urgensi justice collaborator dalam …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/ginia tia...

142
URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst) S K R I P S I Oleh : GINIA TIA SAGITA E1A010222 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014

Upload: lengoc

Post on 12-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

i

URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)

S K R I P S I

Oleh :

GINIA TIA SAGITA

E1A010222

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2014

Page 2: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

i

SKRIPSI

URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)

SKRIPSI

Disusun oleh:

GINIA TIA SAGITA

E1A010222

Untuk memenuhi salah satu persyaratan

memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2014

Page 3: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk
Page 4: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

iii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama : Ginia Tia Sagita

NIM : E1A010222

Judul Skripsi : URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM

PENGUNGKAPAN KASUS TINDAK PIDANA

KORUPSI (Tinjauan Yuridis Putusan No:

59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya

sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang

lain.

Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,

maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.

Purwokerto, 12 November 2014

Ginia Tia Sagita

NIM. E1A010222

Page 5: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

iv

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

setelah melalui proses yang panjang, suka duka dan jatuh bangun, akhirnya skripsi

dengan judul: “URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM

PENGUNGKAPAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan

Yuridis Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)” telah terselesaikan.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

(S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segenap rasa hormat

dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Angkasa, S. H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman dan juga Dosen Pembimbing Akademik atas motivasi

dan nasihat-nasihat dalam berproses dari awal di Fakultas Hukum;

2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas

segala ilmu dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis, sehingga

penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berpikir lebih baik;

3. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala ilmu,

nasihat, dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama ini

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;

4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H, M.H., selaku dosen penguji atas segala saran

dan masukan yang diberikan kepada penulis;

Page 6: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

v

5. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman;

6. Keluarga besar ALSA LC UNSOED atas kebersamaan, persaudaraan, dan

pengalaman berharga;

7. Ibu Lina Rahmawati dan Papa Sutiono, yang selalu memberi semangat pada

anaknya hingga detik ini, adik-adik dan seluruh keluarga yang selalu

mendoakan hingga skripsi ini selesai;

8. Teman-teman perjuangan 2010 yang setia menemani dari awal di Fakultas

Hukum hingga hari kelulusan saya: Debby, DPutri, Prilly, Niramaya, Sabilla,

Tasyha, Arie, Ageng, dan Robby.

Akhir kata, skripsi ini hanyalah hasil karya manusia yang memiliki banyak

kekurangan, adanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun pihak lain yang membutuhkan.

Amin.

Purwokerto, 12 November 2014

Penulis,

GINIA TIA SAGITA

Page 7: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

vi

“URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor:

59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)”

Oleh :

Ginia Tia Sagita

E1A010222

ABSTRAK

Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara. Untuk dapat mengungkap pelaku tindak pidana korupsi yang mempunyai kedudukan ekonomi dan politik yang kuat tersebut tentunya membutuhkan keberanian dan saksi yang secara langsung mengetahui perbuatan tindak pidana korupsi tersebut, yang disebut justice collaborator. Peranan saksi sebagai justice collaborator sangat penting dan dibutuhkan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, yang mana jumlah kasusnya masih tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui urgensi justice collaboratordalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, dan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus seorang terdakwa yang sekaligus merupakan justice collaborator. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif yaitu dengan cara menelaah bahan pustaka (data sekunder) yang ada. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif kualitatif yaitu mengolah dan menafsirkan berdasarkan pada putusan maupun perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian.

Penelitian yang dilakukan dari Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst diperoleh hasil sebagai berikut: Urgensi justice collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst yaitu, a.) Membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat bukti dan tersangka lain yang signifikan; b.) Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk mengatasi kemacetan prosedural dalam pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit pembuktiannya; c.) Memudahkan pembuktian dan penuntutan. Majelis Hakim memberikan vonis putusan yang terlalu tinggi untuk terdakwa II, dan juga tidak mempertimbangkan Kosasih sebagai justice collaborator dalam hal-hal yang meringankan bagi terdakwa II dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst.

Kata kunci : peranan, tindak pidana korupsi, justice collaborator

Page 8: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

vii

ABSTRACT

Corruption has been widespread in the society, both from the number of cases and the amount of loss to the state. To be able to uncover the perpetrators of corruption that have strong both of economy and political position, of course requires courage from witness that directly knows the act of corruption, which is called the justice collaborator. The role of the witness as a justice collaborator is very important and necessary in the process of combating corruption in Indonesia, where the number of cases is still high.

This study aims to find the urgency of justice collaborator in the disclosure of corruption cases in Indonesia, and to find the consideration of the judge in deciding a defendant who was also a justice collaborator. This study used a normative juridical approach to examine available library materials (secondary data). The method used in this study is qualitative normative that the process and the interpretation is based on a decision or regulation relating to research.

Research conducted on the verdict No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst obtained the following results: Urgency justice collaborator in the disclosure of corruption cases in verdict No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst are, a.) To assist law enforcement in finding evidence and other suspects were significant; b.) The position of justice collaborator is highly relevant for the Indonesian criminal justice system to address the procedural bottlenecks in the disclosure of an organized crime and difficult of proof; c.) Make it easier to verification of evidence and prosecution. The judges give a verdict is too high for the second defendant, and also did not consider Kosasih as a justice collaborator in terms of mitigating circumstances for the second defendant in verdict No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst.

Keywords: role, corruption, justice collaborator

Page 9: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii

PRAKATA .......................................................................................................... iv

ABSTRAK ........................................................................................................... vi

ABSTRACT ......................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Perumusan Masalah......................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 7

D. Kegunaan Penelitian........................................................................ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................

A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana................................... 9

B. Pembuktian ................................................................................... 14

1. Pengertian Pembuktian ............................................................. 14

2. Sistem Pembuktian dalam KUHAP........................................... 16

3. Macam – Macam Alat Bukti ..................................................... 22

C. Justice Collaborator...................................................................... 30

1. Pengertian Justice Collaborator ................................................ 30

2. Justice Collaborator sebagai Alat Bukti.................................... 35

BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................

Page 10: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

ix

A. Metode Pendekatan ....................................................................... 39

B. Spesifikasi Penelitian .................................................................... 40

C. Lokasi Penelitian ........................................................................... 40

D. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 40

E. Metode Pengumpulan Data............................................................ 41

F. Metode Penyajian Data.................................................................. 41

G. Metode Analisis Data .................................................................... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................

A. Hasil Penelitian ............................................................................. 42

1. Identitas Terdakwa.................................................................... 42

2. Duduk Perkara .......................................................................... 43

3. Dakwaan Penuntut Umum ........................................................ 58

4. Tuntutan Penuntut Umum ......................................................... 59

5. Putusan Hakim.......................................................................... 64

B. Pembahasan .................................................................................. 96

BAB V PENUTUP ............................................................................................

A. Simpulan ..................................................................................... 127

B. Saran ........................................................................................... 128

DAFTAR PUSTAKA

Page 11: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semakin hari pembicaraan mengenai korupsi tidak pernah berhenti, angka

pertumbuhan korupsi di Indonesia semakin meningkat. Tindak pidana korupsi

sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan

jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang

dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek

kehidupan masyarakat. Akibat dari korupsi ini mempengaruhi setiap sudut

kehidupan. Menurut pendapat Evi Hartanti, dampak negatif dari korupsi dapat

mengakibatkan berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah, berkurangnya

kewibawaan pemerintah dalam masyarakat, menyusutnya pendapatan Negara,

rapuhnya keamanan dan ketahanan Negara, perusakan mental pribadi dan

hukum tidak lagi dihormati.1

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian korupsi sebagaimana

dikutip oleh Suhandi Cahaya dan Surachmin2 adalah penyelewengan atau

penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan

pribadi atau orang lain. Di luar negeri, terutama di negara-negara maju,

korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak

pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif

1 Suhandi Cahaya dan Surachmin, 2011, Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui untuk

Mencegah, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 85-862 Ibid;hlm. 10

Page 12: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

2

yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat

menyentuh berbagai bidang kehidupan. Tindak pidana korupsi merupakan

masalah yang sangat serius, karena tindak pidana ini dapat membahayakan

stabilitas dan keamanan negara dan masyarakatnya, membahayakan

pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula

merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak

membudayanya tindak pidana korupsi tersebut3.

Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Preambul ke-4 United Nations

Convention Against Corruption, 2003 – Konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa Anti Korupsi, 2003, yang berbunyi sebagai berikut:

Convinced that corruption is no longer a local matter but transnasional phenomenon that affects all socities and economies, making international cooperation to prevent and control it essential. 4

Meyakini, bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi yang mendorong kerjasama internasional untuk mencegah dan mengontrolnya secara esensial.

Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan berbagai upaya, baik

pencegahan maupun penindakan. Pengorganisasian masyarakat, advokasi isu,

maupun sosialisasi kebijakan anti korupsi merupakan hal yang tidak dapat

dilepaskan dari upaya tersebut, termasuk dalam penegakan hukum. Lembaga

peradilan merupakan salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi,

terutama dalam upaya penjeraan koruptor.

3 Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta, Sinar Grafika,

hlm.24 Alinea ke-4 Preamble The States Parties to this Convention of United Nations Convention

Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, 2003).

Page 13: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

3

Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak

diputus bebasnya terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana

yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang

dilakukannya, bahkan Indonesia Corruption Watch5 menyatakan bahwa:

“Hukuman Koruptor belum menjerakan, mayoritas Koruptor dihukum ringan di tahun 2013, hanya ada 7 terdakwa yang divonis berat”.

Hal ini sangat merugikan negara dan menghambat pembangunan bangsa.

Jika ini terjadi secara terus-menerus dalam waktu yang lama, dapat

meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas hukum dan peraturan

perundang-undangan oleh warga negara. Perasaaan tersebut memang telah

terlihat semakin lama semakin menipis dan dapat dibuktikan dari banyaknya

masyarakat yang ingin melakukan aksi main hakim sendiri kepada pelaku

tindak pidana di dalam kehidupan masyarakat dengan mengatasnamakan

keadilan yang tidak dapat dicapai dari hukum, peraturan perundang-undangan,

dan juga para penegak hukum di Indonesia.6

Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dapat pula berarti upaya keras dan nyata bagi pembebasan

seluruh rakyat Indonesia dari penderitaan dan upaya yang nyata bagi

terciptanya kesejahteraan rakyat Indonesia tanpa kecuali. Namun demikian,

dalam penegakan hukum pidana akhir-akhir ini menyisakan tanda tanya besar

dari berbagai kalangan masyarakat termasuk pelaku, hal ini disebabkan karena

5 Indonesia Corruption Watch, 2013, Catatan Pemantauan Perkara Korupsi yang Divonis

oleh Pengadilan Selama Tahun 2013 diakses melalui www.antikorupsi.org pada tanggal 11 Maret 2014.

6 Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 2

Page 14: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

4

adanya disparitas yang sangat mencolok dalam penerapan hukum pidana

melalui lembaga peradilan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun

dalam tahap eksekusi.7

Berbicara mengenai tindak pidana korupsi, dalam persidangan perkara

pidana hukum pembuktian sangat penting dalam membuktikan kesalahan

perkara di sidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak pidana akan

sulit diungkap kebenarannya. Maksud hakim bertanya kepada saksi adalah

memberikan kesempatan untuk menyatakan kejadian apa yang sebenarnya

terjadi. Keterangan saksi merupakan alat bukti persidangan dan berguna dalam

mengungkap duduk perkara suatu peristiwa tindak pidana korupsi, kemudian

akan dijadikan salah satu dasar pertimbangan hakim untuk menentukan

terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa serta kesalahannya.

Untuk dapat mengungkap pelaku tindak pidana korupsi yang mempunyai

kedudukan ekonomi dan politik yang kuat tersebut tentunya membutuhkan

keberanian dan saksi yang secara langsung mengetahui perbuatan tindak

pidana korupsi tersebut. Saksi yang mengetahui secara langsung baik terlibat

secara langsung di dalamnya atau tidak dan berani melaporkan kejadian

tersebut disebut “whistleblower” dan “justice collaborator”.8 Peranan saksi

7 Ridwan, “Pembaharuan Hukum Pidana dalam Kerangka Hukum yang Berkeadilan

Berdasarkan Kultur Hukum Indonesia”, Jurnal Ilmiah Media Hukum, Vol.. 18 No. I, Juni 2011, Yogyakarta: Fakultas Hukum UMY, hlm. 107.

8 Nixson, Syafruddin Kalo, Tan Kamello, dan Mahmud Mulyadi, “Perlindungan Hukum Terhadap Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Universitas Sumatera Utara Law Journal Vol. II-No.2 (Nov 2013), Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara, hlm. 40.

Page 15: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

5

sebagai whistle blower dan justice collaborator sangat penting dan dibutuhkan

dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi.

Whistle blower dan justice collaborator merupakan seseorang yang

mengungkap suatu kebenaran/ melaporkan suatu tindak pidana yang bersifat

terorganisir dan serius seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika,

tindak pidana pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, dan lain-lain.

Dengan adanya whistle blower dan justice collaborator, pengungkapan kasus

tindak pidana korupsi akan semakin mudah. Selain diperlukan untuk proses

pemberantasan tindak pidana korupsi, juga sebenarnya bisa digunakan sebagai

salah satu upaya untuk pencegahan tindak pidana korupsi.

Namun, hingga saat ini negara belum memberikan penghargaan dan

perlindungan maksimal kepada para justice collaborator di Indonesia.

Bahkan, banyak justice collaborator juga menerima hukuman yang sama

dengan para tersangka/terdakwa lainnya. Artinya, perannya untuk

mengungkap kejahatan secara lebih luas, lebih dalam, lebih cepat sama sekali

tidak diperhitungkan sama sekali oleh para penegak hukum terutama peraturan

yang mengaturnya.

Seharusnya tidak semua justice collaborator harus dihukum sekalipun

sanksi hukumnya tetap diterapkan. Jika itu adalah kasus kejahatan kemanusian

seperti terorisme, pembunuhan, perdagangan manusia, bila dia bisa menjadi

justice collaborator, dan perannya tidak secara signifikan berhubungan

Page 16: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

6

langsung dengan subyek korban, maka mereka perlu diperlakukan secara

berbeda, sekalipun tetap dihukum.9

Khususnya, pada kasus korupsi, dimana pidana kurungan bagi terpidana

kasus korupsi yang juga adalah seorang justice collaborator sangatlah tidak

tepat. Sebaiknya untuk konteks Indonesia, tersangka kasus korupsi yang juga

adalah seorang justice collaborator harus diperlakukan secara istimewa dan

hukumannya berbeda. Hukuman kurungan bagi seorang justice collaborator

menyebabkan banyak orang yang tutup mulut dan tidak mau memberikan

kesaksian yang sebenarnya karena ia mengetahui ia tetap akan dihukum

dengan pidana kurungan nantinya apabila ia bersaksi.

Nantinya, seorang justice collaborator perlu dihukum dengan

mengembalikan semua uang hasil korupsi kepada negara dan membayar

sejumlah denda yang pantas sesuai UU serta dibebaskan dari hukuman

kurungan. Bila hal ini bisa dilakukan, sangat mungkin akan banyak kasus

korupsi yang terbongkar dengan cepat, mudah, murah. Dampak lainnya adalah

tingkat korupsi di Indonesia akan semakin kecil.

Melihat pentingnya justice collaborator dalam mengungkap pelaku utama

dari kasus tindak pidana korupsi, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian yang berkaitan dengan justice collaborator, dengan judul:

“URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN

9 Narila Putri, 2012, Agus Condro: Pengungkapan Korupsi Melalui Justice Collaborator.

Diakses melalui http://hukum.kompasiana.com/2012/06/11/agus-condro-pengungkapan-korupsi-melalui-justice-collaborator-463901.html pada tanggal 10 Juni 2014

Page 17: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

7

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor:

59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

1. Apa urgensi Justice Collaborator dalam pengungkapan kasus tindak

pidana korupsi yang berkaitan dengan putusan hakim dalam Putusan

No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus seorang terdakwa

yang sekaligus merupakan justice collaborator dalam Putusan No.

59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui urgensi justice collaborator dalam pengungkapan

kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus seorang

terdakwa yang sekaligus merupakan justice collaborator.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Kegunaan Teoritis

Page 18: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

8

a. Menambah pengetahuan dan wawasan di bidang Hukum Acara

Pidana, serta memberikan masukan bagi pengembangan ilmu

hukum terutama dari segi penerapan ilmu hukum acara pidana.

b. Memperluas cakrawala berpikir penulis dan memberikan

sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan,

khususnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan justice

collaborator terhadap tindak pidana korupsi.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi

kepustakaan hukum acara pidana di Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman, Purwokerto.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman atau acuan bagi

mereka yang melakukan penelitian serupa dengan kajian yang

berbeda, dan pula memberikan pengetahuan tentang urgensi

justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.

Page 19: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana merupakan salah satu lingkup dari hukum pidana.

Ruang lingkup hukum pidana luas, baik hukum pidana materiil yang disebut

hukum pidana, maupun hukum pidana formil yang disebut hukum acara

pidana. Hukum pidana materiil atau hukum pidana berisikan petunjuk dan

uraian tentang delik peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana suatu

perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang

pemidanaan mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana dapat dijatuhkan.

Sedangkan hukum pidana formil mengatur bagaimana negara melalui alat-

alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana,

berisikan acara pidana.10

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang selanjutnya ditulis KUHAP,

tidak menerangkan lebih lanjut mengenai pengertian Hukum Acara Pidana

secara umum, akan tetapi lebih menekankan pada bagian-bagiannya seperti

penyidikan, penuntutan, praperadilan, mengadili, putusan pengadilan, upaya

hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan yang

lainnya. Hakekat hukum acara pidana sebaiknya kita melihat beberapa

pendapat para sarjana diantaranya Andi Hamzah, yang mendefinisikan hukum

10 Andi Hamzah, 2001, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 4

Page 20: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

10

acara pidana pada ruang lingkup yang sempit, yaitu hanya mulai pada

mencari kebenaran, penyelidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana

(eksekusi) oleh jaksa.11

Menurut Wirjono Prodjodikoro12, pengertian hukum acara pidana ialah:

Hukum acara pidana berhubungan erat dengan hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum acara pidana.

Dengan kata lain, hukum acara pidana adalah kumpulan peraturan yang

memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagai berikut:

a. Tindakan apa yang diambil apabila ada dugaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.

b. Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang, maka perlu diketahui siapa pelakunya, dan cara bagaimana melakukan penyelidikan terhadap pelaku.

c. Apabila telah diketahui pelakunya, maka penyelidik perlu menangkap, menahan, dan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan permulaan atau dilakukan penyidikan.

d. Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan suatu tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang bukti, menggeledah badan atau tempat-tempat yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut.

e. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan oleh polisi, maka berkas perkara diserahkan kepada kejaksaan negeri, yang selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dijatuhkan pidana.13

11 Andi Hamzah, 2000, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia

Indonesia, hlm. 312 Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Sinar

Grafika, hlm.713 Mochamad Faisal Salami, 2001, Hukum Acara Pidana dan Praktik, Bandung, Mandar

Maju, hlm. 3

Page 21: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

11

Hukum acara pidana secara sederhana dapat dirumuskan sebagai suatu

aturan-aturan tentang tata cara proses penyelenggaraan peradilan pidana. Di

bawah ini beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian hukum acara

pidana:

a. Wiryono ProdjodikoroHukum acara pidana adalah merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan pemerintah yang berkuasa (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.

b. R. Achmad SoemadiprajaHukum acara pidana adalah hukum yang mempelajari peraturan yang diadakan oleh negara dalam hal adanya persangkaan telah dilanggarnya Undang-Undang Pidana.

c. SudartoHukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh para aparat penegak hukum.

d. J. De Bosch KemperHukum acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan undang-undang yang mengatur hak negara untuk menghukum bilamana undang-undang pidana dilanggar.

e. SimonHukum acara pidana adalah hukum yang mengatur cara-cara negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman.

f. Van BemmelenHukum acara pidana adalah kumpulan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana cara negara bila dihadapkan pada suatu kejadian yang menimbulkan syak wasangka telah terjadi pelanggaran hukum pidana, dengan perantara alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan di muka hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti, dan bagaimana keputusan itu harus dilaksanakan.

g. Bambang PoernomoMengklasifikasikan hukum acara pidana menjadi tiga arti:1) Dalam arti sempit, yang meliputi peraturan hukum tentang

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang, sampai dengan putusan pengadilan, dan peraturan tentang susunan pengadilan.

2) Dalam arti luas, yaitu selain mencakup dalam pengertian arti sempit, juga meliputi peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar peraturan itu ada urusannya dengan perkara pidana.

Page 22: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

12

3) Pengertian sangat luas, yaitu apabila materi peraturan sudah sampai pada tahap eksekusi putusan hakim (pidana) kemudian dikembangkan meliputi peraturan pelaksanaan hukuman (pidana) yang mengatur tentang alternatif jenis pidana, dan cara menyelenggarakan pidana sejak awal sampai selesai menjalani pidana sebagai pedoman pelaksanaan pemberian pidana.14

Tujuan dan tugas ilmu hukum acara pidana pada dasarnya sama dengan

tugas dan tujuan ilmu hukum pada umumnya yaitu mempelajari hukum untuk

mewujudkan perdamaian yang meliputi ketertiban dan ketenangan dengan

memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum kepada masyarakat.

Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman

Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehakiman sebagai

berikut:

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”

Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya mencari kebenaran

materiil (materiele waarheid, substantial truth) dan perlindungan hak asasi

manusia (protection of human rights). Para penegak hukum mulai dari Polisi,

Jaksa, sampai pada Hakim dalam menyelidik, menuntut, dan mengadili

perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran, harus berdasarkan hal yang

14Waluyadi, 1999, Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan

Khusus), Mandar Maju, Bandung, hlm. 9-11

Page 23: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

13

benar-benar terjadi. Maka diperlukan petugas-petugas yang handal, jujur, dan

berdisiplin tinggi serta tidak cepat tergoda oleh janji-janji yang

menggiurkan.15

Menurut Mr. J. M. Van Bemmelen dalam bukunya Leerboek van her

Nederlandse Straf Frocesrecht, menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok

acara pidana ialah:

a. Mencari dan menemukan kebenaran;

b. Pengambilan putusan oleh hakim;

c. Pelaksanaan daripada putusan.

Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah mencari

kebenaran karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya,

kemudian setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti

dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya

adil dan tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan

hukum acara pidana adalah mencari kebenaran merupakan tujuan antara, dan

tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman,

kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.16

15 Ibid, hlm 2416 Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 8-9.

Page 24: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

14

B. Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Dalam Hukum Acara Pidana tak dapat dihindarkan dari suatu

pembuktian. Pembuktian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam

pemeriksaan suatu perkara di persidangan. Pengertian pembuktian sangat

beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi masing-masing mengenai

pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini

melalui makna kata membuktikan. Pembuktian menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah proses, perbuatan, cara membuktikan, suatu

usaha menentukan benar atau salahnya terdakwa dalam sidang

pengadilan. Menurut Martiman Prodjohamidjojo 17, membuktikan yaitu:

“Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui:1. Penyidikan;2. Penuntutan;3. Pemeriksaan di persidangan;4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.

Yahya Harahap18 memberikan arti pembuktian ditinjau dari segi

hukum acara pidana, antara lain:

a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang

17Martiman Prodjohamidjojo, 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta: Ghalia

Indonesia, hlm. 12 18 M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.36

Page 25: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

15

ditentukan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan;

b. Sehubungan dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif yang disebut dalam pasal 184 KUHAP.

Dalam arti yuridis, Pembuktian yaitu memberi dasar-dasar yang

cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna

memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.19

Sementara itu, Darwin Prinst menyatakan bahwa yang dimaksud

pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah

terbukti dan terdakwa bersalah melakukan perbuatan itu, sehingga harus

mempertanggungjawabkannya.20

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan

yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara

pidana. Dalam hal inipun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana

akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan

perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai

keyakinan hakim, namun ternyata itu tidak benar. Untuk inilah maka

hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda

dengan hukum perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil.21

19 Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm. 3520 Darwin Prinst, 2002, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, cet 3, Jakarta: Djambatan,

hlm. 13721 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta, Sinar

Grafika, hlm. 249

Page 26: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

16

Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan

masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat

maksudnya, apabila seseorang telah melanggar peraturan perundang-

undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan

perbuatannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa

ialah, terdakwa harus diperlakukan adil sehingga tidak ada seorangpun

yang tidak bersalah akan mendapat hukuman atau sekalipun ia bersalah,

ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung

asas equality before the law, persamaan di depan hukum).22

2. Sistem Pembuktian dalam KUHAP

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada,

dalam doktrin dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian23, yakni:

a. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie);

Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara

positif (positief wettelijk bewijstheorie) merupakan pembuktian yang

didasarkan semata-mata kepada alat-alat pembuktian yang disebut

undang-undang. Dikatakan secara positif, karena semata-mata hanya

didasarkan kepada undang-undang. Artinya, jika telah terbukti suatu

perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebutkan oleh undang-

undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.

22 Luhut MP Pangaribuan, 2005, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan

oleh Advokat, Jakarta, Djambatan, hlm. 3-4.23 Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 251-254

Page 27: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

17

Terdapat kebaikan dan kelemahan dalam sistem ini. Kebaikan

sistem pembuktian ini yakni, hakim akan berusaha membuktikan

kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-

benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang

ditentukan oleh undang-undang. Kelemahannya terletak dalam sistem

ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan

perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara

pidana. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi.

Selain itu, sistem pembuktian ini dianggap bertentangan dengan hak-

hak asasi manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Adami Chazawi

sebagai berikut:

Sistem ini bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka maupun terdakwa oleh negara. Juga sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. Hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah diprogram melalui undang-undang.24

Menurut Wirjono Prodjodikoro25 :

“teori ini ditolak untuk dianut di Indonesia, karena bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat”

Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele

bewijstheorie), sehingga yang dicari ialah kebenaran formal. Oleh

24 Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni: Bandung,

hlm. 28

25 Andi Hamzah, 2004, Op.Cit, hlm. 251.

Page 28: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

18

karena itu, pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Di

benua Eropa sistem ini pun digunakan pada waktu berlakunya Hukum

Acara Pidana yang bersifat Inquisitur. Peraturan itu menganggap

terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka, dalam hal ini hakim

hanya merupakan alat pelengkap saja.

b. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (conviction intime);

Menurut sistem ini, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak

terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan

putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dari

alat bukti yang ada dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti

yang ada dalam persidangan. Sistem ini memberikan kebebasan

kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi, disamping itu,

terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan,

dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan

keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.

Hakim menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan

tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan keyakinannya saja,

dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana dia memperoleh dan

alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam

membentuk keyakinan tersebut. Adam Chazawi berpendapat sebagai

berikut:

Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim

Page 29: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

19

dalam membentuk keyakinannya itu. Disamping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin.26

c. Sistem atau teori pembuktian berdasara keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee);

Sistem pembuktian conviction in raisone masih juga

mengutamakan penilaian hakim sebagai dasar satu-satunya alasan

untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus

disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal

pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti

sah karena memang tidak diisyaratkan. Walaupun alat-alat bukti telah

ditetapkan oleh undang-undang, tetapi hakim bisa menggunakan alat-

alat bukti diluar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat

penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat

dijelaskan dengan alasan yang logis.

Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini harus dilandasi

oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan tersebut harus

“reasonable”yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima

oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan hakim

yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem

pembuktian bebas.27 Adam Chazawi dalam hal ini berpendapat:

Walaupun undang-undang menyebutkan dan menyediakan alat bukti, tetapi sistem ini dalam hal menggunakannya dan menaruh

26 Ibid, hlm. 28.27 Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian, Pidana dan Perdata, Bandung: Citra

Aditya, hlm. 56.

Page 30: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

20

kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah dalam pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis. Artinya, alasan yang dipergunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, dapat diterima oleh akal orang pada umumnya.28

d. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk).

Di Indonesia sendiri menganut sistem pembuktian menurut

undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Dalam sistem

pembuktian ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang

berganda (dubbel en grondslag, menurut D. Simons), yaitu pada

peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim. Hal tersebut dapat

dilihat dalam pasal 183 KUHAP yang isinya:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Menurut sistem pembuktian ini, untuk menentukan salah tidaknya

seorang terdakwa, terdapat dua komponen yaitu:

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang,

2. Keyakinan hakim juga harus didasari atas cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang.29

28 Adam Chazawi, Op.cit, hlm. 26 29 M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta,Sinar Grafika, hlm. 273.

Page 31: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

21

Sistem pembuktian ini menggabungkan antara faktor hukum positif

sesuai ketentuan perundang-undangan dan faktor keyakinan hakim.

Artinya, dalam memperoleh keyakinannya, hakim juga terikat terhadap

penggunaan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Hal ini

sejalan dengan pendapat Adami Chazawi30 yang mengatakan bahwa:

Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri.

Wirdjono Prodjodikoro31 berpendapat bahwa sistem pembuktian

berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya

dipertahankan berdasarkan dua alasan:

1. Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.

2. Ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.

Berdasarkan ketentuan KUHAP sebagaimana ketentuan umum

hukum pembuktian tindak pidana, maka dari segi khusus hukum

pembuktian untuk tindak pidana korupsi berlaku pula kekhususan di

dalam hukum pembuktiannya. Di dalam bidang tertentu, Undang-Undang

30 Adami Chazawi, Op.cit, hlm. 2831 Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 257.

Page 32: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

22

Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

memberlakukan hukum pembuktian yang memiliki segi kekhususan

terutama berkenaan dengan bahan-bahan yang dapat digunakan hakim

dalam membentuk alat bukti petunjuk tentang sistem pembuktian,

khususnya beban pembuktian.32

3. Macam – Macam Alat Bukti

Tidak ditemukan suatu definisi khusus mengenai apa itu alat bukti,

namun secara umum yang dimaksud dengan alat bukti adalah alat bukti

yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP sebagai berikut:

(1) Alat bukti yang sah ialah:a. keterangan saksi;b. keterangan ahli;c. surat;d. petunjuk;e. keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

a. Keterangan Saksi

Definisi “saksi” dapat berbeda-beda sesuai dengan sistem

hukum yang berlaku. Saksi merupakan seseorang yang memiliki

informasi penting untuk proses pengadilan atau penegakan hukum33.

United Nation Convention against Transnational Organized Crime

(UNTOC) menjelaskan definisi saksi atau partisipan sebagai berikut:

32 Firman Wijaya, 2008, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Jakarta, Maharani Press,

hlm. 78 33 Ilias Chatzis(et.al), Praktik Terbaik Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang

Melibatkan Kejahatan Terorganisir, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, 2010, hlm. 27.

Page 33: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

23

“...any person, irrespective, of his/her legal status(informant, witness, judicial official, undercover agent, etc), who according to the legislation or policy of the country involved is eligible to be considered for admission to a witness protection program.”

Sedangkan keterangan saksi dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP

adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa

keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP,

memberi batasan pengertian saksi dalam kapasitasnya sebagai alat

bukti, adalah “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi

nyatakan di sidang pengadilan”.

Pengertian saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah:

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Pasal 185 ayat (5) KUHAP merumuskan bahwa baik pendapat

maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan

merupakan keterangan saksi. Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1)

KUHAP dirumuskan dalam keterangan saksi tidak termasuk

keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de

auditu. Keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat

bukti yang sah. Keterangan demikian berupa keterangan saksi yang

mendengar orang lain atau menceritakan sesuatu, atau apa yang ada

Page 34: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

24

di dalam hukum acara pidana disebut testimonium de auditu atau

hearsay evidence.34

Keterangan saksi menjadi suatu hal yang penting bagi

pembuktian untuk membuktikan apakah betul telah terjadi suatu

peristiwa pidana dan menentukan siapa dan apa kesalahan terdakwa.

Oleh karena itu dapat disimpulkan betapa pentingnya keterangan

saksi, karena boleh dikatakan tidak ada suatu peristiwa pidana yang

dapat dibuktikan tanpa menggunakan/ dengan kehadiran saksi, namun

tentu tidak mengesampingkan dari alat bukti yang lain seperti

keterangan ahli, surat, petunjuk, maupun keterangan terdakwa.

Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC)

saksi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama:

a. Kolaborator hukum (Justice Collaborator). Seseorang yang

telah berpartisipasi dalam suatu tindak pidana yang

berhubungan dengan suatu organisasi kejahatan memiliki

pengetahuan yang penting tentang struktur organisasi,

metode pelaksanaan, kegiatan, dan hubungan dengan

kelompok lain, baik lokal maupun internasional;

b. Saksi korban;

c. Jenis saksi lainnya (saksi peristiwa, saksi ahli, dan lainnya)

Sedangkan dalam UUPSK pun dikenal mengenai beberapa

pengertian dan istilah saksi lainnya. Hal tersebut dikenal dalam pasal

34 Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 264

Page 35: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

25

10 UUPSK Saksi Pelapor dan Saksi yang juga tersangka, namun tidak

adanya penjelasan batasan-batasan terkait definisi istilah tersebut.

b. Keterangan Ahli

Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, definisi keterangan ahli

yaitu:

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat suatu perkara pidana guna kepentingan bersama.

Dalam pembuktian di persidangan keterangan ahli sangat

diperlukan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Dengan segala

keahlian dari seorang ahli yang diberikan di persidangan, maka suatu

perkara akan lebih terang terutama terhadap sesuatu yang diluar

pengetahuan/ keahlian hakim/ sarjana hukum.

Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa seorang ahli

dapat memberikan keterangan sebagai saksi yang tidak berdasarkan

yang ia dengar, alami, dan lihat langsung suatu peristiwa pidana,

melainkan melalui keahliannya dalam pembuktian di persidangan.

Andi Hamzah dalam hal keterangan ahli ini, berpendapat sebagai

berikut:

Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya. Jadi dari keterangan tersebut diketahui bahwa yang dimaksud dengan keahlian adalah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang.35

35 Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 268.

Page 36: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

26

c. Surat

Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca

yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.36

Alat bukti surat menurut Pasal 187 KUHAP dirumuskan sebagai

berikut:

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat

oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Kekuatan pembuktian surat dalam hukum acara pidana berbeda

dengan hukum acara perdata, sebagaimana yang dikatakan oleh C.

Djisman Samosir sebagai berikut:

Dalam hukum acara perdata, akta autentik mempunyai kekuatan mengikat dan harus diakui kebenarannya sampai terbukti sebaliknya (tegenbewijs) sedangkan dalam hukum acara pidana tidak ada alat bukti satu pun yang akan mengikat hakim tentang kekuatan pembuktian, kecuali kalau ia yakin akan kesalahan dari terdakwa.37

36 Andi Hamzah, 2001, Op.cit, hlm. 271.37 C. Djisman Samosir, 1985, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, Bina Cipta,

Bandung, hlm. 90.

Page 37: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

27

d. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena

persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun

dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi

suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya diperoleh

dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Pasal 188

KUHAP dalam hal ini menegaskan sebagai berikut:

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:a. keterangan saksi;b. surat;c. keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (2) tersebut dapat

dijelaskan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan

saksi, surat, dan keterangan terdakwa. M. Yahya Harahap dalam hal

ini berpendapat:

Ketentuan Pasal 188 ayat (2) tersebut mengandung pengertian bahwa undang-undang menentukan secara limitatid sumber dari alat bukti petunjuk. Dengan demikian meskipun keterangan ahli termasuk sebagai alat bukti, tidak dapat dijadikan sumber bagi hakim untuk menentukan alat bukti petunjuk.38

38 M. Yahya Harahap, 2006, Op.cit, hlm. 294.

Page 38: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

28

Di lain pihak, Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut:

Pantaslah kalau alat bukti petunjuk diganti dengan pengamatan hakim, lebih-lebih kalau diperhatikan bunyi Pasal 188 ayat (3) KUHAP yaitu: Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nurani. Disini tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan pada hakim untuk menilai kekuatan pembuktiannya, maka dengan demikian menjadi sama dengan apa yang disebut pengamatan hakim (eigen warrneming van rechter).39

e. Keterangan Terdakwa

Alat bukti terakhir dalam susunan alat bukti yang diatur dalam

KUHAP adalah keterangan terdakwa. Keterangan terdakwa

merupakan keterangan yang hanya mengandung pengakuan

kebenaran. Pengakuan terdakwa disini bukan hanya pengakuan yang

diberikan di muka persidangan tetapi juga pengakuan diluar

persidangan. Pengakuan di muka persidangan saja tidak cukup untuk

menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa. Pasal 189 ayat (1) KUHAP

merumuskan keterangan terdakwa sebagai berikut:

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

Keterangan terdakwa yang ia berikan di luar sidang digunakan

untuk membantu menemukan bukti di persidangan, sebagaimana

ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP sebagai berikut:

39 Andi Hamzah, 2001, Op.cit, hlm. 272.

Page 39: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

29

Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

Antara keterangan terdakwa dengan pengakuan terdakwa

mempunyai perbedaan, dalam hal ini Andi Hamzah mengatakan

sebagai berikut:

Keterangan terdakwa berbeda dengan pengakuan terdakwa sebagaimana yang terdapat dalam HIR karena pengakuan terdakwa mempunyai syarat yaitu mengakui ia yang melakukan delik yang didakwakan dan mengaku bersalah. Sedangkan keterangan terdakwa mempunyai pengertian yang lebih luas, yaitu dapat berupa pengakuan atau penyangkalan atau penyangkalan sebagian.40

Pasal 189 ayat (3) KUHAP selanjutnya merumuskan mengenai

penggunaan keterangan terdakwa hanya bagi dirinya sendiri, yaitu

sebagai berikut:

Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa

keterangan terdakwa tidak boleh dipergunakan sebagai alat bukti

terhadap kawan terdakwa dalam perkara yang sama, dapat pula

diartikan bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana yang bersifat ingin

mengejar kebenaran materiil agar terdakwa yang diperiksa jangan

membawa-bawa orang lain yang tidak menyangkut dengan dirinya

dan untuk menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain yang

tidak bersalah.

40 Andi Hamzah, 2001, Op.cit, hlm. 273.

Page 40: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

30

C. Justice Collaborator

1. Pengertian Justice Collaborator

Dari alat bukti yang telah disebutkan diatas, yang menjadi hal

paling mendasar dalam pembuktian ialah keterangan saksi. Dalam

pengungkapan tindak pidana korupsi, penyidik membutuhkan keterangan

saksi. Relevan dengan hal tersebut, dalam khasanah istilah saksi dan

pengungkapan suatu tindak pidana dikenal istilah whistle blower dan

justice collaborator.

Whistle blower menurut Quentin Dempster adalah orang yang

mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya

malpraktik, atau korupsi.41 Dari sudut pandang Hadiastanto, whistle

blower merupakan istilah bagi karyawan, mantan karyawan, atau pekerja

anggota suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan

yang dianggap melawan ketentuan kepada pihak yang berwenang.

Ketentuan yang dilanggar merupakan ancaman bagi kepentingan publik.

Sebagai contoh misalnya orang yang melaporkan perbuatan yang diduga

tindak pidana korupsi.42

Fakta yang diungkap ini tentu bukanlah informasi yang biasa

melainkan berupa informasi-informasi penting yang dapat mengungkap

41 Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum,

Penaku, Jakarta, 2012, hlm.7.42 Ibid, hlm. 8.

Page 41: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

31

suatu tindak pidana. Adapun menurut Mardjono Reksodiputro yang

menyebutkan bahwa organisasi tempat informasi berada dapat berupa:43

1. Tempat atau organisasi yang sah, seperti organisasi pemerintah

atau organisasi publik;

2. Tempat atau organisasi bisnis;

3. Tempat atau organisasi kriminal.

Disamping whistle blower terdapat juga istilah participant

whistleblower / supergrass (justice collaborator) yang mana memiliki

arah kepada pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam

mengungkap kerumitan kasus suatu tindak pidana. Dalam pandangan

Zucarelli44, Justice Collaborator ini memiliki definisi yaitu sebagai

berikut:

“Collaborators of Justice (supergrass): any person who faces criminal charges, or has been convicted of taking part in a criminal association or other criminal organization of any kind, or in offences of organised crime, but who agrees to ccooperate with criminal justice authorities, particularly by giving testimony about a criminal association or organisation, or about any offence connected with organized crime or other serious crimes (or in other words: the co-defendant who has decided to co-operate with the justice authorities and who is prepared to give testimony in court against his former associates).”

Dalam rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Tahun

2011, justice collaborator telah diatur dalam Pasal 52 ayat (1): “Salah

seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat

43 Ibid.44 Fausto Zucarelli, Handling and Protection Witnesses and Collaborations of Justice, the

Italian Experience, disampaikan pada International Seminar on the Protection of Whistle Blower as Justice Collaborator, di Jakarta, 09 Juli 2011.

Page 42: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

32

dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari

penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana

korupsi tersebut. Pasal 52 ayat (2): “Jika tidak ada tersangka atau

terdakwa yang perannya ringan dalam tindak pidana korupsi.... maka

yang membantu mengungkap tindak pidana korupsi dapat dikurangi

pidananya.”

Kedua istilah di atas yaitu whistle blower dan justice collaborator

adalah merupakan istilah yang baru dalam Hukum Acara Pidana di

Indonesia. Hal tersebut kerap kali menimbulkan kesalahan istilah dalam

menyebut diantara salah satu istilah tersebut yang sering tertukar.

Seseorang dapat dikatakan justice collaborator jika dia turut terlibat

dalam tindak pidana yang diungkapkannya namun bukan sebagai pelaku

utama, tetapi jika hanya sebagai pengungkap fakta tanpa terlibat

dikatakan sebagai whistle blower.

Perbedaan mendasar antara whistle blower dan justice collaborator

terletak pada subjeknya, dimana subjek whistle blower adalah seseorang

yang mengadukan dan mengungkap tindak pidana terorganisir sebelum ia

menjadi tersangka atau sering disebut saksi pelapor, sedangkan

pengertian justice collaborator menurut poin 9 a SEMA Nomor 4 Tahun

2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower)

dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam

Perkara Tindak Pidana Tertentu adalah yang bersangkutan merupakan

salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam

Page 43: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

33

SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama

dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di

dalam proses peradilan. Dalam perkembangannya, praktik whistle blower

tidak berjalan sendirian, ia diikuti dengan praktik justice collaborator.

Peran justice collaborator sangat signifikan guna menangkap otak

pelaku yang lebih besar sehingga tindak pidana dapat tuntas dan tidak

berhenti pada di pelaku yang berperan minim dalam tindak pidana

korupsi. Adapun syarat penetapan untuk menjadi seorang justice

collaborator yang diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi

Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara

Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana yang diungkap merupakan

tindak pidana serius atau terorganisir. Hal ini terkait dengan keberadaan

justice collaborator yang memperkuat pengumpulan alat bukti dan

barang bukti di persidangan.

Whistle blower dan justice collaborator merupakan bentuk peran

serta masyarakat yang tumbuh dari suatu kesadaran membantu aparat

penegak hukum mengungkap tindak pidana yang tidak banyak diketahui

orang dan melaporkannya kepada aparat penegak hukum.45 Maka ada

privilage khusus untuk whistle blower dan justice collaborator dari

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan terbitnya SEMA

Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana

45 Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 16.

Page 44: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

34

(Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice

Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Oleh karena itu

saksi dan/ atau korban dengan kriteria tertentu, yaitu mempunyai

keterangan yang sangat penting dalam pengungkapan peristiwa suatu

tindak pidana serta mengalami ancaman yang sangat membahayakan

jiwa saksi dan/atau korban tersebut, perlu dipenuhi hak dan jaminan

perlindungan hukumnya.46

Pengaturan mengenai perlindungan whistle blower (pengungkap

fakta/pelapor) secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang nomor 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, yaitu pada Pasal 10

menyebutkan:

(1) Saksi, Korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

(2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringakan pidana yang akan dijatuhkan.

(3) Ketentuan dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap saksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.

Meski pasal ini tidak secara khusus menyebutkan pelapor dengan

istilah whistle blower atau justice collaborator, tapi yang dimaksud

dengan pelapor dalam penjelasan UU ini adalah orang yang memberikan

46 Lies Sulistiani, et. Al, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan

Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, hlm. 1-2.

Page 45: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

35

informasi kepada penegak hukum mengenai suatu tindak pidana.47 Secara

yuridis normatif berdasarkan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, keberadaan justice

collaborator tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara

hukum, artinya tidak adanya suatu kepastian hukum yang jelas bagi

seorang justice collaborator. Bahkan seorang saksi yang juga tersangka

dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana

apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi

kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan

pidana yang akan dijatuhkan. Sementara itu, SEMA No. 4 Tahun 2011

tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan

Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam

Perkara Tindak Pidana Tertentu angka 9 huruf a, justice collaborator

dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan

pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi

dalam proses peradilan.

2. Justice Collaborator sebagai Alat Bukti

Dalam peraturan bersama antara Menteri Hukum dan HAM,

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung,

Polisi Republik Indonesia (POLRI), Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), dan Mahkamah Agung (MA) justice collaborator dapat diartikan

47 Abdul Haris Semendawai, “Revisi Undang-Undang No.13 tahun 2006, Momentum

Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Tahun 2011, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hlm. 30.

Page 46: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

36

sebagai seorang saksi yang juga merupakan seorang pelaku, tetapi mau

bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam rangka membongkar

suatu perkara, bahkan mengembalikan asset kejahatan hasil korupsi jika

asset itu ada pada dirinya. Sehingga dengan begitu, muncul pembuktian

alat bukti yang berasal dari alat bukti saksi dan menguatkan keyakinan

hakim karena memperoleh keterangan dalam pembuktian saksi berasal

dari Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator).

Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti

yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian

perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi,

“tiada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.”48

Suatu pengungkapan atau kesaksian kebenaran dalam suatu

scandal crime ataupun serious crime oleh justice collaborator jelas

merupakan ancaman nyata bagi pelaku kejahatan49. Pelaku kejahatan

akan menggunakan berbagai cara untuk membungkam dan melakukan

aksi pembalasan sehingga kebijakan perlindungan seharusnya bersifat

prevensial (mencegah sebelum terjadi) kehadiran justice collaborator

memang sulit dibantah dapat menjadi alat bantu, sekalipun seorang

justice collaborator berani mengambil resiko yang sangat berbahaya bagi

48 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 286.

49 Firman Wijaya, Op.Cit, hlm. 42

Page 47: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

37

keselamatan fisik maupun psikis dirinya, dan keluarganya, resiko

terhadap pekerjaan dan masa depannya.50

Maka perlu dirancang landasan hukum maupun bentuk-bentuk

perlindungan hukum yang kuat dan skema perlindungan yang jelas dan

terukur bagi justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana

tertentu khususnya tindak pidana korupsi terutama di lingkungan aparat

publik yang terkait dengan mal administrasi, penyalahgunaan kekuasaan,

korupsi, dan yang membahas kepentingan umum. Dalam realitasnya

justice collaborator seringkali kurang mendapatkan perlindungan hukum

dalam proses hukumnya.

Berdasarkan penjabaran diatas sangatlah patut adanya perlindungan

hukum bagi justice collaborator dalam mengungkap fakta tindak pidana

korupsi di Indonesia. Terhadap orang-orang yang kritis dan berani

mencegah dan mengungkap korupsi yang telah ia lakukan bersama

rekan-rekannya, kebalikannya seringkali diberikan sanksi dengan

merekayasa seolah-olah yang bersangkutan melakukan perbuatan

indisipliner atau perbuatan melawan hukum. Justice collaborator perlu

diberikan perlindungan hukum, sehingga ia tidak selalu menjadi korban

dengan harapan justice collaborator yang lain mampu bekerjasama dan

mempermudah aparat hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana

korupsi guna menemukan alat bukti serta menangkap tersangka yang

lain.

50 Ibid.

Page 48: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

38

Hakim sebagai corong undang-undang pun harus paham terhadap

hak-hak yang didapat dari seorang justice collaborator, karena

pemberian hak terhadap justice collaborator tersebut tergantung dari

bagaimana seorang hakim membuat keputusan.

Page 49: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

39

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan yuridis

normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis.

Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang

dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan

meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup

dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata serta menganggap norma-

norma lain bukan sebagai hukum. 51

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif karena penelitian ini

dikonsepsikan dan dikembangkan atas dasar peraturan perundang-undangan

yang ada dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang bertujuan untuk

mengetahui suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan

urgensi justice ccollaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi

pada Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst. Penggunaan pendekatan

diatas didasarkan pada asumsi bahwa hukum dalam penelitian ini

dikonsepsikan sebagai putusan-putusan lembaga-lembaga atau institusi yang

berwenang yang tersistem dalam kegiatan upaya penyidikan yang berorientasi

pada penemuan hukum konkreto yang bersumber pada putusan-putusan

pengadilan.

51 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 13-14.

Page 50: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

40

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang akan

menggambarkan objek atau masalah tanpa bermaksud mengambil kesimpulan

yang berlaku umum. Penelitian menggambarkan peristiwa in concreto yang

dikonsultasikan pada seperangkat peraturan hukum positif yang berlaku dan

ada kaitannya dengan masalah yang menjadi objek penelitian.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pusat

Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,

Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal Soedirman, Perpustakaan Mochtar

Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

D. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan data sekunder untuk

mendapatkan hasil yang objektif. Dari data sekunder tersebut akan dibagi dan

diuraikan ke dalam tiga bagian yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat

berupa peraturan per-undang-undangan yang berlaku.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain literatur-literatur,

hasil penelitian, artikel-arikel ilmiah, baik dari koran maupun internet.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain kamus

hukum, ensiklopedia, kamus bahasa.

Page 51: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

41

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data akan dilakukan dengan cara studi

kepustakaan dengan menginventarisir peraturan per-undang-undangan,

dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian, makalah, jurnal, buku-buku yang

berkaitan dengan materi, Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN. Jkt. Pst yang

menjadi objek penelitian untuk selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai satu

kesatuan yang utuh.

F. Metode Penyajian Data

Data yang berupa bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian akan

disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara

sistematis, logis dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh akan

dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok

permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.

G. Metode Analisis Data

Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah

terkumpul, akan dipergunakan metode analisis normatif kualitatif. Normatif

karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai

norma hukum positif. Sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data yang

bertitik tolak pada usaha-usaha penelitian asas-asas dan informasi-informasi

yang bersifat ungkapan monografis dan responden.

Page 52: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

42

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian tentang Urgensi Justice Collaborator dalam Pengungkapan

Kasus Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan di wilayah hukum Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, bahan yang

diperoleh berdasarkan buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan

yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap perkara Nomor :

59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst, maka diperoleh data-data sebagai berikut :

1. Identitas Terdakwa

Terdakwa I:

Nama : Ir. Jacob Purwono

Tempat Lahir : Jakarta

Umur / Tanggal lahir : 56 tahun / 2 Agustus 1956

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat/Tempat tinggal : Perumahan Taman Asri Blok A1/2 Cipadu, Ciledug Tangerang

Agama : Katolik

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil/ Staf pada Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (Mantan direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi dan Sumber Daya Mineral Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral)

Page 53: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

43

Terdakwa II:

Nama : Kosasih Abbas

Tempat Lahir : Kuningan, Jawa Barat

Umur : 53 tahun/ 3 Juli 1959

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat/Tempat tinggal : Jalan Pangeran Sogiri No. 131 RT 02/ RW 04, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Bogor, Jawa Barat

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil/ Staf pada Bagian Umum Sekretariat Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Mantan Kepala Sub Direktorat Usaha Energi Baru dan Terbarukan dan Konversi Energi pada Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral)

2. Duduk Perkara

Pengadaan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM TA 2007

Terdakwa I pada tahun 2007 diangkat sebagai KPA/KPB Lisdes dan

Terdakwa II diangkat sebagai PKK Kegiatan Energi Baru Terbarukan untuk

seluruh Satker Lisdes dengan surat Keputusan Menteri ESDM Nomor

0306.K/80/MEM/2007 tanggal 27 Januari 2007 tentang Pengangkatan

Pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Departemen Energi dan

Page 54: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

44

Sumber Daya Mineral pada Satuan Kerja Induk Pembangkit dan Jaringan

serta Listrik Pedesaan Tahun Anggaran 2007.

Terdakwa I dan II setelah mengetahui adanya surat pengesahan Daftar

Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) TA sebesar Rp 277.986.086.000 (dua

ratus tujuh puluh tujuh sembilan ratus delapan puluh enam juta delapan puluh

enam ribu rupiah) yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan pada Satker

Ditjen LPE, sekitar bulan Januari 2007 bertempat di ruang kerja Terdakwa I

membahas rencana pengelolaan DIPA tersebut, pada saat itu Terdakwa I

menyampaikan rencana pelaksanaan kegiatan pengadaan dan pemasangan

SHS di seluruh Indonesia walaupun dalam DIPA tersebut tidak ada alokasi

anggaran peruntukannya. Selain itu, Terdakwa I menegaskan bahwa Ditjen

LPE membutuhkan banyak dana yang sifatnya mendadak tapi tidak tersedia

dananya sehingga Terdakwa I meminta Terdakwa II agar dalam proses

kegiatan pengadaan tersebut mengikuti arahan Terdakwa I antara lain

mengatur rekanan yang akan menjadi pelaksanaan kegiatan pengadaan dan

pemasangan SHS serta mempergunakan dana tersebut sesuai petunjuk

Terdakwa I.

Terdakwa II selanjutnya pada awal bulan Maret 2007 memberitahukan

rencana kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS kepada Dothor Pandjaitan

dan meminta kesediaannya untuk ditunjuk sebagai Ketua Panitia Pengadaan,

kemudian Terdakwa II memerintahkan Dothor Pandjaitan membuat surat

permintaan informasi harga SHS kepada PT. Sundaya Indonesia, PT. LEN

Page 55: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

45

Industri, dan PT. Wijaya Karya Intrade. Sehingga Terdakwa II pada bulan

April 2007 sudah memperoleh harga SHS dari masing-masing PT tersebut.

Selanjutnya, Dothor Pandjaitan pada pertengahan bulan Mei 2007 di

ruang Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada Ditjen

LPE Departemen ESDM menyampaikan kepada seluruh anggota panitia

pengadaan yang telah dibentuknya agar harga satuan SHS yang akan

digunakan dalam penyusunan HPS berdasarkan pada harga dari PT. Sundaya

Indonesia, PT. LEN Industri dan PT. Wijaya Karya Intrade, sehingga Panitia

Pengadaan hanya menghitung harga rata-rata dari harga ketiga perusahaan

tersebut kemudian menyepakati harga satuan SHS sebesar Rp 5.960.000,00

(lima juta sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) belum termasuk PPN 10%

serta biaya pengiriman dan asuransi barang.

Terdakwa II atas persetujuan Terdakwa I menandatangani dokumen

HPS dan mengarahkan panitia pengadaan untuk menyusun dokumen

pengadaan dalam 17 paket pekerjaan, sehingga Panitia Pengadaan

mempersiapkan proses dokumen pengadaannya dengan menggunakan HPS

yang telah ditetapkan oleh Terdakwa II yang pelaksanaannya dibagi menjadi

3 tahap, dan pada tanggal 28 Juni 2007 Panitia Pengadaan mengumumkan 11

paket pekerjaan Tahap I dan Tahap II untuk pengadaan dan pemasangan

36.245 unit SHS dengan nilai perkiraan pekerjaan berjumlah Rp

254.709.728.000,00 (dua ratus lima puluh empat milyar tujuh ratus sembilan

juta tujuh ratus dua puluh delapan rupiah) padahal saat pengumuman 11 paket

Page 56: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

46

pekerjaan tersebut tidak ada Term of Reference (TOR), Rencana Anggaran

Biaya (RAB) maupun Petunjuk Operasional Kegiatan (POK).

Terdakwa I mengetahui bahwa dalam pengesahan Revisi I DIPA

tertanggal 4 Juli 2007 tercantum adanya penambahan anggaran sebesar Rp

408.884.492.000,00 (empat ratus delapan milyar delapan ratus delapan empat

juta empat ratus sembilan puluh dua rupiah) yang dialokasikan pada Satker

Lisdes Ditjen LPE dalam Program Peningkatan Kualitas Jasa Pelayanan

Sarana dan Prasarana Ketenagalistrikan yang diperuntukkan sebagai belanja

modal perlaatan dan mesin dalam kegiatan pembangunan pembangkit listrik

dengan volume 36.271 unit, kemudian Terdakwa I pada tanggal 2 Juli 2007

menerbitkan Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) untuk mendukung

kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS sebanyak 36.245 unit dengan

anggaran sebesar Rp 254.652.516.000,00 (dua ratus lima puluh empat milyar

enam ratus lima puluh dua juta lima ratus enam belas ribu rupiah). Sehingga

seolah-olah penyusunan dan pengumuman paket pekerjaan yang dilakukan

oleh Panitia Pengadaan telah didasarkan pada alokasi anggaran dalam Revisi

DIPA dan POK tersebut.

Terdakwa I selanjutnya mengarahkan Terdakwa II agar mengatur

pemenang lelang yang akan ditetapkan sebagai rekanan pelaksana dengan

memberikan catatan nama-nama perusahaan tertentu antara lain PT. Eltran

Indonesia, PT. LEN Industri, PT. Azet Surya Lestari, PT. Mitra Muda

Berdikari Indonesia, PT. Altari Energi Surya, CV. Cipta Sarana, dan PT.

Pancuranmas Jaya. Selanjutnya Terdakwa II menyerahkan catatan nama-

Page 57: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

47

nama perusahaan tersebut kepada Panitia Pengadaan dengan memberi arahan

agar nama-nama perusahaan tersebut dicantumkan dalam usulan penetapan

pemenang pelelangan.

Terdakwa II setelah menerima dokumen usulan penetapan pemenang

pelelangan dari panitia pengadaan sebagaimana arahan Terdakwa I, pada

bulan Agustus 2007 menandatangani surat keputusan tentang penunjukkan

pemenang pelelangan pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk

masing-masing paketan pekerjaan yang kemudian dijadikan dasar oleh panitia

pengadaan dalam mengumumkan pemenang lelang.

Terdakwa II atas sepengetahuan dan persetujuan Terdakwa I,

selanjutnya memerintahkan Panitia Pengadaan untuk memproses pelaksanaan

pengadaan tahap III sebanyak 4.356 unit SHS dengan perkiraan nilai

pekerjaan sebesar Rp 30.330.509.000,00 (tiga puluh milyar tiga ratus tiga

puluh juta lima ratus sembilan ribu rupiah) padahal POK untuk pengadaan

paket pekerjaan tersebut belum ada, kemudian Terdakwa II mengatur

pemenang lelang yang akan ditetapkan sebagai rekanan pelaksana dengan

menyerahkan catatan nama-nama perusahaan tertentu dari Terdakwa I antara

lain PT. Polandow, PT. Malista Konstruksi, PT. Pentas Menara Komindo,

dan PT. Citrakaton Dwidaya Lestari, atas perintah tersebut sejak bulan

September 2007 Panitia Pengadaan kembali melakukan proses penyusunan

dokumen pengadaan 6 (enal) paket tambahan tersebut dan mencantumkannya

dalam dokumen pengumuman lelang.

Page 58: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

48

Terdakwa II setelah menerima dokumen usulan penetapan pemenang

pelelangan tahap III dari Panitia Pengadaan, pada tanggal 6 November 2007

menandatangani surat keputusan tentang penunjukkan pemenang pelelangan

pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk keenam paket pekerjaan

tersebut dan kemudian dijadikan dasar oleh Panitia Pengadaan dalam

mengumumkan pemenang lelang.

Terdakwa I pada tanggal 8 November 2007 menerbitkan revisi II POK

atas revisi I DIPA tertanggal 2 Juli 2007 yang di dalamnya mencantumkan

tambahan alokasi anggaran sebesar Rp 30.349.707.000,00 (tiga puluh milyar

tiga ratus empat puluh sembilan juta tujuh ratus tujuh ribu rupiah) untuk

pengadaan tambahan sejumlah 4.356 unit SHS pada tahap III yang telah

ditetapkan rekanan pelaksananya oleh Terdakwa II, sehingga seolah-olah

penyusunan dan pengumuman paket pekerjaan yang dilakukan oleh Panitia

Pengadaan telah didasarkan pada alokasi anggaran dalam Revisi II POK,

kemudian berdasarkan Revisi II POK tersebut Terdakwa II kemudian

menandatangani Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan bersama-sama

dengan masing-masing rekanan yang ditetapkan sebagai pemenang.

Terdakwa I dan II mengetahui bahwa untuk pekerjaan pengujian atau

pemeriksaan barang tidak ada dianggarkan dalam DIPA sehingga

memerintahkan Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa yang telah diangkat

oleh Terdakwa I untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian barang dengan

menggunakan biaya dari rekanan. Atas perintah tersebut, Panitia Penguji/

Penerima Barang/Jasa melakukan pengujian dan pemeriksaan barang dengan

Page 59: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

49

metode sampling yang dibiayai oleh rekanan pelaksana dan membuat Berita

Acara Pemeriksaan Kemajuan Pekerjaan Pengadaan dan Pemasangan SHS

yang kemudian dijadikan dasar bagi Terdakwa II untuk mencairkan anggaran

kegiatan pengadaan tersebut secara bertahap, selanjutnya pada bulan

Desember 2007 Panitia Penguji/ Penerima Barang/Jasa membuat Berita

Acara Pengujian/Penerimaan Barang seolah-olah pekerjaan sudah

dilaksanakan 100%.

Terdakwa II mengetahui bahwa pekerjaan pengadaan dan pemasangan

SHS belum dilaksanakan seluruhnya namun pada akhir TA 2007 Terdakwa II

atas persetujuan Terdakwa I telah mencairkan seluruh anggaran untuk 17

kontrak tersebut yang seluruhnya berjumlah Rp 246.141.512.977,00 (dua

ratus empat puluh enam milyar seratus empat puluh satu juta lima ratus dua

belas ribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh rupiah) setelah dipotong pajak

dengan menggunakan lampiran dokumen Berita Acara Pengujian/

Penerimaan Barang yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Perbuatan Terdakwa I dan II bersama-sama dengan masing-masing

rekanan pelaksana kontrak terkait dengan proses pengadaan dan pemasangan

SHS TA 2007 dalam penetapan pemenang lelang, penandatanganan kontrak,

pengujian/ penerimaan barang serta pencairan anggaran telah memberi

keuntungan secara tidak sah kepada msing-masing rekanan pelaksana yang

diperoleh dari selisih antara nilai kontrak dengan biaya riil yang dikeluarkan

setelah dipotong pajak.

Page 60: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

50

Terdakwa II kemudian memerintahkan Pajian untuk menyimpan dan

mengelola uang-uang yang diterima dari para rekanan tersebut dan kemudian

dikeluarkan penggunaannya sesuai dengan argan dan persetujuan Terdakwa I

yaitu untuk Terdakwa I sebesar Rp 4.350.000.000,00 (empat milyar tiga ratus

lima puluh juta rupiah) dan Terdakwa II sebesar Rp 1.650.000.000,00 (satu

milyar enam ratus lima puluh juta rupiah).

Dari rangkaian perbuatan melawan hukum yang dilakukan Terdakwa I

dan II bersama-sama dengan rekanan pelaksana sebagaimana disebutkan

diatas telah memperkaya Terdakwa I, Terdakwa II, rekanan pelaksana,

Panitia Pengadaan Barang sehingga mengakibatkan kerugian keuangan

negara sebesar Rp 77.358.892.240,00 (tujuh puluh tujuh miliar tiga ratus lima

puluh delapan juta delapan ratus sembilan puluh dua ribu dua ratus empat

puluh rupiah).

Pengadaan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM TA 2008

Terdakwa I pada tahun 2008 diangkat sebagai KPA/KPB Lisdes dan

Terdakwa II diangkat sebagai PKK Kegiatan Energi Baru Terbarukan untuk

seluruh Satker Lisdes dengan surat Keputusan Menteri ESDM Nomor

3000.K/80/MEM/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Pengangkatan

Pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008

di Lingkungan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Terdakwa I dan II setelah menerima surat pengesahan DIPA TA 2008

sebesar Rp 527.714.013.000,00 (lima ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus

Page 61: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

51

empat belas juta tiga belas ribu rupiah) yang dialokasikan untuk kegiatan-

kegiatan pada Satker Ditjen LPE, sekitar awal bulan Februari 2008 bertempat

di ruang kerja Terdakwa I membahas rencana pengelolaan DIPA, pada saat

itu Terdakwa I mengarahkan Terdakwa II untuk merencanakan pelaksanaan

kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS di seluruh Indonesia seperti yang

dilaksanakan pada tahun 2007.

Terdakwa II pada akhir bulan Februari 2008 di ruang Direktorat Energi

Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada Ditjen LPE Departemen ESDM

menyampaikan kepada Dothor Pandjaitan dan seluruh anggota panitia

pengadaan tahun 2007 bahwa pada tahun 2008 akan direncanakan kegiatan

pengadaan dan pemasangan SHS seperti pada tahun 2007 dan meminta

kesediaan Dothor Pandjaitan dan panitia pengadaan lainnya untuk ditunjuk

sebagai Panitia Pengadaan TA 2008, selanjutnya Terdakwa II mengarahkan

agar dalam proses pengadaan SHS TA 2008 menggunakan HPS pada

kegiatan pengadaan dan pemasangan TA 2007 yaitu sebesar Rp 5.960.000,00

(lima juta sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) per unit SHS belum

termasuk PPN 10% biaya pengiriman dan asuransi barang.

Terdakwa II atas persetujuan Terdakwa I menandatangani dokumen

HPS dan mengarahkan panitia pengadaan untuk menyusun dokumen

pengadaan dalam 43 paket pekerjaan sehingga Panitia Pengadaan

mempersiapkan proses dokumen pengadaannya dengan menggunakan HPS

yang telah ditetapkan Terdakwa II yang pelaksanaannya dibagi menjadi 2

tahap dan pada tanggal 19 Maret 2008 Panitia Pengadaan mengumumkan 17

Page 62: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

52

paket pekerjaan Tahap I untuk pengadaan dan pemasangan 19.555 unit SHS

dengan nilai perkiraan pekerjaan berjumlah Rp 137.157.340.000,00 (seratus

tiga puluh tujuh miliar seratus lima puluh tujuh juta tiga ratus empat puluh

ribu rupiah) padahal saat pengumuman 17 paket pekerjaan tersebut tidak ada

TOR, RAB maupun POK.

Terdakwa I mengetahui bahwa dalam pengesahan DIPA tertanggal 31

Desember 2007 tercantum alokasi anggaran untuk pembangunan pembangkit

listrik dengan kode 2137.0189 sebanyak 29.130 unit yang nilai anggarannya

sebesar Rp 387.973.363.000,00 (tiga ratus delapan puluh tujuh miliar

sembilan ratus tujuh puluh tiga juta tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah).

Kemudian Terdakwa I pada tanggal 28 April 2008 menerbitkan POK untuk

mendukung kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS sebanyak 34.907 unit

dengan anggaran sebesar Rp 244.914.318.000,00 (dua ratus empat puluh

empat miliar sembilan ratus empat belas juta tiga ratus delapan belas ribu

rupiah) sehingga seolah-olah penyusunan dan pengumuman paket pekerjaan

yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan telah didasarkan pada alokasi

anggaran dalam DIPA dan POK tersebut.

Terdakwa I pada sekitar bulan April 2008 mengarahkan Terdakwa II

agar mengatur pemenang lelang yang akan ditetapkan sebagai rekanan

pelaksana dengan memberikan catatan nama-nama perusahaan tertentu,

selanjutnya Terdakwa II menyerahkan catatan nama-nama perusahaan

tersebut kepada Panitia Pengadaan dengan memberi arahan agar nama-nama

Page 63: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

53

perusahaan tersebut dicantumkan dalam usulan penetapan pemenang

pelelangan.

Terdakwa II setelah menerima dokumen usulan penetapan pemenang

pelelangan dari Panitia Pengadaan pada pertengahan bulan Mei 2008

menandatangani surat keputusan tentang penetapan pemenang pelelangan

pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk masing-masing paket

pekerjaan Tahap I, yang kemudian dijadikan dasar oleh Panitia Pengadaan

dalam mengumumkan pemenang lelang.

Terdakwa II selanjutnya menandatangani Surat Perjanjian Pelaksanaan

Pekerjaan bersama-sama dengan masing-masing rekanan yang telah

ditetapkan pemenangnya. Sehingga total nilai kontrak 17 paket untuk 19.555

unit SHS adalah sejumlah Rp 134.031.598.000,00 (seratus tiga puluh empat

miliar tiga puluh satu juta lima ratus sembilan puluh delapan ribu rupiah).

Selanjutnya, Terdakwa II memerintahkan Panitia Pengadaan

memproses pelaksanaan pengadaan SHS tahap II sebanyak 26 paket

pekerjaan untuk 17.684 unit SHS dengan nilai pekerjaan sebesar Rp

124.119.724.000,00 (seratus dua puluh empat miliar seratus sembilan belas

juta tujuh ratus dua puluh empat ribu rupiah), walaupun di dalam pengesahan

revisi I DIPA tanggal 15 Mei 2008 dalam kode 04.05.01.2137 untuk

pembangunan pembangkit tenaga listrik ditetapkan sebanyak 29.130 unit

dengan alokasi anggaran Rp 387.937.363.000,00 (tiga ratus delapan puluh

tujuh miliar sembilan ratus tiga puluh tujuh juta tiga ratus enam puluh tiga

Page 64: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

54

ribu rupiah) belum ditetapkan POK untuk kegiatan paket tersebut. Atas

perintah tersebut, Panitia Pengadaan sejak tanggal 21 Juli 2008 kembali

melakukan proses pengadaan tahap II tersebut. Sehinggal keseluruhan paket

yang diproses pada tahap I dan tahap II adalah 43 paket pekerjaan untuk

37.239 unit dengan nilai perkiraan pekerjaan seluruhnya berjumlah Rp

261.277.064.000,00 (dua ratus enam puluh satu miliar dua ratus tujuh puluh

tujuh juta enam puluh empat ribu rupiah).

Bahwa pada tanggal 31 Juli 2008 Revisi II DIPA disahkan yang di

dalamnya mencantumkan alokasi anggaran untuk pembangunan pembangkit

listrik dengan kode 2137.0189 sebanyak 29.130 unit dengan pagu sebesar Rp

356.813.251.000,00 (tiga ratus lima puluh enam miliar delapan ratus tiga

belas juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah), atas Revisi II DIPA tersebut,

Terdakwa I menerbitkan revisi II POK tertanggal 14 Agustus 2008 yang

menetapkan 17 paket pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk

19.555 unit dengan alokasi anggaran sebesar Rp 137.157.340.000,00 (seratus

tiga puluh tujuh miliar seratus lima puluh tujuh juta tiga ratus empat puluh

ribu rupiah) dan menetapkan penambahan 29 paket pengadaan dan

pemasangan SHS untuk 17.724 unit dengan alokasi anggaran sebesar Rp

124.119.724.000,00 (seratus dua puluh empat miliar seratus sembilan belas

juta tujuh ratus dia puluh empat ribu rupiah), yang mana jumlah unit dan

alokasi anggaran yang ditetapkan melalui penerbitan Revisi II POK tersebut

menyesuaikan dengan paket dan nilai kontrak serta jumlah unit SHS yang

sudah ditandatangani oleh Terdakwa II bersama-sama para rekanan pada

Page 65: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

55

tahap I, selain itu Revisi II POK tersebut disesuaikan pula dengan penetapan

paket tahap II yang telah diumumkan oleh Panitia Pengadaan sebelumnya,

sehingga seolah-olah seluruh kontrak yang telah ditandatangani dan

penambahan paket pekerjaan yang sedang diproses telah sesuai dengan Revisi

II POK tersebut.

Terdakwa II pada tanggal 16 September 2008 menandatangani surat

keputusan tentang penunjukkan pemenang pelelangan pekerjaan pengadaan

dan pemasangan SHS untuk 26 paket pekerjaan yang diusulkan oleh Panitia

Pengadaan sesuai dengan arahan Terdakwa I dan II, kemudian penetapan

tersebut dijadikan dasar oleh Panitia Pengadaan untuk mengumumkan

pemenang lelang.

Terdakwa II atas persetujuan Terdakwa I selanjutnya menandatangani

Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan bersama-sama dengan masing-masing

rekanan yang telah ditetapkan sebagai pemenang. Sehingga total nilai kontrak

26 paket untuk 17.724 unit adalah sebesar Rp 121.244.962.568,00 (seratus

dua puluh satu miliar ddua ratus empat puluh empat juta sembilan ratus enam

puluh dua ribu lima ratus enam puluh delapan rupiah).

Terdakwa I dan II selanjutnya menyetujui adanya pelaksanaan

subkontrak kepada pihak lain yang dilakukan oleh rekanan pemenang lelang.

Padahal Terdakwa I dan II mengetahui bahwa perbuatan rekanan pemenang

lelang yang mensubkontrakkan pekerjaan pengadaan, atas kontrak yang telah

ditandatangani adalah perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan

Page 66: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

56

Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah.

Terdakwa I dan II mengetahui bahwa untuk pekerjaan pengujian dan

pemeriksaan barang tidak ada dianggarkan dalam DIPA sehingga

memerintahkan Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa yang telah diangkat

oleh Terdakwa I untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian barang dengan

menggunakan biaya dari rekanan. Atas perintah tersebut panitia melakukan

pengujian dan pemeriksaan barang tahap I dan II dengan metode sampling

yang dibiayai oleh rekanan pelaksana dan membuat berita acara progres

pekerjaan yang kemudian dijadikan dasar bagi Terdakwa II untuk mencairkan

anggaran kegiatan pengadaan tersebut secara bertahap sejak bulan Juni 2008,

selanjutnya pada bulan Desember 2008 Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa

membuat Berita Acara Pengujian/Penerimaan Barang seolah-olah pekerjaan

pengadaan dan pemasangan SHS tahap I dan II tersebut sudah dilaksanakan

100%.

Terdakwa II meskipun mengetahui bahwa pekerjaan pengadaan dan

pemasangan SHS tahap I dan II belum dilaksanakan seluruhnya namun pada

akhir TA 2008 atas persetujuan Terdakwa I telah mencairkan seluruh

anggaran untuk 43 kontrak TA 2008 yang seluruhnya berjumlah Rp

228.231.458.354,00 (dua ratus dua puluh delapan miliar dua ratus tiga puluh

satu juta empat ratus lima puluh delapan ribu tiga ratus lima puluh empat

rupiah) setelah dipotong pajak dengan menggunakan lampiran dokumen

Page 67: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

57

berita acara pengujian/penerimaan barang yang tidak sesuai dengan bukti

yang sebenarnya.

Perbuatan Terdakwa I dan II bersama-sama dengan masing-masing

rekanan pelaksana kontrak terkait proses pengadaan dan pemasangan SHS

TA 2008, penetapan pemenang lelang, penandatanganan kontrak,

pengujian/penerimaan barang serta pencairan anggaran telah memberi

keuntungan secara tidak sah kepada masing-masing rekanan pelaksana yang

diperoleh dari selisih antara nilai kontrak dengan biaya riil yang dikeluarkan

setelah dipotong pajak. Terdakwa II kemudian memerintahkan Paijan untuk

menyimpan dan mengelola uang-uang yang diterima dari para rekanan

tersebut dan kemudian dikeluarkan penggunaannya sesuai dengan arahan dan

persetujuan Terdakwa I, yaitu untuk:

1. Terdakwa I sebesar Rp 2.890.000.000,00 (dua miliar delapan ratus

sembilan puluh juta rupiah);

2. Terdakwa II sebesar Rp 1.163.000.000,00 (satu miliar seratus enam

puluh tiga juta rupiah);

3. Soekanar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

4. Panitia Pengadaan Barang yaitu Dothor Pandjaitan sebesar Rp

22.000.0000,00 (dua puluh dua juta rupiah);

5. Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa sebesar Rp 45.000.000,00 (empat

puluh lima juta rupiah).

Dari rangkaian perbuatan melawan hukum yang dilakukan Terdakwa I

dan II bersama-sama dengan rekanan pelaksana sebagaimana disebutkan

Page 68: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

58

diatas telah memperkaya Terdakwa I, Terdakwa II, Soekanar, rekanan

pelaksana, Panitia Pengadaan Barang, Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa

sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp

144.821.161.382,00 (seratus empat puluh empat miliar delapan ratus dua

puluh satu juta seratus enam puluh satu ribu tiga ratus delapan puluh dua

rupiah).

3. Dakwaan Penuntut Umum

Berdasarkan uraian diatas, maka Terdakwa I dan Terdakwa II didakwa

dengan dakwaan subsidair, yaitu melakukan tindak pidana sebagaimana

didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan Nomor

Register Perkara 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst sebagai berikut:

Primair:

Terdakwa I dan II melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur

dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana

jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Page 69: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

59

Subsidair:

Terdakwa I dan II melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur

dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana

jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

4. Tuntutan Penuntut Umum

Penuntut Umum memohon supaya Majelis Hakim Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan

mengadili perkara ini memutuskan:

1. Menyatakan Terdakwa I Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E dan Terdakwa II

Ir. Kosasih Abbas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana

diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 jo Pasal 18 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana sebagaimana dalam

Dakwaan Primair;

Page 70: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

60

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E

berupa pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun, dikurangi selama

Terdakwa I berada dalam tahanan, dan pidana denda sebesar Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 bulan kurungan,

dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan;

3. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa II Ir. Kosasih Abbas berupa

pidana penjara selama 4 (empat) tahun, dikurangi selama Terdakwa II

berada dalam tahanan, dan pidana denda sebesar Rp 250.000.000,00

(dua ratus lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan,

dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan;

4. Menghukum Terdakwa I, Jacob Purwono untuk membayar uang

pengganti sebesar Rp 8.368.000.000,00 (delapan miliar tiga ratus enam

puluh delapan juta rupiah) dengan ketentuan apabila dalam tenggang 1

(satu) bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap

Terdakwa I tidak membayar uang pengganti tersebut maka harta

bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk memenuhi

pembayaran uang pengganti tersebut, dan dalam hal Terpidana tidak

mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang

pengganti tersebut maka Terdakwa I dipidana penjara selama 2 (dua)

tahun 6 (enam) bulan;

5. Menghukum Terdakwa II, Kosasih Abbas untuk membayar uang

pengganti sebesar Rp 2.388.975.500,00 (dua miliar tiga ratus delapan

Page 71: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

61

puluh delapan juta sembilan ratus tujuh puluh lima ribu lima ratus

rupiah) dengan ketentuan apabila dalam tenggang 1 (satu) bulan setelah

putusan mempunyai kekuatan hukum tetap Terdakwa II tidak

membayar uang pengganti tersebut maka harta bendanya dapat disita

oleh Jaksa dan dilelang untuk memenuhi pembayaran uang pengganti

tersebut, dan dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta benda yang

mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka Terdakwa II

dipidana penjara selama 1 (satu) tahun;

6. Memerintahkan agar seluruh Panitia Pengadaan dan Panitia Penguji

dan Penerima Barang yang telah memperoleh pemberian dari Terdakwa

II dan rekanan dalam pelaksanaan pengadaan dan pemasangan SHS TA

2007 dan TA 2008 untuk mengembalikan uang kepada negara dengan

perincian sebagai berikut:

a. Dothor Pandjaitan sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah),

b. Hanat Hamidi sebesar Rp 18.500.000,00 (delapan belas juta lima

ratus ribu rupiah),

c. Helmi Priko Nainggolan sebesar Rp 18.000.000,00 (delapan belas

juta rupiah),

d. Totoh Abdul Fatah sebesar Rp 16.000.000,00 (enam belas juta

rupiah),

e. Suharwijayanto sebesar Rp 14.000.000,00 (empat belas juta rupiah),

f. Asep Racham sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),

Page 72: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

62

g. Hafiluddin sebesar Rp 7.700.000,00 (tujuh juta tujuh ratus ribu

rupiah),

h. Ezrom Max Donald Tapparan sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta

lima ratus rupiah),

i. M. Darmawan Komar sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus

ribu rupiah),

j. Sumardjono sebesar Rp 5.500.000,00 (lima juta lima ratus ribu

rupiah),

k. Paijan sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah),

l. Suyanto sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah);

7. memerintahkan agar seluruh rekanan yang telah diperkaya sehingga

mendapat keuntungan yang tidak sah dalam pelaksanaan pengadaan dan

pemasangan SHS TA 2007 dan TA 2008 untuk mengembalikan kepada

negara;

8. Menetapkan barang bukti berupa:

a. BB 161 : 1 (satu) Hardisk External HDD Wester Digital 250 GB,

penguasa barang Dothor Panjaitan memiliki MD5 hash :

07948707eb1620a36e944d30ee8fe3bf.

b. BB 162 : 1 (satu) Hardisk External Paijan Merk SEAGATE Tipe

ST340014 A, SN: 5JVQZMXA -40 GB, penguasa barang milik

Pujiharso (eks pc Paijan) memiliki MD5 hash :

444861b4395feeefb66e21396b3f7185.

Page 73: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

63

c. BB 171 : 1 (satu) ABAGT 74 Flashdisk merk Kingston Data

traveler G2 Warna abu-abu 2GB.

d. BB 172 : 1 (satu) ABAGT 76 Flashdisk imation Warna Hitam

produk name : NANO 2 GB.

e. BB 173 : 1 (satu) ABAGT 75 Flashdisk merk Kingston Data

traveler Warna hijau putih 2 GB.

f. BB 174 : 1 (satu) keping CDR merk Sony 700MB, SN:

VC04B1324121348002 terdapat tulisan : PJB 2006-DITREN-PPJB

II.

g. BB 181 : 10 (sepuluh) keping CDR warna kuning dengan nomor

1,2,3,4,5,7,8,9,10,11.

h. BB 182 : 1 (satu) buah CD warna putih dengan tulisan RUPTL.

i. BB 190 : Keputusan Presiden RI Nomor 60/M Tahun 2006 tentang

pengangkatan Sdr. Ir. J. Purwono sebagai Dirjen LPE.

j. BB 194 : 1 (satu) buah Handphone merk Blackberry seri ONYX

9700 dengen lmei: 351937040217745.

k. BB 195 : 1 (satu) buah Handphone merk Blackberry gemini 8250

dengan nomor lmei: 353906031439962.

l. BB 196 : 1 (satu) buah Handphone merk Nokia E 71 dengan nomor

lmei: 354208039166963.

Dikembalikan kepada Terdakwa I Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E

m. BB 208 : Uang sejumlah Rp 201.770.000,00 (dua ratus satu juta

tujuh ratus tujuh puluh ribu rupiah) terdiri dari:

Page 74: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

64

1. Uang pecahan Rp 50.000 sebanyak 3.794 (tiga ribu tujuh

ratus sembilan puluh empat) lembar.

2. Uang pecahan Rp 100.000 sebanyak 120 (seratus dua

puluh) lembar.

3. Uang pecahan Rp 1000 sebanyak 68 (enam puluh delapan)

lembar.

4. Uang pecahan Rp 2000 sebanyak 1 lembar.

5. 1 (satu) surat pernyataan tanggung jawab belanja nomor

66/DLE-EB/6/2010 tanggal 17 Juni 2010.

n. Barang Bukti 1 - 1599 terdapat dalam berkas perkara

9. Membayar biaya perkara sebesar Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).

5. Putusan Hakim

a. Pertimbangan Hakim

Menimbang, bahwa dalam dakwaan primer, Terdakwa didakwa

melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Menimbang, bahwa unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

Page 75: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

65

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

tersebut, adalah:

1. Setiap orang ;

2. Secara melawan hukum ;

3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi ;

4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Menimbang, bahwa Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah mengenai pidana

tambahan.

Menimbang, bahwa Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP adalah mengenai

penyertaan (deelneming), yang rumusannya berbunyi : “Dipidana sebagai

pelaku tindak pidana, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan,

dan yang turut serta melakukan.”

Menimbang, bahwa Pasal 65 ayat (1) KUHP adalah mengenai

perbarengan atau gabungan beberapa perbuatan pidana (meerdaadsche

samenloop atau concursus realis) yang rumusannya berbunyi : “Dalam

gabungan dari beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang

sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi

kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu

hukuman saja dijatuhkan.”

Page 76: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

66

Menimbang, bahwa sekarang Majelis akan mempertimbangkan satu-

persatu unsut-unsur tersebut dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang

terungkap di depan persidangan, yakni sebagai berikut :

Ad. 1. Unsur ‘’Setiap Orang”

Menimbang, bahwa pengertian “setiap orang” dalam hal ini dapat

dijumpai dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi : “Setiap orang

adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.”

Menimbang, bahwa unsur “setiap orang” ini terdapat baik dalam Pasal

2 ayat (1) maupun Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, pengertian unsur “setiap

orang” dalam Pasal 2 ayat (1) tidakklah sama dengan pengertian unsur “setiap

orang” dalam Pasal 3 tersebut. Pada unsur “setiap orang” dalam Pasal 3

terdapat adanya predikat khusus yang mempersyaratkan adanya suatu jabatan

atau kedudukan, sedangkan di dalam unsur “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat

(1) tersebut tidak ada dipersyaratkan demikian.

Menimbang, bahwa meskipun demikian, untuk membuktikan unsur

“setiap orang” dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, menurut Majelis tidak bisa

semata-mata dilihat dari adanya jabatan atau kedudukan yang dimiliki oleh

Page 77: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

67

Terdakwa, melainkan harus pula dilihat apakah dengan jabatan atau

kedudukannya tersebut Terdakwa mempunyai kewenangan untuk melakukan

perbuatan yang didakwakan dalam surat dakwaan. Apabila dengan jabatan

atau kedudukannya tersebut Terdakwa memiliki kewenangan untuk

melakukan perbuatan yang didakwakan dalam surat dakwaan, maka barulah

dapat dikatakan Terdakwa dengan jabatannya tersebut memenuhi kriteria

unsur “setiap orang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Sebaliknya,

apabila dengan jabatan atau kedudukannya tersebut Terdakwa tidak memiliki

kewenangan untuk melakukan perbuatan yang didakwakan dalam surat

dakwaan, namun Terdakwa melakukan perbuatan dimaksud, maka Terdakwa

adalah termasuk dalam pengertian unsur “setiap orang” sebagaimana dalam

Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Menimbang, bahwa dalam surat dakwaan perkara ini, Terdakwa I dan II

didakwa melakukan tindak pidana dalam pengadaan dan pemasangan Solar

Home System (SHS) pada Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi

LPE Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tahun

Anggaran 2007 dan 2008.

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di depan

persidangan perkara ini diperoleh adanya fakta hukum bahwa pada tahun

2007 dan 2008 Terdakwa I adalah Direktur Jenderal LPE Departemen ESDM

sekaligus selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam pengadaan dan

Page 78: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

68

pemasangan SHS tersebut diatas, dan Terdakwa II adalah Kepala Sub

Direktorat Usaha Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi pada

Direktorat LPE Departemen ESDM sekaligus selaku Pejabat Pembuat

Komitmen (PPK) dalam pengadaan dan pemasangan SHS tersebut.

Menimbang, bahwa dari fakta hukum tersebut diatas, terlihat bahwa

Terdakwa I memiliki jabatan sebagai Dirjen sekaligus Kuasa Pengguna

Anggaran (KPA) pada Direktorat Jenderal LPE Departemen ESDM, yang

berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) c Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tersebut diatas, dengan jabatannya tersebut

Terdakwa memiliki kewenangan untuk menggunakan anggaran dalam

pengadaan barang/jasa pemerintah pada Direktorat Jenderal LPE Departemen

ESDM, in casu pengadaan dan pemasangan solar home system (SHS) pada

Direktorat Jenderal LPE Departemen ESDM sebagaimana dimaksud diatas.

Menimbang, bahwa dalam Pasal 9 ayat (5) Peraturan Presiden Nomor 8

Tahun 2006, diatur bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PKK) bertanggung

jawab dari segi administrasi fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan

barang/jasa yang dilaksanakannya.

Menimbang, bahwa dari fakta hukum diatas, terlihat bahwa Terdakwa

II mempunyai jabatan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PKK), yang

berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (3) dan (5) Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tersebut diatas, dengan jabatannya tersebut

Terdakwa II mempunyai kewenangan dalam pengadaan barang/jasa

Page 79: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

69

pemerintah, in casu pengadaan dan pemasangan solar home system pada

Direktorat Jenderal LPE Departemen ESDM yang bertanggung jawab dari

segi administrasi, fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan dan

pemasangan SHS dimaksud.

Menimbang, bahwa dengan demikian, Terdakwa-Terdakwa addalah

setiap orang yang memiliki suatu jabatan yang dengan jabatannya masing-

masing tersebut Terdakwa I dan II mempunyai kewenangan untuk melakukan

perbuatan yang didakwakan dalam Surat Dakwaan perkara a quo. Oleh

karena itu, Terdakwa-Terdakwa dalam jabatannya masing-masing tersebut

dikaitkan dengan perbuatan yang didakwakan dalam pelaksanaan

kewenangan dari jabatan-jabatannya tersebut, adalah memenuhi kriteria

pengertian “setiap orang” dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaksud, bukan “setiap

orang” dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini, tidak terpenuhi.

Menimbang, bahwa dengan tidak terpenuhinya unsur “setiap orang” ini,

maka dengan tidak perlu lagi mempertimbangkan unsur-unsur selain dan

selebihnya dari Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang didakwakan dalam Dakwaan

Page 80: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

70

Primer tersebut, Dakwaan Primer a quo haruslah dinyatakan tidak terbukti

menurut hukum.

Menimbang, bahwa oleh karena Dakwaan Primer dari Surat Dakwaan

dalam perkara ini tidak terbukti menurut hukum, maka Terdakwa haruslah

dibebaskan dari Dakwaan Primer dimaksud.

Menimbang, bahwa oleh karena dalam Surat Dakwaan perkara a quo

Terdakwa didakwa dengan dakwaan subsidaritas, maka dengan tidak

terbuktinya Dakwaan Primer, sesuai dengan prosess orde yang berlaku,

sekarang Majelis akan mempertimbangkan dan memberi penilaian hukum

atas Dakwaan Subsidair dari Surat Dakwaan dalam perkara ini, yakni

sebagaimana diuraikan dibawah ini.

Menimbang, bahwa dalam Dakwaan Subsider, Terdakwa didakwa

melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Menimbang, bahwa unsur-unsur Pasal 3 Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, adalah:

1. Setiap orang ;

Page 81: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

71

2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi ;

3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan ;

4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Menimbang, bahwa Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah mengenai pidana

tambahan.

Menimbang, bahwa Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP adalah mengenai

penyertaan (deelneming), yang rumusannya berbunyi : “Dipidana sebagai

pelaku tindak pidana, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan,

dan yang turut serta melakukan.”

Menimbang, bahwa Pasal 65 ayat (1) KUHP adalah mengenai

perbarengan atau gabungan beberapa perbuatan pidana (meerdaadsche

samenloop atau concursus realis) yang rumusannya berbunyi :

“Dalam gabungan dari beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja dijatuhkan.”

Menimbang, bahwa sekarang Majelis akan mempertimbangkan satu-

persatu unsur-unsur tersebut dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang

terungkap di depan persidangan, yakni sebagai berikut:

Page 82: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

72

Ad. 1. Unsur ‘’Setiap Orang”

Menimbang, bahwa pengertian “setiap orang” dalam hal ini dapat

dijumpai dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi : “Setiap orang

adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.”

Menimbang, bahwa uraian pertimbangan-pertimbangan mengenai unsur

“setiap orang” dalam Dakwaan Primer sebagaimana dimaksud diatas, dengan

ini diambil alih dan dipergunakan pula dalam pertimbangan ini, sehingga

secara mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum mengenai

unsur “setiap orang” dalam Dakwaan Subsider ini. Dengan demikian

Terdakwa adalah subyek hukum “setiap orang” sebagaimana dimaksud dalam

rumusan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah

dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang didakwakan dalam Dakwaan Subsider ini.

Sehingga unsur “setiap orang” ini telah terpenuhi, yaitu Terdakwa I, Ir. Jacob

Purwono, M.S.E.E. dan Terdakwa II, Ir. Kosasih Abbas.

Ad. 2. Unsur ‘’Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan”menguntungkan” adalah

sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh

lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari

pendapatan yang diperolehnya. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan

Page 83: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

73

unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”

adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi. Di dalam ketentuan tentang tindak pidana korupsi

yang terdapat dalam Pasal 3 ini, unsur “menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi” tersebut adalah tujuan dari pelaku tindak

pidana korupsi.

Menimbang, bahwa unsur subyektif yang melekat pada batin si

pembuat menurut Pasal 3 ini merupakan tujuan si pembuat dalam melakukan

perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan lain-lain tadi yakni untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur tujuan

(doel) tidak berbeda artinya dengan maksud atau kesalahan sebagai maksud

(opzet als oogmerk) atau kesengajaan dalam arti sempit seperti yang ada pada

pemerasan, pangancaman, maupun penipuan (Pasal 368,369, dan 378

KUHP). Apa yang dimaksud dengan tujuan ialah suatu kehendak yang ada

dalam pikiran atau alam bathin si pembuat yang ditujukan untuk memperoleh

suatu keuntungan (menguntungkan) bagi dirinya sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi.

Menimbang, bahwa unsur ini merupakan unsur batin yang menentukan

arah dari perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan sebagainya. Adanya

unsur ini harus pula ditentukan secara obyektif dengan memperhatikan segala

keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka.

Page 84: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

74

Menimbang, bahwa sejalan dengan hal tadi, Mahkamah Agung

Republik Indonesia dengan putusannya tertanggal 29 Juni 1989 Nomor : 813

K/Pid/1987 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan antara lain bahwa

unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan” cukup

dinilai dari kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan perilaku

Terdakwa sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya karena jabatan atau

kedudukan.

Menimbang, bahwa dalam kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS di

Dintjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008, dari pembayaran

yang telah diterima lunas oleh perusahaan-perusahaan rekanan, telah

memberi keuntungan pada perusahaan-perusahaan tersebut.

Menimbang, bahwa di depan persidangan perkara ini, ahli dari BPKP,

yaitu ahli Agustina Arumsari yang melakukan penghitungan kerugian

keuangan negara dalam perkara ini menerangkan bahwa keuntungan yang

diperoleh perusahaan-perusahaan pemenang pengadaan dan pemasangan SHS

di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut adalah

sebesar selisih harga kontrak yang dibayarkan oleh Ditjen LPE Departemen

ESDM (setelah dipotong pajak) dengan nilai riil pengeluaran oleh

perusahaan-perusahaan atas pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS

tersebut, tanpa memasukkan komponen margin/keuntungan wajar bagi

perusahaan sebagai faktor pengurang dari harga kontrak dimaksud, dengan

alasan bahwa dari pihak rekanan, pihak supplier sudah mendapat untung dari

harga per unit SHS yang diberikan.

Page 85: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

75

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum yang diperoleh di depan

persidangan perkara ini, perusahaan-perusahaan yang menjadi pemenang dan

mengikat kontrak dengan Ditjen LPE Departemen ESDM dalam pekerjaan

pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 dan 2008 tersebut adalah bukan

supplier, melainkan hanya membeli dari pihak supplier sebagai pihak yang

memberi dukungan barang, dan harga riil yang dipergunakan sebagai faktor

pengurang adalah harga unit SHS yang diberikan oleh ahli dari Universitas

Indonesia, yaitu Ahli Gandjar Kiswanto, padahal di depan persidangan ahli

Gandjar Kiswanto menerangkan bahwa harga pokok produksi yang

dipergunakan oleh ahli Gandjar Kiswanto adalah rancu, karena harga pokok

produksi yang ahli pergunakan dalam perkara in casu adalah harga di

supplier, padahal seharusnya harga pokok produksi adalah harga dari pabrik,

sementara ahli tidak melakukan penelitian harga ke pabrik SHS dimaksud.

Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis berpendapat bahwa yang

dihitung sebagai keuntungan dalam perkara a quo adalah keuntungan yang

tidak wajar, oleh karena itu komponen keuntungan yang wajar sebagai biaya

overhead dalam suatu perusahaan adalah patut dimasukkan sebagai

komponen pengurang dari harga kontrak dimaksud karena pekerjaan telah

selesai dilakukan, sehingga dari perhitungan yang dilakukan oleh ahli

Agustina Arumsari dalam perkara a quo, Majelis akan menambahkan

komponen biaya overhead sebesar 15% (lima belas prosen) dari nilai kontrak

sebagai faktor pengurang sebagaimana dimaksud diatas.

Page 86: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

76

Menimbang, bahwa dari pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen

LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut telah pula

menguntungkan Terdakwa I dan II, yaitu masing-masing :

a. Terdakwa I :

- menerima transfer dari saksi Witono sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah); dan

- menerima uang tunai yang diberikan oleh saksi Yatiek Astuti sebesar Rp

30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

b. Terdakwa II :

- menerima transfer dari saksi Witono melalui rekening istri Terdakwa II

sebesar Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) ; dan

- menerima pemberian dari PT. LEN melalui saksi Nany Wardani dan

saksi Vina Lola ssebesar Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta

rupiah).

Menimbang, bahwa dari pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen

LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut Terdakwa II juga

menerima pemberian uang dari perusahaan-perusahaan yang memperoleh

pekerjaan tersebut, untuk Tahun 2007 sejumlah keseluruhan Rp

4.200.000.000,00 (empat miliar dua ratus juta rupiah) dan Tahun 2008

dengan jumlah keseluruhan Rp 2.528.500.000,00 (dua miliar lima ratus dua

puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah).

Menimbang, bahwa dari uang-uang yang diterima oleh Terdakwa II

tersebut diatas dipergunakan oleh Terdakwa II atas perintah Terdakwa I,

Page 87: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

77

antara lain untuk diberikan kepada anggota DPR-RI yang sedang melakukan

pembahasan RUU tentang Energi dan Ketenagalistikan pada akhir 2007

sebesar Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan Rp

160.000.000,00 (seratus enam puluh juta rupiah).

Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,

pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen

ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut telah menguntungkan Terdakwa I dan

Terdakwa II sendiri, dan juga menguntungkan orang lain, yaitu saksi Viktor

Matius Djoha, Abdul Cholik, Yatiek Astuti, saksi Rafdinal, saksi I Putu Geria

Astawa, Soewarto, saksi Taty Supriaty, saksi Johannes Herman Soleman

Katipana, serta menguntungkan korporasi yaitu perusahaan-perusahaan

rekanan sebagaimana diuraikan diatas.

Menimbang, bahwa keuntungan-keuntungan yang diperoleh Terdakwa I

dan Terdakwa II adalah memang menjadi tujuan Terdakwa I sejak Terdakwa

I memberi briefing/arahan kepada Terdakwa II terkait pengadaan dan

pemasangan SHS tersebut diatas, dalam mana Terdakwa I mengatakan

membutuhkan dana untuk memperlancar pembahasan RUU tentang Energi

dan Ketenagalistrikan di DPR-RI, sehingga apabila dalam pengadaan dan

pemasangan SHS itu ada pemberian dari rekanan agar diterima saja. Hal

mana bersesuaian dengan catatan tulisan tangan Terdakwa I diatas selembar

kertas kuning yang berisikan nama-nama orang/perusahaan dan angka yang

menunjukkan jumlah paket pekerjaan yang akan dialokasikan. Pada akhirnya,

memang nama-nama dalam kertas kuning itulah yang dimenangkan dalam

Page 88: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

78

pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 dan 2008 tersebut. Dalam

pengadaan dimana kemudian Terdakwa II menerima pemberian-pemberian

uang dari rekanan pemenang yang kemudian sebagian dipergunakan oleh

Terdakwa I dengan memerintahkan Sesditjen LPE, saksi Soekanar, untuk

diberikan kepada anggota-anggota DPR-RI yang membahas RUU tentang

Energi dan Ketenagalistrikan tersebut.

Menimbang, bahwa dengan demikian, unsur “dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” ini telah

terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa II.

Ad. 3. Unsur ‘’Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya”

Menimbang, bahwa dalam unsur ini terdapat adanya 3 (tiga) elemen

yang bersifat alternatif, yaitu menyalahgunakan kewenangan, atau

menyalahgunakan kesempatan, atau menyalahgunakan sarana, yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan. Dengan terbuktinya salah satu saja

dari elemen tersebut, maka unsur ini sudah terbukti.

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan” tersebut adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau

sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki

oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud yang

diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut. Untuk mencapai

Page 89: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

79

tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

tersebut dalam Pasal 3 ini telah ditentukan cara yang harus ditempuh oleh

pelaku tindak pidana korupsi, yaitu : dengan menyalahgunakan kewenangan,

dengan menyalahgunakan kesempatan, atau dengan menyalahgunakan sarana,

yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.

Yang dimaksud dengan “kewenangan” adalah serangkaian hak yang melekat

pada jabatan atau kedudukan dari pelaku untuk mengambil tindakan yang

diperlukan agar tugas pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik.

Sedangkan yang dimaksud dengan “kesempatan” adalah peluang yang dapat

dimanfaatkan oleh pelaku, peluang mana tercantum dalam ketentuan-

ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan, atau kedudukan

yang dijabat atau diduduki pelaku. Dan yang dimaksud dengan “sarana”

adalah syarat, cara, media, yaitu cara kerja atau metoda kerja yang berkaitan

dengan jabatan arau kedudukan dari pelaku.

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana yang

diuraikan sebelumnya diatas setelah dihubungkan satu sama lain, terlihat

bahwa dalam pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE

Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut, Terdakwa I menerima

beberapa orang yang menitipkan nama-nama orang/perusahaan yang

kemudian dicatat dengan tulisan tangan oleh Terdakwa I dalam selembar

kertas berwarna kuning dengan menuliskan angka jumlah paket pekerjaan

yang akan diberikan, kertas kuning berisi tulisan tangan Terdakwa I yang

mana kemudian diberikan kepada Terdakwa II untuk dilaksanakan. Untuk

Page 90: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

80

pelaksanaannya kemudian Terdakwa II memanggil Panitia Pengadaan dan

menyampaikannya. Untuk itu kemudian setiap proses pengadaan sudah

mencapai tahap evaluasi teknis, Terdakwa II memanggil Panitia Pengadaan

dan meminta hasil evaluasi teknis tersebut diubah agar sesuai dengan catatan

tulisan tangan Terdakwa I tersebut, sehingga kemudian yang ditetapkan

sebagai pemenang dan mengikat kontrak dengan Ditjen LPE Departemen

ESDM adalah perusahaan-perusahaan itu. Dari pengadaan pekerjaan yang

sedemikian itu kemudian Terdakwa II menerima pemberian uang-uang dari

pihak rekanan sejumlah tersebut diatas, yang disamping untuk dipergunakan

untuk keperluan pembahasan RUU Energi dan Ketenagalistrikan di DPR-RI,

juga ada yang diterima secara pribadi oleh Terdakwa I dan II, sebagaimana

telah diuraikan diatas.

Menimbang, bahwa dengan demikian, pengadaan dan pemasangan SHS

di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut telah diatur

sedemikian rupa proses pengadaannya yang ditujukan untuk memenangkan

kepada perusahaan-perusahaan tertentu, dalam mana Terdakwa I selaku

Dirjen LPE Departemen ESDM sekaligus KPA dalam pekerjaan tersebut

telah menggunakan kewenangannya tersebut secara salah, yaitu mengatur

jalannya proses pengadaan sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, dari

hal tersebut kemudian Terdakwa I menerima dana untuk melancarkan proses

pembahasan RUU tentang Energi dan Ketenagalistrikan di DPR-RI,

disamping pula untuk kepentingan pribadi Terdakwa I sendiri, hal mana

adalah bertentangan dengan kewajiban Terdakwa I selaku KPA yang

Page 91: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

81

seharusnya memerintahkan agar pelaksanaan pengadaan pekerjaan tersebut

dilakukan secara adil/ tidak diskriminatif, terbuka dan bersaing, transparan,

dan akuntabel, sehingga diperoleh hasil pengadaan yang efektif dan efisien.

Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,

Majelis berpendapat bahwa Terdakwa I dan II telah menyalahgunakan

kewenangan yang ada padanya karena jabatannya masing-masing selaku

KPA dan PKK dalam pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE

Departemen ESDM Tahun Anggaran 2007 dan 2008, sehingga unsur

“menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan arau kedudukannya” dalam perkara ini telah terpenuhi.

Ad. 4. Unsur ‘’Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian

Negara”

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana diuraikan

diatas setelah dihubungkan satu sama lain, terlihat bahwa uang yang

dikeluarkan dari DIPA Ditjen LPE Departemen ESDM untuk mengadaan dan

pemasangan SHS Tahun 2007 tersebut diatas adalah sebesar yang dibayarkan

kepada perusahaan-perusahaan pemenang pengadaan dan pemasangan SHS

dimaksud, kontrak, yaitu untuk Tahun 2007 sebesar Rp 274.740.354.360 (dua

ratus tujuh puluh empat miliar tujuh ratus empat puluh juta tiga ratus lima

puluh empat ribu tiga ratus enam puluh rupiah). Sedangkan biaya riil

pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 tersebut adalah sebesar harga

riil menurut ahli dari BPKP, Agustina Arumsari ditambah margin 15%

Page 92: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

82

sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas, seluruhnya adalah berjumlah

sebesar Rp 233.450.762.481,00 (dua ratus tiga puluh tiga miliar empat ratus

lima puluh juta tujuh ratus enam puluh dua ribu empat ratus delapan puluh

satu rupiah).

Menimbang, bahwa dengan demikian terdapat adanya selisih sebesar

Rp 274.740.453.360,00 (dua ratus tujuh puluh empat miliar tujuh ratus empat

puluh juta empat ratus lima puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh rupiah)

dikurangi Rp 233.450.762.481,00 (dua ratus tiga puluh tiga miliar empat ratus

lima puluh juta tujuh ratus enam puluh dua ribu empat ratus delapan puluh

satu rupiah), yaitu sebesar Rp 41.286.591.879,00 (empat puluh satu miliar

dua ratus delapan puluh enam juta lima ratus sembilan puluh satu ribu

delapan ratus tujuh puluh sembilan rupiah). Selisih nilai inilah yang

merupakan kerugian negara dalam pengadaan dan pemasangan SHS yang

dilaksanakan Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun Anggaran 2007.

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana diuraikan

diatas setelah dihubungkan satu sama lain, terlihat bahwa uang yang

dikeluarkan dari DIPA Ditjen LPE Departemen ESDM untuk mengadaan dan

pemasangan SHS Tahun 2008 tersebut diatas adalah sebesar yang dibayarkan

kepada perusahaan-perusahaan pemenang pengadaan dan pemasangan SHS

dimaksud, kontrak, yaitu untuk Tahun 2008 sebesar Rp 255.276.560.568,00

(dua ratus lima puluh lima miliar dua ratus tujuh puluh enam juta lima ratus

enam puluh ribu lima ratus enam puluh delapan rupiah). Sedangkan biaya riil

pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2008 tersebut adalah sebesar harga

Page 93: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

83

riil menurut ahli dari BPKP, Agustina Arumsari ditambah margin 15%

sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas, seluruhnya adalah berjumlah

sebesar Rp 216.563.337.692,00 (dua ratus enam belas miliar lima ratus enam

puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh tujuh ribu enam ratus sembilan puluh dua

rupiah).

Menimbang, bahwa dengan demikian terdapat adanya selisih sebesar

Rp 255.276.560.568,00 (dua ratus lima puluh lima miliar dua ratus tujuh

puluh enam juta lima ratus enam puluh ribu lima ratus enam puluh delapan

rupiah) dikurangi Rp 216.563.337.692,00 (dua ratus enam belas miliar lima

ratus enam puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh tujuh ribu enam ratus sembilan

puluh dua rupiah), yaitu sebesar Rp 38.713.222.876,00 (tiga puluh delapan

miliar tujuh ratus tiga belas juta dua ratus dua puluh dua ribu delapan ratus

tujuh enam rupiah). Selisih nilai inilah yang merupakan kerugian negara

dalam pengadaan dan pemasangan SHS yang dilaksanakan Ditjen LPE

Departemen ESDM Tahun Anggaran 2008.

Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,

maka pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM

Tahun 2007 dan 2008 telah merugikan negara sebesar total Rp

80.002.814.755,00 (delapan puluh miliar dua juta delapan ratus empat belas

ribu tujuh ratus lima puluh lima rupiah). Sehingga unsur “dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara” ini telah terpenuhi.

Page 94: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

84

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di depan

persidangan diperoleh adanya fakta hukum sebagaimana telah diuraikan

dalam pertimbangan hukum mengenai unsur “dengan tujuan menguntungkan

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” diatas, bahwa dari

pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun

2007 dan 2008 tersebut, Terdakwa I memperoleh keuntungan sebesar Rp

1.030.000.000,00 (satu miliar tiga puluh juta rupiah) dan Terdakwa II sebesar

Rp 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah). Oleh karena Terdakwa

I dan II memperoleh keuntungan dari suatu perbuatan menyalahgunakan

kewenangan yang ada padanya karena jabatannya sebagaimana diuraikan

diatas, maka berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

keuntungan yang diperoleh Terdakwa-Terdakwa tersebut adalah merupakan

uang pengganti yang harus dibebankan kepada Terdakwa I dan II untuk

mengembalikannya dalam perkara ini.

Menimbang, bahwa selain uang pengganti tersebut, Penuntut Umum

dalam Surat Tuntutannya menuntut pula agar dilakukannnya perampasan

terhadap keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan rekanan dalam

Page 95: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

85

pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun

2007 dan 2008 tersebut diatas.

Menimbang, bahwa dengan demikian, Pasal 18 Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini, telah

terpenuhi.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana telah

diuraikan sebelumnya diatas, setelah dihubungkan satu sama lain, terlihat

bahwa setelah sejak sebelum dimulainya pelaksanaan pengadaan dan

pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007, Terdakwa I

telah memberi briefing/arahan kepada Terdakwa II agar pelaksanaan dan

pemasangan SHS dilakukan sesuai ketentuan, dan kalau ada pemberian dari

rekanan diterima saja karena LPE sedang membutuhkan dana dalam rangka

pembahasan RUU tentang Ketenagalistrikan di DPR-RI. Di lain kesempatan,

Terdakwa I banyak menerima tamu yang berkepentingan untuk ikut ambil

bagian dalam proyek pengadaan SHS tersebut, untuk mana Terdakwa I

memperkenalkan Terdakwa II selaku PPK kepada tamu-tamunya itu, dan

selanjutnya Terdakwa I memberikan catatan tulisan tangan Terdakwa I

sendiri yang berisi nama-nama orang/perusahaan yang diinginkan oleh

Terdakwa I untuk menjadi pemenang dalam pengadaan dimaksud, lengkap

Page 96: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

86

dengan penyebutan angka jumlah paket pekerjaan yang dialokasikan untuk

masing-masing perusahaan dimaksud. Setelah itu, Terdakwa II memanggil

Panitia Pengadaan menyampaikan hal tersebut, dan kemudian dalam

pelakasanaannya Terdakwa II meminta Panitia Pengadaan mengubah hasul

evaluasi teknis agar perusahaan-perusahaan yang nama-namanya berikut

jumlah paket pekerjaannya sebagaimana catatan tulisan tangan Terdakwa I

tersebut yang menjadi pemenanga dan melaksanakan pengadaan dan

pemasangan SHS dimaksud. Dari pengadaan dan pemasangan SHS tersebut,

baik Tahun 2007 maupun 2008, Terdakwa II menerima pemberian-pemberian

uang ucapan terima kasih dari rekanan yang oleh Terdakwa II dilaporkan

kepada Terdakwa I dan disimpan oleh bendahara PUM (Pembayar Uang

Muka). Dari pemberian-pemberian uang tersebut kemudian Terdakwa I

memerintahkan Terdakwa II mengeluarkan Rp 1.500.000.000 (satu miliar

lima ratus juta rupiah) guna diberikan kepada anggota DPR-RI berkaitan

dengan upaya melancarkan pembahasan RUU tentang Energi dan

Ketenagalistrikan di DPR-RI, disamping juga ada yang diterima ke rekening

pribadi Terdakwa I dan Terdakwa II.

Menimbang, bahwa dengan demikian terlihat bahwa sejak perencanaan

hingga pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 dan 2008 tersebut

terdapat adanya kerjasama yang sedemikian erat dan sempurna antara

Terdakwa I dan Terdakwa II sehingga terwujud pengadaan dan pemasangan

SHS oleh perusahaan-perusahaan yang diinginkan oleh Terdakwa I.

Terdakwa I tidak mewujudkan sendiri perbuatannya itu melainkan bekerja

Page 97: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

87

sama dengan Terdakwa II, sehingga perbuatan secara bersama-sama

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi

dalam perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa II.

Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana telah

diuraikan diatas, setelah dihubungkan satu sama lain terlihat bahwa Terdakwa

I dan Terdakwa II melakukan pengaturan pemenang dalam pengadaan dan

pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008.

Sehingga terdapat adanya dua perbuatan yang masing-masing merupakan

perbuatan selesai dan berdiri sendiri. Perbuatan-perbuatan tersebut tampak

dengan nyata tidak tersangkut paut satu sama lain. Perbuatan mengatur

pemenang dalam pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 oleh

Terdakwa I dan Terdakwa II tersebut bukan merupakan syarat bagi timbulnya

perbuatan mengatur pemenang dalam pengadaan dan pemasangan SHS

Tahun 2008. Kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai kenyataan yang

berdiri sendiri. Dengan demikian, Terdakwa telah melakukan beberapa

perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri, yang diancam dengan pidana

utama sejenis, yaitu pidana penjara dan denda. Sehingga telah terjadi apa

yang disebut dengan perbarengan (concursus realis) sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) KUHP dengan demikian Pasal 65 ayat (1)

KUHP ini terpenuhi.

Page 98: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

88

Menimbang, bahwa sebelum penjatuhan pidana terhadap diri

Terdakwa-Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan

dan yang meringankan Terdakwa-Terdakwa, sebagai berikut :

Hal-hal yang memberatkan :

- Terdakwa I :

- Perbuatan Terdakwa I kontraproduktif bagi upaya pemberantasan

korupsi di tanah air ;

- Terdakwa I tidak memberi teladan bagi jajarannya dalam kedinasan ;

- Terdakwa I tidak merasa bersalah atas perbuatannya ;

- Terdakwa II :

- Perbuatan Terdakwa II kontraproduktif bagi upaya pemberantasan

korupsi di tanah air ;

- Terdakwa II tidak berani menolak arahan yang tidak benar dari

atasannya, sehingga terjadi tindak pidana tersebut ;

Hal-hal yang meringankan :

- Terdakwa I :

- Terdakwa I berlaku sopan di depan persidangan ;

- Terdakwa I masih mempunyai tanggungan keluarga ;

- Terdakwa I telah mengabdikan diri dan memperoleh penghargaan

Satya Lencana dari Negara ;

- Terdakwa II :

Page 99: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

89

- Terdakwa II mengakui perbuatannya dan berterus terang di depan

persidangan sehingga berperilaku kooperatif ;

- Terdakwa II telah mengabdikan diri pada Negara sebagai Pegawai

Negeri Sipil yang cukup lama ;

- Terdakwa II berlaku sopan di persidangan ;

- Terdakwa II masih mempunya tanggungan keluarga.

b. Amar Putusan

Terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana korupsi tersebut diatas, maka

Majelis Hakim, dengan memperhatikan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65

ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo

Pasal 25 Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi, serta ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan

dan hukum yang berkenaan dengan perkara ini, menjatuhkan putusan yang

amar putusannya berbunyi sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa I Ir. JACOB PURWONO, M.S.E.E dan Terdakwa

II Ir. KOSASIH ABBAS tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

Page 100: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

90

bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud

dalam Dakwaan Primer Surat Dakwaan perkara ini;

2. Membebaskan oleh karenanya Terdakwa I Ir. JACOB PURWONO,

M.S.E.E dan Terdakwa II Ir. KOSASIH ABBAS dari Dakwaan Primer

Surat Dakwaan tersebut;

3. Menyatakan Terdakwa I Ir. JACOB PURWONO, M.S.E.E dan Terdakwa

II Ir. KOSASIH ABBAS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan “Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagai

perbuatan perbarengan” sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan

Subsider Surat Dakwaan Perkara ini;

4. Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa I Ir. JACOB

PURWONO, M.S.E.E dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun

dan pidana denda sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)

dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti

dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan, terhadap Terdakwa II Ir.

KOSASIH ABBAS dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan

pidana denda sebesar Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)

dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti

dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;

5. Menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti terhadap Terdakwa I Ir.

JACOB PURWONO, M.S.E.E sebesar Rp 1.030.000.000,00 (satu miliar

tiga puluh juta rupiah) dan terhadap Terdakwa II Ir. KOSASIH ABBAS

Page 101: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

91

sebesar Rp 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) selambat-

lambatnya satu bulan setelah putusan ini memperoleh kekuatan hukum

tetap, dengan ketentuan apabila setelah lewatnya waktu tersebut

Terdakwa-Terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut maka harta

kekayaannya disita dan dilelang untuk memenuhi pembayaran uang

pengganti dimaksud, dan apabila Terdakwa-Terdakwa tidak memenuhi

pembayaran uang pengganti tersebut, maka Terdakwa I dipidana penjara

selama 2 (dua) tahun dan untuk Terdakwa II selama 1 (satu) tahun;

6. Memerintahkan Para Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

7. Memerintahkan masa penahanan yang telah dijalani Para Terdakwa

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

8. Memerintahkan perampasan untuk negara atas barang bergerak berupa

uang dari:

a. PT. Eltran Indonesia sebesar Rp 1.826.395.027,00 (satu miliar

delapan ratus dua puluh enam juta tiga ratus sembilan puluh lima

ribu dua puluh tujuh rupiah) ;

b. PT. Azet Surya Lestari sebesar Rp 9.370.584.135,00 (sembilan

miliar tiga ratus tujuh puluh juta lima ratus delapan puluh empat ribu

seratus tiga puluh lima rupiah) ;

Page 102: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

92

c. PT. LEN Industri sebesar Rp 3.782.057.894,00 (tiga miliar tujuh

ratus delapan puluh dua juta lima puluh tujuh ribu delapan ratus

sembilan puluh empat rupiah) ;

d. PT. LEN Industri dan PT. Gomzu Daguzi sebesar Rp

3.933.720.373,00 (tiga miliar sembilan ratus tiga puluh tiga juta

tujuh ratus dua puluh ribu tiga ratus tujuh puluh tiga rupiah) ;

e. PT. Mitra Muda Berdikari Indonesia sebesar Rp 1.819.752.642,00

(satu miliar delapan ratus sembilan belas juta tujuh ratus lima puluh

dua ribu enam ratus empat puluh dua rupiah) ;

f. PT. Bangun Baskara Mandiri sebesar Rp 6.081.616.888,00 (enam

miliar delapan puluh satu juta enam ratus enam belas ribu delapan

ratus delapan puluh delapan rupiah) ;

g. CV. Cipta Sarana sebesar Rp 3.275.505.209,00 (tiga miliar dua ratus

tujuh puluh lima juta lima ratus lima ribu dua ratus sembilan rupiah)

;

h. PT. Pancuranmas Jaya sebesar Rp 4.563.960.584,00 (empat miliar

lima ratus enam puluh tiga juta sembilan ratus enam puluh ribu lima

ratus delapan puluh empat rupiah) ;

i. PT. Pentas Menara Komindo sebesar Rp 2. 476.126.941,00 (dua

miliar empat ratus tujuh puluh enam juta seratus dua puluh enam

ribu sembilan ratus empat puluh satu rupiah) ;

Page 103: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

93

j. PT. Citrakaton Dwidaya Lestari sebesar Rp 647.463.625,00 (enam

ratus empat puluh tujuh juta empat ratus enam puluh tiga ribu enam

ratus dua puluh lima rupiah) ;

k. Dan seterusnya hingga poin 47.

9. Memerintahkan barang-barang bukti berupa:

a. BB 161 : 1 (satu) Hardisk External HDD Wester Digital 250 GB,

penguasa barang Dothor Panjaitan memiliki MD5 hash :

07948707eb1620a36e944d30ee8fe3bf.

b. BB 162 : 1 (satu) Hardisk External Paijan Merk SEAGATE Tipe

ST340014 A, SN: 5JVQZMXA -40 GB, penguasa barang milik

Pujiharso (eks pc Paijan) memiliki MD5 hash :

444861b4395feeefb66e21396b3f7185.

c. BB 171 : 1 (satu) ABAGT 74 Flashdisk merk Kingston Data

traveler G2 Warna abu-abu 2GB.

d. BB 172 : 1 (satu) ABAGT 76 Flashdisk imation Warna Hitam

produk name : NANO 2 GB.

e. BB 173 : 1 (satu) ABAGT 75 Flashdisk merk Kingston Data

traveler Warna hijau putih 2 GB.

f. BB 174 : 1 (satu) keping CDR merk Sony 700MB, SN:

VC04B1324121348002 terdapat tulisan : PJB 2006-DITREN-PPJB

II.

Page 104: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

94

g. BB 181 : 10 (sepuluh) keping CDR warna kuning dengan nomor

1,2,3,4,5,7,8,9,10,11.

h. BB 182 : 1 (satu) buah CD warna putih dengan tulisan RUPTL.

i. BB 190 : Keputusan Presiden RI Nomor 60/M Tahun 2006 tentang

pengangkatan Sdr. Ir. J. Purwono sebagai Dirjen LPE.

j. BB 194 : 1 (satu) buah Handphone merk Blackberry seri ONYX

9700 dengen lmei: 351937040217745.

k. BB 195 : 1 (satu) buah Handphone merk Blackberry gemini 8250

dengan nomor lmei: 353906031439962.

l. BB 196 : 1 (satu) buah Handphone merk Nokia E 71 dengan nomor

lmei: 354208039166963.

Dikembalikan kepada Terdakwa I Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E

m. BB 208 : Uang sejumlah Rp 201.770.000,00 (dua ratus satu juta

tujuh ratus tujuh puluh ribu rupiah) terdiri dari:

1. Uang pecahan Rp 50.000 sebanyak 3.794 (tiga ribu tujuh ratus

sembilan puluh empat) lembar.

2. Uang pecahan Rp 100.000 sebanyak 120 (seratus dua puluh)

lembar.

3. Uang pecahan Rp 1000 sebanyak 68 (enam puluh delapan)

lembar.

4. Uang pecahan Rp 2000 sebanyak 1 lembar.

n. 1 (satu) surat pernyataan tanggung jawab belanja nomor 66/DLE-

EB/6/2010 tanggal 17 Juni 2010.

Page 105: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

95

(Barang Bukti 1 - 1599 terdapat dalam berkas perkara)

10. Membebankan biaya perkara kepada para Terdakwa masing-masing

sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

pada Hari : Kamis, tanggal 30 Januari 2013, oleh kami : SUJATMIKO, S.H.,

M.H. sebagai Ketua Majelis, AVIANTARA, S.H., M.H., ANNAS

MUSTAQIM, S.H., M.Hum., I MADE HENDRA KUSUMA, S.H., Sp.N.,

dan JOKO SUBAGYO, S.H., M.T., masing-masing sebagai Hakim Anggota,

putusan mana diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada Rabu :

Tanggal 6 Februari 2013 oleh Ketua Majelis tersebut dan Hakim-Hakim

Anggota, dibantu oleh SUAEB, S.H. sebagai Panitera Pengganti, dengan

dihadiri oleh : RISMA ANSYARI, SH., ASRUL ALIMINA, SH.MH.,

NURUL WIDIASIH, SH, MH., ALI FIKRI, SH, M.Kn., dan AFNI

CAROLINA, SH, MH., masing-masing sebagai Penuntut Umum pada

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Terdakwa I dan Terdakwa II

yang didampingi oleh Tim Penasihat Hukumnya masing-masing.

Page 106: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

96

B. Pembahasan

1. Urgensi Justice Collaborator dalam pengungkapan kasus tindak

pidana korupsi dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst

Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap

hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana

korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan

kejahatan extra ordinary crime (kejahatan yang berdaya rusak luar

biasa)52. Tindak pidana inipun merupakan serious crime dan scandal crime

sehingga memang memiliki tempat khusus dalam pemberantasannya.

Semakin hari tindak pidana ini terus berkembang, kejahatan ini biasa

dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan dan kedudukan penting

dalam institusi negara. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi biasa

dilakukan oleh orang-orang yang cerdas, cermat, orang-orang yang

mengerti seluk-beluk keuangan dan birokrasi dalam institusinya tersebut.

Untuk menutupi perilakunya, para pelaku cenderung akan membuat

sebuah skenario yang rapi dan sulit diidentifikasi oleh penyidik dan

kejaksaan sehingga mempersulit proses pemeriksaan di persidangan.

Kerugian negara akibat maraknya tindak pidana korupsi ini pun tidak

dapat dibilang kecil, disini tentu negara lah yang paling dirugikan sehingga

berimbas pada masyarakat yang mana segala pembangunan dan

52 Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana di Indonesia dalam Sirkus Hukum, Bogor: Ghlmia

Indonesia, Cet I, 2009, hlm. 320.

Page 107: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

97

infrastruktur dibiayai oleh negara. Masyakarat menjadi semakin menderita

dengan banyaknya tindak pidana korupsi ini.

Kejahatan yang terorganisir seperti tindak pidana korupsi harus lah

diberantas dengan tindakan-tindakan yang tepat. Apabila penegak hukum

kekurangan akal dan kurang cermat untuk memberantas semua ini, maka

tidak heran korupsi akan semakin berkembang dan merajalela, para

koruptor pun semakin mudah untuk menghilangkan uang negara tanpa

jejak. Oleh karenanya, akan sangat efektif dan efisien jika para penegak

hukum mengajak para pelaku kejahatan untuk bekerjasama menyelesaikan

kasus korupsi yang sedang ditangani dengan menjadi seorang justice

collaborator, yang artinya para aktor itu sendiri yang akan ‘bercerita’

tentang keseluruhan aksi korupsi yang dilakukan oleh komplotannya.

Dari sudut Hukum Acara Pidana, ada tingkat kesulitan pembuktian

karena prinsip bukti utama dalam tindak pidana adalah keterangan saksi,

karakter kejahatan terorganisir yang berlaku di kalangan pelaku kejahatan

adalah loyalitas yang dikenal dengan “kesaksian diam atau sumpah diam

(omerta), yaitu komitmen dan aturan yang tidak tertulis diantara anggota

mafia yang tidak mudah digoyahkan”. Pelanggaran atas omerta tersebut

adalah nyawa tebusannya bagi siapapun yang melanggarnya. Oleh karena

itu, peranan dari justice collaborator merupakan sarana pembuktian yang

ampuh dalam mengungkapkan dan membongkar kejahatan terorganisir,

baik yang termasuk scandal crime maupun serious crime dalam tindak

pidana. Justice collaborator dapat dijadikan alat bantu pembuktian di

Page 108: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

98

dalam pengungkapan kejahatan dimensi baru (new dimension crime),

seperti perbuatan korupsi yang mana merugikan perekonomian negara

serta modus-modus korupsi menggunakan high-technology, bantuan dana

dari hasil kejahatan corporate crime, customer fraund, illegal fishing,

illegal labour, dan cyber crime.

Yang kita ketahui kasus tindak pidana korupsi diungkap oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri dengan melakukan penyidikan,

masih terbilang jarang pengungkapan tindak pidana korupsi dilakukan oleh

pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri, dikarenakan perlindungan

hukumnya sendiri masih kurang belum jelas. Pelaku yang mempunyai niat

untuk mengakui dan mengungkap kejahatannya jarang sekali ada karena

dengan mengakui kejahatannya akan mempersulit dirinya sendiri dalam

proses peradilan. Padahal, pelaku yang mengungkap kejahatannya sendiri

seharusnya diberi penghargaan atas keberaniannya dalam membantu KPK

mengungkap suatu perkara korupsi. Sudah sepantasnya seorang justice

collaborator menerima penghargaan dari negara, sebagaimana ketentuan

dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan

Konvensi international lainnya dalam melawan kejahatan serius selama

ini.

1.1 Dasar Ide Justice Collaborator di Indonesia

Pada dasarnya, ide justice collaborator ini diperoleh dari Pasal 37

ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun

Page 109: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

99

2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang No 7 Tahun

2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption,

2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Antikorupsi). Pasal 37 ayat

(2) UNCAC menegaskan:

“Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini.”

Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan:

“Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.”

Di Indonesia, pengaturan terkait justice collaborator ini memang

beberapa sudah diatur walaupun masih bersifat umum dan masih dianggap

rancu, yaitu:

a.) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, secara lengkap rumusan Pasal 10 ayat (1) dan (2)

berbunyi:

(1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

Page 110: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

100

(2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan terhadapnya.

Dari rumusan tersebut, Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban telah memberikan dasar hukum pertama

mengenai pelaku yang bekerjasama dengan menggunakan istilah “saksi

yang juga tersangka”. Rumusan inilah satu-satunya rumusan yang berhasil

mencantumkan peran dari seorang pelaku yang bekerjasama dan

rekomendasi reward bagi kontribusinya. Namun dalam penerapannya

ketentuan tersebut masih problematik karena Pasal 10 ayat (2) tersebut

memiliki banyak kelemahan dan dipahami secara berbeda, baik oleh

masyarakat maupun oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Beberapa

kelemahan53 tersebut yakni : ruang lingkup “pelaku yang bekerjasama”

yang masih terbatas, peran pelaku yang bekerjasama harus dalam

pengadilan, persyaratan yang kurang jelas, pemberian reward yang

terbatas, tidak ada kepastian dalam pemberian reward, pemberian

perlindungan yang tidak pasti, tidak ada standar mengenai menghitung

kontribusi sebagai pelaku yang bekerjasama.

b. SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu

53 Supriyadi Widodo Ediyono, “Melihat Prospek Perlindungan ‘Pelaku yang

Bekerjasama’ di Indonesia”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Tahun 2012, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hlm. 23.

Page 111: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

101

Ketentuan perlindungan bagi pelaku yang bekerjasama selanjutnya

diatur di dalam Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan

bagi pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang

bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana

Tertentu. Mengingat belum ada pedoman teknis yang bisa dijadikan

pegangan oleh aparat penegak hukum, maka keberadaan SEMA ini patut

diapresiasi. SEMA ini sebagai produk hukum yang sifatnya transisi, sangat

berkontribusi untuk memperkuat ketetentuan pasal 10 ayat (2) Undang-

undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

SEMA ini memberikan persyaratan yang lebih jelas mengenai syarat dari

pelaku yang bekerjasama yakni:

a. Merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, yang bersifat

serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tidak pidana

narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang

maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir;

b. Harus mengakui kejahatan yang dilakukannya;

c. Bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut;

d. Memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;

e. Pengungkapan tersebut mencakup:

• mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif;

• mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran

lebih besar; dan/atau

• mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana

Page 112: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

102

f. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa

pelaku yang bekerjasama telah memberikan keterangan dan bukti-

bukti yang sangat signifikan

SEMA memberikan panduan yang lebih pasti mengenai keringanan

hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa. SEMA

menyarankan agar putusan hakim mempertimbangkan hal-hal sebagai

berikut:

1. menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau

2. menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan

diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara

yang dimaksud;

3. dalam memberikan perlakuan khusus dalam bentuk keringanan

pidana, hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan

masyarakat.

c. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai

pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak

hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu

tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak

pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat

penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan

Page 113: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

103

dalam hal tindak pidana serius dan/atau terorganisir yakni tindak pidana

korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, narkotika/psikotropika,

terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan/atau tindak

pidana lain yang dapat menimbulkan bahaya dan mengancam keselamatan

masyarakat luas.

Syarat untuk mendapatkan perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang

Bekerjasama dalam Peraturan ini adalah sebagai berikut:

a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius

dan/atau terorganisir;

b. memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk

mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir;

c. bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya;

d. kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari

tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam

pernyataan tertulis; dan

e. adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya

ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi

pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana

tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.

Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan perlindungan

fisik dan psikis; perlindungan hukum; penanganan secara khusus; dan

penghargaan. Perlindungan fisik, psikis dan/atau perlindungan hukum

Page 114: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

104

diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Penanganan secara khusus dapat berupa:

a. pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka,

terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap

dalam hal Saksi Pelaku yang Bekerjasama ditahan atau menjalani

pidana badan;

b. pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan terpisah dengan

tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara pidana yang

dilaporkan atau diungkap;

c. penundaan penuntutan atas dirinya;

d. penundaan proses hukum (penyidikan dan penuntutan) yang

mungkin timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang

diberikannya; dan/atau

e. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan

wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya;

f. apabila Saksi Pelaku yang Bekerjasama berupa adalah seorang

narapidana, keringan tuntutan hukuman, termasuk menuntut

hukuman percobaan;

g. pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, perlindungan dalam bentuk penghargaan bagi Saksi

Pelaku yang Bekerjasama berupa keringanan tuntutan hukuman, termasuk

Page 115: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

105

menuntut hukuman percobaan, dilakukan dengan ketentuan sebagai

berikut:

a. permohonan diajukan oleh pelaku sendiri kepada Jaksa Agung atau

Pimpinan KPK;

b. LPSK dapat mengajukan rekomendasi terhadap Saksi Pelaku yang

Bekerjasama untuk kemudian dipertimbangkan oleh Jaksa Agung

atau Pimpinan KPK;

c. permohonan memuat identitas Saksi Pelaku yang Bekerjasama,

alasan dan bentuk penghargaan yang diharapkan;

d. Jaksa Agung atau Pimpinan KPK memutuskan untuk memberikan

atau menolak memberikan penghargaan yang dilakukan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam hal Jaksa Agung atau Pimpinan KPK mengabulkan

permohonan penghargaan sebagaimana dimaksud, maka Penuntut Umum

wajib menyatakan dalam tuntutannya mengenai peran yang dilakukan oleh

Saksi Pelaku yang Bekerjasama agar dapat menjadi pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan putusan. Dalam hal penghargaan berupa pemberian

remisi dan/atau pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud, maka

permohonan diajukan oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Jaksa Agung,

Pimpinan KPK dan/atau LPSK kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia untuk kemudian diproses sesuai peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Page 116: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

106

Namun sungguh disayangkan, pengaturan mengenai justice

collaborator yang disebut diatas masih banyak kelemahan dan belum

menjelaskan secara detail bagaimana seseorang dapat menjadi seorang

justice collaborator dan bagaimana perlindungan hukumnya. Masih

banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab dari peraturan-peraturan

diatas, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dari berbagai

komponen lembaga hukum dan para ahli hukum.

1.2 Urgensi Justice Collaborator

Saat ini peranan dan perlindungan terhadap justice collaborator di

Indonesia belum sepenuhnya secara luas dan maksimal terlaksana. Negara

ini sangat jauh tertinggal dari negara-negara lain seperti Amerika Serikat,

Australia dan beberapa negara di Eropa yang sudah lama menerapkan

sistem peranan dan perlindungan justice collaborator. Peran

pengungkapan justice collaborator kepada tersangka yang tidak memiliki

iktikad baik membuka tabir kejahatan korupsi sama saja dengan membuka

ruang tawar-menawar tuntutan, negosiasi, serta peluang bagi politisi yang

telah masuk bidikan KPK untuk lari dari jerat penegak hukum. Sebagian

orang mengatakan bahwa keberadaan justice collaborator hanya

digunakan sebagai sarana negoisasi para narapidana agar dapat lolos dari

jeratan hukum dan opini yang tersebar mengatakan bahwa ini adalah

wujud ketidakmampuan KPK dalam menangani kasus korupsi. Namun

kiranya kita perlu melihat sisi kemanfaatan dari keberadaan justice

collaborator sebagai salah satu langkah yang luar biasa. Mungkin KPK

Page 117: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

107

akan mampu mengusut kasus korupsi tanpa bantuan justice collaborator

sekalipun sangat mungkin bahwa hal itu memakan waktu yang cukup

lama, sedangkan keuangan dan stabilitas negara tidak dapat ditempatkan

dalam kondisi yang tidak pasti karena dapat mengganggu laju

pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di negara itu sendiri. Selain

itu, besar kemungkinan bahwa aparat penegak hukum tidak akan

menemukan ujung dari permasalahan ini, sehingga kasus ini nantinya

terbengkalai dan menguap begitu saja tanpa penyelesaian. Adapun

beberapa urgensi dari justice collaborator adalah :

a. Membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat bukti

dan tersangka lain yang signifikan.

Justice collaborator dan whistle blower adalah langkah strategis

untuk mempercepat pengungkapan tindak pidana terorganisir seperti

tindak pidana korupsi ini dan memudahkan pelaku untuk menempuh

jalan taubat. Keberadaan justice collaborator sangat potensial

membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat bukti

dan tersangka lain yang signifikan sehingga penyidikan dan

pemeriksaan dapat berjalan efektif karena dia adalah orang yang

pernah terlibat dalam organisasi kejahatan dan telah melakukan suatu

tindak pidana.

Page 118: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

108

b. Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana

Indonesia untuk mengatasi kemacetan prosedural dalam

pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit pembuktiannya.

Menurut Firman Wijaya54, justice collaborator merupakan bentuk

peran serta masyarakat yang tumbuh dari suatu kesadaran membantu

aparat penegak hukum mengungkap tindak pidana yang tidak banyak

diketahui orang dan melaporkannya kepada aparat penegak hukum.

Justice collaborator memiliki peran dalam mengungkap suatu kasus.

Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana

Indonesia guna mengatasi kemacetan prosedural dalam

pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit pembuktiannya.

Para pelaku kejahatan terorganisir ini seringkali sulit dapat diproses

secara hukum karena terlalu sedikit bukti-bukti yang dapat diajukan,

belum lagi tidak adanya kesaksian yang mampu memberatkan posisi

pelaku utama kejahatan terorganisir.

Di dalam praktik peradilan aparat hukum seringkali menemukan

berbagai kendala yuridis dan non-yuridis untuk mengungkap tuntas

dan menemukan kejelasan suatu tindak pidana, terutama

menghadirkan saksi-saksi kunci dalam proses hukum sejak penyidikan

sampai proses pengadilan. 55 Orang enggan menjadi justice

54 Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 16.

55 Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 19.

Page 119: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

109

collaborator karena masalah ketakutan: menjadi justice collaborator

beresiko amat berbahaya. Oleh karena itu dapat dipahami jika orang

memilih diam dan tidak mau mengungkap atau melaporkan suatu

tindak pidana.56

c. Justice collaborator bertujuan untuk memudahkan pembuktian dan

penuntutan serta dapat mengungkap tuntas suatu tindak pidana

terutama yang berkaitan dengan organisasi kejahatan.

Skandal kejahatan dalam kasus tindak pidana korupsi kita ketahui

tidak mudah pembuktiannya. Maksudnya ialah tidak mudah penyidik

atau jaksa menemukan bukti kesaksian atau bukti tertulis karena para

pelaku melakukan kejahatannya dengan rapi dan terorganisir. Dalam

konteks ini, kasus korupsi di Indonesia yang tidak pernah dilakukan

sendirian melainkan bersifat kolektif, keberadaan justice collaborator

merupakan celah hukum yang diharapkan memperkuat pengumpulan

alat bukti dan barang bukti di persidangan. Tidak ada jalan lain untuk

keluar dari cara-cara konvensional pengungkapan kasus semacam ini

kecuali menggunakan instrumen baru sebagai alat bantu dalam proses

hukum pidana.57 Bisa dibayangkan jika tak ada justice collaborator,

para terdakwa atau saksi akan menjawab tidak tahu atau lupa

mengingat hingga saat ini para pelaku tindak pidana korupsi yang

56 Ibid

57 Firman Wijaya, Op. Cit, hlm. 62.

Page 120: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

110

sudah masuk dalam tahap pembuktian di pengadilan, sebagian besar

tidak mengakui perbuatannya, memberikan keterangan yang bertele-

tele dan tidak masuk akal, seperti kasus lain yang belakangan muncul

di Indonesia.

Walaupun justice collaborator memiliki peranan yang penting dalam

pengungkapan tindak pidana korupsi, masih ada permasalahan dalam

tingkat peraturan perundang-undangan di Indonesia karena terkait justice

collaborator dari segi kriteria justice collaborator maupun perlindungan

hukumnya belum ada pengaturannya secara khusus dalam undang-undang.

Program perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator yang

tertuang dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban belum memadai sebagai landasan/ pijakan

hukum bagi aparat hukum untuk memberikan perlindungan hukum.58 Hal

ini merupakan sesuatu yang penting, bagaimanapun kita berbicara tentang

pentingnya justice collaborator namun belum diatur dalam undang-

undang, semuanya akan kurang berarti karena implementasi dalam

peradilan akan cukup sulit karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Maka dari itulah diperlukan political will yang kuat dari semua pihak yang

berkepentingan untuk mengimplementasikan justice collaborator

khususnya dalam tindak pidana korupsi.

1.3 Kosasih Abbas Sebagai Justice Collaborator

58 Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 35.

Page 121: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

111

Dalam kasus korupsi pengadaan dan pemasangan Solar Home

System dalam Ditjen LPE Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

yang dilakukan oleh Terdakwa I Ir. Jacob Purwono dan Terdakwa II Ir.

Kosasih Abbas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan

Terdakwa II yaitu Ir. Kosasih Abbas sebagai justice collaborator karena

Terdakwa II bersikap kooperatif dalam membantu jalannya penyidikan.

Dalam hal ini, Kosasih Abbas ditetapkan oleh KPK sebagai justice

collaborator karena sudah memenuhi prasyarat menjadi justice

collaborator yang tertera dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang

Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku

yang Bekerjasama (justice collaborator).

Kosasih Abbas berperan penting dalam terungkapnya Kasus Korupsi

Pengadaan dan Pemasangan Solar Home System di Ditjen LPE

Departemen ESDM. Terdakwa II ini membantu Jaksa Penuntut Umum

(dalam hal ini ialah dari KPK) dalam mengungkap kasus tersebut. Seperti

diketahui, Kosasih memang secara terus terang menyesali perbuatannya

dan mengaku bersalah karena telah menerima sejumlah uang,

mengembalikan uang hasil kejahatannya, tidak melarikan diri dan

mengikuti semua proses hukum sangat memudahkan aparat penegak

hukum dan hakim untuk menjangkau semua pelaku tindak pidana tersebut

dan memperkecil kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Bahkan,

Kosasih mengatakan telah mempertaruhkan nyawanya karena

mengungkapkan sederet nama-nama besar yang diduga terlibat dalam

Page 122: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

112

permainan proyek SHS ini, ia mengungkapkan beberapa informasi penting

seputar perkara korupsi pengadaan SHS tahun 2007-2008 tersebut.

Kosasih memaparkan bahwa dia mendapatkan dua arahan dari Dirjen LPE,

Jacob Purwono yang juga terdakwa dalam kasus yang sama. Arahan

pertama, karena adanya persoalan internal yang berbarengan dengan

pembahasan RUU Ketenagalistrikan. Persoalan internal yang dimaksud

bahwa Ditjen LPE tidak memiliki dana untuk menganggarkan ke anggota

dewan agar meloloskan RUU tersebut. Maka itu, diperintahkan agar

menerima apabila ada rekanan proyek yang memberikan uang. Kemudian,

dia diminta memenangkan perusahaan tertentu dalam proyek SHS. Dari

perusahaan-perusahaan yang diminta dimenangkan, ada yang dimiliki

anggota dewan ada pula yang dimiliki perusahaan lain. Setelah menerima

dua arahan, Kosasih diberikan selembar kertas disposisi berwarna kuning

oleh Jacob yang berisikan nama-nama anggota dewan dan perusahaan

yang direkomendasikan terkait dua arahan tersebut.59

Dari fakta hukum yang ada, pengungkapan yang dilakukan Kosasih

Abbas memang tepat dikatakan sebagai justice collaborator karena ia

sosok yang mengungkapkan pertama kali bahwa ada tindak pidana

terorganisir, dengan maksud dan tujuan tertentu yang karena jabatannya

mampu mengubah sesuatu atau dapat merugikan kekayaan Negara atau

perekonomian Negara. Dia turut terlibat dalam tindak pidana korupsi ini

59 http://www.suarapembaruan.com/home/ditetapkan-sebagai-justice-collaborator-

kosasih-dituntut-lebih-ringan/29552 diakses pada tanggal 23 Maret 2013

Page 123: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

113

yang memenuhi unsur-unsur pedoman bagi seorang justice collaborator,

Kosasih Abbas tidak dapat dikatakan sebagai seorang whistle blower

karena ia juga turut terlibat dalam tindak pidana korupsi yang ia ungkap.

Apa yang dilakukan oleh Kosasih memang membantu jalannya

penyidikan dan membantu KPK dalam mengusut tuntas Kasus Korupsi

pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun

2007-2008. Kosasih sudah sepantasnya diberikan penghargaan atas apa

yang telah dilakukannya yaitu berani mengungkap kebenaran Kasus

Korupsi pengadaan dan pemasangan SHS tersebut.

2. Pertimbangan hakim dalam memutus seorang terdakwa yang

sekaligus merupakan justice collaborator dalam Putusan No.

59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst

2.1 Perlindungan Justice Collaborator di Indonesia

Whistle blower dan justice collaborator merupakan seseorang yang

mengungkap suatu kebenaran/ melaporkan suatu tindak pidana yang

bersifat terorganisir dan serius seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana

narkotika, tindak pidana pencucian uang, terorisme, perdagangan orang,

dan lain-lain. Dengan adanya whistle blower dan justice collaborator,

pengungkapan kasus tindak pidana korupsi akan semakin mudah. Selain

diperlukan untuk proses pemberantasan tindak pidana korupsi, juga

sebenarnya bisa digunakan sebagai salah satu upaya untuk pencegahan

tindak pidana korupsi.

Page 124: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

114

Namun, hingga saat ini negara belum memberikan penghargaan dan

perlindungan maksimal kepada para justice collaborator di Indonesia.

Program perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator yang

tertuang dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban belum memadai sebagai landasan/ pijakan

hukum bagi aparat hukum untuk memberikan perlindungan hukum.60

Bahkan, banyak justice collaborator juga menerima hukuman yang sama

dengan para tersangka/terdakwa lainnya. Artinya, perannya untuk

mengungkap kejahatan secara lebih luas, lebih dalam, lebih cepat sama

sekali tidak diperhitungkan sama sekali oleh para penegak hukum terutama

peraturan yang mengaturnya. Saksi dan/ atau korban dengan kriteria

tertentu, yaitu mempunyai keterangan yang sangat penting dalam

pengungkapan peristiwa suatu tindak pidana serta mengalami ancaman

yang sangat membahayakan jiwa saksi dan/atau korban tersebut, perlu

dipenuhi hak dan jaminan perlindungan hukumnya.61

Seharusnya tidak semua justice collaborator harus dihukum

sekalipun sanksi hukumnya tetap diterapkan. Jika itu adalah kasus

kejahatan kemanusian seperti terorisme, pembunuhan, perdagangan

manusia, bila dia bisa menjadi justice collaborator, dan perannya tidak

60 Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 35.

61 Lies Sulistiani, et. Al, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, hlm. 1-2.

Page 125: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

115

secara signifikan berhubungan langsung dengan subyek korban, maka

mereka perlu diperlakukan secara berbeda, sekalipun tetap dihukum.

Khususnya, pada kasus korupsi, dimana pidana kurungan bagi

terpidana kasus korupsi yang juga adalah seorang justice collaborator

sangatlah tidak tepat. Sebaiknya untuk konteks Indonesia, tersangka kasus

korupsi yang juga adalah seorang justice collaborator harus diperlakukan

secara istimewa dan hukumannya berbeda. Hukuman kurungan bagi

seorang justice collaborator menyebabkan banyak orang yang tutup mulut

dan tidak mau memberikan kesaksian yang sebenarnya karena ia

mengetahui ia tetap akan dihukum dengan pidana kurungan nantinya

apabila ia bersaksi. Pada dasarnya, para saksi, korban dan pelapor tidak

berani memberikan keterangan apa yang dia lihat dan alami karena

ancaman tekanan dan intimidasi bahkan terancam keselamatan jiwanya,

sementara itu tindak pidana serius tersebut menimbulkan masalah dan

ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi, perdagangan ancaman dan

ketertiban masyarakat, sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai nilai

demokrasi, dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan

dan supremasi hukum.62

Suatu pengungkapan atau kesaksian kebenaran dalam suatu

scandal crime ataupun serious crime oleh justice collaborator jelas

62Djoko Sarwoko, 2011, “Reward bagi “Whistle Blower“ (Pelapor Tindak Pidana) Dan

“Justice Collaborator” (Saksi Pelaku yang Bekerja Sama) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu”, Makalah Tuada Pidsus dalam Rakernas Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia, hlm. 12.

Page 126: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

116

merupakan ancaman nyata bagi pelaku kejahatan63. Pelaku kejahatan

akan menggunakan berbagai cara untuk membungkam dan melakukan

aksi pembalasan sehingga kebijakan perlindungan seharusnya bersifat

prevensial (mencegah sebelum terjadi). Kehadiran justice collaborator

memang sulit dibantah dapat menjadi alat bantu, sekalipun seorang

justice collaborator berani mengambil resiko yang sangat berbahaya bagi

keselamatan fisik maupun psikis dirinya, dan keluarganya, resiko

terhadap pekerjaan dan masa depannya.64

Maka perlu dirancang landasan hukum maupun bentuk-bentuk

perlindungan hukum yang kuat dan skema perlindungan yang jelas dan

terukur bagi justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana

tertentu khususnya tindak pidana korupsi terutama di lingkungan aparat

publik yang terkait dengan mal administrasi, penyalahgunaan kekuasaan,

korupsi, dan yang membahas kepentingan umum. Dalam realitasnya

justice collaborator seringkali kurang mendapatkan perlindungan hukum

dalam proses hukumnya.

Berdasarkan penjabaran diatas sangatlah patut adanya perlindungan

hukum bagi justice collaborator dalam mengungkap fakta tindak pidana

korupsi di Indonesia. Terhadap orang-orang yang kritis dan berani

mencegah dan mengungkap korupsi yang telah ia lakukan bersama rekan-

rekannya, kebalikannya seringkali diberikan sanksi dengan merekayasa

seolah-olah yang bersangkutan melakukan perbuatan indisipliner atau

63 Firman Wijaya, Op.Cit, hlm. 4264 Ibid.

Page 127: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

117

perbuatan melawan hukum. Justice collaborator perlu diberikan

perlindungan hukum, sehingga ia tidak selalu menjadi korban dengan

harapan justice collaborator yang lain mampu bekerjasama dan

mempermudah aparat hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana

korupsi guna menemukan alat bukti serta menangkap tersangka yang lain.

2.2 Penjatuhan Putusan Kosasih Abbas oleh Majelis Hakim

Dalam kasus korupsi pengadaan dan pemasangan Solar Home

System dalam Ditjen LPE Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

yang dilakukan oleh Terdakwa I Ir. Jacob Purwono dan Terdakwa II Ir.

Kosasih Abbas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan

Terdakwa II yaitu Ir. Kosasih Abbas sebagai justice collaborator melalui

Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 756/01-

55/12/2012 tertanggal 20 Desember 2012 karena Terdakwa II bersikap

kooperatif dalam membantu jalannya penyidikan. Majelis Hakim

menjatuhkan putusan kepada Terdakwa II ini yaitu:

1. Menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun,

2. Denda Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta) dengan

ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti

dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Sedangkan tuntutan Penuntut Umum ialah:

1. Menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun,

Page 128: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

118

2. Denda sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta

rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.

Putusan yang diberikan kepada Jacob Purwono (Terdakwa I)

berkurang dari tuntutan Penuntut Umum yang semula dituntut berupa:

1. Pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun,

2. Pidana denda sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

subsidair 6 bulan kurungan.

Kemudian diputus oleh Majelis Hakim berupa:

1. Pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun,

2. Pidana denda sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)

dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka

diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

Tuntutan Penuntut Umum Putusan Hakim

Jacob

Purwono

1. Pidana Penjara 12 tahun 1. Pidana Penjara 9

tahun

2. Denda Rp

500.000.000,00 subsidair 6

bulan kurungan

2. Denda Rp

300.000.000,00 dengan

ketentuan apabila tidak

dibayar diganti dengan 6

bulan kurungan

Kosasih Abbas 1. Pidana penjara 4 tahun 1. Pidana penjara 4 tahun

2. Denda Rp

250.000.000,00 subsidair 3

2. Denda Rp

150.000.000,00 dengan

Page 129: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

119

bulan kurungan ketentuan apabila tidak

dibayar diganti dengan 3

bulan kurungan

Hal ini dirasa tidak adil, terlebih apabila melihat pada pertimbangan

hakim dalam Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan pada diri

Terdakwa, yaitu:

Hal-hal yang memberatkan :

- Terdakwa I :

- Perbuatan Terdakwa I kontraproduktif bagi upaya pemberantasan

korupsi di tanah air ;

- Terdakwa I tidak memberi teladan bagi jajarannya dalam

kedinasan ;

- Terdakwa I tidak merasa bersalah atas perbuatannya ;

- Terdakwa II :

- Perbuatan Terdakwa II kontraproduktif bagi upaya pemberantasan

korupsi di tanah air ;

- Terdakwa II tidak berani menolak arahan yang tidak benar dari

atasannya, sehingga terjadi tindak pidana tersebut ;

Hal-hal yang meringankan :

- Terdakwa I :

- Terdakwa I berlaku sopan di depan persidangan ;

- Terdakwa I masih mempunyai tanggungan keluarga ;

Page 130: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

120

- Terdakwa I telah mengabdikan diri dan memperoleh penghargaan

Satya Lencana dari Negara ;

- Terdakwa II :

- Terdakwa II mengakui perbuatannya dan berterus terang di depan

persidangan sehingga berperilaku kooperatif ;

- Terdakwa II telah mengabdikan diri pada Negara sebagai Pegawai

Negeri Sipil yang cukup lama ;

- Terdakwa II berlaku sopan di persidangan ;

- Terdakwa II masih mempunya tanggungan keluarga.

Dapat dilihat bahwa putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim kepada

Terdakwa II (Kosasih Abbas) tidak jauh berbeda dengan tuntutan Penuntut

Umum, padahal disini Terdakwa II berperan sebagai justice collaborator.

Majelis Hakim hanya menuliskan bahwa terdakwa II berperilaku

kooperatif, padahal posisi justice collaborator mempunyai makna lebih

dari sekedar berperilaku kooperatif, melainkan sebagai seseorang yang

paling berperan dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi. Jaksa

Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi telah memberi

apresiasi kepada terdakwa Kosasih Abbas dengan memberi tuntutan lebih

ringan karena dianggap telah bekerjasa sama dalam mengungkapkan kasus

sejak penyidikan. Hendaknya, apresiasi ini berlanjut hingga menjadai

pertimbangan Majelis Hakim dalam menetapkan keputusan hukuman

ringan bagi mereka yang telah bersedia menjadi justice collaborator.

Page 131: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

121

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, justice collaborator pantas

diberikan penghargaan sebagai seseorang yang telah berani mengungkap

kebenaran dalam suatu kasus tindak pidana tertentu (dalam hal ini tindak

pidana korupsi). Namun, dalam kasus Kosasih Abbas, Majelis Hakim tidak

terlihat memberikan penghargaan kepada Kosasih Abbas sebagai justice

collaborator yang mana telah bersedia mengungkap perkara yang

dinyatakan merugikan keuangan negara sebesar 80 miliar rupiah. Majelis

Hakim sama sekali tak menyinggung dalam pertimbangan putusan akan

status terdakwa II sebagai justice collaborator. Hal ini dapat memberikan

dampak negatif bagi perkembangan justice collaborator di Indonesia.

Tindakan majelis hakim ini dapat menurunkan keberanian orang untuk

menjadi justice collaborator, para pelaku tindak pidana korupsi yang ingin

mengungkap kejahatannya sendiri sebagai justice collaborator akan

mengendurkan semangatnya karena tidak ada perbedaannya seseorang

menjadi justice collaborator maupun tidak.

2.3 Majelis Hakim dalam Memperhatikan SEMA No. 4 Tahun

2011

Sebagai seorang justice collaborator, Kosasih Abbas dilindungi oleh

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban (UU PSK). Hakim pun terikat untuk memberikan putusan yang

berpihak pada justice collaborator. Apalagi karena Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor

Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama

Page 132: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

122

(Justice Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (SEMA

4/2011), memandatkan hal tersebut.

Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara jelas menyebutkan:

(1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

(2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Ketentuan Pasal 10 tersebut secara essensial mengadopsi kedudukan

whistle blower dan justice collaborator dan bentuk jaminan hukum bagi

saksi yang mungkin sekaligus tersangka/ terdakwa dapat diberikan reward

berupa pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan

kepadanya apabila kelak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.

Politik hukum pidana yang hendak dibangun adalah adanya kepastian

hukum pemberian reward dan punishment bagi kesaksian yang sangat

bernilai atau penting bagi pengungkapan kasus-kasus berbau skandal dan

kasus-kasus serius, sementara kesaksian dimiliki oleh seseorang yang

berkedudukan sebagai tersangka/ terdakwa.65 Artinya, Kosasih berhak

memperoleh putusan yang meringankan dirinya sebagai seorang justice

collaborator, karena telah membantu mengungkapkan pelaku utama

perkara korupsi.

65 Firman Wijaya, Op.Cit, hlm. 29.

Page 133: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

123

Surat Edaran Mahkaman Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku

yang Bekerjasama (justice collaborator) seharusnya dijadikan dasar bagi

hakim dalam menjatuhkan putusan, terlebih apabila terdakwa memiliki

status sebagai whistle blower atau justice collaborator. Hakim harus

memiliki pemahaman atas SEMA ini, dan memberikan apresiasi bagi

terdakwa yang juga sekaligus sebagai justice collaborator. Dalam angka 7

SEMA ini, disebutkan :

“Dengan merujuk pada nilai-nilai di dalam ketentuan tersebut diatas, dengan ini Mahkamah Agung meminta kepada Para Hakim agar jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya”.

Begitu pula dalam angka 9 huruf (c) SEMA ini, disebutkan :

“Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud diatas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut:

i. menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atauii. menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling

ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.

Dalam pemberian perlakuan khusus dalam membentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.”

Penuntut Umum menuntut Terdakwa II karena terbukti melanggar

Pasal 2 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun,

Page 134: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

124

yang merupakan pidana minimum khusus pada pasal tersebut.

Menariknya, hakim menggunakan pasal 3 Undang- Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (pidana

minimum khususnya adalah 1 (satu) tahun penjara), namun menjatuhkan

pidana penjara 4 tahun. Dapat kita lihat Pasal 3 tersebut berisikan :

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Kosasih memang divonis lebih ringan dari terdakwa lainnya yaitu

Jacob Purwono yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi, tapi

tidak cukup melindungi dirinya dari vonis hakim. Hakim memang

memiliki kewenangan dalam menjatuhkan putusan seorang terdakwa

bersalah atau tidak, namun memang seharusnya Hakim harus memberikan

apresiasi kepada justice collaborator, Hakim seharusnya berani

menjatuhkan vonis paling ringan. Dalam tuntutannya, Penuntut Umum

menuntut Kosasih dengan pidana penjara selama 4 tahun karena terbukti

melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Menariknya, Majelis Hakim memutus Kosasih melanggar Pasal 3

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20

Page 135: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

125

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana

Pasal 3 ini memberikan pidana penjara paling sedikit selama 1 tahun,

namun Majelis tetap memutus pidana penjara selama 4 tahun. Setidaknya,

Majelis Hakim bisa lebih cermat dalam memberikan putusannya

berdasarkan Asas Keadilan, Asas kepastian, dan Asas Kemanfaatan.

Majelis hakim disini terlalu formalis dan positivistik, terlalu

mengutamakan asas kepastian. Seharusnya yang dilihat adalah asas

manfaatnya, bahwa peran Kosasih telah mampu mengungkap kasus ini

dengan terang dan jelas.

Vonis terhadap Kosasih Abbas menunjukkan bahwa Hakim belum

serius mempertimbangkan peran para justice collaborator dan

whistleblower. Ketiadaan kepastian tentang perlindungan bagi mereka

justru memutus partisipasi publik dalam mengungkap perkara korupsi,

karena dapat terjadi para saksi maupun saksi pelaku yang ingin bekerja

sama enggan mengungkap perkara korupsi karena tidak disertai dengan

perlindungan hukum atau reward yang pantas bagi mereka. Pada

prinsipnya, tidak mudah seorang tersangka atau terdakwa untuk memiliki

keinginan menjadi justice collaborator karena akan banyak risiko yang

dihadapi.

Nantinya, seorang justice collaborator perlu dihukum dengan

mengembalikan semua uang hasil korupsi kepada negara dan membayar

sejumlah denda yang pantas sesuai undang-undang serta dibebaskan dari

hukuman kurungan. Bila hal ini bisa dilakukan, sangat mungkin akan

Page 136: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

126

banyak kasus korupsi yang terbongkar dengan cepat, mudah, murah.

Dampak lainnya adalah tingkat korupsi di Indonesia akan semakin kecil.

Page 137: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

127

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan diatas maka

dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Urgensi Justice Collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana

korupsi dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst yaitu :

a. Membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat

bukti dan tersangka lain yang signifikan sehingga penyidikan dan

pemeriksaan dapat berjalan efektif.

b. Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan

pidana Indonesia untuk mengatasi kemacetan prosedural dalam

pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit

pembuktiannya.

c. Memudahkan pembuktian dan penuntutan serta dapat mengungkap

tuntas suatu tindak pidana terutama yang berkaitan dengan

organisasi kejahatan.

2. Majelis Hakim memberikan vonis putusan yang terlalu tinggi untuk

terdakwa II, dan juga tidak mempertimbangkan Kosasih sebagai justice

collaborator dalam hal-hal yang meringankan bagi terdakwa II dalam

Page 138: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

128

Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst. Majelis Hakim hanya

menuliskan bahwa terdakwa II bersikap kooperatif, padahal posisi

justice collaborator mempunyai makna lebih dari sekedar bersikap

kooperatif, melainkan sebagai seseorang yang berperan dalam

mengungkap kasus tindak pidana korupsi.

B. Saran

1. Sebaiknya aparat penegak hukum memberikan kepastian hukum

(penghargaan negara) terhadap justice collaborator yang berani

mengungkap jaringan kejahatan terorganisir. Dari segi kuantitas

penerapannya masih minim dan masih ditingkat pusat.

2. Para hakim di Indonesia harus memperhatikan dan

mengimplementasikan SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi

Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku yang

Bekerjasama (justice collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana

Tertentu, walaupun Hakim memiliki kewenangan memutus, namun harus

diperhatikan pula asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

Page 139: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

129

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur :

Adami Chazawi. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni.

Djaja, Ermansjah. 2009. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika.

Munir Fuady. 2006. Teori Hukum Pembuktian, Pidana dan Perdata. Bandung: Citra Aditya

Hamzah, Andi. 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

____________. 2000. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

____________. 2001. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi.Jakarta: Ghalia Indonesia.

____________. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika

____________. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika

________________. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.

Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.

Page 140: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

130

Ilias, Chatzis. et, Al. Praktik Terbaik Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta. 2010

Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Nugroho, Hibnu. 2012. Intergralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta: Media Prima Aksara.

Pangaribuan, Luhut MP. 2005. Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat. Jakarta: Djambatan.

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Rineka Cipta.

Prinst, Darwin. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Praktik, cet 3. Jakarta: Djambatan.

Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Salami, Mochamad Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana dan Praktik. Bandung:Mandar Maju.

Sarwoko, Djoko. 2011. “Reward bagi “Whistle Blower“ (Pelapor Tindak Pidana) Dan “Justice Collaborator” (Saksi Pelaku yang Bekerja Sama) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu”. Makalah Tuada Pidsus dalam Rakernas Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia, Jakarta 2011.

Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana di Indonesia dalam Sirkus HukumCet.I. Bogor: Ghlmia Indonesia.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Suhandi Cahaya dan Surachmin. 2011. Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui untuk Mencegah. Jakarta: Sinar Grafika.

Sulistiani, Lies. et. Al, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Page 141: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

131

Waluyadi. 1999. Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus). Bandung: Mandar Maju.

Wijaya, Firman. 2008. Peradilan Korupsi Teori dan Praktik. Jakarta: Maharani Press.

____________. 2012. Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum. Jakarta: Penaku

B. Jurnal

Nixson, Syafruddin Kalo, Tan Kamello, dan Mahmud Mulyadi. “Perlindungan Hukum Terhadap Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Universitas Sumatera Utara Law Journal, Vol. II-No.2 (Nov 2013), Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara..

Ridwan, “Pembaharuan Hukum Pidana dalam Kerangka Hukum yang Berkeadilan Berdasarkan Kultur Hukum Indonesia”, Jurnal Ilmiah Media Hukum, Vol.. 18 No. I, Juni 2011, Yogyakarta: Fakultas Hukum UMY.

Abdul Haris Semendawai, “Revisi Undang-Undang No.13 tahun 2006, Momentum Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Tahun 2011, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Supriyadi Widodo Ediyono, “Melihat Prospek Perlindungan “Pelaku yang Bekerjasama” di Indonesia”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Tahun 2012, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

C. Peraturan Perundang-Undangan :

Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

________, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

________, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 142: URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/GINIA TIA SAGITA... · collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk

132

D. Internet

Indonesia Corruption Watch. 2013. Catatan Pemantauan Perkara Korupsi yang Divonis oleh Pengadilan Selama Tahun 2013. Diakses melalui www.antikorupsi.org pada tanggal 11 Maret 2014.

Putri, Narila. 2012. Agus Condro: Pengungkapan Korupsi Melalui Justice Collaborator. Diakses melalui http://hukum.kompasiana.com/2012/06/11/agus-condro-pengungkapan-korupsi-melalui-justice-collaborator-463901.html pada tanggal 10 Juni 2014.

http://www.suarapembaruan.com/home/ditetapkan-sebagai-justice-collaborator-

kosasih-dituntut-lebih-ringan/29552 diakses pada tanggal 23 Maret 2013

E. Sumber Lainnya :

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Preamble The States Parties to this Convention of United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, 2003).

Fausto Zucarelli, Handling and Protection Witnesses and Collaborations of Justice, the Italian Experience, disampaikan pada International Seminar on the Protection of Whistle Blower as Justice Collaborator, di Jakarta, 09 Juli 2011