unud 836 981902905 tesis pengaturan ambang batas formal agungsayoga
DESCRIPTION
ambangTRANSCRIPT
-
TESIS
PENGATURAN
AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)
DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM
YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA
I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
-
TESIS
PENGATURAN
AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)
DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM
YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA
I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA
NIM : 1190561045
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
-
ii
PENGATURAN
AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)
DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM
YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA
NIM. 1190561045
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
-
iii
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL .
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ibrahim, R, SH., MH. Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., MHum.
NIP. 19551128 198303 1 003 NIP. 19611224 198803 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH, M.Hum, LL.M Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)
NIP. 19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001
UserTypewritten Text
UserTypewritten Text
UserTypewritten TextTTD
UserTypewritten TextTTD
UserTypewritten Text
UserTypewritten TextTTD
UserTypewritten TextTTD
-
iv
TESIS INI TELAH DIUJI
PADA 21 AGUSTUS 2013
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor : 1544/UN14.4/HK/2013 Tanggal : 1 Agustus 2013
Ketua : Prof. Dr. Ibrahim R, SH., MH.
Sekretaris : Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.
Anggota : 1. Prof.Dr. I Made Pasek Diantha,SH.,MS.
2. Dr. I Gede Yusa, SH., MH.
3. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, S.H., M.H.
-
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya
NIM : 1190561045
Tempat/Tanggal Lahir : Samarinda/12 Oktober 1990
Alamat : Jl. Kertanegara IX/4, Br. Anyar-Anyar,
Ubung Kaja, Denpasar-Bali, 80116
Program Studi : Magister Ilmu Hukum (Hukum
Pemerintahan)
Judul Tesis : Pengaturan Ambang Batas Formal
(Formal Threshold) Dalam Konteks
Sistem Pemilihan Umum Yang
Demokratis di Indonesia
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia
menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17
Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku
Denpasar, 21 Agustus 2013
Hormat saya,
I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya
-
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
OM SWASTIASTU,
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala berkah dan anugrah-Nya, maka
penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Pengaturan Ambang Batas
Formal (Formal Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang
Demokratis di Indonesia.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih
setulusnya atas semua bantuan, arahan, dan bimbingan kepada semua pihak:
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika Sp.PD KEMD, Rektor Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
3. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H. Dekan Fakultas hukum
Universitas Udayana.
4. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.LL.M, Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
5. Prof. Dr. Ibrahim R, SH.,MH, Dosen Pembimbing I yang telah banyak
membimbing dan memberi masukan yang membangun dalam penyusunan
tesis ini.
6. Dr. I Dewa Gede Palguna,SH.,M.Hum, Dosen Pembimbing II yang penuh
kesabaran dalam membimbing dan memberi masukan ilmu pengetahuan
yang berguna bagi penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
-
vii
7. Dosen Penguji Tesis, Prof. Dr. Ibrahim R, SH., MH, selaku Ketua, Dr. I
Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum selaku Sekretaris, Prof.Dr. I Made Pasek
Diantha,SH.,MS., Dr. I Gede Yusa, SH., MH., dan Dr. Putu Gede Arya
Sumerthayasa, S.H., M.H selaku Anggota, yang telah berkenan meluangkan
waktunya untuk menguji, memberikan penilaian, dan masukan yang
maksimal demi penyusunan tesis yang lebih baik.
8. Guru-Guru Besar dan segenap Dosen Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan
selama perkuliahan dan mendukung penyusunan tesis ini.
9. Segenap Staf Administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Udayana yang telah banyak membantu dalam kelancaran studi.
10. Keluarga penulis, Bapak I Gusti Ngurah Bagus Astawa, SH, Mamah Sri
Sudarwati, dan Adik I Gusti Ayu Putri Astari Yogiswari yang tidak henti-
hentinya memberikan penulis doa, semangat, dan cintanya selama penulisan
tesis ini.
11. Keluarga Besar Universitas Mahendradatta yang telah memberikan
dukungan dalam penyelesaian tesis ini.
12. Sahabat dari penulis, Agus Pradana, S.Si., Pande Tunik,S.Sn., Ngurah
Yudi,SE., dan teman-teman dari SONE Bali, Zumi, S.Kom., Ferdy, Octa,
Agus, Buchel, Kiki, Lukman, Bli Kadek, Anga, Yerdi.
13. Rekan-rekan kuliah pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas
Udayana yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penulisan tesis.
-
viii
14. Segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Akhir kata, semoga buah karya intelektual ini dapat memberikan manfaat
bagi seluruh umat manusia di dunia.
OM SANTI, SANTI, SANTI, OM
Denpasar, 21 Agustus 2013
Penulis
-
ix
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang permasalahan pengaturan ambang batas
formal dalam pemilihan umum dengan fokus pembahasan pada kerangka prinsip
demokrasi konstitusional dan indikator yang dapat digunakan dalam legislasinya.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konseptual
hukum, pendekatan sejarah, pendekatan perbandingan, dan pendekatan filsafat.
Sementara teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan adalah teori
negara hukum dan teori demokrasi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan ambang batas formal
pemilihan umum memenuhi prinsip demokrasi konstitusional berdasarkan empat
aspek : kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPR-RI; tujuan menstabilkan
lembaga negara (legislatif dan eksekutif); tidak bertentangan dengan hak asasi
manusia; konsistensi dalam putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menguji
konstitusionalitas materi ambang batas formal. Pengaturan ambang batas formal
juga mencerminkan cita hukum bangsa Indonesia, terutama pada prinsip
demokrasi permusyawaratan/perwakilan Indonesia. Perbandingan hukum dengan
negara lain memperlihatkan bahwa pengaturan ambang batas formal tidak hanya
mengatur perihal persentase, melainkan juga pengaturan yang bersifat mengurangi
disproporsionalitas. Pengaturan yang lebih komprehensif terkait dengan hal
tersebut perlu dilakukan ke depannya dalam undang-undang pemilihan umum
Indonesia untuk menciptakan pengaturan yang berkeadilan dan pembentukan
hukum yang berkelanjutan.
Kata Kunci : ambang batas formal, sistem pemilu, demokrasi konstitusional,
pembentukan hukum yang berkelanjutan
-
x
ABSTRACT
This thesis discusses the problems of formal threshold provision in the
electoral system which is focused on constitutional democratic principles
framework and indicators that can be used in the legislation. This research is a
normative legal research that uses statute, analytical and conceptual, historical,
comparative, and philosophical approach. Meanwhile, the theories that be used
to analyze the problem are Rule of Law Theory (Rechtstaat) and Theory of
Democracy.
The result repeals that the formal threshold provision fulfils constitutional
democratic principle based on four aspects : the legislation authority of DPR-RI ;
the purpose to stabilizing the state institutions (legislative and executive); has no
conflict to fundamental human rights; the consistency of ruling from of the
Constitutional Court of The Republic of Indonesia that reviews formal threshold.
Formal threshold also reflects the idea of the law of Indonesia, especially on
Indonesian consensus/representative democracy principle. A legal comparison
showed that the substance of formal threshold is not only about the percentages,
but also the provision for reducing disproportionality. The provision of formal
threshold should be more comprehensive in the future to ensure the legal justice
and sustainable law making.
Key Words : formal threshold, electoral system, constitutional democracy,
sustainable law-making
-
xi
RINGKASAN
Tesis ini diberi judul Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang Demokratis di
Indonesia. Adapun tesis ini disusun dalam lima bab dan menguraikan bagaimana pemenuhan prinsip demokrasi konstitusional dan indikator-indikator yang dapat
digunakan dalam pengaturan ambang batas formal pemilihan umum sebagai
bentuk reformasi perundang-undangan pemilu yang demokratis di Indonesia.
BAB I sebagai bab pendahuluan memuat latar belakang yang menjelaskan
isu hukum yang diangkat sebagai permasalahan yakni adanya konflik norma, baik
secara formil maupun materiil. Pengaturan ambang batas formal memiliki
ketidaksinkronan dengan asas kejelasan tujuan sebagaimana yang menjadi syarat
formil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (vide Pasal 5 huruf
a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan),
yaitu perihal tujuan menciptakan sistem multipartai sederhana yang nantinya akan
menghasilkan sistem pemerintahan presidensial. Dalam hal ini tujuan pengaturan
ambang batas formal tidak jelas menjabarkan definisi sistem multipartai
sederhana yang dimaksud serta relevansi antara sistem multipartai dan sistem
presidensial. Kemudian secara materiil, konflik norma terjadi antara pengaturan
ambang batas formal dengan peraturan perundang-undangan lain yang
memberikan dasar perlindungan hak asasi manusia, khususnya perihal jaminan
perlindungan atas suara sah dari pemilih. Selain itu perihal indikator yang tidak
jelas dan kebutuhan untuk menciptakan desain hukum ambang batas formal yang
baku menyebabkan permasalahan ini dianggap menarik dan penting untuk dikaji.
Kemudian dalam Bab I juga menempatkan rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, menjabarkan landasan teori sebagai
sarana untuk menjawab permasalahan, serta menentukan metode penelitian yang
digunakan dengan uraian berupa jenis penelitian, jenis pendekatan, sumber bahan
hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum.
BAB II menguraikan mengenai tinjauan umum berupa pemikiran tentang
konsepsi demokrasi konstitusional sebagai uraian lebih lanjut perihal teori yang
digunakan yakni teori negara hukum dan teori demokrasi. Selain itu dalam bab ini
juga diuraikan tiga konsep dasar, yaitu sistem pemilihan umum (electoral system),
lembaga perwakilan, dan partai politik, disertai dengan dasar hukum yang berlaku
di Indonesia. Bab ini juga memberikan tinjauan umum perihal konsep dari
ambang batas pemilu (electoral threshold).
BAB III membahas mengenai pemenuhan pengaturan ambang batas formal
pemilihan umum terhadap prinsip demokrasi konstitusional yang dikaji dalam
empat konsentrasi, yakni perihal legislasi dari ambang batas formal, upaya
penataan lembaga negara dan hubungan antar lembaga negara, kesesuaian
pengaturannya dengan norma hak asasi manusia, dan konsistensi pengujian
undang-undang yang menguji ketentuan ambang batas formal pemilihan umum
oleh Mahkamah Konstitusi.
-
xii
BAB IV membahas mengenai indikator-indikator yang digunakan dalam
penormaan ambang batas formal dengan cita hukum (recht idea) Indonesia
sebagai landasan fundamental. Bab ini juga membahas perbandingan hukum
dengan Jerman, Turki, Polandia, dan Denmark yang memberikan gambaran
perbedaan substansil pengaturan ambang batas formal, terutama perihal
ketentuan-ketentuan yang berfungsi untuk mengurangi disproporsionalitas. Selain
itu dibahas pula perihal konsep tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan
kemanfaatan) sebagai indikator pengaturan ambang batas formal yang
berkelanjutan dengan dielaborasikan dengan prinsip justice as fairness dari John
Rawls.
BAB V merupakan bagian penutup yang memberikan simpulan terhadap pembahasan permasalahan yang diuraikan. Selain itu pada Bab ini juga disampaikan
yang menjadi saran-saran terkait dengan pembentukan hukum ambang batas formal
pemilihan umum yang lebih komprehensif di masa mendatang.
-
xiii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul Dalam .................................................................................................... i
Halaman Persyaratan Gelar Magister ............................................................................... ii
Halaman Pengesahan Tesis .............................................................................................. iii
Halaman Penetapan Panitia Penguji Tesis ....................................................................... iv
Surat Pernyataan Bebas Plagiat ....................................................................................... v
Halaman Ucapan Terima Kasih ....................................................................................... vi
Halaman Abstrak ............................................................................................................. ix
Halaman Abstract ............................................................................................................. x
Ringkasan ........................................................................................................................ xi
Halaman Daftar Isi ......................................................................................................... xiii
Halaman Daftar Tabel ................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 9
1.3. Ruang Lingkup Masalah .......................................................................... 9
1.4. Tujuan Penelitian .................................................................................... 10
1.4.1. Tujuan Umum ............................................................................... 10
1.4.2. Tujuan Khusus .............................................................................. 11
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................... 11
1.5.1. Manfaat Teoritis ............................................................................ 11
1.5.2. Manfaat Praktis ............................................................................. 12
-
xiv
1.6. Orisinalitas Penelitian ............................................................................. 12
1.7. Landasan Teori .......................................................................................... 14
1.7.1. Teori Negara Hukum .................................................................. 15
1.7.2. Teori Demokrasi ......................................................................... 19
1.8. Metode Penelitian .................................................................................... 23
1.8.1. Jenis Penelitian.............................................................................. 23
1.8.2. Jenis Pendekatan ........................................................................... 24
1.8.3. Sumber Bahan Hukum ................................................................. 25
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................... 27
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ..................................................... 28
BAB II DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMILIHAN UMUM ........... 30
2.1. Konsepsi Demokrasi Konstitusional ...................................................... 30
2.2. Sistem Pemilihan Umum ....................................................................... 36
2.2.1. Definisi Sistem Hukum ................................................................ 36
2.2.2. Pemilihan Umum .......................................................................... 41
2.2.3. Jenis Sistem Pemilihan Umum ..................................................... 44
2.2.4. Sistem Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia ...................................................................... 54
2.3. Lembaga Perwakilan ............................................................................... 58
2.3.1. Klasifikasi Lembaga Perwakilan ................................................. 62
2.3.2. Lembaga Perwakilan Indonesia .................................................... 68
2.4. Partai Politik ........................................................................................... 72
2.4.1. Definisi Partai Politik ................................................................... 72
-
xv
2.4.2. Fungsi Partai Politik ..................................................................... 73
2.4.3. Sistem Partai Politik ..................................................................... 76
2.4.4. Sistem Partai Politik Indonesia .................................................... 78
2.5. Konsep Ambang Batas Pemilihan Umum (Electoral Threshold) .......... 81
BAB III PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL DALAM SISTEM
DEMOKRASI KONSTITUSIONAL INDONESIA ................................. 85
3.1. Pengaturan Ambang Batas Formal di Indonesia ..................................... 85
3.2. Lembaga Negara dan Hubungan Antar Lembaga Negara Pasca
Pengaturan Ambang Batas Formal ......................................................... 96
3.2.1. Penataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. ........... 96
3.2.2. Relevansi Pengaturan Ambang Batas Formal Terhadap
Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia .............................. 108
3.3. Ambang Batas Formal Dalam Aspek Hak Politik ............................... 117
3.3.1. Pengaturan Hak-Hak Politik dan Konsekuensi Yuridis
Ambang Batas Formal ................................................................ 118
3.3.2. Legitimasi Pembatasan Hak Politik Terhadap Ambang Batas
Formal ......................................................................................... 123
3.4. Konsistensi Pengujian Ambang Batas Formal ...................................... 127
BAB IV INDIKATOR PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL
DALAM UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM
INDONESIA ........................................................................................... 136
4.1. Cita Hukum Indonesia Sebagai Indikator Fundamental Pengaturan
Ambang Batas Formal ......................................................................... 137
-
xvi
4.1.1. Prinsip Demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan Indonesia
Dalam Pengaturan Ambang Batas Formal ................................ 139
4.2. Indikator Proporsionalitas Pemilu ......................................................... 144
4.2.1. Jerman ......................................................................................... 145
4.2.2. Turki ........................................................................................... 147
4.2.3. Polandia ....................................................................................... 149
4.2.4. Denmark ..................................................................................... 151
4.3. Pemenuhan Tujuan Hukum sebagai Indikator Ambang Batas
Formal yang Berkelanjutan .................................................................. 155
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 164
5.1. Simpulan ............................................................................................... 164
5.2. Saran ..................................................................................................... 165
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 166
-
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. : Perolehan Suara dan Persentase Suara Partai Politik Peserta Pemilu
2009 .............................................................................................................. 97
Tabel 3.2. : Pengurangan Jumlah Suara Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 2009 .................................................... 100
-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pasca berakhirnya rezim Orde Baru, undang-undang pemilihan umum
mengalami regenerasi sebagai upaya pemulihan atas pengingkaran demokrasi
yang terjadi selama masa tersebut. Demokratisasi yang diselenggarakan sejak
tahun 1999 hingga sekarang menempatkan pengaturan ambang batas pemilu, atau
lebih dikenal dengan istilah electoral threshold, dalam penyelenggaraan pemilihan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bagian reformasi
perundang-undangan pemilihan umum.
Ambang batas pemilu atau electoral threshold adalah pengaturan tingkat
minimal dukungan, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau
jumlah perolehan kursi (seat), yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu
agar dapat menempatkan perwakilannya dalam lembaga perwakilan.1 Ambang
batas yang diatur secara formal (formal threshold) diperlihatkan dengan adanya
pencantuman sejumlah persentase tertentu secara langsung dan tegas dipaksakan.2
Adapun bentuk pengaturan ambang batas formal diwujudkan dalam Pasal 208
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 2012) yang mengatur bahwa Partai
1 Sigit Pamungkas, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, hal 19.
2 Kacung Marijan, 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru.
Kencana, Jakarta, hal. 72.
-
2
Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-
kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota. Persentase ambang batas tersebut menjadi syarat yang harus
dipenuhi dalam penentuan representasi perwakilan pada suatu penyelenggaraan
pemilu di era reformasi.
Pembatasan keterwakilan jumlah partai politik secara yuridis di dalam
lembaga perwakilan melalui ambang batas formal menjadi salah satu konsentrasi
pembangunan hukum pada masa reformasi dalam rangka visualisasi demokrasi
yang lebih baik. Demokratisasi pemilihan umum pada hakikatnya menempatkan
keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar penting bagi suatu negara
modern, terlebih pada negara dengan masyarakat yang majemuk (plural society).3
Namun seiring dengan pembelajaran proses berdemokrasi, timbul satu
pemahaman bahwa sistem multipartai yang diterapkan dalam penyelenggaraan
pemilihan umum dianggap menjadi salah satu kesalahan yang paling mendasar.
Dewan Perwakilan Rakyat yang diisi dengan kepartaian majemuk dipersepsikan
tidak dapat memaksimalkan fungsi eksekutif dan menjaga kestabilan sistem
presidensial, terutama dalam hal konsensus pengambilan kebijakan.4 Dalam upaya
menyikapi hal tersebut, arah pembentukan undang-undang terkait dengan sistem
kepartaian diupayakan mampu menyeimbangkan antara unsur kemajemukan
3 ibid. hal. 59-61.
4 Radiman Salman, 2010, Partai Politik dan Pemilu : Penyederhanaan dan Pembaharuan
Parpol, dalam Konstitusionalisme Demokrasi - Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi
Daerah dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk Sang Penggembala Prof. A. Mukthie
Fadjar, SH., MS. (Disunting oleh Sirajjudin et.al), In Trans Publishing, Malang, hal.143.
-
3
partai politik dan stabilitas pemerintahan melalui pengaturan ambang batas formal
pemilihan umum.
Mekanisme konversi jumlah perolehan suara menjadi kursi mengalami
regenerasi yang tidak sederhana, terutama sejak diberlakukannya persentase
ambang batas formal yang dianggap memiliki tingkat kompleksitas tinggi dalam
perancangan undang-undang pemilihan umum. Persentase ambang batas formal
sebesar 3,5% sebagaimana diatur dalam Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012
diberlakukan dalam penyelenggaraan pemilu sebagai upaya memperkuat lembaga
perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana,
yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensial.5 Upaya
penciptaan sistem multipartai sederhana tersebut seakan bertentangan dengan
Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang menentukan bahwa dalam hal pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik wajib memenuhi salah satu asas formal, yaitu asas
kejelasan tujuan.6 Pengaturan ambang batas formal tidak menentukan batasan
tujuan yang ingin dicapai secara jelas perihal sistem multipartai seperti apakah
yang dimaksud dengan sederhana serta bagaimana relevansinya dengan sistem
pemerintahan presidensial secara nyata dengan adanya pengaturan tersebut. Hal
ini menimbulkan implikasi sumirnya tujuan pembentukan perundang-undangan
yang baik dalam pengaturan ambang batas formal.
5 Lihat Penjelasan Umum UU No. 8 Tahun 2012.
6 Bahwa yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan berdasarkan Pasal 5 huruf a UU No.
12 Tahun 2011 adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
-
4
Penyelenggaraan pemilu yang demokratis juga wajib menempatkan
perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan
dijamin keberadaannya secara tegas di dalam kerangka hukum. Fenomena
pelaksanaan demokrasi yang tidak demokratis di era Orde Baru memberikan andil
terjadinya perubahan substansil yang menghasilkan jaminan perlindungan hak
asasi manusia secara konstitusional berdasarkan Pasal 28A-28J Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta dibentuknya dua perundang-
undangan organis, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights.7 Pengaturan ambang batas
formal turut memperlihatkan adanya suatu problematik berupa konflik norma
(conflict of norm), terutama dengan peraturan perundang-undangan yang
memberikan jaminan perlindungan hak hukum, baik bagi warga negara dan partai
politik.
Pengaturan ambang batas formal menimbulkan konsekuensi yuridis
terjadinya penyederhanaan sistem kepartaian (sistem multipartai sederhana)
dengan hilangnya sejumlah suara pada partai politik tertentu yang tidak memenuhi
persentase yang ditentukan.8 Konsekuensi hilangnya suara tersebut menjadi
bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 3 ayat
(2) UU No. 39 Tahun 1999 yang memberikan jaminan perlindungan dan kepastian
7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil
and Political Rights merupakan hasil ratifikasi dari The International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB tertanggal 16
Desember 1966.
8 Janedjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 33-34.
-
5
hukum, termasuk dalam hal ini perlindungan akan suara-suara pemilih yang
diberikan secara sah kepada partai politik peserta pemilu.9 Hal tersebut juga
sejalan dengan konsideran menimbang UU No. 8 Tahun 2012 yang
mengamanatkan bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara
rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Adanya suara yang
hilang dengan diaturnya ambang batas formal menimbulkan inkonsistensi perihal
bagaimana menterjemahkan jaminan perlindungan suara rakyat dalam sistem
pemilu langsung yang demokratis sesuai dengan kerangka ketatanegaraan
Indonesia. Pertentangan norma, baik dengan peraturan perundang-undangan lain
maupun dengan konsideran UU No. 8 Tahun 2012 sebagai dasar validitas,
menjadikan pengaturan ambang batas formal menarik untuk dikaji secara holistik
di dalam kerangka hukum dan demokrasi bangsa Indonesia.
Keberadaan ambang batas formal rentan mengalami resistensi dari warga
negara, terutama pihak yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar. Fenomena
hukum tersebut setidaknya diperlihatkan dengan tingginya intensitas pengujian
konstitusionalitas materi undang-undang pemilu kepada Mahkamah Konstitusi
berkenaan dengan substansi ambang batas formal pemilihan umum. Meskipun
Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya menegaskan konstitusionalitas
ambang batas dalam pemilihan umum (tanpa atau dengan disertai dissenting
9 Rumusan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Sementara rumusan Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 mengatur bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta
mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
-
6
opinion10
), penulis menganggap pengaturan ambang batas formal ini masih
menyisakan sejumlah permasalahan yang elementer sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya, yaitu terkait dengan bagaimana legitimasi penghilangan suara
pemilih dan tujuan penciptaan sistem multipartai sederhana yang riil.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 menegaskan
justifikasi pengaturan ambang batas formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 sebagai
legal policy (politik hukum) dari pembentuk undang-undang yang tidak dapat
diganggu gugat oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang sejalan dengan prinsip-
prinsip hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.11
Justifikasi tersebut
menurut penulis masih menyisakan permasalahan perihal seperti apakah
penormaan persentase ambang batas formal yang dikatakan tidak bertentangan
dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas sehingga Mahkamah
Konstitusi tidak dapat menggangu gugatnya. Tolak ukur legitimasi ambang batas
formal yang tidak bertentangan dengan ketiga aspek tersebut menjadi wajib untuk
10 Perbedaan pendapat atau dissenting opinion terjadi dalam dua putusan Mahkamah
Konstitusi yang menguji substansi ambang batas formal dalam undang-undang pemilu, yakni
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 perihal pengajuan ambang batas formal
dalam dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, serta
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang pengujian ketentuan ambang batas
formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD.
11
Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal. 79. Mahkamah
Konstitusi memaparkan ratio decidendi ...bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai
Politik baik berbentuk ET maupun PT. kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai
politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem
Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat
pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya
angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk
menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak
politik, kedaulatan rakyat dan rasionalitas
-
7
dijabarkan sebagai upaya menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang konsisten dan
konstitusionalitas pengaturannya.
Segenap permasalahan dan pertentangan norma tersebut pada akhirnya
bermuara pada titik ketidakjelasan parameter hukum yang digunakan dalam
menentukan pengaturan persentase ambang batas formal. Setidaknya terdapat tiga
hal yang menjadi pertanyaan dasar, yakni berapa persen angka ambang batas yang
akan diterapkan; bagaimana cara menentukannya; atau apakah peningkatan
persentase sesungguhnya diperlukan atau tidak dalam setiap penyelenggaraan
pemilihan umum? Penentuan persentase ambang batas yang terkesan rumit
menjadi permasalahan yang sering mengakibatkan berlarutnya pembahasan
undang-undang pemilu. Setidaknya kerumitan tersebut tampak secara nyata dari
adanya diferensiasi pandangan antar fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat
dalam menentukan jumlah persentase ambang batas serta perihal ruang lingkup
keberlakuannya.12
Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa penormaan ambang
batas formal seakan tidak memiliki indikator-indikator yang jelas, sehingga rentan
mengandung unsur-unsur yang dapat menyebabkan pertentangan dengan norma-
norma lainnya.
12 9 Fraksi di DPR Gagal Sepakati RUU Pemilu,
http://news.detik.com/read/2012/04/10/221504/1889323/10/9-fraksi-di-dpr-gagal-sepakati-ruu-
pemilu, diakses tanggal 17 Oktober 2012 dan Ambang 3,5% Hanya untuk DPR - Meski tak raih
suara nasional 3,5 persen, partai yang berjaya di daerah tetap bisa di DPRD
http://politik.news.viva.co.id/news/read/303842-ambang-3-5--hanya-untuk-dpr, diakses tanggal
tanggal 17 Oktober 2012. Lihat pula Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
52/PUU-X/2012, hal. 98-99 yang membatalkan ketentuan ambang batas formal di daerah untuk
penentuan DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
-
8
Indikator-indikator secara teoritis hukum di dalam penciptaan suatu norma
merupakan aspek yang wajib untuk dicermati oleh para yuris, termasuk dalam hal
menentukan ambang batas formal guna melimitasi jumlah partai politik di Dewan
Perwakilan Rakyat. Mahkamah Konstitusi sendiri di dalam putusannya menyadari
bahwa perancangan perundangan-undangan pemilihan umum seakan tidak
memiliki konsep yang jelas perihal bagaimana desain pemilihan umum Indonesia
yang demokratis, sehingga kenyataan hukum yang terjadi adalah berkembanganya
paradigma kebiasaan melakukan perubahan maupun pergantian undang-undang
pemilu menjelang penyelenggaraannya.13
Penciptaan suatu norma hukum yang
tidak jelas indikatornya rentan melanggar hak asasi manusia serta bertentangan
dengan konstitusi dan norma-norma hukum lainnya. Oleh karena itu, kejelasan
dasar pemberlakuan ambang batas formal perolehan suara dalam penyelenggaraan
pemilihan umum dan parameter hukum dalam menentukan persentase yang akan
diterapkan menjadi penting untuk dikaji secara teoritis.
Pengaturan ambang batas formal memberikan pengaruh signifikan dalam
upaya penciptaan sistem pemilihan umum yang memenuhi nilai-nilai demokrasi
bangsa Indonesia. Pengaturan ambang batas formal secara faktual masih
menyisakan sejumlah permasalahan demokrasi yang mendasar, walaupun
Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan berkekuatan hukum tetap
terhadap pasal yang digugat. Adanya pertentangan dengan norma-norma hak
politik, kejelasan tujuan penormaan, bagaimana menentukan persentase, serta
konsekuensi-konsekuensi yuridis lain yang timbul secara sistemis menjadi hal
13 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal 130-131.
-
9
yang penting untuk dibahas dalam kerangka teori-teori hukum dalam rangka
menegakkan supremasi negara hukum dan demokrasi Indonesia. Berdasarkan hal
tersebut, maka penulis berpendapat merupakan hal yang menarik dan urgen untuk
mengkaji pengaturan ambang batas formal secara teoritis hukum.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan
tersebut, maka rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut :
(1) Apakah pengaturan ambang batas formal tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi konstitusional Indonesia?
(2) Apakah indikator yang dapat digunakan dalam pengaturan ambang batas
formal pada undang-undang pemilu di Indonesia?
1.3. Ruang lingkup Masalah
Agar tetap fokus dengan rumusan masalah, maka perlu ditentukan batasan-
batasan yang menjadi ruang lingkup permasalahan di dalam penelitian ini.
Lingkup permasalahan pertama adalah perihal kajian pengaturan ambang batas
formal dalam perspektif prinsip-prinsip demokrasi konstitusional dengan fokus
pada analisis ketentuan-ketentuan tertentu dalam UUD 1945, penataan lembaga
dan hubungan antar lembaga negara, serta elaborasi prinsip dan peraturan tentang
hak asasi politik. Selain itu, kajian Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji
ambang batas formal juga termasuk dalam lingkup bahasan ini, terutama dari
aspek konsistensi pertimbangan hukumnya.
-
10
Lingkup permasalahan kedua akan dibahas mengenai dasar pemberlakuan
dan indikator yang dapat digunakan sebagai justifikasi dalam menentukan
pengaturan dan persentase ambang batas formal yang ideal dalam pembangunan
sistem pemilihan umum di Indonesia. Kajian dasar pemberlakuan berada pada
lingkup aspek cita hukum Indonesia dengan menekankan pada aspek nilai
demokrasi dan keadilan sosial. Sementara bahasan indikator ambang batas formal
difokuskan pada aspek tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan utilitas hukum)
serta perbandingan dengan peraturan-peraturan hukum negara lain.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan umum disusunnya penelitian ini adalah dalam rangka memberikan
sumbangsih pemikiran teoritis perihal pengaturan ambang batas formal sebagai
politik hukum pembatasan keterwakilan partai politik dalam kelembagaan DPR-
RI. Penelitian ditujukan untuk memberikan pemahaman mengenai pengaturan
ambang batas formal dalam perspektif teori hukum sebagai upaya penguatan
perancangan perundang-undangan pemilihan umum. Selain itu, penelitian hukum
ini juga dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji secara komprehensif perihal
harmonisasi konseptual demokrasi konstitusional dalam pembangunan sistem
pemilihan umum Indonesia.
-
11
1.4.2. Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
a. Dari aspek akademis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui justifikasi
pembatasan keterwakilan partai politik pada kelembagaan DPR-RI dengan
diaturnya ambang batas formal dalam perundang-undangan pemilihan
umum berdasarkan kerangka demokrasi konstitusional Indonesia.
b. Dari aspek praktis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar
keberlakuan dan indikator secara teoritis hukum yang dapat digunakan
dalam merumuskan undang-undang pemilihan umum, khususnya substansi
ambang batas formal, dalam rangka penguatan sistem pemilihan umum di
Indonesia.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
kontribusi pemikiran bagi pengaturan tentang pemilihan umum, terutama terkait
dengan pengaturan ambang batas formal dalam konsepsi demokrasi Indonesia.
Hasil dari penelitian ini diharapkan pula dapat digunakan sebagai referensi bagi
peneliti-peneliti hukum (legal researcher) berikutnya dan bagi segenap civitas
akademika Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana untuk lebih mendalami
perihal pengaturan ambang batas formal, serta pengembangan ilmu hukum pada
umumnya.
-
12
1.5.2. Manfaat Praktis
Adapun secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
referensi teoritis hukum bagi perancang perundang-undangan (legislative drafter)
dalam membentuk perundangan-undangan pemilu berikutnya, terutama terkait
penentuan substansi ambang batas formal yang ideal. Bagi organisasi atau
lembaga partai politik, penelitian hukum ini diharapkan dapat menjadi bahan
teoritis dalam mengontrol kebijakan hukum ambang batas formal yang diatur oleh
pembentuk undang-undang di Indonesia. Sementara bagi masyarakat umum,
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membuka pemahaman konsepsi
demokrasi Indonesia dan relevansi pengaturan ambang batas formal di Indonesia.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Penelitian hukum ini merupakan hasil dari gagasan dan pemikian murni
penulis dengan berdasar pada sudut pandang hukum bahwa pengaturan ambang
batas formal di Indonesia menjadi salah satu permasalahan yang aktual. Dalam
penelitian hukum ini, penulis bekerja secara mandiri dengan menggunakan bahan
hukum yang dikumpulkan untuk dianalisis, baik berdasarkan peraturan
perundangan maupun literatur hukum.
Berdasarkan pra-penelitian yang telah dilakukan, sepanjang pengetahuan
penulis tidak terdapat penulisan tesis atau karya ilmiah komprehensif lainnya yang
memiliki topik serta bahasan serupa mengenai ambang batas formal. Namun
dalam hal ini terdapat beberapa tesis yang memiliki ruang lingkup bahasan identik
dengan topik yang diangkat oleh penulis, yaitu sebagai berikut :
-
13
(1) Tesis Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada Era
Reformasi oleh Muhammad Aziz Hakim, dari Fakultas Hukum Program
Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, pada tahun 2012.
(2) Tesis Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial
Indonesia oleh M. Ilham Habibie, dari Program Magister Ilmu Hukum
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, pada tahun 2009.
Perihal tesis pertama dengan judul Politik Hukum Sistem Pemilihan
Umum Di Indonesia Pada Era Reformasi, Muhammad Aziz Hakim mengkaji
konfigurasi politik dan implementasi dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan Pemilihan Umum pada era reformasi. Adapun
Muhamad Azis Hakim menggunakan metode penelitian normatif sekaligus
metode penelitian empiris dalam penelitiannya dengan mayoritas substansi
membahas bagaimana politik hukum dari perundang-undangan pemilu pada masa
reformasi serta pelaksanaannya, terutama pada fokus isu-isu yang mengandung
hal kontroversi.14
Kemudian untuk tesis kedua dengan judul Pengaruh Konstelasi Politik
Terhadap Sistem Presidensial Indonesia, M. Ilham Habibie mengkaji hubungan
konstelasi politik di DPR-RI terhadap sistem Presidensial Indonesia dengan
terfokus pada masa pemerintahan tahun 2004-2009. Pembahasan juga dilakukan
terhadap pengaruh pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berperan dalam
mempengaruhi sistem presidensial Indonesia. M. Ilham Habibie juga mengkaji
14 Muhammad Aziz Hakim, 2012, Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada
Era Reformasi, Tesis, Fakultas Hukum Program Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas
Indonesia, Jakarta, hal. 22-23.
-
14
penerapan sistem Presidensial yang ideal dalam sistem multipartai Indonesia
dengan fokus perhatian pada aspek penyederhanaan partai, koalisi, dan pengaturan
oposisi secara melembaga.15
Orisinalitas yang ditekankan oleh penulis dalam penulisan tesis ini adalah
berada pada variabel terikatnya, yakni pengaturan ambang batas formal yang
dikaji dari aspek mewujudkan sistem pemilihan umum yang demokratis di
Indonesia. Penelitian hukum ini menekankan bagaimana legitimasi pengaturan
ambang batas formal yang membatasi keterwakilan partai politik pada
kelembagaan DPR-RI dalam kerangka demokrasi konstitusional. Selain itu
penekanan yang menjadi unsur orisinalitas dalam penelitian hukum ini adalah
pada aspek kajian parameter-parameter teori hukum yang menjadi dasar
pemberlakuan ambang batas perolehan suara dalam penyelengggaraan pemilu di
Indonesia, perbandingan aturan-aturan hukum di berbagai negara, serta bagaimana
mewujudkan ambang batas formal yang berkelanjutan.
1.7. Landasan Teori
Di dalam penelitian ini, teori yang digunakan sebagai landasan untuk
mengkaji permasalahan perihal pengaturan ambang batas formal adalah teori
negara hukum dan teori demokrasi.
15 M. Ilham Habibie, 2009, Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial
Indonesia, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
Semarang, hal 90-145.
-
15
1.7.1. Teori Negara Hukum
Negara hukum memiliki beragam terminologi dengan masing-masing
definisi serta karakteristik yang menjadi formulasi pembentuknya. Negara yang
menganut sistem Common Law menggunakan istilah Rule of Law dengan arti
bahwa pemerintah berdasarkan atas hukum bukan berdasar atas manusia
(government based on rule of law, not rule of man), sementara negara yang
menganut sistem Civil Law menganut konsep negara hukum dalam istilah
Rechtsstaat (negara hukum).16
Frederich Julius Stahl memaparkan empat prinsip yang terdapat dalam
Rechtsstaat yakni sebagai berikut:
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2. Negara didasarkan pada teori trias politica; 3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang
(Wetmatig bestuur);
4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige
overheidsdaad.).17
Sementara dalam konsep Rule of Law, Albert Venn Dicey menempatkan tiga
unsur dalam negara hukum, yaitu :
1. Supremasi hukum (supremacy of law), dimana tidak ada seorang pun yang
dapat dihukum kecuali atas adanya pelanggaran hukum yang telah
ditentukan aturan hukumnya (that no man is punishable or can be lawfully
made to suffer in body or goods except for a distinct breach of law
16 Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika Aditama,
Bandung, hal. 2.
17
Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Kencana, Jakarta, hal. 61.
-
16
established in the ordinary legal manner before the ordinary courts of the
land).18
2. Persamaan hukum (legal equality) dengan karakteristik tidak ada
seorangpun yang berada di atas hukum (no man is above the law) dan
semua orang tunduk pada hukum yang sama apapun kelas dan kondisinya
(whatever be his rank or condition is subject to the ordinary law of the
realm).19
3. Perlindungan atas hak-hak individu (rights of individuals). Dicey
berpendapat bahwa tidak seperti di negara lain, di Inggris hak-hak individu
tidak bersumber dari konstitusi yang dikodifikasikan. Perlindungan atas
hak-hak individu timbul sebagai konsekuensi dari penegasan putusan-
putusan pengadilan (the consequence of the rights of individuals, as
defined and enforced by the courts) yang merupakan hasil induksi atau
generalisasi dari prinsip-prinsip hukum privat yang memberikan
perlindungan atas hak-hak orang secara pribadi 20
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa persamaan yang
mengemuka di dalam konsepsi umum negara hukum, baik Rechtsstaat maupun
Rule of Law, menempatkan posisi hukum yang berdaulat (supremacy of law) di
dalam pemerintahan. Krabbe menterjemahkannya sebagai souvereiniteit van het
recht, yang berarti bahwa baik yang memerintah maupun yang diperintah
18 Albert Venn Dicey, 1927, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Eighth
Edition), Macmillan and Co., Limited, London, hal. 183-184.
19
ibid, hal. 189.
20
Ibid, hal. 199.
-
17
keduanya tunduk pada hukum.21
Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa hukum
berada pada kedudukannya yang tertinggi (supreme) dan tidak ada kekuasaan
negara yang dapat bertindak sewenang-wenang di atas hukum. Pencegahaan
kesewenang-wenangan negara dengan menempatkan kedaulatan hukum salah
satunya ditujukan demi perlindungan kepentingan dan hak-hak asasi manusia
(fundamental human right).
Dalam perkembangannya, terdapat dua tipe negara hukum, yaitu tipe
negara hukum formil dan tipe negara hukum materiil. Negara hukum formil atau
Nachtwachter Staat merupakan bagian dari sejarah perkembangan paham
liberalisme, dimana tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat agar tidak
dilanggar (menjaga pelanggaran terhadap undang-undang) dan negara tidak boleh
ikut terlibat secara aktif dalam hal urusan kemakmuran rakyat.22
Keberlangsungan konsep negara hukum formil mengalami pergesaran menjadi
negara hukum materiil sebagai upaya mengurangi ketimpangan sosial (social
injustice), dimana tugas negara tidak hanya berada pada kerangka pelaksanaan
undang-undang, melainkan secara aktif turut serta dalam menyelenggarakan
upaya kesejahteraan umum (Welvaars Staat).23
Perkembangan paradigma negara hukum pada akhirnya mengarah kepada
konsep negara hukum modern yang demokratis dengan menempatkan negara
21 Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 78.
22
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.156. Lihat
pula Yohanes Usfunan, 1986, Aspek-Aspek Hukum Bela Negara di Indonesia, Yayasan Ayu
Sarana Cerdas, Denpasar, hal. 18.
23
SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Penerbit Liberty, Yogyakarta, hal. 44-45.
-
18
dalam fungsinya memberikan pelayanan demi kesejahteraan masyarakatnya
(social service state). Lebih lanjut dipaparkan aspek yang harus dipenuhi dalam
negara hukum modern berdasarkan International Commision of Jurist adalah
sebagai berikut :
1. Perlindungan konstitusional (constitutional proctection of human rights). Lebih lanjut dijabarkan bahwa selain menjamin hak-hak
individual (substansil), konstitusi harus pula menentukan teknis-
prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang
dijamin;
2. Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak (an independent and impartial judiciary);
3. Pemilihan umum yang bebas (fair and free general elections); 4. Kebebasan menyatakan pendapat (recognition of the right to express
an opinion);
5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi (freedom to organize, freedom to dissent);
6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).24
Berdasarkan keseluruhan pemaparan perihal teori negara hukum tersebut
di atas, pemahaman yang dapat dibentuk adalah bahwa sistem kenegaraan pada
dasarnya harus dibangun dengan berdasarkan pada hukum yang berlaku, tersusun
dalam peraturan perundang-undangan, dan yang berkeadilan demi kesejahteraan.
Bagi penulis, teori negara hukum dipandang relevan untuk mengkaji rumusan
masalah pertama perihal legitimasi aturan ambang batas formal di dalam prinsip
demokrasi konstitusional. Beberapa domain konsep seperti pemahaman supremasi
hukum, pembatasan kekuasaan melalui trias politica, dan konsep negara hukum
modern yang demokratis dipandang relevan untuk digunakan. Kajian teoritis
ambang batas formal pada akhirnya bermuara pada aspek perlindungan hak-hak
asasi manusia secara konstitusional.
24 Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945
Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), Kencana, Jakarta, hal. 29.
-
19
1.7.2. Teori Demokrasi
Pemahaman klasik perihal demokrasi tidak lepas dari aspek etimologinya
yang berasal dari bahasa Yunani yaitu demos (rakyat) dan kratein/kratos
(kekuasaan/berkuasa) yang berarti rakyat yang berkuasa atau government by the
people.25
Secara sederhana demokrasi dapat diterjemahkan sebagai suatu kondisi
kenegaraan dimana dalam sistem pemerintahannya kekuasaan tertinggi berada
pada kendali rakyat. Demokrasi secara singkat juga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat.
Hakikat demokrasi erat kaitannya dengan ajaran teori kedaulatan rakyat
dimana esensi kekuasaan tertinggi terletak pada keberadaan dan kedudukan
rakyat. Jean Jacques Rousseau memaparkan adanya suatu perjanjian masyarakat
atau kontrak sosial dalam peletakkan kekuasaan suatu negara, dimana keadaan
alami atau primitif dari manusia (seperti hak bagi yang terkuat, perbudakan, homo
homini lupus) merupakan hal yang tidak dapat dipertahankan keberadaannya.
Oleh karena itu, manusia menyatukan kekuatan bersama yang ada, dimana
kekuasaan yang ada untuk kepentingan bersama tersebut berada di bawah
kehendak umum dalam sebuah pakta sosial dengan menerima setiap anggota
sebagai bagian yang tidak terpisahkan.26
Teori klasik dari J.J. Rousseau turut
menjadi cikal bakal dalam membangun prinsip-prinsip demokrasi modern perihal
tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dimana rakyat dianggap sebagai
25 Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hal 105.
26
Jean-Jacques Rousseau, 1989, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik
(Terjemahan Ida Sundari Hesen dan Rahayu Hidayat), Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, hal. 14-16.
-
20
subyek yang paling mengerti dan memahami bagaimana negara harus bertindak
untuk mencapai tujuan yang dimaksud.27
Dalam perkembangannya, teori kedaulatan rakyat sebagai benih
kristalisasi demokrasi berintegrasi dengan teori kedaulatan hukum dalam
membentuk supremasi kekuasaan. Terjadinya konvergensi antara teori
keadaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum merupakan konsekuensi logis
dimana prinsip demokrasi membutuhkan kerangka yuridis agar demokrasi dapat
berjalan dalam kehidupan bernegara dan hukum dapat berdaulat atas nama rakyat
untuk mencapai keadilan.28
Korelasi yang terbangun adalah bahwa prinsip-prinsip
negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi tidak dapat dipisahkan, sehingga
lebih lanjut dikenal dengan negara hukum demokratis.29
Koentjoro Poerbopranoto memaparkan bahwa adalah hal yang sulit untuk
menjalankan demokrasi secara langsung dikarenakan adanya faktor-faktor seperti
jumlah penduduk, luas daerah dan kompleksitas susunan masyarakat sehingga
dibutuhkan adanya proses perwakilan dengan salah satu persoalan pokok adalah
bagaimana cara melaksanakan perwakilan itu.30
Sejalan dengan hal tersebut, John
Stuart Mill menjelaskan tipe ideal dari pemerintahan yang sempurna adalah
perwakilan (that the ideal type of a perfect government must be representative),
meskipun ia berpendapat bahwa pemerintahan yang sepenuhnya dapat memenuhi
27 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, PT. Eresco Jakarta,
Bandung, hal. 41.
28
Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 41.
29
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hal. 8.
30
Koentjoro Poerbopranoto, 1987, Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT. Eresco, Bandung,
hal. 33-34.
-
21
semua tuntutan adalah dimana apabila di dalam pemerintahan tersebut masyarakat
secara keseluruhan dapat berpartisipasi bahkan dalam fungsinya yang terkecil
(that the only government which can fully satisfy all the exigencies of the social
state is one in which the whole people participate; that any participation, even in
the smalles public function, is useful).31
Proses keterlibatan masyarakat di dalam konsep demokrasi membutuhkan
sistem perwakilan dalam rangka pelaksanaan fungsi pemerintahan. Lyman Tower
Sargent memaparkan bahwa semua prinsip demokrasi berhubungan satu sama lain
dan timbul dari prinsip demokrasi yang paling mendasar yaitu keterlibatan warga
negara (the principles of democracy all relate to each other and all stem from the
most fundamental democratic principle citizen involvement). Sistem pemilihan
umum menjadi sarana perwujudan yang utama keterlibatan warga negara yang
akhirnya bermuara pada aspek demokrasi perwakilan.32
Lebih lanjut Lyman
Tower Sargent memaparkan bahwa dewasa ini sistem pemilu menjadi jalan utama
untuk pengekspresian keterlibatan warga negara, dan sistem perwakilan
merupakan tujuan dan hasil dari sistem pemilu (today the electoral system is the
major avenue for the expression of citizen involvement, and of course, the system
of representation is the purpose and result of the electoral system).33
31 John Stuart Mill, 1862, Consideration on Representative Government, Harper & Brothers
Publisher, New York, hal. 80.
32
Lyman Tower Sargent, 1984, Contemporary Political Ideologies (Sixth Edition), The
Dorsey Press, Chicago, hal.54.
33
ibid.
-
22
Demokrasi perwakilan yang diwujudkan melalui pemilihan umum
menempatkan pemahaman adanya pemberian legitimasi pada sejumlah
perwakilan yang representatif guna dapat mengambil kebijakan hukum atas nama
masyarakat secara umum. Robert A. Dahl memaparkan bahwa dominasi elit
dalam demokrasi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari disebabkan
ketidaksamaan politik, seperti sumber-sumber daya politik atau pengaruh
terhadap kebijakan dan tingkah laku pemerintah negara, itu terdapat dalam
tingkatan yang penting di semua masyarakat.34
Dahl menterjemahkan sebagai
demokrasi poliarki dengan prinsip egalitarianisme dimana negara dengan skala
besar diatur oleh banyak pejabat berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk
membuat kebijakan yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas, adil, dan
berkala.35
Perkembangan demokrasi perwakilan mengaktualisasi kedaulatan
seluruh masyarakat (umum) diserahkan kepada sejumlah elit yang dipilih melalui
mekanisme pemilihan sebagai suatu kompetisi.
Keseluruhan uraian tersebut di atas menyiratkan bahwa kedaulatan rakyat
dan kedaulatan hukum, pemilihan umum, serta perwakilan repesentatif menjadi
unsur-unsur integral dalam teori demokrasi. Bagi penulis, teori demokrasi
dipandang relevan untuk mengkaji dasar keberlakuan ambang batas formal. Teori
demokrasi digunakan sebagai dasar untuk menganalisis nilai-nilai demokrasi yang
terkandung dalam pengaturan ambang batas formal Indonesia. Selain itu, dalam
34 Robert A. Dahl, 1992, Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Terjemahan A. Rahman
Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 99.
35
Robert A. Dahl, 2001, Perihal Demokrasi Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi
Secara Singkat) (Terjemahan A. Rahman Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 118-
127. Lihat pula SP. Varma, 2010, Teori Politik Modern, Rajawali Press, Jakarta, hal. 214-215.
-
23
hal teori demokrasi perwakilan juga dianggap relevan digunakan untuk
menganalisis indikator penentuan ambang batas formal perihal tingkat
representatif dari lembaga perwakilan yang dibentuk pasca pengaturan ambang
batas formal.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif (normative
legal research) dikarenakan fokusnya adalah mengkaji hukum tertulis dari
berbagai aspek, seperti teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan
komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi
pasal, formalitas, dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa
hukum yang digunakan.36
Penelitian hukum normatif pada umumnya mencakup :
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
2. Penelitian terhadap sistematik hukum;
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;
4. Perbandingan hukum;
5. Sejarah hukum.37
Adapun penelitian hukum normatif pada penelitian ini menitikberatkan
pada isu konflik norma sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang
masalah, yaitu adanya ketidaksinkronan antara substansi ambang batas formal
36 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 101.
37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 14.
-
24
dengan peraturan perundangan-undangan lain yang sederajat, disharmonisasi
dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi sebagai
dasar pernormaan, serta konsideran UU No. 8 Tahun 2012 yang menjadi landasan
validitas.
1.8.2. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
analisis dan konseptual hukum (analitical & conceptual approach), pendekatan
sejarah (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach)
dan pendekatan filsafat (philosophical approach). Adapun masing-masing
pendekatan menenkankan pada fokus kajian yang berbeda yakni sebagai berikut :
1. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meneliti berbagai
peraturan hukum yang menjadi fokus dalam penelitian. Dalam hal ini,
pendekatan perundang-undangan beranjak pada peraturan perundang-
undangan yang memiliki korelasi dan koherensi perihal pemilihan umum
khususnya yang memuat pengaturan ambang batas formal, serta materi
terkait lainnya yang menjadi bagian kajian penelitian ini.
2. Pendekatan analisis dan konseptual hukum dilakukan dengan menelaah
teori-teori hukum maupun pandangan dari para sarjana, yang kemudian
dianalisis relevansinya terkait dengan permasalahan pengaturan ambang
batas formal.
-
25
3. Pendekatan sejarah dilakukan dengan menilik dari sejarah penormaan
hukum penyelenggaraan pemilihan umum, baik pemilihan umum sebelum
maupun sesudah diberlakukannya pengaturan ambang batas formal.
4. Pendekatan perbandingan merupakan elaborasi dari pendekatan
perundangan-undangan dengan memperbandingkan dengan undang-
undang yang berlaku di berbagai negara, khususnya yang mengatur
ambang batas formal.
5. Pendekatan filsafat beranjak dari dasar ontologis dan landasan filosofis
Pancasila dan UUD 1945, serta rasio hukum dari ketentuan-ketentuan
tertentu dalam UUD 1945, khususnya tentang Demokrasi, Pemilihan
Umum, dan Hak Asasi Manusia.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan untuk memecahkan masalah sebagaimana
yang telah dirumuskan dalam penelitian hukum ini adalah bersumber dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
Bahan hukum primer (primary law material) terdiri dari peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi. Adapun bahan hukum primer yang
digunakan terkait dengan lingkup permasalahan adalah sebagai berikut :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya;
3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum; 4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
-
26
5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
6) Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights;
7) Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
8) Undang Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
9) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;
10) Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
11) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
12) Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.
13) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 atas Pengujian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
14) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 atas Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Bahan hukum sekunder (secondary law material) yang digunakan dalam
penelitian hukum umumnya adalah seperti buku-buku teks ilmu hukum dan jurnal
ilmiah terpublikasi. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian hukum normatif ini antara lain berupa : buku-buku, maupun literatur-
literatur, termasuk literatur asing yang memuat teori-teori hukum, asas-asas, dan
konsep hukum yang dipandang relevan dengan permasalahan yang diteliti untuk
dikutip dan menjadi landasan pembenaran dalam menjawab permasalahan.
-
27
Selain bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdapat pula
bahan hukum tertier (tertiary law material) untuk menunjang bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan. Adapun bahan hukum tertier
yang digunakan sebagai penunjang adalah kamus hukum, kamus besar bahasa
Indonesia, kamus bahasa inggris, ensiklopedia, serta situs internet sebagai media
online yang memuat berita terkait dengan permasalahan yang diteliti.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum ini, bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan
menggunakan teknik studi pustaka atau library research. Penelitian ini dilakukan
dengan memeriksa pustaka atau literatur hukum yang memiliki relevansi dengan
materi kajian dan telah terpublikasi, seperti peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan, buku-buku ilmu hukum. Adapun literatur-literatur hukum
yang dimaksud kemudian digunakan dalam hal menginventaris pandangan
maupun doktrin hukum dari para sarjana hukum untuk dikritisi ataupun sebagai
dasar pembenar dalam bahasan penelitian.
Gorys Keraf memaparkan bahwa terdapat tiga golongan bahan bacaan
dalam penelitian kepustakaan, yaitu sebagai berikut :
1. buku-buku atau bahan bacaan yang memberikan gambaran umum mengenai persoalan yang akan digarap. Tidak perlu dibuat catatan-
catatan dari buku-buku semacam ini
2. buku-buku yang harus dibaca secara mendalam dan cermat, karena bahan-bahan yang diperlukan untuk karya tulis terdapat di situ, Dari
bahan-bahan semacam inilah pengarang harus membuat kutipan-
kutipan yang diperlukan.
-
28
3. bahan bacaan tambahan yang menyediakan informasi untuk mengisi yang masih kurang untuk melengkapi karya tulis itu.
38
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik
penafsiran atau interpretasi dan teknik argumentasi. Von Savigny sebagaimana
dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa interpretasi
merupakan suatu rekonstruksi buah pikiran yang tak terungkapkan di dalam
undang-undang.39
Kegiatan interpretasi merupakan suatu upaya menemukan
kebenaran yang utuh atas suatu pemikiran yang telah ada dengan berpijak pada
satu bentuk perspektif dan memecahkan masalah yang belum terselesaikan.
Pemahaman hukum secara teoritik terkait dengan permasalahan, dianalisis
dengan interpretasi yang memiliki karakter hermeneutik hukum. Hermeneutik
berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang berarti menafsirkan atau
menginterpretasikan.40
Metode penafsiran dalam lingkaran hermeneutik
berlangsung dalam hubungan bolak balik antara bagian dan keseluruhan, antara
teks, konteks, dan kontekstualisasi, dalam rangka membentuk suatu pemahaman
yang utuh atas suatu permasalahan.41
Jimly Asshidiqie kemudian menyebutkan
bahwa aspek yang menjadi pedoman dalam melakukan interpretasi hermeneutika
hukum adalah keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, dan kemanfaatan.42
38 Gorys Keraf, 1994, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa,, Penerbit Nusa
Indah, Flores, hal. 166.
39
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 106.
40
I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, 2010, Filsafat Ilmu : Apa, Bagaimana, untuk Apa Ilmu
Pengetahuan itu dan Hubungannya dengan Agama?, Paramita, Surabaya, hal. 175.
41
Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.247. Lihat pula dalam I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, op.cit, hal. 178.
42
ibid, hal. 247.
-
29
Teknik interpretasi dapat digolongkan seperti penafsiran gramatikal,
historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain. Adapun bahan bahan
hukum yang telah diolah melalui teknik interpretasi, akan dielaborasikan dengan
teknik argumentasi. Teknik argumentasi merupakan teknik penilaian yang
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Penilaian yang
dimaksud berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah,
sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap bahan-bahan hukum.43
43 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal 61.
-
30
BAB II
DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMILIHAN UMUM
2.1. Konsepsi Demokrasi Konstitusional
Gagasan perihal konsep demokrasi konstitusional muncul sebagai bentuk
perkembangan paradigma negara modern yang menjadikan konstitusi sebagai
pengawal sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan prinsip one man, one vote,
one value yang pada akhirnya mengarahkan suatu keputusan dinilai secara
kuantitatif dan menjadi lebih berpihak pada kehendak mayoritas. Demokrasi yang
ideal merupakan rasionalisasi dari perwujudan prinsip-prinsip umum yang
mencakup setiap kehendak umum seluruh masyarakat. Disinilah peranan
konstitusi untuk memberikan jaminan atas perwujudan nilai-nilai tersebut dengan
cara membatasi mekanisme demokrasi secara hukum guna melindungi hak-hak
seluruh warga negaranya.44
Jimly Asshiddiqie berpendapat perihal demokrasi konstitusional
(constitutional democracy) merupakan suatu sistem dimana pelaksanaan
kedaulatan rakyat diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang
ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Demokrasi konstitusional menempatkan
bagaimana adanya suatu upaya dalam mewujudkan konsensus di antara
kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi), sebagai suatu
44 Janedjri M. Gaffar, 2012, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945), Konstitusi Press, Jakarta, hal. 184-185. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa demokrasi yang lebih mencerminkan kehendak mayoritas terkadang bertentangan dengan
prinsip kedaulatan rakyat menurut UUD. UUD mempertegas keberadaan Pasal 1 ayat (3) dimana
negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga demokrasi menjadi dibatasi oleh hukum dengan
puncaknya pada UUD 1945 untuk mengatasi kelemahan dalam demokrasi tersebut.
-
31
dua hal yang dianggap disharmoni namun melekat antara satu dan yang lain dalam
pencapaian tujuan negara yang melindungi masyarakat plural (plural society).45
Demokrasi konstitusional pada hakikatnya sangat diperlukan bila dibandingkan
dengan rezim totaliter atau otoriter yang telah tergantikan keberadaan pada paruh
kedua Abad Keduapuluh (constitutional democracy is virtually indispensable
when contrasted with the totalitarian or authoritarian regimes that it replaced in
the second half of the twentieth century).46
Bart Hassel dan Piotr Hofmanski sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede
Atmadja merinci empat ciri khas yang menjadi dasar dari konsep demokrasi
konstitusional sebagai berikut :
1. Undang-undang yang mempengaruhi kedudukan warga negara dibentuk oleh parlemen yang dipilih secara demokratis
2. Mencegah perilaku sewenang-wenang dari pemerintah 3. Peradilan yang bebas dalam menerapkan hukum pidana, dan
menguji peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah
4. Unsur material rule of law yakni perlindungan HAM, terutama kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat dan
berkumpul.47
Undang-undang dibuat oleh lembaga yang memiliki otoritas, yang anggotanya
dipilih dengan cara-cara yang demokratis, dengan tujuan agar masyarakat dapat
turut serta mengontrol jalannya fungsi negara dan menghindarkan terjadinya
praktek penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau kesewenang-
45 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 58.
46
Michel Rosenfeld, 2001, The Rule of Law and the Legitimacy of Constitutional
Democracy, dalam Southern California Law Review vol 74 (2001), Publisher University of
Southern California; School of Law; Gould School of Law, California, diakses dari http://www-
bcf.usc.edu/~usclrev/pdf/074503.pdf, tanggal 18 Maret 2013, hal. 1310.
47
I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara, dan Kajian
Kenegaraan), Setara Press, Malang, hal. 92-93.
-
32
wenangan (wilikeur). Jaminan akan hal tersebut dapat terwujud apabila setiap
lembaga peradilan, terlebih pada lembaga peradilan yang berwenang untuk
mengontrol setiap keputusan dan produk hukum yang dibuat oleh negara, dapat
berfungsi secara bebas dan mandiri.
Sementara konsepsi demokrasi konstitusional dari Adnan Buyung
Nasution yang dibangun dari pemikiran Herbert Feith ditandai dengan adanya
enam ciri, yaitu :
1. warga sipil memainkan peranan dominan; 2. partai politik memegang peranan yang sangat penting; 3. para pesaing politik menuju kekuasaan memperlihatkan rasa hormat
kepada rules of game, yang berhubungan rapat dengan konstitusi
yang berlaku;
4. kebanyakan anggota elite politik sedikit-banyak mempunyai rasa komitmen terhadap lambang yang bertalian dengan demokrasi
konstitusional;
5. kebebasan sipil jarang dilanggar; 6. pemerintah jarang menggunakan paksaan (coercion).48
Lebih lanjut Adnan Buyung Nasution memaparkan dua ciri yang menjadi prinsip
umum di dalam suatu negara konstitusional (constitutional state) adalah adanya
pengakuan dan jaminan hak-hak warga negara, serta pembatasan dan pengaturan
kekuasaan negara secara hukum.49
Adapun kedua unsur tersebut mengarahkan
konsep negara konstitusional yang dimaksud kepada konsep negara konstitusional
yang demokratis.
48 Lihat dalam Adnan Buyung Nasution, Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional,
Kompas, Jakarta, hal. 70-71. Dijelaskan bahwa Herbert Feith merumuskan enam ciri tersebut
sebagai tanda masa tumbuhnya sistem demokrasi konstitusional pada dunia perpolitikan di
Indonesia.
49
Taufiqurrohman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta,
hal. 35.
-
33
Demokrasi konstitusional terwujud salah satunya dari adanya
perlindungan hak asasi secara individual dan kebebasan (liberty) sehingga konsep
ini sering dipersepsikan dengan prinsip demokrasi liberal.50
Pentingnya
perlindungan hak asasi manusia dalam konsepsi demokrasi konstitusional
merupakan wujud konsekuensi dari tipologi negara hukum modern yang
melindungi kepentingan dasar warga negaranya. Hak asasi manusia adalah hak
yang bersifat mendasar (grounded) dan berhubungan erat dengan jati diri manusia
secara universal.51
Hak asasi dimiliki oleh warga negara secara dasariah dan yang
patut dilaksanakan pemerintah secara konstitusional.52
Hukum memberikan
jaminan perlindungan hak asasi, dalam arti hak hukum (legal right), kepada
seseorang dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum yang secara sah tercantum
dalam hukum yang berlaku.53
Pengaturan hak-hak asasi secara konstitusional
ditujukan dalam rangka formalisasi hak-hak tersebut yang mengatur bagaimana
tentang perlindungan hak, termasuk pembatasan hak-hak tersebut secara hukum.
Pembatasan kekuasaan negara melalui supremasi hukum sebagaimana
yang menjadi unsur demokrasi konstitusional merupakan konkretisasi dari prinsip
konstitusionalisme. Definisi konstitusionalisme menurut Carl. J. Friedrich
sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie adalahan institutionalized system of
effective, regularized restraints upon governmental action. Persoalan yang
diangap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai
50 I Dewa Gede Atmadja, Ilmu ..., op.cit, hal. 92.
51
Majda El-Muhtaj, op.cit, hal. 47.
52
Ramly Hutabarat, 1985, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) di
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 25.
53
Majda El-Muhtaj, op.cit, hal. 48-49.
-
34
pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah. Paham
konstitusionalisme menentukan adanya suatu sistem yang melembaga dan mampu
membatasi tindakan-tindakan dari pemerintah secara efektif oleh hukum, dalam
hal ini melalui konstitusi.54
Lebih lanjut Carl. J. Friedrich memberikan dua
pandangan konkret yang menjelaskan bagaimana pembatasan kekuasaan tersebut
dapat dilakukan, yakni melalui pembagian kekuasaan (distribution of power), dan
adanya konsensus atau kesepakatan umum di antara masyarakat.55
Perihal cara
yang pertama, bahwa pembatasan kekuasaan negara di dalam paham
konstitusionalisme merupakan kristalisasi dari konsep pemisahan kekuasaan,
dimana Baron de Montesquieu memisahkan kekuasaan menjadi tiga (Trias
Politica), yaitu:
a. kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang);
b. kekuasaan eksekutif (menjalankan undang-undang);
c. kekuasaan yudisial (mengadili atas pelanggaran undang-undang).56
Kemudian untuk faktor kedua perihal adanya konsensus dari masyarakat, bahwa
terdapat tiga aspek yang menjamin tegaknya prinsip konstitusionalisme, yaitu :
a. kesepakatan tentang tujuan dan penerimaan tentang falsafah negara;
b. kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan penyelenggaraan
pemerintahan;
c. kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan tersebut.57
54 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara..., op.cit, hal.93
55
I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD 1945), Setara Press, Malang, hal. 18-19.
56
Ismail Sunny, 1985, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, hal. 2.
-
35
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pelaksanaan demokrasi
konstitusional erat berkaitan dengan harmonisasi demokrasi dan nomokrasi dalam
penyelenggaraan suatu negara. Janedjri M. Gaffar mengklasifikasikan secara
konkret tiga bentuk pelaksanaan demokrasi konstitusional, yaitu :
1. adanya penataan hubungan antar lembaga negara; terkait dengan aspek
pencapaian tujuan negara demokrasi dan hukum, serta perihal pembatasan
kekuasaan dengan menghindari adanya akumulasi kekuasaan yang dapat
menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan (melalui pemisahan kekuasaan
dan check and balances).
2. adanya proses legislasi; terkait dengan pembuatan hukum secara
demokratis yang memperhatikan aspirasi masyarakat, serta perwujudan
dari cita benegara, cita demokrasi, dan cita hukum dalam konstitusi.
3. adanya judicial review; terkait dengan jaminan perwujudan demokrasi dan
nomokrasi guna menegakkan supremasi konstritusi melalui pengujian
konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan.58
Dari paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa demokrasi
konstitusional menempatkan paham konstitusionalisme di dalam kerangka
pembentuknya, dimana hak-hak warga negara hanya dapat dijamin apabila
kekuasaan pemerintah dapat dibatasi secara hukum sehingga tidak dapat bertindak
secara sewenang-wenang. Hukum yang dibuat, dalam arti undang-undang, wajib
dibentuk oleh lembaga perwakilan yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.
Keberadaan konstitusi dan perundang-undangan menjadi esensial dalam rangka
57 I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, op.cit. hal. 19.
58
Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional..., op.cit, hal. 13-14.
-
36
memberikan jaminan tersebut dan masyarakat dapat mempertahankan setiap hak-
haknya. Penegakan akan supremasi konstitusi menjadi penting dan adanya sarana
hukum untuk menguji perundangan-undangan terhadap undang-undang dasar
merupakan langkah yuridis sebagai kesatuan dari proses legislasi yang
demokratis.
2.2. Sistem Pemilihan Umum
2.2.1. Definisi Sistem Hukum
Secara etimologis, sistem berasal dari Bahasa Inggris yaitu system yang
berarti sistem, susunan, jaringan, dan cara.59
Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan sistem sebagai perangkat unsur yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas ; susunan yang teratur dari
pandangan, teori, asas.60
Sistem sebagai suatu kesatuan terbentuk dari beberapa
unsur atau elemen dimana antara satu dengan yang lainnya memiliki keterikatan
secara fungsional, berpola, konsisten, dan diterapkan pada hal yang bersifat
immaterial maupun material.61
Sistem menandakan adanya suatu kombinasi
teratur di antara bagian dan keseluruhan dengan diiringi adanya hubungan dan
koneksi sehingga menyebabkan dapat berfungsi.
59 John M. Echols dan Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris Indonesia (An English
Indonesia Dictionary). PT. Gramedia, Jakarta, hal. 575.
60
Departemen Pendidikan Nasional, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
(Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1320.
61
Rusadi Kantaprawira, 1985, Sistem Politik Indonesia (Suatu Model Pengantar), Penerbit
Sinar Baru, Bandung, hal. 7.
-
37
Kamus Blacks Law memberikan definisi system sebagai orderly
combination or arrangement, as of particulars, parts, or elements into a whole;
especially such combination according to some rational principle; any methodic
arrangement of parts.62
Terminologi sistem yang dipadankan dengan hukum
memberikan konsekuensi terhadap definisi dari hukum itu sendiri. Ludwig von
Bertalanffy mendefinisikan sistem di dalam hukum sebagai ...complexes of
elements in interaction, to which certain law can be applied (sistem adalah
himpunan unsur atau elemen yang saling mempengaruhi, dimana hukum tertentu
menjadi berlaku).63
Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa sistem hukum
merupakan suatu kesatuan yang terorganisasi, terstruktur, yang terdiri dari unsur-
unsur atau bagian-bagian yang mengadakan interaksi satu sama lain dan
mengadakan kerja sama untuk kepentingan tujuan kesatuan.64
Keseluruhan
definisi tersebut menyiratkan bahwa konsekuensi logis yang terbentuk dalam
sistem hukum menempatkan tiga aspek yang menjadi cirinya, yakni adanya unsur
hukum, interaksi hukum, dan tujuan hukum.
Bruggink yang mengutip teori dari Kees Schuit menggolongkan u