tugas world view konsep hidup dalam islam
TRANSCRIPT
KONSEP HIDUP DALAM ISLAM
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Islamic World View
Dosen pengampu : Sarjuni, S. Ag., M. Hum
Disusun oleh :
Mukhlisin : 252110051
JURUSAN ADAB
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak persoalan dan masalah yang harus kita hadapi dalam menjalani
kehidupan di dunia ini. Masalah yang menimpa kita dapat berupa masalah
keluarga, sosial, politik, harta, dan lain sebagainya. Kita tidak dapat
menghindar dari semua persoalan tersebut karena kita telah terlanjur
diciptakan untuk menghadapi hidup ini. Semua persoalan tersebut mungkin
akan membuat kita berfikir apa arti dan tujuan dari hidup ini hingga membuaat
kita harus berhadapan dengan banyak masalah. Orang yang tidak mampu
mengatasinya dan tidak dapat menemukan jawaban dari apa hakikat hidup ini
bisa-bisa menjadi depresi, strees, gila, bahkan kadang nekat mengakhiri
hidupnya sendiri.
Berbagai macam ajaran mengenai hakikat hidup dan tujuannya telah
berkembang. Masing-masing berbeda dalam pengertian dan tujuannya. Di
antaranya adalah orang-orang atheis yang mengatakan bahwa hidup hanyalah
sebagai kelanjutan dari hukum evolusi yang selalu mengalami perubahan
alamiah. Teori evolusi sendiri bermasalah, karena dalam teori tersebut terjadi
banyak benturan (dead lock) dalam analisa dan teorinya. Benturan tersebut
mereka namakan dengan missing link. Mereka berpendapat hidup ini akan
musnah dengan sendirinya sesuai dengan habisnya alat kebutuhan hidup dan
terganggunya stabilitas susunan alam semesta. Mereka berpendapat bahwa
hidup ini bemula dari kekosongan, kemudian terwujud secara alamiah, dan
sedang menuju ke arah kekosongan kembali di mana setiap individu akan
musnah tidak berbekas dan tidak akan bangkit lagi.1 Jika memang seperti itu,
alangkah sia-sia dan tidak bergunanya hidup ini. Karena itu sama saja
mengatakan bahwa hidup ini tanpa tujuan.
1 http://indonesia.faithfreedom.org/forum/pengertian-hidup-menurut-al-qur-an-t10847/,
senin 22 sep 2012 jam 12.50
1
Bagi kaum muslimin, mereka mempercayai bahwa Allah itu ada. Allah
adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada makhluknya. Oleh karena
itu Allah menurunkan agama Islam dan mengutus para utusan untuk
menyampaikannya kepada manusia sehingga mereka tahu apa hakikat dan
tujuan dari hidup ini sebenarnya.
B. Pokok Masalah
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas dapat diambil beberapa
pokok masalah. Adapun masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Apa konsep hidup dalam Islam?
2. Apa makna dari hidup?
3. Apa tujuan hidup?
4. Bagaimana hidup menjadi bermakna?
5. Bagaimana mencapai tujuan hidup?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hidup
Sebelum kita membicarakan apa itu hidup, ada baiknya kita singgung
sedikit mengenai mati dan tak hidup. Kalau suatu hal dikatakan “mati”, maka
hal yang mati itu pernah hidup. Akan tetapi bila sesuatu itu dikatakan “tak
hidup” berarti ia tidak pernah hidup. Lalu apakah hidup itu?
Beberapa sifat dikemukakan orang sebagai ciri khas untuk hal-hal
yang hidup, antara lain : hidup dapat bertindak ke dalam. Maksudnya yang
hidup itu dapat bertindak untuk dirinya sendiri, jadi subjek tindakan dapat
merupakan objek tindakan itu sendiri. Misalnya pohon tumbuh, yang
bertindak adalah pohon itu dan yang menjadi lebih besar adalah pohon itu
juga. Pohon tumbuh mengambil hal-hal yang baik bagi hidup dan membuang
hal yang tidak baik. Ia menyesuaikan diri dengan lingkungan, melindungi diri,
dan berkembang biak. Dengan singkat Herbert Spencer mendefinisikan hidup:
“the continous adjustment of internal to external conditions.”2 Akan tetapi hal
itu tidak menjawab definisi hidup, tapi hanya menggambarkan ciri-ciri
makhluk hidup.
Hamka menjelaskan bahwa mungkin orang memberikan jawaban
dengan mengatakan segala yang hidup itu, baik tumbuh-tumbuhan, binatang,
bahkan manusia adalah susunan sel. Dan setiap sel adalah susunan kimia dari
karbon, hidrogen, dan oksigen, dan nitrogen. Kalau anasir telah tersusun
menurut keadaan tertentu, terciptalah sel. Akan tetapi ketika anasir telah
tersusun menurut ukuran dan kondisi tertentu, dapatkah kita memberinya
hidup?
Sampai sekarang para ahlipun sukar merumuskan apa itu hidup.
Meskipun ada yang mencoba, tetapi banyak yang tidak menyetujuinya.
Kemampuan manusia hanya sampai pada sekitar benda. Antara anasir benda
2 I. R. Poedjawijatna, Manusia Dengan Alamnya (Filsafat Manusia), Bina Aksara,
Jakarta, 1987, hal. 34
3
dan anasir hidup terdapat jurang yang sangat dalam, yang tidak dapat
diseberangi oleh ilmu pengetahuan.3 Allah berfirman dalam surat al-Hajj ayat
73 :
Artinya : “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan Amat lemah (pulalah) yang disembah.”
B. Konsep Hidup Dalam Islam
Pandangan seseorang tentang hidup mencerminkan keyakinannya atas
kehidupan. Orang yang memandang hidup adalah perjuangan akan melihat
hidup adalah perjuangan yang harus diperjuangkan. Maka hidupnya akan
dijalani dengan berjuang. Sedangkan orang yang memandang hidup adalah
tantangan, akan melihat bahwa hidup yang dijalaninya adalah tantangan yang
harus dipecahkan.
Konsep hidup dalam Islam dapat kita cari dalam al-Qur’an. Allah
berfirman dalam surat al-An’am ayat 32:
Artinya: “Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa hidup tidal lain hanyalah permainan
dan sendau gurau belaka. Kata ( لعب) yang biasanya diterjemahkan
permainan digunakan oleh al-Qur’an dalam arti suatu perbuatan yang
dilakukan oleh pelakunya bukan untuk suatu tujuan yang wajar dalam arti
membawa manfa’at atau mencegah mudharat. Sedangkan ( لهو ) adalah suatu
3 Hamka, Filsafat Ketuhanan, C. V. Karunia, Surabaya, 1985, hal. 18
4
perbuatan yang mengakibatkan kelengahan pelakunya dari pekerjaan yang
bermanfaat atau lebih penting dari pada yang dilakukannya itu.4
Kehidupan dunia bukan hanya la’ib dan lahwu saja, dalam surat al-
Hadid ayat 20 Allah berfirman:
Artinya: “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak...”
Jadi yang dinamakan kehidupan dunia adalah permainan, suatu yang
melalaikan, perhiasan, saling membanggakan diri, dan berbangga-bangga
dalam memperbanyak harta dan anak.
Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan bahwa sementara
ulama memahami ayat di atas dalam arti penilaian al-Qur’an tentang aktivitas
kehidupan dunia tanpa melihat apakah ini dalam pandangan orang kafir atau
muslim. Penganut paham ini ada yang mendorong agar kehidupan dunia
ditinggalkan sama sekali, karena hakikatnya tidak lain kecuali permainan dan
kelengahan.
Akan tetapi menurut pemahaman beliau, ayat ini menguraikan makna
kehidupan bagi orang-orang kafir. Mereka meyakini hidup duniawi adalah
hidup satu-satunya, sebagaimana dalam surat al-Jatsiyah ayat 24:
Artinya: “Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa"
Sehingga mereka hidup di dunia tidak lain kecuali permainan dan kesenangan
bagi mereka.
Bagi orang yang percaya adanya hidup sesudah kehidupan dunia ini,
kehidupan dunia adalah perjuangan untuk meraih kesejahteraan lahir dan
4 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jilid
14, Lentera Hati, Jakarta, hal. 40
5
batin, dunia, dan akhirat. Karena apa yang diperoleh di akhirat diukur dengan
apa yang ada di dunia ini, maka kehidupan dunia sangat berharga. Allah
berfirman dalam surat al-Qashash ayat 77:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Karena itu ayat dalam surat al-An’am dan al-Hadid di atas bukannya berbicara
tentang kehidupan dunia bagi semua manusia, tetapi menggambarkan
bagaimana kehidupan dunia dalam pandangan, sikap dan perilaku orang-orang
kafir.
Ayat 32 surat al-An’am di atas menggunakan redaksi tidak lain yang
mengandung makna pembatasan, sehingga bila merujuk ke redaksi ayat, maka
selain yang disebut oleh redaksinya, bukan merupakan bagian dari kehidupan
dunia. Menyadari bahwa banyak hal dalam kehidupan dunia ini selain kedua
hal yang disebut di atas, seperti penyakit, makan dan minum, maka tentu saja
kata tidak lain dimaksudkan untuk penekanan bahwa hal-hal itulah yang
terpenting dalam pandangan orang-orang kafir. 5
Yusuf Qardhawi memberikan penjelasan bahwa dalam Islam ada
konsep istikhlaf, yaitu apa yang dimiliki manusia hanyalah titipan Allah.
Dasarnya ada pada surat an-Najm ayat 31:6
Artinya: “Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”
5Shihab, Ibid., Jilid 4, hal. 68-706 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1997,
hal. 41
6
Semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, termasuk tubuh dan hidup
kita. Hidup ini adalah titipan dan amanah. Sehingga kita nanti akan
mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah. Karena hanya kepada-
Nyalah kita nanti akan dikembalikan.
Hidup di dunia ini bukan maya. Hidup dan dunia itu adalah nyata dan
positif. Oleh karena itu hidup dan dunia harus dipergunakan. Menurut ulama
salaf, bahwa hidup itu adalah untuk hidup dan mati, dan dunia itu adalah
untuk dunia sekaligus juga untuk akhirat.
حتى لدنياه اخرته وال الخرته دنياه ترك من بخيركم ليس
. عساكر ابن رواه جميعا منهما يصيب
Artinya : “Tidaklah orang yang terbaik di antaramu yang meninggalkan dunia karena urusan akhirat dan tidak pula orang yang meninggalkan akhirat lantaran dunia sehingga ia memperoleh kedua-duanya”. (H.R. Ibnu Asakir)7
Ada konsep lain yang menarik untuk dikemukakan di sini. Ayat di atas
menyatakan bahwa hidup di dunia tidak lain hanyalah permainan. Pemahaman
dari ayat tersebut adalah bahwa hidup adalah permainan yang jangka
waktunya pendek, maka dari itu kita harus jadi pemain dari “permainan
kehidupan”, bukan hanya main-main. Pemain adalah orang yang memainkan
permainan dengan sungguh-sungguh dan mematuhi peraturan yang berlaku.
Contoh: pemain sepak bola, mereka yang serius dan sungguh-sungguh
memainkannya akan mematuhi peraturan-peraturannya. Lalu apa hasil dari
pemain yang sungguh-sungguh? Coba kita lihat apa yang telah diraih oleh
Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, dan David Becham. Mereka adalah para
pemain yang sungguh-sungguh. Begitu pula dalam permainan kehidupan ini,
kita harus menjadi pemain yang serius dan sungguh-sungguh. Bisa bayangkan
apa yang akan Allah berikan jika kita menjadi “pemain” dari permainan besar
kehidupan?8
C. Makna Hidup
7 Maftuh Ahnan, Filsafat Manusia, C.V. Bintang Pelajar, hal. 788 http://fikrirasyid.com/apa-arti-kehidupan-sebenarnya-hidup-adalah-permainan-jadilah-
pemain-kehidupan/, senin 22 sep 2012, jam 12.49
7
Untuk mengetahui makna dari kehidupan ini, kita harus tahu untuk apa
kita hidup di dunia. Dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa ada dua jawaban
untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, manusia diciptakan di dunia ini
untuk menjadi khalifah di bumi. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 30 :
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Dalam tafsir al-Mishbah dijelaskan bahwa kata Khalifah pada mulanya
berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang
sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah sebagai
pangganti Allah dalam menegakkan kehendaknya dan menerapkan ketetapan-
Nya, tapi bukan berarti Allah tidak mampu atau menjadikan manusia
berkedudukan sebagai Tuhan, namun untuk menguji manusia dan memberi
penghormatan. Ada pula yang memahami sebagai pengganti makhluk lain
dalam menghuni bumi.
Dengan demikian, kakhalifahan mengharuskan makhluk yang diberi
tugas itu melaksanakannya sesuai dengan petunjuk Allah yang memberi tugas
dan wewenang. Kebijakasanaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya
adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan.9
Dari ayat tersebut dapat kita ketahui manusia diciptakan untuk
mensejahterakan, memperbaiki keadaan dan menguasai bumi. Untuk itu Allah
telah menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kepentingan
9 Shihab, op.cit., Jilid 1, hal.142
8
manusia sebagai bekalnya. Selain itu ia juga dibekali dengan kemampuan
untuk mengenal dan mengetahui segala yang ada di bumi.10
Kedua, manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Dalam surat
adz-Dzariyat ayat 56 dijelaskan:
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Ayat di atas dengan jelas menerangkan bahwa manusia diciptakan
tidak lain untuk menyembah dan berbakti kepada Allah. Menyembah dan
berbakti kepada Allah itulah tujuan hidup kita di dunia.11
Thabathabai, seperti dikutip oleh Quraish Shihab, menafsirkan lam
pada ayat di atas dengan arti agar supaya, yakni tujuan penciptaan manusia
dan jin adalah untuk beribadah. Akan tetapi tujuan disini bukan tujuan yang
bermakna untuk menyempurnakan yang belum sempurna atau menanggulangi
kebutuhan atau kekurangannya, karena hal itu mustahil bagi Allah. Ada tujuan
bagi Allah dalam perbuatan-Nya, tetapi dalam diri-Nya, bukan di luar dzat-
Nya. Dan ada tujuan yang bertujuan kepada perbuatan itu sendiri yakni
kesempurnaan perbuatan. Ibadah adalah tujuan dari penciptaan manusia dan
kesempurnaan yang kembali kepada penciptaan itu. Allah menciptakan
manusia untuk memberinya ganjaran; yang memperoleh ganjaran adalah
manusia, sedang Allah sama sekali tidak membutuhkannya. Adapun tujuan
Allah, maka itu berkaitan dengan dzat-Nya Yang Maha Tinggi. Dia
menciptakan manusia dan jin karena Dia adalah dzat Yang Maha Tinggi.12
Quraish Shihab juga mengutip dari Sayyid Quthub yang menafsirkan
bahwa ayat di atas membuka banyak sisi dan aneka sudut dari makna dan
tujuan. Sisi pertama bahwa hakekatnya ada tujuan tertentu dari wujud manusia
dan jin, ia merupakan satu tugas. Siapa yang melaksanakannya maka ia telah
mewujudkan tujuan wujudnya, dan siapa yang mengabaikannya maka dia
10 Maftuh Ahnan, Filsafat Manusia, C.V. Bintang Pelajar, hal. 34511Ibid., hal. 34612 Shihab, op.cit., Jilid 13, hal. 357
9
telah membatalkan hakekat wujudnya dan menjadilah ia seorang yang tidak
memiliki tugas, hidupnya kosong tidak bertujuan dan berakhir dengan
kehampaan. Tugas tersebut adalah ibadah kepada Allah yakni penghambaan
diri kepada-Nya. Sisi lain adalah pengertian ibadah bukan hanya terbatas pada
pelaksanaan tuntunan ritual, karena jin dan manusia tidak menghabiskan
waktu mereka dalam pelaksanaan ibadah ritual. Dia mewajikan kepada
mereka aneka kegiatan lain yang menyita sebagian besar hidup mereka. Kita
dapat mengetahui batas aktivitas yang diwajibkan kepada manusia, yaitu
seperti yang dijelaskan al-Qur’an sebagai khalifah di bumi. Ini menuntut
ragam aktivitas penting untuk memakmurkan bumi. Kekalifahan juga
menuntut upaya penegakan syari’at Allah di bumi juga mewujudkan sistem
Ilahi yang sejalan dengan hukum-hukum Ilahi yang ditetapkannya bagi alam
ini. Dengan demikian ibadah mencakup dua hal pokok yaitu dalam bentuk
ritual dan tugas kekhalifahan.13
Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa makna hidup ini adalah
ibadah. Ibadah adalah tujuan dari penciptaan manusia dan kesempurnaan yang
kembali kepada manusia itu sendiri. Ibadah adalah tugas manusia di bumi,
orang yang tidak mempunyai tugas hidupnya kosong tidak bertujuan. Dengan
kata lain tanpa ibadah hidup manusia menjadi kosong dan tidak bermakana.
Ibadah mencakup dua hal pokok yakni ibadah dalam bentuk ritual dan bentuk
tugas kekhalifahan.
Maka jika kita ingin hidup ini bermakna kita harus beribadah. Ibadah
bukan hanya sekadar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk
ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa
keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa ia mengabdi, demikianlah
Syeikh Muhammad Abduh menjelaskan ibadah sebagaimana dikutip oleh
Quraish Shihab.14
D. Tujuan Hidup
13 Ibid., hal. 36014 Ibid., hal. 360
10
Kita tidak hidup di dunia untuk selamanya, karena kita semuanya
nantinya akan mati. Allah telah berfrman dalam surat Ali ‘Imran ayat 185:
Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati
Lalu ke mana kita akan pergi setelah kita mati? Pertanyaan ini telah dijawab
oleh al-Qur’an. Allah telah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 156:
Artinya: Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali
Matinya manusia itu kembali kepada Allah, dan besok seluruh alam ini
termasuk di dalamnya manusia akan dibangkitkan dari kuburnya kalau sudah
mendapat izin dari-Nya, semua alam, bumi, gunung akan hancur dan menurut
perintahnya.15
Kita hidup di dunia adalah untuk mendapatkan maghfirah dan ridha
Allah di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hadid ayat
20:
Artinya: “Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Quraish Shihab mengatakan bahwa menurut Thabathaba’i
didahulukannya maghfirah atas ridhwan agar wadah keridhaan itu bersih
terlebih dahulu, agar dapat menampung ridha-Nya. Bagaimana mungkin ridha
diperoleh kalau masih ada ketidakharmonisan dalam jiwa. Ketidakharmonisan
akan lenyap jika kesalahan telah dihapus. Ayat di atas mensifati maghfirah
tersebut bersumber dari Allah, tetapi adzab tidak disifati-Nya dengan sesuatu
apapun. Ini sejalan dengan kebiasaan al-qur’an menisbahkan yang baik dan
positif kepada Allah, sedang yang buruk tidak dinisbahkan kepada-Nya.
Thabathaba’i memahaminya sebagai isyarat bahwa yang terutama didambakan
15 Ahnan, op.cit., hal. 401-402
11
adalah maghfirah, sedang siksa tidaklah demikian, karena siksa merupakan
akibat keengganan manusia untuk taat kepada Allah. Penyebutan maghfirah
dan siksa pada penggalan akhir ayat di atas adalah gambaran dari dua wajah
akhirat. Itu dikemukakan agar orang hendaknya memilih maghfirah dan ridha
bukan memilih siksa.16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dibahas di atas, dapat diambil beberapa
kesimpulan :
1. Bagi orang kafir hidup adalah permainan, suatu yang melalaikan,
perhiasan, saling membanggakan diri, dan berbangga-bangga dalam
memperbanyak harta dan anak.
2. Bagi orang yang percaya adanya hidup sesudah kehidupan dunia ini,
kehidupan dunia adalah perjuangan untuk meraih kesejahteraan lahir dan
batin, dunia, dan akhirat.
3. Hidup ini adalah titipan dan amanah karena semua yang ada di dunia ini
adalah milik Allah, termasuk tubuh dan hidup kita dan nanti akan
mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah.
4. Ibadah adalah tugas manusia di bumi, orang yang tidak mempunyai tugas
hidupnya akan kosong tidak bertujuan dan tidak bermakna.
5. Ibadah mencakup dua hal pokok yakni ibadah dalam bentuk ritual dan
bentuk tugas kekhalifahan.
6. Semua manusia nantinya akan kembali kepada Allah, dan tujuan hidup di
dunia adalah untuk mendapatkan maghfirah dan ridha Allah di akhirat
kelak.16 Shihab, op.cit., Jilid 14, hal. 38
12
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Filsafat Ketuhanan, C. V. Karunia, Surabaya, 1985
http://fikrirasyid.com/apa-arti-kehidupan-sebenarnya-hidup-adalah-permainan-
jadilah-pemain-kehidupan/, senin 22 sep 2012, jam 12.49
http://indonesia.faithfreedom.org/forum/pengertian-hidup-menurut-al-qur-an-
t10847/, senin 22 sep 2012 jam 12.50
I. R. Poedjawijatna, Manusia Dengan Alamnya (Filsafat Manusia), Bina Aksara,
Jakarta, 1987
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jilid 4, Lentera Hati, Jakarta, 2002
Maftuh Ahnan, Filsafat Manusia, C.V. Bintang Pelajar
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Press, Jakarta,
1997
13