoid difteri
pada DPT atau DT. Vaksin ini digunakan untuk booster setiap 10
tahun pada seluruh penduduk. Vaksin DT telah digunakan pada ORI
di Jawa Timur dan terbukti aman.
Vaksin TDaP adalah vaksin Td yang ditambahkan dengan
komponen aP (a-selular Pertusis) untuk mengatasi masalah pertusis
pada dewasa yang merupakan sumber penularan untuk kelompok
52
bayi dan anak. Digunakan untuk menguatkan kembali kekebalan
terhadap tetanus dan sekaligus difteri dan pertusis.
2. Imunisasi TT
a. Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40
IU dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan
toksoid difteria dan vaksin pertusis.
b. Berbagai kemasan seperti preparat tunggal (TT), kombinasi dengan
toksoid difteria dan atau pertusis (dT, DT, DTwp, DTaP) dan
kombinasi dengan komponen lain seperti Hib dan hepatitis B.
c. Sebagaimana toksoid lain, pemberian toksoid tetanus memerlukan
pemberian berseir untuk menimbulkan dan mempertahankan
imunitas. Tidak diperlukan pengulangan dosis bila jadwal pemberian
tenyata terlambat, sebab sudah terbukti bahwa respon imun yang
diperoleh walaupun dengan interval yang panjang adalah sama
dengan interval yang pendek.
d. Ibu yang mendapatkan TT 2 dan 3 dosis ternyata memberikan
proteksi yang baik bagi bayi baru lahir yaitu terhadap tetanus
neonatorum. Kadar rata-rata antitoksin 0.01 AU/ml pada ibu cukup
memberikan proteksi terhadap bayinya.
e. Jadwal pemberian:
Pemberian TT yang diberikan bersama DPT diberikan sesuai
jadwal imunisasi.
53
Kadar antibodi proteksi setelah pemberian DPT 3 kali mencapai
0.01 IU atau lebih, hal ini juga terbukti pada penelitian bayi-bayi
di Indonesia.
Kejadian ikutan pasca imunisasi terutama reaksi lokal, sangat
dipengaruhi oleh dosis, pelarut, cara penyuntikan, dan adanya
antigen lain dalam kombinasi vaksin itu.
DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari usia 6
minggu, disebabkan respons terhadap pertusis dianggap tidak
optimal, sedang respons terhadap tetanus toksoid dan difteria
cukup baik tanpa memperdulikan adanya antibodi maternal.
3. Vaksin pertusis
Vaksin pertusis DTwP (Difteri Tetanus whole cell Pertusis) adalah
vaksin yang merupakan suspense kuman B. Pertussis mati. Vaksin
wP awalnya dibuat di Amerika Serikat dengan standar yang berbeda-
beda pada tiap pabrik. Umumnya vaksin pertusis diberikan dengan
kombinasi bersama toksoid difteria dan tetanus (DPT).
Vaksin pertusis a-selular
Vaksin pertusis a-selular adalah vaksin pertusi yang berisi
komponen spesifik toksin dari Bordettell
4.
c. Pengetahuan
54
Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari
pengalaman akan lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari
pengetahuan.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Pengetahuan yang
dicakup didalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh badan
yang dipelajari atau rangsagna yang telah diterima.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan
materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
4. Analisis (analysa)
55
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
subjek
5. Sintesis (syntesa)
Untuk menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sistesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada
6. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek atau materi. Penilaian-
penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang ada.
d. Jenis pengetahuan(25)
1. Pengetahuan implisit
Pengetahuan implicit adalah pengetahuan yang masih tertanam dalam
bentuk pengalaman seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak
bersifat nyata, seperti keyakinan pribadi, perspektif, dan prinsip.
Pengatahuan seseorang biasanya sulit ditransfer kepada orang lain
baik secara tertulis ataupun lisan. Pengetahuan implicit sering kali
berisi kebiasaan dan kebudayaan bahkan bisa tidak disadari.
Contoh sederhana: seseorang mengetahui tentang bahaya merokok
bagi kesehatan, namun dia tetap merokok
56
2. Pengetahuan eksplisit
Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah didokumentasi
atau disimpan dalam bentuk nyata, bisa dalam wujud perilaku
kesehatan. Pengetahuan nyata dideskripsikan dalam tindakan-
tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.
Contoh sederhana: seseorang yang telah mengetahui tentang bayaha
merokok bagi kesehatan dan ternyata dia tidak merokok.
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara
lain :
1. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseoang kepada
orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri
bahwa makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah pula
bagi mereka untuk menerima informasi, dan pada akhirnya makin
banyak pula pengetahuan yang mereka miliki
2. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh
pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara
tidak langsung
3. Umur
57
Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan aspek
fisik dan psikologi (mental), dimana aspek psikologis dapat
menyebabkan taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa
4. Minat
Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang
tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba
menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang
lebih mendalam.
5. Pengalaman
Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu
baik dari dalam dirinya ataupun dari lingkungan. Pada dasarnya
pengalaman mungkin saja menyenangkan atau tidak menyenangkan
bagi individu secara subjektif.
6. Informasi
Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu
mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.
Pengetahuan ibu akan mempengaruhi perilaku ibu tentang pentingnya
imunisasi dan dampak imunisasi terhadap kejadian penyakit AFP. Perilaku
juga dipengaruhi oleh pengalaman, social ekonomi, fasilitas, budaya dan
sebagainya. Terbentuknya perilaku yang lama adalah perilaku yang didasari
oleh pengetahuan dan kesadaran.
Pengukuran tingkat pengetahuan(25)
58
Menurut Skinner, bila seseorang mampu menjawab mengenai materi
tertentu baik secara lisan maupun secara tulisan, maka dikatakan seseorang
tersebut mengetahui bidang tersebut. Sekumpulan jawaban yang diberikan
tersebut dinamakan pengetahuan. Pengukuran bobot pengetahuan seseorang
ditetapkan menurut hal-hal sebagai berikut:
1. Bobot I : tahap tahu dan pemahaman
2. Bobot II : tahap tahu, pemahaman, aplikasi dan analisis
3. Bobot III : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis,
dan evaluasi
Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian dan
responden. Dalam mengukur pengetahuan harus diperhatikan rumusan
kalimat pertanyaan menurut tahapan pengetahuan. Arikunto (2006) membuat
kategori tingkat pengetahuan seseorang menjadi tiga tingkatan yang
didasarkan pada nilai persentase yaitu sebagai berikut.
1. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya ≥ 75%
2. Tingkat pengetahuan kategori Cukup jika nilainya 56-74%
3. Tingkat pengetahuan kategori Buruk jika nilainya < 55%
Dalam membuat kategori tingkat pengetahuan bisa juga dikelompokkan
menjadi dua kelompok jika yang diteliti masyarakat umum, yaitu sebagai
berikut.
59
1. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya > 50%
2. Tingkat pengetahuan kategori Kurang baik jika nilainya ≤ 50%
Namun, jika yang diteliti respondennya adalah petugas kesehatan, maka
persentasenya akan berbeda.
1. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya > 75%
2. Tingkat pengetahuan kategori Kurang Baik jika nilainya ≤ 75%
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
60
3.1 Kerangka konsep
Variabel independen Variabel Dependen
3.2 Identifikasi variabel
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah variabel independent yaitu:
pengetahuan pengelola TFC. Sedangkan variabel dependent yaitu peningkatan
berat badan balita gizi buruk.
3.3 Definisi operasional
No variabel Definisi operasional Cara Criteria objektif skala
61
Pengetahuan Pengelola TFC Peningkatan Berat Badan
Balita Gizi Buruk
pengukuran
1. Acute
Flaccid
Paralysis
(AFP)
AFP adalah bukan
merupakan diagnosis
suatu penyakit tetapi
penyakit apapun yang
mempunyai gejala
lumpuh-layu akut pada
saat ditemukan tanpa
memperhatikan penyebab
kecuali ruda paksa
Pengukuran
dengan
diagnosa
tenaga medis
dan
berdasarkan
data dari
dinas
kesehatan
Kabupaten
Ngada
0. jika anak tidak
dinyatakan
menderita AFP oleh
tenaga medis dan
berdasarkan data
dinas kesehatan
1. jika anak tidak
dinyatakan
menderita AFP
Nominal
imunisasi
62
2. Imunisasi
hepatitis B
Imunisasi yang memberik
kekebalan terhadap
hepatitis B. imunisasi ini
diberikan 12 jam setelah
lahir dan diberikan 3 dosis
yaitu pada umur 0, 1 dan 6
bulan
Pengukuran
dilakukan
dengan
melihat KMS
dan
memberikan
kuisioner
atau
wawancara
0. Anak tidak
mendapatkan
imunisasi hepatits
B
1. Anak
mendapatkan
imunisasi
hepatitis B
nominal
Imunisasi
polio
Imunisasi yang
memberikan kekebalan
terhadap poliovirus.
Imunisasi ini diberikan
merupakan vaksin virus
hidup yang dilemahkan.
Jadwal pemberian umur
0,2,4,6 bulan + 18,60
bulan. Dosis 2 tetes
Pengukuran
dilakukan
dengan
melihat KMS
dan
memberikan
kuisioner
atau
wawancara
0. Anak yang
tidak
mendapatkan
imunisasi polio
1. Anak yang
mendapatkan
imunisasi
hepatitis
nominal
3. Imunisasi
DPT
Imunisasi yang
memberikan kekebalan
terhadap bakteri dipteri,
pertusis, dan tetanus.
Pengukuran
dilakukan
dengan
melihat KMS
0. Anak yang
tidak
mendapatkan
Nominal
63
Diberikan pada umur ≥ 6
minggu. Vaksin DPT
diberikan pada bulan 2, 4,
6, 18-24 dan 5 tahun.
dan
memberikan
kuisioner
atau
wawancara
imunisasi DPT
1. anak yang
mendapatkan
imunisasi DPT
4. Imunisasi
influenza
Imunisasi yang
memberikan kekebalan
terhadap virus influenza.
Umur pemberian vaksin
≥6 bulan dan diberikan 1
kali pertahun
Pengukuran
dilakukan
dengan
melihat KMS
dan
memberikan
kuisioner
atau
wawancara
0. anak yang
tidak
mendapatkan
imunisasi
influenza
1. anak yang
mendapatkan
imunisasi
influenza
nominal
5. demam suatu keadaan saat suhu
badan melebihi 370C yang
disebabkan
oleh penyakit atau
peradangan
Kuisioner
atau
wawancara
0. anak tidak
demam setelah
imunisasi
1. anak demam
setelah imunisasi
nominal
6. kejang suatu kondisi medis
saat otot tubuh mengalami
Kuisioner
atau
0. anak tidak
kejang setelah
nominal
64
fluktuasi konstraksi
dan peregangan
dengan sangat cepat
sehingga menyebabkan
gerakan yang tidak
terkendali
wawancara menerima
imunisasi
1. anak kejang
setelah imunisasi
7. Muntah pengeluaran isi lambung
secara eksplusif melalui
mulut dengan bantuan
kontraksi otot-otot perut
Kuisioner
atau
wawancara
0. anak tidak
muntah setelah
menerima
imunisasi
1. anak
muntah setelah
imunisasi
nominal
8. parastesis Sensasi sentuh abnormal,
seperti rasa terbakar,
tertusuk, atau kesemutan,
sering kali tanpa adanya
rangsangan luar
Kuisioner
atau
wawancara
0. anak tidak
mengalami
parastesis setelah
imunisasi
1. anak
mengalami
parastesi setelah
nominal
65
imunisasi
9
99
pengetahuan Merupakan hasil dari
tahu dan ini terjadi
setelah orang melakukan
penginderaan setelah
orang melakukan
penginderaan terhadap
objek tertentu
Kuisioner
atau
wawancara
0. ibu tidak
berpengetahuan
baik
1. ibu
berpengetahuan
baik
nominal
Sakit
punggung
Perasaan nyeri pada
punggung yang secara
spontan dan memiliki
derajat nyeri yang cukup
tinggi sehingga bisa
mengganggu aktivitas dan
postur tubuh
Kuisioner
atau
wawancara
0. anak tidak
menderita sakit
punggung
1. Anak
menderita sakit
punggung
nominal
Sakit
tenggorokan
Rasa sakit pada
tenggorokan atau faring
biasanya akibat
peradangan
Kuisioner
atau
wawancara
0. Anak tidak
menderita sakit
tenggorokan
1. Anak
menderita sakit
tenggorokan
nominal
66
Sakit kepala Rasa sakit di bagian
kepala di atas mata atau
telingan, belakang kepala
(occipital), atau di
belakang leher bagian
atas
Kuisioner
atau
wawancara
0. Anak tidak
menderita sakit
kepala
1. Anak
menderita sakit
kepala
nominal
Retensi
urine
Suatu keadaan
penumpukan urine di
kandung kemih dan tidak
mempunyai kemampuan
untuk mengosongkannya
secara sempurna
Kuisioner
atau
wawancara
0. Anak tidak
menderita retensi
urine
1. Anak
menderita retensi
urine
nominal
3.4 Jenis dan Rancangan Penelitian(26)
Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan
rancangan cross sectional. Desain studi cross sectional yaitu studi dimana
peneliti mencari hubungan antara variabel bebas (faktor resiko) dengan
variabel tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat yang
digunakan untuk menentukan hubungan antara faktor resiko dan penyakit..
Rancangan penelitian bersifat observational analitik, yaitu suatu studi yang
bertolak dari hipotesis tentang alasan-alasan atau dasar-dasar yang mungkin
mengenai distribusi penyakit yang diteliti.
67
langkah- langkah pada study cross sectional adalah
1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis yang dianut
2. Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung
3. Menetapkan subjek penelitian
4. Melaksanakan pengukuran
5. Melakukan analisis
Struktur studi cross sectional menilai peran faktor resiko dan terjadinya efek
3.5 Lokasi dan waktu penelitian
penelitian dilakukan di Kabupaten Ngada pada bulan Juli 2014
3.6 Populasi dan sampel
3.6.1 Populasi target
Populasi target meliputi semua anak yang menderita AFP yang berusia
dibawah 15 tahun
68
Faktor resiko
a. Efek (+)
b. efek (-)
c. Efek (+)
d. Efek (-)
3.6.2 Populasi terjangkau
Semua anak yang menderita AFP yang berusia dibawah 15 tahun yang
berdomisili di Kabupaten Ngada
3.6.3 Sampel
Anak yang menderita AFP yang berusia di bawah 15 tahun yang tinggal
di Kabupaten Ngada yang memenuhi criteria inklusi dan bersedia
menjadi sampel penelitian sampai penelitian ini berakhir. Pengambilan
sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teknik total
sampling. Pengambilan sampel secara total maksudnya adalah semua
populasi anak yang berusia dibawah 15 tahun yang telah menerima
imunisasi tetapi menderita AFP dijadikan sampel.
3.7 Kriteria inklusi dan kriteria eksklusi
3.7.1 Kriteria inklusi
Anak yang menderita AFP dibawah 15 tahun yang berdomisili di
Kabupaten Ngada
Anak yang sudah pernah menerima imunisasi
3.7.2 Kriteria eksklusi
- Anak yang menderita AFP yang berusia di bawah 15 tahun
akibat trauma
- Penderita AFP yang berusia diatas 15 tahun
- Penderita AFP yang tidak pernah menerima imunisasi
69
3.8 Alur penelitian dan cara kerja
3.8.1 Alur penelitian
70
Memilih masalah
Studi permasalahan
Merumuskan masalah
Menentukan variabel Menentukan populasi
Memilih sampel
Informed consent
Mengumpulkan data
Analisa data
Menarik kesimpulan
Menyusun laporan
3.8.2 Cara kerja
6. Pra penelitian
Permohonan izin pelaksanaan penelitian dari yang didapat dari
institusi pendidikan
Mengajukan surat permohonan izin penelitian ke lokasi penelitian
7. Saat penelitian
Peneliti meminta bantuan tenaga kesehatan yang berada di daerah
setempat.
Peneliti memberikan penjelasan kepada calon responden tentang
tujuan penelitian, manfaat, dan prosedur pengumpulan data.
Peneliti meminta calon rersponden menandatangani informed
consent sebagai bentuk persetujuan bersedia menjadi responden.
Peneliti melakukan pengumpulan data.
8. Setelah penelitian
Setelah mendapatkan data mengenai pengetahuan dan pengaruh
imunisasi. Peneliti kemudian melakukan analisa hubungan dua
variabel menggunakan uji statistika dengan menggunakan program
komputer
3.9 Analisis data
3.9.1 Identifikasi data
71
a. Data primer
Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara terstruktur
terhadap responden dengan menggunakan kuisioner serta melalui
observasi pengamatan data yang diambil meliputi faktor-faktor resiko
AFP
b. Data sekunder diperoleh dari instansi yang berkaitan dengan penelitian
seperti puskesmas dan dinas Kesehatan kabupaten Ngada.
3.9.2 Pengolahan data dengan komputer(27)
1. Editing
Editing adalah merupakan pengecekan dan perbaikan isian formulir atau
kuisioner tersebut:
Apakah lengkap, dalam arti semua pertanyaan telah terisi.
Apakah jawaban atau tulisan dari masing-masing pertanyaan cukup
jelas atau terbaca.
Apakah jawaban relevan dengan pertanyaannya.
Apakah jawaban-jawaban pertanyaan konsisten dengan pertanyaan
jawaban yang lainnya.
2. Coding
Setelah semua kuisioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan
peng”kodean” atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau
huruf menjadi data angka atau bilangan. Coding atau pemberian kode ini
sangat berguna dalam memasukkan data (data entry).
72
3. Memasukan data (data entry)
Data yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dlaam
bentuk ”kode” (angka atau huruf) dimasukan ke dalam program atau
“software” komputer. Dalam proses ini juga dituntut ketelitian dari orang
yang melakukan “data entry” ini. Apabila tidak maka akan terjadi bias,
meskipun hanya memasukkan data saja.
4. Pembersihan data
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai
dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan
adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya,
kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini disebut
pembersihan data (data cleaning).
3.9.3 Jenis pengelolahan data(27)
Data yang dikumpulkan akan diolah, dianalisa dan diinterpretasi untuk
menguji hipotesis menggunakan program analisis statistic dengan metode
sebagai berikut :
5. Analisis univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat
tergantung dari jenis datanya. Untuk data numeric digunakan nilai mean
atau rata-rata, median dan standar deviasi. Pada umumnya dalam
73
analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari
setiap variabel.
6. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi. Dalam analisis bivariat dilakukan
beberapa tahap, antara lain :
Analisis proporsi atau presentase, dengan membandingkan
distribusi silang antara dua variabel yang bersangkutan.
Analisis dari uji statistik dalam hal ini menggunakan analisis chi
square, analisis dari hasil uji statistik ini akan dapat disimpulkan
adanya hubungan dua variabel tersebut bermakna atau tidak
bermakna.
Analisis keeratan hubungan dengan melihat hubungan antara dua
variabel tersebut, dengan melihat nilai odds ratio (OR). Besar
kecilnya OR menunjukan besarnya keeratan hubungan antara
dua variabel yang diuji.
7. Analisis multivariate
Analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan lebih dari satu
variabel. Uji statistik yang digunakan biasanya regresi berganda
(multiple regression), untuk mengetahui variabel independent mana
yang lebih erat hubunganya dengan variabel dependent.
74
3.10 Jadwal kegiatan penelitian
Kegiatan
Tahun 2014
Bulan
4 5 6 7 8 9 10 11 12
Penyusunan
Proposal
Seminar
Proposal
Pengumpulan
Data
Pengolahan
dan Analisis
Data
Penyusunan
Laporan
75
Seminar
Hasil
Ujian Skripsi
3.11 Rencana anggaran
Perihal Satuan JumlahBiaya satuan
(Rp)Total (Rp)
Transportasi
(pesawat)2 950.000,- 1.900.000,-
Kertas Rim 2 36.000,- 72.000,-
Tinta botol 1 45.000,- 45.000,-
Jilid 2 8.000,- 8.000,-
Lain-lain - - 500.000,- 500.000,-
Jumlah 2.525.000,-
76
Daftar Pustaka
1. Kementrian Kesehatan RI [Internet]. 2012. Available from: www.depkes.go.id
2. Dorland WAN (Elsevier I. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. 31st ed. Arfan A, Mahode AA, Intansari DM, Dorothy, Veliani DP, Sagala FSP, et al., editors. Jakarta: ECG Medical Publisher; 2010. p. 572.
3. WHO. International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD) 10. WHO press; 2010.
4. WHO south-east asia. Immunization and Vaccine Development (IVD) SEARO. WHO press; 2013. p. 14–5.
5. Profil Kesehatan NTT. 2012.
6. IDAI. pedoman imunisasi di Indonesia. Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko, editors. 2011.
7. Ikatan R, Anak D, Idai I. Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun. 2011;2011.
8. Fonseca LF, Noce TR, Letícia M, Teixeira G, Lúcio A, Jr T, et al. EARLY-ONSET ACUTE TRANSVERSE MYELITIS FOLLOWING HEPATITIS B VACCINATION Case report. 2003;61(August 2002):265–8.
9. Stubgen J-P. immun-mediated myelitis following hepatitis B vaccination. 2012;
10. Geier MR, Geier DA, Zahalsky AC. Influenza vaccination and Guillain Barre syndrome . 2003;107:116–21.
11. data AFP Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada.
77
12. Unit V, Disease I, Lumpur K, Lumpur HK. AFP S URVEILLANCE IN M ALAYSIA LABORATORY ACUTE FLACCID PARALYSIS SURVEILLANCE IN MALAYSIA : A DECADE OF COMMITMENT TO THE WHO GLOBAL POLIO ERADICATION INITIATIVE.
13. Leeds G& L. Acute FLaccid paralysis. 2013;2013.
14. Yahaya NA. acute flaccid paralysis.
15. Soedarma SS poorwo, Gama H, Hadinegoro SRS, Satari HI. buku ajar infeksi dan pediatri tropis. 2012.
16. epidemiologi poliomyelitis dan aspek imunisasi.
17. He Y, Mueller S, Chipman P, Al E. Complexes of Poliovirus Serotyoes with Their common cellular receptor, CD 155. 2003;
18. Baron S et al. Baron’s medical microbiologi : picornavirus, Enterovirus and Poliovirus. 4th ed. Texas: University Of Texas;
19. Todar K, Madison U of W-. Polio. 2006;
20. Sabin A. Pathogenesis of Poliomyelitis : reappraisal in the ligth new data.
21. Mueller S, Wimmer E, Cello J. poliovirus and poliomyelitis : a tale of guts, brains and accidental event. 2005;2–3.
22. INTERNATIONALE AM. PENYAKIT MENULAR : COMMUNICABLE DISEASES. 2006;
23. IDAI. Pedoman Imunisasi di Indonesia. 3rd ed. Badan Penerbit Ikatan Dokter anak Indonesia; 2008.
24. IDAI. jadwal imunisasi Anak umur 0-18 bulan. 2011.
25. Riyanto A. KUESIONER PENGETAHUAN DAN SIKAP DALAM Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian Kesehatan.
26. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. 4th ed. Jakarta: sagung seto; 2011.
78
27. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. 1st ed. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.
79