tonsilitis difteri ade

18
Tonsilitis difteri Ade Frima Segara Manurung 10.2008.141 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna no. 6, Jakarta 11510 Email: [email protected] Pendahuluan Tonsillitis adalah suatu peradangan pada tonsil yang dapat disebabkan oleh berbagai factor, namun hampir 50 % kasus tonsillitis adalah karena infeksi. Tonsillitis akut sering dialami oleh anak dengan insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun, dan juga pada orang dewasa diatas usia 50 tahun. Seseorang terpredisposisi menderita tonsillitis jika memiliki resistensi yang rendah, memiliki tonsil dengan kondisi yang tidak menguntungkan akibat tonsillitis berulang sebelumnya, sebagai bagian dari radang tenggorok (faringitis) secara umum, atau sekunder terhadap infeksi virus (adenovirus) yang menyebabkan tonsil menjadi mudah diinvasi bakteri. 1,2 Anatomi Tonsil Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supra tonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: •Lateral– m. konstriktor faring superior •Anterior – m. palatoglosus 1

Upload: rani-benawa

Post on 29-Dec-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tonsilitis Difteri Ade

Tonsilitis difteriAde Frima Segara Manurung

10.2008.141

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna no. 6, Jakarta 11510

Email: [email protected]

Pendahuluan

Tonsillitis adalah suatu peradangan pada tonsil yang dapat disebabkan oleh berbagai factor, namun hampir 50 % kasus tonsillitis adalah karena infeksi. Tonsillitis akut sering dialami oleh anak dengan insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun, dan juga pada orang dewasa diatas usia 50 tahun.

Seseorang terpredisposisi menderita tonsillitis jika memiliki resistensi yang rendah, memiliki tonsil dengan kondisi yang tidak menguntungkan akibat tonsillitis berulang sebelumnya, sebagai bagian dari radang tenggorok (faringitis) secara umum, atau sekunder terhadap infeksi virus (adenovirus) yang menyebabkan tonsil menjadi mudah diinvasi bakteri.1,2

Anatomi Tonsil

Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supra tonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.

Dibatasi oleh: 

•Lateral– m. konstriktor faring superior

•Anterior – m. palatoglosus

•Posterior – m. palatofaringeus

•Superior – palatum mole

•Inferior- tonsillingual

S e c a r a m i k r o s k o p i k t o n s i l t e r d i r i a t a s 3 k o m p o n e n y a i t u j a r i n g a n i k a t , f o l i k e l germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan inter folikel (terdiri dari jaringan limfoid)1,2,3

1

Page 2: Tonsilitis Difteri Ade

Anamnesis2

Anamnesis merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan

memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit pasien.

Anamnesis bisa dilakukan pada pasien itu sendiri maupun dari keluarga terdekat. Anamnesis

sangat penting dilakukan, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.

Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.

Pada anamnesis umum, yang harus ditanyakan kepada pasien ialah:

Identitas pasien (nama, usia, dsb)

Riwayat penyakit sekarang (keluhan utama)

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat perjalanan penyakit

Riwayat kehamilan dan kelahiran

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak

Riwayat makanan

Riwayat penyakit keluarga.

Selain itu, dapat pula diajukan beberapa pertanyaan yang mengarah kepada kondisi

kelainan tenggorok, yaitu:

o Apakah merasa sakit jika menelan?

o Apakah ada rasa mengganjal di tenggorokan?

o Apakah ada riwayat demam?

o Apakah merokok/minum alcohol?

o Apakah ada batuk?

o Apakah keluhan yang ditanyakan sebelumnya sering/berulang?

o Adakah post nasal drip?

o Apakah ada dahak?

2

Page 3: Tonsilitis Difteri Ade

o Apakah dulu pernah mengalami seperti ini? Apakah dulu di keluarga ada yang sakit

seperti ini juga?

Pemeriksaan2

Tujuan utama dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang adalah untuk

menentukan kelainan apa saja yang, disamping untuk merperkirakan kemungkinan penyebab

dan adanya komplikasi tambahan yang meyertai keluhan tersebut. Mulut buka lebar – lebar

lidah ditarik ke dalam, dilunakkan, lidah ditekan ke bawah, di bagian medial.

Penderita disuruh bernapas

  Tidak boleh menahan napas

  Tidak boleh napas keras – keras

  Tidak boleh ekspirasi atau mengucap “ch”

Lidah ditekan anterior dari tonsil, hingga kelihatan pole bawah tonsil.

Pemeriksaan Fisik

Memeriksa besar tonsil

Besar tonsil ditentukan sebagai berikut :

o T0 : tonsil di dalam fossa tonsil / telah diangkat

o T1 : bila besarnya 1/4 jarak arcus anterior & uvula

o T2 : bila besarnya 2/4 jarak arcus anterior & uvula

o T3 : bila besarnya 3/4 jarak arcus anterior & uvula

o T4 : bila besarnya mencapai uvula / lebih

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis tonsilitis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan

preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran.

Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody

technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.

3

Page 4: Tonsilitis Difteri Ade

Differential Diagnosis

Tonsilitis septik

Penyebab tonsilitis septik adalah Streptococcus hemolitikus yang terdapat dalam susu

sapi sehingga dapat timbukl epidemi. Oleh karena di indonesia susu sapi dimasak dulu

dengan cara pasteurisasi sebelum diminum, maka penyakit ini jarang di temukan.3,4

Angina Plaut Vincent

Penyebab penyakit ini adalah spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada

penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.4

Working Diagnosis

TONSILITIS DIFTERI

Difteri adalah infeksi akut ynag disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae.

Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva,

genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik

terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.

Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita

difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara.

Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi

kolonisasi pada saluran nafas.2,3,4

A. Epidemiology

Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok

setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap terjadi pada

individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi

primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens menurut usia tergantung pada

kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit

ini terjadi di kalangan penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh

fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum

mendapatkan imunisasi.3

4

Page 5: Tonsilitis Difteri Ade

Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan

frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin

menderita penyakit ini

B. Etiologi

Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram positif

tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis.

Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang mengandung penghambat

tertentu yang memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lain(Tellurite). Koloni-koloni

Corynebacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.

Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang

termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan

laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini

tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan

per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada

tes Schick.

C. Patofisiologi

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa

saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta

selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini

merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya,

5

Page 6: Tonsilitis Difteri Ade

mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal)

yang disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul

toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar

fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam

menimbulkan efek toksik pada sel.

Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu

coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini

memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang mengalami

asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui

membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan

pembentukan protein dalam sel.

Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B

dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase

melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk

rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di

daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan

jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi

toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.

Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari

jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel- sel radang,

eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan.

Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.

Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnyaSt r ept ococcus

pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan

pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-

cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan

pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.

Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang

terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin

terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi

6

Page 7: Tonsilitis Difteri Ade

klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada

umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis

dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak

edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila

penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak

neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala

hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada

ginjal.

D. Manifestasi klinis

Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi

membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil,

palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi

tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke

dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan

dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa

menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak.

Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun

antitoksin tidak diberikan.

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :

gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya

subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan

nyeri menelan

gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang

makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran ini dapat meluas

ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat

saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat

akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus,

kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher

menyerupai sapi( bull neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.

gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan

kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai

7

Page 8: Tonsilitis Difteri Ade

decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum

dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

F. Diagnosis

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan

preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan

didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.

Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody

technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C,

diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas

secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat

membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan

masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.

G. Penatalaksanaan5,6

1. Isolasi dan Karantina :

Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut

terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :

a. biakan hidung dan tenggorok

b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)

c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.

Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.

Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi

Bila kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan carrier

Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin

Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).

8

Page 9: Tonsilitis Difteri Ade

2. Pengobatan5,6

Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum

terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,

mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta

dan penyulit diphtheria.

2.1 Umum

Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diit yang

adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban

udara dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan

pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

2.2 Khusus

Anti Diphteria Serum(ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria. Sebelumnya

harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS

terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 :

1000 dalam semprit.

Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1 :

1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.

Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam

garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit

tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.

Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi

(Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus

secara tetesan intravena. Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan

9

Page 10: Tonsilitis Difteri Ade

berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-

120.000 KI.

Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml

dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi

sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula

perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

Antimikrobal

Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan produksi toksin.

Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan

eritromisin 40 mg/kg/hari

Koritikosteroid

Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas

bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

3. Pengobatan Carrier

Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai Reaksi Schick

negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat

diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin

diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.

Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring

yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.7

10

Page 11: Tonsilitis Difteri Ade

Prognosis

Dubia

Kesimpulan

Penanganan tonsillitis bias sangat bervariasi tergantung dari perjalanan penyakitnya

sendiri, mulai dari penanganan konvensional hingga tindakan pembedahan seperti

tonsilektomi dan adenoidektomi. Jika pun keputusan pembedahan yang diambil, maka harus

berdasarkan indikasi yang jelas dan telah mempertimbangkan cost/benefit ratio dari tindakan

tersebut, selain itu telah diperhitungkan komplikasi yang mungkin terjadi. Beberapa indikasi

untuk tonsilektomi/adenoidektomi antara lain : tonsillitis rekuren atau kronis dengan kriteria

yang ditentukan, tonsillitis difteri yang tidak berespon terhadap terapi medika mentosa,

demam rematik, tonsillitis yang berkaitan dengan infeksi telinga tengah atau sinusitis

maksilaris, formasi abses, obstruksi jalan napas, dugaan keganasan tonsil, dan lain

sebagainya.6,7,8

11

Page 12: Tonsilitis Difteri Ade

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar

Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC : Jakarta. 1997

2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.

3. American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and quicker

recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from: http://www.

medicalnewstoday. com/medic alnews. php?newsid=13677

4. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit

telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13. Jakarta,Binarupa aksara 1994:

p321

5. Drake A. Tonsillectomy. avaible from: http://www. emedicine. com/ent/topic315.

htm/emed tonsilektomi

6. Kornblut A,Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Paparella,Gluckman

S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and neck surgery. Philadelphia, WB Saunders

3rd edition,1991:2149-56

7. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restutia RD, editor. Buku kuliah ilmu kesehatan telinga hidung

tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. h.116-22.

8. Soepardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok. Dalam: Soepardi EA, Iskandar

N, Bashiruddin J, Restutia RD, editor. Buku kuliah ilmu kesehatan telinga hidung

tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. h.1-3.

12