upaya timor leste dalam menyelesaikan sengketa...
TRANSCRIPT
UPAYA TIMOR LESTE DALAM MENYELESAIKAN
SENGKETA LAUT TIMOR DENGAN AUSTRALIA PADA
PERIODE 2012-2016
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Abid Muzammil Al-lathif
1113113000019
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
iv
ABSTRAK
Penelitian ini akan menjelaskan upaya-upaya Timor Leste dalam menyelesaikan
sengketa Laut Timor dengan Australia pada periode 2012-2016. Pemilihan
periodesasi tahun 2012 sampai dengan 2016 dikarenakan pada periode itu persoalan
mengenai penyelesaian perbatasan antara Timor Leste dan Australia mulai lebih
terstruktur dan berani. Masalah dan kontroversi yang muncul pada tahun-tahun
setelah kemerdekaan Timor Timur mengarah pada studi sengketa perbatasan antara
Timor Leste dan Australia untuk mengembangkan studi tentang proses pemulihan
dari wilayah laut Timor. Penelitian ini ditulis dengan menggunakan metode kualitatif
dengan pengumpulan data berupa analisis pustaka yang mengandalkan referensi
berupa dokumen, buku, jurnal, artikel dan berita.
Penelitian ini menggunakan Konsep kepentingan nasional, konsep diplomasi
perbatasan, konsep perbatasan dan konsep penentuan wilayah perbatasan. Melalui
empat konsep tersebut penelitian dapat menemukan banyak upaya-upaya Timor
Leste dalam proses penyelesaian perbatasan. Seperti, membangun opini publik
menggunakan diplomasi publik, melakukan diplomasi perbatasan antara kedua belah
pihak tanpa adanya pihak ketiga, menggunakan jalur hukum dibawah PBB sebagai
jalan keluar, menciptakan Dewan Batas Maritim dengan fokus menyelesaikan
persengketaan ini dan juga banyak yang lainnya.
Keyword: Upaya Timor Leste, Sengketa Perbatasan, Diplomasi, Australia, Laut
Timor
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahirabbil‟alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas berkah Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan lancar. Shalawat serta salam juga penulis curahkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga
akhir zaman serta menuntun kami ke jalan yang benar.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk yang teristimewa, dan tiada gantinya
kedua orang tua penulis, Alm. Abah Nadhir Lathif, Ibunda Mas‟ulatin dan Mbahbuk
Mutiah. Terima kasih Abah, Ibu dan Mbahbuk yang telah melimpahkan kasih
sayang, doa dan dukungan serta telah menanamkan semangat berjuang kepada
penulis untuk menggapai cita-cita. Tak lupa kepada saudara kandung penulis, Adik
Vina dan Adik Diana yang selalu ceria dalam keadaan apapun membuat penulis
bersemangat dalam melaksanakan studi dan menyelesaikan skripsi ini.
Selama masa studi hingga penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis
mendapat banyak bantuan dan dukungan baik secara spiritual, moral maupun ejekan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan segenap hati
penulis mengucapkan terima kasih kepada yang penulis hormati dan banggakan:
1. Kepala Prodi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bapak Ahmad Alfajri, M.A, dan Sekretaris Prodi, Ibu
Eva Mushoffa, MHSPS.
2. Ibu Rahmi Fitriyanti, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan
sabar telah mendedikasikan waktu dan pikiran ditengah-tengah
vi
kesibukannya. Selalu memberikan arahan, motivasi, dukungan dan ilmu
kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Irfan R. Hutagalung, SH, LL., M dan Bapak Febri Dirgantara
Hasibuan, MM selaku dosen penguji dan seluruh jajaran staff dan pengajar di
Prodi Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan masukan serta kritikan yang
membangun untuk menjadikan skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.
Jakarta, 24 Januari 2019
Abid Muzammil Al-lathif
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME …………………….……………… i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI …………………………………... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI …………………………………. iii
ABSTRAK ……………………………………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………………... v
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. vii
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………….. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………….………………………………… 1
B. Pertanyaan Penelitian ………………………………………………. 7
C. Tujuan Penelitian …………………………………………………... 7
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………. 7
E. Tinjauan Pustaka …………………………………………………… 8
F. Kerangka Konseptual …………………………………………...… 15
G. Metode Penelitian …………………………………………………. 23
H. Sistematika Penulisan ……………………………………………... 24
BAB II HUBUNGAN DAN KERJASAMA TIMOR LESTE DAN AUSTRALIA
A. Peranan Australia dalam Kemerdekaan Timor Leste ……………… 26
B. Hubungan Bilateral ………………………………………………….30
1. Pemerintahan ……………………………………………………30
2. Bantuan Pembangunan dan Manajemen ………………………. 31
3. Kerjasama Ekonomi, Perdagangan dan Investasi ……………... 32
4. Bidang Budaya dan Pendidikan ……………………………….. 34
BAB III PERSENGKETAAN LAUT TIMOR ANTARA TIMOR LESTE DAN
AUSTRALIA
A. Kondisi Umun Laut Timor ………………………………………… 36
B. Sejarah Perbatasan antara Indonesia-Australia di Laut Timor …….. 39
C. Klaim Wilayah Perbatasan di Laut Timor antara
viii
Timor Leste-Australia ………………………………………………44
D. Kerangka Hukum UNCLOS tentang Batas Maritim dan Eksplorasi
SDA………………………………………………………….……... 48
1. Konsep Landas Kontinen ……………………………………… 48
2. Konsep Zona Ekonomi Eksklusif ………………………….…... 50
BAB IV UPAYA TIMOR LESTE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA
LAUT TIMOR DENGAN AUSTRALIA PADA PERIODE 2012-2016
A. Upaya Membangun Opini Publik ………………………………..... 54
B. Upaya Melakukan Proses Konsiliasi ….………………………..….. 61
C. Membentuk Dewan Batas Maritim ………………………………....67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………..……………... 72
B. Saran ………………………………………………………………... 74
DAFTAR PUSTAKA ……………………………..…………….……………..... xi
ix
DAFTAR SINGKATAN
ACFOA : Australian Council for Overseas Aid
ADF : Australian Defence Force
AFP : Australian Federal Police
ASIO : Australian Security Intelligence Organization
AusAID : the Australian Agency for International Development
CMATS : Certain Maritime Arragements in the Timor Sea
DIBP : Department of Immiggration and Border Protection
IBRU : International Boundary Research Unit
ICJ : International Court of Justice
ICRC : the International Committee of the Red Cross
INTERFET : International Force in East Timor
JPDA : Joing Petroleum Development Area
LNG : Liqquefied Natural Gas
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat
NSW : New South Wales
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PCA : Permanent Court of Arbitration
PDB : Produk Domestik Bruto
PM : Perdana Menteri
PTL : Perjanjian Laut Timor
RDTL : Republica Democratica de Timor Leste
STUA : Sunrise and Troubadour Unitization Agreement
TAFE : Technical and Further Education
UNCLOS : United Nations Convention on the Law of the Sea
x
UNTAET : United Nations transition in East Timor
UNTL : Universidade Nacional de Timor-Leste
ZEE : Zona Ekonomi Eksklusif
ZOC : Zone of Cooperation
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Timor Leste sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat di
abad ke-21 dengan nama resminya Republica Democratica de Timor Leste (RDTL).
Sejak saat itu pula pemerintahan Timor Leste mulai menata urusan dalam negeri
maupun luar negerinya, termasuk persoalan mengenai sumber daya alam yang
berada di Laut Timor. Bersamaan dengan kemerdekaan yang diperoleh Timor Leste,
Australia dan Timor Leste menyepakati Perjanjian Laut Timor (PLT) untuk
menggantikan Perjanjian Laut Timor yang telah berakhir1.
Sebagai negara yang baru hadir dalam zona perpolitikan internasional, Timor
Leste tentunya harus melakukan penataan di berbagai bidang nasionalnya. Sudah
tidak asing lagi bagi negara baru pasti memiliki banyak permasalahan, seperti yang
di alami Timor Leste khususnya mengenai perbatasan Laut Timor yang diperebutkan
dengan Australia karena adanya suatu wilayah yang disebut dengan Celah Timor.
Greater Sunrise merupakan ladang minyak dan gas alam yang terbesar di kawasan
Celah Timor. Teori dua landas benua Australia merupakan dasar awal dari klaim
Australia terhadap ladang Greater Sunrise di Laut Timor yang secara geografis lebih
berdekatan dengan negara Timor Leste. Australia merasa klaim atas teritorialnya
yang sah sesuai dengan Konvensi Genewa tentang Hukum Laut 1958, sementara
1 Susan Simpson, 2014, “A Timeline of Events leading up to Timor-Leste‟s ICJ Claims
Againts Australia”, http://viewfromII2.com/2014/01/25/a-timeline-of-events-leading-up-to-timur-
leste-icj-claim-againts-australia/, diakses 22 April 2016 pukul 21.01.
2
Timor Leste merasa lebih berhak dengan konvensi PBB mengenai hukum laut
(United Nations Convention on the Law of the Sea) UNCLOS 19822.
Berkaitan dengan disepakatinya PLT pada tahun 2002, serta masih belum
disepakatinya penetapan batas maritim antara Australia dan Timor Leste,
dibentuklah Joing Petroleum Development Area (JPDA) di bawah Administrasi
Otoritas Khusus untuk Laut Timor. Sementara itu, wilayah di luar JPDA berada pada
wilayah sengketa klaim oleh kedua negara3.
Berdasarkan PLT, kedua negara bersepakat untuk mengelola Laut Timur
bersama, kekayaan minyak itu akan dibagi 90% untuk Timor Leste dan 10% untuk
Australia. Timor Leste berhak mendapatkan 100% dari kekayaan Laut Celah Timor
jika kedua negara menggunakan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang
berlaku. Ladang minyak Greater Sunrise sebagian besar berada di kawasan JPDA
sehingga kedua sepakat untuk melakukan perundingan membahas pembagian hasil
ladang itu bersama. Di dalam JPDA terdapat tiga ladang minyak, yaitu Elang
Kakatua, Bayu-Undang dan Jahal Kuda Tasi. Sedangkan ladang Laminaria Carolina
dan Bufallo berada di luar JPDA4.
Perundingan Timor Leste dan Australia Sejak tahun 2002 telah menghasilkan
tiga kesepakatan pengelolaan sumber minyak dan gas di Laut Timor, yaitu Perjanjian
Laut Timor pada tahun 2002, Sunrise and Trobadour Unitizayion Agreement
(STUA) pada tahun 2003 dan Perjanjian Certain Maritime Arragements in the Timor
Sea (CMATS) pada tahun 2006. Tiga kesepakatan tersebut, terutama Perjanjian
2 Raimundo de Fatima Alves. 2011 Upaya Timor Leste dalam Menyelesaikan Batas Wilayah
dengan Australia. Other thesis, UPN "VETERAN" YOGYAKARTA.
http://repository.upnyk.ac.id/1405/ di akses pada 23 April 2016 pukul 20.54 3 Guteriano Neves (et.al.), 2008, “LNG Sunrise di Timor-Leste: Impian, Kekayaan dan
Tantangan”, Laporan La‟o Hamutuk Institut Pemantau dan Rekonstruksi Timor Leste, hal. 11. 4 Maria Afonso de Jesus, Tasi Timor, Buletin la‟o Hamutuk oleh institute Pemantau dan
Analisis Rekonstruksi Timor Leste vol.4, no 5. Juli 2002, hal. 3
3
CMATS, menetapkan kerjasama dalam pengelolaan sumber minyak dan gas di Laut
Timor, namun tidak menyelesaikan permasalahan dasar mengenai batas-batas laut
antara kedua negara. Perjanjian CMATS dihasilkan dari suatu proses diplomatis
yang berlangsung lebih dari 30 tahun yang memperpanjang ketentuan bahwa
penyelesaian setiap sengketa perjanjian akan dilakukan melalui perundingan bilateral
dengan menunda memutuskan negara mana yang memiliki wilayah laut dan dasar
laut yang mana hingga 40-50 tahun ke depan5. Perjanjian CMATS merupakan suatu
kerangka kerja yang mengatur mekanisme pelaksanaan produksi, pembagian hasil
ekstraksi (50:50), hingga opsi-opsi pembangunan pipa proyek Greater Sunrise antara
Australia dan Timor Leste.
Australia merupakan salah satu negara pemberi bantuan dan merupakan
negara tetangga di selatan Timor Leste yang sangat maju baik secara politk, ekonomi
dan militer. Namun, pemerintah Australia menunjukkan sikap ketidakmauan untuk
membicarakan batas laut sesuai dengan hukum internasional. Hal ini menjadi
kendala dalam perundingan batas laut antara kedua negara tersebut, sehingga
pemerintah transisi Timor leste yang dibawahi United Nations transition in East
Timor (UNTAET) gagal melewati proses penyelesaian perbatasan dengan Australia,
karena Australia ingin melakukan eksplorasi dan eksploitasi ilegal minyak dan gas di
Celah Timor tanpa adanya batas wilayah dan batas dasar laut6.
Australia mengambil kebijakan untuk tidak mengambil jalur legal dalam
masalah penyelesaian sengketa dengan Timor Leste melalui badan Hukum Laut PBB
yaitu UNCLOS dan International Court of Justice (ICJ). Timor Leste terus
mendesak Australia untuk menyelesaikan sengketa melalui badan hukum Mahkamah
5 Buletin La‟o Hamutuk, “Kronologi Negosiasi laut Timor”, Perjanjian CMATS, Vol.7, No.
1, April 2006, hal.1. 6 Mauna Boer, 2000, “Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global”,. PT.
Alumni: Jakarta. hal. 42
4
Arbitrase Internasional, agar kekayaan yang ada di Laut Timur bisa digunakan Timor
Leste untuk membangun negaranya. Namun, Australia memilih jalur negosiasi
bilateral antara kedua negara untuk menyelesaikan permasalahan yang ada7.
Hubungan antarkedua negara relatif didominasi oleh Australia sebagai negara
yang banyak berperan membantu kemerdekaan Timor Leste. Peran ini ditunjukkan
dengan kontribusi Australia dalam pasukan penjaga perdamaian PBB ketika Timor
Leste menyatakan memisahkan diri dari Indonesia melalui proses referendum.
Australia dipercaya oleh PBB sebagai pemimpin pasukan penjaga perdamaian
sekaligus sebagai pemimpin Pemerintahan Sementara PBB di Timor Leste. Selama
masa kepemimpinannya ini, Timor Leste terus melakukan negosisasi dengan
Australia mengenai pembagian hasil di Laut Timor. Posisi Australia sebagai
pemimpin pasukan perdamaian tersebut secara politik dimanfaatkan oleh pemerintah
Australia untuk mencapai kepentingan ekonominya sejak awal kemerdekaan Timor
Leste8.
Keinginan Australia untuk menguasai pengelolaan sumber daya minyak dan
gas di Celah Timor merupakan salah satu bentuk implementasi dari prioritas
kebijakan luar negeri Australia. Dalam pencapaian tujuan kebijakan luar negerinya
tersebut, Australia menerapkan unsur pengaruh melalui penggunaan tekanan politik
terhadap Timor Leste yang memiliki arti strategis bagi keamanan dan kepentingan
ekonominya. Hal ini berkaitan dengan tercapainya Perjanjian CMATS dalam
pengelolaan proyek Greater Sunrise di Laut Timor antara Australia dan Timor Leste
pada tahun 2006.
7 Rawul Yulian R. “Upaya Timor Leste dalam Penyelesaian Garis Tapal Batas dengan
Australia”. Vol.1, no.2, 2013, hal. 277 8 Rawul Yulian R. “Upaya Timor Leste dalam Penyelesaian Garis Tapal Batas dengan
Australia”. Vol.1, no.2, 2013, hal. 280
5
Perjanjian CMATS diratifikasi oleh Timor Leste bersamaan dengan
Perjanjian Penyatuan Internasional Sunrise pada 20 Februari 2007 dengan proses
yang tertutup untuk publik. Australia meratifikasi Perjanjian CMATS pada 22
Februari 2007 tanpa menunggu persetujuan parlemen mengenai periode ratifikasi
dengan pengecualian kepentingan nasional agar perjanjian ini dapat diberlakukan
pada hari berikutnya.9 Penjelasan kepentingan nasional Australia tersebut adalah
menciptakan stabilitas legal untuk eksplorasi dan eksploitasi kekayaan minyak di
Laut Timor antara Timor Leste dan Australia tanpa melanggar klaim atas batas laut.
Dalam isi perjanjian CMATS, penyelesaian sengketa CMATS berlawanan
dengan IUA, Perjanjian CMATS melarang arbitrasi atau keterlibatan yudisial kecuali
dalam satu hal yang sempit. Ia menetapkan bahwa sengketa mengenai perjanjian
CMATS diselesaikan dengan konsultasi atau perundingan, suatu proses yang hampir
selalu menguntungkan pihak yang lebih kuat. Tetapi, sengketa mengenai
pengumpulan dan pembagian pajak dari Greater Sunrise bisa diatasi oleh seorang
penasehat atau seorang penengah yang ditunjuk oleh kedua negara atau oleh satu
badan internasional yang tidak memihak10
.
Sejak 2002 kemerdekaan Timor Leste diperoleh, permasalahan yang belum
terselesaikan sampai saat ini adalah perebutan dengan penentuan batas maritim
dengan Australia. Pemerintahan Timor Leste terus berupaya untuk mendapatkan hak
kedaulatan sesuai dengan hukum Internasional. Pada Desember 2012, Menteri Luar
Negeri Timor Leste, Jose Luis Guterres, menuliskan surat resmi kepada Perdana
Menteri Australia Julia Gillard atas ketidakpuasan Timor Leste terhadap CMATS.
9 Buletin La‟o Hamutuk, “Penjelasan Terhadap Kepentingan Nasional Australia”,
Penyaringan PNTL Untuk Kembali Bertugas, Vol.8, No.2, Juni 2007, hal. 11.
10 Buletin La‟o Hamutuk, “Kronologi Negosiasi Laut Timor”, Perjanjian CMATS, Vol.7,
No. 1, April 2006, hal. 10.
6
Hal ini menjadi awal digalakkannya kembali persoalan negosiasi perbatasan dengan
Australia.
Demo besar-besaran terjadi mewarnai halaman gedung Kedutaan Australia di
Dili pada bulan Maret 2016, menuntut agar Australia melakukan perundingan ulang
terkait Celah Timor dan tidak mengambil hak kekayaan negaranya. Timor Leste
membawa sengketa maritimnya dengan Australia kepada Mahkamah Arbitrase
Internasional untuk segera diselesaikan. Pemerintah Australia mencoba meyakinkan
para hakim di Mahkamah Arbitrase bahwa soal perbatasan laut sudah dirundingkan
secara bilateral antara kedua negara pada tahun 2006. Tapi panel hakim menyatakan,
korespondensi antara Canberra dan Dili saat itu “tidak merupakan perjanjian, karena
korespondensi itu tidak mengikat secara hukum”11
.
Ketidakadilan Australia dalam penetapan pembagian wilayah Greater Sunrise
menurut Perjanjian STUA menimbulkan kontroversi yang mengundang reaksi dari
berbagai negara dan aktivis LSM yang mendukung Timor Leste. Timor Leste pun
mengajukan penyelesaian sengketa perbatasan maritim ini melalui Mahkamah
Internasional (International Court of Justice) dan sesuai Konvensi Hukum Laut PBB
(UNCLOS). Pada 21 Maret 2002, Australia menarik diri dari kasus perbatasan Laut
Timor yang dilimpahkan oleh Timor Leste kepada Mahkamah Pengadilan
Internasional dan menyatakan keinginannya untuk menyelesaikan permasalahan
melalui perundingan bilateral dengan Timor Leste12
. Hal ini menunjukkan bahwa
Australia mementingkan Kekuatan bargaining position secara diplomatik bilateral
11
Mahkamah Arbitrtase Den Haag Setuju Bahas Celah Timor,
http://www.dw.com/id/mahkamah-arbitrase-den-haag-setuju-bahas-celah-timor/a-35891068 pada 30
September 2016 pukul 15.38 12
Guteriano Neves, et.al. 2008.LNG Sunrise di Timor Leste: Impian, Kenyataan dan
Tantangan, Timor Leste: La‟o Hamutuk. hal. 94.
7
terhadap Timor Leste. Australia sebagai negara yang memiliki pengaruh politik
besar sejak lama terhadap Timor Leste menjadikan Bargaining position bagi
Australia.
B. Pertanyaan Penelitian
Dalam penjelasannya pernyataan penelitian diatas, maka akan dilakukan riset
lebih jauh dengan mengangkat pertanyaan masalah sebagai berikut, “Bagaimana
upaya Timor Leste dalam menyelesaikan sengketa Laut Timur dengan Australia
pada periode 2012-2016?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui sejauh mana sejauh mana upaya Timor Leste dalam
menyelesaikan masalah sengketa perbatasan di Laut Timor dengan
Australia pada tahun 2012-2016.
b. Untuk mengetahui proses-proses perjuangan Timor Leste dalam
menetukan batas maritim permanen di Laut Timor dengan Australia.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Bagi para akademisi, dapat memberikan sumbangan pemikiran, ide atau
gagasan untuk menambah literatur atau bahan referensi pada
perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Bagi para praktisi, khususnya para pengamat ekonomi politik intenasional
sebagai bahan tambahan dalam melihat pergelokan yang terjadi pada
kasus sengketa sumber daya alam di Laut Timor.
8
c. Bagi semua pihak, sebagai sarana penambah wawasan keilmuan dan
memperkaya khazanah pengetahuan mengenai hubungan antara Timor
Leste dan Australia dalam studi kasus sengketa sumber daya alam Laut
Timor.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam Jurnal yang di tulis oleh Fiqih Dwimurti Kampau dengan judul
Kerangka Kerja Perjanjian CMATS ini mengkaji lebih dalam mengenai seluk beluk
perjanjian CMATS yang mengikat kedua belah pihak. Melihat kepentingan-
kepentingan ekonomi politik Australia terhadap Celah Timor sebagai kekuatan
menegah (Medium Power) di antara negara-negara besar merupakan major power di
antara negara-negara kawasan Asia Pasifik. Isu Timor Timur telah sejak lama
menjadi bagian dari politik dalam negeri Australia. Kepentingan politik Australia
yang paling kentara terhadap Timor Timur pertama kalinya adalah menghindari
melebarnya konflik di Timor Timur pada tahun 1970-an yang menjadi ancaman bagi
wilayah Australia. Australia menghendaki kondisi Timor Timur stabil sehingga
hubungan politik RI-Australia tidak terganggu, sehingga pada waktu itu Australia
seperti memihak dengan Indonesia dengan mengakui batas-batas wilayah di daerah
Timor Timur. Puncak pengakuan itu adalah disepakatinya pembagian Celah Timor
berdasarkan ketentuan yang disepakati kedua pihak oleh Menlu Ali Alatas dan
Menlu Gareth Evans.
Keinginan Australia untuk menguasai pengelolaan sumber daya minyak dan
gas di Celah Timor merupakan salah satu bentuk implementasi dari prioritas
kebijakan luar negeri Australia. Dalam perkembangan hubungan ekonomi politik
Timor Leste–Australia terdapat tiga perbenturan kepentingan yang intensif.
9
Pertama, keinginan Australia untuk mendapatkan akses istimewa terhadap sumber
daya alam khususnya minyak dan gas yang bertolak belakang dengan ketetapan
Timor Leste yang mengklaim dan menuntut kedaulatan atas sumber daya tersebut.
Kedua, keinginan Australia untuk membangun institusi ekonomi publik yang
berlandaskan privatisasi dan pasar terbuka yang dihalangi oleh pemerintahan
Fretilin. Ketiga, keinginan Australia untuk menjadi kekuatan utama terhalang oleh
keinginan Timor Leste yang membangun kerjasama dengan Portugis dan China.
Hubungan kerjasama antara Australia dan Timor Leste berpijak pada power
dan kemampuan diplomasi, yang terutama berkaitan dengan kondisi interdependensi
yang asimetris Dalam hal ini, Australia merupakan major power di kawasan Asia
Pasifik, sementara Timor Leste adalah bagian dari wilayah pengaruh (sphere of
influence) Australia. Australia merupakan negara yang mampu menerapkan power
yang dimilikinya untuk mencapai tujuan terhadap hubungan kerjasamanya dengan
Timor Leste.
Dalam hubungan kerjasama antara Australia dan Timor Leste, Australia
menerapkan unsur pengaruh (influence), yaitu melalui penggunaan tekanan politik.
Tekanan politik merupakan alat-alat persuasi (tanpa kekerasan) oleh Australia
terhadap Timor Leste untuk menjamin agar perilaku Timor Leste sesuai dengan
keinginan Australia. Hal ini berkaitan dengan tercapainya Perjanjian CMATS dalam
pengelolaan proyek Greater Sunrise di Laut Timor antara Australia dan Timor Leste.
Keterlibatan negara Australia terhadap kemerdekaan Timor Leste secara
tidak langsung memberikan posisi politik tersendiri bagi Australia di negara tersebut.
Posisi ini semakin dikukuhkan dengan bantuan ekonomi dari Australia terhadap
pembangunan Timor Leste yang masih perlu melakukan penataan di berbagai
bidang. Australia menggunakan kesempatan tersebut untuk mencapai tujuannya
10
dalam memperluas akses terhadap kandungan minyak dan gas ladang Greater
Sunrise. Pembagian zona kerjasama berdasarkan Perjanjian Celah Timor 1989 yang
disepakati oleh Australia dan Indonesia merupakan pencapaian yang besar bagi
Australia.
Perjanjian CMATS merupakan perjanjian bilateral, yaitu kontrak yang
ditandatangani antara dua pemerintah yang kekuatannya lebih besar dibandingkan
hukum nasional. Perjanjian-perjanjian mengenai minyak dan gas antara Timor Leste
dan Australia tidak memungkinkan satu negara untuk mundur dari kesepakatan yang
telah dicapai tanpa mempertimbangkan pemimpin politik yang berkuasa. Perjanjian
dapat dibatalkan hanya jika kedua negara sepakat membatalkannya, sesuai dengan
pasal 54 Konvensi Wina 1969 mengenai Hukum Perjanjian. Kedua pemerintah juga
dimungkinkan untuk mengubah satu perjanjian yang telah diratifikasi, yaitu dengan
menentukan satu perjanjian yang baru.
Dalam pengelolaan proyek Greater Sunrise, Perjanjian CMATS merupakan
kerangka kerja yang mengesahkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kandungan
minyak dan gas alam di wilayah Laut Timor yang berada di luar JPDA. Perjanjian
CMATS berisi dua belas pasal, dua lampiran, dan dua surat penjelasan yang
mengubah isi Perjanjian Laut Timor 2002 dan STUA yang ditandatangani pada
tahun 2003. Pokok isi Perjanjian CMATS menjelaskan mengenai penundaan
pembahasan perbatasan laut dan pengesahan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya minyak dan gas alam di Greater Sunrise, jangka waktu perjanjian,
distribusi pendapatan, hak penangkapan ikan, komisi kelautan dan penyelesaian
sengketa Perjanjian CMATS.
Dalam Jurnal yang di tulis oleh Fiqih ini membahas jelas mengenai kerangka
perjanjian CMATS yang dirundingkan oleh Timor Leste dan Australia. Namun
11
kurang lengkap mengenai pasal-pasal yang tertera dalam perjanjian mengenai
pengelolahan kekayaan Laut Timor. Tidak dijelaskan pula mengenai sesuatu hal
yang dapat menggagalkan perjanjian itu sendiri. Maka dari itu merujuk ke Jurnal ini
sebagai tambahan refrensi yang tentunya akan dilengkapi.
Seperti juga dalam Jurnal Tiara Ika yang berjudul Pelanggaran Prinsip
Iktikad Baik Terhadap Negosiasi CMATS oleh Australia dijadikan acuan dalam
tinjauan pustaka. Karya ini digunakan sebagai rujukan karena merupakan satu dari
sedikit kajian yang membahas perlakuan Australia terhadap Timor Leste. Tiara
membahas mengenai pelanggaran iktikad baik terhadap negoisasi-negoisasi yang
dilakukan oleh Timor Leste.
Tiara memang hanya memfokuskan penelitiannya pada pelanggaran prinsip
iktikad pada negoisasi terhadap Timor Leste saja berupa pemasangan alat penyadap
diruangan untuk negoisasi pihak pemerintahan Timor Leste dan tidak membahas
mengenai pengingkaran janji negoisasi, sebagaimana yang akan di bahas. Tiara
menjelaskan secara detail kronologis penyadapan yang dilakukan oleh Australia,
aturan-aturan yang dilanggar serta atas dasar apa Asutralia menyadap Timor Leste.
Pada penelitian yang akan dijabarkan lebih kepada ketidakkonsistenan
Australia terhadap hukum-hukum internasional yang telah ditetapkan PBB. Timor
Leste menjadi korban kenakalan Australia dalam proses diplomasi dan perundingan
negoisasi untuk menentukan wilayah Laut Tmor, dimana di wilayah itu terdapat
kekayaan minyak yang besar. Australia menginginkan diplomasi dengan pihak
Timor Leste saja dengan alasan permasalahan ini cukup bisa diselesaikan tanpa
membawanya ke PBB, namun dengan power Australia yang lebih besar daripada
Timor Leste dimanfaatkan Australia dalam kepentingannya di Laut Timor.
12
Adapun yang terakhir dalam Jurnal Rawul Yulian Rahman dengan judul
Upaya Timor Leste dalam menyelesaikan Garis Tapal dengan Australia. Dalam
jurnal ini membahas mengenai upaya-upaya yang dilakukan Timor Leste dalam
menyelesaikan sengketa Laut Timor dengan Australia. Timor Leste sebagai negara
merdeka dan bertetangga dengan Australia dan Indonesia tentu menginginkan garis
batas antar negara tetangganya agar mendapat pengakuan dari dunia internasional.
Maka dari itu Timor Leste perlu mengadakan diplomasi terhadap Australia untuk
membicarakan mengenai perbatasan laut antara kedua negara tepatnya di laut Timor,
supaya kekayaan yang terkandung dilaut Timor bisa digunakan untuk pembangunan
politik dan ekonomi di Timor Leste.
Australia sebagai negara tetangga Timor Leste terus menerus berusaha untuk
memperluas akses pada ladang minyak dan gas di Laut Timor. Australia mengeklaim
bahwa Australia mendapatkan bagian yang lebih banyak karena mengacu pada
prinsip hokum yang berlaku sekarang, yang menetapkan perbatasan itu
dipertengahan antara garis pantai kedua negara. Tetapi bukannya memutuskan sesuai
dengan hukum atau melalui penengahan oleh pihak ketiga yang tidak memihak,
Australia mendesakkan perundingan bilateral. Ini memungkinkan perbedaan
kekuatan ekonomi dan politik dua negara mempengaruhi hasilnya, dan sangat
menguntungkan negara yang lebih kuat.
Hubungan Timor Leste dengan Australia, sementara waktu dijalankan oleh
UNTAET. Perundingan-perundingan mengenai batas wilayah kedaulatan Timor
Leste di Laut Timor pada masa ini diwakili UNTAET. Menteri Luar Negeri
Australia Alexande Downer, mengatakan bahwa tujuan dari pembicaraan dengan
pemerintah sementara Timor Leste adalah untuk mencapai kesepakatan dalam
13
menempatkan kesepakatan Celah Timor ke dalam kekuasaan Timor Leste yang telah
merdeka.
Hubungan antar kedua negara relatif didominasi oleh Australia sebagai
negara yang banyak berperan membantu kemerdekaan Timor Leste. Peran ini
ditunjukkan dengan kontribusi Australia dalam pasukan penjaga perdamaian PBB
ketika Timor Leste menyatakan memisahkan diri dari Indonesia melalui proses
referendum / jajak pendapat. Australia dipercaya oleh PBB sebagai pemimpin
pasukan penjaga perdamaian sekaligus sebagai pemimpin pemerintahan sementara
PBB di Timor Leste. Selama masa kepemimpinannya ini, Timor Leste terus
melakukan negoisasi dengan Australia mengenai pembagian hasil di Laut Timor.
Posisi Australia sebagai pemimpin pasukan perdamaian tersebut secara politik
dimanfaatkan oleh Pemerintah Australia untuk mencapai kepentingan ekonominya
sejak awal kemerdekaan Timor Leste.
Pembicaraan pertama mengenai perbatasan diadakan di Darwin pada tanggal
12 November 2003. Timor Leste mengajukan usul untuk mengadakan pertemuan
bulanan hingga permasalahan perbatasan diselesaikan, tetapi Australia hanya mau
bertemu setiap enam bulan, dengan alasan mereka tidak mempunyai cukup uang dan
orang untuk terus membahas persoalan batas perairan itu.
Dalam berbagai negoisasi, perwakilan Timor Leste menghendaki adanya
penentuan hak rakyat Timor Leste berdasarkan hukum internasional yang berlaku
yaitu UNCLOS, bukan berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat antara Australia
dan Indonesia tentang Celah Timor. Berdasarkan UNCLOS, Timor Leste harus
mendapatkan sebagian besar minyak dan gas alam yang ada di Celah Timor sejak
kemerdekaannya. Namun pada kenyataannya Australia menolak untuk mengadakan
negoisasi mengenai batas laut.
14
Sengketa wilayah perbatasan ini masih belum melihatkan hasil yang
permanen untuk kemakmuran bangsanya. Australia menolak membicarakan masalah
batas laut dalam beberapa kali perundingan dengan alasan bahwa harus melibatkan
Indonesia, sementara mantan menteri luar negeri Wirajuda menyatakan bahwa
Indonesia tidak ada urusan lagi di Celah Timor, maka melalui menteri luar negeri
Timor Leste Jose Ramos Horta menawarkan suatu penyelesaian kreatif bahwa Timor
Leste akan mengabaikan persoalan batas laut dengan Australia jika pembagian hasil
ladang minyak paling besar atau setidaknya masing masing mendapatkan 50 % dari
wilayah yang di sengketakan yaitu Celah Timor.
Selama ini Timor-Leste dan Australia telah membuat klaim perairan namun
belum dapat membatasi perbatasan perairannya, termasuk di wilayah Laut Timor
dimana Greater Sunrise berada. Padahal kalau dilihat berdasarkan batas equidistance
atau median line (batas pertengahan), Greater Sunrise ini juga menjadi milik negara
baru ini. Australia selama ini mencoba memaksa Timor Leste untuk melupakan
penentuan batas wilayah maritim sehingga mereka bisa mengklaim, produksi, untuk
membuat ketentuan-ketentuan bagi eksploitasi yang tidak terpisahkan di Celah
Timor.
Dalam Jurnal ini menganalisa upaya Timor Leste dalam penyelesaian garis
tapal batas dengan Australia pada tahun-tahun dimana Timor Leste belum cukup
lama mendapatkan kemerdekaan. Jurnal ini akan menjadi acuan untuk meneruskan
penelitiannya mengenai upaya Timor Leste dalam menuntut haknya, pada periode
2012-2016, karena pada masa ini pergejolakan mulai bengakit kembali dari pihak
Timor Leste.
Secara sistematis tentunya data-data yang akan dibutuhkan berbeda dengan
data yang telah ada. Di tiap-tiap sub bab akan diuraikan lebih jelas dan merinci, agar
15
pembaca bisa mengerti dengan baik maksud tulisan tersebut. Skripsi ini akan
membahas lebih rinci mengenai upaya-upaya penyelesaian sengketa Celah Timor,
Proses pengajuan sengketa ke Mahkamah Internasional dan lain halnya kepada
rintangan-rintangan yang ada.
F. Kerangka Konseptual
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini menggunakan empat
konsep yaitu, konsep kepentingan nasional, konsep perbatasan, konsep diplomasi
perbatasan, dan konsep penentuan wilayah perbatasan negara. Untuk membahas
upaya Timor Leste dalam menyelesaikan sengketa Laut Timur dengan Australia
pada 2012-2016 analisis skripsi ini dikembangkan dengan melihat dinamika
hubungan kedua negara.
1. Konsep Kepentingan Nasional
Dalam kepentingan nasional, peran „negara‟ sebagai aktor yang mengambil
keputusan dan memerankan peranan penting dalam pergaulan internasional berpengaruh
bagi masyarakat dalam negerinya. Demikian pentingnya karena ini yang akan menjadi
kemaslahatan bagi masyarakat yang berkehidupan di wilayah tersebut. Seorang ahli,
Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa negara dipandang sebagai pelindung wilayah,
penduduk, dan cara hidup yang khas dan berharga. Demikian karena negara merupakan
sesuatu yang esensial bagi kehidupan warga negaranya. Tanpa negara dalam menjamin
alat-alat maupun kondisi-kondisi keamanan ataupun dalam memajukan kesejahteraan,
16
kehidupan masyarakat jadi terbatasi13. Sehingga ruang gerak yang dimiliki oleh suatu
bangsa menjadi kontrol dari sebuah negara.
Kepentingan nasional tercipta dari kebutuhan suatu negara. Kepentingan ini
dapat dilihat dari kondisi internalnya, baik dari kondisi politik-ekonomi, militer, dan
sosial-budaya. Kepentingan juga didasari akan suatu „power‟ yang ingin diciptakan
sehingga negara dapat memberikan dampak langsung bagi pertimbangan negara agar
dapat pengakuan dunia. Peran suatu negara dalam memberikan bahan sebagai dasar dari
kepentingan nasional tidak dipungkiri akan menjadi kacamata masyarakat internasional
sebagai negara yang menjalin hubungan yang terlampir dari kebijakan luar negerinya.
Dengan demikian, kepentingan nasional secara konseptual dipergunakan untuk
menjelaskan perilaku politik luar negeri dari suatu negara14.
Adanya kepentingan nasional memberikan gambaran bahwa terdapat aspek-
aspek yang menjadi identitas dari negara. Hal tersebut dapat dilihat dari sejauh mana
fokus negara dalam memenuhi target pencapaian demi kelangsungan bangsanya. Dari
identitas yang diciptakan dapat dirumuskan apa yang menjadi target dalam waktu dekat,
bersifat sementara ataupun juga demi kelangsungan jangka panjang. Hal demikian juga
seiring dengan seberapa penting identitas tersebut apakah sangat penting maupun
sebagai hal yang tidak terlalu penting.
Dalam dunia internasional, kerjasama juga merupakan tindakan yang dipandang
sebagai panggung atau arena dalam tuntutan-tuntutan yang mana membahas mengenai
kepentingan akan aktor-aktor yang disebabkan karena keterbatasan yang melekat dalam
diri negara yang menjalin kerjasama. Sehingga dalam hal ini negara berusaha
13
Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Pustaka Pelajar:Yogyakarta. hal. 89
14
P.Anthonius Sitepu. 2011. Studi Hubungan Internasional. Graha Ilmu: Yogyakarta.
hal.163
17
menggunakan kepentingan nasional sebagai komponen yang dirumuskan dan kemudian
diperjuangkan dalam sebuah „relation‟.
Dalam studi kasus sengketa Laut Timor antara Timor Leste dengan Australia,
adalah karena didasari dengan kepentingan-kepentingan suatu negara yang terlibat.
Australia sebagai negara yang memiliki pengaruh besar terhadap Timor Leste memiliki
banyak kepentingan atas perbatasannya di Laut Timor. Kepentingan ekonomi sangat
dominan dalam kasus ini karena Laut Timor memiliki ladang minyak dan gas yang
sangat besar. Australia tentunya tidak ingin kesempatan mendapatkan hasil banyak dari
eksploitasi minyak dan gas terlewatkan. Australia memiliki ruang gerak yang bebas dan
berkuasa karena lawan negosiasinya merupakan negara yang baru saja merdeka dari
Indonesia.
Timor Leste selain memiliki kepentingan ekonomi juga memiliki kepentingan
geografis wilayahnya yang belum didapatkan. Secara hukum internasional Timor Leste
mengetahui bahwa jika perbatasan Laut Timor didapatkan secara permanen maka Timor
Leste akan mendapatkan ladang minyak dan gas tanpa berambisi menguasainya. Disisi
lain Timor Leste menginginkan hak kewenangan atas kedaulatan yang belum didapatkan
diperbatasan maritimnya.
2. Konsep Perbatasan (Hukum Internasional)
Perbatasan merupakan salah satu manifestasi penting dalam suatu garis
imajiner di atas permukaan bumi dan suatu garis yang memisahkan suatu daerah
lainnya15
. Dalam hal ini ada empat sengketa yang muncul di wilayah perbatasan,
yaitu:
15
Starke, J. G. 1989. “Pengantar Hukum Internasional”, Sinar Grafika: Jakarta. hal. 244
18
1. Positional Dispute yaitu sengketa yang terjadi akibat adanya perbedaan
interprestasi mengenai dokumen legal atau adanya perubahan di lokasi yang berupa
perubahan tanda-tanda fisik yang dipakai sebagai perbatasan.
2. Teritorial Dispute yaitu sengketa yang terjadi ketika dua atau lebih negara
mengklaim satu wilayah yang sama sebagai wilayahnya atau bagian dari wilayahnya.
Hal ini terjadi karena alasan sejarah atau kepentingan geografis.
3. Functional Dispute yaitu sengketa yang terjadi adanya pergerakan orang-orang
atau barang-barang karena yang tidak dijaga ketat.
4. Transboundary Resource Dispute adalah sengketa yang muncul karena adanya
eksploitasi sumber daya alam oleh negara lain dan merugikan negara lain di
perbatasan.
Suatu perbatasan semata-mata adalah suatu tanah perbatasan. Bagi ahli
strategi, yang penting adalah ada atau tidak adanya kepentingan, bagi pelaksanaan
pemerintah, tanah perbatasan itulah mungkin yang menjadi permasalahan, yaitu
menyangkut batas dari kewenanganya16
.
Perbatasan antara dua negara yang menjadi penting artinya dalam hukum.
Hal ini disebabkan karena perbatasan itulah kedaulatan masing-masing negara
berakhir. Sementara itu, penyelenggaran kedaulatan negara di kawasan ini sudah
mulai dipengaruhi oleh hukum internasional17
. Suatu negara dalam menjalankan
kedaulatan hanya sampai pada batas-batas wilayahnya. Di bagian lain dari garis
batas di sini, batas-batas wilayah hanya berfungsi sebagai alat pemisah yang dapat
16
Starke, J. G. 1989. “Pengantar Hukum Internasional”, Sinar Grafika: Jakarta. hal. 245 17
Wila. R. C. Mamixon. 2006. “Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan
Wilayah Perbatasan Antarnegara”, PT. Alumni: Bandung. hal. 235
19
memisahkan wilayah satu negara dengan wilayah negara lain, sekaligus dapat
mengakhiri kedaulatan dari negara–negara yang saling berbatasan18
.
Perjanjian tentang perbatasan mengikat para pihak (parties) pada sebelah-
menyebelah perbatasan. Perbatasan wilayah negara begitu pentingnya sehingga
perjanjian yang mengatur tentang perbatasan tetap berlaku dan dihormati, baik itu
dalam keadaan damai maupun negara dalam keadaan tidak bersahabat atau perang.
Pemerintah Timor Leste menganggap sangat penting masalah perbatasan
yang belum selesai dengan Australia karena, sebagai negara yang baru merdeka
Timor Leste berhak untuk mendapatkan ha katas perbatasannya guna mendapatkan
kedaulatan yang benar-benar nyata dalam wilayahnya. Diluar dari kepentingan
politik dan ekonomi, pemerintah Timor Leste menuntut hak dari kewenangannya
mendapatkan garis perbatasan yang permanen dengan negara-negara tetangganya
terutama dengan Australia.
3. Konsep Diplomasi Perbatasan
Diplomasi merupakan aktivitas pemerintah yang tidak hanya merupakan
pembuatan kebijakan sekaligus pelaksanaannya19
. Diplomasi perbatasan (Border
Diplomacy) merupakan pelaksanaan politik luar negeri dalam rangka penanganan
masalah perbatasan yang mencakup batas wilayah negara darat dan laut serta
pengelolaan berbagai masalah perbatasan yang berdimensi internasional20
.
Diplomasi perbatasan ini mempunyai tiga elemen penting (disarikan dari Arif
18
Wila. R. C. Mamixon. 2006. “Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan
Wilayah Perbatasan Antarnegara”, PT. Alumni: Bandung. hal. 266 19
S.L. Roy, 1999, “Diplomasi”, Rajawali Press: Jakarta, hal. 5 20
Arif Havas Oegroseno, “Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia”, hal. 13
www.Deplu.go.id di akses pada 23 November 2018 pukul 22.35
20
Havas Oegroseno, 2006:14-15)21
, yaitu :
1. Dengan persetujuan (by agreement): dilakukan melalui negosiasi sebagai
sebuah kewajiban hukum yang diatur dalam hukum nasional dan hukum
internasional. Dalam hal ini, perang bukan sebuah opsi.
2. Berdasarkan hukum internasional: maksudnya, hukum internasional dijadikan
sebagai dasar dalam penetapan perbatasan. Hukum internasional ini dapat
berupa konvensi-konvensi yang relevan, putusan hakim, dan putusan arbitrasi.
3. Mencapai “equitable result”: maksudnya adalah bahwa hasil penetapan
perbatasan akan memberikan dampak just,impartial, and fair.
Dengan demikian, Diplomasi Perbatasan (Border Diplomacy) merupakan
upaya yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara untuk menjamin kedaulatannya
melalui pengelolaan wilayah perbatasan. Upaya pemerintah dalam rangka
menyelenggarakan diplomasi perbatasan ini tentunya tidak dapat dilihat dari segi
hukum dan keamanannya saja, melainkan juga harus dilihat dari segi ekonominya.
Agar dapat diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat, maka suatu negara
membutuhkan wilayah yang batas-batasnya jelas. Hal ini perlu dilakukan karena
konflik yang muncul di wilayah perbatasan, bahkan pada perbatasan yang sudah
jelas status hukumnya, biasanya dipicu oleh persoalan sosial dan ekonominya22
.
Pada permasalahan di atas, maka persoalan yang menyebabkan munculnya
permasalahan di perbatasan atau sengketa perbatasan dipicu tidak hanya oleh
ketidakjelasan dasar hukum atau perbedaan persepsi mengenai status perbatasan,
melainkan juga dapat dipicu masalah sosial ekonomi di wilayah perbatasan.
21
Arif Havas Oegroseno, “Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia”, hal. 13
www.Deplu.go.id di akses pada 23 November 2018 pukul 22.35 22
Evi Rachmawati, Diplomasi Perbatasan Dalam Rangka Mempertahankan Kedaulatan
NKRI, Dalam Madu Ludiro, dkk. 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia Di Dunia Tanpa Batas: Isu,
Permasalahan dan pilihan kebijakan. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal. 91
21
Kegiatan ekonomi tersebut berupa perdagangan atau pengungsian. Karena itu
diplomasi perbatasan dapat diharapkan mengacu pada pertumbuhan dan
pengembangan ekonomi sosial di wilayah perbatasan sehingga mampu mengurangi
perbedaan sosial ekonomi di wilayah perbatasan23
.
Dalam hal ini upaya diplomasi perbatasan bagi pemerintah Timor Leste harus
benar-benar diperhatikan guna mendapatkan garis batas dengan Australia.
Berlandaskan hukum internasional yang menjadi acuan pemerintah Timor Leste
dalam menjalani upaya penyelesaian perbatasan dengan Australia. Pemerintah Timor
Leste dapat melakukan diplomasi perbatasan dengan Australia tanpa melibatkan
pihak ketiga apabila negosiasi berjalan dengan adil dan terbuka. Namun, jika
diplomasi kedua negara tidak mendapatkan hasil yang adil sesuai hukum
internasional maka setiap negara berhak menunjuk pihak ketiga, yakni Mahkamah
Arbitrase untuk memediasi kedua negara dalam mencapai tujuan negosiasi.
4. Konsep Penentuan Wilayah Perbatasan Negara
1. Delitimasi
Delimitasi adalah Penetapan Garis Batas antara dua negara yang sebagian
wilayahnya overlaping di laut. International Boundary Research Unit (IBRU)
mengemukakan bahwa pemerintah di seluruh dunia secara langsung maupun tidak
telah sepakat bahwa batas maritim yang terdefinisikan dengan jelas merupakan hal
yang penting bagi hubungan internasional yang baik dan pengelolaan laut yang
efektif24
. Proses ini dilakukan melalui diplomasi perbatasan antar kedua negara yang
23
Evi Rachmawati, Diplomasi Perbatasan Dalam Rangka Mempertahankan Kedaulatan
NKRI, Dalam Madu Ludiro, dkk. 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia Di Dunia Tanpa Batas: Isu,
Permasalahan dan pilihan kebijakan. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal. 91 24
Susanto Atriyon Julzarika, “Jurnal Ilmiah Geomatika”, Vol. 16 No. 1, Agustus 2010, hal.
35
22
berbatasan. Penetapan garis batas ini pun harus merujuk kepada prinsip dalam
penentuan perbatasan darat, dan rezim hukum laut dalam penentuan perbatasan di
laut.
Saat ini diperlukan penetapan dan penegasan batas maritim terutama dalam
pengelolaan laut. Apalagi jika terbentuk negara baru seperti Timor Leste. Sebagai
negara merdeka, Timor Leste memiliki sejumlah kewajiban dan tantangan
internasional, salah satunya delimitasi batas maritim internasional. Penentuan batas
sangat penting untuk menjamin kejelasan dan kepastian yurisdiksi. Hal ini dapat
memberikan keuntungan, misal dalam memfasilitasi pengelolaan lingkungan laut
secara efektif dan berkesinambungan serta peningkatan keamanan maritim (maritime
security). Perjanjian batas maritim akan memberikan jaminan hak negara pantai
untuk mengakses dan mengelola sumberdaya maritim hayati maupun non-hayati.
2. Demarkasi
Demarkasi atau penegasan batas di lapangan merupakan tahapan selanjutnya
setelah garis batas ditetapkan oleh Pemerintah negara yang saling berbatasan. Dalam
konteks ini, perbatasan sudah didefinisikan secara teknis melalui pemberian
tanda/patok perbatasan, baik perbatasan alamiah maupun buatan (artifisial). Hal itu
sejalan dengan pengetian perbatasan itu sendiri25
.
Pada kenyataannya suatu negara pantai akan berdekatan dengan negara lain
sehingga tidak mungkin suatu negara dapat melakukan klaim tanpa mengganggu
negara tetangganya. Sebagai contoh Timor Leste dan Australia yang berjarak kurang
dari 400 mil laut, akan mengalami tumpang tindih klaim untuk ZEE dan landas
kontinen karena masing-masing negara berhak mengklaim 200 mil laut ZEE dan
25
Susanto Atriyon Julzarika, “Jurnal Ilmiah Geomatika”, Vol. 16 No. 1, Agustus 2010, hal.
35
23
landas kontinen dengan lebar tertentu. Dalam hal terjadinya tumpang tindih klaim
inilah, kedua negara yang terlibat dituntut untuk melakukan delimitasi batas maritim.
G. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif dengan studi pustaka26
. Penelitian ini akan berusaha untuk
menggambarkan, mencatat, menganalisa serta mengiterpretasikan peristiwa yang
terjadi antara Timor Leste dan Australia. Sesuai dengan jenis penelitian, maka jenis
data yang akan digunakan adalah data-data kualitatif.
2. Teknik pengumpulan data
Tekhnik pengumpulan data yang akan digunakan adalah telaah pustaka
(library research) berupa data sekunder, yaitu pengumpulan data dengan menelaah
sejumlah literatur baik berupa buku-buku, jurnal, dokumen, surat kabar, makalah dan
artikel yang berkaitan dengan masalah tersebut. Untuk lebih memperdalami upaya-
upaya Timor Leste terhadap eksploitasi Laut Timur oleh Australia dan berfokus pada
periode 2012 – 2016, jadi diharuskan untuk update berita-berita terkini terkait upaya
Timor Leste.
Adapun tempat-tempat yang diharapkan dapat menjadi sumber informasi data
dalam penelitian, yakni:
a. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
b. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
26
Creswell John. 1994. Research Design “ Qualitative & Quatitative Approach ‖‟‟, London
SAGE Publications. hal.116
24
c. Perpustakaan Indonesia
d. Kedutaan Besar Timor Leste dan Australia di Indonesia
3. Teknik Analisis Data
Tekhnik analisa data yang digunakan bersifat kualitatif, yaitu data yang
diperoleh berupa bukan berupa numerik atau data-data yang berbentuk angka
melalui beberapa faktor-faktor yang relevan dengan penelitian ini, yakni
menjelaskan dan menganalisis data yang berhasil ditemukan. Data ini diperoleh
melalui studi kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian27
.
Menurut Miles dan Huberman, terdapat tiga teknik analisis data kualitatif.
Pertama, reduksi data dengan analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu serta mengorganisasi data sehingga
kesimpulan akhir dapat di ambil. Kedua, Penyajian data dengan melakukan kegiatan
ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya
penarikan kesimpulan. Ketiga, penarikan kesimpulan merupakan teknik akhir untuk
mengambil tindakan setelah mengetahui hasil analisis28
.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini akan disusun secara sistematis yang berbagi dalam lima BAB dan
beberapa sub-bab. BAB I terdiri dari latar belakang masalah, pertanyaan masalah,
27
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan ‖, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
hal. 3
28 Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, 2010. Terampil Mengolah Data Kualitatif
Dengan NVIVO. Prenada Media Group : Jakarta. hal. 16
25
tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, metode
penelitian serta sistematika penulisan.
Dalam II kedua menjelaskan mengenai hubungan bilateral antara Timor
Leste-Australia dalam beberapa bidang, seperti bidang ekonomi, bidang keamanan,
bidang kemiliteran serta bidang pendidikan maupun bidang kesehatan.
Kemudian pada III ketiga akan dijelaskan tentang persengketaan Laut Timor
antara Timor Leste-Australia. Meliputi, Kondisi batas-batas wilayah garis tapal,
kekayaan yang terkandung dalam Laut Timor, Perjanjian-perjanjian kedua negara
dalam mengelola Laut Timor hingga sengketa kepemilikan Laut Timor.
Selanjutnya di BAB IV ini akan di ulas menggunakan analisis konseptual
dalam melihat upaya-upaya Timor Leste untuk dapat menyelesaikan persengketaan
wilayah ini dengan Australia. Di tinjau dari beberapa konseptual kepentingan
nasional, konsep-konsep perbatasan dalam hukum internasional, diplomasi-
diplomasi perbatasan dan konsep penentuan wilayah perbatasan negara.
BAB V menjadi bab penutup yang akan memuat isi kesimpulan dari
pembahasan yang telah ditulis dengan jelas dan saran yang seharusnya diberikan.
26
BAB II
HUBUNGAN DAN KERJASAMA TIMOR LESTE-AUSTRALIA
A. Peranan Australia dalam kemerdekaan Timor Leste
Di era tahun 1970-an, Australia memiliki rasa khawatir terhadap keberadaan
Timor Leste yang saat itu di anggap sudah terpengaruhi oleh ideologi komunis.
Mengingat, saat itu tengah terjadi perang dingin antara blok barat dan blok timur.
Australia yang merupakan bagian dari sekutu blok barat merasa khawatir terhadap
ancaman komunis yang mulai menyebar di Timor Leste. Karena Australia
merupakan negara yang berbatasan langsung dengan wilayah Timor Leste. Akhirnya
pada tahun 1975 Indonesia berhasil menginvasi Timor Leste dan memasukkan Timor
Leste menjadi bagian dari negara Indonesia sekaligus memberantas komunis di
wilayah tersebut dengan bantuan dan dukungan dari negara-negara barat termasuk
Australia29
.
Namun di tahun-tahun 1990-an Australia merasa cemas tentang legalitas
statusnya sebagai pemegang hak yang sah untuk melakukan eksploitasi minyak dan
gas di Celah Timor. Karena pada saat itu status kesepakatan Celah Timor yang telah
memberikan hak legal terhadap Australia untuk melakukan eksplorasi minyak dan
gas di Celah Timor banyak dipertanyakan tentang kelegalitasannya. Terlebih banyak
desakan dari dunia Internasional tentang pelanggaran HAM yang dilakukan
Indonesia terhadap Timor Leste, dan juga tuntutan PBB yang tidak pernah mengakui
29
H.D. Anderson. 1984. „Australia-Indonesia Relations‟ dalam Regional Dimesnions of Indonesia- Australia Relations. Jakarta : CSIS. hal. 13.
27
kedaulatan Indonesia terhadap Timor Leste, agar Timor Leste menjadi negara yang
merdeka30
.
Selain itu pada tahun 1991, Portugal menuntut haknya dengan mengadukan
Australia ke pengadilan Internasional, dengan tuduhan bahwa perjanjian atau
kesepakatan Celah Timor itu tidak sah dan merugikan bagi Portugal ataupun bagi
rakyat Timor Leste secara material. Dengan tekanan dari yang luar biasa dari dunia
Internasional untuk kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia, di mana Australia
merasa ikut bertanggung jawab atas invasi yang dilakukan oleh Indonesia terhadap
Timor Leste31
.
Selain kepentingan ekonomi tersebut, ternyata Australia juga mempunyai
kepentingan politik dibalik pemberian dukungan terhadap rakyat Timor Leste dari
kekuasaan Indonesia. Kepentingan politik tersebut adalah Australia ingin
menunjukan terhadap Indonesia dan dunia bahwa Australia merupakan negara yang
patut diperhitungkan dalam kancah politik internasional. Australia ingin menunjukan
bahwa eksistensinya sebagai aliansi Amerika Serikat, mampu menjalankan tugasnya
sebagai pengaman di kawasan Asia tenggara32
.
Sementara itu bentuk dukungan yang dilakukan Australia terhadap
kemerdekaan Timor Leste diantaranya adalah, pertama Menteri John Howard yang
terkenal rasis mengirim surat ke Presiden Habibie yang mengusulkan agar Indonesia
30
At the launch of the book East Timor in Transistion 1998-2000: An Australian Policy
Challenge‟ https://foreignminister.gov.au/speeches/2001/010717_et.html diakses pada 24 Januari
2019 pukul 17.01 31
Johan Kusuma, Ardli. DINAMIKA KEPENTINGAN AUSTRALIA TERHADAP TIMOR
LESTE DARI TAHUN 1975 – 1999. Dosen Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945
Jakarta. hal. 14
32 Prambont, M. 2010. Lepasnya Timor Timur. http://mu-jalin.com/2010/04/lepasnya-timor-
timur.html di akses pada 29 Mei 2018
28
memberi otonomi ke Timor Timur. Howard bahkan memaparkan bahwa otonomi
adalah pelangkahan bagi rakyat setempat yang akan merdeka beberapa tahun
kemudian. Surat Howard memuat syarat yang menegaskan bahwa akhir kelaknya
jajak pendapat akan terjadi, inilah bagian yang oleh pemerintah Indonesia dianggap
sebagai batang tubuh surat itu. Howard ternyata yakin bahwa kebanyakan orang
Timor Timur menginginkan kemerdekaan33
.
Dengan pengiriman surat oleh Howard kepada Habibie yang berisi tentang
desakannya agar Indonesia mmberikan kemerdekaan terhadap Timor Leste, Howard
ingin menunjukan kepada rakyat Timor Leste bahwa sebenarnya Australia
mendukung keinginan rakyat Timor Leste untuk mendapatkan kemerdekaan dari
Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mendapat simpatik dari Timor Leste untuk
melancarkan kepentingannya atas minyak dan gas di Celah Timor34
.
Selain itu Australia juga memberikan dukungan kepada Pemerintahan de
facto Fretilin yang pada prinsipnya memberikan akses kepada perwakilan pemberi
bantuan untuk pergi ke seluruh wilayah Timor Leste. Dalam prakteknya, perwakilan
utama menyediakan bantuan pangan kepada masyarakat, ICRC membatasi kegiatan
bantuannya ke wilayah di sekitar Dilli, dengan dukungan yang disediakan Australian
Council for Overseas Aid (ACFOA) dan didistribusikan oleh Fretilin di daerah
wilayah kekuasaan mereka. Dengan kata lain dukungan berupa bantuan langsung
yang bersangkutan dengan kebutuhan sehari-hari juga diberikan oleh Australia
terhadap masyarakat Timor Leste. Dan seharusnya Timor Leste dari awal sudah
sadar bahwa dalam memberikan atau menerima bantuan, negara-negara dihadapkan
33
Dachoni, R. 2007. Menguak Kembali Lepasnya Timor Timur.
http://raj3s4.com/2007/10/menguak-kembali-lepasnya-timor-timur.html di akses pada 29 Mei 2018 34
Dachoni, R. 2007. Menguak Kembali Lepasnya Timor Timur.
http://raj3s4.com/2007/10/menguak-kembali-lepasnya-timor-timur.html di akses pada 29 Mei 2018
29
kepada persoalan-persoalan politik dan persoalan-persoalan ekonomi. Sehingga
dalam pemberian bantuan suatu negara menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat benar-benar politik35
.
Hal ini jelas menunjukan bahwa Australia mempunyai keinginan menguasai
sumber minyak di celah Timor. Akses terhadap energi ini tak bisa disangkal menjadi
pendorong semangat Australia campur tangan dalam menangani gejolak di Timor
Timur pasca jajak pendapat. Minyak yang dilukiskan sangat besar kandungannya di
perbatasan Timor Leste dan Australia merupakan aset penting bagi perkembangan
ekonomi masa depan negeri Australia.
Dengan segala upaya internasional dan juga usaha-usaha Australia untuk
mendukung kemerdekaan Timor Leste, Akhirnya pada tanggal 5 Mei 1999,
Perserikatan Bangsa Bangsa, Indonesia dan Portugis menandatangani perjanjian
Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyeleggarakan jajak pendapat di
Timor Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian
dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Pada tanggal 30
Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78,5%)36
.
Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang
meluas oleh unsur-unsur pro integrasi yang eksis bergabung dengan Indonesia.
Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional
terhadap krisis kemanusiaan di Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan
angkatan internasional pemeliharaan keamanan di kawasan ini. Kekuatan
35
Makarim. Z.A. dkk. 2003. Hari-Hari Terakhir Timor Timur. Sebuah Kesaksian.
Jakarta: Sportif Media Informasindo. hal. 24. 36
At the launch of the book East Timor in Transistion 1998-2000: An Australian Policy
Challenge‟ https://foreignminister.gov.au/speeches/2001/010717_et.html diakses pada 24 Januari
2019 pukul 17.43
30
internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (INTERFET)
telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan menjalankan tugasnya untuk
mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Australia diminta
oleh PBB untuk memimpin angkatan internasional, dan menerima tugas ini. Pada
tanggal 20 Oktober 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut
keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia37
.
Dengan keputusan MPR Indonesia yang mencabut keputusan penyatuan
Timor Timur dengan Indonesia, menandai mulainya kemerdekaan sebuah negara
baru yang bernama Timr Leste yang didapatkan dengan dukungan internasional dan
usaha-usaha yang dilakukan negara tetangganya yaitu Australia dengan segala
kemampuannya untuk mendesak Jakarta untuk memberikan kemerdekaan terhadap
Timor Leste. Dengan kepentingan yang luar biasa terhadap minyak dan gas di Celah
Timor yang di balut dengan alasan kemanusiaan.
B. Hubungan Bilateral
Timor Leste-Australia sejak kemerdekaan diperoleh oleh Timor Leste telah
melakukan hubungan bilateral antara keduanya demi membangun negara terutama
Timor Leste yang baru saja merdeka. Hubungan bilateral kedua negara sangat
beraneka ragam di semua elemen pemerintahan, perokonomian, pembangunan
infrastruktur sampai dengan pembangunan sumber daya manusia.
1. Pemerintahan
Anggota Parlemen Australia di tingkat Federal, Negara Bagian dan Wilayah
telah melakukan kunjungan ke Timor Leste pada waktu yang berbeda sejak tahun
37
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
NOMOR V/MPR/1999 TAHUN 1999 TENTANG PENENTUAN PENDAPAT DI TIMOR TIMUR
31
2000. Mulai sekarang dan di masa depan kunjungan ini harus di dorong untuk
dilakukan setidaknya setiap tahun. Timor Leste adalah demokrasi muda dan
membutuhkan interaksi berkelanjutan dari tetangganya, Australia, dan lembaga-
lembaga demokrasi utama untuk lebih memperkuat dan mengkonsolidasikan
demokrasi, keamanan dan perdamaian. Interaksi rutin antara Legislator kedua negara
untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dan membangun persahabatan di tingkat
kelembagaan dan pribadi, bekerja sama dalam pengembangan keterampilan dan
peran pendampingan terutama untuk Parlemen Timor Leste. Pada tahun 2012
Perdana Menteri Xanana Gusmao telah melakukan kunjungan kenegaraan ke
Pemerintahan Australia bertemu dengan Perdana Menteri Australia Julia Gaillard.
Dengan pembahasan seputar kenegaraan, persahabatan dan perdamaian38
.
2. Bantuan Pembangunan dan Manajemen
Australia saat ini adalah donor bantuan pembangunan terbesar untuk Timor
Leste melalui AusAID dan ini termasuk kerja sama dari berbagai Departemen
Pemerintah, ADF, AFP, DIBP, dll. Tingkat Bantuan Pembangunan ini harus
dipertahankan untuk melanjutkan pembangunan kapasitas, penguatan dan
mengkonsolidasikan institusi negara di semua sektor terutama sektor keadilan dan
keamanan termasuk pembangunan pedesaan di mana setidaknya 70% dari populasi
tinggal. Penting juga untuk meningkatkan beasiswa bagi siswa Timor Leste untuk
belajar di Australia baik pada tingkat tersier maupun teknis dan pendidikan lanjutan.
Yang terakhir harus di anggap sebagai prioritas dan lebih banyak siswa Timor Leste
38
Embassy Of The Democratic Republic Of Timor-Leste, Inquiry into Australia‟s
Relationship with Timor Leste, Submission No. 46.
32
harus di dorong dan memberikan kesempatan untuk mengambil studi keterampilan
perdagangan di TAFE Australia39
.
3. Kerjasama Ekonomi, Perdagangan dan Investasi
A. Timor Sea Treaty (TST), Joint Petroleum Development Area (JPDA) and
Certain Maritime Arrangement in the Timor Sea (CMATS)
Timor Leste dan Australia berbagi sumber daya minyak & gas di JPDA di
bawah TST di mana perusahaan Conoco Phillips memproduksi minyak & gas dari
Lapangan Bayu-Undan dengan saluran pipa hilir ke pabrik pemrosesan LNG di
Darwin. Ekonomi wilayah pengembangan telah bergerak secara astronomis sejak
saat itu dengan semua industri rekanan dan ribuan pekerjaan untuk Wilayah Utara.
Kedua negara diuntungkan oleh royalti dan pendapatan pajak sebesar 90% untuk
Timor-Leste dan 10% untuk Australia40
.
Mengenai pengembangan Greater Sunrise oleh Woodside and Joint Venture
Partners masih dalam proses negosiasi yang sedang berlangsung diharapkan akan
menghasilkan buah di masa depan. Timor Leste telah membuat pandangannya
diketahui bahwa ia menginginkan pipa hilir ke pantai di Beaco, pantai selatan Timor-
Leste untuk pemrosesan LNG. TLNG di Beaco akan membentuk bagian dari
pembangunan infrastruktur dan ekonomi seluruh wilayah pantai selatan dengan basis
pasokan di barat daya di Suai, Petrokimia dan Kilang di pusat Betano dan Pabrik
Pemrosesan Gas di tenggara di Beaco Viqueque. Pengembangan pantai selatan akan
menghasilkan ribuan pekerjaan dari pendirian tiga kota besar Nova Suai, Nova
39
Embassy Of The Democratic Republic Of Timor-Leste, Inquiry into Australia‟s
Relationship with Timor Leste, Submission No. 46.
40 Guteriano Neves, et.al., LNG Sunrise di Timor Leste: Impian, Kenyataan dan Tantangan,
(Timor Leste: La‟o Hamutuk, 2008)., hal. 94.
33
Betano dan Nova Viqueque plus pengembangan infrastruktur dan industri terkait.
Perkembangan ekonomi darat ini juga akan menghasilkan kepercayaan di Timor
Leste bagi investor internasional lainnya untuk mengikuti investasi asing langsung
ke sektor-sektor ekonomi lainnya41
.
B. Investasi
Mengenai kegiatan ekonomi darat, Australia harus membuka dan Kantor
Austrade di Dili untuk memberikan dukungan, memfasilitasi dan mendorong lebih
banyak Perusahaan Australia termasuk memberikan beberapa insentif pajak bagi
mereka untuk berinvestasi di Timor Leste dalam infrastruktur utama Pekerjaan Sipil,
Sumber Daya Mineral, Pariwisata dan Pertanian. Investasi dalam dua yang terakhir
akan menghasilkan ribuan pekerjaan di mana 16.000 pemuda meninggalkan sekolah
setiap tahun dan pindah ke pasar tenaga kerja. Timor Leste memiliki populasi muda
dengan 55% di bawah usia 25 tahun42
.
Badan energi ini juga dapat menjadi ancaman potensial bagi keamanan
nasional jika sumber daya manusia dengan energi yang sangat besar ini tidak
dimanfaatkan dan disalurkan untuk penggunaan positif yang lebih besar. Investasi
swasta asing dan kemajuan ekonomi sangat penting untuk menghasilkan pekerjaan
dan pendapatan bagi masyarakat, terutama kaum muda dan peningkatan standar
hidup mereka akan mendukung keberlanjutan Demokrasi, Perdamaian, dan
Keamanan. Kepentingan strategis Australia untuk mendorong bisnisnya berinvestasi
lebih banyak di daratan Timor Leste dan di anggap memiliki kepentingan di negara
41
Guteriano Neves, et.al., LNG Sunrise di Timor Leste: Impian, Kenyataan dan Tantangan,
(Timor Leste: La‟o Hamutuk, 2008)., hal. 94. 42
Acordo de planeamento estrategico para o desenvolvimento Timor-Leste – Australia,
https://dfat.gov.au/about-us/publications/Documents/strategic-planning-agreement-portuguese.pdf
diakses pada 19 Januari 2019 pukul 10.00
34
itu dan pemain aktif dalam pembangunan jangka panjang Timor Leste. Kalau tidak,
ruang darat yang tersedia untuk investasi akan ditempati oleh perusahaan lain di
kawasan Asia terutama dari China yang sama-sama bersemangat untuk berinvestasi
dalam ekonomi rakyat Timor Leste43
.
4. Bidang Budaya dan Pendidikan
A. Masyarakat Timor Leste yang tinggal di Australia
Setidaknya ada 20.000 komunitas Timor yang tinggal di Australia dengan
sekitar 8.000 di Victoria dan 6.000 di New South Wales (NSW) dan sisanya tersebar
di negara bagian dan wilayah lain. Mereka semua datang ke Australia sebagai
pengungsi pada awal tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan selama pendudukan
Indonesia dan Timor Leste. Masyarakat Timor Leste berterima kasih atas sambutan
Australia yang murah hati dan memungkinkan mereka untuk menetap dan
menjadikan Australia rumah kedua mereka44
.
Banyak anggota masyarakat Timor Leste khususnya mereka yang tidak
memiliki hipotek bank tinggi telah kembali ke Timor-Leste, dan ada pula beberapa
orang memainkan peran aktif dalam pemerintah ketika para Menteri dan yang lain
bekerja dalam pelayanan sipil, LSM dan bisnis yang semuanya berkontribusi pada
sosial negara. Dalam arti mereka memainkan peran menjembatani serta
memfasilitasi pemahaman lintas budaya antara kedua negara45
.
43
Embassy Of The Democratic Republic Of Timor-Leste, Inquiry into Australia‟s
Relationship with Timor Leste, Submission No. 46. 44
Orcamento Geral Orcamento Geral Orcamento Geral do Estado 2016,
https://www.mof.gov.tl/wp-
content/uploads/2016/03/Budget_Book_5_DPMU_Portuguese_reviewed_-
draft_final_10_Oct_FormattedRO_20121012.pdf di akses pada 19 Januari 2019 pukul 15.17 45
Orcamento Geral Orcamento Geral Orcamento Geral do Estado 2016,
https://www.mof.gov.tl/wp-
35
B. Masyarakat Australia yang tinggal dan bekerja di Timor Leste
Demikian juga ada sekitar 2.000 orang Australia jika tidak lebih tinggal dan
bekerja di Timor Leste, baik untuk pemerintah, LSM atau bisnis. Orang-orang
Australia ini juga memainkan peran penghubung yang sangat penting dalam
pemahaman lintas budaya antara Australia dan Timor Leste. Sudah ada sejumlah
Universitas seperti Charles Darwin, Universitas Victoria, Universitas Melbourne dan
Universitas Sydney dan Anggota Universitas lainnya di Australia termasuk beberapa
TAFE yang telah membuat hubungan dengan Universitas Nasional Timor-Leste -
Universidade Nacional de Timor-Leste (UNTL) dan lainnya. Hubungan dan
pertukaran budaya, pendidikan, dan ilmiah harus di dorong secara pro-aktif di semua
tingkatan lebih dari Australia yang penting untuk memainkan peran pendampingan
dan pengasuhan bagi lembaga-lembaga pendidikan tinggi teknis dan belajar tinggi di
Timor Leste termasuk bahasa Inggris46
.
content/uploads/2016/03/Budget_Book_5_DPMU_Portuguese_reviewed_-
draft_final_10_Oct_FormattedRO_20121012.pdf di akses pada 19 Januari 2019 pukul 15.17 46
Australia – Estrategia para Timor-Leste 2009 a 2014, https://dfat.gov.au/about-
us/publications/Documents/timor-country-strategy-port.pdf di akses pada 19 Januari 2019 pukul 14.03
36
BAB III
PERSENGKETAAN LAUT TIMOR ANTARA TIMOR LESTE
DENGAN AUSTRALIA
A. Kondisi Umum Laut Timor
Laut Timor atau biasa di sebut dengan Celah Timor yang terkenal
mempunyai kekayaan minyak, terletak diantara kawasan perairan Timor Leste,
Indonesia dan Australia. Wilayah perairan ini menjadi rebutan antara Timor Leste
dengan Australia karena menyimpan minyak dan gas yang luar biasa di dasar
lautnya47
. Kedua negara tersebut saling mengklaim terhadap kepemilikan wilayah
Laut Timor Timur sehingga seringkali terjadi konflik yang menjadi sorotan dunia
internasional sehingga nama laut timur semakin terkenal.
Pada tahun 1972, Indonesia dan Australia menandatangani Perjanjian 1972
dalam pembahasan mengenai batas dasar laut dengan prinsip landas kontinental yang
sekarang tidak diberlakukan lagi, dan membuat batas dasar laut lebih dekat dengan
Indonesia dari pada Australia48
. Sesuai dengan isi dokumen perjanjian perbatasan
yang disepakati antara Indonesia-Australia di wilayah Laut Timor dan Arafura yang
ditandatangani di Jakarta pada 09 Oktober 197249
. Portugal (sebagai penguasa
kolonial Timor Leste pada saat itu) menolak untuk ikut dalam perundingan tersebut
47 “Latar Belakang Sejarah Laut Timor”, Buletin Lao Hamutuk. Vol. 4. No. 3-4, Agustus
2003, hal. 1. 48
Kusumaatmaja, Mochtar. 1992. Perjanjian Indonesia-Australia di Celah Timor. Hal. 220. 49
Agreement Between The Government Of The Common Wealth Of Australia And The
Government Of The Republic Of Indonesia Establishing Certain Seabed Boundaries In The Area Of
The Timor And Arafura Seas, Supplementary To The Agreement Of 18 May 1971
37
maka pembuatan batas tidak terselesaikan, dan akhirnya muncul celah yang tak
berbatas yang dinamakan “Celah Timor atau Timor Gap”50
.
Dengan kekayaan alam Laut Timor yang merupakan beranda Samudra
Hindia terletak antara Timor Leste dan Australia Bagian Utara (Northern Territory)
dan di sisi timurnya di himpit oleh Laut Arafura yang menjadi beranda Samudra
Pasifik dengan luas Laut Timor sekitar 3.000 mil2. Laut yang terdalam adalah Palung
Timor yang terletak di bagian utara yang mencapai 3,3 km. Bagian lainnya agak
dangkal rata-rata kedalamannya kurang dari 200 meter. Laut ini merupakan tempat
utama munculnya badai tropis dan topan. Meskipun demikian laut ini merupakan
surga bagi ikan- ikan di mana sejak dulu kala para nelayan dari Pulau Rote, Flores,
Alor, Buton, Sabu, Madura, Timor Leste dan Maluku telah melaut ke perairan ini51
.
Dari hasil hasil laut yang telah dimanfaatkan ini menandakan Laut Timor sangat
kaya akan ikan seperti pelangis besar (ikan tuna, cakalang, tongkol, tenggiri), ikan
demersal (kerapu, kakap, ekor kuning, napoleon wrasse, nonikan (lobster, udang
putih, dan cumi cumi)52
.
Laut Timor merupakan wilayah perairan yang memiliki potensi besar dalam
peningkatan perekonomian negara. Tidak hanya berupa kekayaan hayati dan nabati
yang ada dalam massa air laut, tetapi juga bahan tambang mineral yang dikandung
air laut, lapisan dasar laut lepas pantai dan laut dalam. Celah Timor kaya akan
tambang, Pulau Menville yang berada di Celah Timor memiliki unsur bebatuan yang
50
“Latar Belakang Sejarah Laut Timor”, Buletin Lao Hamutuk. Vol. 4. No. 3-4, Agustus
2003, hal. 2.
51
Kupang (Antara News), 30 September 2009,
https://www.antaranews.com/berita/111934/laut-timor-dan-kisah-tragis-nelayan-tradisional-indonesia
di akses pada 28 November 2018 pukul 16.09 52 Kupang (Antara News), 30 September 2009,
https://www.antaranews.com/berita/111934/laut-timor-dan-kisah-tragis-nelayan-tradisional-indonesia
di akses pada 28 November 2018 pukul 16.09
38
mengandung berlian. Akan tetapi sumber kekayaan yang lebih besar yaitu cadangan
minyak dan gas bumi53
.
Gambar I. A.1 Posisi Celah Timor
The Permanent Court of Arbitration
Sumber: Maritime Boundary Office, http://www.gfm.tl/ di akses pada 25 Oktober 2018
Celah Timor tergolong dangkal, kecuali ada lipatan-lipatan sempit yang
disebut dengan Timor Though, sekitar 50 mil2
di lepas pantai selatan Timor Leste.
Ladang minyak dan gas yang substansial ditemukan didalam cekungan Bonaparte,
sebuah zona prospektif yang membentang dari Australia hingga Timor Though.
Adapun zona yang paling prospek minyak dan gas yang paling menguntungkan
terdapat di bagian utara cekungan ini, yakni mendekati wilayah Timor Leste.
Kawasan lapang Greather Sunrise berada di jarak 73 mil2
dari lepas pantai Timor
Leste54
.
Celah Timor diperkirakan memiliki cadangan migas yang sangat besar.
Ditemukan pada tahun 1974, Greater Sunrise merupakan ladang migas terbesar di
53
Wahyono S.K, 2009. Indonesia Negara Maritim. Jakarta: Teraju. hal. 23. 54
Maritime Boundary Office, http://www.gfm.tl/ di akses pada 25 Oktober 2018 pukul 15.32
39
wilayah ini dengan perkiraan cadangan gas 5,13 triliun kubik yang setara dengan
sepertiga konsumsi gas global per tahun. Dengan perkiraan harga saat ini, potensi
Liquified Natural Gas (LNG) Greater Sunrise akan bernilai sekitar 50 miliar dolar.
Selain itu, Greater Sunrise juga memiliki cadangan minyak yang cukup besar, yaitu
sekitar 225,9 juta barel dengan nilai mencapai 15 miliar dolar55
. Penyelesaian
sengketa Laut Timor yang selama ini telah menjadi penghambat pemanfaatan ladang
migas Greater Sunrise dengan demikian akan membuka potensi pendapatan bagi
Australia dan Timor Leste hingga mencapai 65 miliar dolar. Cadangan migas ladang
Greater Sunrise mencapai 23 kali lipat Produk Domestik Bruto (PDB) Timor Leste56
.
B. Sejarah Perbatasan antara Indonesia-Australia di Laut Timor
Indonesia dan Australia pada pertengahan tahun 1971 menandatangani
perjanjian pertama mengenai batas landas kontinen di Laut Timor. Sebagaimana di
dalam perjanjian ini memuat mengenai batas-batas bawah air tententu di Laut
Arafura antara provinsi Irian Jaya dan Australia. Setelah itu pada tahun 1972 di
sepakati lagi mengenai batas maritim landas kontinen yang membatasi Indonesia
dengan Australia di Laut Arafura dan Laut Timor. Perjanjian ini berdasarkan
ketentuan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang dalam pasal 1
menetapkan batas landas kontinen berada pada kedalaman laut 200 M57
.
Berintegrasinya Timor Timur ke dalam wilayah kedaulatan Indonesia, maka
peluang Indonesia dalam menyempurnakan batas landas kontinennya dengan
Australia terbuka. Australia menekankan perhatiannya kepada Palung Timor yang
55 Cleary, P. 2007, Shakedown: Australia‟s Grab for Timor Oil, Allen & Unwin. Hal. 7
56 “Penyelesaian Sengketa Celah Timor dan Implikasinya Bagi Indonesia”. Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI. Vol. X. No. 06. Maret 2018. hal. 9.
57
Kusumaatmaja, Mochtar. 1992. Perjanjian Indonesia-Australia di Celah Timor. Hal. 220
40
berada di selatan Pantai Timor Timur, mengingat Palung Timor merupakan wilayah
yang memiliki kedalam 3.300 M. Indonesia menuntut agar keputusan ini
menggunakan prinsip garis tengah atau median line yang ditarik dari pantai selatan
Timor Timur dan pantai utara Australia. Adapun hasil yang disepakati dalam
perjanjian 1972 adalah garis batas yang terletak sedikit di sebelah selatan Palung
Timor58
. Dalam perjanjian 1972, wilayah laut timor yang berada di selatan Pulau
Timor tidak tercakup karena pada saat itu masih dibawah kekuasaan Pemerintahan
Portugis sehingga kejelasan batas laut masih belum tuntas.
Pada tahun 1975, Timor Timur melakukan deklarasi kemerdekaan dari
Portugal dan secara resmi pada tahun 1976 menjadi bagian wilayah dari Indonesia
sebagai provinsi ke-27 ditandai dengan UU No. 7 tahun 1976 yang dikeluarkan oleh
Presiden Soeharto59
. Dalam hal ini telah membuka jalan baru bagi Indonesia dan
Australia untuk negosiasi perjanjian baru terkait garis batas di Laut Timor. Pada
1989 Indonesia dan Australia menyepakati Perjanjian Celah Timor dengan tujuan
mengatur zona kerjasama antara para pihak dan mengizinkan kerjasama eksplorasi
serta eksploitasi sumber daya mineral yang ada di Celah Timor tanpa mengurangi
batas maritim yang telah disepakati pada tahun 197260
.
Perjanjian Celah Timor ini diasumsikan sebagai kesepakatan sementara yang
dimaksudkan hanya untuk memungkinkan ekplorasi dan eksploitasi sumber daya
mineral yang ada di Laut Timor. Selain itu, perjanjian ini menciptakan sebuah sistem
58 MARITIME LEGISLATION AMENDMENT ACT 1994 No. 20, 1994,
https://www.legislation.gov.au/Details/C2004A04696 di akses pada 19 Februari 2019 pukul 20.42 59
Simatupang, Abdi Nelson. PERAN COMMISSION OF TRUTH AND
FRIENDSHIPDALAM NORMALISASI HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA –REPUBLIK
DEMOKRATIK TIMOR LESTE. JOM FISIP Volume 4 No. 2 Oktober 2017. Hal. 4. 60
Treaty between Australia and the Republic of Indonesia on the Zone of Cooperation in an
Area between the Indonesian Province of East Timor and Northern Australia [Timor Gap Treaty],
http://www.austlii.edu.au/au/other/dfat/treaties/1991/9.html di akses pada 19 Februari 2019 pukul
20.48
41
kerjasama dengan administrasi pajak dan bea cukai, perlindungan lingkungan,
penelitian ilmiah, keselamataan, serta menyediakan layanan kontrol lalu lintas
udara61
.
Dalam Perjanjian Celah Timor, para pihak harus patuh terhadap batas
wilayah laut yang telah disepakati pada perjanjian 1972. Zona kerjasama yang
dimuat dalam Perjanjian Celah Timur dibagi menjadi tiga bidang yang berbeda,
yakni bagian A, bagian B dan bagian C. Zona A adalah satu-satunya wilayah
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral, dimana hasil dari pendapatan dibagi
rata antara para pihak, yakni 50:50. Zona B berada lebih dekat ke pantai utara
Australia yang batas pada selatan zona B dibatas dengan garis 200 mil terhitung dari
garis pantai wilayah Timor Timur dan pada batas garis utara zona B berada pada
batas selatan pada zona A. Aturan dalam zona B ini, Australia wajib membayar
pajak sebesar 10% dari pendapatan yang dikumpulkan dizona tersebut setiap
tahunnya. Sedangkan pada C berada diutara zona A dan lebih mendekati wilayah
pantai Timor Timur. Begitupun di zona C berlaku sebaliknya, Indonesia wajib
membayar pajak 10% kepada Australia62
.
61
Treaty between Australia and the Republic of Indonesia on the Zone of Cooperation in an
Area between the Indonesian Province of East Timor and Northern Australia [Timor Gap Treaty],
http://www.austlii.edu.au/au/other/dfat/treaties/1991/9.html di akses pada 19 Februari 2019 pukul
20.48 62
Google Earth Map for the Timor Sea Maritime Boundary Dispute
http://Google%20Earth%20Map%20for%20the%20Timor%20Sea%20Maritime%20Boundary%20Di
spute%20_%20The%20View%20From%20LL2.html di akses pada 18 Februari 2019 pukul 18.03
42
Gambar I. A.2 Garis perbatasan Laut Timor
Sumber: Google Earth Map for the Timor Sea Maritime Boundary Dispute
https://viewfromll2.com/2014/03/17/google-earth-map-for-the-timor-sea-maritime-boundary-dispute/
diakses pada 24 Januari 2018 pukul 16.06
Setelah Timor Timur menjadi bagian dari wilayah Indonesia, kini Australia
harus melakukan perundingan kembali dengan Indonesia. Dalam perundingan
perbatasan yang berlangsung saat itu, Indonesia berpegang teguh pada prinsip garis
tengah sebagai batas landas kontinen kedua negara. Prinsip ini kemudian dapat
diperkuat oleh Konvensi Hukum Laut yang baru (1982) menetapkan bahwa landas
kontinen negara pantai/ kepulauan minimal 200 mil laut dari garis pangkal laut
wilayah, tanpa dipengaruhi oleh kenyataan ada tidaknya palung (trough/ trench)
seperti Palung Timor. Pada dasarnya yang membatasi hanya suatu median line yang
membagi landas kontinen atau dasar laut antara Indonesia dan Australia63
.
Australia menandatangani tetapi belum meratifikasi mengenai Konvensi
Hukum Laut tahun 1982 dan tetap menggunakan prinsip kedalaman 200 M sesuai
Konvensi Genewa 1958. Australia menganggap batas landas kontinen dengan
63
Kusumaatmaja, Mochtar. 1992. Perjanjian Indonesia-Australia di Celah Timor. hal. 222
43
Indonesia merupakan kelanjutan yang alami dari pantainya dan terputus di Palung
Timor. Dalam hal ini klaim tentang batas laut terjadi di wilayah Laut Timor, yakni
prinsip median line sebagai pedoman Indonesia, sedangkan Australia membawa
tuntutan terhadap keberadaan Palung Timor64
.
Dalam melanjutkan kepentingannya di Laut Timor, Australia terus
melakukan negosiasi dengan Timor Leste mengenai pembagian hasil di Laut Timor
sejak Timor Leste melakukan referendum dari Indonesia. Australia dipercaya oleh
PBB sebagai pemimpin pasukan penjaga perdamaian sekaligus sebagai pemimpin
pemerintahan sementara PBB di Timor Leste melalui The United Nations
Transitional Administration in East Timor (UNTAET) yang menggantikan posisi
Indonesia sejak tahun 199965
.
Pasca referendum, selama pemerintahan transisi PBB (UNTAET), Australia
dan Timor Leste menyadari pentingnya minyak di dasar laut bagi masa depan Timor
Leste sehingga kontak-kontrak perusahaan minyak dipertahankan dan eksplorasi di
Laut Timor dilanjutkan agar Timor Leste menerima pendapatan dari minyak dan gas
tersebut. Selaku pemerintah Timor Timur, UNTAET menandatangani dokumen
Pertukaran Nota dengan Australia untuk tetap melanjutkan kesepakatan Celah Timor
antara Australia dan Indonesia, namun posisi Indonesia ditempati oleh Timor
Leste66
.
64
Kusumaatmaja, Mochtar. 1992. Perjanjian Indonesia-Australia di Celah Timor. hal. 223 65 “Negosiasi UNTAET dengan Australia”.
http://id.www.org./Administrator_Perserikatan_Bangsa_Bangsa_untuk_Timor_Timur di akses pada
18 Februari 2019 pukul 21.02
66 “Negosiasi UNTAET dengan Australia”.
http://id.www.org./Administrator_Perserikatan_Bangsa_Bangsa_untuk_Timor_Timur di akses pada
18 Februari 2019 pukul 21.02
44
C. Klaim Wilayah Perbatasan di Laut Timor antara Timor Leste-Australia
Perselisihan panjang mengenai perbatasan di Laut Timor antara Timor Leste
dengan Australia sejak Timor Leste resmi merdeka pada 2002. Kedua negara saling
mengklaim perbatasan yang didasarkan pada UNCLOS pasal 57 dan pasal 77 yang
mengatur perbatasan maritim menggunakan prinsip ZEE dan prinsip Landas
Kontinen. Timor Leste mengklaim 200 mil dari garis pantai selatan Timor Leste
merupakan wilayah yang sah sesuai ketentuan Hukum Laut 1982 menjadi wilayah
ZEE nya. Begitupun Australia mengklaim wilayah lautnya sepanjang 200 mil dari
garis pantainya dan menerapkan prinsip landas kontinen. Namun, Timor Leste dan
Australia berdampingan di Laut Timor dengan jarak yang tidak lebih dari 400 mil,
akibatnya terjadi tumpang tindih saling klaim di laut tersebut67
.
Dalam pasal 57 disebutkan bahwa ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut dari
garis pangkal lebar laut teritorial diukur. Artinya wilayah laut ZEE suatu negara
dapat diakui jika wilayah laut tidak lebih dari 200 mil tersebut. Sedangkan dalam
pasal 77 memberikan kewenangan kepada negara pantai pada landas kontinennya
untuk tujuan mengeksplorasi serta mengeksploitasinya sumber kekayaan alam
didalamnya. Pasal ini juga menjelaskan bahwa wilayah landas kontinen sifatnya
eksklusif dalam pengertian bahwa jika negara pantai tidak mengeksplorasinya
maupun mengeksploitasi sumber daya alamnya, tidak ada seorang atau suatu negara
pun dapat melakukan aktifitas atau melakukan klaim atas landas kontinen tersebut
tanpa persetujuan dari negara pantai68
.
67 Cleary, P. 2007, Shakedown: Australia‟s Grab for Timor Oil, Allen & Unwin. Hal. 4
68 United Nations Convention on the Law of the Sea, opened for signature 10 December
1982, 1833 UNTS 3 (entered into force 16 November 1994) art 57 & 77 („UNCLOS‟).
45
Klaim yang tumpang tindih seperti yang dilakukan oleh Timor Leste dan
Australia harus diajukan dan ditentukan oleh kesepakatan berdasarkan hukum
internasional yang berlaku. Ketika negara yang bersangkutan dipisahkan dengan
jarak yang kurang dari 400 mil, memungkinkan untuk menggunakan prinsip median
line agar mendapatkan pembagian batas yang sama. Prinsip ini sering digunakan
oleh Indonesia dalam bernegosiasi dengan negara-negara tetangganya, termasuk
pada tahun 2004 Indonesia melakukan negosiasi dengan Australia dan Selandia
Baru69
.
Australia tidak akan melakukan ketentuan prinsip median line dengan Timor
Leste, karena itu akan membuat Australia akan kehilangan kendalinya diwilayah
Greater Sunrise. Sebagai gantinya, Australia berupaya untuk mereplika ketentuannya
dengan Indonesia pada 1972 yang menjadi satu-satunya contoh menyelesaikan klaim
yang tumpang tindih tanpa harus menggunakan prinsip garis tengah70
.
Timor Leste terbengkalai dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas
klaim yang masih tumpang tindih di Laut Timor, sehingga mengajak Australia untuk
menyelesaikan masalah ini ke Mahkamah Internasional karena forum ini diharapkan
menjadi solusi yang adil bagi Timor Leste. Namun, pada bulan Maret 2002 Australia
menarik diri dari yurisdiksi Mahkamah Internasional dalam hal yurisdiksi dasar laut.
Hal ini membuat waktu penetapan batas laut tertunda dan hingga akhirnya Australia
69
Lundahl, M. & Sjöholm, F. 2008, „The oil resources of Timor-Leste: Curse or Blessing?‟,
The Pacific Review, vol 21, no. 1, hal. 67-86 70
Lundahl, M. & Sjöholm, F. 2008, „The oil resources of Timor-Leste: Curse or Blessing?‟,
The Pacific Review, vol 21, no. 1, hal. 67-86
46
mengajak Timor Leste pada perundingan bilateral untuk menyelesaikan klaim dari
masing-masing pihak71
.
Pada saat kemerdekaan Timor Leste bulan Mei 2002, Timor Leste dan
Australia telah menandatangani perjanjian tentang Laut Timor yang dinamakan
Perjanjian Laut Timor Perjanjian ini disusun dan disertai nota kesepahaman serentak
bahwa sepakat untuk segera bernegosiasi dan beriktikad baik dalam perjanjian
eksplrorasi sumber daya alam. Perjanjian Laut Timor merupakan solusi sementara
yang dibentuk untuk mengatur batas-batas wilayah Laut Timor, dengan demikian
Australia tidak mempunyai wewenang penuh dalam mengeksplorasi kekayaan alam
di Laut Timor72
.
Perjanjian ini menggantikan berlakunya Perjanjian Celah Timor yang
ditandatangani oleh Australia dan Indonesia pada 11 Desember 1989 yang tidak lagi
berlaku dikarenakan wilayah Timor Leste tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia.
Dengan ini Timor Leste menggantikan posisi Indonesia di dalam Perjanjian Celah
Timor tetapi memiliki sedikit perbedaan dari sebelumnya. Perbedaan yang signifikan
antara Perjanjian Celah Timor dan Perjanjian Laut Timor adalah bahwa perjanjian
yang baru hanya menciptakan Joint Petroleum Develoment Area (JPDA), dengan
pembagian bahwa Timor Leste mendapat 90% dan Australia mendapat 10% dari
pendapatan yang berasal dari wilayah tersebut73
.
Secara garis besar Perjanjian Laut Timor hanya dibentuk untuk kerjasama
eksplrorasi dan eksploitasi sumber daya alam tang berada didalamnya, bukan solusi
71
Lundahl, M. & Sjöholm, F. 2008, „The oil resources of Timor-Leste: Curse or Blessing?‟,
The Pacific Review, vol 21, no. 1, hal. 67-86 72
Jornal da República of Timor-Leste website, Resolution N.º 2/2003
http://www.jornal.gov.tl/?mod=artigo&id=1297 , di akses pada 09 November 2018 pukul 16.34 73
Indonesian Journal of International Law. TIMOR SEA TREATY. Vol. 14 No. 3 April 2017.
Hal. 424
47
dalam perbatasan maritim. Sesuai yang dijelaskan pada pasal 22 dalam perjanjian ini
bahwa perjanjian akan berlaku sampai ada delimitasi dasar laut secara permanen atau
selama 30 tahun dari tanggal berlakunya. Harus ditekankan bahwa Perjanjian Laut
Timor tidak merugikan klaim perbatasan diwilayah Laut Timor antara para pihak74
.
Adapun jika ada pelanggaran dalam penerapan Timor Sea Treaty, harus
diselesaikan diselesaikan dengan negoisasi, konsultasi atau diserahkan ke majelis
arbitrase internasional. Dalam perjanjian ini tidak menyebutkan untuk setiap pihak
harus segera menyelesaikan batas laut secara permanen, namun hal ini muncul dari
implikasi sifat perjanjian yang sementara. Selain itu, para pihak yang bersangkutan
harus tunduk dan patuh pada kesepakan yang telah di buat demi kelangsungan ber
negara yang sejahtera75
.
Pada tahun 2006 Timor Leste dan Australia membuat perjanjian lagi yang
didasarkan pada pengelolaan ladang Greater Sunrise karena ladang ini diluar wilayah
JPDA yang sudah berjalan kerjasamanya diantara para pihak dan diatur dalam
Perjanjian Laut Timor 2002. Perjanjian ini dinamakan perjanjian CMATS (Certain
Maritime Arragemenys in the Timor Sea) yang mulai berlaku pada 23 Februari
200776
.
Perjanjian CMATS menghindarkan bagi kedua belah pihak untuk
bernegosiasi secara permanen batas maritim dalam periode CMATS berlangsung,
yakni lima puluh tahun. Menyoroti bahwa para pihak tidak berkewajiban untuk
74
National Petrol Authority of Timor-Leste website, Timor Sea Treaty, http://www.anptl.
org/webs/anptlweb.nsf/vwAll/ResourceTimor%20Sea%20Treaty/$File/Timor%20Sea%20Treaty.pdf?
openelement, di akses pada 09 November 2018 pukul 22.00 75 National Petrol Authority of Timor-Leste website, Timor Sea Treaty, http://www.anptl.
org/webs/anptlweb.nsf/vwAll/ResourceTimor%20Sea%20Treaty/$File/Timor%20Sea%20Treaty.pdf?
openelement, di akses pada 09 November 2018 pukul 22.00 76
Australian Government website, http://www.comlaw.gov.au/Details/C2004C01300 di
akses pada 09 November 2018 pukul 16.45
48
merundingkan batas-batas laut permanen untuk periode perjanjian ini. Perjanjian ini
secara durasi telah mengubah pasal 22 dari Timor Sea Treaty mengenai durasi,
sehingga ada korelasi dengan perjanjian CMATS. Perjanjian ini juga memiliki
disposisi terkait eksploitasi hulu minyak bumi yang terletak di dalam area unit, serta
menetapkan bahwa pendapatan harus di bagi rata77
.
Ditinjau dari berbagai perjanjian yang telah dilakukan antara Timor Leste dan
Australia, bahwa persoalan batas maritim selalu dikesampingkan. Australia
memberikan pengaruh besar terhadap Timor Leste dalam setiap perundingan yang
sudah berlangsung terkait kerjasama eksploitasi minyak di Laut Timor. Australia
memberikan doktrin terhadap Timor Leste bahwa kerjasama minyak lebih
menguntungkan daripada harus menyelesaikan batas permanen di Laut Timor.
Sehingga pada tahun 2012 Timor Leste mulai melakukan upaya-upaya agar
perbatasan maritim secara permanen segera terselesaikan.
D. Kerangka hukum UNCLOS tentang Batas Maritim dan eksplorasi Sumber
Daya Alam
UNCLOS mendefinisikan konsep landas kontinen dan Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) sebagai penjelasan penting untuk memahami hukum di Laut Timor.
Sebagaimana yang dijelaskan dibawah ini:
1. Konsep Landas Kontinen
Dalam UNCLOS pada pasal 76 ayat 1 menyebutkan bahwa “landas kontinen
suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah dibawah
laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah
77 National Petrol Authority of Timor-Leste website, Timor Sea Treaty, http://www.anptl.
org/webs/anptlweb.nsf/vwAll/ResourceTimor%20Sea%20Treaty/$File/Timor%20Sea%20Treaty.pdf?
openelement, di akses pada 09 November 2018 pukul 22.00
49
daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga suatu jarak 200 mil laut
garis pangkal sebagaimana lebar laut teritorial di ukur dalam hal pinggiran luar tepi
kontinen tidak mencapai jarak tersebut”78
.
Zona landas kontinen adalah wilayah yurisdiksi maritim, dan merupakan
bagian dari hukum kebiasaan internasional79
di bawah proklamasi Truman 28
September 1945,80
yang membela bahwa “hak-hak negara diperpanjang di atas
landas kontinen fisik yang berdekatan ke garis pantai suatu negara”81
.
Negara pesisir menjalankan hak berdaulat eksklusif atas landas kontinennya
untuk tujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alamnya. Hak-hak
ini sudah melekat, tidak seperti ZEE, mereka tidak harus diproklamirkan dan tidak
bergantung pada kependudukan82
.
Berdasarkan definisi yang disebutkan, bahwasanya dalam kasus di mana dua
negara atau lebih tidak mengakui berlawanan atau berdekatan satu sama lain,
memiliki kurang dari 400 mil, seperti yang terjadi antara Timor Leste dan Australia.
Permasalahan akan timbul dalam hal batas-batas landas kontinen, karena itu
menyangkut kedaulatan suatu negara.
Konsep landas kontinen sangat penting untuk membatasi dasar laut saat
Australia dan Indonesia telah menandatangani perjanjian internasional diatasnya.
Penentuan batas antara Timor Leste dan Australia ternyata tidak sesuai yang
78
The United Nations website, United Nations Convention on the Law of the Sea,
http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf, article 76, di akses
pada 29 November 2018 pukul 23.11 79
Customary International Law is defined as “Rules derived from general practice among the
states together with opinio juris” Anthony Aust, Handbok of International Law, Cambridge
University Press, 2nd
Edition, 2010, hal. 5 80
Malcom N. Shaw QC, International Law, Cambridge University Press, 5th Edition, 2003,
hal. 522 81
Petrotimor website, in the matter of East Timor‟s maritime boundaries opinion, by
Vaughan Lowe, Christopher Carleton and Christopher Ward, http://www.petrotimor.com/lglop.html,
di akses pada 29 November 2018 82
Anthony Aust, Handbok of International Law, Cambridge University Press, 2nd Edition,
2010, hal. 287
50
diharapkan. Membuat dalih garis tengah, namun yang terjadi batas dasar laut
didirikan lebih dekat dengan Timor Leste daripada Ausralia.
Pemerintahan Australia mengklaim bedasarkan hasil geologi dan dalam
mengembangkan dua interpretasi dari pasal 1 dan 6 Konvensi Jenewa 1958 tentang
landas kontinen mengenai batas-batas internasional dan didasarkan pada
perpanjangan benua Australia kearah utara sampai ke Celah Timor, di bawah
perpanjangan alami yang dikembangkan di North Sea Continental Shelf Case
(Jerman versus Denmark dan Jerman versus Belanda)83
.
Kebijakan ini telah dipertentangkan tidak hanya oleh Indonesia tetapi juga
oleh Portugal. Sejak awal negosiasi, Portugal enggan untuk menerima klaim
Australia tentang batas-batas Celah Timor yang didefinisikan dalam perjanjian
antara Australia dan Indonesia.
2. Konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
D alam konvensi hukum laut 1982, ZEE di atur dalam bagian kelima, dimana
ZEE didefinisikan sebagai suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut
teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan berdasarkan hak-
hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain,
diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan84
.
ZEE diartikan sebagai suatu daerah di luar teritorial yang lebarnya tidak
boleh melebihi 200 mil di ukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur
lebar laut teritorial. Berlakunya konsep ZEE merupakan pranata hukum laut
Internasional yang masih baru. Dalam Konferensi Hukum Laut yang diprakarsai oleh
83
Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea, the Timor Sea Treaty and the Timor
Gap, 1972-2007 http://www.laohamutuk.org/Oil/Boundary/JSCT/sub6RKing.pdf, di akses pada 29
November 2018 pukul 00.35 84
Pasal 55 UNCLOS 1982
51
PBB pada 1973 sampai 1982, ZEE ini dibahas secara mendalam dan intensif sebagai
salah satu agenda acara konferensi dan disepakati serta dituangkan di dalam bab V
pasal 55-57 Konvensi Hukum Laut Internasional 198285
.
Barbara Kiwatowska dalam bukunya The 200 Mile Exclusive Economic Zone
in the Law of the Law menjelaskan bahwa:
“The Economic Exclusive Zone is an area beyond and adjacent to the territorial
sea that extends up to 200 miles from the territorial sea baselines, in which the
coastal states has sovereign rights with regard to all natural resources and
other activities for economic exploitation and exploration, as well as jurisdiction
with regard to artificial island, scientific research and the marine environment
protection, and other right and duties provided for the law of the sea convention.
All states enjoy in the EZZ navigational and other communications freedoms,
and the land-locked and other”86
.
Beberapa negara berkembang akan manaruh perhatian khusus pada
penentuan ZEE, karena itu bersifat sangat penting untuk memanfaatkan kekayaan
ZEE dalam sumber daya alam maupun perikanan. Timor Leste dan Australia
memiliki kasus demikian, saling klaim dan belum bisa menentukan batas-batas ZEE
mereka. Dasar hukum yang diberikan oleh ZEE adalah tambahan atau alternatif
untuk hak yang timbul dari hak landas kontinen.
Timor Leste sebagai negara yang berdaulat berhak menentukan wilayah
perbatasannya atas laut, darat dan udara. Sebagaimana yang terjadi di Laut Timor
antara Timor Leste dan Australia yang belum tuntas dalam membatasi wilayah
maritimnya. Klaim yang tumpang tindih terjadi karena kedua negara memiliki
prinsip batas wilayah yang berbeda dalam menentukan batas maritim. Timor Leste
mengklaim batas maritimnya sesuai dengan UNCLOS 1982 dengan menggunakan
85
Setiadi, Ignasius Yogi Widianto. 2014. Upaya Negara Indonesia dalam Menangani
Masalah Illegal Fishing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal Hukum Fakultas Hukum
Universitas Atmajaya Jogjakarta 86
Barbara Kiwatowska. 1989. The 200 Mile Exclusive Economic Zone in the Law of the
Law. Martinus Nijhoff Publishers: Dordrecht. hal. 43
52
prinsip ZEE, Namun klaim itu dipatahkan dengan klaim yang di buat oleh Australia
dengan menggunakan prinsip Landas Kontinen.
Australia berpendapat bahwa Palung Timor yang berada di selatan pantai
Timor Leste menjadi titik akhir landas kontinen Timor Leste, Sehingga wilayah laut
yang berada diselatan Palung Timor seharusnya menjadi wilayahnya. Namun hal itu
pula dapat terbantahkan dengan klaim ZEE yang diciptakan oleh Timor Leste dalam
pembagian wilayah maritim, yakni sejauh 200 mil dari garis lebar laut teritorial
diukur. Timor Leste juga berpendapat apabila jarak antara kedua negara tidak lebih
dari 400 mil, maka solusi yang harus digunakan adalah prinsip median line.
53
BAB IV
UPAYA TIMOR LESTE DALAM MENYELESAIKAN
SENGKETA LAUT TIMOR DENGAN AUSTRALIA PADA
PERIODE 2012-2016
Bab ini akan menjelaskan bagaimana upaya Timor Leste dalam
memperjuangkan kepentingan nasionalnya terkait penetapan wilayah batas maritim
yang permanen dengan Australia pada periode 2012-2016. Terhitung sejak Timor
Leste resmi sebagai negara yang berdaulat pada tahun 2002, permasalahan batas
wilayah dengan Australia belum menemukan hasil yang resmi sesuai ketentuan
hukum. Dalam penelitian ini akan difokuskan kepada upaya Timor Leste pada
periode 2012-2016, Karena pada periode itu Timor Leste telah melakukan berbagai
tindakan seperti membangun opini publik, melakukan proses konsiliasi hingga
membentuk Dewan Khusus untuk batas maritim.
Analisa dalam skripsi ini menggunakan empat kerangka konseptual yakni,
Konsep Kepentingan Nasional, Konsep Diplomasi Perbatasan, Konsep Penentuan
Wilayah Perbatasan Negara dan Konsep Perbatasan. Konsep ini akan digunakan
dalam menjelaskan upaya-upaya Timor Leste yang sudah dilakukan dalam periode
2012-2016. Dalam hal upaya opini publik akan dijelaskan menggunakan konsep
diplomasi perbatasan, upaya melakukan proses konsiliasi akan dijelaskan
menggunakan konsep penentuan wilayah perbatasan negara, serta upaya membentuk
dewan batas maritim akan dikaitkan dengan konsep perbatasan.
Penulis akan menjelaskan upaya-upaya Timor Leste disetiap sub bab, dengan
demikian akan mudah dipahami disetiap upaya yang dilakukan Timor Leste tersebut.
Adapun upayanya adalah sebagai berikut:
54
A. Upaya Membangun Opini Publik
Wacana perjuangan dan perlawanan memberikan kesinambungan dan
stabilitas dari masa lalu hingga saat ini. Sejarah Timor Leste dengan kolonialisme
mulai membentuk identitas, kepentingan, dan interaksi yang berbasis dalam
perjuangan negara Timor Leste. Selanjutnya, motivasi di balik strategi kebijakan luar
negeri Timor Leste tentang masalah Laut Timor, dan retorika yang digunakan juga di
motivasi oleh kepentingan politik domestik.
Dalam pembahasan ini, penulis akan menggunakan konsep diplomasi
perbatasan yang merupakan pelaksanaan politik luar negeri dalam rangka
penanganan masalah perbatasan yang mencakup batas wilayah negara darat dan laut
serta pengelolaan berbagai masalah perbatasan yang berdimensi internasional87
.
Sebagai praktik dalam terwujudnya diplomasi perbatasan, maka digunakannya
konsep diplomasi publik dalam menjawab permasalahan tersebut.
Dalam diplomasi publik perlu dipahami bahwa proses diplomasinya tidak
hanya di luar negeri tapi juga di dalam negeri. Evan Potte (2006) mengatakan bahwa
permasalahan diplomasi publik tidak hanya tantangan terhadap kebijakan luar negeri,
tetapi juga merupakan tantangan nasional. Esensi dari diplomasi publik adalah
„membuat orang lain berada di pihak anda‟, sedangkan permasalahan dalam
diplomasi publik adalah bagaimana mempengaruhi opini dan perilaku orang lain.
dalam hal ini, yang di maksud orang bukan hanya pemangku kebijakan, melainkan
khalayak atau publik88
.
87
Arif Havas Oegroseno, “Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia”, hal. 13
www.Deplu.go.id di akses pada 23 November 2018 pukul 22.35 88
Potter, Evan. 2006. Branding Canada: Projecting Canada's Soft Power through Public
Diplomacy. Montreal: McGill-Queen‟s University Press. hal. 7
55
Dorongan Timor Leste atas opini yang dominan dalam diplomasi publiknya
untuk menargetkan ruang publik Australia memiliki sejumlah stigma. Yang pertama
adalah bahwa Timor Leste menarik secara signifikan pada persepsi masa lalu dan
saat ini tentang perjuangan Timor Leste untuk pengakuan dan peran Australia dalam
kemerdekaan politik Timor Leste (baik secara simbolis, dan dalam hal kemerdekaan
nyata atau aktual). Yang kedua adalah cara perwakilan politik Timor Leste
memanfaatkan opini publik yang lebih luas secara konsisten di tuntut oleh para
aktivis masyarakat sipil yang telah lama mendukung batas-batas maritim permanen
dan kesepakatan yang lebih baik untuk Timor Leste89
.
Dalam memanfaatkan opini yang semakin luas terkait dengan perselisihan
Laut Timor, Pemerintahan Timor Leste berupaya untuk mempertahankan gelombang
opini ini sebagai lanjutan dari gerakan kemerdekaan Timor Leste. Opini ini
membangkitkan kepercayaan bahwa kedaulatan Timor Leste tetap tidak lengkap
tanpa batas-batas laut yang permanen, dengan demikian perjuangan untuk pengakuan
kedaulatan terus berlanjut bahkan setelah menjadi diakui secara internasional sebagai
negara berdaulat pada tahun 2002.
Perdana Menteri Timor Leste saat ini Rui Maria de Araujo baru-baru ini
berpendapat di media Australia bahwa 'menetapkan batas-batas permanen adalah
masalah prioritas nasional untuk Timor Leste sebagai langkah terakhir dalam
89 Allard, T. „East Timor takes Australia to UN over sea border‟, Sydney Morning Herald, 11
April 2016. https://www.smh.com.au/by/tom-allard-hvezk di akses pada 21 Januari 2019 pukul 20.00
WIB
56
mewujudkan kedaulatan kita sebagai negara merdeka'90
. Dalam pidatonya di
Februari 2016, Dr Araujo berpendapat bahwa batas laut permanen adalah91
:
langkah terakhir dalam mewujudkan kedaulatan penuh kita
sebagai negara yang merdeka. Dari sudut pandang kami, ini
adalah fase kedua dan terakhir dari upaya kami untuk pembebasan
Timor Leste. Sudah hampir empat belas tahun sejak pemulihan
kemerdekaan kita. Kami telah membuat kemajuan luar biasa.
Kami telah membuat pembangunan sosial-ekonomi yang luar
biasa - kami telah membangun fondasi negara, dan pembangunan
bangsa. Kami telah pindah dari negara yang rapuh ke arah
pembangunan yang kuat di berbagai bidang. Tapi, perjuangan kita
untuk kedaulatan tidak akan berakhir sampai kita mengklaim
kedaulatan maritim kita.
Dalam deklarasi publik lainnya, Dr Araujo juga menegaskan bahwa batas-
batas maritim permanen diperlukan bagi Timor Leste untuk mewujudkan kedaulatan
penuh bagi negara baru yang bisa dibanggakan. Hal ini telah menjadi opini sentral
dari kampanye diplomasi publik Timor Leste ketika para pemimpin berusaha untuk
mendorong masyarakat Australia untuk memberikan tekanan pada Australia agar
mengubah kebijakannya.
Gagasan ini adalah batas akhir dari kampanye kemerdekaan Timor Leste
telah di dukung oleh Duta Besar Timor Leste untuk Australia, Abel Guterres, yang
secara terbuka menyatakan „itu adalah bagian penting bagi Timor Leste dalam
menyelesaikan kemerdekaan dan kedaulatannya, seperti yang masing-masing negara
ingin lakukan. Ada kesadaran besar di negara itu tentang masalah perbatasan laut.
90
Allard, T. „East Timor takes Australia to UN over sea border‟, Sydney Morning Herald, 11
April 2016. https://www.smh.com.au/by/tom-allard-hvezk di akses pada 21 Januari 2019 pukul 20.00
WIB 91
Araujo, R. 2016b. Speech by His Excellency the Prime Minister Dr Rui Maria de Araujo
on the occasion of the launch of the maritime boundary office website, Dili Government Palace: 29
February 2016.
57
Bagi Timor Leste ini adalah perjuangan lain untuk kemerdekaan penuh dan
kedaulatan kita atas daratan dan lautan'92
. Menurut Duta Besar Guterres:
setiap orang sadar, Anda perlu memahami bahwa generasi
Timor-Leste saat ini adalah orang-orang yang berperang
dengan Indonesia. Kami merasa sedih bahwa kami butuh 24
tahun dan hilangnya seperempat juta orang (untuk mengakhiri)
perjuangan ini dengan tetangga utara kami. Sekarang kita
harus melakukan perjuangan lain dengan tetangga selatan kita
karena hanya menolak untuk duduk dan menegosiasikan
perbatasan dengan kita. Jadi kita harus berjuang dan berjuang
lagi, tetapi kali ini lebih bersifat intelektual daripada darah
dan air mata93
.
Memahami mengapa opini publik ini dibutuhkan Timor Leste untuk
menumbuhkan kembali semangat perjuangan warisan masa lalu. Nasionalisme anti-
kolonial yang berkembang melalui perlawanan terhadap pendudukan Indonesia terus
menjadi bagian integral dari identitas nasional Timor, dan peran dalam gerakan
perlawanan terus memberikan pelajaran politik tersendiri kepada seriap individu94
.
Di dalam negeri, kemudian opini 'perjuangan kedaulatan' melayani berbagai
tujuan politik: mereka menyatukan dan memobilisasi publik Timor Leste, mereka
memberikan pengalih perhatian dari tantangan sosial-ekonomi yang signifikan yang
dihadapi bangsa dan dari kritik mengenai alokasi sumber daya, dan membantu dalam
mengkonsolidasikan kekuatan elit politik Timor Leste95
. Dalam hal tujuan kebijakan
92
Weir, B. 2016. „Interview: Ambassador Abel Guterres‟. The Diplomat. 20 April 2016.
http://thediplomat.com/2016/04/interview-ambassador-abel-guterres/, di akses pada 05 Desember
2018 pukul 21.04 93
Weir, B. 2016. „Interview: Ambassador Abel Guterres‟. The Diplomat. 20 April 2016.
http://thediplomat.com/2016/04/interview-ambassador-abel-guterres/, di akses pada 05 Desember
2018 pukul 21.23 94
Leach, M. 2015. „The Politics of History in Timor-Leste‟. In S.Ingram, L. Kent and A.
McWilliam (eds) A New Era? Timor-Leste After the UN, Canberra: Australian National University
Press. hal. 41. 95
Strating, R. 2016. „What‟s behind Timor-Leste‟s approach to solving the
Timor Sea dispute?‟, The Conversation, April 18 2016.
http://theconversation.com/whats-behind-timor-lestes-approach-to-solving-the-timor-
sea-dispute-57883 di akses pada 25 Desember 2018 pukul 00.30.
58
luar negeri Timor Leste, opini di rancang untuk menghasilkan dukungan dari dalam
masyarakat sipil Australia, yang menunjukkan dukungan yang besar terhadap
gerakan kemerdekaan Timor Leste selama pendudukan Indonesia96
. Kampanye
diplomasi publik Laut Timor menggunakan opini sebagai cara untuk menghidupkan
kembali dukungan dan persatuan ini untuk tujuan mobilisasi publik.
Opini publik ini memproyeksikan gagasan yang dipertanyakan bahwa selama
Timor Leste tidak memiliki batas-batas maritim permanen, kedaulatannya tetap tidak
lengkap. Simbolisme batas-batas laut permanen terus menjadi dominan dalam opini
publik pemerintah Timor Leste. Menurut Juru Bicara Pemerintah, Agio Pereira97
:
Timor-Leste telah membawa kasusnya ke pengadilan arbitrase
internasional dan ICJ, hanya karena membutuhkan lebih banyak
uang, sama sekali salah. Ada kebutuhan untuk memahami dengan
jelas pengertian 'prinsip' ketika seseorang menyelidiki secara
mendalam hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan komersial
di Laut Timor dimana strategi berorientasi keuntungan dari
perusahaan sumber daya multinasional (MRC) dan kepentingan
nasional dari pemilik yang sama. sumber daya dapat tumpang
tindih atau tergelincir.
Di sini, 'prinsip' memasukkan hak atas batas laut, kedaulatan, konsolidasi
kemerdekaan, dan 'kepentingan nasional' jangka panjang. Batas laut penting karena
kedaulatan berarti98
:
mendefinisikan dengan tepat di mana perbatasan laut yang
berdaulat di Timor-Leste, sehingga Angkatan Pertahanan dan
Sekutu kita di bidang pertahanan (termasuk Australia) dapat
merencanakan kemampuan pertahanan, tidak harus untuk tujuan
96
Fernandes, C. 2014. Reluctant Saviours: Australia, Indonesia and the Independence of
East Timor. Melbourne: Scribe Publications. hal. 15. 97
Agio Pereira, „The Gap is Getting Bigger: It‟s Time to Draw the Line‟, Tempo Semanal,
24 August 2014. https://www.laohamutuk.org/Oil/Boundary/2014/TSAgioPereira25Aug2014en.pdf di
akses pada 25 Desember 2018 pukul 22.22 98
Agio Pereira, „The Gap is Getting Bigger: It‟s Time to Draw the Line‟, Tempo Semanal,
24 August 2014. https://www.laohamutuk.org/Oil/Boundary/2014/TSAgioPereira25Aug2014en.pdf di
akses pada 25 Desember 2018 pukul 22.45
59
perang, tetapi yang paling penting untuk tujuan strategis dan
perdamaian, untuk perlindungan sumber daya alam yang
strategis seperti minyak dan gas dan sumber daya alam yang
paling vital, yakni air.
Opini yang digunakan oleh perwakilan politik Timor Leste berupaya untuk
mengubah arah perdebatan menuju aspek kedaulatan simbolik dan menjauh dari hal
yang bersifat materi. Ini telah menjadi ciri perdebatan sejak kemerdekaan Timor
Leste. Misalnya, argumen utama mantan Perdana Menteri Mari Alkatiri adalah
bahwa sikap Timor Leste bukan tentang uang, itu berkaitan dengan kedaulatan, yang
mencerminkan keyakinan bahwa dimensi simbolis dari perselisihan akan
menghasilkan lebih banyak simpati daripada jika ini hanya perselisihan tentang alam
sumber daya. Perdana Menteri saat ini mengulangi pernyataan ini dengan
menyatakan bahwa99
:
Kita perlu memiliki pesan yang sangat jelas ketika kita berbicara
tentang penggambaran batas-batas laut permanen - kita tidak
berbicara tentang berbagi sumber daya - itu adalah kasus yang
berbeda .... Kita harus jelas kepada semua orang bahwa tujuan
kita adalah untuk membatasi batas laut kita, bukan untuk
mendapatkan bagian yang lebih besar dari sumber daya - ini
bukan masalah kita, masalah kita adalah untuk membatasi batas
kita sebagai bagian dari fase akhir kedaulatan kita.
Untaian opini lain yang menonjol dalam diplomasi publik Timor Leste terkait
dengan hak hukum internasional, dengan tuntutan Timor Leste untuk kemerdekaan
yang berdaulat. Menurut Perdana Menteri Araujo, rakyat Timor Leste mengamankan
batas-batas laut permanen adalah kelanjutan dari perjuangan panjang kami untuk
99
Araújo, R. 2016a. Prime Minister‟s Message. http://www.gfm.tl/about/prime-ministers-
message di akses pada 03 Januari 2019 pukul 20.32
60
kemerdekaan dan kedaulatan penuh. Kami meminta tidak lebih dari apa yang berhak
kami dapatkan berdasarkan hukum internasional100.
Kantor Batas Maritim berpendapat bahwa batas-batas maritim adalah
masalah kedaulatan bagi rakyat Timor Leste. Ketika batas-batas laut permanen
diselesaikan dengan Australia dan Indonesia sesuai dengan hukum internasional,
rakyat Timor Leste akan mencapai kepemilikan kedaulatan dan kendali atas wilayah-
wilayah laut di dalam batas-batas itu101
. Ada juga banyak contoh klaim dalam
aktivisme masyarakat sipil bahwa Timor Leste akan memiliki atau mengendalikan
Greater Sunrise jika batas-batas di ambil sesuai dengan hukum maritim
internasional. Menurut Timor Sea Justice Campaign, „jika batas ditetapkan sesuai
dengan hukum internasional, Greater Sunrise akan sepenuhnya berada di dalam Zona
Ekonomi Eksklusif Timor Leste102
.
Konsep keadilan dalam konteks ketidaksetaraan kekuasaan adalah jantung
dari kampanye diplomasi publik di Laut Timor. Ada sejumlah pertanyaan tentang
seperti apa batas yang adil dan penyelesaian yang adil akan terlihat seperti di bawah
hukum internasional. Ada juga pertanyaan moral tentang status Australia sebagai
negara kaya dan perannya yang terlibat dalam pendudukan Indonesia atas Timor
Timur. Peran ketidaksetaraan yang nyata dalam kekuasaan dan keuntungan antara
Australia dan Timor-Leste telah digunakan untuk menetapkan gagasan bahwa
negosiasi sebagian besar 'tidak adil'. Ini telah menjadi pola argumentasi yang
100
Araújo, R. 2016a. Prime Minister‟s Message. http://www.gfm.tl/about/prime-ministers-
message di akses pada 03 Januari 2019 pukul 20.58 101
Timor-Leste Maritime Boundary Office. 2016. http://www.gfm.tl , di akses pada 12
Januari 2019 pukul 17.11 102
Timor Sea Justice Campaign. 2016. http://www.timorseajustice.com/TSJC/introduction ,
di akses pada 12 Januari 16.42
61
konsisten dalam aktivisme masyarakat sipil dan kampanye diplomasi publik Timor
Leste.
Timor Leste mencoba untuk melakukan tekanan moral dengan menggunakan
kerentanannya terhadap kekayaan Australia, negara itu juga berusaha dalam
negosiasi untuk meniadakan kebutuhannya untuk mencari solusi cepat. Memang,
strategi negosiasi kunci Timor Leste adalah menggunakan konsep keadilan dan
legitimasi di ranah publik untuk menekan Australia ke penyelesaian yang lebih adil.
Berdasarkan penjelasan di atas, diplomasi publik digunakan sebagai cara
dalam menjalankan diplomasi perbatasannya dengan Australia. Timor Leste dapat
mempengaruhi masyarakat dalam negerinya maupun masyarakat di luar negeri,
termasuk di Australia. Dalam membangun opini publik, Timor Leste berhasil
memberikan tekanan yang lebih agar segera melakukan penyelesaian batas maritim
di bawah Mahkamah Internasional. Tekanan itu tidak hanya muncul dari masyarakat
Timor Leste saja, namun sebagian masyarakat Australia juga ikut mendesak
pemerintahannya agar segera menyelesaikan persoalan ini dengan Timor Leste103
.
B. Upaya Melakukan Proses Konsiliasi
Timor Leste berdiri sebagai negara yang resmi sehingga mempunyai hak atas
wilayah kedaulatan yang sah. Upaya Timor Leste mengajukan persoalan batas
maritim dengan Australia ke PBB sudah sewajarnya dilakukan mengingat negosiasi
bilateral antara kedua negara belum bisa menghasilkan batas-batas maritim yang
permanen sesuai ketentuan hukum.
103
Timor Sea Justice Campaign News. Snap protest action outside DFAT in Melbourne:
12:30 Thursday 3 December http://www.timorseajustice.com/timor-sea-justice-campaign-news/snap-
protest-action-outside-dfat-in-melbourne-12-30-thursday-3-december di akses pada 12 Januari 2019
62
Dalam hubungannya dengan upaya mendapatkan pemanfaatan atau
penentuan batas laut di wilayah Laut Timor ini, Timor Leste terlibat dalam beberapa
upaya judisial, seperti: pada April 2013 Timor Leste menggugat Australia di
Permanent Court of Arbitration (PCA) untuk meminta pembatalan perjanjian
CMATS 2006, karena Australia di anggap melakukan tindakan spionase pada Timor
Leste dalam diskusi internal yang dilakukan pihak Timor Leste sebelum melakukan
perjanjian CMATS dengan Australia104
; pada Desember 2013, Timor Leste
menggugat Australia di ICJ karena Australia menyita dan menahan dokumen dan
barang bukti lain milik Timor Leste terkait gugatan spionase di PCA105
; Serta upaya
konsiliasi di PCA sesuai menurut mekanisme penyelesaian sengketa UNCLOS 1982
pada tahun 2016106
.
Dari berbagai kasus yang dijelaskan di atas, penulis menfokuskan upaya
Timor Leste dalam proses konsiliasi di bawah PBB melalui PCA, karena upaya ini
yang dilakukan sesuai dengan konsep penetuan wilayah perbatasan negara yang
digunakan penulis sebagai konsep untuk menjelaskan bagaimana upaya Timor Leste
dalam proses konsiliasi tersebut.
Dalam dimensi hukum internasional, prinsip penetapan perbatasan negara
dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu Prinsip Umum dan Prinsip Khusus. Prinsip
umum dalam penetapan perbatasan negara adalah ketentuan dasar yang dijadikan
acuan dalam penyelesaian penetapan negara secara umum. Dengan prinsip umum
104
What‟s behind Timor-Leste terminating its maritime treaty with Australia, Theconversation, 10 Januari 2017, http://theconversation.com/whats-behind-timor-lesteterminating-
its-maritime-treaty-with-australia-71002 diakses pada 13 Januari 2019 105
International Court of Justice, “Questions relating to the Seizure and Detention of Certain Documents and Data (Timor-Leste v Australia), http://www.icj-cij.org/en/case/156 diakses pada 13
Januari 2019 106
Press Release, “Conciliation Between the Democratic Republic of Timor Leste and the Commonwealth of Australia”, permanent Court of Arbritation, 1 September 2017, http://www.pcacases.com/web/view/132 diakses pada 15 Januari 2018
63
penyelesaian penetapan perbatasan antar negara harus diselesaikan secara damai
melalui perundingan, baik antara negara yang berbatasan ataupun melalui mediasi
pihak ketiga. Dengan demikian prinsip penyelesaian secara damai merupakan prinsip
utama atau prinsip umum dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara107
.
Prinsip kedua adalah prinsip khusus, dalam prinsip ini diimplementasikan
menjadi dua bagian, yakni Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat dan Prinsip
Khusus Batas Laut. Penelitian ini menfokuskan prinsip batas laut sebagai konsep
dalam menjelaskan upaya Timor Leste dalam melibatkan Mahkamah Internasional
untuk menyelesaikan masalah sengketa batas maritim di Laut Timor.
Dalam penetapan batas laut atau batas maritim, yang menjadi landasan
hukum internasional adalah UNCLOS 1982. Mengingat klaim yang didirikan di Laut
Timor adalah mengenai pembagian wilayah ZEE dan Landas Kontinen maka harus
mengacu pada pasal 74 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang penyelesaian
penetapan batas garis ZEE dan pasal 83 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang
penyelesaian batas Landas Kontinen.
Proses Konsiliasi yang diajukan pihak Timor Leste merupakan upaya yang
normal sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di PBB dan dijelaskan pada
Pasal 33 Ayat 1 dalam Piagam PBB, yakni cara menyelesaikan sengketa dengan
damai adalah dengan melakukan perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi,
arbitrase, penyelesaian menurut hukum melalui badan legal atau dengan cara damai
yang ditentukan oleh negara sendiri108
.
107
Hadiwijoyo, Suryo Sakti. 2011. Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum Internasional.
Graha Ilmu: Yogyakarta. Hal 80 108
Suwardi, Sri Setianingsih. 2006. Penyelesaian Sengketa Internasional. Penerbit
Universitas Indonesia: Jakarta. hal. 2.
64
UNCLOS 1982 telah menyediakan suatu sistem penyelesaian sengketa. Di
lihat dari perkembangan sistem peradilan internasional, mekanisme UNCLOS 1982
ini merupakan yang pertama kali yang dapat mengarahkan negara-negara peserta
untuk menerima prosedur yang memaksa (compulsory procedures). Dengan sistem
UNCLOS 1982 maka tidak ada lagi ruang bagi negara-negara pihak UNCLOS 1982
untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan bersembunyi di belakang
konsep kedaulatan negara karena UNCLOS 1982 secara prinsip mengharuskan
negara-negara pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui mekanisme
UNCLOS 1982. Negara-negara pihak UNCLOS 1982 dapat membiarkan suatu
sengketa tidak terselesaikan hanya jika pihak lainnya setuju untuk itu. Jika pihak lain
tidak setuju, maka mekanisme prosedur memaksa UNCLOS 1982 akan
diberlakukan109
.
Dalam hal ini UNCLOS 1982 mengenalkan empat macam cara
menyelesaikan sengketa, yaitu melalui Mahkamah Internasional Hukum Laut,
Mahkamah Internasional, Arbitrase atau Arbitrase khusus dan Konsiliasi. Proses
konsiliasi yang digunakan Timor Leste dalam upaya menyelesaikan sengketa Laut
Timor dengan Australia. Adapun cara penyelesaian perselisihan menurut prosedur
ini di mulai dengan pemberitahuan dari salah satu pihak yang berselisih kepada
pihak lainnya. Sekretaris Jenderal PBB akan memegang nama-nama dari konsiliator
yang di tunjuk oleh negara-negara peserta UNCLOS 1982 di mana setiap negara
dapat menunjuk empat konsiliator dengan persyaratan bahwa orang-orang tersebut
mempunyai reputasi tinggi, kompeten dan memiliki integritas110
.
109
Anwar, Chairul. 1989. Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional
Konvensi Hukum Laut 1982. Penerbit Djambatan: Jakarta. hal. 123 110
Anwar, Chairul. 1989. Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional
Konvensi Hukum Laut 1982. Penerbit Djambatan: Jakarta. hal. 123
65
Pada tahun 2016 Timor Leste telah mengambil langkah konsiliasi di
Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) sebagai harapan terselesaikannya sengketa
di Laut Timor dan menghasilkan batas wilayah yang adil sesuai ketentuan hukum
internasional. Melalui Komisi Konsiliasi ini, proses berlangsung dengan dibawahi
lima komisioner dari berbagai negara. Di pimpin oleh H.E. Duta Besar Peter Tak-
Jensen (Denmark), Dt. Rosalie Balkin (Australia), Hakim Abdul G. Koroma (Sierre
Leone), Prof. Donald McRae (Kanada dan Selandia Baru) dan Hakim Rudiger
Wolfrum (jerman)111
.
Keputusan-keputusan tentang masalah proseduril, laporan-laporan dan
rekomendasi dari Komisi, dilaksanakan dengan pemungutan suara terbanyak. Komisi
dapat meminta perhatian dari pihak-pihak yang berselisih terhadap upaya-upaya
yang memberikan jalan bagi suatu penyelesaian damai. Komisi akan mendengar
pihak-pihak yang berselisih, memeriksa klaim mereka, serta keberatan-keberatan
yang diajukan dan menyiapkan usul-usul penyelesaian sengketa secara damai112
.
Australia memberikan respon dalam keterlibatannya pada proses yang
dilakukan sesuai dengan konvensi dan dengan itikad baik. Komisi Konsiliasi
mengadakan pertemuan peratamanya pada Juli 2016 di Den Haag. Pada awal
pertemuan ini, Komisi Konsiliasi dan Para Pihak menyepakati aturan prosedural
untuk mengatur proses tersebut. Dalam agenda konsiliasi, pertemuan komisi
konsiliasi seharusnya dirahasiakan dan tidak untuk khalayak umum. Namun, atas
desakan Timor Leste dan demi terbangunnya transparansi serta kepercayaan dari
masyarakat maka komisi konsiliasi setuju untuk mengeluarkan siaran pers regular
111
Press Release, “Conciliation Between the Democratic Republic of Timor Leste and the
Commonwealth of Australia”, permanent Court of Arbritation, 1 September 2017, tersedia di
http://www.pcacases.com/web/view/132 diakses pada 25 Januari 2019 112
Anwar, Chairul. 1989. Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional
Konvensi Hukum Laut 1982. Penerbit Djambatan: Jakarta. hal. 127
66
yang diterbitkan oleh Pengadilan Arbitrase Permanen, serta mengadakan audiensi
kepada publik sejak awal agar kedua pihak mempresentasikan persoalan ini secara
terbuka113
.
Pada tanggal 29 Agustus 2016 dalam situs web Pengadilan Arbitrase
Permanen menyiarkan secara langsung audiensi publik yang dilakukan di Den Haag.
Televisi Nasional Timor Leste juga menyiarkan, sehingga masyarakat Timor Leste
dapat menyaksikan acara bersejarah ini melalui siaran langsung114
.
Proses konsiliasi dilakukan sejak tahun 2016 sampai dengan 2018, dan telah
melakukan beberapa kali pertemuan dari berbagai pihak yang bersangkutan. Pada
awal tahun 2017 dalam konsiliasi ini, pihak Timor Leste, Australia beserta dengan
konsiliator telah menyepakati pemberhentian perjanjian CMATS 2006. Hingga pada
akhir 2017, Timor Leste dan Australia telah menyepakati rancangan perjanjian
dalam membatasi batas laut secara permanen. Setelah proses panjang telah
dilakukan, konsiliasi diakhiri dengan ditandatanganinya Perjanjian Batas Maritim
yang baru di New York dan disaksikan langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, H.E.
Antonio Guterres dan para komisi konsiliasi pada tanggal 6 Maret 2018115
.
Hal ini dapat dipahami menggunakan konsep penentuan wilayah perbatasan
negara sesuai dengan hukum yang berlaku. Persoalan perbatasan pada dasarnya bisa
diselesaikan dengan melakukan perundingan secara bilateral, namun ketika negosiasi
bilateral tidak dapat menghasilkan kesimpulan yang pasti maka persoalan sengketa
113
Maritime Boundary Office, http://www.gfm.tl/ di akses pada 25 Oktober 2018 pukul
15.32 114
Maritime Boundary Office, http://www.gfm.tl/ di akses pada 25 Oktober 2018 pukul
15.32 115
Press Release, “Conciliation Between the Democratic Republic of Timor Leste and the Commonwealth of Australia”, permanent Court of Arbritation, http://www.pcacases.com/web/view/132 diakses pada 15 Januari 2019
67
di perbatasan laut harus diselesaikan di bawah forum yang disediakan oleh PBB,
termasuk melakukan konsiliasi. Seperti yang dilakukan oleh Timor Leste terhadap
sengketa Laut Timor dengan Australia. Timor Leste melakukan tindakan sesuai
dengan prosedur hukum internasional yang berlaku.
C. Membentuk Dewan Batas Maritim 2015
Dewan Batas Maritim di bentuk untuk menjadi solusi bagi aspirasi
masyarakat Timor Leste dan menginginkan kedaulatan penuh atas wilayah
nasionalnya, terutama di zona maritim. Berdasarkan hukum internasional, Timor
Leste berhak mendapatkan perbatasan maritimnya yang sah. Sejak Timor Leste
menjadi Negara merdeka, proses negosiasi penetapan perbatasan yang permanen
belum pernah dilakukan karena terhalang oleh perjanjian-perjanjian sementara yang
ada di Laut Timor dengan Australia.
Dalam hal pembentukan Dewan Batas Maritim akan dijelaskan menggunakan
konsep perbatasan dengan melandaskan pada prinsip pentingnya perbatasan bagi
suatu negara sehingga dalam memenuhi upaya Timor Leste menentukan wilayah
perbatasannya, Pemerintahan Timor Leste membentuk tim khusus yang diresmikan
sebagai Dewan Batas Maritim. Menentukan batas wilayah merupakan suatu
persoalan yang panjang kompleks dan yuridis, yang membutuhkan tidak hanya
kemampuan diplomasi saja, namun juga keahlian teknis dan yuridis.
J.G. Starke berpendapat bahwa wilayah perbatasan adalah batas terluar
wilayah suatu negara berupa suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu
negara dengan wilayah negara lain di darat, laut maupun udara yang dapat
68
dikualifkasi dalam terminology “border zone” (zona perbatasan) maupun “customs
free zone” (zona bebas kepabeanan). Wilayah perbatasan dalam dua terminologi di
atas dapat di atur secara terbatas dalam berbagai perjanjian internasional yang
bersifat “treaty contract” untuk menyelesaikan permasalahan diperbatasan secara
sementara maupun yang bersifat “law making treaty” untuk pengaturan masalah
perbatasan secara permanen berkelanjutan116
.
Dewan untuk Penentuan Akhir Perbatasan Maritim didirikan pada 2015 dan
kekuasaannya didefinisikan ulang pada Maret 2016, juga dengan pandangan untuk
mencerminkan penunjukan Yang Mulia Kay Rala Xanana Gusmao oleh Dewan
Menteri kepada Ketua Tim Negosiasi untuk sebuah perjanjian untuk pembatasan
perbatasan maritim dengan Persemakmuran Australia dan Republik Indonesia.
Timor Leste menganggap wilayah perbatasan maritim sangat penting, sehingga
membentu Dewan yang dikhususkan untuk batas maritim negaranya117
.
Misi utama Dewan Batas Maritim adalah memobilisasi upaya-upaya Timor
Leste untuk menyelesaikan kedaulatan penuh berdasarkan Hukum Internasional.
Dewan Batas Maritim pada tanggal 11 April 2016 memprakarsai proses konsiliasi
dengan Australia di bawah Konvensi PBB tentang UNCLOS 1982. Prestasi ini yang
menjadi sorotan masyarakat Timor Leste, Sehingga Dewan Batas Maritim
memanfaatkan momen atas dukungan masyarakat. Opini Publik terus dikembangkan
oleh Dewan Batas Maritim sebagai power untuk mendesak Australia agar segera
menyelesaikan batas maritim dengan Timor Leste. Ditandai dengan beberapa kali
116
Starke, J. G. 1989. “Pengantar Hukum Internasional”, Sinar Grafika: Jakarta. hal. 244 117
Dr. Rui Maria de Araujo, O Primeiro-Ministro da República Democrática de Timor-Leste,
Conselho para a Delimitação Definitiva das Fronteiras Marítimas, RETRATO DO VI GOVERNO
CONSTITUCIONAL [ 2015 - 2017 ], hal. 132-133. http://timor-leste.gov.tl/wp-
content/uploads/2017/08/Low_Pt_Texto_VI-GOVERNO-CONSTITUCIONAL1.pdf di akses pada 21
Desember 2018 pukul 22.56
69
terjadinya aksi damai besar-besar yang dilakukan masyarakat Timor Leste di depan
Kedutaan Besar Australia atas Timor Leste di Dili. Pada 22 Maret 2016 lebih dari
10.000 warga Timor Leste menyampaikan wujud kekecewaan atas kegagalan
negosiasi yang dilakukan pemerintah pada Mei 2015118
.
Dalam mencerminkan prioritas nasional Timor Leste, Kay Rala Xanana
Gusmao sebagai bapak pendiri bangsa, presiden pertama yang terpilih serta mantan
Perdana Menteri telah di tunjuk sebagai Kepala Negosiator tentang batas-batas
maritim sekaligus membawai Dewan Batas Maritim. Ketika keputusan di buat untuk
memulai proses konsiliasi, Pemerintah mendukung penuh Kepala Negosiator Xanana
Gusmao untuk memimpin tim negosiasi dalam proses persidangan. Dr Agio Pereira
sebagai Menteri Luar Negeri dipercayakan sebagai agen dalam proses konsiliasi dan
didampingi oleh Kepala Pelaksana Eksekutif Pelayan Batas Maritim, yakni Elizabeth
Exposto sebagai wakil agen atas Timor Leste119
.
Menjelang keputusan, Timor Leste telah membentuk tim penasehat ahli kelas
dunia untuk menyusun strategi hukumnya. Penasihat ahli hukum internasional di
pimpin oleh Stephen Webb dari Australia (Kepala Sektor Energi Asia-Pasific),
didampingi oleh Janet Legrand dari Inggris (Konsultan Hukum) dan Gitanjali Bajaj
dari Australia. Dua Pengacara terkemuka di bidang hukum laut akan membantu
jalannya proses ini, yang akan ditugaskan kepada Vaughan Lowe. Vaughan Lowe
merupakan Profesor Hukum Internasional di Universitas Oxford sekaligus penulis
buku The Law of the Sea. Pengacara kedua adalah seorang member di Komisi
118
Dr. Rui Maria de Araujo, O Primeiro-Ministro da República Democrática de Timor-Leste,
Conselho para a Delimitação Definitiva das Fronteiras Marítimas, RETRATO DO VI GOVERNO
CONSTITUCIONAL [ 2015 - 2017 ], hal. 132-133. http://timor-leste.gov.tl/wp-
content/uploads/2017/08/Low_Pt_Texto_VI-GOVERNO-CONSTITUCIONAL1.pdf di akses pada 21
Desember 2018 pukul 22.56 119
Maritime Boundary Office, http://www.gfm.tl/ di akses pada 25 Oktober 2018 pukul
15.32
70
Hukum Internasional dan juga mantan Kepala Penasihat Hukum di UK Foreign dan
Commonwealth Office di Inggris. Keduanya memiliki pengalaman yang luas
mewakili negara dalam sengketa batas laut120
.
Adapun dalam lingkup fungsinya, telah terlihat pencapaian oleh Dewan Batas
Maritim dalam mengupayakan batas laut permanen dengan Australia. Pada tanggal
11 April 2016, Dewan Batas Maritim serta di dukung dengan pemerintahan Timor
Leste telah berhasil memprakarsai prosedur konsiliasi di Mahkamah Arbitrase
Internasional. Xanana Gusmao sebagai kepala negosiator dari Dewan Batas Maritim
juga telah ikut mendominasi jalannya proses konsiliasi hingga selesai dan
mendapatkan kesepakatan yang adil di bawa Mahkamah Arbitrase Internasional pada
tahun 2018.
Konsep Perbatasan menjelaskan bahwa wilayah perbatasan bagi suatu negara
sangat penting terutama perbatasan maritim, sehingga menjadikan pembahasan yang
lebih fokus dalam tujuan suatu negara. Dalam Konsep Penentuan Wilayah
Perbatasan negara mejelaskan mengenai mekanisme dalam memperoleh perbatasan
yang pasti dan sah sesuai hukum internasional. Jalur Hukum akan di capai jika
negosiasi bilateral tidak menghadirkan solusi yang adil bagi kedua negara. Upaya
Diplomasi Perbatasan juga dilakukan oleh Timor Leste melalui konsep diplomasi
publik yang menghadirkan opini publik atas perjuangan yang belum selesai atas hak
kedaulatan wilayah negaranya.
Kepentingan Nasional Timor Leste dalam memperjuangkan hak
kedaulatannya sebagai negara yang merdeka untuk mendapatkan identitas yang
berdaulat dalam wilayahnya. Adanya kepentingan nasional memberikan gambaran
120
Maritime Boundary Office, http://www.gfm.tl/ di akses pada 25 Oktober 2018 pukul
15.32
71
bahwa terdapat aspek-aspek yang menjadi identitas dari negara. Hal tersebut dapat di
lihat dari sejauh mana fokus negara dalam memenuhi target pencapaian demi
kelangsungan bangsanya. Dari identitas yang diciptakan dapat dirumuskan apa yang
menjadi target dalam waktu dekat, bersifat sementara ataupun juga demi kelangsungan
jangka panjang. Hal demikian juga seiring dengan seberapa penting identitas tersebut
apakah sangat penting maupun sebagai hal yang tidak terlalu penting121.
121
P.Anthonius Sitepu. 2011. Studi Hubungan Internasional. Graha Ilmu: Yogyakarta. hal.163
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melalui sejarah keterlibatan teritorial dan kerugian, konflik dan perselisihan
yang telah terjadi sejak masa penjajahan Portugis, Timor Timur, bahkan setelah
penaklukan kemerdekaannya, tidak benar-benar menaklukkan kedaulatannya, sejauh
menyangkut perbatasan laut. Dengan demikian, sesuai dengan hukum internasional,
pemerintah memiliki kewajiban untuk mengendalikan dan mendominasi wilayah
maritimnya, dan melaluinya akan dimungkinkan bahkan jika ada hambatan politik.
Karena itu, perjuangan rakyat Timor Leste belum berakhir, sebagai akibat dari
perselisihan tentang perbatasan maritim antara Timor Leste dan Australia yang
menjadi dasar pembentukan kedaulatan dan pembangunan ekonomi yang
sebenarnya.
Bagi Timor-Leste, pencapaian batas-batas laut permanen dengan negara
tetangga Australia adalah sangat penting. Ini merupakan salah satu langkah terakhir
dan paling sulit dalam perjalanan bangsa menuju kedaulatan yang nyata. Aspirasi
rakyat Timor untuk penentuan nasib sendiri diperkuat selama perjuangan panjang
untuk pembebasan. Melalui sejarah ini, orang Timor Leste belajar pentingnya
mengamankan hak-hak kedaulatan dan mampu dengan bebas menentukan masa
depan mereka sendiri. Akses ke laut akan sangat penting untuk mencapai
kemerdekaan politik dan ekonomi sejati sebagai negara berdaulat yang bebas, stabil,
dan demokratis.
73
Pengejaran batas maritim permanen menjadi prioritas nasional utama, karena
hal ini sudah menjadi perjuangan bersama antara pemerintah dan masyarakat Timor
Leste. Ketika Timor Leste menavigasi tantangan untuk menjadi negara baru dan
pulih dari kehancuran perang, Australia bersedia terlibat dalam pengaturan
sementara untuk berbagi sumber daya di Laut Timor. Namun, prospek kesepakatan
tentang batas-batas laut permanen tampaknya mustahil.
Rakyat Timor Leste tidak menyerah. Keputusan berani untuk memulai
konsiliasi wajib di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut ditegaskan oleh tekad
rakyat Timor Leste untuk mengejar hak kedaulatan mereka, dan keyakinan mereka
bahwa sistem internasional akan menghasilkan keputusan tentang batas-batas
wilayah yang adil. Hasil ini memang benar-benar dinantikan Timor Leste demi
membangun kepentingan-kepentingan nasionalnya yang masih belum maksimal.
Proses penyelesaian dan upaya-upaya Timor Leste seperti membuat
diplomasi public melalui penggiringan opini mengenai penyempurnaan kedaulatan
yang sebenarnya akan dapat menyatukan energi yang kuat bagi Timor Leste.
Ditambah lagi dengan dilibatkannya Mahkamah Internasional dalam menangani
persoalan yang ada di Timor Leste dengan Australia sepertinya semakin membuat
pihak Australia sedikit lebih menganggap keberadaan Timor Leste yang selama ini
selalu dipandang sebelah mata. Pemerintah Timor Leste memberanikan untuk
membentuk Dewan Batas Maritim untuk dapat mendobrak penyelesaian perbatasan
dengan Australia yang tak kunjung usai.
74
A. Saran
Berdasarkan penelitian ini dapat dilihat upaya-upaya Timor Leste dalam
menyelesaikan sengketa Laut Timor dengan Australia yang di batasi pada periode
2012-2016. Perjuangan Timor Leste untuk mendapatkan kedaulatan penuh masih
belum berakhir, sehingga tidak menutup kemungkinan proses dan upaya akan terus
di lakukan lebih serius. Persoalan perbatasan permanen masih menjadi pekerjaan
pemerintahan Timor Leste, sehingga hal ini akan menjadi pembahasan yang panjang
dengan melibatkan Mahkamah Arbitrase. Oleh karena itu perlu adanya penelitian
lanjutan untuk membahas mengenai kebijakan Timor Leste dalam menentukan batas
permanen dengan Australia pada periode-periode selanjutnya.
xi
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anwar, Chairul. 1989. Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut
Internasional Konvensi Hukum Laut 1982. Penerbit Djambatan: Jakarta
Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, 2010. Terampil Mengolah Data Kualitatif
Dengan NVIVO. Prenada Media Group : Jakarta.
Barbara, Kiwatowska. 1989. The 200 Mile Exclusive Economic Zone in the Law of
the Law. Martinus Nijhoff Publishers: Dordrecht
Cleary, P. 2007, Shakedown: Australia‟s Grab for Timor Oil, Allen & Unwin
Creswell, John. 1994. Research Design “ Qualitative & Quatitative Approach ‖,
London SAGE Publications.
Evi Rachmawati, Diplomasi Perbatasan Dalam Rangka Mempertahankan
Kedaulatan NKRI, Dalam Madu Ludiro, dkk. 2010. Mengelola Perbatasan
Indonesia Di Dunia Tanpa Batas: Isu, Permasalahan dan pilihan kebijakan.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Fernandes, C. 2014. Reluctant Saviours: Australia, Indonesia and the
Independence of East Timor. Melbourne: Scribe Publications
Guteriano Neves (et.al.), 2008, “LNG Sunrise di Timor-Leste: Impian, Kekayaan
dan Tantangan”, Laporan La‟o Hamutuk Institut Pemantau dan
Rekonstruksi Timor Leste
H.D. Anderson. 1984. „Australia-Indonesia Relations‟ dalam Regional Dimesnions of
Indonesia- Australia Relations. Jakarta : CSIS
Hadiwijoyo, Suryo Sakti. 2011. Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum
Internasional. Graha Ilmu: Yogyakarta
Kusumaatmaja, Mochtar. 1992. Perjanjian Indonesia-Australia di Celah Timor.
Leach, M. 2015. „The Politics of History in Timor-Leste‟. dalam S.Ingram, L. Kent
and A. McWilliam (eds) A New Era? Timor-Leste After the UN, Canberra:
Australian National University Press.
Makarim. Z.A. dkk. 2003. Hari-Hari Terakhir Timor Timur. Sebuah Kesaksian.
Jakarta: Sportif Media Informasindo
xii
Mauna Boer, 2000, “Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global”,.
PT. Alumni: Jakarta
P.Anthonius Sitepu. 2011. Studi Hubungan Internasional. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Potter, Evan. 2006. Branding Canada: Projecting Canada's Soft Power through
Public Diplomacy. Montreal: McGill-Queen‟s University Press.
Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Pustaka Pelajar:Yogyakarta
S.L. Roy, 1999, “Diplomasi”, Rajawali Press: Jakarta
Starke, J. G. 1989. “Pengantar Hukum Internasional”, Sinar Grafika: Jakarta
Suwardi, Sri Setianingsih. 2006. Penyelesaian Sengketa Internasional. Penerbit
Universitas Indonesia: Jakarta
Wahyono S.K, 2009. Indonesia Negara Maritim. Jakarta: Teraju.
Wila. R. C. Mamixon. 2006. “Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan
Wilayah Perbatasan Antarnegara”, PT. Alumni: Bandung
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan ‖, Yayasan Obor Indonesia:
Jakarta
Jurnal dan Artikel
Agreement Between The Government Of The Common Wealth Of Australia And The
Government Of The Republic Of Indonesia Establishing Certain Seabed
Boundaries In The Area Of The Timor And Arafura Seas, Supplementary
To The Agreement Of 18 May 1971
Anthony Aust, Handbok of International Law, Cambridge University Press, 2nd
Edition, 2010
Australian and New Zeeland Maritime Law Journal website, Antony Heiser,
Solicitor of the Supreme Court of Queensland, East Timor and the Joint
Petroleum Development Area,
xiii
https://maritimejournal.murdoch.edu.au/archive/vol_17/Vol_17_2003%20
Heiser.pdf di akses pada 28 November 2018
Buletin La‟o Hamutuk, “Kronologi Negosiasi Laut Timor”, Perjanjian CMATS,
Vol.7, No. 1, April 2006
Buletin La‟o Hamutuk, “Penjelasan Terhadap Kepentingan Nasional Australia”,
Penyaringan PNTL Untuk Kembali Bertugas, Vol.8, No.2, Juni 2007
Buletin Lao Hamutuk, “Latar Belakang Sejarah Laut Timor”,. Vol. 4. No. 3-4,
Agustus 2003
Customary International Law is defined as “Rules derived from general practice
among the states together with opinio juris” Anthony Aust, Handbok of
International Law, Cambridge University Press, 2nd
Edition, 2010
Embassy Of The Democratic Republic Of Timor-Leste, Inquiry into Australia‟s
Relationship with Timor Leste, Submission No. 46.
Google Earth Map for the Timor Sea Maritime Boundary Dispute,
https://viewfromll2.com/2014/03/17/google-earth-map-for-the-timor-sea-
maritime-boundary-dispute/ di akses pada 22 Januari 2019
Indonesian Journal of International Law. TIMOR SEA TREATY. Vol. 14 No. 3 April
2017
Johan Kusuma, Ardli. DINAMIKA KEPENTINGAN AUSTRALIA TERHADAP
TIMOR LESTE DARI TAHUN 1975 – 1999. Dosen Program Studi Ilmu
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
17 Agustus 1945 Jakarta.
Jornal da República of Timor-Leste website, Resolution N.º 2/2003
http://www.jornal.gov.tl/?mod=artigo&id=1297 , di akses pada 09
November 2018
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA NOMOR V/MPR/1999 TAHUN 1999 TENTANG
PENENTUAN PENDAPAT DI TIMOR TIMUR
L.D.M., Nelson - «The Roles of Equity in the Delimitation of Maritime Boundaries»,
in American Journal of International Law, 1990, vol. 84 (4).
Lundahl, M. & Sjöholm, F. 2008, „The oil resources of Timor-Leste: Curse or
Blessing?‟, The Pacific Review, vol 21, no. 1
Malcom N. Shaw QC, International Law, Cambridge University Press, 5th Edition,
2003
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. “Penyelesaian Sengketa Celah Timor dan
Implikasinya Bagi Indonesia”. Vol. X. No. 06. Maret 2018
xiv
Raimundo de Fátima Alves Correia. 2011. “Resume skripsi Upaya Timor Leste
dalam Menyelesaikan Batas Wilayah Laut dengan Australia”
Rawul Yulian R. “Upaya Timor Leste dalam Penyelesaian Garis Tapal Batas
dengan Australia”. Vol.1, no.2, 2013
Setiadi, Ignasius Yogi Widianto. 2014. Upaya Negara Indonesia dalam Menangani
Masalah Illegal Fishing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal
Hukum Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jogjakarta
Simatupang, Abdi Nelson. PERAN COMMISSION OF TRUTH AND
FRIENDSHIPDALAM NORMALISASI HUBUNGAN BILATERAL
INDONESIA –REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR LESTE. JOM FISIP
Volume 4 No. 2 Oktober 2017
Susan Simpson, 2014, “A Timeline of Events leading up to Timor-Leste‟s ICJ
Claims Againts Australia”, http://viewfromII2.com/2014/01/25/a-timeline-
of-events-leading-up-to-timur-leste-icj-claim-againts-australia/, diakses 22
April 2016
Susanto Atriyon Julzarika, “Jurnal Ilmiah Geomatika”, Vol. 16 No. 1, Agustus
2010
United Nations Convention on the Law of the Sea, opened for signature 10 December
1982, 1833 UNTS 3 (entered into force 16 November 1994) art 57 & 77
(„UNCLOS‟).
Website dan Berita
Acordo de planeamento estrategico para o desenvolvimento Timor-Leste – Australia,
https://dfat.gov.au/about-us/publications/Documents/strategic-planning-
agreement-portuguese.pdf diakses pada 19 Januari 2019
Agio Pereira, „The Gap is Getting Bigger: It‟s Time to Draw the Line‟, Tempo
Semanal, 24 August 2014.
https://www.laohamutuk.org/Oil/Boundary/2014/TSAgioPereira25Aug201
4en.pdf di akses pada 25 Desember 2018
Allard, T. „East Timor takes Australia to UN over sea border‟, Sydney Morning
Herald, 11 April 2016. https://www.smh.com.au/by/tom-allard-hvezk di
akses pada 21 Januari 2019 pukul 20.00 WIB
Araujo, R. 2016a. Prime Minister‟s Message. http://www.gfm.tl/about/prime-
ministers-message di akses pada 03 Januari 2019
xv
Araujo, R. 2016b. Speech by His Excellency the Prime Minister Dr Rui Maria de
Araujo on the occasion of the launch of the maritime boundary office
website, Dili Government Palace: 29 February 2016.
Arif Havas Oegroseno, “Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia”, hal. 13
www.Deplu.go.id di akses pada 23 November 2018
At the launch of the book East Timor in Transistion 1998-2000: An Australian Policy
Challenge‟ https://foreignminister.gov.au/speeches/2001/010717_et.html
diakses pada 24 Januari 2019
Australia – Estrategia para Timor-Leste 2009 a 2014, https://dfat.gov.au/about-
us/publications/Documents/timor-country-strategy-port.pdf di akses pada
19 Januari 2019
Australian Government website, http://www.comlaw.gov.au/Details/C2004C01300,
di akses pada 09 November 2018
Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea, the Timor Sea Treaty and the
Timor Gap, 1972-2007
http://www.laohamutuk.org/Oil/Boundary/JSCT/sub6RKing.pdf, di akses
pada 29 November 2018
Dachoni, R. 2007. Menguak Kembali Lepasnya Timor Timur.
http://raj3s4.com/2007/10/menguak-kembali-lepasnya-timor-timur.html di
akses pada 29 Mei 2018
Dr. Rui Maria de Araujo, O Primeiro-Ministro da República Democrática de Timor-
Leste, Conselho para a Delimitação Definitiva das Fronteiras Marítimas,
RETRATO DO VI GOVERNO CONSTITUCIONAL [ 2015 - 2017 ], hal.
132-133. http://timor-leste.gov.tl/wp-
content/uploads/2017/08/Low_Pt_Texto_VI-GOVERNO-
CONSTITUCIONAL1.pdf di akses pada 21 Desember 2018
International Court of Justice, “Questions relating to the Seizure and Detention of
Certain Documents and Data (Timor-Leste v Australia), http://www.icj-
cij.org/en/case/156 diakses pada 13 Januari 2019
Kupang (Antara News), 30 September 2009,
https://www.antaranews.com/berita/111934/laut-timor-dan-kisah-tragis-
nelayan-tradisional-indonesia di akses pada 28 November 2018
Mahkamah Arbitrtase Den Haag Setuju Bahas Celah Timor,
http://www.dw.com/id/mahkamah-arbitrase-den-haag-setuju-bahas-celah-
timor/a-35891068 pada 30 September 2016
MARITIME LEGISLATION AMENDMENT ACT 1994 No. 20, 1994,
https://www.legislation.gov.au/Details/C2004A04696 di akses pada 19
Februari 2019
xvi
National Petrol Authority of Timor-Leste website, Timor Sea Treaty,
http://www.anptl.
org/webs/anptlweb.nsf/vwAll/ResourceTimor%20Sea%20Treaty/$File/Tim
or%20Sea%20Treaty.pdf?openelement, di akses pada 09 November 2018
“Negosiasi UNTAET dengan Australia”.
http://id.www.org./Administrator_Perserikatan_Bangsa_Bangsa_untuk_Ti
mor_Timur di akses pada 18 Februari 2019
Orcamento Geral Orcamento Geral do Estado 2016, https://www.mof.gov.tl/wp-
content/uploads/2016/03/Budget_Book_5_DPMU_Portuguese_reviewed_-
draft_final_10_Oct_FormattedRO_20121012.pdf di akses pada 19 Januari
2019
Permanent Court of Arbitration, Arbitration Under the Timor Sea Treaty (Timor
Leste v. Australia), http://www.pca-cpa.org/showpage.asp di akses pada 22
Januari 2019
Petrotimor website, in the matter of East Timor‟s maritime boundaries opinion, by
Vaughan Lowe, Christopher Carleton and Christopher Ward,
http://www.petrotimor.com/lglop.html, di akses pada 29 November 2018
Prambont, M. 2010. Lepasnya Timor Timur. http://mu-jalin.com/2010/04/lepasnya-
timor-timur.html di akses pada 29 Mei 2018
Press Release, “Conciliation Between the Democratic Republic of Timor Leste and
the Commonwealth of Australia”, permanent Court of Arbritation, 1
September 2017, http://www.pcacases.com/web/view/132 diakses pada 15
Januari 2018
Strating, R. 2016. „What‟s behind Timor-Leste‟s approach to solving the Timor Sea
dispute?‟, The Conversation, April 18 2016.
http://theconversation.com/whats-behind-timor-lestes-approach-to-solving-
the-timor-sea-dispute-57883 di akses pada 25 Desember 2018
The United Nations website, United Nations Convention on the Law of the Sea,
http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.
pdf, article 76, di akses pada 29 November 2018
Timor Leste Maritime Boundary Office. 2016. http://www.gfm.tl , di akses pada 12
Januari 2019
Timor Sea Justice Campaign News. Snap protest action outside DFAT in Melbourne:
12:30 Thursday 3 December http://www.timorseajustice.com/timor-sea-
justice-campaign-news/snap-protest-action-outside-dfat-in-melbourne-12-
30-thursday-3-december di akses pada 12 Januari 2019
Timor Sea Justice Campaign. 2016.
http://www.timorseajustice.com/TSJC/introduction , di akses pada 12
Januari 2019
xvii
Timor Sea Office (2006a), „The Bayu-Undan Development‟,
http://www.timorseaoffice.gov.tp/bayufacts.htm di akses pada 07
November 2018
Weir, B. 2016. „Interview: Ambassador Abel Guterres‟. The Diplomat. 20 April
2016. http://thediplomat.com/2016/04/interview-ambassador-abel-guterres/,
di akses pada 05 Desember 2018