tugas suprapto
TRANSCRIPT
Nama : Suprapto
Npm : 29141147
Semester : 8 ( delapan )
Fakultas / Prodi : FISIP / Ilmu Administrasi Negara
Mata Kuliah : Manajemen Pelayanan Publik (semester 6)
1. Metode Memangkas Birokrasi karangan David Osborne dan Peter Plastrik
Sebelum memulai membedah konsep buku tentang birokrasi yang cukup spkektakuler
ini,kiranya kita perlu mencoba mereview kembali bagaimana perjalanan reformasi yag
menghasilkan sebuah hadiah politik dari pemerinah pusat yang dinamakan otonomi daerah.Kata
kunci otonomi daerah itu sebetulnya adalah berupa kewenangan yang banyak (sekarang semakin
lebih banyak porsinya),kepada daerah untuk mengeloloa daeranya,bahkan kewenangan membuat
sebuah keputusan keputusan politis yang cukup berani.
Suatu contoh tentang peraturan peraturan daerah yang kendati kadang justru tidak efektif dan
banyak ditolak oleh pemerintah pusat.Otonomi daerah ini seakan telah memunculkan raja raja
kecil di daerah.Tetapi ini adalah dari sisi negatifnya,karena banyak setelah digulirkannya
otonomi darah yang lebih luas ,banyak daerah yang justru kreatif untuk memajukan
daerahnya.Suatu contoh di kota Solo yan akhirnya dapat menjadi lebih maju kendati
proporsional pendapatan masih banyak ditopang oleh dana dari pusat(realitanya proporsi APBD
dari PAD belum cukup mendanai kegiatan pembangunannya,paling PAD baru dapat
memberikan kontribusi 30persen,itupun sudah bagus dibanding daerah lain).Okelah saya kira itu
masih dapat dimaklumi,tetapi dengan hasrat dan kerajinan untuk melakukan neo dengan
pusat,kota Solo berhasil menggaet banyak dan ,dan sudah nampak hasilnya berupa pembanuna
infrastrutur kota.Meski begitu implikasi pemberian kewenangan ini terkadang tidak terkontrol
oleh nafsu untuk memicu pendapatan daerah sesuai kewenangannya misalnya kenaikan pajak
daerah,retribusi dsb.Ini selalu membawa mplikasi kepada pemberatan masyarakat khususnya
sektor informal,bahkan ironisnya dalam sidang sidang komisi di dewan lokal,nafsu untuk
menggenjot target PAD ini menjadi agenda dalam setiap sidang.
Pajak daerah dan retribusiini kalau dikelola dengan baik sebetulnya masih optimal,hanya banyak
kebocoran kebocoran baik langsung maupun tidaklangsung.Pemerintah daerah mestinya dalam
upaya meningkatkan pendapatannya masih banyak cara yang cerdas tanpa harus mencekik
masyarakat dengan segala tetek bengek pungutan.Ini harus dilandasi dengan konsep dan
komitmen dari birokratnya.
Sebuah konsep tentang efisiaensi birokrasi,yaitu memangkas birokrasi,tentu saja bukan terus
berarti meniadakan atau menguruskannya semata,tetapi bagaimana birokrasi mulai bisa berubah
menghadapi paradigma yang terus berubah juga>pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana
kesiapan birokrasi melalui instrumen,cultur atau budaya,dan strukturalnya,maka saya kira
perubahan harus dimulai dari sana yaitu bagaimana birokrasi bisa berujud lebih
akuntabel,enterpreunuer dan siap menghadapi tantangan baik internal maupun eksternal.
Untuk itu berangkat dari permasalahan diatas ,saya kira kita tidak ada salahnya meninjau atau
mengintip sistem yang sudah dilakukan dinegara maju,seperti konsep konsep reinventing
government dan banishing birokrasi.dDalam banishing birokrasi konon mencakup strategi
strategi yang dapat dipakai dasar menuju perubahan organisasi publik yang masih kaku (maaf
sekarang di Pemerintah kota Solo sepertinya sang pejabat birokrasi tertingginya nampaknya
menggunakan teori "X" yaitub menganggap orang itu malas,harus diawasi terus,alhasil sebuah
seremonial yang tidak efisien seperti apel pagi yang berlama lama,ini kan memakan waktu untuk
melayani masyakat).Oke mari kita kembali agak konsern kepada pembedahan konsep
reinventing government.
Apa itu Banishing Bureaucracy ?
Buku ini sebetulnya sudah lama ditrapkan di Amerika,dan hasinya juga cukup bagus,judulnya
memang agak ekstrim yaitu :memangkas birokrasi,disitu ada palin tidak 5(lima) srategi penting
(tetapai oleh penulisnya reivention ini bukan dalam arti membabi buta memangkas semua sistem
yang sudah tertata.
Reinvention ini mengharapkan birokrasi lebih nampak konstan dalam posisi yang lebih
efisien,sehingga ibarat " bukan menyiangi rumput,tetapi bagaimana mengatur bagaimana
tanaman terbebas dari rumpu".Dan lebih pentinglagi :reinventing govrnmement tidak harus
sinonim dengan memperkecil pemerintahan,ini bisa terjadi,mungkin organisasi publik lain bisa
lebih efektif kalau strukturnya lebih kecil,dan sebaliknya.
Maka yang terpenting adalah bagaimaaukuran struktur organisasi publik itu bisa menghasilkan
kinerja yang maksimal,artinya organisasi publik harus mengikuti fungsinya dan
ukuran(struktur)mengikuti strateginya.>Sebagai contoh,jika semua organisasi publik dipotong
strukturnya sdan apalagi anggarannya sampai 30 persen,maka tidakakan ada perubahan disana
dan justru tidak efisien.Ibarat menyingkirkanbutiran padi dari tumpukan pasir,yang ada tetap
tetap tumpukan pasir.Maka itu berarti :downsizing.Tetapi reinventing adalah mencampur
tumpukan pasir dengan karbon atau magnesium dan mengaduknya ,maka yang adalah :silikon"
maka ada perubahan disana.
Reinvention bukan pula berarti privatisasi dengan menjual aset,kontrak atau sejenisnya.Tetapi
sebagaimana dianjurkan reinventing government,reinvention adalah output organisasi publik
dapat lebih kompetitif dan mendorong output dapat lebih berkembang>privatisasi sama halnya
memindahkan monopoli dan sama konyolnya.Perlu dipahamai oleh kita bahawa yag dikehendaki
masyarakat adalah bukan organisasi publik yang kumuh,murah,tetapi bagaimana kinerjanya baik
dan cepat,mampu bekerja baik.Yang dituntut masyarakat adalah bukan pegawai yang digaji
murah,tetapi pelayanan yang baik dan pemerintahan birokrasi yang enterprenur.
Lebih dari itu reinvention jauh dari pengertian Total Quality Management,ia lebih dari itu,dan
organisasi publik lebih komleks karena cakupan lebih luas dan sangat bersinggungan denganhal
hal yang bersifat politis.Jadi dengan demikian "reinvention" adalah tidak lebih harus mampu
mengganti sitem birokrasi yang inovativ,kreatif dan yangbllebih penting bisa membuat birokrasi
yang :"self renewing system"Dalam arti kata siap menghadapi setiap perubahan dan tantangan.
Dari penjelasan diatas,pengarang buku ini menyimpulkan bahwa oraganisasi publik ibarat
organisme (dia menidentikkan reinvention sebagai organisme tanaman,bahkan dia memberi
makna sama anatara inventors dengan farmer)yang dibentuk dan ditentukan perilakunya oleh
DNA (Deoxribonulceic Acid)DNA ini merupakan sel inti yang menentukan watak dan karakter
mahkluk hidup.Merubah organisme berarti mengubah DNAnya,format ulang Osborne memberi
istilah "rewriting the genetic code)terhadap DNA menjadi penting manakala kita hendak
meningkatkan kinerja birokrasi. DNA ini terdiri dri pelbagai unsur mencakup :kesatu:tujuan
insentif,kedua: akuntabilitas,ketiga:struktur,kekuasaan,kempat:kultur.Kelima unsur ini saling
mengkait.
Osborne akhirnya menawarkan cara terbaik mengubah DNA tersebut,ia memberi istilah tersebut
sebagai strategi :
Pertama,core strategyyaitu yang srategi ni menurutnya yang paling kritis dan merupakan intinya
(core).Sebab jika tidak tahu arah mana yang akan dituju,tidak mengandung arti ganda (bersyap)
dan saling bertentangan.Tujuan ini menjadi intinya karena tujuan akan berimplikasi dengan
fungsi funsi organisasi.
Kedua, strategi :Consecuences.Strategi kedua ini mementukan sistem insentif yang
tepat.Osborne menganjurkan bahwa setiap organisasi oublik dapat diukur outputnya,maka
menciptakan sisitem insentif seperti yang dikenbangkan organisasi privat yang berladaskan pasar
adalah merupakan keharusan.
Ketiga, strategi "customer".Strategi ini dijalakan dengan memfocuskan pada pertanggung
jawaban kegiatan kegiatan pada pengguna jasa/nasyarakat.Customer diberikan pilihan akan
pilihan yang seharusnya ia terima.Strategi ini mengarahkan pada maslah akuntabilitas.
Keempat,strategi :control" lebih memfocuskan pada penentuan pada level mana kekuasaan untuk
membuat keputusan seharusnya diketakan pada level bawah.ini tujuannnya adaah masalah
responsifitas
Kelima, strategi "culture" yaitu meletakan nilai,norma, sikap dan harapan stakeholders yang
sesuai degan tujuan organisasi,sistem insentifnya,sistem akuntabilitasnya dan sistem struktur
kekuasaan.
Dengan menerapkan kelima strategi tersebut,diharapkan kinerja birokrasi menjadi lebih
baik.Namum perlu diwaspadai buku ini ditulis dan diterapkan di negara yang berbeda budaya
dan sistem politiknya. Dan lagi negara negara maju sudah bisa membedakan dan mengenal
dengan baik antara konsep organisasi publik dan privat.sehingga perlu waktu untk
penyesuaiannya.
2. Analisa Good Governance dan Sound Governance ( Paradigma baru arah
pembangunan di era globalisasi )
“ Good Governance tidak lebih sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good Governance
hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin
membesar”, pernyataan Presiden Tanzania Julius K. Nyerere di depan Konferensi PBB di Afrika
tahun 1998.
1. Pendahuluan
Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, tapi gugatannya tersebut merupakan bentuk
pernyataan yang mengarah pada pengaruh struktur global terhadap reformasi pemerintahan.
Good Governance (GG) sendiri dalam kemunculannya ditangkap oleh dunia internasional
sebagai ramuan mujarab pembangunan internasional dan telah dipercaya lembaga-lembaga
donor sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir. Konsep ini telah menjadi kata ajaib (buzzword)
yang bisa melewati batas-batas perbicangan dimensional dan sektoral. Batas dimensional adalah
ketika kita berhadapan dengan perbicangan ekonomi, politik, sosial, bahkan lingkungan hidup.
Sedangkan batas sektoral adalah mencakup berbagai sektor seperti pertanian, kemiskinan,
transportasi, bisnis perusahaan, kelautan, maupun pengendalian polusi. Good Governance telah
menjelma seperti hantu yang bisa merasuki setiap pojok ruang-ruang diskusi.
Dalam kajian administrasi publik good governance sedikit banyak juga telah melakukan revisi
total atas term Administrasi Publik yang selama ini telah terlanjur institusionalistik. Governance
sudah bukan lagi secara eksklusif menu yang disuguhkan pada negara dan sub-sub organisasinya
(public sectors). Governance adalah sebuah proses berinteraksinya berbagai elemen (dipersempit
dalam tiga aktor kunci, yaitu negara, masyarakat dan bisnis) utamanya dalam mengelola sektor-
sektor yang menjadi hak publik atau public patrimony. Produk yang paling fenomenal dari good
governance adalah ketika dirinya berhasil menemukan missing link antara kerja refomasi
pemerintahan dengan penanggulangan kemiskinan. Argumentasinya adalah dengan Good
Governance maka distribusi anggaran pemerintah dan kalangan bisnis kepada masyarakat miskin
makin terbuka lebar (Renzio, 1997).
Namun, seiring berjalannya waktu, tersebar kabar juga, bahwa agenda good governance telah
gagal berbuat sesuai dengan tujuan yang dinyatakan. Sebagian karena karakteristknya sulit
didefinisikan dan dilaksanakan. Kejadian krisis pangan di sebagian belahan dunia salah satunya
kawasan Afrika, kenaikan harga pangan berkisar dua kali lipat di Afrika (Times/04/08). Serta
fenomena yang terjadi di Chile, sebagai negara barometer ekonomi Amerika Latin mengalami
penurunan daya beli rata-rata 20% hingga akhir tahun lalu (Economist/10/2007). Bahkan di
Indonesia, kita telah sama mearasakan kenaikan harga sejak awal tahun ini. Peristiwa-peristiwa
ini merupakan bukti tentang rapuhnya (fragile) dunia kita. Peristiwa-peristiwa dunia inilah
kemudian menjadi momen yang tepat untuk mengevaluasi kerja lembaga donor internasional
selama ini. Berbagai spekulasi mengaitkan peristiwa ini merupakan bagian kegagalan Good
Governance yang memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya Pertanyaannya
kemudian apakah rapuhnya fundamen ekonomi dunia ini merupakan bukti kegagalan proyek
milyaran dollar yang disebut Good Governance? Dan apakah ini kemudian menunjukkan
pertanda harus diakhirinya wacana Good Governance sebagai arah dari pembangunan?
2. Pembahasan
Transformasi Government menjadi Good Governance
Pokok bahasan ini akan menjawab pertanyaan pertama dari lontaran pen ulis yang akan di ulas
dalam paper ini. Kenapa penulis mengambil judul pokok bahasan tersebut-bukan sejarah good
governance- karena penulis berpandangan dalam konteks teoritis pembicaraan tentang good
governance tidak bisa lepas dari proses transformasi government, karena dulu istilah
pemerintahan lebih populer sebagai government, bukan governance. Pandangan ini di dasarkan
ulasan Sutoro Eko dalam makalahnya “Mengkaji Ulang Good Governance” yang akan banyak
mewarnai pandangan penulis dalam paper ini .
Transformasi government sendiri sepanjang abad ke-20 secara kronologis berlangsung melalui
beberapa tahap. Tahap I adalah era abad ke-20 yang ditandai dengan konsolidasi pemerintahan
demokratis (democratic government) di dunia Barat. Tahap II berlangsung pada pasca Perang
Dunia I, yang ditandai dengan semakin menguatnya peran pemerintah. Pemerintah mulai tampil
dominan, yang melancarkan regulasi politik, redistribusi ekonomi dan kontrol yang kuat
terhadap ruang-ruang politik dalam masyarakat. Tahap II ini adalah era dimana peran negara
dominan untuk membawa perubahan sosial dan pembangunan ekonomi.
Tahap III, era tahun 1960-an sampai 1970-an, yang menggeser perhatian ke pemerintah di
negara-negara Dunia Ketiga. Era itu adalah perluasan proyek developmentalisme (modernisasi)
yang dilakukan oleh dunia Barat di Dunia Ketiga, yang mulai melancarkan pendalaman
kapitalisme. Pada saat yang sama pendalaman kapitalisme itu diikuti oleh kuatnya negara dan
hadirnya rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika. Perspektif barat
mengasumsikan bahwa modernisasi akan mendorong pembangunan ekonomi dan birokrasi yang
semakin rasional, partisipasi politik semakin meningkat, serta demokrasi semakin tumbuh
berkembang. Perspektif ini kemudian gugur, karena pembangunan ekonomi di kawasan Asia dan
Amerika Latin malah diikuti oleh meluasnya rezim otoritarian yang umumnya ditopang oleh
aliansi antara militer, birokrasi sipil dan masyarakat bisnis internasional.
Tahap IV, memasuki dekade 1980-an, yang ditandai dengan krisis ekonomi dan finansial negara
yang melanda dunia. Di Amerika ketika Reagan naik menjadi presiden maupun di Inggris ketika
diperintah Margaret Tatcher, menghadapi problem serius tersebut. Di Indonesia juga menghadapi
krisis ekonomi yang dimulai dengan anjloknya harga minyak. Krisis ekonomi pada dekade 1980-
an mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai bukan
sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar masalah krisis. [5]
Karena itu pada masa ini berkembang pesat “penyesuaian struktural”, yang lahir dalam bentuk
deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar. Berkembangnya isu-
isu baru ini menandai kemenangan pandangan neoliberal yang sejak lama menghendaki peran
negara secara minimal, dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta.
Tahap V, adalah era 1990-an, dimana proyek demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-
an) berkembang luas seantero jagad. Pada era ini muncul cara pandang baru terhadap
pemerintahan, yang ditandai munculnya governance dan good governance. Perspektif yang
berpusat pada government bergeser ke perspektif governance. Sejumlah lembaga donor seperti
IMF dan World Bank dan para praktisi pembangunan internasional yang justru memulai
mengembangkan gagasan governance dan juga good governance.
Kemunculan konsep governance menjadi good governance punya cerita panjang, yang terkait
dengan pengelolaan bantuan oleh World Bank. Setelah kemerdekaan, para pemimpin di kawasan
Asia dan Afrika konon mengundang hadirnya donor dan agen-agen internasional untuk
keperluan asistensi membangun badan-badan pemerintahan dan untuk pelatihan para pejabat
publik. Pada waktu itu, tepatnya tahun 1960-an, bantuan-bantuan internasional tersebut dinamai
pembangunan kelembagaan (institution building) ketimbang governance. Namun memasuki
tahun 1990-an, konsep pembangunan kelembagaan mengalami revitalisasi di bawah kontrol
Bank Dunia, sebagai inisiatif “pembangunan kapasitas kelembagaan” (institutional capacity
building) di bawah rubrik “governance untuk pembangunan”. Bank Dunia sebagai lembaga
yang untuk pertama kalinya telah memperkenalkan konsep ‘public sector management
programs’ (program pengelolaan sektor publik) dalam rangka memperlakukan tata pemerintah
yang lebih baik, khususnya dalam bingkai persyaratan bantuan pembangunan, yang dikenal
dengan Structural Adjustment Program (SAP, atau program penyesuaian struktural) (Dasgupta
1998; World Bank 1983: 46). Good governance dalam konteks tersebut kemudian maknanya
tidak lebih sama dengan a sound of development. Sejak saat itulah awal mula gelombang
penyuntikan dalam upaya memberantas ‘penyakit’ di dunia ketiga dilakukan, dengan cara
mewajibkan sejumlah persyaratan-persyaratan dari Bank Dunia (yang kemudian diikuti oleh
lembaga dan negara donor lainnya). Krisis di Afrika telah membawa pesan yang jelas dalam
memperkenalkan sebuah konsep baru untuk melawan apa yang diidentifikasi Bank Dunia
sebagai sebuah ‘crisis of governance’ atau ‘bad governance’ (World Bank 1992). Tentu, dalam
menyuntikkan ide-ide governance semacam itu, telah diusung pula diskursus sebagai “pemanis”
agar bisa diterima dan terlegitimasi oleh kekuasaan diktatorial yang memang banyak berkuasa
saat itu, termasuk rezim otoritarian militer Soeharto di Indonesia. Good governance dalam
konteks tersebut adalah imposisi politik hukum yang dikendalikan negara-negara industrial dan
agen internasional (lembaga maupun negara donor) dalam membentuk ketatapemerintahan yang
berselerakan pasar (Stokke 1995; Gathii 1998). Inilah good governance yang lahir dari rahim
agenda besar globalisasi.
Konsep, dan Praktek Good Governance
Konsep good governance menjadi sangat populer digunakan oleh badan-badan donor
internasional, yang sekarang diakui sebagai manifesto politik baru. Analisis Bank Dunia
menekankan pentingnya program governance, yang di dalamnya mencakup kebutuhan akan
kepastian hukum, pers yang bebas, penghormatan pada HAM, dan keterlibatan warga negara
dalam organisasi-organisasi sukarela. Menurut Lancester (1990), program governance itu
memusatkan perhatian pada reduksi besaran organisasi birokrasi pemerintah; privatisasi badan-
badan milik negara; dan perbaikan administrasi bantuan keuangan.
Bank Dunia memberi batasan good governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem
peradilan yang dapat diandalkan, serta pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya.
Komunitas Eropa merumuskan good governance sebagai pengelolaan kebijakan sosial ekonomi
yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi pemerintahan dan
pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan lingkungan yang bershabat dengan
pasar bagi pembangunan, langkah-langkah untuk memerangi korupsi, penghargaan terhadap
aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi.
Sedangkan UNDP (1997) memberi pengertian good governance sebagai sebuah konsensus yang
dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan
dalam sebuah negara. Hal ini merupakan sebuah dialog yang melibatkan seluruh partisipan,
sehingga setiap orang merasa terlibat dalam urusan pemerintahan. Secara tegas, United Nations
Development Programme (UNDP) memberi karakteristik good governance antara lain:
participation, rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation, equity,
effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. Menurut mereka pola
kepemerintahan yang baru ini, menuntut keterlibatan seluruh elemen yang ada dalam
masyarakat, dan segera bisa terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah,
yang berarti harus ada desentralisasi dan otonomi daerah.
Dalam praktek penyelenggaraan good governance untuk menciptakan demokrasi dan pembaruan
hukum tidak lepas dari support penuh Bank Dunia. Melalui laporan tahunannya Bank Dunia jelas
sekali proposisinya dalam membangun wacana kebutuhan good governance sebagai prasyarat
liberalisasi pasar. Oleh sebab itu, proyek-proyek good governance Bank Dunia, senantiasa
ditujukan pada pendisiplinan ketatapemerintahan yang berorientasikan pada kesetiaan pada
liberalisasi pasar. Pertanyannya mengapa good governance tiba-tiba muncul, lazim dan bertahan
lama sebagai model ketatapemerintahan di Indonesia yang banyak dituturkan, diikuti dan
diajarkan? Mengapa secara cepat ‘pemerintahan yang baik’ menjadi akrab dengan dunia
birokrasi, dunia usaha, dunia kampus dan pusat-pusat studi (yang juga tumbuh subur bak jamur
di musim hujan), dunia aktivisme organisasi non-pemerintah (utamanya yang bergerak di isu
kebijakan publik dan antikorupsi), dan yang paling aneh tapi nyata, hampir semua lembaga-
lembaga dana internasional dan negara-negara donor serempak menggerojok (baik utang maupun
hibah) milyaran US dollars untuk proyek good governance?.
Pendapat mengatakan bahwa kemunculan proyek-proyek good governance yang cukup sukses
adalah terkait dengan kesuksesan model negara pembangunan (developmental state model)
diantara negara-negara industrialisasi baru di Asia Timur dan Asia Tenggara (Tshuma 1999;
White 1987; Wade 1990). Pendapat lainnya mengatakan bahwa ideologi neo-liberal telah
melesat setelah runtuhnya komunisme dan membangun suatu suasana kondusif bagi kelahiran
governance sebagai sebuah isu pembangunan, dan karena neo-liberalisme sebagai ideologi
dominan mencoba untuk mengkonstruksi ‘politically lock-in neo-liberal reforms’ (Gill,1997).
Kedua pendapat di atas relevan dengan kemunculan good governance di Indonesia, karena selain
kebijakan pemerintah yang berorientasikan pembangunan semasa Orde Baru, dukungan Bank
Dunia dan IMF dalam mengguyurkan utang yang disertai persyaratan-persyaratan khusus
melengkapi posisi Indonesia yang mengarah pada disain liberalisasi pasar.Tetapi bila dilihat
secara lebih dalam, dengan menggunakan analisis hegemoni, nampak bahwa good governance
bekerja dengan menggunakan rasionalitas dan teknologi kekuasaan untuk menghasilkan mesin
yang halus dan efektif bagi upaya liberalisasi pasar.
Bank Dunia sendiri dalam mempromosikan good governance di Indonesia melalui tiga pintu: (i)
CGI (Consultative Group on Indonesia); (ii) Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
(Partnership for Governance Reform); dan (iii) Justice for the Poor. Dalam forum tahunan CGI,
Bank Dunia memimpin dan memiliki kekuasaan untuk mengarahkan (mendikte) kebijakan
ekonomi (termasuk desakan pembentukan peraturan perundang-undangan).Ini bisa terjadi karena
pemerintah masih menerima kucuran utang sehingga prasyarat utang tersebut harus dipenuhi
sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank Dunia pula bekerja secara dekat dengan UNDP dan
ADB sebagai sponsor dana utama untuk Partnership for Governance Reform (World Bank
2003a). Melalui forum kelompok multi-stakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah terlibat
aktif dalam membuat kerangka kerja hukum untuk pembangunan (legal framework for
development), seperti pembaruan peradilan, pembaruan hukum, dan pembentukan lembaga
pemerintahan baru (World Bank 2003b). Pengaruh besar kemitraan ini adalah justru peran
hegemoninya sebagai lembaga dana untuk proyek-proyek governance yang dijalankan oleh tidak
saja lembaga negara, namun juga organisasi non-pemerintah.
Sedangkan Justice for the Poor adalah sebuah institusi yang baru-baru saja dikreasi Bank Dunia
dalam mempromosikan pengurangan kemiskinan di Indonesia, khususnya sebuah strategi
pemberdayaan untuk kaum miskin melalui bantuan hukum. Bagi Bank Dunia, program-program
pemberdayaan hukum dan penyadaran hukum merupakan hal penting dalam mewujudkan kaum
miskin atas akses keadilan. Dalam urusan pemantauan korupsi, Bank Dunia sendiri memilih
menfokuskan lebih banyak pada proyek-proyek yang didanainya sendiri (World Bank 1997a: 29-
34), semacam Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK). Proyek pembaruan ketatapemerintahan
melalui good governance cenderung untuk melayani promosi konsensus pembaruan sosial dan
ekonomi, khususnya dengan mengaplikasikan pemberdayaan teknokratik dan bahasa liberal
partisipasi. Di titik ini, diskursus dan arah kecenderungan hak-hak asasi manusia lebih
menyesuaikan dengan liberalisasi pasar. Inilah yang disebut ‘market friendly human rights
paradigm’ (paradigma hak-hak asasi manusia yang ramah pasar). Muncul dan berperannya
Justice for the Poor di Indonesia adalah tak terpisahkan dengan program global dalam Poverty
Reduction Strategy Papers (PRSPs) yang disponsori Bank Dunia. PRSPs telah mengaplikasikan
proyek dan mekanisme seragam untuk berbagai persoalan kemiskinan di negara ketiga. PRSPs
yang demikian harus diimplementasikan sebagai kondisi untuk menerima pinjaman. Berdasarkan
laporan Focus on Global South yang bermarkas di Bangkok, PRSPs telah mempromosikan
kebijakan-kebijakan berorientasikan pasar, perdagangan terbuka, investasi, rezim finansial, dan
mendesakkan peran negara agar menghapus perusahaan-perusahaan milik negara.(Wiratraman
2006: 67).
Kritik Good Governance
Berdasarkan uraian diatas dalam perjalanan penerapan good governance hampir banyak negara
mengasumsikannya sebagai sebuah ideal type of governance, padahal konsep itu sendiri
sebenarnya dirumuskan oleh banyak praktisi untuk kepentingan praktis-strategis dalam rangka
membangun relasi negara-masyarakat-pasar yang baik dan sejajar.
Beberapa ahli malah tidak setuju dengan konsep good governance, karena dinilai terlalu
bermuatan nilai-nilai ideologis. Alternatif lainnya, menurut Purwo Santoso (2002), adalah
democratic governance, yaitu suatu tata pemerintahan yang berasal dari (partisipasi), yang
dikelola oleh rakyat (institusi demokrasi yang legitimate, akuntabel dan transparan), serta
dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan masyarakat.[ Konseptualisasi ini secara substantif
tidak berbeda jauh dengan konseptualisasi good governance, hanya saja ia tidak memasukkan
dimensi pasar dalam governance.
Selain itu juga ada beberapa hal yang dilupakan oleh kaum intelektual yang terobsesi dengan
konsep good governance seakan-akan menjadikannya suatu konsep linguistik murni, bukan suatu
konsep filsafat politik murni. Meski terdapat kata “good”, dan juga dipertegas dengan nilai serta
prinsip yang demokratis namun kata good tersebut bukan merupakan kontemplasi dari filosofis
para filosof dunia, sedangkan prinsip-prinsip tersebut juga bukan buah kesepakatan para ahli di
dunia. Tidak ada ruang bagi lokalitas untuk mendefinisikan “good” menurut keyakinan mereka.
Term ‘good’ dalam good governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa
sehingga terkadang mendekati ‘god’.
Kritik berikutnya terhadap good governance adalah kegagalannya dalam memasukkan arus
globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya
berkuatat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu
dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, secara kenyataan bahwa aktor
yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan,
aktor tersebut adalah dunia internasional. Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan
masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah pengingkaran
atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variable, yang sebenarnya
sangat penting, tidak masuk kedalam hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalah kearifan
lokal (akibat hegemoni terma ‘good’ oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif
internasional.
Singkatnya, good governance yang saat ini menjadi platform global tentang ke mana arah
pembangunan dunia harus dicapai. Secara konseptual keberhasilan penerapan good governance
di berbagai dunia akan selayaknya juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi
rakyat. Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidaklah
seindah teori. Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta
merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Pukulan krisis pangan adalah bukti konkrit yang
tidak bisa dipecahkan oleh good governance.
Sound Governance : Paradigma baru pembangunan di era globalisasi
Bila kita memahami kembali kutipan diawal pendahuluan pernyataan Presiden Tanzania Julius
K. Nyerere di depan Konferensi PBB sepuluh tahun lalu, beliau dengan lantang telah mengkritik
habis-habisan good governance yang dikatakannya sebagai konsep imperialis dan kolonialis.
Good governance hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan
bisnis dunia makin membesar. Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, kritik tersebut
mengilhami Ali Farazmand (2004) dalam menggagas konsep Sound Governance (SG) yang
sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah good governance
berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka fase
berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui agenda
Sound Governance. Konsep Sound Governance merupakan konsep baru yang jauh lebih
komprehensif dan reliable dalam menjawab kegagalan epistimologis dan solusi atas arus besar
kesalah kaprahan dari good governance. Terdapat tiga alasan utama yang muncul dari wacana
Sound Governance.
Pertama, dari evaluasi terhadap pelaksanaan good governance bahwa aktor kunci yang berperan
adalah terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan civil society), dan good governance
selama ini lebih merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara
domestik. Sound Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan empat
aktor, yaitu tiga aktor sudah diketahui dalam konsep good governance yaitu inklusifitas relasi
politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor yaitu
kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan
perjanjian internasional. Dalam pandangan Sound Governance penerapan good governance
kehidupannya hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis
di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, sebab
kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak
dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia internasional. Bahkan Ali Farazmand
(2004) secara tegas menyebut good governance sebagai bagian dari praktik penyesuaian
struktural (structural adjustment programs/SAPs), berikut pernyataannya :
The concept of “good governance” as espoused and promoted by the United Nations agencies
such as the WB, IMF, UNDP, and UNDESD as well as by most Western governments and
corporations, became one of the most pressing requirements on third world countries in Asia,
Africa, and Latin/Central America as a condition for international assistance. As part of the
structural adjustment programs (SAPs), the United Nations agencies, under the instructions and
pressures of donor institutions of the North (Western governments and corporations), demanded
that developing countries adopt the notion of “good governance” by implementing a number of
structural and policy reforms in their governments and society as a condition for international
aid. Seminars, workshops, and ferences were held worldwide that stressed the concept and
demanded results for sustainable development (Ali Farazmand , 2004)
Kedua, bermula dari kritik terhadap identitas dari good governance kata “good” menjadi sesuatu
yang hegemonik, seragam dan juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Term ‘good’ dalam
good governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa. Sound Governance
mempunyai pandangan yang berbeda dan justru mengedepankan adanya penghormatan atas
keragaman konsepsi birokrasi dan tatapemerintahan, utamanya nilai dasar budaya pemerintahan
tradisional yang telah terkubur. Ali Farazmand mencontohkan kebesaran kerajaan Persia,
sebelum digulung oleh dominasi budaya barat, memiliki prestasi yang sangat besar dalam
pengelolaan pemerintahan, berikut pernyataannya :
the concept of sound governance has ancient origin in the first worldstate empire of Persia with
a highly efficient and effective administrative system (Cameron, 1968; Cook, 1985; Farazmand,
1998; Frye, 1975; Ghirshman, 1954; Olmstead, 1948). According to Darius the Great, Cyrus the
Great’s successor, “no empire can survive much less prosper without a ‘sound economy and
sound governing and administrative system’,” and the Persian Empire needed to rebuild its
governing and administrative system with a sound economic, managerial, and organizational
policy that not only was efficient in its discharge of the empire’s current affairs with-far flung
territories, but also effective in its political control and anticipatory responses to unexpected
crises and emergencies (Ali Farazmand , 2004)
Berdasarkan apa yang disampaikan Ali Farazmand bahwa pentingnya sistem pemerintahan yang
berbasis pada budaya lokal sudah mulai banyak terabaikan dan ini juga terjadi di negara dunia
ketiga termasuk di Indonesia (Andi,2007). Hal ini terjadi karena kontruksi konsep birokrasi
modern Weber yang mewarnai perkembangan ilmu administrasi publik termasuk lahirnya good
governance adalah bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem pemerintahan. Sound
governance muncul untuk memberikan peluang dalam menyelamatkan keragaman kebudayaan
lokal dalam mewarnai konsep tata pemerintahan.
Ketiga, dalam pelaksanaan good governance untuk berjalannya proses tata pemerintahan yang
baik maka ada satu jalan yaitu bagaimana pemerintahan harus menjalankan prinsip-prinsip yang
digariskan dalam good governance yaitu: participation, rule of law, transparancy,
responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability,
strategic vision. Sound Governance mempunyai pandangan berbeda dan lebih melihat pada
proses menuju tercapainya tujuan, dari pada membahas perdebatan soal bagaimana (prinsip-
prinsip) dilakukan untuk mencapai tujuan. Kendati demikian di dalam sound governance masih
menekankan perlunya prasyarat-prasyrat dasar universal terkait demokrasi, transparansi, dan
akuntabilitas. Untuk itu titik tekan dari sound governance adalah fleksibilitas dan ini dibutuhkan
“inovasi” yang kemudian menjadi ruh implementasi sound governance dalam praktek
pemerintahan. Berikut pernyataan Ali Farazmand akan pentingnya inovasi dalam Sound
Governance, “Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and
administration is central to sound governance as well. Without policy and administrative
innovations, governance falls into decay and ineffectiveness, loses capacity to govern, and
becomes a target of criticism and failure” (2004)
Berdasarkan uraian diatas bahwa Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai
kritik good governance, yaitu memberikan makna term “Sound” menggantikan “Good” adalah
dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity). Untuk itu Sound
governance dalam tata pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) membuka
kembali peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat hegemoni terma
‘good’ oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Sound Governance
menyadarkan kembali bahwa konsep-konsep non-barat sebenarnya banyak yang applicable,
khususnya di bidang pemerintahan. Selain itu Sound governance pada prinsipnya juga
memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan
harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang
kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan.
Sound governance lebih luas daripada konsep lain dewasa ini, dengan memasukan global
dan internasional dalam tubuh pemerintahan. Menurut kaidahnya , sebaik apapaun teknis dan
pandangan good governance harus dapat diseimbangkan, dengan kata lain pemerintah harus
lebih rational dan masih dalam system nilai untuk menanggulangi konflik dan rintangan asing.
SG juga berdasarkan dengan nilai-nilail konstitusional dan lebih tanggap atau peka terhadap
norma-norma international.
Terdapat beberapa dimensi Sound Governance yang meliputi :
1) Proses
2) Struktur
3) Kesadaran dan nilai
4) Konstitusi
5) Organisasi dan institusi
6) Manajemen dan pelaksanaan
7) Kebijakan
8) Kawasan/bidang
9) Kekuatan global/internasional
10) Etika, akuntabilitas, dan transparansi
Konsep dari Sound Governance berasal dari pemerintahan kerajaan Persia dengan
penerapan efisiensi dan efektivitas yang tinggi pada system administrativenya pada waktu itu.
Berdasarkan darius yang agaung ,dan penggantinya Cyrus yang agung menyatakan bahwa “tidak
ada kerajaan yang dapat bertahan dengan sedikit banyak keberhasilan tanpa kelayakan ekonomi,
system manajemen, dan struktur kebijakan.
Secara garis besar SG yaitu merupakan tata kepemerintahan yang layak, idenya belum bias
dikatakan matang, namun telah menyorot perhatian bahwa kritik tanpa solusi sudah tidak dapat
diberlakukan lagi dalam system pemerintahan, oleh sebab itu ruang kreasi melalui alternative
kebijkana dan solusi manajemen dapat ditawarkan oleh para pemikir-pemikir kritis, khususnya
dikalangan generasi muda mahasiswa.
3. Kesimpulan
Secara konseptual, seharusnya keberhasilan penerapan good governance di berbagai dunia itu
harus juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat. Kenyataannya, relasi
antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidaklah seindah teori. Makin merekatnya
hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta menguatkan fundamental
ekonomi rakyat. Salah satu kegagalan Good governance adalah tidak memasukkan arus
globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya
berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu
dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan bahwa aktor
yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan,
yaitu aktor tersebut adalah dunia internasional.
Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai kritik good governance, Setelah
good governance berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional,
maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin
melalui agenda Sound Governance. Formula dasar Sound Governance empat aktor dalam
tatalaksana pemerintahan , yaitu tiga aktor sudah diketahui dalam konsep good governance yaitu
inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi
aktor yaitu kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global,
organisasi dan perjanjian internasional. Sound Governance menyadarkan kembali bahwa konsep-
konsep non-barat sebenarnya banyak yang applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Selain
itu Sound governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal
dalam tata pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) dengan membuka
kembali peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal bagaimana negara dan
pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran
universal tentang kesejahteraan rakyat dan prasyarat-prasyarat dasar universal lainnya terkait
demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas harus tetap ditegakkan.