tm forensik 2012
DESCRIPTION
isi makalah tm forensik 2012TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap bencana bencana alam
seperti banjir, tanah longsor dan tsunami. Selain itu, banyak kejadian kecelakaan
yang merenggut banyak jiwa seperti pesawat jatuh, kapal tenggelam, korban
pengeboman dan lain sebagainya. Bencana massal tersebut umumnya
menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan.
Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para
medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah
meninggal yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus
pula. Identifikasi dalam kematian penting dilakukan, karena menyangkut masalah
kemanusiaan. Selain itu juga dikuatkan berdasarkan Keputusan bersama Menkes
dan Kapolri nomor 1087 / Menkes / SKB / IX / 2004 NO.POL.Kep / 40 / IX /
2004 tanggal 29 september 2004 disebutkan bahwa setiap korban mati pada
bencana massal harus dilakukan identifikasi yang sesuai dengan kesepakatan
bersama antara Depkes dengan Kepolisian.
Pada korban yang telah meninggal umumnya dilakukan identifikasi korban
atau yang sering disebut Disaster Victim Identification (DVI). DVI merupakan
prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana massal secara
ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu kepada standar baku
Interpol.
Tim DVI sendiri terdiri dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli
anthropology ( ilmu yang mempelajari tulang ), kepolisian, fotografi, dan ada
yang berasal dari masyarakat juga. Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap
fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari ‘The
Scene’(olah tempat kejadian perkara), ‘The Mortuary (Autopsi mayat)’, ‘Ante
Mortem Information Retrieval’ (pengumpulan data antemortem), ‘Reconciliation’
(pencocokan data ante dan post mortem) and ‘Debriefing’ (pemusalaran jenazah).
Interpol menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental
1
Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical,
Property dan Photography.
Gigi geligi merupaka salah satu bahan yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi korban bencana karena meruban bagian tubuh yang sangan tuat
dan setiap orang memiliki bentuk yang unik. Susunan dan struktur gigi bisa
didapatkan recordnya dari dokter gigi yang merawat gigi korban yang
bersangkutan. Biasanya tim DVI (Disaster Victim Identification) memeriksa gigi
saat korban yang ditemui jasadnya sudah hancur. Identifikasi melalui gigi,
merupakan salah satu metode indentifikasi dasar (primary indentifiers). Namun
hanya akan berhasil bila ada data lengkapnya. Data yang dimaksud, yaitu berupa
data gigi ante mortem serta dimilikinya standar pemeriksaan kedokteran gigi
forensik yang baku.
Istilah ante mortem memilki arti data jenazah sebelum kematian.
Sedangkan istilah post mortem adalah data jenazah sesudah kematian. Tim
forensik biasa melakukan identifikasi dengan cara mencocokkan data ante mortem
dan post mortem untuk mengenali jenazah. Setelah proses antemortem ini
lengkap, saat korban ditemukan maka akan dicocokkan data yang ada dengan
korban yang ditemukan. Proses mencocokkan ini yang disebut post mortem. Bila
sudah cocok, proses identifikasipun selesai. Sampai disini keluarga korban sudah
bisa yakin, bahwa korban adalah keluarga mereka. Meskipun terkadang secara
fisik jenazah agak sulit dikenali, karena misalnya hangus terbakar. Namun dari
lengkapnya ante mortem, jenazah seperti ini biasanya masih bisa dikenali dari
struktur giginya. Ini karena gigi adalah bagian terkeras dari tubuh manusia yang
komposisi bahan airnya sedikit dan sebagian besar terdiri atas bahan anorganik
sehingga tidak mudah rusak. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang
cocok maka akan semakin baik.
1.2 Rumusan masalah
1. Apakah pengertian identifikasi antemortem dan postmortem?
2. Bagaimana prosedur yang benar cara mengidenfifikasi antemortem dan
postmortem?
2
3. Apa kelebihan dan kekurangan mengidentifikasi antemortem dan
postmortem?
1.3 Tujuan
Agar mahasiswa lebih mengetahui cara yang tepat prosedur
mengidentifikasi antemortem dan posmortem serta mengetahui kelebihan dan
kekurangan mengidentifikasi antemortem dan postmortem.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Data Angka Kejadian Identifikasi
Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah memiliki data sebaran
kejadian bencana di Indonesia mulai dari tahun 1815 – 2012, dan angka kejadian
bencana cenderung meningkat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir,
Beberapa keberhasilan DVI dalam identifikasi korban mati dan kejadian
bencana antara lain :
Kejadian Bom :
1. Bom Bali tahun 2002, dari 202 korban mati berhasil diidentifikasi
200 korban mati (99%)
2. Bom Bali tahun 2005 berhasil diidentifikasi 23 korban mati
(100%)
3. Bom JW Mariot Jakarta tahun 2003 berhasil diidentifikasi 12
korban mati (100%)
Kecelakaan Transportasi :
1. Kecelakaan pesawat Mandala di Medan tahun 2005 teridentifikasi
143 korban mati
2. Tenggelamnya Kapal Senopati dan KM Tri Star tahun 2006
teridentifikasi 642 korban mati
3. Kecelakaan Pesawat Garuda tahun 2007 teridentifikasi 21 korban
mati.
Gempa Bumi / Tsunami :
1. Tasikmalaya tahun 2009 teridentifikasi 79 korban mati
2. Sumatera Barat tahun 2009 teridentifikasi 478 korban mati
2.2 Definisi Identifikasi forensik
Identifikasi adalah suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang
melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak dikenal sedemikian rupa sehingga
dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang yang hilang yang
diperkirakan sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu. Seperti
4
diketahui,sumbangan ilmu kedokteran forensik dalam membantu penyelidikan
perkara pidana menyangkut barang bukti tubuh manusia sebagaimana dituangkan
dalam bentuk surat keterangan ahli berupa visum et repertum, antara lain:
menentukan saat kematian serta pada kasus-kasus tertentu dengan keadaan korban
tidak dikenal adalah menentukan identitasnya. ( Gadro, 2010 )
Sedangkan yang dimaksud dengan identifikasi forensik adalah usaha untuk
mengetahui identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu
kepentingan untuk proses peradilan ( Asep, 2007 ). Identifikasi forensik
mempunyai arti yang besar,khususnya untuk membantu penyidik dalam usahanya
untuk membuktikan bahwa seseorang adalah korban atau pelaku suatu tindak
pidana yang telah terjadi. Identifikasi forensik didasarkan pada perbandingan
antara karakteristik diketahui dari individu hilang ( disebut ante-mortem data )
dengan karakteristik pulih dari badan yang tidak diketahui ( disebut post-mortem
data ). Identifikasi yang meninggal ini paling sering dicapai secara visual oleh
seorang kerabat atau teman yang tahu orang selama hidup. Hal ini dilakukan
dengan melihat karakteristik wajah,berbagai fitur tubuh dan atau barang-barang
pribadi. ( Al-Ahmad, 2009 )
2.3 Definisi identifikasi ante mortem dan post mortem
Post mortem artefak didefinisikan sebagai satu perubahan yang
disebabkan, atau fitur yang diperkenalkan oleh tubuh setelah kematian. Perubahan
ini bukan secara psikologi ataupun karena penyakit. ( Sharma , 2005 )
Ante mortem, artinya sebelum kematian. Identifikasi Ante mortem adalah
identifikasi binatang atau manusia yang masih hidup sebelum mereka dibantai
atau dibunuh. ( Sharma , 2005 )
2.4 Hasil perbandingan identifikasi ante mortem dan post mortem
1. Positive identification: item Sebanding yang cukup berbeda dalam
database antemortem dan postmortem;tidak ada perbedaan utama yang diamati.
2. Possible identification: Persamaan ada di antara sebanding item dalam
antemortem dan postmortem database, namun informasi yang cukup yang hilang
dari baik sumber untuk mencegah pembentukan positif identifikasi.
5
3. Insufficient identification evidence: tidak cukup bukti pendukung yang
tersedia untuk perbandingan dan definitif identifikasi, tetapi identitas tersangka
orang yg meninggal tidak dapat dikesampingkan. Identifikasi adalah kemudian
dianggap tidak meyakinkan.
4. Exclusion identification : perbedaan dijelaskan ada di antara sebanding
item dalam antemortem dan postmortem database. ( Avon, 2004 )
2.5 Kelebihan Identifikasi Ante Mortem dan Post Mortem
Kemungkinan menemukan dua orang yang sama giginya adalah satu
banding dua triliun. Adanya dua kali pertumbuhan gigi (20 gigi susu dan 32 gigi
tetap), serta dengan adanya perubahan kerena rusak atau tindakan perawatan
seperti pencabutan, penambalan dengan berbagai bahan pada berbagai permukaan
mahkotanya, perawatan saluran akar, ditambah ciri-ciri khas seperti bentuk
lengkung, kelainan posisi gigi dan sebagainya, menyebabkan gigi sangat khas
pada orang yang memilikinya.
Gigi memiliki sifat yang sangat kuat, tahan terhadap berbagai pengaruh
kerusakan seperti trauma mekanis, termis, kimiawi, dekomposisi dan sebagainya.
struktur gigi paling kuat bahkan bisa bertahan dalam suhu panas 600 derajat
Celcius. Apalagi, gigi juga terlindung gusi dan mulut. Gigi mempunyai
kandungan zat kimia anorganik dan organik yang tinggi. Walau begitu, gigi juga
dapat patah. Keadaan demikian karena gigi disamping strukturnya yang
mengandung bahan anorganik yang kuat, juga karena gigi merupakan jaringan
tubuh yang terdapat di bagian badan, yaitu mulut yang cukup memberikan
perlindungan terhadap berbagai pengaruh kerusakan. Gigi merupakan jaringan
keras yang resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrim.
Gigi merupakan sarana identifikasi yang dapat dipercaya, bukan saja
disebabkan karena ketepatannya yang tinggi sehingga hampir menyamai
ketepatan teknik sidik jari, akan tetapi karena kenyataan bahwa gigi dan tulang
adalah material biologis yang paling tahan terhadap perubahan lingkungan dan
terlindung. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan
restorasi gigi menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang
tinggi. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan
6
medis gigi (dental record) dan data radiologis dapat mengidentifikasi ras, umur
dan jenis kelamin seseorang.
2.6 Kekuranngan Identifikasi Ante Mortem dan Post Mortem
Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada
setiap kasus bencana namun dalam kenyataannya sering kali menemui kendala
teknis, maupun nonteknis. Jumlah jenazah yang banyak, tempat penyimpanan
jenazah yang minim, waktu yang terbatas, jumlah dokter forensik yang terbatas,
otoritas keluarga serta kurangnya koordinasi menimbulkan masalah dalam
menerapkan prosedur DVI secara konsisten.
Berbeda dengan penerapan odontologi forensik di luar negeri, peranan
pemeriksaan gigi di Indonesia memiliki banyak keterbatasan. Hal yang menjadi
masalah utama adalah masih kurang membudayanya perilaku berobat ke dokter
gigi sehingga hanya sedikit masyarakat yang pernah ke dokter gigi. Masih
rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk berobat gigi ke dokter gigi/sarana
pelayanan kesehatan gigi serta belum memasyarakatnya pembuatan Dental
Record / rekam data gigi / odontogram oleh dokter gigi membuat kesulitan
melakukan identifikasi.
Dari antara yang berobat ke dokter gigi pun, hanya sedikit saja yang
mempunyai rekam medis yang baik dan lengkap. Hal ini menyebabkan
identifikasi personal berdasarkan ciri khas susunan gigi, adanya restorasi gigi, dan
sebagainya sulit dilakukan karena ketiadaan data antemortem. Dengan demikian,
sebagai pemecahannya, terhadap material gigi dilakukan pemeriksaan untuk
mendapatkan data lain, antara lain ras, jenis kelamin, umur, golongan darah, profil
DNA, dan sebagainya.
2.7 Alat yang diperlukan dalam identifikasi ante mortem dan post mortem
Indonesia merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik besar
sehingga kemungkinan terjadinya bencana seperti gempa bumi, tsunami dan
gunung meletus di Indonesia menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu, diperlukan
pencatatan rekam medis secara lengkap yang akan dibutuhkan apabila terjadi
bencana alam yang menyebabkan banyak korban jiwa. Untuk itu diperlukan
7
kerjasama antara dokter gigi dengan masyarakat. Dokter gigi perlu melakukan
sosialisasi pentingnya rekam medis kepada masyarakat sehingga masyarakat
menyadari pentingnya datang ke dokter gigi. Rekam medis berfungsi sebagai data
antemortem. Alat yang digunakan antara lain :
1. Sonde
2. Pinset
3. Kaca Mulut
4. Odontogram form
Gambar 2.7.1 Gambar Form Odontogram
2.8 Metode Identifikasi Ante Mortem dan Post Mortem
1. Metode Identifikasi Visual; Metode ini dilakukan dengan cara
memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang merasa kehilangan anggota
keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah yang belum
membusuk sehingga masih memungkinkan untuk dikenali wajahnya dan bentuk
tubuhnya oleh lebih dari satu orang. Hal ini perlu diperhatikan mengingat adanya
kemungkinan faktor emosi yang turut berperan untuk membenarkan atau
sebaliknya menyangkal identitas jenazah tersebut.
2. Metode Identifikasi Dokumen; Dokumen seperti kartu identitas, baik
berupa SIM, KTP, paspor, dsb. yang kebetulan dijumpai dalam saku pakaian yang
8
dikenakan jenazah akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut. Namun
demikian, perlu diingat bahwa pada kasus-kasus kecelakaan massal – gempa
Padang 2009 contohnya – dokumen yang terdapat dalam tas atau dompet yang
berada di dekat jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang bersangkutan.
Oleh sebab itu, tim SAR ataupun tim pencari jenazah lainnya hendaknya berhati-
hati dalam mengeluarkan pernyataan, karena di lapangan umumnya masyarakat
langsung bertanya perihal identitas jenazah yang ditemukan. Dalam kasus-kasus
bencana massal, kita hendaknya mengikuti prosedur DVI (Disaster Victim
Identification) yang berlaku secara internasional, yang mana hal ini diterapkan
pada kasus Bom Bali I dan II.
3. Metode Identifikasi Properti; Properti berupa pakaian dan perhiasan
yang dikenakan jenazah mungkin dapat diketahui merk atau nama pembuat,
ukuran, inisial nama pemilik, badge, ataupun hal lainnya, yang dapat membantu
identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah tersebut. Khusus
anggota TNI, masalah identifikasi dipermudah dengan adanya nama serta NRP
yang tertera pada kalung logam yang dipakainya. Data mengenai properti ini juga
hendaknya digali dari pihak keluarga yang merasa kehilangan anggota
keluarganya yang lain pada kasus-kasus bencana massal, sehingga nantinya proses
identifikasi komparatif dapat dilaksanakan.
4. Metode Identifikasi Medik; Metode ini menggunakan parameter berupa
tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna mata, cacat/kelainan khusus,
tato/rajah, dll. Secara singkat, bisa dikatakan bahwa ciri-ciri fisik korban yang
diperhatikan. Metode ini mempunyai nilai yang tinggi, karena selain dilakukan
oleh tenaga ahli dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi (termasuk
pemeriksaan dengan sinar X, USG, CT-scan, laparoskopi, dll. bila diperlukan),
sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada kasus penemuan
tengkorak/kerangka pun masih dapat dilakukan metode identifikasi ini. Melalui
metode ini, dapat diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur, tinggi
badan, kelainan pada tulang, dan data-data lainnya dari korban yang ditemukan.
5. Metode Identifikasi Serologik; Pemeriksaan serologik bertujuan untuk
menentukan golongan darah jenazah. Penentuan golongan darah pada jenazah
yang telah membusuk dapat dilakukan dengan memeriksa rambut, kuku, dan
9
tulang.
6. Metode Identifikasi Sidik Jari; Metode ini membandingkan gambaran
sidik jari jenazah dengan data sidik jari ante-mortem orang tersebut. Pemeriksaan
sidik jari merupakan salah satu dari 3 (tiga) metode primer identifikasi forensik, di
samping metode identifikasi DNA dan gigi. Oleh sebab itu, penanganan terhadap
jari-jari tangan jenazah harus dilakukan sebaik dan sehati-hati mungkin, misalnya
dengan melakukan pembungkusan kedua tangan jenazah dengan kantong plastik.
Sistim sidik jari yang sekarang dipakai dikenal dengan sistim Henry. Menurut
Henry, pada tiap jari terdapat suatu gambar sentral yang terbagi menjadi 4 (empat)
macam, yaitu busur (arc), tented arc, gelung (loop), ikal (whorl), serta bisa pula
merupakan campuran/majemuk (composite). Selanjutnya, garis-garis tersebut
dapat membentuk berbagai maxam konfigurasi (ciri), seperti delta, tripod, kait,
anastomose, dll. Identifikasi sidik jari dinyatakan positif bila terdapat minimal 16
(enam belas) ciri yang sama, di mana secara matematis untuk memperoleh sidik
jari yang persis sama (dengan 16 ciri yang sama tersebut) kemungkinannya adalah
1:64.000.000.000 (satu berbanding enam puluh empat milyar).
7. Metode Identifikasi DNA; Metode ini merupakan salah satu dari 3
metode primer identifikasi forensik. Metode ini menjadi semakin luas dikenal dan
semakin banyak digunakan akhir-akhir ini, khususnya pada beberapa kasus
bencana alam dan kasus-kasus terorisme di Indonesia, misalnya kasus Bom Bali I
dan II, Bom JW Marriott, Bom Kuningan, kasus tenggelamnya KMP Levina, dll.
Kasus bom bunuh diri di GBIS Solo pun menggunakan metode ini. Pemeriksaan
sidik DNA diperkenalkan pertama kali oleh Jeffreys pada tahun 1985. Metode ini
umumnya membutuhkan sampel darah dari korban yang hendak diperiksa, namun
demikian dalam keadaan tertentu di mana sampel darah tidak dapat diambil, maka
dapat pula diambil dari tulang, kuku, dan rambut meskipun jumlah DNA-nya
tidak sebanyak jumlah DNA dari sampel darah. DNA dapat ditemukan pada inti
sel tubuh (DNA inti) ataupun pada mitokondria (organ dalam sel yang berperan
untuk pernafasan sel-sel tubuh) yang biasa disebut DNA mitokondria. Untuk
penentuan identitas seseorang berdasarkan DNA inti, dibutuhkan sampel dari
keluarga terdekatnya. Misalnya, pada kasus Bom GBIS Solo baru-baru ini, sampel
DNA yang didapat dari korban tersangka pelaku bom bunuh diri akan dicocokkan
10
dengan sampel DNA yang didapat dari istri dan anaknya. DNA inti anak pasti
berasal setengah dari ayah dan setengah dari ibunya. Namun demikian, pada
kasus-kasus tertentu, bila tidak dijumpai anak-istri korban, maka dicari sampel
dari orang tua korban. Bila tidak ada juga, dicari saudara kandung seibu, dan
diperiksakan DNA mitokondrialnya karena DNA mitokondrial diturunkan secara
maternalistik (garis ibu).
8. Metode Eksklusi; Metode ini digunakan pada kasus kecelakaan massal
yang melibatkan sejumlah orang yang dapat diketahui identitasnya, misalnya
penumpang pesawat udara, kapal laut, kereta api, dll. Bila sebagian besar korban
telah dapat dipastikan identitasnya dengan menggunakan metode-metode tersebut
di atas, sedangkan identitas sisa korban tidak dapat ditentukan, maka sisa korban
diidentifikasi menurut daftar penumpang.
9. Dental forensic atau dental matching; Metode ini juga distandarisasi
oleh Interpol yang dikenal dengan dental charting system. Selain itu, system ini
juga telah diterapkan pada World Dental Federation Tooth Numbering System.
Pencocokan dental merupakan proses identifikasi yang dilakukan dengan
membandingkan post mortem korban dengan ante mortem (dental records).
Metode ini sering digunakan sebab banyak dari korban bencana masih memiliki
struktur gigi yang utuh. Selain itu, setiap manusia memiliki bentuk giggi yang
unik. Pencocokan dental dilakukan dengan membandingkan satu persatu keadaan
tiap gigi korban bencana (post mortem) dengan dental record yang ada (ante
mortem). Pemeriksaan yang demikian sangat melelahkan, memakan waktu, dan
akan menjadi tidak akurat jika jumlah korban dan data dental record yang
diperiksa cukup banyak. Untuk mempermudah proses tersebut, perlu
dikembangkan system yang mampu melakukan proses identifikasi ini secara
otomatis. System ini harus mampu mengembalikan citra dental x-ray yang
menjadi masukan beserta identitas dari pemilik citra tersebut. Perangkat lunak
yang dikembangkan akan secara otomatis mencocokan keadaan gigi korban
dengan dental record yang ada pada pihak kepolisian RI.
10. Metode terakhir yang digunakan adalah metode Zernike moment
metode ini termasuk dalam metode Dental forensic atau dental matching. Metode
ini digunakan karena dapat membandingkan sebuah citra meskipun citra tersebut
11
mengalami distorsi dan rotasi. Kejadian distorsi terjadi jika gigi korban menglami
kerusakan dan kejadian rotasi terjadi jika ada ketidakakuratan sudut pengambilan
citra dental x-ray. Perangkat lunak ini terdiri dari 4 tahapan, yaitu : image
binarization, size normalization, dan penentuan identitas dengan Euclidian
distance.
12
BAB III
PEMBAHASAN
Identifikasi forensik pada dasarnya terdiri dari 2 metode utama, yaitu :
1. Identifikasi komparatif, yaitu apabila tersedia data post-mortem
(pemeriksaan jenazah) dan ante-mortem (data sebelum meninggal, mengenai ciri-
ciri fisik, pakaian, identitas khusus berupa tahi lalat, bekas luka/operasi, dll),
dalam suatu komunitas yang terbatas.
2. Identifikasi rekonstruktif, yaitu apabila tidak tersedia data ante-
mortem dan dalam komunitas yang tidak terbatas/plural.
Identitas seseorang dapat dipastikan apabila paling sedikit 2 metode yang
digunakan memberikan hasil yang positif (tidak meragukan), yaitu :
1) Identifikasi primer
Identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu dibantu oleh kriteria identifikasi
lain. Teknik identifikasi primer yaitu :
1. Pemeriksaan DNA
2. Pemeriksaan sidik jari
3. Pemeriksaan gigi
Pada jenazah yang rusak/busuk untuk menjamin keakuratan dilakukan dua sampai
tiga metode pemeriksaan dengan hasil positif.
2) Identifikasi sekunder
Pemeriksaan dengan menggunakan data identifikasi sekunder tidak dapat berdiri
sendiri dan perlu didukung kriteria identifikasi yang lain. Identifikasi sekunder
terdiri atas cara sederhana dan cara ilmiah. Cara sederhana yaitu melihat langsung
ciri seseorang dengan memperhatikan perhiasan, pakaian dan kartu identitas yang
ditemukan. Cara ilmiah yaitu melalui teknik keilmuan tertentu seperti
pemeriksaan medis.
METODOLOGI IDENTIFIKASI
Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai
metode dari yang sederhana sampai yang rumit.
13
Metode sederhana
1) Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara
ini mudah karena identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil
tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar,
mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang
berduka, stress, sedih, dll)
2) Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya
terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih
melekat pada tubuh korban.
3) Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM
dan lain sebagainya.
Metode ilmiah, antara lain : 1) Sidik jari, 2) Serologi, 3) Odontologi, 4)
Antropologi dan 5) Biologi.
Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya
bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih
tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat
sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. Adapun
dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2
kemungkinan:
1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk
membatasi atau menyempitkan identifikasi. Dengan adanya informasi mengenai
perkiraan batas-batas umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada
data-data orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian
penyidikan akan menjadi lebih terarah. Informasi ini dapat diperoleh antara lain
mengenai:
a. umur
b. jenis kelamin
c. ras
d. golongan darah
e. bentuk wajah
f. DNA
14
2) Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban
tersebut. Di sini dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi
secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis
kelamin. Ciri-ciri demikian antara lain: misalnya adanya gigi yang dibungkus
logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat
lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban. Di
samping ciri-ciri di atas, juga dapat dilakukan pencocokan antara tengkorak
korban dengan foto korban semasa hidupnya. Metode yang digunakan dikenal
sebagai Superimposed Technique yaitu untuk membandingkan antara tengkorak
korban dengan foto semasa hidupnya
Identifikasi dengan Teknik Superimposisi
Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan
identitas seseorang dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan
tengkorak yang ditemukan. Kesulitan dalam menggunakan tehnik ini adalah:
1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.
2) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.
3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.
4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.
DISASTER VICTIM INVESTIGATION (DVI)
Disaster victim investigation (DVI) adalah suatu prosedur standar yang
dikembangkan oleh Interpol (International Criminal Police Organization) untuk
mengidentifikasi korban yang meninggal akibat bencana massal. DVI (Disaster
Victim Identification) adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah
prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah
yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol.
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan
tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan
Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA
serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan
Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan
15
data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan
semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila
dibandingkan dengan Secondary Identifiers. Pada prinsipnya, disaster victim
identification terdiri dari lima fase, yaitu :
1. Initial Action at the Disaster Site
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa
(TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah
untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana.
Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara
keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material
yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi
memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim
pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini
mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :
1. Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat
untuk area bencana.
2. Perkiraan jumlah korban.
3. Keadaan mayat.
4. Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.
5. Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.
6. Metode untuk menangani mayat.
7. Transportasi mayat.
8. Penyimpanan mayat.
9. Kerusakan properti yang terjadi.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana,
ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan
langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak.
Langkah - langkah tersebut antara lain adalah :
16
1. Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak
berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil - wakil pers, dll),
misalnya dengan memasang police line.
2. Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3. Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
4. Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa
saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5. Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehaditan dan otorisasi.
6. Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana.
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengumpulkan korban - korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait
dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi
korban. Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga
langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label
dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.
2. Collecting Post Mortem Data
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang
memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap -
lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan pencatatan data jenazah yang
dilakukan diantaranya meliputi :
1. Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban.
2. Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam jika
diperlukan.
3. Pemeriksaan sidik jari.
17
4. Pemeriksaan rontgen.
5. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri
khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang
berbeda.
6. Pemeriksaan DNA.
7. Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan,
dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan
bekas luka yang ada di tubuh korban.
Data - data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam
data primer dan data sekunder sebagai berikut :
1) Primer : Sidik Jari, Profil Gigi, DNA.
2) Secondary : Visual, Fotografi, Properti Jenazah, Medik-Antropologi
( Tinggi Badan, Ras, dll ).
Selain mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga ekaligus
dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan - perubahan paska kematian pada
jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk
memperlambat pembusukan.
3. Collecting Ante Mortem Data
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum
kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang
terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa
hidup, interpretasi ciri - ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll),
rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup, sampel
DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi - informasi lain yang
relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi
mengenai pakaian terakhir yang dikenakan korban.
4. Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante
mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi
18
menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante
mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang
dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak.
Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap
negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.
5. Returning to the Family
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi
kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan.
Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap
disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post
mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi
yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal
serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang
menguburkan jenazah.
Indikator kesuksesan suatu proses disaster victim investigation bukan
didasarkan pada cepat atau tidaknya proses tersebut berlangsung tapi lebih
didasarkan pada akurasi atau ketepatan identifikasi. Pada prosesnya di Indonesia,
disaster victim investigation terkadang menemui hambatan - hambatan.
Hambatan yang terjadi terutama disebabkan oleh buruknya sistem pencatatan
yang ada di negeri ini sehingga untuk mengumpulkan data ante mortem yang
dibutuhkan, misalnya data sidik jari dari SIM (Surat Izin Mengemudi), rekam
medis pemeriksaan gigi dan lain sebagainya, tim ante-mortem sering menemui
kendala.
SETELAH KORBAN TERIDENTIFIKASI
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan
jenazah yang meliputi antara lain:
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Perawatan sesuai agama korban
19
d. Memasukkan dalam peti jenazah
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus
dari Komisi Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang
penting pada proses serah terima jenazah antara lain :
a. Tanggal dan jamnya
b. Nomor registrasi jenazah
c. Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga
dengan korban.
d. Dibawa kemana atau dimakamkan di mana
20
BAB IV
PENUTUP
4.1 KesimpulanIdentifikasi antemortem adalah identifikasi yang dilakukan pada makhluk
hidup sebelum kematian dan Identifikasi postmortem adalah identifikasi yang
dilakukan pada makhluk hidup sesudah kematian.dental record diperlukan
sebagai riwayat data untuk identifikasi
4.2 SaranSebaiknya dilakukan sosialisasi akan pentingnya memeriksakan gigi
secara rutin dan sebaiknya dokter gigi mempunyai dental record yang lengkap
sehingga jika terjadi tindak kriminal atau bencana alam, korban dapat
diidentifikasi.
21
DAFTAR PUSTAKA
Al-ahmad, SH. 2009. Forensic Odontology. Smile Dental Journal Vol. 4. P.
22
Asep, M. 2007. Himpunan Peraturan Perundang Undangan Penanggulangan
Bencana. Bandung : Fokus Media
Avon, SL. 2004. Forensic Odontology: The Roles and Responsibilities of
the Dentist.Volume 70 No 7. pp.453-454
Budijanto A et all. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Cetakan Kedua.
Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Gadro, SA. 2010. Identifikasi Forensik. Yogyakarta : RS DR. Sardjito
Humas Universitas Airlangga. Peran Dokter Gigi dalam Identifikasi Korban
Bencana. Diakses dari http://www.unair.ac.id.
Idries, AM. 2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik Bagi Praktisi
Hukum. Cetakan Pertama. Jakarta: Sagung Seto
Interpol. Disaster victim identification guide 2009. Diakses dari
www.interpol.int/Media/Files/INTERPOLExpertise/DVI/ DVI-Guide.
Sampurna, B, et All. 2008. Peranan Ilmu Forensik Dalam Penegakan
Hukum: Sebuah Pengantar. Edisi pertama. Jakarta
Sharma, RK. 2005. Concise Textbook of Forensic Medicine and
Toxicology. 2nd ed. New Delhi : Elsevier.
Surjit, Singh. 2008. Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati Bencana
Massal. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4
Tjondroputranto, H. 1988. Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Forensik.
Cetakan ketiga. Jakarta : Medicina Forensis
Universitas Indonesia. 2011. Diakses dari www.lontar.ui.ac.id/file?
file=digital/123056-SK...HA.pdf
Universitas Udayana. 2011. Diakses dari
Http://Ejournal.Unud.Ac.Id/New/Detail-39-61-Indonesian-Journal-Of-Legal-And-
Forensic-Sciences-Ijlfs.Html
22
Mukuan, MV. 2011. Peran Dokter Gigi Dalam Disaster Victim
Identification (Studi Pustaka). Surabaya : Universitas Airlangga
23