tugas kelompok oi peranan pbb
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam studi hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan
sebagai pertikaian mengenai suatu persoalan hukum atau suatu fakta, suatu
perselisihan mengenai pandangan hukum atau kepentingan antara dua
subyek hukum menurut hukum internasional (P.C.I.J. 1924 Ser. A, No. 2,
hlm 11). Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai
dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan,
misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara
sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik. Sebagai salah satu
konflik terpanjang dalam sejarah umat manusia, perseteruan antara Palestina
dengan Israel. Perseteruan antara kedua entitas ini telah berlangsung selama
enam dekade (jika dihitung dari terbentuknya negara Israel), dan dimulainya
konflik antara Palestina – Israel telah melalui latar belakang sejarah yang
cukup panjang
Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut akhirnya
direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague
Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang kemudian menghasilkan
Convention on the Pacific Settlement of International Disputes 1907.
Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi
tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara
melakukan kekerasan sebagai metode penyelesaian sengketa.
Dalam praktek hubungan antar negara pada saat ini, PBB telah
menjadi organisasi yang besar. UN Charter (Piagam) telah dijadikan sebagai
rujukan utama oleh banyak negara untuk menyelesaikan sengketa dengan
damai. Pencantuman penyelesaian sengketa secara damai di dalam Piagam,
memang mutlak diperlukan. Selain karena PBB bertujuan untuk menjaga
kedamaian dan keamanan internasional, negara-negara anggota PBB
membutuhkan panduan dalam melaksanakan tujuan PBB tersebut.
Tujuan dibentuknya PBB, yaitu menjaga kedamaian dan keamanan
internasional tercantum di dalam Pasal 1 Piagam, yang berbunyi :
“To maintain international peace and security, and to that end: to take
effective collective measures for the prevention and removal of threats to the
peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the
peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the
principles of justice and international law, adjustment or settlement of
international disputes or situations which might lead to a breach of the
peace”
Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan
apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa,
yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa
secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 33 Piagam
yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa,
diantaranya : Negosiasi; Pencarian Fakta; Mediasi; Konsiliasi; Arbitrase;
Pengadilan; atau dengan cara lain yang dipilih oleh para pihak.
PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya.
Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-
negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur
penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau
badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan
lebih melindungi kedaulatan mereka.
B. PERMASALAHAN
1. Mengapa PBB berkepentingan dalam penyelesaian masalah Israel dan
Palestina?
2. Bagaimana Peran PBB dalam penyelesaian konflik Isreal – Palestina ?
C. TUJUAN
1. Untuk memahami kepentingan PBB dalam penyelesaian masalah
Israel-Palestina.
2. Untuk mengetahui peran PBB dalam penyelesaian konflik Israel-
Palestina.
BAB II
PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DIPLOMATIK
Penyelesaian sengketa internasional pada umumnya dapat
digolongkan dalam dua bagian, yaitu penyelesaian secara hukum dan
diplomatik. Penyelesaian secara hukum meliputi arbitrase dan pengadilan,
sedangkan penyelesaian secara diplomatik meliputi negosiasi; pencarian
fakta; mediasi; konsiliasi; dan jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut
memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.
a) Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang
cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi
menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa.
Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah
cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak
yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak
ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama,
yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui
saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu
lembaga atau organisasi internasional.
Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan.
Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih
dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika
sengketa telah lahir.
Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa
menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :
(1) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian
sesuai dengan kesepakatan diantara mereka
(2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur
penyelesaiannya
(3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam
negeri.
(4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution,
sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak
b) Pencarian Fakta
J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya
sengketa antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para
pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan
bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak
disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak
kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki
fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini
kemudian dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat
menyelesaikan sengketa diantara mereka.
Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-
fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam
konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang
dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai
salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak
lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian
diteruskan pada tahun 1907.
c) Mediasi
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa
internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui
negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah
cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang
telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua
belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja
harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan
saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam
beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada
kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja
pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.
Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu
hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada.
Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk
menyelesaikan sengketa yang ada. Pelaksanaan mediasi dalam
penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian
internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter;
The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.
d) Konsiliasi
Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi
menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan
intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi
yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh
para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian
memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak.
Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak
mengikat para pihak. Pada prakteknya, proses penyelesaian sengketa
melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan
yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki
hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi.
Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus
dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian
komisi akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan
berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan
tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para
pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.
e) Jasa-jasa Baik
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan
pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa
menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat
Bindschedler, yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat
didefinisikan sebagai berikut: the involvement of one or more States
or an international organization in a dispute between states with the
aim of settling it or contributing to its settlement.
Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement
juga dapat menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang
bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur
hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi
maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan
penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat
antara masing-masing pihak yang bersengketa.
a) Arbitrase
Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai
cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang
ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat
menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan
arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa
internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh
badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat
masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada
prinsipnya adalah final dan mengikat.
Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang
terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam
menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA
menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.
b) Pengadilan Internasional
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk
menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah
pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan
internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk
menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya
International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court,
International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for
Human Rights, dan lainnya.
Kehadiran pengadilan internasional sesungguhnya telah dikenal sejak
eksisnya Liga Bangsa-Bangsa, yaitu melalui Permanent Court of
International Justice (PCIJ). Namun seiring dengan bubarnya LBB
pasca Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ diteruskan oleh ICJ
sejalan dengan peralihan dari LBB kepada PBB.
Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti
adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang
bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para
pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum
acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan
internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang
mengikat masing-masing pihak yang bersengketa.
BAB III
PERKEMBANGAN KONFLIK ISRAEL-PALESTINA
A. Eksistensi PBB
Hukum internasional dipraktekkan dengan pemahaman koordinatif,
yang mengutamakan kedaulatan masing-masing negara. Tanpa adanya
lembaga yang bertugas untuk melaksanakan law enforcement, hukum
internasional sering dikatakan bukan merupakan suatu hukum. Terlepas dari
itu semua, masyarakat internasional tetap mengakui eksistensi hukum
internasional dalam mengatur interaksi antara subyek hukum internasional.
Kelahiran League of Nations (LBB) yang menjadi lembaga
intergovernmental pasca terjadinya Perang Dunia I (PD I), tidak mampu
mencegah terjadinya penyelesaian sengketa dengan kekerasan antar negara.
Karena LBB terbukti tidak dapat melakukan tindakan preventif untuk
mencegah terjadinya Perang Dunia II (PD II). Dari kondisi seperti itulah,
negara-negara yang terlibat dalam PD II kemudian membentuk United
Nations (PBB) sebagai pengganti dari LBB. Kelahiran PBB diharapkan
dapat mencegah terjadinya hal serupa PD I dan II.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dapat didefinisikan sebagai suatu
organisasi negara-negara merdeka yang telah menerima kewajiban-
kewajiban yang dimuat dalam Piagam PBB yang ditandatangani di San
Fransisco pada tanggal 26 Juni 1945.1 Prinsip-prinsip yang dinyatakan
1 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003, Hlm. 200
dalam piagam tersebut berasal dari konsepsi-konsepsi dan rencana-rencana
sekutu pada masa Perang Dunia II, yang pertama kali dinyatakan dalam:
(a) Piagam Atlantik (Atlantic Charter) yang diajukan oleh Presiden
Amerika Serikat dan Perdana Menteri Inggris pada bulan Agustus
1941.
(b) Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa yang ditandatangani oleh 26
negara pada Hari Tahun Baru 1942 setelah Jepang memulai
permusuhan-permusuhan di Pasifik.
(c) Deklarasi Moskow Oktober 1943, yang dikeluarkan oleh pemerintah-
pemerintah Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Cina, yang
mengakui perlunya mendirikan suatu organisasi internasional umum
yang dilandasi oleh prinsip persamaan kedaulatan dari negara-negara
yang cinta damai dan terbuka keanggotaaannnya bagi semua negara
besar maupun kecil, demi untuk ememlihara perdamaian dan
keamanan internasional.
Dalam praktek hubungan antar negara pada saat ini, PBB telah
menjadi organisasi intergovernmental yang besar. Dengan keanggotaan
sebanyak itu, UN Charter (Piagam) telah dijadikan sebagai rujukan utama
oleh banyak negara untuk menyelesaikan sengketa dengan damai.
Pencantuman penyelesaian sengketa secara damai di dalam Piagam,
memang mutlak diperlukan. Selain karena PBB bertujuan untuk menjaga
kedamaian dan keamanan internasional, negara-negara anggota PBB
membutuhkan panduan dalam melaksanakan tujuan PBB tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, hukum internasional saat ini sebagian besar
direpresentasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB merupakan
organisasi antar-pemerintah yang mempunyai anggota paling besar, dan
juga memiliki cakupan sektor pembahasan yang paling luas jika
dibandingkan dengan organisasi internasional lain yang lebih cenderung
memfokuskan diri kepada salah satu sektor saja (ekonomi, solidaritas Islam,
regionalisme, dan lainnya). PBB pun didirikan dengan berdasarkan kepada
hukum internasional, dapat dilihat dari dokumen hukum yang menjadi
landasan berdirinya PBB, sistem koordinatif yang dianut oleh PBB, dan
berbagai konsep lain yang dianut oleh PBB. Hukum internasional yang
direpresentasikan oleh PBB dapat dilihat melalui kebiasaan-kebiasaan
dalam PBB, dan juga resolusi-resolusi yang dihasilkan oleh badan-badan
utama PBB. Resolusi PBB, meskipun beberapa diantaranya tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, tetap dianggap sebagai salah
satu sumber hukum internasional dan diterima oleh negara-negara. Fakta
bahwa PBB lebih merupakan sebuah organisasi politis ketimbang sebagai
law-maker dalam hukum internasional, tidak mengenyampingkan
peranannya dalam perkembangan hukum internasional.
Kehadiran hukum internasional dalam hubungan antar negara, pada
awalnya diharapkan mampu hadir sebagai pemecah kebuntuan bagi
memberikan keadilan bagi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
konteks masyarakat internasional. Namun pada perkembangannya, tidak
jarang hukum internasional justru dibuat tidak berdaya dihadapan
kepentingan negara-negara besar. Dalam berbagai konflik yang telah hadir
di ranah hubungan internasional, negara-negara adidaya tidak pernah
meluputkan sedikit kesempatan pun untuk menanamkan pengaruhnya
diantara pihak-pihak yang sedang berkonflik. Kubu Barat dan Timur selalu
menjadi dua dunia yang berusaha untuk menyebarkan pahamnya di berbagai
belahan dunia.
Dalam konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, beberapa
resolusi telah dikeluarkan baik oleh Majelis Umum maupun Dewan
Keamanan PBB. Resolusi pertama terjadi pada tahun 1967, ketika
Israel menggunakan cara-cara militer untuk merebut wilayah palestina.
Resolusi yang dimaksud adalah Resolusi Dewan Keamanan No.242, yang
diterbitkan pada tanggal 22 November 1967. Resolusi tersebut menekankan
penolakan terhadap pencaplokan wilayah dengan cara perang dan
mendorong perlunya usaha perdamaian yang adil dan langgeng
dimana setiap negara dapat hidup dengan aman melalui penarikan pasukan
bersenjata Israel dari wilayah-wilayah yang diduduki dalam konflik pada
saat itu sehingga menjadi akhir semua klaim atau keadaan perang, dihormati
dan diakuinya kekuasaan, integritas wilayah dan politik setiap negara di
Timur Tengah, serta hak-hak untuk hidup aman di wilayah perbatasan yang
diakui, yang bebas dari ancaman maupun pengerahan kekuasaan.
Resolusi kedua adalah Resolusi Dewan Keamanan No. 250/1968.
Resolusi tersebut di antaranya menegaskan kembali resolusi sebelumnya
dan juga penegasan bahwa penambahan wilayah melalui penaklukan militer
tidak dapat diterima. Resolusi tersebut dikeluarkan karena memperhatikan
bahwa sejak diadopsinya resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan baik oleh
Majelis Umum maupun Dewan Keamanan PBB, Israel telah mengambil
langkah lebih jauh dan bertindak bertentangan dengan resolusi-resolusi
tersebut. Selanjutnya pada tanggal 15 September 1969, Dewan Keamanan
mengeluarkan lagi Resolusi No. 271 yang berisi antara lain tentang
pernyataan mengenai bahaya yang ditimbullkan terhadap perdamaian dan
keamanan menyusul kerusakan yang sedemikian parah di Masjid Suci Al
Aqsa di Jerusalem, di wilayah pendudukan Israel, karena pada tanggal 21
Agustus 1969 secara sengaja dibakar. Resolusi selanjutnya yang ditetapkan
adalah Resolusi No. 476 yang diterbitkan pada tanggal 21 Agustus 1980.
Dalam resolusi ini membahas tentang penegasan kembali karakter geografis,
demografis, sejarah, dan status kota Jerusalem. Pada awal tahun 2009,
menyusul agresi militer Israel ke Jalur Gaza, untuk kesekian kalinya Dewan
Keamanan mengeluarkan resolusinya. Resolusi Dewan Keamanan
No.1860/2009 tersebut menyerukan adanya gecatan senjata segera dan
bertahan lama yang akan mengarah kepada penarikan sepenuhnya
pasukan Israel. Dalam resolusi tersebut juga diserukan penyaluran bantuan
kemanusiaan secara aman, termasuk makanan dan peralatan medis. Resolusi
itu disetujui oleh 14 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB.
Amerika Serikat memilih abstain dalam voting tersebut.
B. Sejarah Israel - Palestina
Konflik Israel-Palestina bukanlah sebuah konflik dua sisi yang
sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang
Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama,
sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya.
Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang
menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya,
sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan
solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah Israel
masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.2
Konflik Palestina-Israel adalah konflik yang paling lama berlangsung
di wilayah Timur Tengah yang menyebabkannya menjadi perhatian utama
masyarakat internasional. Sebagai contoh, konflik antara keduanya menjadi
agenda pertama dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), dimulainya konflik antara Israel-Palestina telah melalui latar
belakang sejarah yang cukup panjang.3
a. Akhir abad ke-19 - 1920: Asal konflik
- Tahun 1897, Kongres Zionis Pertama diselenggarakan
- Deklarasi Balfour 1917: 2 November 1917. Inggris mencanangkan
Deklarasi Balfour, yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji
untuk mendirikan ”tanah air” bagi kaum Yahudi di Palestina
b. 1920-1948: Mandat Britania atas Palestina
2 http://www.indonesiaindonesia.com/f/42697-sejarah-perang-israel-palestina/ diakses pada tanggal 15 November 2010 pkl 03.27
3 http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Israel_dan_Palestina diakses pada tanggal 15 November 2010 pkl 03.27
- Teks 1922: Mandat Palestina Liga Bangsa-bangsa
- Mandat Britania atas Palestina
- Revolusi Arab 1936-1939: Revolusi Arab dipimpin Amin Al-
Husseini. Tak kurang dari 5.000 warga Arab terbunuh. Sebagian besar
oleh Inggris. Ratusan orang Yahudi juga tewas. Husseini terbang ke Irak,
kemudian ke wilayah Jerman, yang ketika itu dalam pemerintahan Nazi.
- Rencana Pembagian Wilayah oleh PBB 1947
- Deklarasi Pembentukan Negara Israel, 14 Mei 1948: Secara
sepihak Israel mengumumkan diri sebagai negara Yahudi. Inggris
hengkang dari Palestina. Mesir, Suriah, Irak, Libanon, Yordania, dan
Arab Saudi menabuh genderang perang melawan Israel
c. 1948-1967
- Perang Arab-Israel 1948
- Persetujuan Gencatan Senjata 1949: 3 April 1949. Israel dan Arab
bersepakat melakukan gencatan senjata. Israel mendapat kelebihan
wilayah 50 persen lebih banyak dari yang diputuskan dalam Rencana
Pemisahan PBB
- Exodus bangsa Palestina
- Perang Suez 1956
- Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) resmi berdiri pada Mei
1964. Tujuannya menghancurkan Israel.
- Perang Enam Hari 1967
- Resolusi Khartoum
- Pendudukan Jalur Gaza oleh Mesir
- Pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur oleh Yordan
d. 1967-1993
- Perjanjian Nasional Palestina dibuat pada 1968, Palestina secara
resmi menuntut pembekuan Israel
- 1970 War of Attrition
- Perang Yom Kippur 1973
- Kesepakatan Damai Mesir-Israel di Camp David 1978
- Perang Lebanon 1982
- Intifada pertama (1987 - 1991)
- Perang Teluk 1990/1
e. 1993-2000: Proses perdamaian Oslo
- Kesepakatan Damai Oslo antara Palestina dan Israel 1993: 13
September 1993. Israel dan PLO bersepakat untuk saling mengakui
kedaulatan masing-masing. Pada Agustus 1993, Arafat duduk semeja
dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Hasilnya adalah
Kesepakatan Oslo. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat
dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah
lembaga semiotonom yang bisa "memerintah" di kedua wilayah itu.
Arafat "mengakui hak Negara Israel untuk eksis secara aman dan damai".
28 September 1995. Implementasi Perjanjian Oslo. Otoritas Palestina
segera berdiri
- Kerusuhan terowongan Al-Aqsa: September 1996. Kerusuhan
terowongan Al-Aqsa. Israel sengaja membuka terowongan menuju
Masjidil Aqsa untuk memikat para turis, yang justru membahayakan
fondasi masjid bersejarah itu. Pertempuran berlangsung beberapa hari
dan menelan korban jiwa
- 18 Januari 1997 Israel bersedia menarik pasukannya dari Hebron,
Tepi Barat
- Perjanjian Wye River Oktober 1998 berisi penarikan Israel dan
dilepaskannya tahanan politik dan kesediaan Palestina untuk menerapkan
butir-butir perjanjian Oslo, termasuk soal penjualan senjata ilegal.
- 19 Mei 1999, Pemimpin partai Buruh Ehud Barak terpilih sebagai
perdana menteri. Ia berjanji mempercepat proses perdamaian.
f. 2000-sekarang: Intifada al-Aqsa
- Intifada al-Aqsa (2000-sekarang): Maret 2000, Kunjungan
pemimpin oposisi Israel Ariel Sharon ke Masjidil Aqsa memicu
kerusuhan. Masjidil Aqsa dianggap sebagai salah satu tempat suci umat
Islam. Intifadah gelombang kedua pun dimulai
- KTT Camp David 2000 antara Palestina dan Israel
- Maret-April 2002 Israel membangun Tembok Pertahanan di Tepi
Barat dan diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina.
- Juli 2004 Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan
batas pertahanan menyalahi hukum internasional dan Israel harus
merobohkannya.
- 9 Januari 2005 Mahmud Abbas, dari Fatah, terpilih sebagai
Presiden Otoritas Palestina. Ia menggantikan Yasser Arafat yang wafat
pada 11 November 2004
- Juni 2005 Mahmud Abbas dan Ariel Sharon bertemu di Yerusalem.
Abbas mengulur jadwal pemilu karena khawatir Hamas akan menang.
- Agustus 2005 Israel hengkang dari permukiman Gaza dan empat
wilayah permukiman di Tepi Barat.
- Januari 2006 Hamas memenangkan kursi Dewan Legislatif,
menyudahi dominasi Fatah selama 40 tahun.
- Januari-Juli 2008 Ketegangan meningkat di Gaza. Israel memutus
suplai listrik dan gas. Dunia menuding Hamas tak berhasil
mengendalikan tindak kekerasan. PM Palestina Ismail Haniyeh berkeras
pihaknya tak akan tunduk.
- November 2008 Hamas batal ikut serta dalam pertemuan unifikasi
Palestina yang diadakan di Kairo, Mesir. Serangan roket kecil berjatuhan
di wilayah Israel.
- Serangan Israel ke Gaza dimulai 26 Desember 2008. Israel
melancarkan Operasi Oferet Yetsuka, yang dilanjutkan dengan serangan
udara ke pusat-pusat operasi Hamas. Korban dari warga sipil berjatuhan
- Mei 2010 Israel mem-blokede seluruh jalur bantuan menuju
palestina
- 30 Mei 2010 Tentara Israel Menembaki kapal bantuan Mavi
Marmara yang membawa ratusan Relawan dan belasan ton bantuan
untuk palestina
C. Efektifitas Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Sengketa Israel –
Palestina
Berhadapan dengan AS, PBB seakan-akan hanya menjadi sebuah
organisasi internasional yang melegitimasi kepentingan AS. Standar ganda
yang diterapkan oleh AS, ditambah kekuatan veto dalam Dewan Keamanan
PBB, telah menjadikan AS sebagai negara yang tidak terkontrol untuk
menyebarluaskan pahamnya. Pada tahun 2003, ketika AS memutuskan
untuk mengagresi Irak dengan alasan kepemilikan Irak terhadap senjata
pemusnah massal, PBB tidak mengeluarkan resolusi yang melarang AS
untuk melakukan agresi tersebut. Sementara ketika Iran dikenakan sanksi
karena melakukan pengayaan uranium, meskipun pengayaan tersebut belum
terbukti untuk membuat senjata nuklir.
Berkaitan dengan yurisdiksi Dewan Keamanan, PBB sesuai dengan
pasal 2 ayat 7 piagam pada dasarnya tidak diperbolehkan untuk mengadakan
campur tangan urusan dalam negeri suatu negara termasuk campur tangan
yang dilakukan oleh Dewan Keamanan, kecuali jika tindakan tersebut
dilakukan dalam rangka pengenaan sanksi baik ekonomi maupun miliiter
terhadap suatu negara yang tidak mentaati keputusan Dewan Keamanan atas
pelanggaran yang dapat mengancam perdamaian termasuk tindakan agresi4.
4 R. Abdoel Djamali, op cit, hlm. 201
Begitupun juga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian
sengketa internasional yang mempengaruhi perdamaian dan keamanan
seperti yang terjadi di dalam konflik Israel-Palestina. Wewenang Dewan
Keamanan tentang penyelesaian sengketa internasional yang termuat dalam
Bab IV Piagam PBB, yaitu sebagai berikut5:
a) Dewan Keamanan apabila dipandang perlu akan memanggil para
pihak yang terlibat dalam suatu snegketa, yang jika berkelanjutan akan
menimbulkan suatu kemungkinan bahaya terhadap perdamaian dan
keamanan, untuk menyelesaikan sengketa -sengketa tersebut melalui
perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian
yudisial, tindakan oleh badan-badan regional atau berdasarkan
persetujuan-persetujuan regional, atau dengan cara-cara damai lainnya
(pasal 33 piagam).
b) Dewan Keamanan menyelidiki bukan saja sentiap macam sengketa,
namun juga keadaan-keadaan yang sedemikian rupa sehingga
keadaan-keadaan tersebut dapat menimbulkan perselisihan
internasional atau menimbulkan suatu sengketa, untuk menentukan
apakah sengketa-sengketa tersebut kemungkinan membahayakan
perdamaian dan keamanan (pasal 34).
c) Selama berlangsungnya suatu sengketa atau keadaan, yang apabila
berkelanjutan akan membahayakan perdamaian dan keamanan, Dewan
Keamanan akan merekomendasikan “prosedur-prosedur atau metode-
metode yang layak” untuk penyelesaian. Pada umumnya, sengketa-
5 Ibid, hlm. 203
sengketa hukum harus diserahkan kepada International Court of
Justice (pasal 36).
d) Apabila semua pihak yang terlibat dalam sengketa memintanya,
Dewan Keamanan dapat merekomendasikan syarat-syarat untuk
penyelesaian sengketa (pasal 38).
Konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan membuat sebagian
negara mempertanyakan fungsi dan efektivitas adanya DK PBB. Begitu
dekatnya Amerika dengan Israel dalam berbagai hal menjadikan resolusi
Dewan yang dijatuhkan terasa kurang efektif. Terakhir, resolusi 1860 yang
baru saja dikeluarkan DK PBB menjadi tidak berarti untuk dilaksanakan
kedua belah pihak yang berselisih. Hanya Amerika Serikat saja yang abstain
dalam pemungutan suara mengenai pengesahan resolusi 1860 tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN
Sudah lebih dari 50 Resolusi PBB dibentuk untuk Israel semenjak 1955.
Selama itu pula hubungannya dengan Palestina mengalami naik turun dan bahkan
sempat memunculkan harapan akan perdamaian. Namun, hingga tahun ini harapan
itu masih belum muncul dalam wujud nyata. Upaya-upaya untuk menciptakan
perdamaian dilakukan secara lebih luas melalui peran organisasi yang mewadahi
hubungan internasional dengan tujuan perdamaian dunia, yakni Persatuan Bangsa-
Bangsa (PBB). Sebagai rezim internasional yang mendapatkan legitimasi dari
negara-negara anggotanya, sikap PBB tidak hanya ditunjukkan melalui
pengiriman tentara perdamaian PBB, tetapi juga melalui resolusi-resolusi yang
dibuat PBB untuk Israel. Bagaimanapun puluhan resolusi ini hanya menghasilkan
nihil perdamaian.
Di sini kita dapat mempertanyakan kemampuan PBB dalam penyelesaian
sengketa, tetapi kita juga dapat mempertanyakan, bagaimana sikap negara
terhadap hukum internasional yang ada. Artinya, tidak hanya kelemahan dunia
internasional, dalam hal ini PBB yang dapat menjadi penyebab tidak berakhirnya
konflik ini, tetapi juga penolakan dari dalam negara. Bagaimanapun, tidak
seharusnya pengabaian negara terhadap hukum internasional bertahan begitu lama
seandainya terdapat sanksi yang jelas untuk negara ini. Oleh karena itu, perlu
dilihat sisi lain dari konflik ini yaitu kecenderungan pihak ketiga untuk lebih berat
ke salah satu pihak.
Salah satu latar belakang lain yang menyebabkan langgengnya konflik
Israel-Palestina adalah dukungan negara paling berpengaruh di dunia, Amerika
Serikat, terhadap Israel. Amerika Serikat memang telah sejak lama mendukung
Israel di berbagai kesempatan melalui kebijakan luar negerinya. Israel memiliki
pengaruh terhadap pembuatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Di sini Amerika memperlihatkan standar gandanya dengan menafikan
kesalahan-kesalahan Israel ini. Amerika Serikat sendiri membutuhkan Israel
sebagai mitranya di kawasan Timur Tengah. Dengan kekuatan dan pengaruhnya
dalam PBB dan hubungan internasional secara umumnya, tekanan terhadap Israel
tidak dapat mengakhiri perseteruannya dengan Palestina.
Bagaimana konflik Israel-Palestina dapat diselesaikan kemudian dapat
diupayakan dengan melihat kondisi-kondisi yang ada. Pertama, perlu dilakukan
kembali penguatan kapasitas PBB dalam permasalahan ini karena resolusi yang
telah dibuat selama ini terlalu mudah diabaikan. Negara-negara yang tergabung
dalam PBB mulai perlu menegaskan posisi mereka yang menolak Israel baik itu
melalui pembuatan keputusan di PBB maupun dengan melalui kebijakan luar
negerinya sendiri. Ketika hanya satu negara melakukan boikot terhadap Israel
usaha ini mungkin akan menjadi sia-sia.
Fakta pada konflik Israel-Palestina, kasus perang Iraq 2003, dan kasus
serupa lainnya sudah jelas menunjukkan bahwa DK PBB tidak berfungsi lagi
seperti tertuang pada Piagam PBB. Kasus invasi Amerika di Iraq tanpa legalisasi
DK PBB serta tidak adanya resolusi tepat dalam konflik Israel-Palestina
menggambarkan bahwa anggota tetap DK PBB tidak efektif dalam memelihara
perdamaian dan keamanan dunia. Bahkan sampai saat ini banyak dipertentangkan
akan lemahnya DK PBB dalam memberikan sangsi tegas kepada Israel sebagai
akibat pelanggaran terhadap resolusi yang telah ditetapkan.