tugas om

Upload: nopalia-rezti-netral

Post on 02-Mar-2016

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Masyarakat dayak

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Di Kalimantan Barat pengembangan dan pengelolaan perkebunan dengan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) mulai dibuka pada 1980, daerah pengembangannya terdapat di Kabupaten Pontianak, Sanggau Sintang dan Sambas. Potensi kelapa hybrid dan kelapa sawit dengan pola hybrid dan kelapa sawit dengan pola PIR-Bun sejak 1982. Salah satu proyek PIR-Bun di Kabupaten Sanggau dengan jenis komoditi kelapa sawit adalah PIR-Khusus Parindu yang dilaksanakan oleh PT. Perkebunan Nusantara 13 yang berlokasi di Kecamatan Parindu, Tayan Hulu dan Tayan Hilir. Gubernur Kalimantan Barat memberi cadangan areal proyek ini seluas 48.000 Hektar dengan 14.400 hektar dialokasikan khusus untuk perkebunan kelapa sawit meliputi wilayah Desa Senunuk, Bali, Bodok, Pusat Damai, Mawang, Karosik, Lintang, Tatang, Baharu, Binjai, Pasok dan Desa Sebatuh (Sekda Provinsi Kalbar, 1982).Fenomena yang muncul seiring pembukaan perkebunan dengan pola Perusahaan Inti rakyat (PIR), tersebut adalah terjadi perubahan lingkungan alam, yaitu semakin mempersempit kawasan hutan yang berakibat pada perubahan sumber daya alam yang mereka miliki dan memaksa masyarakat harus menyesuaikan atau mengembangkan teknologi baru untuk eksploitasi sumber daya dan akan mempengaruhi aspek sosial budayanya.Perusahaan HPH beroperasi pada 1967 dan dalam waktu 20 tahun telah mengurangi lahan sebanyak 30,1 % dari 9.204.425 hektar. Keadaan ini menurut Alqadrie (1992) telah mengancam eksistensi petani ladang berpindah ataupun penduduk daerah pedalaman yang memandang bahwa hutan adalah sebagai basis utama memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka memiliki aktivitas sehari-hari yang mampu mendukung kehidupan mereka sendiri yang bersumber dari hutan. Alasan inilah yang menyebabkan Hoffman (1985) menyebut salah satu kelompok etnik Dayak, Punan sebagai ahli hutan (forest specialist).Akibat lain dari kehadiran kantong-kantong HPH dan perkebunan adalah meningkatnya jumlah penduduk baik yang datang dibawa oleh pihak proyek perusahaan maupun para migran yang dating dengan maksud mencari lapangan pekerjaan, sehingga wilayah sekitar perkebunan yang awalnya hanya masyarakat homogen (suku Dayak) berubah menjadi masyarakat majemuk.Rata-rata setiap pemukiman orang Dayak berkisar antara 200-700 orang atau terdiri dari 40-150 KK, dan pemukiman itu di kelilingi lahan pertanian berupa hutan yang luas dan subur, jarak antar pemukiman berkisar 5-10 kilometer dan berada di tepian sungai. Masyarakat peladang di Kalimantan Barat berdasarkan BPS, tahun 2002 tercatat sebanyak 86,68 % dari 3.945.300 orang penduduk Kalimantan Barat dan 76,44% masih mengusahakan perladangan berpindah, salah satu suku yang masih melakukannya adalah suku Dayak. Selain berladang berpindah-pindah mereka juga memiliki kebun karet yang kadang-kadang dibawahnya ditanami pohon kopi dan meramu hasil hutan. Kegiatan berladang bagi masyarakat Dayak merupakan hal mutlak yang harus mereka laksanakan setiap tahun karena berhubungan erat dengan kehidupan mereka antar sesama manusia (hubungan horizontal) atau kehidupan mereka dengan sang pencipta (hubungan vertikal).Rumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimana perubahan sosial masyarakat peladang berpindah dan dengan meluasnya kegiatan proyek perkebunan kelapa sawit yang melibatkan mereka. Identifikasi masalah penelitian :1. Bagaimana presepsi masyarakat peladang berpindah Dayak Ribun terhadap proyek PIR-Bun kelapa sawit?2. Bagaimana perubahan sosial masyarakat peladang berpindah Dayak Ribun di sekitar proyek PIR-Bun kelapa sawit?3. Bagaimana bentuk konflik sosial yang terjadi di sekitar proyek PIR-Bun kelapa sawit?Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :1. Memperoleh persepsi masyarakat peladang berpindah Dayak Ribun terhadap proyek perkebunan kelapa sawit.2. Mengkaji perubahan sosial masyarakat yang terjadi pada masyarakat peladang berpindah Dayak Ribun setelah kehadiran proyek PIR-Bun kelapa sawit serta menganalisis akibat yang ditimbulkan oleh pembangunan tersebut.3. Menganalisis apakah pembangunan proyek yang banyak menyerap tenaga kerja yang memiliki latar belakang berbeda mendorong timbulnya konflik non fisik maupun fisik antara penduduk setempat dengan penduduk pendatang maupun dengan pihak perkebunan.Hasil akhir penelitian berupa pengetahuan yang relatif mendalam tentang kebudayaan orang Dayak Ribun di Kecamatan Parindu yang diharapkan secara langsung atau tidak langsung dapat digunakan sebagai acuan untuk pemecahan permasalahan pembanguan dan sebagai bahan kajian forum pengajaran tentang Antropologi di Indonesia.BAB II PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN SOSIAL

Penelitian tentang dampak kehadiran proyek ekonomi dari luar seperti HPH dan perkebunan yang skala besar terhadap perubahan kehidupan masyarakat pedalaman di Kalimantan Barat telah banyak dilakukan. Sebagian besar menitikberatkan analisis atau perhatiannya terhadap aspek ekonomi masyarakat yang berada di sekitar proyek perkebunan, sementara perhatian pada aspek sosial budaya relatif kurang disentuh, padahal kehidupan masyarakat merupakan suatu sistem yang saling berkaitan satu sama lain. Perubahan dalam bidang ekonomi akan mempengaruhi kehidupan yang lainnya.Moderenisasi merupakan gejala yang bisa ditemukan dimana saja. Proses moderenisasi tidak hanya dialami oleh negara-negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika, melainkan dialami juga oleh negara-negara berkembang, seperti Asia dan Afrika. Moderenisasi menurut Schoorl (1991) adalah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya, misalnya aspek ekonomi, moderenisasi berarti tumbuhnya kompleks industri yang besar-besar, dimana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang sarana produksi diadakan secara massal, untuk itu jika suatu negara yang ingin eksis baik dalam kehidupan nasional maupun dalam percaturan hubungan internasional harus memoderenisasikan dirinya. Menurut Schoorl (1991:35), beberapa faktor penyebab moderenisasi menjadi suatu keharusan :1. Untuk memperoleh atau mempertahankan kemerdekaan politik.2. Untuk menaikan martabat pemimpin-pemimpin negara dan prestise negaranya.3. Untuk para pemimpin atau kelompok besar penduduk mengambil alih bagian-bagian tertentu dari kebudayaan moderen, tanpa hendak melakukan moderenisasi sepenuhnya.4. Bagi elit politik, untuk mendapat dukungan masa dan ingin menghindarkan timbulnya kemungkinan yang mengancam kedudukan mereka.Menurut Haviland (1988), moderenisasi juga menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan lain yang mencakup bidang sosial budaya. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat sedikit banyak mempengaruhi stuktur masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial adalah semua perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial yang didalamnya terdapat nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok masyarakat (Soemardjan & Soemardi,1964).Proyek perkebunan dengan jenis komoditi kelapa sawit di daerah pedalaman yang memanfaatkan areal hutan ladang berpindah yang sudah dimiliki penduduk secara turun temurun, dapat dipandang sebagai suatu perubahan yang direncanakan atau rekayasa pemerintah yang memiliki tujuan tidak hanya perubahan fisik, tetapi diharapkan dapat membuka kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan memberikan dampak positif bagi perkembangan daerah. Pembanguan perkebunan bermakna pembangunan sumber daya manusia yang optimal. Menurut Garna (2004), pembanguan adalah suatu entitas yang merangkum semua unsur aktifitas kehidupan manusia. Pembanguan juga harus diimbangi dengan pola pikir, sikap dan tindakan terhadap kondisi yang berubah agar menyesuaikan diri terhadap kondisi baru. Proses penyesuaian merupakan proses bagaimana masyarakat dan unsur-unsurnya melakukan respon terhadap pengaruh yang datang dari luar dan dari dalam masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat bisa dilihat dari indikator kemajuan atau kemunduran yang dialami sebelum atau sesuudah mendapat pengaruh dari proses pembanguan. Pembanguan dan perubahan sosial adalah dua hal yang saling menyatu terjadi dan pembangunan merupakan salah satu alat untuk melakukan perubahan terhadap kondisi yang dimiliki oleh masyarakat. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Secara teoritik, perubahan sosial dan kebudayaan dapat dipisahkan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak mudah untuk menentukan dimana letak garis pemisah antara masyarakat dengan kebudayaan, hal ini dikarenakan tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan tidak ada kebudayaan menjelma diluar atau bukan pada masyarakat.Perubahan sosial yang terjadi dalam era globalisasi berjalan secara wajar dan tidak bisa ditolak (Moore, 1967:2) serta kadang-kadang berjalan cepat dan cenderung bersifat kualitatif (Wilensky dan Lebeaux, 1965:345) pada dasarnya setiap perubahan sosial adalah norma dan berkelanjutan, tetapi menurut arah perubahan yang berbeda diberbagai tingkat kehidupan dengan berbagai tingkat kecepatan (Lauer, 1993:8). Perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tergantung pada masyarakat itu sendiri menentukan arah dan pola kecepatannya. Aspek kehidupan yang berubah dapat mengenai nilai-nilai dan norma-norma sosial, pola perikelakuan, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, kekuasaan, interaksi sosial. Rogert dan Schoemaker (1987:21) membagi perubahan atas dua tingkatan, yaitu tingkat indivudu dan tingkat sistem sosial. Perubahan tingkat individu merupakan perubahan sikap dan perilaku, misalnya seorang petani yang telah mengadopsi teknologi pertanian yang moderen, sedangkan perubahan tingkat sistem sosial merupakan perubahan yang terjadi pada masyarakat, misalnya perubahan norma atau nilai dalam kelompok organisasi. Perubahan masyarakat memiliki tiga tingkat evolusi perkembangan masyarakat, yaitu tingkat berburu, tingkat beternak, dan tingkat pertanian dimana berkembang peradaban (Montesquieu 1689-1755). Perubahan tidak pernah berakhir, seperti proses alamiah lainnya, proses kehidupan manusia merupakan lingkaran yang terus berputar dengan empat jeruji yaitu lahir-berkembang-runtuh dan mati, setiap bentuk yang tercipta selanjutnya akan melalui empat lingkaran itu dan tidak ada yang menahan kekuatan waktu. Hukum perubahan berlaku terhadap segala sesuatu termasuk objek ciptaan manusia, ide-ide dan institusi.Masyarakat tradisonal ditandai oleh fungsi yang dijalankan oleh lembaga secara terpusat, pada masyarakat moderen fungsi dijalankan oleh lembaga secara tersebar, sedangkan pada masyarakat transisi fungsi dijalankan oleh lembaga yang disatu sisi kecenderungan memencar tetapi di sisi lain juga mempertahankan pemusatan.Perubahan yang terjadi pada masyarakat manusia tersebut dapat diartikan sebagai tahap peralihan dari satu bentuk masyarakat ke bentuk masyarakat lainnya. Mengacu pada teori klasik, terjadi perubahan dari gemeinschaft ke gesselschaft , perubahan dari folk society ke urban society, dan dari perubahan solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Mengacu pada teori sosial moderen, perubahan berlangsung dari variable pola lainnya atau tercirikan oleh kecenderungan penyebaran fungsi di satu sisi dan pemusatan fungsi disisi lainnya. Dalam perspektif antropologi sosial konsep struktur sosial sering dipergunakan sebagai sinonim dari organisasi sosial, terutama dipergunakan dalam menganalisa masalah kekerabatan, lembaga politik, dan lembaga hukum dari masyarakat sederhana (Soekanto, 1984:108). Dikalangan para ahli ilmu sosial belum ada kesepakatan dalam merumuskan konsep struktur sosial. Sebagian ahli menyatakan bahwa struktur sosial identik dengan lembaga sosial, dan sebagian lagi mengistilahkan dengan pranata sosial, pembanguan sosial dan lembga kemasyarakatan (Soetomo, 1995:6). Secara singkat, struktur sosial dapat diartikan sebagai tatanan sosial salam kehidupan masyarakat yang didalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial (kelompok sosial, stratifikasi sosial, pola interaksi sosial, peranan sosial) yang menunjuk pada suatu ketentuan perilaku sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat.

BAB IIIMETODE PENELITIAN

Penelitian terhadap Perubahan sosial masyarakat peladang berpindah dilakukan di Desa Pusar Damai. Status desa ini adalah ibukota kecamatan Parindu, yang jaraknya 25 Km dari Kota Sanggau. Desa ini memiliki luas wilayah 30,06 hektar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif analitik dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian deskriptif ini dipandang cocok untuk menggambarkan berbagai perubahan sosial yang terjadi pada kehidupan masyarakat peladang berpindah Dayak Ribun yang berada disekitar proyek PIR-Bun kelapa sawit Kecamatan Parindu Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat. Jenis metode deskriptif yang digunakan adalah studi kasus. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan agar dapat memahami masyarakat peladang berpindah secara personal dan memandang mereka sebagaimana mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya.Penentuan informan dilakukan secara purposive dan snowball sampling yaitu meminta narasumber menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi. Kriteria informan adalah orang yang benar-benar menguasai masalah yang diteliti, memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat Dayak Ribun, sudah menetap minimal 5 tahun. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan dengan observasi partisipasi, wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian adalah analisis kualitatif secara deskriptif. Kegiatan klarifikasi dan kategorisasi data dilakukan sejak berada di lapangan bersamaan dengan proses pengumpulan, kemudian dilanjutkan secara lebih rinci dan sistematik setelah keseluruhan data terkumpul. Kategorisasi data ini membandingkan kehidupan masyarakat peladang Dayak Ribun yang berada di sekitar proyek PIR-Bun baik sebelum maupun sesudah adanya proyek PIR-Bun kelapa sawit di Kecamatan Parindu Kabupaten Sanggau.

BAB IVDESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

Kecamatan Parindu dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Tingkat I Kalimantan Barat (Nomor 21/Pem-1/1962, tanggal 26 oktober 1962). Wilayahnya merupakan pecahan dari wilayah Kecamatan Bonti, Sanggau Kapuas, Tayan Hulu dan Kecamatan Tayan Hilir. Terdiri dari 62 desa yang pada umumnya didominasi orang Dayak dan hanya satu desa yang merupakan perkampungan orang Melayu.Istilah Parindu sebagai nama kecamatan ini, diambil dari suku kata depan atau belakang nama-nama subsuku bangsa Dayak yang mayoritas bermukim di wilayah kecamatan ini, yaitu suku kata Pa berasal dari Pang Kodan, Ri dari Ribun dan Ndu dari kata Pandu (Kecamatan Parindu Dalam Angka, 2002). Dipilihnya nama Parindu di kecamatan ini didasarkan atas kenyataan bahwa pada zaman dahulu anatara suku Dayak Pandu dan Ribun merupakan dua suku yang bermusuhan secara turun temurun, mereka saling berperang dan mengayau (mencari kepala). Saling bermusuhan dan berperang ini mulai berhenti ketika Missi dan Zending sebagai penyebar agama Katolik dan Protestan mulai masuk ke daerah mereka sekitar 1951, mereka menyadari bahwa sifat bermusuhan secara turun temurun itu tidak baik karena bertentangan dengan ajaran agama yang berlandaskan pada Cinta Kasih, sehingga diantara mereka bersepakat untuk mengakhiri sifat permusuhan dengan bermusyawarah. Tempat untuk bermusyawarah tersebut diabadikan dengan nama Pusat Damai yang sekarang menjadi sebuah desa dan sekaligus sebagai ibukota Kecamatan Parindu.Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat dan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sanggau tentang penataan kembali desa-desa di Kalimantan Barat, telah memutuskan Kecamatan Parindu yang semula memiliki 62 desa digabung menjadi 14 desa dengan 43 dusun, yang terdiri dari 39 RW dan 109 RT. Kecamatan Parindu merupakan satu dari 22 Kecamatan dalam Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat. Wilayah seluas 59. 390 hektar ini memiliki 4 desa yang memilki luas wilayah terbesar, yaitu Marita, Hibun, Rahayu dan Maringin Jaya, sedangkan desa yang memiliki wilayah terkecil adalah Desa Suka Mulya yang merupakan desa transmigrasi yang warganya berasal dari Jawa Tengah dan jawa Timur yang sudah menetap dari tahun 1980.Letak kecamatan ini sangat strategis yaitu pada persimpangan jalan raya kearah timur menuju kota Sanggau, kearah barat menuju kota Pontianak dan kearah utara menuju Kecamatan Bonti serta kearah selatan menuju Kecamatan Meliau. Permukaan tanah di daerah ini merupakan dataran dan berbukit, di beberapa tempat tertentu terdapat bukit yang tingginya mencapai 100 meter. Jenis tanahnya sebagian besar termasuk tanah podsolki merah kuning dengan batuan beku sehingga agak liat dan keras. Pada permukaan tanah datar oleh penduduk dimanfaatkan sebagai lahan untuk menanam padi payak, sedangkan tanah yang bergelombang ditanami dengan tanaman padi dengan sistem ladang dan tanaman keras seperti karet, kopi, kapuk, lada dan kakao. Tempat kuburan terletak di luar pemukiman yang jaraknya 2-3 Km dari pemukiman. Pada saat ini, banyak tanah yang dikelola oleh pihak perusahaan swasta maupun negara yang bergerak dalam perkebunan, terutama kelapa sawit.Di daerah ini terdapat berbagai tanaman baik yang sengaja maupun yang tumbuh secara liar. Selain itu, terdapat juga berbagai binatang yang hidup di hutan. Hutan merupakan lumbung lahan makanan bagi masyarakat peladang. Aktivitas mengumpulkan hasil hutan ini sangat penting dikalangan masyarakat Dayak, begitu halnya dengan aktivitas berburu liar di hutan. Kebun buah-buahan yang dahulunya merupakan kampung rumah panjang yang telah ditinggalkan disebut Tembawang yang merupakan milik kolektif dari suatu suku tertentu dan mempunyai hak sama atas semua buah yang ada (selama masih terkait oleh hubungan darah) serta dibagi secara adil. Jika warga lain memetik buah dalam tembawang maka harus seizin orang yang menunggunya dan apabila melanggar akan mendapat sanksi adat, tetapi jika buah tersebut jatuh ke tanah karena sudah matang maka siapapun boleh mengambilnya tanpa sanksi adat apapun.Penduduk desa-desa menggunakan air sungai untuk keperluan mandi, cuci dan minum, tetapi jika musim hujan air sungai tidak digunakan untuk minum karena airnya kotor. Di ibukota kecamatan selain menggunakan air hujan, air sungai dan air sumur galian juga sebagai sumber air. Di sungai, terdapat ikan air tawar seperti keli, patin, siluk. Dahulu sungai-sungai yang ada digunakan sebagai transportasi utama untuk mengangkut hasil tanaman dan hutan, tetapi setelah dibukanya jalan raya yang menghubungkan sebagian besar desa yang ada di kecamatan ini, maka penduduk lebih memilih jalan darat karena lebih cepat dan ekonomis. Jaringan listrik di wilayah ini sudah terpasang dan dialirkan langsung dari PLTD Sanggau. Prasarana jalan berupa jalan negara, provinsi, kabupaten dan jalan desa. Transportasi utama daerah ini adalah transportasi darat yang didukung oleh jalan darat. Sarana informasi dan komunikasi paling umum dimiliki oleh masyarakat adalah radio transistor dan televisi. Siaran televisi Indonesia dapat diterima dengan menggunakan parabola digital. Jasa telekomunikasi berupa telepon dan telepon seluler telah ada di kecamatan ini. Media cetak seperti surat kabar dan majalah sudah banyak beredar di pasar-pasar kecamatan Parindu. Pusat-pusat pasar hanya ada di Pusat Damai dan Dusun Bodok yang berbatasan langsung dan berada dalam satu kawasan Pusat Pemerintahan Kecamatan. Setiap hari keadaan pasar ramai tidak hanya dari penduduk sekitar, tetapi juga dari penduduk Kecamatan Bonti dan Meliau. Pada setiap tanggal 21 kondisi pasar sangat ramai karena pada tanggal 20 para pekerja petani kelapa sawit di kecamatan ini menerima uang gaji atau hasil penjualan kelapa sawit.Jumlah penduduk kecamatan Parindu pada tahun 2002 berjumlah 24.410 orang, terdiri dari 12.288 laki-laki dan 12.122 perempuan, yang terbagi dalam 5.326 KK. 78,23% dari penduduknya merupakan suku bangsa Dayak dan 50% merupakan suku Dayak Ribun. Penyebaran penduduk di daerah ini tidak merata, karena hanya desa-desa tertentu saja yang padat penduduk. Konsentrasi pemukiman peduduk yang padat adalah di wilayah Desa Pusat Damai yang menjadi ibukota kecamatan. Pertambahan penduduk mengalami lonjakan pada tahun 1992 yaitu sekitar 2.500 orang transmigran didatangkan untuk dipekerjakan di proyek PIR-Bun kelapa sawit Parindu.Suku bangsa yang mendiami kecamatan ini tidak hanya orang Dayak, melainkan suku Melayu, Padang, Bali, Jawa, Batak dan Cina. Agama yang paling banyak dianut penduduk Kecamatan Parindu adalah Katolik dan Protestan, sedangkan selebihnya menganut agama Islam, Buddha dan Hindu. Orang Dayak lebih mudah masuk agama Katolik dan Protestan daripada agama Islam karena agama Katolik dan Protestan tidak melarang memakan daging babi dan minum tuak. Bagi orang Dayak daging babi dan tuak mempunyai nilai penting dalam hukum adat dan upacara-upacara adat. Minuman tuak dipandang sebagai minuman persaudaraan. Pada masa lalu kehidupan sosial orang Dayak dipersatukan oleh sebuah bangunan tempat tinggal yang disebut rumah panjang (betang), yakni sebuah rumah berbentuk panjang terdiri dari puluhan bilik yang memiliki multi fungsi yaitu sebagai tempat berlindung, tempat pertahanan dari ancaman musuh, melakukan kegiatan reproduksi, pendidikan anak, sosial ekonomi, bahkan sebagai kekuasaan untuk mengatur tata hidup bermasyarakat. Runtuhnya rumah panjang, menurut Muzammil (2002:62), secara langsung ataupun tidak langsung ikut menggeser rasa kebersamaan, saling percaya dan solidaritas yang sangat kuat dalam komunitas rumah panjang. Widjono (1998:22), melihat komunitas rumah panjang sebagai pusat kebudayaan Dayak, sesungguhnya kini tinggal menjadi kisah legendaris kejayaan masa silam. Sisa-sisa rumah panjang yang telah kehilangan roh dinamika kehidupan masyarakat Dayak. Pada saat sekarang orang Dayak kecamatan ini sudah tidak lagi menempati sebuah rumah panjang, mereka berdiri teratur dan berdekatan di sepanjang kiri kanan jalan desa atau provinsi. Semakin jauh dari jalur jalan pola pemukiman terpencar-pencar dan keadaan ini adalah sejalan dengan latar belakang kehidupan ekonomi yang masih tetap mempertahankan pada sumber praktek ladang berpindah.Walaupun bentuk perumahan masyarakat Dayak saat ini berbentuk perumahan tunggal, namun kebiasaan hidup mengelompok di tiap-tiap kampung masih tetap mewarnai pola perkampungan. Ini disebabkan pada mulanya mereka yang tinggal mengelompok masih merupakan satu kerabat sehingga sampai sekarang ciri perkampungan yang mengelompok tetap mewarnai pola perkampungan mereka. Umumnya perkampungan Dayak ini tidak jauh dari sumber air bersih, karena itu hukum adat melarang untuk membuang air besar dan mandi telanjang di sungai. Jumlah penduduk yang terdapat dalam satu kampung atau desa relatif kecil, rata-rata terdiri 380 KK. Biasanya warga dalam setiap kampung didominasi oleh satu rumpun suku bangsa Dayak tertentu, yang setiap rumpun mempunyai bahasa daerah, kebudayaan dan hukum adat yang berbeda. Kampung-kampung tersebuut tersebut tersebut di pelosok wilayah kecamatan yang jarak antara kampung satu dengan yang lainnya berkisar 3-5 Km bahkan ada yang lebih jauh.

BAB VMASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN DAYAK

Menurut sejarah nenek moyang orang Dayak dahulu kala berasal dari Yunan di Cina Selatan (Coomans, 1987). Dari tempat tersebut kelompok-kelompok kecil mengembara melalui Indo Cina ke jazirah Malaysia, yang menjadi batu loncatan lain, yakni melalui Hainan, Taiwan, dan Filipina kemudian masuk ke Kalimantan. Perpindahan tersebut tidak sulit karena pada zaman es permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil pun mereka dapat menyeberangi perairan yang menyebrangi perairan yang memissahkan pulau-pulau. Perpindahan itu diperkirakan karena penduduk Yunan pada waktu itu mencari tempat yang dianggap paling bisa memberikan peluang dan kebebasan bagi mereka untuk mencari nafkah, khususnya untuk berladang dan berburu serta berpindah bertahap (Akil, 1994:90). Menurut Coomans (1987:3-4) kelompok yang pertama datang ke Kalimantan adalah kelompok Weddid yang disusul oleh kelompok Proto Melayu. 500 tahun SM berlangsung perpindahan besar dari daratan Asia ke Kalimantan dengan memilih waktu dan jalan berbeda. Kelompok ini disebut deutro-melayu. Kemungkinan suku Dayak yang bermukim di Kalimantan Tengah dan Selatan beberapa tahun singgah di Sumatera dan Jawa, sedangkan suku Dayak Kalimantan Barat dan Timur tidak singgah. Suku Murut yang bermukim di bagian utara Kalimantan Timur, mungkin masuk lewat Filipina, setelah tinggal lama disana sebelum masuk Kalimantan. Suku ini menguasai sistem irigasi yang tidak dikuasi oleh suku bangsa lain. Afen (1995:12), menduga imigran dari Yunan mendiami Pulau Kalimantan sudah sejak zaman Megalithikum dan Neolithikum.Suku Dayak di Kalimantan termasuk di Malaysia-Brunei Darussalam tidak diketahui secara pasti jumlahnya, dalam arti kelompok. Situasi geografis dan demografis mengatakan mereka terisolasai dan tercerai berai, walaupun semula mereka hidup satu rumpun, tetapi karena proses kehidupan, mereka seolah-olah tidak memiliki hubungan satu sama lain (Widjono, 1988:23). Itulah sebabnya suku Dayak relatif banyak dan beraneka ragam sehingga sulit untuk melakukan pengelompokan. Riwut (1985) dan F.H. Duman (dalam Lontaan, 1975), membagi suku Dayak yang terdapat di Kalimantan ke dalam 7 rumpun besar atau anak suku (Ngaju, Kelemantan, Iban/Hiban, Murut, Ot Danum, Punan, Apu Kayan), 16 suku kecil atau suku sedatuk (Ngaju, Manyan, Dusun, Lawangan, Klemantan, Ketungau, Murut, Idaab, Tidung, Bukat, Basap, Punan, At, Kenya, Bakau, Kayan) dan 405 suku kecil atau suku sefamili.Sub-sub suku Dayak tersebut relatif banyak dan beragam, tetapi mereka memiliki kesamaan sebagai satu satu suku Dayak, penduduk asli Kalimantan. Sekarang orang Dayak hidup berpencar-pencar di seluruh Kalimantan, terdiri dari komunitas kecil-kecil yang memiliki logat bahasa berbeda dan tradisi adatnya tidak sama persis, memiliki wilayah kesatuan yang dinamai benua (Mudjiyono, 1993:25). Komunitas suku Dayak yang kecil-kecil tersebut, pada umumnya mengidentifikasikan dirinya dengan nama suku atau sub suku, juuga dengan nama sebuah sungai yang mengalir melintasi daerah pemukiman mereka atau dengan nama daerah asal. Ciri-ciri budaya Dayak yang memiliki corak yang sama yakni rumah panjang (betang, lamin, balai, lewu, hante), mata pencaharian hidup yang berdasarkan sistem berpindah, prinsip keturunanyang berdasarkan sistem ambilineal dimana garis keturunan ayah dan ibu dianggap sama, peralatan perang seperti mandau dan sipet, anyaman (terutama rotan) bentuk tikar dan keranjang angkut yang bertali bahu, tembikar, seni tari dilaksanakan dalam konteks ritual dan serimonial, upacara kematian, dan agama asli berdasarkan pemujaan roh leluhur atau kaharingan (Widjono 1998:6-8).Pada awalnya penduduk asli Kalimantan tidak menerima di sebut Dayak, istilah Dayak merupakan penghinaan yang mengandung pengertian mengejek atau merendahkan. Pandangan ini berubah ketika lapisan non-elit dari suku Dayak mengenyam pendidikan tinggi, berpikir kritis, dan memiliki wawasan luas. Terlepas dari semuanya yang jelas istilah Dayak adalah sebuah nama kolektif untuk berbagai penduduk asli di Kalimantan yang dapat dibedakan identitas kebudayaannya. Kata Dayak dipakai untuk menyebut lebih dari 200 suku sakat di pedalaman Kalimantan yang mempunyai kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya. Keberagaman ini mengakibatkan adanya berbagai nama suku Dayak sebagai golongan atau kelompok keturunan. Pada masa lalu menurut Riwut (1958); Ukur (1971); Lontaan (1975), bahwa untuk menyatakan golongan di masyarakat Dayak digunakan istilah utus, jalahan, bumuh, babuan dan ungkup. Berdasarkan golongan tersebut, masyarakat dayak pada umumnya dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu golongan merdeka dan golongan budak.Golongan merdeka terbagi menjadi dua kelompok yaitu Utus Gantong atau Utus Tatau dan Utus Randah Utus atau Pehe Belum. Utus Gantong yaitu golongan masyarakat yang termasuk kelas bangsawa tinggi, golongan manusia kaya dan sempurna. Golongan budak dibagi menjadi dua kelas yaitu Jipen dan Rewar yang bekerja pada majikannya. Jipen merupakan budak yang dikuasai oleh majikan karena si pemilik hutang tidak dapat melunasi utang sampai jatuh tempo yang dijanjikan sedangkan Rewar adalah budak turun temurun menjadi kepunyaan dari si pemilik. Orang Dayak memiliki sikap hidup yang sangat sederhana, monoton, kurang kreatif dan tidak berani mengambi inisiatif (Alif, 1993). Lebih banyak menunggu, pasrah, menerina nasib, banyak mengalah, mengharapkan belas kasihan orang lain, lugu dan polos. Cepat puas, kurang memiliki jiwa tarung atau kompetisi. Melihat sesuatu lurus saja, tanpa memandang liku-likunya. Namun bukan berarti orang Dayak tidak memiliki keberanian melawan pihak lain, orang Dayak akan kecewa, marah, dendam jika berkali-kali dibohongi. Pengaruh budaya Melayu dan Islam terhadap orang Dayak yang masuk Islam besar sekali dalam berbagai hal, seperti berpakaian, makanan, perumahan dan pergaulan sosial. Nama mereka diganti dengan nama Melayu sejak masuk Islam dan pergaulan dengan kerabat asal menjadi putus. Kebiasaan minum arak di kalangan orang Dayak, pada mulanya merupakan kebiasaan laki-laki orang Cina yang melakukan perjalanan laut. Masyarakat Dayak Ribun merupakan salah satu sub-etnik Dayak Klemantan yang mendiami wilayah pedalaman Kabupaten Sanggau. Asal mula kampung Dayak Ribun di daerah Nekan Entikong, tetapi karena kampung mereka selalu diganggu oleh hantu di waktu pagi maupun malam hari sehingga mereka pindah dalam dua rombongan, rombongan pertama menyusuri Sungai Majao dan rombongan kedua menyusuri Sungai Tayan dan masuk ke Sungai Seongoret dan mendirikan perkampungan (Kampung Sengoret), setelah lama tinggal disana, sebagian orang Dayak Ribun pindah ke daerah Kecamatan Tayan Hilir dan Kecamatan Kapuas dan termasuk orang Dayak Ribun Kecamatan Parindu.Masyarakat Dayak Ribun di Kecamatan Parindu sudah moderen. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup masyarakatnya seperti rumah yang sudah dilengkapi dengan listrik, tape televisi, antena parabola, kulkas, mereka juga memiliki kendaraan sepeda motor dan sudah banyak yang pandai menyetir dan menjadi supir bis angkutan umum, demikian juga cara berpakaian muda-mudi, kemudian mereka juga membuka toko.Sistem kekerabatan yang berlaku di masyarakat Dayak Ribun di Parindu bersifat bilateral, yaitu menghitung hubungan kekerabatan melalui dua garis keturunan yaitu keturunan laki-laki atau suami dan keturunan perempuan atau istri. Prinsip bilateral ini membuat tanggung jawab antara istri dan suami sama dalam keluarga baik dalam pendidikan si anak maupun dalam mengendalikan perekonomian keluarga. BAB VIPERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT PELADANG BERPINDAHKehadiran proyek PIR-Bun secara umum menunjukan persepsi positif dari orang Dayak Ribun, walaupun ada diantaranya memiliki persepsi negatif. Adanya persepsi negarif orang Dayak Ribun terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit dipengaruhi oleh kesan dan perhatian mereka terhadap program transmigrasi Pusat Damai (Sukamulya), program ini dianggap kurang berhasil, karena para transmigran ditempatkan di daerah kritis, jauh dari sumber air, dan kondisi rumah jauh dibawah standar bila dibandingkan dengan rumah mereka. Selain itu, para transmigran lokal yang ikut serta dalam program transmigrasi Pusat Damai dinilai kurang mendapat perhatian serta tidak mendapat perlakuan sama seperti transmigran dari luar daerah, sehingga mereka takut di tipu oleh pihak perusahaan. Persepsi lain dari masyarakat terhadap kegiatan proyek PIR-Bun adalah mendapat ganti rugi atas tanah dan tanam tumbuh diatasnya. Tanah bagi masyarakat Dayak Ribun adalah segala-galanya, mereka bersedia melakukan apa saja demi mempertahankan tanahnya. Adanya keterkaitan ini mengakibatkan selalu ada gejolak pada setiap alih fungsi lahan tanah. Masyarakat Dayak Ribun yang berada disekitar proyek PIR-Bun juga berharap dapat diterima sebagai karyawan tetap dengan menerima penghasilan setiap bulannya. Tetapi, pada kenyataannya masyarakat sekitar proyek PIR-Bun hanya menjadi buruh perkebunan, sedangkan 85 % dari jumlah karyawan berasal dari luar Kalimantan Barat mengisi posisis menengah keatas. Desa-desa yang menyerahkan tanahnya dan menjadi petani plasma proyek PIR-Bun kelapa sawit memiliki kehidupan sosial ekonomi yang sudah jauh lebih baik. Selain kehidupan sosial ekonomi, sistem sosial budaya masyarakat berubah menjadi sistem yang dramatis kreatif. Tingkat pendapatan warga juga semakin meningkat.Hutan yang paling baik dan disenangi oleh masyarakat dayak Ribun adalah hutan rimba dan dodak, yang menurut mereka jenis tanahnya subur tetapi sulit dicari karena investasi modal datang. Orang Dayak Ribun menentukan lama masa bero bukan menurut waktu saja, tetapi lebih ditentukan oleh ciri-ciri jenis tanah dan jenis tanaman yang tumbuh di lokasi lahan yang akan dibuka untuk perladangan.Sesuai dengan urutan kegiatan pengerjaan ladang (beruma) biasanya dimulai dengan mencari lokasi ladang, menebas (minu), menebang (timuk), membakar (nicol), menanam benih (tumoroh), merumput (nyuboh) dan memperoleh hasil ladang (ngotomp). Berladang dengan teknologi tradisional bukanlah merupakan hal yang ringan untuk itu biasanya dalam pengerjaan ladang, orang Dayak Ribun selain menggunakan tenaga yang berasal dari keluarga, juga biasanya menggunakan tenaga dari tetangga. Sistem kerja seperti itu pada masyarakat Dayak Ribun dikenal dengan istilah pengari. Masyarakat Dayak Ribun hingga saat ini masih melakukan praktek ladang berpindah walaupun sudah menjadi peserta PIR-Bun. Hal ini terjadi karena menurut anggapan mereka membeli beras merupakan perbuatan yang dipandang rendah dan memalukan serta dikatakan orang malas, sehingga mereka mencari beras ke tetangga jika persediaan beras habis. Seiring masuknya proyek PIR-Bun kelapa sawit ditengah-tengah masyarakat Dayak Ribun ini cenderung merubah sistem perladangan berpindah. Perubahan yang paling tampak adalah penurunan luas ladang yang mereka kerjakan.Hadirnya proyek PIR-Bun yang memanfaatkan lahan kebun karet dan bekas ladang berpindah yang dimiliki secara turun temurun mendorong mereka menjadi petani peserta PIR-Bun sebagai petani plasma kelapa sawit. Perubahan lapangan kerja ini membawa kesulitan tersendiri pada petani peladang berpindah karena irama kerjanya berbeda. Lapangan kerja baru bagi warga tidak hanya berasal dari proyek PIR-Bun, tetapi juga dari luar lingkungan proyek yang dibagi menjadi dua jenis yaitu pekerjaan sementara dan tetap. Pekerjaan sementara dapat berupa tukang dan buruh bangunan untuk membangun sarana perumahan di lingkungan proyek PIR-Bun. Jenis pekerjaan yang tetap adalah karyawan pabrik, staf karyawan proyek PIR-Bun, usaha angkutan buah kelapa sawit, angkutan pupuk dan obat hama penyakit tanaman. Proyek PIR-Bun mempercepat perkembangan daerah termasuk kelancaran lalu lintas transportasi darat yang menyebabkan mobilitas orang dan barang tinggi serta bervariasinya jenis pekerjaan. Perubahan ini bukan saja berimplikasi dari pusat kekuatan sektor pertanian tradisional ke tanaman kelapa sawit, tetapi berhubungan juga dengan struktur ekonomi yang memberi perluasan di semua sektor yang ditujukan untuk menambah kesempatan kerja dan membantu memperkecil jumlah pengangguran dan peningkatan hasil masyarakat. Perubahan sistem hubungan kerja Dayak Ribun adalah sejalan dengan semakin intensifnya peredaran uang di lingkungan mereka, karena proyek perkebunan menganut manajemen moderen yang dalam imbalan tenaga dibayar secara uang kontan. Sistem upah moderen yang mempengaruhi sistem upah tradisional, pada umumnya berorientasi pada keuntungan yang sebesar-besarnya, karena itu dasar kerja yang digunakan adalah pembagian kerja yang jelas dan menuntut dilakukan secara profesionalisme. Peralihan dari sitem upah tradisional ke arah sistem upah moderen telah memunculkan stuktur sosial baru di dalam masyarakat peladang yakni adanya golongan pencari upah atau pekerja perkebunan yang hidup berdampingan dengan para pendatang. Menerima upah bagi orang Dayak Ribun merupakan pola kehidupan yang baru. Orang Dayak Ribun yang bekerja di perkebunan kelapa sawit pada umumnya laki-laki dewasa. Dalam memelihara kebun kelapa sawit yang dikerjakan bersama-sama kolektif dengan cara giliran dan diatur oleh ketua kelompok tani. Kegiatan kerja sama kelompok tani yaitu menyiangi rumput yang ada disekitar batang pohon kelapa, memperbaiki jalan di sekitar kapling kebun, memetik buah sawit dan mengumpulkan TBS di tepi jalan. Dalam setiap pemeliharaan dan perawatan terhadap perkebunan kelapa sawit, setiap pemilik kapling harus hadir semua. Jika salah satu tidak anggota kelompok tani tidak hadir maka harus mengupah buruh tani penggati yang sebagian besar merupakan transmigran yang kurang berhasil.Orang Dayak Ribun dalam meningkatkan status sosialnya dengan cara memperluas penguasaan tanah dalam bentuk ladang yang kemudian mereka tanam dengan tanaman karet rakyat. Penanaman tanaman karet pada bekas ladang merupakan upaya pembuktian untuk diakui hak nya atas tanah. Setiap keluarga Dayak Ribun memiliki kebun karet yang tidak dipelihara sehingga memberikan kesan pemandangan yang sulit dibedakan dengan hutan sekunder. Pemanfaatan pendapatan orang Dayak Ribun sebelum ada proyek PIR-Bun kelapa sawit pendapatan yang diperoleh hanya untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan hidup sehari-hari anggota keluarga. Seiring dengan kehadiran proyek PIR-Bun perilaku pemanfaatan pendapatan mereka sudah mengalami perkembangan pada alat-alat lain, seperti peralatan perabot rumah tangga, kendaraan dan berusaha untuk melanjutkan sekolah ke tingkat lebih tinggi. Pada umumnya, di Parindu orang tua memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk melanjutkan sekolah. Tingginya perhatian orang tua terhadap pendidikan anggota keluarga adalah karena anggapan bahwa untuk menduduki tempat terpandang di masyarakat harus di tempuh melalui pendidikan. Kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Ribun setelah hadirnya proyek PIR-Bun kelapa sawit tidak hanya berbatas dalam lingkungan komunitas mereka sendiri, tetapi sudah melibatkan orang luar terutama pihak perkebunan. Proses penerimaan karyawan proyek pembangunan ekonomi dari luar termasuk proyek perkebunan tidak menggembirakan penduduk pedalaman Dayak. Hal ini terjadi bukan hanya persoalan pendidikan dan keahlian yang rendah, tetapi kurangnya proses alih keahlian, keterampilan dan tanggung jawab yang diserahkan kepada penduduk belum lancar. Masyarakat Dayak Ribun mulai berlomba-lomba untuk memugar dan memperbaiki serta mengisi perabotan rumah. Masyarakat juga mulai berpolitik, yaitu dengan berlomba untuk menduduki posisi penting di pemerintahan desa. Perselisihan sering terjadi antara pemuda Dayak Ribun dengan pemuda pendatang, seperti contoh pemuda Dayak Ribun memandang jika sepasang muda mudi jalan berdua, bergandengan tangan dan berpelukan di jalan merupakan hal yang melanggar norma tetapi bagi pemuda pendatang, pada zaman sekarang, hal ini merupakan sesuatu yang biasa saja.Perubahan pola konsumsi masyarakat Dayak yang dulunya menyuguhkan tamu dengan minuman tuak sudah diganti dengan teh atau kopi, demikian juga dengan rokok yang terbuat dari daun nipah yang diisi dengan tembakau diubah menjadi rokok pabrik. Pakaian orang Dayak Ribun juga telah moderen, hal ini terbukti dengan tidak ditemukannya lagi seorang laki-laki yang tidak berbaju dan bercelana pendek dan perempuan yang berkemban dengan telanjang dada. Seni tradisonal di daerah ini merupakan unsur budaya inmaterial ada yang sudah mengalami perubahan seperti tari pergaulan (jonggan) dan nyanyian-nyanyian tidak pernah dipagelarkan, karena mereka lebih menyukai musik dangdut dan pop. Bahasa di Kecamatan Parindu ini bervariasi karena terdiri dari beragam jenis suku. Anak-anak muda Dayak Ribun sudah tidak mengenal lagi adat istiadat leluhur karena kontak mereka dengan orang luar semakin terbuka. Hubungan sosial dengan sesama orang Dayak Ribun sekarang telah dimasuki oleh sikap individualisme yang dibawa oleh pihak perkebunan. Perubahan nilai sosial budaya yang sulit dikendalikan adalah adanya aktivitas pelacuran yang diikuti aktivitas perjudian. Kehadiran dua aktivitas ini, membawa culture shock bagi masyarakat setempat karena akan mengancam kelestarian nilai-nilai religious dan budaya maupun ketentraman masyarakat. Strategi peladang berpindah dalam merespon perubahan adalah dengan melakukan pekerjaan ganda, melakukan diversifikasi tanaman, dan mempertahankan adat dan tradisi.

BAB VIIPENUTUP

Kehadiran proyek PIR-Bun telah memberikan kontribusi yang positif terhadap peningkatan sosial ekonomi masyarakat sekitar, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup yang diperlukan, mendorong perubahan sosial dalam aspek status sosial, hubungan sosial dan pola hidup masyarakat. Perubahan sosial dalam aspek status sosial ditandai dengan pergeseran pekerjaan, hal ini karena variasinya jenis dan peluang pekerjaan yang tersedia. Perubahan sosial dalam aspek hubungan sosial ditandai dengan perubahan pola hubungan yang sederhana serta corak lokal berubah kepada pola hubungan yang kompleks dan lebih luas dari batas desa. Pergeseran makna kegiatan tolong menolong dan pertukaran sosial pun telah terjadi, hal ini tampak dari pola hubungan yang bersifat kontraktual dan rasional telah mereduksi yang sifatnya pribadi. Perubahan sosial dalam aspek pola hidup juga mengalami perubahan yang ditandai dengan pergeseran orientasi kepemilikan harta untuk memperoleh pengharggaan dan pengakuan masyarakat yang berkenaan dengan status sosial.

BAGIAN KEDUASISTEM PERLADANGAN DAN KEARIFAN TRADISONAL ORANG DAYAK DALAM MENGELOLA SUMBER DAYA HUTAN

Masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan, pada hakikatnya memiliki persepsi holistik terhadap hutan. Bagi mereka hutan tidak hanya semata-mata bermakna ekonomis, melainkan menjadi sosio budaya-religius. Dalam melangsukan kehidupannya, orang Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan. Hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Menurut Arman (1994), orang Dayak kalau berladang pergi ke hutan, kalau mereka pergi berladang mereka terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang menyerupai hutan, seperti karet, rotan, tengkawang.Dayak Ribun Sanggau membagi hutan menjadi tiga jenis yaitu hutan rimba sebagai hutan yang memiliki pohon-pohon tinggi dan besar dengan semak belukar tipis dibawahnya, hutan bawas merupakan hutan bekas ladang yang tumbuh atau ditanami kelapa, durian, tengkawang dan karet, dan hutan lalang yaitu bekas ladang yang ditumbuhi alang-alang. Hutan yang paling baik dan disukai masyarakat untuk berladang adalah hutan rimba, tetapi tidak boleh dijadikan sebagai ladang dan jika ingin mengambilnya harus izin dengan ketua adat.Dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan berwawasan kearifan tradisional, pada dasarnya dikalangan orang Dayak memiliki cara-cara tertentu dalam memperlakukan hutan. Menurut Bamba (1994), orang Dayak memandang alam bukan sebagai aset atau kekayaan melainkan rumah bersama. Konsep rumah bersama ini terlihat dalam setiap upacara yang mendahului kegiatan tertentu yang akan digarap. Suara burung atau binatang lain menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan penghuni alam.Menurut orang Dayak alam semesta ini memiliki tata tertib, demikian juga hubungan manusia dengan penghuni di negeri lain juga memiliki aturan untuk menjaga keberlangsungan antara negeri-negeri tersebut. Kearifan tradisonal orang Dayak dalam mengelola sumber daya hutan secara hakiki pada dasarnya berpangkal dari sistem religi yang menuntun dan meneladani masyarakat Dayak untuk senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta.PERTUMBUHAN PENDUDUK DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN ANTARA BAD GOVERNANCE DAN GOOD GOVERNANCE

Masalah kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup merupakan dua permasalahan yang kini sedang dihadapi bangsa Indonesia, khususnya maupun negara-negara di dunia umumnya. Keprihatinan ini tidak saja memberikan agenda penanganan masalah lingkungan yang bijak, namun merupakan warning bagi kehidupan. Kerusakan lingkungan dari aspek pertanian dan kehutanan merupakan dua sektor yang menonjol. Pertambahan penduduk, penggunaan teknologi moderen dan tidak adanya kesadaran terhadap lingkungan menjadi faktor penyebab kerusakan lingkungan. Di bidang pertanian dengan semakin besar jumlah penduduk maka kebutuhan akan bahan makanan semakin meningkat. Pertumbuhan penduduk yang cepat juga memberikan andil besar dalam kerusakan hutan.Pemerintah seharusnya benar-benar serius dalam memberi perhatian terhadap kelestarian lingkungan. Pemerintah harus mem-back up para pungusaha dengan kategori jelek dalam penanganan limbah industrinya dari praktek bad governance. Praktek bad governance seyogyanya tidak harus terjadi, hal ini mengingat bagaimanapun juga lingkungan adalah segala-galanya, tanpa dukungan dari lingkungan yang cukup, maka jangan berharap ada kehidupan di bumi ini. Upaya meminimalkan munculnya ketidakseimbangan daya dukung lingkungan bukan sepenuhnya di tangan pemerintah, masyarakat luas umumnya dan para pengusaha bersinggungan dengan lingkungan khususnya harus ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.Persoalan kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup adalah dua hal yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Terjadinya kerusakan lingkungan dapat mengakibatkan ketidakseimbangan sumber daya alam yang kemudian dapat berdampak kepada kehidupan manusia secara makro sehingga dapat menyebabkan kehancuran seluruh manusia. Konsep good goverance adalah alternatif yang tepat karena dilakukan penyeimbangan kuantitas pertumbuhan penduduk dengan segala kebutuhannya, dengan tetap mempertahankan kualitas lingkungan, sehingga akhirnya diperoleh suatu keseimbangan yang ideal antara laju pertumbuhan penduduk dengan kelestarian lingkungan.5