urgensi justice collaborator dalam …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/ginia tia...
TRANSCRIPT
i
URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN
KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)
S K R I P S I
Oleh :
GINIA TIA SAGITA
E1A010222
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
i
SKRIPSI
URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN
KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)
SKRIPSI
Disusun oleh:
GINIA TIA SAGITA
E1A010222
Untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
iii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama : Ginia Tia Sagita
NIM : E1A010222
Judul Skripsi : URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM
PENGUNGKAPAN KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI (Tinjauan Yuridis Putusan No:
59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya
sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang
lain.
Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,
maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 12 November 2014
Ginia Tia Sagita
NIM. E1A010222
iv
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
setelah melalui proses yang panjang, suka duka dan jatuh bangun, akhirnya skripsi
dengan judul: “URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM
PENGUNGKAPAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan
Yuridis Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)” telah terselesaikan.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segenap rasa hormat
dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Angkasa, S. H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman dan juga Dosen Pembimbing Akademik atas motivasi
dan nasihat-nasihat dalam berproses dari awal di Fakultas Hukum;
2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas
segala ilmu dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis, sehingga
penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berpikir lebih baik;
3. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala ilmu,
nasihat, dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama ini
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;
4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H, M.H., selaku dosen penguji atas segala saran
dan masukan yang diberikan kepada penulis;
v
5. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
6. Keluarga besar ALSA LC UNSOED atas kebersamaan, persaudaraan, dan
pengalaman berharga;
7. Ibu Lina Rahmawati dan Papa Sutiono, yang selalu memberi semangat pada
anaknya hingga detik ini, adik-adik dan seluruh keluarga yang selalu
mendoakan hingga skripsi ini selesai;
8. Teman-teman perjuangan 2010 yang setia menemani dari awal di Fakultas
Hukum hingga hari kelulusan saya: Debby, DPutri, Prilly, Niramaya, Sabilla,
Tasyha, Arie, Ageng, dan Robby.
Akhir kata, skripsi ini hanyalah hasil karya manusia yang memiliki banyak
kekurangan, adanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun pihak lain yang membutuhkan.
Amin.
Purwokerto, 12 November 2014
Penulis,
GINIA TIA SAGITA
vi
“URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor:
59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)”
Oleh :
Ginia Tia Sagita
E1A010222
ABSTRAK
Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara. Untuk dapat mengungkap pelaku tindak pidana korupsi yang mempunyai kedudukan ekonomi dan politik yang kuat tersebut tentunya membutuhkan keberanian dan saksi yang secara langsung mengetahui perbuatan tindak pidana korupsi tersebut, yang disebut justice collaborator. Peranan saksi sebagai justice collaborator sangat penting dan dibutuhkan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, yang mana jumlah kasusnya masih tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui urgensi justice collaboratordalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, dan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus seorang terdakwa yang sekaligus merupakan justice collaborator. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif yaitu dengan cara menelaah bahan pustaka (data sekunder) yang ada. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif kualitatif yaitu mengolah dan menafsirkan berdasarkan pada putusan maupun perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian.
Penelitian yang dilakukan dari Putusan Nomor: 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst diperoleh hasil sebagai berikut: Urgensi justice collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst yaitu, a.) Membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat bukti dan tersangka lain yang signifikan; b.) Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk mengatasi kemacetan prosedural dalam pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit pembuktiannya; c.) Memudahkan pembuktian dan penuntutan. Majelis Hakim memberikan vonis putusan yang terlalu tinggi untuk terdakwa II, dan juga tidak mempertimbangkan Kosasih sebagai justice collaborator dalam hal-hal yang meringankan bagi terdakwa II dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst.
Kata kunci : peranan, tindak pidana korupsi, justice collaborator
vii
ABSTRACT
Corruption has been widespread in the society, both from the number of cases and the amount of loss to the state. To be able to uncover the perpetrators of corruption that have strong both of economy and political position, of course requires courage from witness that directly knows the act of corruption, which is called the justice collaborator. The role of the witness as a justice collaborator is very important and necessary in the process of combating corruption in Indonesia, where the number of cases is still high.
This study aims to find the urgency of justice collaborator in the disclosure of corruption cases in Indonesia, and to find the consideration of the judge in deciding a defendant who was also a justice collaborator. This study used a normative juridical approach to examine available library materials (secondary data). The method used in this study is qualitative normative that the process and the interpretation is based on a decision or regulation relating to research.
Research conducted on the verdict No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst obtained the following results: Urgency justice collaborator in the disclosure of corruption cases in verdict No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst are, a.) To assist law enforcement in finding evidence and other suspects were significant; b.) The position of justice collaborator is highly relevant for the Indonesian criminal justice system to address the procedural bottlenecks in the disclosure of an organized crime and difficult of proof; c.) Make it easier to verification of evidence and prosecution. The judges give a verdict is too high for the second defendant, and also did not consider Kosasih as a justice collaborator in terms of mitigating circumstances for the second defendant in verdict No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst.
Keywords: role, corruption, justice collaborator
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
PRAKATA .......................................................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Perumusan Masalah......................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 7
D. Kegunaan Penelitian........................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana................................... 9
B. Pembuktian ................................................................................... 14
1. Pengertian Pembuktian ............................................................. 14
2. Sistem Pembuktian dalam KUHAP........................................... 16
3. Macam – Macam Alat Bukti ..................................................... 22
C. Justice Collaborator...................................................................... 30
1. Pengertian Justice Collaborator ................................................ 30
2. Justice Collaborator sebagai Alat Bukti.................................... 35
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................
ix
A. Metode Pendekatan ....................................................................... 39
B. Spesifikasi Penelitian .................................................................... 40
C. Lokasi Penelitian ........................................................................... 40
D. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 40
E. Metode Pengumpulan Data............................................................ 41
F. Metode Penyajian Data.................................................................. 41
G. Metode Analisis Data .................................................................... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................
A. Hasil Penelitian ............................................................................. 42
1. Identitas Terdakwa.................................................................... 42
2. Duduk Perkara .......................................................................... 43
3. Dakwaan Penuntut Umum ........................................................ 58
4. Tuntutan Penuntut Umum ......................................................... 59
5. Putusan Hakim.......................................................................... 64
B. Pembahasan .................................................................................. 96
BAB V PENUTUP ............................................................................................
A. Simpulan ..................................................................................... 127
B. Saran ........................................................................................... 128
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semakin hari pembicaraan mengenai korupsi tidak pernah berhenti, angka
pertumbuhan korupsi di Indonesia semakin meningkat. Tindak pidana korupsi
sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan
jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang
dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Akibat dari korupsi ini mempengaruhi setiap sudut
kehidupan. Menurut pendapat Evi Hartanti, dampak negatif dari korupsi dapat
mengakibatkan berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah, berkurangnya
kewibawaan pemerintah dalam masyarakat, menyusutnya pendapatan Negara,
rapuhnya keamanan dan ketahanan Negara, perusakan mental pribadi dan
hukum tidak lagi dihormati.1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian korupsi sebagaimana
dikutip oleh Suhandi Cahaya dan Surachmin2 adalah penyelewengan atau
penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan
pribadi atau orang lain. Di luar negeri, terutama di negara-negara maju,
korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak
pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif
1 Suhandi Cahaya dan Surachmin, 2011, Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui untuk
Mencegah, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 85-862 Ibid;hlm. 10
2
yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat
menyentuh berbagai bidang kehidupan. Tindak pidana korupsi merupakan
masalah yang sangat serius, karena tindak pidana ini dapat membahayakan
stabilitas dan keamanan negara dan masyarakatnya, membahayakan
pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula
merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak
membudayanya tindak pidana korupsi tersebut3.
Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Preambul ke-4 United Nations
Convention Against Corruption, 2003 – Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi, 2003, yang berbunyi sebagai berikut:
Convinced that corruption is no longer a local matter but transnasional phenomenon that affects all socities and economies, making international cooperation to prevent and control it essential. 4
Meyakini, bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi yang mendorong kerjasama internasional untuk mencegah dan mengontrolnya secara esensial.
Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan berbagai upaya, baik
pencegahan maupun penindakan. Pengorganisasian masyarakat, advokasi isu,
maupun sosialisasi kebijakan anti korupsi merupakan hal yang tidak dapat
dilepaskan dari upaya tersebut, termasuk dalam penegakan hukum. Lembaga
peradilan merupakan salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi,
terutama dalam upaya penjeraan koruptor.
3 Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta, Sinar Grafika,
hlm.24 Alinea ke-4 Preamble The States Parties to this Convention of United Nations Convention
Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, 2003).
3
Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak
diputus bebasnya terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana
yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang
dilakukannya, bahkan Indonesia Corruption Watch5 menyatakan bahwa:
“Hukuman Koruptor belum menjerakan, mayoritas Koruptor dihukum ringan di tahun 2013, hanya ada 7 terdakwa yang divonis berat”.
Hal ini sangat merugikan negara dan menghambat pembangunan bangsa.
Jika ini terjadi secara terus-menerus dalam waktu yang lama, dapat
meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas hukum dan peraturan
perundang-undangan oleh warga negara. Perasaaan tersebut memang telah
terlihat semakin lama semakin menipis dan dapat dibuktikan dari banyaknya
masyarakat yang ingin melakukan aksi main hakim sendiri kepada pelaku
tindak pidana di dalam kehidupan masyarakat dengan mengatasnamakan
keadilan yang tidak dapat dicapai dari hukum, peraturan perundang-undangan,
dan juga para penegak hukum di Indonesia.6
Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dapat pula berarti upaya keras dan nyata bagi pembebasan
seluruh rakyat Indonesia dari penderitaan dan upaya yang nyata bagi
terciptanya kesejahteraan rakyat Indonesia tanpa kecuali. Namun demikian,
dalam penegakan hukum pidana akhir-akhir ini menyisakan tanda tanya besar
dari berbagai kalangan masyarakat termasuk pelaku, hal ini disebabkan karena
5 Indonesia Corruption Watch, 2013, Catatan Pemantauan Perkara Korupsi yang Divonis
oleh Pengadilan Selama Tahun 2013 diakses melalui www.antikorupsi.org pada tanggal 11 Maret 2014.
6 Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 2
4
adanya disparitas yang sangat mencolok dalam penerapan hukum pidana
melalui lembaga peradilan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun
dalam tahap eksekusi.7
Berbicara mengenai tindak pidana korupsi, dalam persidangan perkara
pidana hukum pembuktian sangat penting dalam membuktikan kesalahan
perkara di sidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak pidana akan
sulit diungkap kebenarannya. Maksud hakim bertanya kepada saksi adalah
memberikan kesempatan untuk menyatakan kejadian apa yang sebenarnya
terjadi. Keterangan saksi merupakan alat bukti persidangan dan berguna dalam
mengungkap duduk perkara suatu peristiwa tindak pidana korupsi, kemudian
akan dijadikan salah satu dasar pertimbangan hakim untuk menentukan
terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa serta kesalahannya.
Untuk dapat mengungkap pelaku tindak pidana korupsi yang mempunyai
kedudukan ekonomi dan politik yang kuat tersebut tentunya membutuhkan
keberanian dan saksi yang secara langsung mengetahui perbuatan tindak
pidana korupsi tersebut. Saksi yang mengetahui secara langsung baik terlibat
secara langsung di dalamnya atau tidak dan berani melaporkan kejadian
tersebut disebut “whistleblower” dan “justice collaborator”.8 Peranan saksi
7 Ridwan, “Pembaharuan Hukum Pidana dalam Kerangka Hukum yang Berkeadilan
Berdasarkan Kultur Hukum Indonesia”, Jurnal Ilmiah Media Hukum, Vol.. 18 No. I, Juni 2011, Yogyakarta: Fakultas Hukum UMY, hlm. 107.
8 Nixson, Syafruddin Kalo, Tan Kamello, dan Mahmud Mulyadi, “Perlindungan Hukum Terhadap Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Universitas Sumatera Utara Law Journal Vol. II-No.2 (Nov 2013), Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara, hlm. 40.
5
sebagai whistle blower dan justice collaborator sangat penting dan dibutuhkan
dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi.
Whistle blower dan justice collaborator merupakan seseorang yang
mengungkap suatu kebenaran/ melaporkan suatu tindak pidana yang bersifat
terorganisir dan serius seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika,
tindak pidana pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, dan lain-lain.
Dengan adanya whistle blower dan justice collaborator, pengungkapan kasus
tindak pidana korupsi akan semakin mudah. Selain diperlukan untuk proses
pemberantasan tindak pidana korupsi, juga sebenarnya bisa digunakan sebagai
salah satu upaya untuk pencegahan tindak pidana korupsi.
Namun, hingga saat ini negara belum memberikan penghargaan dan
perlindungan maksimal kepada para justice collaborator di Indonesia.
Bahkan, banyak justice collaborator juga menerima hukuman yang sama
dengan para tersangka/terdakwa lainnya. Artinya, perannya untuk
mengungkap kejahatan secara lebih luas, lebih dalam, lebih cepat sama sekali
tidak diperhitungkan sama sekali oleh para penegak hukum terutama peraturan
yang mengaturnya.
Seharusnya tidak semua justice collaborator harus dihukum sekalipun
sanksi hukumnya tetap diterapkan. Jika itu adalah kasus kejahatan kemanusian
seperti terorisme, pembunuhan, perdagangan manusia, bila dia bisa menjadi
justice collaborator, dan perannya tidak secara signifikan berhubungan
6
langsung dengan subyek korban, maka mereka perlu diperlakukan secara
berbeda, sekalipun tetap dihukum.9
Khususnya, pada kasus korupsi, dimana pidana kurungan bagi terpidana
kasus korupsi yang juga adalah seorang justice collaborator sangatlah tidak
tepat. Sebaiknya untuk konteks Indonesia, tersangka kasus korupsi yang juga
adalah seorang justice collaborator harus diperlakukan secara istimewa dan
hukumannya berbeda. Hukuman kurungan bagi seorang justice collaborator
menyebabkan banyak orang yang tutup mulut dan tidak mau memberikan
kesaksian yang sebenarnya karena ia mengetahui ia tetap akan dihukum
dengan pidana kurungan nantinya apabila ia bersaksi.
Nantinya, seorang justice collaborator perlu dihukum dengan
mengembalikan semua uang hasil korupsi kepada negara dan membayar
sejumlah denda yang pantas sesuai UU serta dibebaskan dari hukuman
kurungan. Bila hal ini bisa dilakukan, sangat mungkin akan banyak kasus
korupsi yang terbongkar dengan cepat, mudah, murah. Dampak lainnya adalah
tingkat korupsi di Indonesia akan semakin kecil.
Melihat pentingnya justice collaborator dalam mengungkap pelaku utama
dari kasus tindak pidana korupsi, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang berkaitan dengan justice collaborator, dengan judul:
“URGENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN
9 Narila Putri, 2012, Agus Condro: Pengungkapan Korupsi Melalui Justice Collaborator.
Diakses melalui http://hukum.kompasiana.com/2012/06/11/agus-condro-pengungkapan-korupsi-melalui-justice-collaborator-463901.html pada tanggal 10 Juni 2014
7
KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor:
59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apa urgensi Justice Collaborator dalam pengungkapan kasus tindak
pidana korupsi yang berkaitan dengan putusan hakim dalam Putusan
No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus seorang terdakwa
yang sekaligus merupakan justice collaborator dalam Putusan No.
59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui urgensi justice collaborator dalam pengungkapan
kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus seorang
terdakwa yang sekaligus merupakan justice collaborator.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Kegunaan Teoritis
8
a. Menambah pengetahuan dan wawasan di bidang Hukum Acara
Pidana, serta memberikan masukan bagi pengembangan ilmu
hukum terutama dari segi penerapan ilmu hukum acara pidana.
b. Memperluas cakrawala berpikir penulis dan memberikan
sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan,
khususnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan justice
collaborator terhadap tindak pidana korupsi.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi
kepustakaan hukum acara pidana di Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman atau acuan bagi
mereka yang melakukan penelitian serupa dengan kajian yang
berbeda, dan pula memberikan pengetahuan tentang urgensi
justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana merupakan salah satu lingkup dari hukum pidana.
Ruang lingkup hukum pidana luas, baik hukum pidana materiil yang disebut
hukum pidana, maupun hukum pidana formil yang disebut hukum acara
pidana. Hukum pidana materiil atau hukum pidana berisikan petunjuk dan
uraian tentang delik peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana suatu
perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang
pemidanaan mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana dapat dijatuhkan.
Sedangkan hukum pidana formil mengatur bagaimana negara melalui alat-
alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana,
berisikan acara pidana.10
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang selanjutnya ditulis KUHAP,
tidak menerangkan lebih lanjut mengenai pengertian Hukum Acara Pidana
secara umum, akan tetapi lebih menekankan pada bagian-bagiannya seperti
penyidikan, penuntutan, praperadilan, mengadili, putusan pengadilan, upaya
hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan yang
lainnya. Hakekat hukum acara pidana sebaiknya kita melihat beberapa
pendapat para sarjana diantaranya Andi Hamzah, yang mendefinisikan hukum
10 Andi Hamzah, 2001, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 4
10
acara pidana pada ruang lingkup yang sempit, yaitu hanya mulai pada
mencari kebenaran, penyelidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana
(eksekusi) oleh jaksa.11
Menurut Wirjono Prodjodikoro12, pengertian hukum acara pidana ialah:
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum acara pidana.
Dengan kata lain, hukum acara pidana adalah kumpulan peraturan yang
memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagai berikut:
a. Tindakan apa yang diambil apabila ada dugaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.
b. Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang, maka perlu diketahui siapa pelakunya, dan cara bagaimana melakukan penyelidikan terhadap pelaku.
c. Apabila telah diketahui pelakunya, maka penyelidik perlu menangkap, menahan, dan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan permulaan atau dilakukan penyidikan.
d. Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan suatu tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang bukti, menggeledah badan atau tempat-tempat yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut.
e. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan oleh polisi, maka berkas perkara diserahkan kepada kejaksaan negeri, yang selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dijatuhkan pidana.13
11 Andi Hamzah, 2000, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia
Indonesia, hlm. 312 Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Sinar
Grafika, hlm.713 Mochamad Faisal Salami, 2001, Hukum Acara Pidana dan Praktik, Bandung, Mandar
Maju, hlm. 3
11
Hukum acara pidana secara sederhana dapat dirumuskan sebagai suatu
aturan-aturan tentang tata cara proses penyelenggaraan peradilan pidana. Di
bawah ini beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian hukum acara
pidana:
a. Wiryono ProdjodikoroHukum acara pidana adalah merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan pemerintah yang berkuasa (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.
b. R. Achmad SoemadiprajaHukum acara pidana adalah hukum yang mempelajari peraturan yang diadakan oleh negara dalam hal adanya persangkaan telah dilanggarnya Undang-Undang Pidana.
c. SudartoHukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh para aparat penegak hukum.
d. J. De Bosch KemperHukum acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan undang-undang yang mengatur hak negara untuk menghukum bilamana undang-undang pidana dilanggar.
e. SimonHukum acara pidana adalah hukum yang mengatur cara-cara negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman.
f. Van BemmelenHukum acara pidana adalah kumpulan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana cara negara bila dihadapkan pada suatu kejadian yang menimbulkan syak wasangka telah terjadi pelanggaran hukum pidana, dengan perantara alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan di muka hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti, dan bagaimana keputusan itu harus dilaksanakan.
g. Bambang PoernomoMengklasifikasikan hukum acara pidana menjadi tiga arti:1) Dalam arti sempit, yang meliputi peraturan hukum tentang
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang, sampai dengan putusan pengadilan, dan peraturan tentang susunan pengadilan.
2) Dalam arti luas, yaitu selain mencakup dalam pengertian arti sempit, juga meliputi peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar peraturan itu ada urusannya dengan perkara pidana.
12
3) Pengertian sangat luas, yaitu apabila materi peraturan sudah sampai pada tahap eksekusi putusan hakim (pidana) kemudian dikembangkan meliputi peraturan pelaksanaan hukuman (pidana) yang mengatur tentang alternatif jenis pidana, dan cara menyelenggarakan pidana sejak awal sampai selesai menjalani pidana sebagai pedoman pelaksanaan pemberian pidana.14
Tujuan dan tugas ilmu hukum acara pidana pada dasarnya sama dengan
tugas dan tujuan ilmu hukum pada umumnya yaitu mempelajari hukum untuk
mewujudkan perdamaian yang meliputi ketertiban dan ketenangan dengan
memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum kepada masyarakat.
Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman
Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehakiman sebagai
berikut:
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”
Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya mencari kebenaran
materiil (materiele waarheid, substantial truth) dan perlindungan hak asasi
manusia (protection of human rights). Para penegak hukum mulai dari Polisi,
Jaksa, sampai pada Hakim dalam menyelidik, menuntut, dan mengadili
perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran, harus berdasarkan hal yang
14Waluyadi, 1999, Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan
Khusus), Mandar Maju, Bandung, hlm. 9-11
13
benar-benar terjadi. Maka diperlukan petugas-petugas yang handal, jujur, dan
berdisiplin tinggi serta tidak cepat tergoda oleh janji-janji yang
menggiurkan.15
Menurut Mr. J. M. Van Bemmelen dalam bukunya Leerboek van her
Nederlandse Straf Frocesrecht, menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok
acara pidana ialah:
a. Mencari dan menemukan kebenaran;
b. Pengambilan putusan oleh hakim;
c. Pelaksanaan daripada putusan.
Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah mencari
kebenaran karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya,
kemudian setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti
dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya
adil dan tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan
hukum acara pidana adalah mencari kebenaran merupakan tujuan antara, dan
tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman,
kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.16
15 Ibid, hlm 2416 Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 8-9.
14
B. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Dalam Hukum Acara Pidana tak dapat dihindarkan dari suatu
pembuktian. Pembuktian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
pemeriksaan suatu perkara di persidangan. Pengertian pembuktian sangat
beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi masing-masing mengenai
pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini
melalui makna kata membuktikan. Pembuktian menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah proses, perbuatan, cara membuktikan, suatu
usaha menentukan benar atau salahnya terdakwa dalam sidang
pengadilan. Menurut Martiman Prodjohamidjojo 17, membuktikan yaitu:
“Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui:1. Penyidikan;2. Penuntutan;3. Pemeriksaan di persidangan;4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.
Yahya Harahap18 memberikan arti pembuktian ditinjau dari segi
hukum acara pidana, antara lain:
a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang
17Martiman Prodjohamidjojo, 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 12 18 M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.36
15
ditentukan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan;
b. Sehubungan dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif yang disebut dalam pasal 184 KUHAP.
Dalam arti yuridis, Pembuktian yaitu memberi dasar-dasar yang
cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna
memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.19
Sementara itu, Darwin Prinst menyatakan bahwa yang dimaksud
pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah
terbukti dan terdakwa bersalah melakukan perbuatan itu, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya.20
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan
yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara
pidana. Dalam hal inipun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana
akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan
perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai
keyakinan hakim, namun ternyata itu tidak benar. Untuk inilah maka
hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda
dengan hukum perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil.21
19 Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm. 3520 Darwin Prinst, 2002, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, cet 3, Jakarta: Djambatan,
hlm. 13721 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta, Sinar
Grafika, hlm. 249
16
Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan
masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat
maksudnya, apabila seseorang telah melanggar peraturan perundang-
undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa
ialah, terdakwa harus diperlakukan adil sehingga tidak ada seorangpun
yang tidak bersalah akan mendapat hukuman atau sekalipun ia bersalah,
ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung
asas equality before the law, persamaan di depan hukum).22
2. Sistem Pembuktian dalam KUHAP
Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada,
dalam doktrin dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian23, yakni:
a. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie);
Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
positif (positief wettelijk bewijstheorie) merupakan pembuktian yang
didasarkan semata-mata kepada alat-alat pembuktian yang disebut
undang-undang. Dikatakan secara positif, karena semata-mata hanya
didasarkan kepada undang-undang. Artinya, jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebutkan oleh undang-
undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.
22 Luhut MP Pangaribuan, 2005, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan
oleh Advokat, Jakarta, Djambatan, hlm. 3-4.23 Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 251-254
17
Terdapat kebaikan dan kelemahan dalam sistem ini. Kebaikan
sistem pembuktian ini yakni, hakim akan berusaha membuktikan
kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-
benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang. Kelemahannya terletak dalam sistem
ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan
perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara
pidana. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi.
Selain itu, sistem pembuktian ini dianggap bertentangan dengan hak-
hak asasi manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Adami Chazawi
sebagai berikut:
Sistem ini bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka maupun terdakwa oleh negara. Juga sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. Hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah diprogram melalui undang-undang.24
Menurut Wirjono Prodjodikoro25 :
“teori ini ditolak untuk dianut di Indonesia, karena bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat”
Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele
bewijstheorie), sehingga yang dicari ialah kebenaran formal. Oleh
24 Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni: Bandung,
hlm. 28
25 Andi Hamzah, 2004, Op.Cit, hlm. 251.
18
karena itu, pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Di
benua Eropa sistem ini pun digunakan pada waktu berlakunya Hukum
Acara Pidana yang bersifat Inquisitur. Peraturan itu menganggap
terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka, dalam hal ini hakim
hanya merupakan alat pelengkap saja.
b. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (conviction intime);
Menurut sistem ini, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak
terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan
putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dari
alat bukti yang ada dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti
yang ada dalam persidangan. Sistem ini memberikan kebebasan
kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi, disamping itu,
terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan,
dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan
keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.
Hakim menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan
tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan keyakinannya saja,
dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana dia memperoleh dan
alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam
membentuk keyakinan tersebut. Adam Chazawi berpendapat sebagai
berikut:
Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim
19
dalam membentuk keyakinannya itu. Disamping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin.26
c. Sistem atau teori pembuktian berdasara keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee);
Sistem pembuktian conviction in raisone masih juga
mengutamakan penilaian hakim sebagai dasar satu-satunya alasan
untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus
disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal
pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti
sah karena memang tidak diisyaratkan. Walaupun alat-alat bukti telah
ditetapkan oleh undang-undang, tetapi hakim bisa menggunakan alat-
alat bukti diluar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat
penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat
dijelaskan dengan alasan yang logis.
Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini harus dilandasi
oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan tersebut harus
“reasonable”yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima
oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan hakim
yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem
pembuktian bebas.27 Adam Chazawi dalam hal ini berpendapat:
Walaupun undang-undang menyebutkan dan menyediakan alat bukti, tetapi sistem ini dalam hal menggunakannya dan menaruh
26 Ibid, hlm. 28.27 Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian, Pidana dan Perdata, Bandung: Citra
Aditya, hlm. 56.
20
kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah dalam pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis. Artinya, alasan yang dipergunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, dapat diterima oleh akal orang pada umumnya.28
d. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk).
Di Indonesia sendiri menganut sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Dalam sistem
pembuktian ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang
berganda (dubbel en grondslag, menurut D. Simons), yaitu pada
peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim. Hal tersebut dapat
dilihat dalam pasal 183 KUHAP yang isinya:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Menurut sistem pembuktian ini, untuk menentukan salah tidaknya
seorang terdakwa, terdapat dua komponen yaitu:
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang,
2. Keyakinan hakim juga harus didasari atas cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang.29
28 Adam Chazawi, Op.cit, hlm. 26 29 M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta,Sinar Grafika, hlm. 273.
21
Sistem pembuktian ini menggabungkan antara faktor hukum positif
sesuai ketentuan perundang-undangan dan faktor keyakinan hakim.
Artinya, dalam memperoleh keyakinannya, hakim juga terikat terhadap
penggunaan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Hal ini
sejalan dengan pendapat Adami Chazawi30 yang mengatakan bahwa:
Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri.
Wirdjono Prodjodikoro31 berpendapat bahwa sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya
dipertahankan berdasarkan dua alasan:
1. Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
2. Ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
Berdasarkan ketentuan KUHAP sebagaimana ketentuan umum
hukum pembuktian tindak pidana, maka dari segi khusus hukum
pembuktian untuk tindak pidana korupsi berlaku pula kekhususan di
dalam hukum pembuktiannya. Di dalam bidang tertentu, Undang-Undang
30 Adami Chazawi, Op.cit, hlm. 2831 Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 257.
22
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
memberlakukan hukum pembuktian yang memiliki segi kekhususan
terutama berkenaan dengan bahan-bahan yang dapat digunakan hakim
dalam membentuk alat bukti petunjuk tentang sistem pembuktian,
khususnya beban pembuktian.32
3. Macam – Macam Alat Bukti
Tidak ditemukan suatu definisi khusus mengenai apa itu alat bukti,
namun secara umum yang dimaksud dengan alat bukti adalah alat bukti
yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP sebagai berikut:
(1) Alat bukti yang sah ialah:a. keterangan saksi;b. keterangan ahli;c. surat;d. petunjuk;e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
a. Keterangan Saksi
Definisi “saksi” dapat berbeda-beda sesuai dengan sistem
hukum yang berlaku. Saksi merupakan seseorang yang memiliki
informasi penting untuk proses pengadilan atau penegakan hukum33.
United Nation Convention against Transnational Organized Crime
(UNTOC) menjelaskan definisi saksi atau partisipan sebagai berikut:
32 Firman Wijaya, 2008, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Jakarta, Maharani Press,
hlm. 78 33 Ilias Chatzis(et.al), Praktik Terbaik Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang
Melibatkan Kejahatan Terorganisir, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, 2010, hlm. 27.
23
“...any person, irrespective, of his/her legal status(informant, witness, judicial official, undercover agent, etc), who according to the legislation or policy of the country involved is eligible to be considered for admission to a witness protection program.”
Sedangkan keterangan saksi dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP
adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP,
memberi batasan pengertian saksi dalam kapasitasnya sebagai alat
bukti, adalah “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan”.
Pengertian saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah:
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Pasal 185 ayat (5) KUHAP merumuskan bahwa baik pendapat
maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan saksi. Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1)
KUHAP dirumuskan dalam keterangan saksi tidak termasuk
keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de
auditu. Keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat
bukti yang sah. Keterangan demikian berupa keterangan saksi yang
mendengar orang lain atau menceritakan sesuatu, atau apa yang ada
24
di dalam hukum acara pidana disebut testimonium de auditu atau
hearsay evidence.34
Keterangan saksi menjadi suatu hal yang penting bagi
pembuktian untuk membuktikan apakah betul telah terjadi suatu
peristiwa pidana dan menentukan siapa dan apa kesalahan terdakwa.
Oleh karena itu dapat disimpulkan betapa pentingnya keterangan
saksi, karena boleh dikatakan tidak ada suatu peristiwa pidana yang
dapat dibuktikan tanpa menggunakan/ dengan kehadiran saksi, namun
tentu tidak mengesampingkan dari alat bukti yang lain seperti
keterangan ahli, surat, petunjuk, maupun keterangan terdakwa.
Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC)
saksi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama:
a. Kolaborator hukum (Justice Collaborator). Seseorang yang
telah berpartisipasi dalam suatu tindak pidana yang
berhubungan dengan suatu organisasi kejahatan memiliki
pengetahuan yang penting tentang struktur organisasi,
metode pelaksanaan, kegiatan, dan hubungan dengan
kelompok lain, baik lokal maupun internasional;
b. Saksi korban;
c. Jenis saksi lainnya (saksi peristiwa, saksi ahli, dan lainnya)
Sedangkan dalam UUPSK pun dikenal mengenai beberapa
pengertian dan istilah saksi lainnya. Hal tersebut dikenal dalam pasal
34 Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 264
25
10 UUPSK Saksi Pelapor dan Saksi yang juga tersangka, namun tidak
adanya penjelasan batasan-batasan terkait definisi istilah tersebut.
b. Keterangan Ahli
Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, definisi keterangan ahli
yaitu:
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat suatu perkara pidana guna kepentingan bersama.
Dalam pembuktian di persidangan keterangan ahli sangat
diperlukan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Dengan segala
keahlian dari seorang ahli yang diberikan di persidangan, maka suatu
perkara akan lebih terang terutama terhadap sesuatu yang diluar
pengetahuan/ keahlian hakim/ sarjana hukum.
Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa seorang ahli
dapat memberikan keterangan sebagai saksi yang tidak berdasarkan
yang ia dengar, alami, dan lihat langsung suatu peristiwa pidana,
melainkan melalui keahliannya dalam pembuktian di persidangan.
Andi Hamzah dalam hal keterangan ahli ini, berpendapat sebagai
berikut:
Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya. Jadi dari keterangan tersebut diketahui bahwa yang dimaksud dengan keahlian adalah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang.35
35 Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 268.
26
c. Surat
Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca
yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.36
Alat bukti surat menurut Pasal 187 KUHAP dirumuskan sebagai
berikut:
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Kekuatan pembuktian surat dalam hukum acara pidana berbeda
dengan hukum acara perdata, sebagaimana yang dikatakan oleh C.
Djisman Samosir sebagai berikut:
Dalam hukum acara perdata, akta autentik mempunyai kekuatan mengikat dan harus diakui kebenarannya sampai terbukti sebaliknya (tegenbewijs) sedangkan dalam hukum acara pidana tidak ada alat bukti satu pun yang akan mengikat hakim tentang kekuatan pembuktian, kecuali kalau ia yakin akan kesalahan dari terdakwa.37
36 Andi Hamzah, 2001, Op.cit, hlm. 271.37 C. Djisman Samosir, 1985, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, Bina Cipta,
Bandung, hlm. 90.
27
d. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena
persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya diperoleh
dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Pasal 188
KUHAP dalam hal ini menegaskan sebagai berikut:
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:a. keterangan saksi;b. surat;c. keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (2) tersebut dapat
dijelaskan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan
saksi, surat, dan keterangan terdakwa. M. Yahya Harahap dalam hal
ini berpendapat:
Ketentuan Pasal 188 ayat (2) tersebut mengandung pengertian bahwa undang-undang menentukan secara limitatid sumber dari alat bukti petunjuk. Dengan demikian meskipun keterangan ahli termasuk sebagai alat bukti, tidak dapat dijadikan sumber bagi hakim untuk menentukan alat bukti petunjuk.38
38 M. Yahya Harahap, 2006, Op.cit, hlm. 294.
28
Di lain pihak, Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut:
Pantaslah kalau alat bukti petunjuk diganti dengan pengamatan hakim, lebih-lebih kalau diperhatikan bunyi Pasal 188 ayat (3) KUHAP yaitu: Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nurani. Disini tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan pada hakim untuk menilai kekuatan pembuktiannya, maka dengan demikian menjadi sama dengan apa yang disebut pengamatan hakim (eigen warrneming van rechter).39
e. Keterangan Terdakwa
Alat bukti terakhir dalam susunan alat bukti yang diatur dalam
KUHAP adalah keterangan terdakwa. Keterangan terdakwa
merupakan keterangan yang hanya mengandung pengakuan
kebenaran. Pengakuan terdakwa disini bukan hanya pengakuan yang
diberikan di muka persidangan tetapi juga pengakuan diluar
persidangan. Pengakuan di muka persidangan saja tidak cukup untuk
menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa. Pasal 189 ayat (1) KUHAP
merumuskan keterangan terdakwa sebagai berikut:
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
Keterangan terdakwa yang ia berikan di luar sidang digunakan
untuk membantu menemukan bukti di persidangan, sebagaimana
ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP sebagai berikut:
39 Andi Hamzah, 2001, Op.cit, hlm. 272.
29
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
Antara keterangan terdakwa dengan pengakuan terdakwa
mempunyai perbedaan, dalam hal ini Andi Hamzah mengatakan
sebagai berikut:
Keterangan terdakwa berbeda dengan pengakuan terdakwa sebagaimana yang terdapat dalam HIR karena pengakuan terdakwa mempunyai syarat yaitu mengakui ia yang melakukan delik yang didakwakan dan mengaku bersalah. Sedangkan keterangan terdakwa mempunyai pengertian yang lebih luas, yaitu dapat berupa pengakuan atau penyangkalan atau penyangkalan sebagian.40
Pasal 189 ayat (3) KUHAP selanjutnya merumuskan mengenai
penggunaan keterangan terdakwa hanya bagi dirinya sendiri, yaitu
sebagai berikut:
Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa
keterangan terdakwa tidak boleh dipergunakan sebagai alat bukti
terhadap kawan terdakwa dalam perkara yang sama, dapat pula
diartikan bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana yang bersifat ingin
mengejar kebenaran materiil agar terdakwa yang diperiksa jangan
membawa-bawa orang lain yang tidak menyangkut dengan dirinya
dan untuk menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain yang
tidak bersalah.
40 Andi Hamzah, 2001, Op.cit, hlm. 273.
30
C. Justice Collaborator
1. Pengertian Justice Collaborator
Dari alat bukti yang telah disebutkan diatas, yang menjadi hal
paling mendasar dalam pembuktian ialah keterangan saksi. Dalam
pengungkapan tindak pidana korupsi, penyidik membutuhkan keterangan
saksi. Relevan dengan hal tersebut, dalam khasanah istilah saksi dan
pengungkapan suatu tindak pidana dikenal istilah whistle blower dan
justice collaborator.
Whistle blower menurut Quentin Dempster adalah orang yang
mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya
malpraktik, atau korupsi.41 Dari sudut pandang Hadiastanto, whistle
blower merupakan istilah bagi karyawan, mantan karyawan, atau pekerja
anggota suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan
yang dianggap melawan ketentuan kepada pihak yang berwenang.
Ketentuan yang dilanggar merupakan ancaman bagi kepentingan publik.
Sebagai contoh misalnya orang yang melaporkan perbuatan yang diduga
tindak pidana korupsi.42
Fakta yang diungkap ini tentu bukanlah informasi yang biasa
melainkan berupa informasi-informasi penting yang dapat mengungkap
41 Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum,
Penaku, Jakarta, 2012, hlm.7.42 Ibid, hlm. 8.
31
suatu tindak pidana. Adapun menurut Mardjono Reksodiputro yang
menyebutkan bahwa organisasi tempat informasi berada dapat berupa:43
1. Tempat atau organisasi yang sah, seperti organisasi pemerintah
atau organisasi publik;
2. Tempat atau organisasi bisnis;
3. Tempat atau organisasi kriminal.
Disamping whistle blower terdapat juga istilah participant
whistleblower / supergrass (justice collaborator) yang mana memiliki
arah kepada pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam
mengungkap kerumitan kasus suatu tindak pidana. Dalam pandangan
Zucarelli44, Justice Collaborator ini memiliki definisi yaitu sebagai
berikut:
“Collaborators of Justice (supergrass): any person who faces criminal charges, or has been convicted of taking part in a criminal association or other criminal organization of any kind, or in offences of organised crime, but who agrees to ccooperate with criminal justice authorities, particularly by giving testimony about a criminal association or organisation, or about any offence connected with organized crime or other serious crimes (or in other words: the co-defendant who has decided to co-operate with the justice authorities and who is prepared to give testimony in court against his former associates).”
Dalam rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Tahun
2011, justice collaborator telah diatur dalam Pasal 52 ayat (1): “Salah
seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat
43 Ibid.44 Fausto Zucarelli, Handling and Protection Witnesses and Collaborations of Justice, the
Italian Experience, disampaikan pada International Seminar on the Protection of Whistle Blower as Justice Collaborator, di Jakarta, 09 Juli 2011.
32
dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari
penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana
korupsi tersebut. Pasal 52 ayat (2): “Jika tidak ada tersangka atau
terdakwa yang perannya ringan dalam tindak pidana korupsi.... maka
yang membantu mengungkap tindak pidana korupsi dapat dikurangi
pidananya.”
Kedua istilah di atas yaitu whistle blower dan justice collaborator
adalah merupakan istilah yang baru dalam Hukum Acara Pidana di
Indonesia. Hal tersebut kerap kali menimbulkan kesalahan istilah dalam
menyebut diantara salah satu istilah tersebut yang sering tertukar.
Seseorang dapat dikatakan justice collaborator jika dia turut terlibat
dalam tindak pidana yang diungkapkannya namun bukan sebagai pelaku
utama, tetapi jika hanya sebagai pengungkap fakta tanpa terlibat
dikatakan sebagai whistle blower.
Perbedaan mendasar antara whistle blower dan justice collaborator
terletak pada subjeknya, dimana subjek whistle blower adalah seseorang
yang mengadukan dan mengungkap tindak pidana terorganisir sebelum ia
menjadi tersangka atau sering disebut saksi pelapor, sedangkan
pengertian justice collaborator menurut poin 9 a SEMA Nomor 4 Tahun
2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower)
dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam
Perkara Tindak Pidana Tertentu adalah yang bersangkutan merupakan
salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam
33
SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama
dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di
dalam proses peradilan. Dalam perkembangannya, praktik whistle blower
tidak berjalan sendirian, ia diikuti dengan praktik justice collaborator.
Peran justice collaborator sangat signifikan guna menangkap otak
pelaku yang lebih besar sehingga tindak pidana dapat tuntas dan tidak
berhenti pada di pelaku yang berperan minim dalam tindak pidana
korupsi. Adapun syarat penetapan untuk menjadi seorang justice
collaborator yang diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi
Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara
Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana yang diungkap merupakan
tindak pidana serius atau terorganisir. Hal ini terkait dengan keberadaan
justice collaborator yang memperkuat pengumpulan alat bukti dan
barang bukti di persidangan.
Whistle blower dan justice collaborator merupakan bentuk peran
serta masyarakat yang tumbuh dari suatu kesadaran membantu aparat
penegak hukum mengungkap tindak pidana yang tidak banyak diketahui
orang dan melaporkannya kepada aparat penegak hukum.45 Maka ada
privilage khusus untuk whistle blower dan justice collaborator dari
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan terbitnya SEMA
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana
45 Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 16.
34
(Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice
Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Oleh karena itu
saksi dan/ atau korban dengan kriteria tertentu, yaitu mempunyai
keterangan yang sangat penting dalam pengungkapan peristiwa suatu
tindak pidana serta mengalami ancaman yang sangat membahayakan
jiwa saksi dan/atau korban tersebut, perlu dipenuhi hak dan jaminan
perlindungan hukumnya.46
Pengaturan mengenai perlindungan whistle blower (pengungkap
fakta/pelapor) secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, yaitu pada Pasal 10
menyebutkan:
(1) Saksi, Korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
(2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringakan pidana yang akan dijatuhkan.
(3) Ketentuan dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap saksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.
Meski pasal ini tidak secara khusus menyebutkan pelapor dengan
istilah whistle blower atau justice collaborator, tapi yang dimaksud
dengan pelapor dalam penjelasan UU ini adalah orang yang memberikan
46 Lies Sulistiani, et. Al, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan
Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, hlm. 1-2.
35
informasi kepada penegak hukum mengenai suatu tindak pidana.47 Secara
yuridis normatif berdasarkan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, keberadaan justice
collaborator tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara
hukum, artinya tidak adanya suatu kepastian hukum yang jelas bagi
seorang justice collaborator. Bahkan seorang saksi yang juga tersangka
dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana
apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi
kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan
pidana yang akan dijatuhkan. Sementara itu, SEMA No. 4 Tahun 2011
tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan
Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam
Perkara Tindak Pidana Tertentu angka 9 huruf a, justice collaborator
dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan
pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi
dalam proses peradilan.
2. Justice Collaborator sebagai Alat Bukti
Dalam peraturan bersama antara Menteri Hukum dan HAM,
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung,
Polisi Republik Indonesia (POLRI), Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), dan Mahkamah Agung (MA) justice collaborator dapat diartikan
47 Abdul Haris Semendawai, “Revisi Undang-Undang No.13 tahun 2006, Momentum
Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Tahun 2011, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hlm. 30.
36
sebagai seorang saksi yang juga merupakan seorang pelaku, tetapi mau
bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam rangka membongkar
suatu perkara, bahkan mengembalikan asset kejahatan hasil korupsi jika
asset itu ada pada dirinya. Sehingga dengan begitu, muncul pembuktian
alat bukti yang berasal dari alat bukti saksi dan menguatkan keyakinan
hakim karena memperoleh keterangan dalam pembuktian saksi berasal
dari Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator).
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti
yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian
perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi,
“tiada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.”48
Suatu pengungkapan atau kesaksian kebenaran dalam suatu
scandal crime ataupun serious crime oleh justice collaborator jelas
merupakan ancaman nyata bagi pelaku kejahatan49. Pelaku kejahatan
akan menggunakan berbagai cara untuk membungkam dan melakukan
aksi pembalasan sehingga kebijakan perlindungan seharusnya bersifat
prevensial (mencegah sebelum terjadi) kehadiran justice collaborator
memang sulit dibantah dapat menjadi alat bantu, sekalipun seorang
justice collaborator berani mengambil resiko yang sangat berbahaya bagi
48 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 286.
49 Firman Wijaya, Op.Cit, hlm. 42
37
keselamatan fisik maupun psikis dirinya, dan keluarganya, resiko
terhadap pekerjaan dan masa depannya.50
Maka perlu dirancang landasan hukum maupun bentuk-bentuk
perlindungan hukum yang kuat dan skema perlindungan yang jelas dan
terukur bagi justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana
tertentu khususnya tindak pidana korupsi terutama di lingkungan aparat
publik yang terkait dengan mal administrasi, penyalahgunaan kekuasaan,
korupsi, dan yang membahas kepentingan umum. Dalam realitasnya
justice collaborator seringkali kurang mendapatkan perlindungan hukum
dalam proses hukumnya.
Berdasarkan penjabaran diatas sangatlah patut adanya perlindungan
hukum bagi justice collaborator dalam mengungkap fakta tindak pidana
korupsi di Indonesia. Terhadap orang-orang yang kritis dan berani
mencegah dan mengungkap korupsi yang telah ia lakukan bersama
rekan-rekannya, kebalikannya seringkali diberikan sanksi dengan
merekayasa seolah-olah yang bersangkutan melakukan perbuatan
indisipliner atau perbuatan melawan hukum. Justice collaborator perlu
diberikan perlindungan hukum, sehingga ia tidak selalu menjadi korban
dengan harapan justice collaborator yang lain mampu bekerjasama dan
mempermudah aparat hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana
korupsi guna menemukan alat bukti serta menangkap tersangka yang
lain.
50 Ibid.
38
Hakim sebagai corong undang-undang pun harus paham terhadap
hak-hak yang didapat dari seorang justice collaborator, karena
pemberian hak terhadap justice collaborator tersebut tergantung dari
bagaimana seorang hakim membuat keputusan.
39
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan yuridis
normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis.
Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang
dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan
meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup
dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata serta menganggap norma-
norma lain bukan sebagai hukum. 51
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif karena penelitian ini
dikonsepsikan dan dikembangkan atas dasar peraturan perundang-undangan
yang ada dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang bertujuan untuk
mengetahui suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan
urgensi justice ccollaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi
pada Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst. Penggunaan pendekatan
diatas didasarkan pada asumsi bahwa hukum dalam penelitian ini
dikonsepsikan sebagai putusan-putusan lembaga-lembaga atau institusi yang
berwenang yang tersistem dalam kegiatan upaya penyidikan yang berorientasi
pada penemuan hukum konkreto yang bersumber pada putusan-putusan
pengadilan.
51 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 13-14.
40
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang akan
menggambarkan objek atau masalah tanpa bermaksud mengambil kesimpulan
yang berlaku umum. Penelitian menggambarkan peristiwa in concreto yang
dikonsultasikan pada seperangkat peraturan hukum positif yang berlaku dan
ada kaitannya dengan masalah yang menjadi objek penelitian.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pusat
Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal Soedirman, Perpustakaan Mochtar
Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
D. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan data sekunder untuk
mendapatkan hasil yang objektif. Dari data sekunder tersebut akan dibagi dan
diuraikan ke dalam tiga bagian yaitu :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat
berupa peraturan per-undang-undangan yang berlaku.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain literatur-literatur,
hasil penelitian, artikel-arikel ilmiah, baik dari koran maupun internet.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain kamus
hukum, ensiklopedia, kamus bahasa.
41
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data akan dilakukan dengan cara studi
kepustakaan dengan menginventarisir peraturan per-undang-undangan,
dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian, makalah, jurnal, buku-buku yang
berkaitan dengan materi, Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN. Jkt. Pst yang
menjadi objek penelitian untuk selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai satu
kesatuan yang utuh.
F. Metode Penyajian Data
Data yang berupa bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian akan
disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara
sistematis, logis dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh akan
dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok
permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
G. Metode Analisis Data
Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah
terkumpul, akan dipergunakan metode analisis normatif kualitatif. Normatif
karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai
norma hukum positif. Sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data yang
bertitik tolak pada usaha-usaha penelitian asas-asas dan informasi-informasi
yang bersifat ungkapan monografis dan responden.
42
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian tentang Urgensi Justice Collaborator dalam Pengungkapan
Kasus Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan di wilayah hukum Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, bahan yang
diperoleh berdasarkan buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan
yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap perkara Nomor :
59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst, maka diperoleh data-data sebagai berikut :
1. Identitas Terdakwa
Terdakwa I:
Nama : Ir. Jacob Purwono
Tempat Lahir : Jakarta
Umur / Tanggal lahir : 56 tahun / 2 Agustus 1956
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat/Tempat tinggal : Perumahan Taman Asri Blok A1/2 Cipadu, Ciledug Tangerang
Agama : Katolik
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil/ Staf pada Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (Mantan direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi dan Sumber Daya Mineral Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral)
43
Terdakwa II:
Nama : Kosasih Abbas
Tempat Lahir : Kuningan, Jawa Barat
Umur : 53 tahun/ 3 Juli 1959
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat/Tempat tinggal : Jalan Pangeran Sogiri No. 131 RT 02/ RW 04, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Bogor, Jawa Barat
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil/ Staf pada Bagian Umum Sekretariat Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Mantan Kepala Sub Direktorat Usaha Energi Baru dan Terbarukan dan Konversi Energi pada Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral)
2. Duduk Perkara
Pengadaan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM TA 2007
Terdakwa I pada tahun 2007 diangkat sebagai KPA/KPB Lisdes dan
Terdakwa II diangkat sebagai PKK Kegiatan Energi Baru Terbarukan untuk
seluruh Satker Lisdes dengan surat Keputusan Menteri ESDM Nomor
0306.K/80/MEM/2007 tanggal 27 Januari 2007 tentang Pengangkatan
Pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Departemen Energi dan
44
Sumber Daya Mineral pada Satuan Kerja Induk Pembangkit dan Jaringan
serta Listrik Pedesaan Tahun Anggaran 2007.
Terdakwa I dan II setelah mengetahui adanya surat pengesahan Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) TA sebesar Rp 277.986.086.000 (dua
ratus tujuh puluh tujuh sembilan ratus delapan puluh enam juta delapan puluh
enam ribu rupiah) yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan pada Satker
Ditjen LPE, sekitar bulan Januari 2007 bertempat di ruang kerja Terdakwa I
membahas rencana pengelolaan DIPA tersebut, pada saat itu Terdakwa I
menyampaikan rencana pelaksanaan kegiatan pengadaan dan pemasangan
SHS di seluruh Indonesia walaupun dalam DIPA tersebut tidak ada alokasi
anggaran peruntukannya. Selain itu, Terdakwa I menegaskan bahwa Ditjen
LPE membutuhkan banyak dana yang sifatnya mendadak tapi tidak tersedia
dananya sehingga Terdakwa I meminta Terdakwa II agar dalam proses
kegiatan pengadaan tersebut mengikuti arahan Terdakwa I antara lain
mengatur rekanan yang akan menjadi pelaksanaan kegiatan pengadaan dan
pemasangan SHS serta mempergunakan dana tersebut sesuai petunjuk
Terdakwa I.
Terdakwa II selanjutnya pada awal bulan Maret 2007 memberitahukan
rencana kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS kepada Dothor Pandjaitan
dan meminta kesediaannya untuk ditunjuk sebagai Ketua Panitia Pengadaan,
kemudian Terdakwa II memerintahkan Dothor Pandjaitan membuat surat
permintaan informasi harga SHS kepada PT. Sundaya Indonesia, PT. LEN
45
Industri, dan PT. Wijaya Karya Intrade. Sehingga Terdakwa II pada bulan
April 2007 sudah memperoleh harga SHS dari masing-masing PT tersebut.
Selanjutnya, Dothor Pandjaitan pada pertengahan bulan Mei 2007 di
ruang Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada Ditjen
LPE Departemen ESDM menyampaikan kepada seluruh anggota panitia
pengadaan yang telah dibentuknya agar harga satuan SHS yang akan
digunakan dalam penyusunan HPS berdasarkan pada harga dari PT. Sundaya
Indonesia, PT. LEN Industri dan PT. Wijaya Karya Intrade, sehingga Panitia
Pengadaan hanya menghitung harga rata-rata dari harga ketiga perusahaan
tersebut kemudian menyepakati harga satuan SHS sebesar Rp 5.960.000,00
(lima juta sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) belum termasuk PPN 10%
serta biaya pengiriman dan asuransi barang.
Terdakwa II atas persetujuan Terdakwa I menandatangani dokumen
HPS dan mengarahkan panitia pengadaan untuk menyusun dokumen
pengadaan dalam 17 paket pekerjaan, sehingga Panitia Pengadaan
mempersiapkan proses dokumen pengadaannya dengan menggunakan HPS
yang telah ditetapkan oleh Terdakwa II yang pelaksanaannya dibagi menjadi
3 tahap, dan pada tanggal 28 Juni 2007 Panitia Pengadaan mengumumkan 11
paket pekerjaan Tahap I dan Tahap II untuk pengadaan dan pemasangan
36.245 unit SHS dengan nilai perkiraan pekerjaan berjumlah Rp
254.709.728.000,00 (dua ratus lima puluh empat milyar tujuh ratus sembilan
juta tujuh ratus dua puluh delapan rupiah) padahal saat pengumuman 11 paket
46
pekerjaan tersebut tidak ada Term of Reference (TOR), Rencana Anggaran
Biaya (RAB) maupun Petunjuk Operasional Kegiatan (POK).
Terdakwa I mengetahui bahwa dalam pengesahan Revisi I DIPA
tertanggal 4 Juli 2007 tercantum adanya penambahan anggaran sebesar Rp
408.884.492.000,00 (empat ratus delapan milyar delapan ratus delapan empat
juta empat ratus sembilan puluh dua rupiah) yang dialokasikan pada Satker
Lisdes Ditjen LPE dalam Program Peningkatan Kualitas Jasa Pelayanan
Sarana dan Prasarana Ketenagalistrikan yang diperuntukkan sebagai belanja
modal perlaatan dan mesin dalam kegiatan pembangunan pembangkit listrik
dengan volume 36.271 unit, kemudian Terdakwa I pada tanggal 2 Juli 2007
menerbitkan Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) untuk mendukung
kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS sebanyak 36.245 unit dengan
anggaran sebesar Rp 254.652.516.000,00 (dua ratus lima puluh empat milyar
enam ratus lima puluh dua juta lima ratus enam belas ribu rupiah). Sehingga
seolah-olah penyusunan dan pengumuman paket pekerjaan yang dilakukan
oleh Panitia Pengadaan telah didasarkan pada alokasi anggaran dalam Revisi
DIPA dan POK tersebut.
Terdakwa I selanjutnya mengarahkan Terdakwa II agar mengatur
pemenang lelang yang akan ditetapkan sebagai rekanan pelaksana dengan
memberikan catatan nama-nama perusahaan tertentu antara lain PT. Eltran
Indonesia, PT. LEN Industri, PT. Azet Surya Lestari, PT. Mitra Muda
Berdikari Indonesia, PT. Altari Energi Surya, CV. Cipta Sarana, dan PT.
Pancuranmas Jaya. Selanjutnya Terdakwa II menyerahkan catatan nama-
47
nama perusahaan tersebut kepada Panitia Pengadaan dengan memberi arahan
agar nama-nama perusahaan tersebut dicantumkan dalam usulan penetapan
pemenang pelelangan.
Terdakwa II setelah menerima dokumen usulan penetapan pemenang
pelelangan dari panitia pengadaan sebagaimana arahan Terdakwa I, pada
bulan Agustus 2007 menandatangani surat keputusan tentang penunjukkan
pemenang pelelangan pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk
masing-masing paketan pekerjaan yang kemudian dijadikan dasar oleh panitia
pengadaan dalam mengumumkan pemenang lelang.
Terdakwa II atas sepengetahuan dan persetujuan Terdakwa I,
selanjutnya memerintahkan Panitia Pengadaan untuk memproses pelaksanaan
pengadaan tahap III sebanyak 4.356 unit SHS dengan perkiraan nilai
pekerjaan sebesar Rp 30.330.509.000,00 (tiga puluh milyar tiga ratus tiga
puluh juta lima ratus sembilan ribu rupiah) padahal POK untuk pengadaan
paket pekerjaan tersebut belum ada, kemudian Terdakwa II mengatur
pemenang lelang yang akan ditetapkan sebagai rekanan pelaksana dengan
menyerahkan catatan nama-nama perusahaan tertentu dari Terdakwa I antara
lain PT. Polandow, PT. Malista Konstruksi, PT. Pentas Menara Komindo,
dan PT. Citrakaton Dwidaya Lestari, atas perintah tersebut sejak bulan
September 2007 Panitia Pengadaan kembali melakukan proses penyusunan
dokumen pengadaan 6 (enal) paket tambahan tersebut dan mencantumkannya
dalam dokumen pengumuman lelang.
48
Terdakwa II setelah menerima dokumen usulan penetapan pemenang
pelelangan tahap III dari Panitia Pengadaan, pada tanggal 6 November 2007
menandatangani surat keputusan tentang penunjukkan pemenang pelelangan
pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk keenam paket pekerjaan
tersebut dan kemudian dijadikan dasar oleh Panitia Pengadaan dalam
mengumumkan pemenang lelang.
Terdakwa I pada tanggal 8 November 2007 menerbitkan revisi II POK
atas revisi I DIPA tertanggal 2 Juli 2007 yang di dalamnya mencantumkan
tambahan alokasi anggaran sebesar Rp 30.349.707.000,00 (tiga puluh milyar
tiga ratus empat puluh sembilan juta tujuh ratus tujuh ribu rupiah) untuk
pengadaan tambahan sejumlah 4.356 unit SHS pada tahap III yang telah
ditetapkan rekanan pelaksananya oleh Terdakwa II, sehingga seolah-olah
penyusunan dan pengumuman paket pekerjaan yang dilakukan oleh Panitia
Pengadaan telah didasarkan pada alokasi anggaran dalam Revisi II POK,
kemudian berdasarkan Revisi II POK tersebut Terdakwa II kemudian
menandatangani Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan bersama-sama
dengan masing-masing rekanan yang ditetapkan sebagai pemenang.
Terdakwa I dan II mengetahui bahwa untuk pekerjaan pengujian atau
pemeriksaan barang tidak ada dianggarkan dalam DIPA sehingga
memerintahkan Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa yang telah diangkat
oleh Terdakwa I untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian barang dengan
menggunakan biaya dari rekanan. Atas perintah tersebut, Panitia Penguji/
Penerima Barang/Jasa melakukan pengujian dan pemeriksaan barang dengan
49
metode sampling yang dibiayai oleh rekanan pelaksana dan membuat Berita
Acara Pemeriksaan Kemajuan Pekerjaan Pengadaan dan Pemasangan SHS
yang kemudian dijadikan dasar bagi Terdakwa II untuk mencairkan anggaran
kegiatan pengadaan tersebut secara bertahap, selanjutnya pada bulan
Desember 2007 Panitia Penguji/ Penerima Barang/Jasa membuat Berita
Acara Pengujian/Penerimaan Barang seolah-olah pekerjaan sudah
dilaksanakan 100%.
Terdakwa II mengetahui bahwa pekerjaan pengadaan dan pemasangan
SHS belum dilaksanakan seluruhnya namun pada akhir TA 2007 Terdakwa II
atas persetujuan Terdakwa I telah mencairkan seluruh anggaran untuk 17
kontrak tersebut yang seluruhnya berjumlah Rp 246.141.512.977,00 (dua
ratus empat puluh enam milyar seratus empat puluh satu juta lima ratus dua
belas ribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh rupiah) setelah dipotong pajak
dengan menggunakan lampiran dokumen Berita Acara Pengujian/
Penerimaan Barang yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Perbuatan Terdakwa I dan II bersama-sama dengan masing-masing
rekanan pelaksana kontrak terkait dengan proses pengadaan dan pemasangan
SHS TA 2007 dalam penetapan pemenang lelang, penandatanganan kontrak,
pengujian/ penerimaan barang serta pencairan anggaran telah memberi
keuntungan secara tidak sah kepada msing-masing rekanan pelaksana yang
diperoleh dari selisih antara nilai kontrak dengan biaya riil yang dikeluarkan
setelah dipotong pajak.
50
Terdakwa II kemudian memerintahkan Pajian untuk menyimpan dan
mengelola uang-uang yang diterima dari para rekanan tersebut dan kemudian
dikeluarkan penggunaannya sesuai dengan argan dan persetujuan Terdakwa I
yaitu untuk Terdakwa I sebesar Rp 4.350.000.000,00 (empat milyar tiga ratus
lima puluh juta rupiah) dan Terdakwa II sebesar Rp 1.650.000.000,00 (satu
milyar enam ratus lima puluh juta rupiah).
Dari rangkaian perbuatan melawan hukum yang dilakukan Terdakwa I
dan II bersama-sama dengan rekanan pelaksana sebagaimana disebutkan
diatas telah memperkaya Terdakwa I, Terdakwa II, rekanan pelaksana,
Panitia Pengadaan Barang sehingga mengakibatkan kerugian keuangan
negara sebesar Rp 77.358.892.240,00 (tujuh puluh tujuh miliar tiga ratus lima
puluh delapan juta delapan ratus sembilan puluh dua ribu dua ratus empat
puluh rupiah).
Pengadaan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM TA 2008
Terdakwa I pada tahun 2008 diangkat sebagai KPA/KPB Lisdes dan
Terdakwa II diangkat sebagai PKK Kegiatan Energi Baru Terbarukan untuk
seluruh Satker Lisdes dengan surat Keputusan Menteri ESDM Nomor
3000.K/80/MEM/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Pengangkatan
Pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008
di Lingkungan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Terdakwa I dan II setelah menerima surat pengesahan DIPA TA 2008
sebesar Rp 527.714.013.000,00 (lima ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus
51
empat belas juta tiga belas ribu rupiah) yang dialokasikan untuk kegiatan-
kegiatan pada Satker Ditjen LPE, sekitar awal bulan Februari 2008 bertempat
di ruang kerja Terdakwa I membahas rencana pengelolaan DIPA, pada saat
itu Terdakwa I mengarahkan Terdakwa II untuk merencanakan pelaksanaan
kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS di seluruh Indonesia seperti yang
dilaksanakan pada tahun 2007.
Terdakwa II pada akhir bulan Februari 2008 di ruang Direktorat Energi
Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada Ditjen LPE Departemen ESDM
menyampaikan kepada Dothor Pandjaitan dan seluruh anggota panitia
pengadaan tahun 2007 bahwa pada tahun 2008 akan direncanakan kegiatan
pengadaan dan pemasangan SHS seperti pada tahun 2007 dan meminta
kesediaan Dothor Pandjaitan dan panitia pengadaan lainnya untuk ditunjuk
sebagai Panitia Pengadaan TA 2008, selanjutnya Terdakwa II mengarahkan
agar dalam proses pengadaan SHS TA 2008 menggunakan HPS pada
kegiatan pengadaan dan pemasangan TA 2007 yaitu sebesar Rp 5.960.000,00
(lima juta sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) per unit SHS belum
termasuk PPN 10% biaya pengiriman dan asuransi barang.
Terdakwa II atas persetujuan Terdakwa I menandatangani dokumen
HPS dan mengarahkan panitia pengadaan untuk menyusun dokumen
pengadaan dalam 43 paket pekerjaan sehingga Panitia Pengadaan
mempersiapkan proses dokumen pengadaannya dengan menggunakan HPS
yang telah ditetapkan Terdakwa II yang pelaksanaannya dibagi menjadi 2
tahap dan pada tanggal 19 Maret 2008 Panitia Pengadaan mengumumkan 17
52
paket pekerjaan Tahap I untuk pengadaan dan pemasangan 19.555 unit SHS
dengan nilai perkiraan pekerjaan berjumlah Rp 137.157.340.000,00 (seratus
tiga puluh tujuh miliar seratus lima puluh tujuh juta tiga ratus empat puluh
ribu rupiah) padahal saat pengumuman 17 paket pekerjaan tersebut tidak ada
TOR, RAB maupun POK.
Terdakwa I mengetahui bahwa dalam pengesahan DIPA tertanggal 31
Desember 2007 tercantum alokasi anggaran untuk pembangunan pembangkit
listrik dengan kode 2137.0189 sebanyak 29.130 unit yang nilai anggarannya
sebesar Rp 387.973.363.000,00 (tiga ratus delapan puluh tujuh miliar
sembilan ratus tujuh puluh tiga juta tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah).
Kemudian Terdakwa I pada tanggal 28 April 2008 menerbitkan POK untuk
mendukung kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS sebanyak 34.907 unit
dengan anggaran sebesar Rp 244.914.318.000,00 (dua ratus empat puluh
empat miliar sembilan ratus empat belas juta tiga ratus delapan belas ribu
rupiah) sehingga seolah-olah penyusunan dan pengumuman paket pekerjaan
yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan telah didasarkan pada alokasi
anggaran dalam DIPA dan POK tersebut.
Terdakwa I pada sekitar bulan April 2008 mengarahkan Terdakwa II
agar mengatur pemenang lelang yang akan ditetapkan sebagai rekanan
pelaksana dengan memberikan catatan nama-nama perusahaan tertentu,
selanjutnya Terdakwa II menyerahkan catatan nama-nama perusahaan
tersebut kepada Panitia Pengadaan dengan memberi arahan agar nama-nama
53
perusahaan tersebut dicantumkan dalam usulan penetapan pemenang
pelelangan.
Terdakwa II setelah menerima dokumen usulan penetapan pemenang
pelelangan dari Panitia Pengadaan pada pertengahan bulan Mei 2008
menandatangani surat keputusan tentang penetapan pemenang pelelangan
pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk masing-masing paket
pekerjaan Tahap I, yang kemudian dijadikan dasar oleh Panitia Pengadaan
dalam mengumumkan pemenang lelang.
Terdakwa II selanjutnya menandatangani Surat Perjanjian Pelaksanaan
Pekerjaan bersama-sama dengan masing-masing rekanan yang telah
ditetapkan pemenangnya. Sehingga total nilai kontrak 17 paket untuk 19.555
unit SHS adalah sejumlah Rp 134.031.598.000,00 (seratus tiga puluh empat
miliar tiga puluh satu juta lima ratus sembilan puluh delapan ribu rupiah).
Selanjutnya, Terdakwa II memerintahkan Panitia Pengadaan
memproses pelaksanaan pengadaan SHS tahap II sebanyak 26 paket
pekerjaan untuk 17.684 unit SHS dengan nilai pekerjaan sebesar Rp
124.119.724.000,00 (seratus dua puluh empat miliar seratus sembilan belas
juta tujuh ratus dua puluh empat ribu rupiah), walaupun di dalam pengesahan
revisi I DIPA tanggal 15 Mei 2008 dalam kode 04.05.01.2137 untuk
pembangunan pembangkit tenaga listrik ditetapkan sebanyak 29.130 unit
dengan alokasi anggaran Rp 387.937.363.000,00 (tiga ratus delapan puluh
tujuh miliar sembilan ratus tiga puluh tujuh juta tiga ratus enam puluh tiga
54
ribu rupiah) belum ditetapkan POK untuk kegiatan paket tersebut. Atas
perintah tersebut, Panitia Pengadaan sejak tanggal 21 Juli 2008 kembali
melakukan proses pengadaan tahap II tersebut. Sehinggal keseluruhan paket
yang diproses pada tahap I dan tahap II adalah 43 paket pekerjaan untuk
37.239 unit dengan nilai perkiraan pekerjaan seluruhnya berjumlah Rp
261.277.064.000,00 (dua ratus enam puluh satu miliar dua ratus tujuh puluh
tujuh juta enam puluh empat ribu rupiah).
Bahwa pada tanggal 31 Juli 2008 Revisi II DIPA disahkan yang di
dalamnya mencantumkan alokasi anggaran untuk pembangunan pembangkit
listrik dengan kode 2137.0189 sebanyak 29.130 unit dengan pagu sebesar Rp
356.813.251.000,00 (tiga ratus lima puluh enam miliar delapan ratus tiga
belas juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah), atas Revisi II DIPA tersebut,
Terdakwa I menerbitkan revisi II POK tertanggal 14 Agustus 2008 yang
menetapkan 17 paket pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS untuk
19.555 unit dengan alokasi anggaran sebesar Rp 137.157.340.000,00 (seratus
tiga puluh tujuh miliar seratus lima puluh tujuh juta tiga ratus empat puluh
ribu rupiah) dan menetapkan penambahan 29 paket pengadaan dan
pemasangan SHS untuk 17.724 unit dengan alokasi anggaran sebesar Rp
124.119.724.000,00 (seratus dua puluh empat miliar seratus sembilan belas
juta tujuh ratus dia puluh empat ribu rupiah), yang mana jumlah unit dan
alokasi anggaran yang ditetapkan melalui penerbitan Revisi II POK tersebut
menyesuaikan dengan paket dan nilai kontrak serta jumlah unit SHS yang
sudah ditandatangani oleh Terdakwa II bersama-sama para rekanan pada
55
tahap I, selain itu Revisi II POK tersebut disesuaikan pula dengan penetapan
paket tahap II yang telah diumumkan oleh Panitia Pengadaan sebelumnya,
sehingga seolah-olah seluruh kontrak yang telah ditandatangani dan
penambahan paket pekerjaan yang sedang diproses telah sesuai dengan Revisi
II POK tersebut.
Terdakwa II pada tanggal 16 September 2008 menandatangani surat
keputusan tentang penunjukkan pemenang pelelangan pekerjaan pengadaan
dan pemasangan SHS untuk 26 paket pekerjaan yang diusulkan oleh Panitia
Pengadaan sesuai dengan arahan Terdakwa I dan II, kemudian penetapan
tersebut dijadikan dasar oleh Panitia Pengadaan untuk mengumumkan
pemenang lelang.
Terdakwa II atas persetujuan Terdakwa I selanjutnya menandatangani
Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan bersama-sama dengan masing-masing
rekanan yang telah ditetapkan sebagai pemenang. Sehingga total nilai kontrak
26 paket untuk 17.724 unit adalah sebesar Rp 121.244.962.568,00 (seratus
dua puluh satu miliar ddua ratus empat puluh empat juta sembilan ratus enam
puluh dua ribu lima ratus enam puluh delapan rupiah).
Terdakwa I dan II selanjutnya menyetujui adanya pelaksanaan
subkontrak kepada pihak lain yang dilakukan oleh rekanan pemenang lelang.
Padahal Terdakwa I dan II mengetahui bahwa perbuatan rekanan pemenang
lelang yang mensubkontrakkan pekerjaan pengadaan, atas kontrak yang telah
ditandatangani adalah perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
56
Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
Terdakwa I dan II mengetahui bahwa untuk pekerjaan pengujian dan
pemeriksaan barang tidak ada dianggarkan dalam DIPA sehingga
memerintahkan Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa yang telah diangkat
oleh Terdakwa I untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian barang dengan
menggunakan biaya dari rekanan. Atas perintah tersebut panitia melakukan
pengujian dan pemeriksaan barang tahap I dan II dengan metode sampling
yang dibiayai oleh rekanan pelaksana dan membuat berita acara progres
pekerjaan yang kemudian dijadikan dasar bagi Terdakwa II untuk mencairkan
anggaran kegiatan pengadaan tersebut secara bertahap sejak bulan Juni 2008,
selanjutnya pada bulan Desember 2008 Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa
membuat Berita Acara Pengujian/Penerimaan Barang seolah-olah pekerjaan
pengadaan dan pemasangan SHS tahap I dan II tersebut sudah dilaksanakan
100%.
Terdakwa II meskipun mengetahui bahwa pekerjaan pengadaan dan
pemasangan SHS tahap I dan II belum dilaksanakan seluruhnya namun pada
akhir TA 2008 atas persetujuan Terdakwa I telah mencairkan seluruh
anggaran untuk 43 kontrak TA 2008 yang seluruhnya berjumlah Rp
228.231.458.354,00 (dua ratus dua puluh delapan miliar dua ratus tiga puluh
satu juta empat ratus lima puluh delapan ribu tiga ratus lima puluh empat
rupiah) setelah dipotong pajak dengan menggunakan lampiran dokumen
57
berita acara pengujian/penerimaan barang yang tidak sesuai dengan bukti
yang sebenarnya.
Perbuatan Terdakwa I dan II bersama-sama dengan masing-masing
rekanan pelaksana kontrak terkait proses pengadaan dan pemasangan SHS
TA 2008, penetapan pemenang lelang, penandatanganan kontrak,
pengujian/penerimaan barang serta pencairan anggaran telah memberi
keuntungan secara tidak sah kepada masing-masing rekanan pelaksana yang
diperoleh dari selisih antara nilai kontrak dengan biaya riil yang dikeluarkan
setelah dipotong pajak. Terdakwa II kemudian memerintahkan Paijan untuk
menyimpan dan mengelola uang-uang yang diterima dari para rekanan
tersebut dan kemudian dikeluarkan penggunaannya sesuai dengan arahan dan
persetujuan Terdakwa I, yaitu untuk:
1. Terdakwa I sebesar Rp 2.890.000.000,00 (dua miliar delapan ratus
sembilan puluh juta rupiah);
2. Terdakwa II sebesar Rp 1.163.000.000,00 (satu miliar seratus enam
puluh tiga juta rupiah);
3. Soekanar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
4. Panitia Pengadaan Barang yaitu Dothor Pandjaitan sebesar Rp
22.000.0000,00 (dua puluh dua juta rupiah);
5. Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa sebesar Rp 45.000.000,00 (empat
puluh lima juta rupiah).
Dari rangkaian perbuatan melawan hukum yang dilakukan Terdakwa I
dan II bersama-sama dengan rekanan pelaksana sebagaimana disebutkan
58
diatas telah memperkaya Terdakwa I, Terdakwa II, Soekanar, rekanan
pelaksana, Panitia Pengadaan Barang, Panitia Penguji/Penerima Barang/Jasa
sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp
144.821.161.382,00 (seratus empat puluh empat miliar delapan ratus dua
puluh satu juta seratus enam puluh satu ribu tiga ratus delapan puluh dua
rupiah).
3. Dakwaan Penuntut Umum
Berdasarkan uraian diatas, maka Terdakwa I dan Terdakwa II didakwa
dengan dakwaan subsidair, yaitu melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan Nomor
Register Perkara 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst sebagai berikut:
Primair:
Terdakwa I dan II melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana
jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
59
Subsidair:
Terdakwa I dan II melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana
jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
4. Tuntutan Penuntut Umum
Penuntut Umum memohon supaya Majelis Hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan
mengadili perkara ini memutuskan:
1. Menyatakan Terdakwa I Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E dan Terdakwa II
Ir. Kosasih Abbas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana sebagaimana dalam
Dakwaan Primair;
60
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E
berupa pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun, dikurangi selama
Terdakwa I berada dalam tahanan, dan pidana denda sebesar Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 bulan kurungan,
dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan;
3. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa II Ir. Kosasih Abbas berupa
pidana penjara selama 4 (empat) tahun, dikurangi selama Terdakwa II
berada dalam tahanan, dan pidana denda sebesar Rp 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan,
dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan;
4. Menghukum Terdakwa I, Jacob Purwono untuk membayar uang
pengganti sebesar Rp 8.368.000.000,00 (delapan miliar tiga ratus enam
puluh delapan juta rupiah) dengan ketentuan apabila dalam tenggang 1
(satu) bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap
Terdakwa I tidak membayar uang pengganti tersebut maka harta
bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk memenuhi
pembayaran uang pengganti tersebut, dan dalam hal Terpidana tidak
mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti tersebut maka Terdakwa I dipidana penjara selama 2 (dua)
tahun 6 (enam) bulan;
5. Menghukum Terdakwa II, Kosasih Abbas untuk membayar uang
pengganti sebesar Rp 2.388.975.500,00 (dua miliar tiga ratus delapan
61
puluh delapan juta sembilan ratus tujuh puluh lima ribu lima ratus
rupiah) dengan ketentuan apabila dalam tenggang 1 (satu) bulan setelah
putusan mempunyai kekuatan hukum tetap Terdakwa II tidak
membayar uang pengganti tersebut maka harta bendanya dapat disita
oleh Jaksa dan dilelang untuk memenuhi pembayaran uang pengganti
tersebut, dan dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka Terdakwa II
dipidana penjara selama 1 (satu) tahun;
6. Memerintahkan agar seluruh Panitia Pengadaan dan Panitia Penguji
dan Penerima Barang yang telah memperoleh pemberian dari Terdakwa
II dan rekanan dalam pelaksanaan pengadaan dan pemasangan SHS TA
2007 dan TA 2008 untuk mengembalikan uang kepada negara dengan
perincian sebagai berikut:
a. Dothor Pandjaitan sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah),
b. Hanat Hamidi sebesar Rp 18.500.000,00 (delapan belas juta lima
ratus ribu rupiah),
c. Helmi Priko Nainggolan sebesar Rp 18.000.000,00 (delapan belas
juta rupiah),
d. Totoh Abdul Fatah sebesar Rp 16.000.000,00 (enam belas juta
rupiah),
e. Suharwijayanto sebesar Rp 14.000.000,00 (empat belas juta rupiah),
f. Asep Racham sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
62
g. Hafiluddin sebesar Rp 7.700.000,00 (tujuh juta tujuh ratus ribu
rupiah),
h. Ezrom Max Donald Tapparan sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta
lima ratus rupiah),
i. M. Darmawan Komar sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus
ribu rupiah),
j. Sumardjono sebesar Rp 5.500.000,00 (lima juta lima ratus ribu
rupiah),
k. Paijan sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah),
l. Suyanto sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah);
7. memerintahkan agar seluruh rekanan yang telah diperkaya sehingga
mendapat keuntungan yang tidak sah dalam pelaksanaan pengadaan dan
pemasangan SHS TA 2007 dan TA 2008 untuk mengembalikan kepada
negara;
8. Menetapkan barang bukti berupa:
a. BB 161 : 1 (satu) Hardisk External HDD Wester Digital 250 GB,
penguasa barang Dothor Panjaitan memiliki MD5 hash :
07948707eb1620a36e944d30ee8fe3bf.
b. BB 162 : 1 (satu) Hardisk External Paijan Merk SEAGATE Tipe
ST340014 A, SN: 5JVQZMXA -40 GB, penguasa barang milik
Pujiharso (eks pc Paijan) memiliki MD5 hash :
444861b4395feeefb66e21396b3f7185.
63
c. BB 171 : 1 (satu) ABAGT 74 Flashdisk merk Kingston Data
traveler G2 Warna abu-abu 2GB.
d. BB 172 : 1 (satu) ABAGT 76 Flashdisk imation Warna Hitam
produk name : NANO 2 GB.
e. BB 173 : 1 (satu) ABAGT 75 Flashdisk merk Kingston Data
traveler Warna hijau putih 2 GB.
f. BB 174 : 1 (satu) keping CDR merk Sony 700MB, SN:
VC04B1324121348002 terdapat tulisan : PJB 2006-DITREN-PPJB
II.
g. BB 181 : 10 (sepuluh) keping CDR warna kuning dengan nomor
1,2,3,4,5,7,8,9,10,11.
h. BB 182 : 1 (satu) buah CD warna putih dengan tulisan RUPTL.
i. BB 190 : Keputusan Presiden RI Nomor 60/M Tahun 2006 tentang
pengangkatan Sdr. Ir. J. Purwono sebagai Dirjen LPE.
j. BB 194 : 1 (satu) buah Handphone merk Blackberry seri ONYX
9700 dengen lmei: 351937040217745.
k. BB 195 : 1 (satu) buah Handphone merk Blackberry gemini 8250
dengan nomor lmei: 353906031439962.
l. BB 196 : 1 (satu) buah Handphone merk Nokia E 71 dengan nomor
lmei: 354208039166963.
Dikembalikan kepada Terdakwa I Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E
m. BB 208 : Uang sejumlah Rp 201.770.000,00 (dua ratus satu juta
tujuh ratus tujuh puluh ribu rupiah) terdiri dari:
64
1. Uang pecahan Rp 50.000 sebanyak 3.794 (tiga ribu tujuh
ratus sembilan puluh empat) lembar.
2. Uang pecahan Rp 100.000 sebanyak 120 (seratus dua
puluh) lembar.
3. Uang pecahan Rp 1000 sebanyak 68 (enam puluh delapan)
lembar.
4. Uang pecahan Rp 2000 sebanyak 1 lembar.
5. 1 (satu) surat pernyataan tanggung jawab belanja nomor
66/DLE-EB/6/2010 tanggal 17 Juni 2010.
n. Barang Bukti 1 - 1599 terdapat dalam berkas perkara
9. Membayar biaya perkara sebesar Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
5. Putusan Hakim
a. Pertimbangan Hakim
Menimbang, bahwa dalam dakwaan primer, Terdakwa didakwa
melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Menimbang, bahwa unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
65
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tersebut, adalah:
1. Setiap orang ;
2. Secara melawan hukum ;
3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi ;
4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menimbang, bahwa Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah mengenai pidana
tambahan.
Menimbang, bahwa Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP adalah mengenai
penyertaan (deelneming), yang rumusannya berbunyi : “Dipidana sebagai
pelaku tindak pidana, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan,
dan yang turut serta melakukan.”
Menimbang, bahwa Pasal 65 ayat (1) KUHP adalah mengenai
perbarengan atau gabungan beberapa perbuatan pidana (meerdaadsche
samenloop atau concursus realis) yang rumusannya berbunyi : “Dalam
gabungan dari beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang
sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi
kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu
hukuman saja dijatuhkan.”
66
Menimbang, bahwa sekarang Majelis akan mempertimbangkan satu-
persatu unsut-unsur tersebut dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang
terungkap di depan persidangan, yakni sebagai berikut :
Ad. 1. Unsur ‘’Setiap Orang”
Menimbang, bahwa pengertian “setiap orang” dalam hal ini dapat
dijumpai dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi : “Setiap orang
adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.”
Menimbang, bahwa unsur “setiap orang” ini terdapat baik dalam Pasal
2 ayat (1) maupun Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, pengertian unsur “setiap
orang” dalam Pasal 2 ayat (1) tidakklah sama dengan pengertian unsur “setiap
orang” dalam Pasal 3 tersebut. Pada unsur “setiap orang” dalam Pasal 3
terdapat adanya predikat khusus yang mempersyaratkan adanya suatu jabatan
atau kedudukan, sedangkan di dalam unsur “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat
(1) tersebut tidak ada dipersyaratkan demikian.
Menimbang, bahwa meskipun demikian, untuk membuktikan unsur
“setiap orang” dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, menurut Majelis tidak bisa
semata-mata dilihat dari adanya jabatan atau kedudukan yang dimiliki oleh
67
Terdakwa, melainkan harus pula dilihat apakah dengan jabatan atau
kedudukannya tersebut Terdakwa mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan yang didakwakan dalam surat dakwaan. Apabila dengan jabatan
atau kedudukannya tersebut Terdakwa memiliki kewenangan untuk
melakukan perbuatan yang didakwakan dalam surat dakwaan, maka barulah
dapat dikatakan Terdakwa dengan jabatannya tersebut memenuhi kriteria
unsur “setiap orang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Sebaliknya,
apabila dengan jabatan atau kedudukannya tersebut Terdakwa tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan perbuatan yang didakwakan dalam surat
dakwaan, namun Terdakwa melakukan perbuatan dimaksud, maka Terdakwa
adalah termasuk dalam pengertian unsur “setiap orang” sebagaimana dalam
Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Menimbang, bahwa dalam surat dakwaan perkara ini, Terdakwa I dan II
didakwa melakukan tindak pidana dalam pengadaan dan pemasangan Solar
Home System (SHS) pada Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi
LPE Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tahun
Anggaran 2007 dan 2008.
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di depan
persidangan perkara ini diperoleh adanya fakta hukum bahwa pada tahun
2007 dan 2008 Terdakwa I adalah Direktur Jenderal LPE Departemen ESDM
sekaligus selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam pengadaan dan
68
pemasangan SHS tersebut diatas, dan Terdakwa II adalah Kepala Sub
Direktorat Usaha Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi pada
Direktorat LPE Departemen ESDM sekaligus selaku Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) dalam pengadaan dan pemasangan SHS tersebut.
Menimbang, bahwa dari fakta hukum tersebut diatas, terlihat bahwa
Terdakwa I memiliki jabatan sebagai Dirjen sekaligus Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) pada Direktorat Jenderal LPE Departemen ESDM, yang
berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) c Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tersebut diatas, dengan jabatannya tersebut
Terdakwa memiliki kewenangan untuk menggunakan anggaran dalam
pengadaan barang/jasa pemerintah pada Direktorat Jenderal LPE Departemen
ESDM, in casu pengadaan dan pemasangan solar home system (SHS) pada
Direktorat Jenderal LPE Departemen ESDM sebagaimana dimaksud diatas.
Menimbang, bahwa dalam Pasal 9 ayat (5) Peraturan Presiden Nomor 8
Tahun 2006, diatur bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PKK) bertanggung
jawab dari segi administrasi fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan
barang/jasa yang dilaksanakannya.
Menimbang, bahwa dari fakta hukum diatas, terlihat bahwa Terdakwa
II mempunyai jabatan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PKK), yang
berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (3) dan (5) Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tersebut diatas, dengan jabatannya tersebut
Terdakwa II mempunyai kewenangan dalam pengadaan barang/jasa
69
pemerintah, in casu pengadaan dan pemasangan solar home system pada
Direktorat Jenderal LPE Departemen ESDM yang bertanggung jawab dari
segi administrasi, fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan dan
pemasangan SHS dimaksud.
Menimbang, bahwa dengan demikian, Terdakwa-Terdakwa addalah
setiap orang yang memiliki suatu jabatan yang dengan jabatannya masing-
masing tersebut Terdakwa I dan II mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan yang didakwakan dalam Surat Dakwaan perkara a quo. Oleh
karena itu, Terdakwa-Terdakwa dalam jabatannya masing-masing tersebut
dikaitkan dengan perbuatan yang didakwakan dalam pelaksanaan
kewenangan dari jabatan-jabatannya tersebut, adalah memenuhi kriteria
pengertian “setiap orang” dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaksud, bukan “setiap
orang” dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini, tidak terpenuhi.
Menimbang, bahwa dengan tidak terpenuhinya unsur “setiap orang” ini,
maka dengan tidak perlu lagi mempertimbangkan unsur-unsur selain dan
selebihnya dari Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang didakwakan dalam Dakwaan
70
Primer tersebut, Dakwaan Primer a quo haruslah dinyatakan tidak terbukti
menurut hukum.
Menimbang, bahwa oleh karena Dakwaan Primer dari Surat Dakwaan
dalam perkara ini tidak terbukti menurut hukum, maka Terdakwa haruslah
dibebaskan dari Dakwaan Primer dimaksud.
Menimbang, bahwa oleh karena dalam Surat Dakwaan perkara a quo
Terdakwa didakwa dengan dakwaan subsidaritas, maka dengan tidak
terbuktinya Dakwaan Primer, sesuai dengan prosess orde yang berlaku,
sekarang Majelis akan mempertimbangkan dan memberi penilaian hukum
atas Dakwaan Subsidair dari Surat Dakwaan dalam perkara ini, yakni
sebagaimana diuraikan dibawah ini.
Menimbang, bahwa dalam Dakwaan Subsider, Terdakwa didakwa
melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Menimbang, bahwa unsur-unsur Pasal 3 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, adalah:
1. Setiap orang ;
71
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi ;
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan ;
4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menimbang, bahwa Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah mengenai pidana
tambahan.
Menimbang, bahwa Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP adalah mengenai
penyertaan (deelneming), yang rumusannya berbunyi : “Dipidana sebagai
pelaku tindak pidana, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan,
dan yang turut serta melakukan.”
Menimbang, bahwa Pasal 65 ayat (1) KUHP adalah mengenai
perbarengan atau gabungan beberapa perbuatan pidana (meerdaadsche
samenloop atau concursus realis) yang rumusannya berbunyi :
“Dalam gabungan dari beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja dijatuhkan.”
Menimbang, bahwa sekarang Majelis akan mempertimbangkan satu-
persatu unsur-unsur tersebut dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang
terungkap di depan persidangan, yakni sebagai berikut:
72
Ad. 1. Unsur ‘’Setiap Orang”
Menimbang, bahwa pengertian “setiap orang” dalam hal ini dapat
dijumpai dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi : “Setiap orang
adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.”
Menimbang, bahwa uraian pertimbangan-pertimbangan mengenai unsur
“setiap orang” dalam Dakwaan Primer sebagaimana dimaksud diatas, dengan
ini diambil alih dan dipergunakan pula dalam pertimbangan ini, sehingga
secara mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum mengenai
unsur “setiap orang” dalam Dakwaan Subsider ini. Dengan demikian
Terdakwa adalah subyek hukum “setiap orang” sebagaimana dimaksud dalam
rumusan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang didakwakan dalam Dakwaan Subsider ini.
Sehingga unsur “setiap orang” ini telah terpenuhi, yaitu Terdakwa I, Ir. Jacob
Purwono, M.S.E.E. dan Terdakwa II, Ir. Kosasih Abbas.
Ad. 2. Unsur ‘’Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan”menguntungkan” adalah
sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh
lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari
pendapatan yang diperolehnya. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan
73
unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”
adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi. Di dalam ketentuan tentang tindak pidana korupsi
yang terdapat dalam Pasal 3 ini, unsur “menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi” tersebut adalah tujuan dari pelaku tindak
pidana korupsi.
Menimbang, bahwa unsur subyektif yang melekat pada batin si
pembuat menurut Pasal 3 ini merupakan tujuan si pembuat dalam melakukan
perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan lain-lain tadi yakni untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur tujuan
(doel) tidak berbeda artinya dengan maksud atau kesalahan sebagai maksud
(opzet als oogmerk) atau kesengajaan dalam arti sempit seperti yang ada pada
pemerasan, pangancaman, maupun penipuan (Pasal 368,369, dan 378
KUHP). Apa yang dimaksud dengan tujuan ialah suatu kehendak yang ada
dalam pikiran atau alam bathin si pembuat yang ditujukan untuk memperoleh
suatu keuntungan (menguntungkan) bagi dirinya sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi.
Menimbang, bahwa unsur ini merupakan unsur batin yang menentukan
arah dari perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan sebagainya. Adanya
unsur ini harus pula ditentukan secara obyektif dengan memperhatikan segala
keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka.
74
Menimbang, bahwa sejalan dengan hal tadi, Mahkamah Agung
Republik Indonesia dengan putusannya tertanggal 29 Juni 1989 Nomor : 813
K/Pid/1987 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan antara lain bahwa
unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan” cukup
dinilai dari kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan perilaku
Terdakwa sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya karena jabatan atau
kedudukan.
Menimbang, bahwa dalam kegiatan pengadaan dan pemasangan SHS di
Dintjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008, dari pembayaran
yang telah diterima lunas oleh perusahaan-perusahaan rekanan, telah
memberi keuntungan pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Menimbang, bahwa di depan persidangan perkara ini, ahli dari BPKP,
yaitu ahli Agustina Arumsari yang melakukan penghitungan kerugian
keuangan negara dalam perkara ini menerangkan bahwa keuntungan yang
diperoleh perusahaan-perusahaan pemenang pengadaan dan pemasangan SHS
di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut adalah
sebesar selisih harga kontrak yang dibayarkan oleh Ditjen LPE Departemen
ESDM (setelah dipotong pajak) dengan nilai riil pengeluaran oleh
perusahaan-perusahaan atas pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS
tersebut, tanpa memasukkan komponen margin/keuntungan wajar bagi
perusahaan sebagai faktor pengurang dari harga kontrak dimaksud, dengan
alasan bahwa dari pihak rekanan, pihak supplier sudah mendapat untung dari
harga per unit SHS yang diberikan.
75
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum yang diperoleh di depan
persidangan perkara ini, perusahaan-perusahaan yang menjadi pemenang dan
mengikat kontrak dengan Ditjen LPE Departemen ESDM dalam pekerjaan
pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 dan 2008 tersebut adalah bukan
supplier, melainkan hanya membeli dari pihak supplier sebagai pihak yang
memberi dukungan barang, dan harga riil yang dipergunakan sebagai faktor
pengurang adalah harga unit SHS yang diberikan oleh ahli dari Universitas
Indonesia, yaitu Ahli Gandjar Kiswanto, padahal di depan persidangan ahli
Gandjar Kiswanto menerangkan bahwa harga pokok produksi yang
dipergunakan oleh ahli Gandjar Kiswanto adalah rancu, karena harga pokok
produksi yang ahli pergunakan dalam perkara in casu adalah harga di
supplier, padahal seharusnya harga pokok produksi adalah harga dari pabrik,
sementara ahli tidak melakukan penelitian harga ke pabrik SHS dimaksud.
Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis berpendapat bahwa yang
dihitung sebagai keuntungan dalam perkara a quo adalah keuntungan yang
tidak wajar, oleh karena itu komponen keuntungan yang wajar sebagai biaya
overhead dalam suatu perusahaan adalah patut dimasukkan sebagai
komponen pengurang dari harga kontrak dimaksud karena pekerjaan telah
selesai dilakukan, sehingga dari perhitungan yang dilakukan oleh ahli
Agustina Arumsari dalam perkara a quo, Majelis akan menambahkan
komponen biaya overhead sebesar 15% (lima belas prosen) dari nilai kontrak
sebagai faktor pengurang sebagaimana dimaksud diatas.
76
Menimbang, bahwa dari pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen
LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut telah pula
menguntungkan Terdakwa I dan II, yaitu masing-masing :
a. Terdakwa I :
- menerima transfer dari saksi Witono sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah); dan
- menerima uang tunai yang diberikan oleh saksi Yatiek Astuti sebesar Rp
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
b. Terdakwa II :
- menerima transfer dari saksi Witono melalui rekening istri Terdakwa II
sebesar Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) ; dan
- menerima pemberian dari PT. LEN melalui saksi Nany Wardani dan
saksi Vina Lola ssebesar Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Menimbang, bahwa dari pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen
LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut Terdakwa II juga
menerima pemberian uang dari perusahaan-perusahaan yang memperoleh
pekerjaan tersebut, untuk Tahun 2007 sejumlah keseluruhan Rp
4.200.000.000,00 (empat miliar dua ratus juta rupiah) dan Tahun 2008
dengan jumlah keseluruhan Rp 2.528.500.000,00 (dua miliar lima ratus dua
puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah).
Menimbang, bahwa dari uang-uang yang diterima oleh Terdakwa II
tersebut diatas dipergunakan oleh Terdakwa II atas perintah Terdakwa I,
77
antara lain untuk diberikan kepada anggota DPR-RI yang sedang melakukan
pembahasan RUU tentang Energi dan Ketenagalistikan pada akhir 2007
sebesar Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan Rp
160.000.000,00 (seratus enam puluh juta rupiah).
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen
ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut telah menguntungkan Terdakwa I dan
Terdakwa II sendiri, dan juga menguntungkan orang lain, yaitu saksi Viktor
Matius Djoha, Abdul Cholik, Yatiek Astuti, saksi Rafdinal, saksi I Putu Geria
Astawa, Soewarto, saksi Taty Supriaty, saksi Johannes Herman Soleman
Katipana, serta menguntungkan korporasi yaitu perusahaan-perusahaan
rekanan sebagaimana diuraikan diatas.
Menimbang, bahwa keuntungan-keuntungan yang diperoleh Terdakwa I
dan Terdakwa II adalah memang menjadi tujuan Terdakwa I sejak Terdakwa
I memberi briefing/arahan kepada Terdakwa II terkait pengadaan dan
pemasangan SHS tersebut diatas, dalam mana Terdakwa I mengatakan
membutuhkan dana untuk memperlancar pembahasan RUU tentang Energi
dan Ketenagalistrikan di DPR-RI, sehingga apabila dalam pengadaan dan
pemasangan SHS itu ada pemberian dari rekanan agar diterima saja. Hal
mana bersesuaian dengan catatan tulisan tangan Terdakwa I diatas selembar
kertas kuning yang berisikan nama-nama orang/perusahaan dan angka yang
menunjukkan jumlah paket pekerjaan yang akan dialokasikan. Pada akhirnya,
memang nama-nama dalam kertas kuning itulah yang dimenangkan dalam
78
pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 dan 2008 tersebut. Dalam
pengadaan dimana kemudian Terdakwa II menerima pemberian-pemberian
uang dari rekanan pemenang yang kemudian sebagian dipergunakan oleh
Terdakwa I dengan memerintahkan Sesditjen LPE, saksi Soekanar, untuk
diberikan kepada anggota-anggota DPR-RI yang membahas RUU tentang
Energi dan Ketenagalistrikan tersebut.
Menimbang, bahwa dengan demikian, unsur “dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” ini telah
terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa II.
Ad. 3. Unsur ‘’Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya”
Menimbang, bahwa dalam unsur ini terdapat adanya 3 (tiga) elemen
yang bersifat alternatif, yaitu menyalahgunakan kewenangan, atau
menyalahgunakan kesempatan, atau menyalahgunakan sarana, yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan. Dengan terbuktinya salah satu saja
dari elemen tersebut, maka unsur ini sudah terbukti.
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan” tersebut adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki
oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud yang
diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut. Untuk mencapai
79
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
tersebut dalam Pasal 3 ini telah ditentukan cara yang harus ditempuh oleh
pelaku tindak pidana korupsi, yaitu : dengan menyalahgunakan kewenangan,
dengan menyalahgunakan kesempatan, atau dengan menyalahgunakan sarana,
yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.
Yang dimaksud dengan “kewenangan” adalah serangkaian hak yang melekat
pada jabatan atau kedudukan dari pelaku untuk mengambil tindakan yang
diperlukan agar tugas pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik.
Sedangkan yang dimaksud dengan “kesempatan” adalah peluang yang dapat
dimanfaatkan oleh pelaku, peluang mana tercantum dalam ketentuan-
ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan, atau kedudukan
yang dijabat atau diduduki pelaku. Dan yang dimaksud dengan “sarana”
adalah syarat, cara, media, yaitu cara kerja atau metoda kerja yang berkaitan
dengan jabatan arau kedudukan dari pelaku.
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana yang
diuraikan sebelumnya diatas setelah dihubungkan satu sama lain, terlihat
bahwa dalam pekerjaan pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE
Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut, Terdakwa I menerima
beberapa orang yang menitipkan nama-nama orang/perusahaan yang
kemudian dicatat dengan tulisan tangan oleh Terdakwa I dalam selembar
kertas berwarna kuning dengan menuliskan angka jumlah paket pekerjaan
yang akan diberikan, kertas kuning berisi tulisan tangan Terdakwa I yang
mana kemudian diberikan kepada Terdakwa II untuk dilaksanakan. Untuk
80
pelaksanaannya kemudian Terdakwa II memanggil Panitia Pengadaan dan
menyampaikannya. Untuk itu kemudian setiap proses pengadaan sudah
mencapai tahap evaluasi teknis, Terdakwa II memanggil Panitia Pengadaan
dan meminta hasil evaluasi teknis tersebut diubah agar sesuai dengan catatan
tulisan tangan Terdakwa I tersebut, sehingga kemudian yang ditetapkan
sebagai pemenang dan mengikat kontrak dengan Ditjen LPE Departemen
ESDM adalah perusahaan-perusahaan itu. Dari pengadaan pekerjaan yang
sedemikian itu kemudian Terdakwa II menerima pemberian uang-uang dari
pihak rekanan sejumlah tersebut diatas, yang disamping untuk dipergunakan
untuk keperluan pembahasan RUU Energi dan Ketenagalistrikan di DPR-RI,
juga ada yang diterima secara pribadi oleh Terdakwa I dan II, sebagaimana
telah diuraikan diatas.
Menimbang, bahwa dengan demikian, pengadaan dan pemasangan SHS
di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008 tersebut telah diatur
sedemikian rupa proses pengadaannya yang ditujukan untuk memenangkan
kepada perusahaan-perusahaan tertentu, dalam mana Terdakwa I selaku
Dirjen LPE Departemen ESDM sekaligus KPA dalam pekerjaan tersebut
telah menggunakan kewenangannya tersebut secara salah, yaitu mengatur
jalannya proses pengadaan sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, dari
hal tersebut kemudian Terdakwa I menerima dana untuk melancarkan proses
pembahasan RUU tentang Energi dan Ketenagalistrikan di DPR-RI,
disamping pula untuk kepentingan pribadi Terdakwa I sendiri, hal mana
adalah bertentangan dengan kewajiban Terdakwa I selaku KPA yang
81
seharusnya memerintahkan agar pelaksanaan pengadaan pekerjaan tersebut
dilakukan secara adil/ tidak diskriminatif, terbuka dan bersaing, transparan,
dan akuntabel, sehingga diperoleh hasil pengadaan yang efektif dan efisien.
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
Majelis berpendapat bahwa Terdakwa I dan II telah menyalahgunakan
kewenangan yang ada padanya karena jabatannya masing-masing selaku
KPA dan PKK dalam pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE
Departemen ESDM Tahun Anggaran 2007 dan 2008, sehingga unsur
“menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan arau kedudukannya” dalam perkara ini telah terpenuhi.
Ad. 4. Unsur ‘’Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian
Negara”
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana diuraikan
diatas setelah dihubungkan satu sama lain, terlihat bahwa uang yang
dikeluarkan dari DIPA Ditjen LPE Departemen ESDM untuk mengadaan dan
pemasangan SHS Tahun 2007 tersebut diatas adalah sebesar yang dibayarkan
kepada perusahaan-perusahaan pemenang pengadaan dan pemasangan SHS
dimaksud, kontrak, yaitu untuk Tahun 2007 sebesar Rp 274.740.354.360 (dua
ratus tujuh puluh empat miliar tujuh ratus empat puluh juta tiga ratus lima
puluh empat ribu tiga ratus enam puluh rupiah). Sedangkan biaya riil
pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 tersebut adalah sebesar harga
riil menurut ahli dari BPKP, Agustina Arumsari ditambah margin 15%
82
sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas, seluruhnya adalah berjumlah
sebesar Rp 233.450.762.481,00 (dua ratus tiga puluh tiga miliar empat ratus
lima puluh juta tujuh ratus enam puluh dua ribu empat ratus delapan puluh
satu rupiah).
Menimbang, bahwa dengan demikian terdapat adanya selisih sebesar
Rp 274.740.453.360,00 (dua ratus tujuh puluh empat miliar tujuh ratus empat
puluh juta empat ratus lima puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh rupiah)
dikurangi Rp 233.450.762.481,00 (dua ratus tiga puluh tiga miliar empat ratus
lima puluh juta tujuh ratus enam puluh dua ribu empat ratus delapan puluh
satu rupiah), yaitu sebesar Rp 41.286.591.879,00 (empat puluh satu miliar
dua ratus delapan puluh enam juta lima ratus sembilan puluh satu ribu
delapan ratus tujuh puluh sembilan rupiah). Selisih nilai inilah yang
merupakan kerugian negara dalam pengadaan dan pemasangan SHS yang
dilaksanakan Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun Anggaran 2007.
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana diuraikan
diatas setelah dihubungkan satu sama lain, terlihat bahwa uang yang
dikeluarkan dari DIPA Ditjen LPE Departemen ESDM untuk mengadaan dan
pemasangan SHS Tahun 2008 tersebut diatas adalah sebesar yang dibayarkan
kepada perusahaan-perusahaan pemenang pengadaan dan pemasangan SHS
dimaksud, kontrak, yaitu untuk Tahun 2008 sebesar Rp 255.276.560.568,00
(dua ratus lima puluh lima miliar dua ratus tujuh puluh enam juta lima ratus
enam puluh ribu lima ratus enam puluh delapan rupiah). Sedangkan biaya riil
pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2008 tersebut adalah sebesar harga
83
riil menurut ahli dari BPKP, Agustina Arumsari ditambah margin 15%
sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas, seluruhnya adalah berjumlah
sebesar Rp 216.563.337.692,00 (dua ratus enam belas miliar lima ratus enam
puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh tujuh ribu enam ratus sembilan puluh dua
rupiah).
Menimbang, bahwa dengan demikian terdapat adanya selisih sebesar
Rp 255.276.560.568,00 (dua ratus lima puluh lima miliar dua ratus tujuh
puluh enam juta lima ratus enam puluh ribu lima ratus enam puluh delapan
rupiah) dikurangi Rp 216.563.337.692,00 (dua ratus enam belas miliar lima
ratus enam puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh tujuh ribu enam ratus sembilan
puluh dua rupiah), yaitu sebesar Rp 38.713.222.876,00 (tiga puluh delapan
miliar tujuh ratus tiga belas juta dua ratus dua puluh dua ribu delapan ratus
tujuh enam rupiah). Selisih nilai inilah yang merupakan kerugian negara
dalam pengadaan dan pemasangan SHS yang dilaksanakan Ditjen LPE
Departemen ESDM Tahun Anggaran 2008.
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
maka pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM
Tahun 2007 dan 2008 telah merugikan negara sebesar total Rp
80.002.814.755,00 (delapan puluh miliar dua juta delapan ratus empat belas
ribu tujuh ratus lima puluh lima rupiah). Sehingga unsur “dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara” ini telah terpenuhi.
84
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di depan
persidangan diperoleh adanya fakta hukum sebagaimana telah diuraikan
dalam pertimbangan hukum mengenai unsur “dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” diatas, bahwa dari
pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun
2007 dan 2008 tersebut, Terdakwa I memperoleh keuntungan sebesar Rp
1.030.000.000,00 (satu miliar tiga puluh juta rupiah) dan Terdakwa II sebesar
Rp 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah). Oleh karena Terdakwa
I dan II memperoleh keuntungan dari suatu perbuatan menyalahgunakan
kewenangan yang ada padanya karena jabatannya sebagaimana diuraikan
diatas, maka berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
keuntungan yang diperoleh Terdakwa-Terdakwa tersebut adalah merupakan
uang pengganti yang harus dibebankan kepada Terdakwa I dan II untuk
mengembalikannya dalam perkara ini.
Menimbang, bahwa selain uang pengganti tersebut, Penuntut Umum
dalam Surat Tuntutannya menuntut pula agar dilakukannnya perampasan
terhadap keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan rekanan dalam
85
pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun
2007 dan 2008 tersebut diatas.
Menimbang, bahwa dengan demikian, Pasal 18 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini, telah
terpenuhi.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya diatas, setelah dihubungkan satu sama lain, terlihat
bahwa setelah sejak sebelum dimulainya pelaksanaan pengadaan dan
pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007, Terdakwa I
telah memberi briefing/arahan kepada Terdakwa II agar pelaksanaan dan
pemasangan SHS dilakukan sesuai ketentuan, dan kalau ada pemberian dari
rekanan diterima saja karena LPE sedang membutuhkan dana dalam rangka
pembahasan RUU tentang Ketenagalistrikan di DPR-RI. Di lain kesempatan,
Terdakwa I banyak menerima tamu yang berkepentingan untuk ikut ambil
bagian dalam proyek pengadaan SHS tersebut, untuk mana Terdakwa I
memperkenalkan Terdakwa II selaku PPK kepada tamu-tamunya itu, dan
selanjutnya Terdakwa I memberikan catatan tulisan tangan Terdakwa I
sendiri yang berisi nama-nama orang/perusahaan yang diinginkan oleh
Terdakwa I untuk menjadi pemenang dalam pengadaan dimaksud, lengkap
86
dengan penyebutan angka jumlah paket pekerjaan yang dialokasikan untuk
masing-masing perusahaan dimaksud. Setelah itu, Terdakwa II memanggil
Panitia Pengadaan menyampaikan hal tersebut, dan kemudian dalam
pelakasanaannya Terdakwa II meminta Panitia Pengadaan mengubah hasul
evaluasi teknis agar perusahaan-perusahaan yang nama-namanya berikut
jumlah paket pekerjaannya sebagaimana catatan tulisan tangan Terdakwa I
tersebut yang menjadi pemenanga dan melaksanakan pengadaan dan
pemasangan SHS dimaksud. Dari pengadaan dan pemasangan SHS tersebut,
baik Tahun 2007 maupun 2008, Terdakwa II menerima pemberian-pemberian
uang ucapan terima kasih dari rekanan yang oleh Terdakwa II dilaporkan
kepada Terdakwa I dan disimpan oleh bendahara PUM (Pembayar Uang
Muka). Dari pemberian-pemberian uang tersebut kemudian Terdakwa I
memerintahkan Terdakwa II mengeluarkan Rp 1.500.000.000 (satu miliar
lima ratus juta rupiah) guna diberikan kepada anggota DPR-RI berkaitan
dengan upaya melancarkan pembahasan RUU tentang Energi dan
Ketenagalistrikan di DPR-RI, disamping juga ada yang diterima ke rekening
pribadi Terdakwa I dan Terdakwa II.
Menimbang, bahwa dengan demikian terlihat bahwa sejak perencanaan
hingga pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 dan 2008 tersebut
terdapat adanya kerjasama yang sedemikian erat dan sempurna antara
Terdakwa I dan Terdakwa II sehingga terwujud pengadaan dan pemasangan
SHS oleh perusahaan-perusahaan yang diinginkan oleh Terdakwa I.
Terdakwa I tidak mewujudkan sendiri perbuatannya itu melainkan bekerja
87
sama dengan Terdakwa II, sehingga perbuatan secara bersama-sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi
dalam perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa II.
Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum sebagaimana telah
diuraikan diatas, setelah dihubungkan satu sama lain terlihat bahwa Terdakwa
I dan Terdakwa II melakukan pengaturan pemenang dalam pengadaan dan
pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun 2007 dan 2008.
Sehingga terdapat adanya dua perbuatan yang masing-masing merupakan
perbuatan selesai dan berdiri sendiri. Perbuatan-perbuatan tersebut tampak
dengan nyata tidak tersangkut paut satu sama lain. Perbuatan mengatur
pemenang dalam pengadaan dan pemasangan SHS Tahun 2007 oleh
Terdakwa I dan Terdakwa II tersebut bukan merupakan syarat bagi timbulnya
perbuatan mengatur pemenang dalam pengadaan dan pemasangan SHS
Tahun 2008. Kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai kenyataan yang
berdiri sendiri. Dengan demikian, Terdakwa telah melakukan beberapa
perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri, yang diancam dengan pidana
utama sejenis, yaitu pidana penjara dan denda. Sehingga telah terjadi apa
yang disebut dengan perbarengan (concursus realis) sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) KUHP dengan demikian Pasal 65 ayat (1)
KUHP ini terpenuhi.
88
Menimbang, bahwa sebelum penjatuhan pidana terhadap diri
Terdakwa-Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan
dan yang meringankan Terdakwa-Terdakwa, sebagai berikut :
Hal-hal yang memberatkan :
- Terdakwa I :
- Perbuatan Terdakwa I kontraproduktif bagi upaya pemberantasan
korupsi di tanah air ;
- Terdakwa I tidak memberi teladan bagi jajarannya dalam kedinasan ;
- Terdakwa I tidak merasa bersalah atas perbuatannya ;
- Terdakwa II :
- Perbuatan Terdakwa II kontraproduktif bagi upaya pemberantasan
korupsi di tanah air ;
- Terdakwa II tidak berani menolak arahan yang tidak benar dari
atasannya, sehingga terjadi tindak pidana tersebut ;
Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa I :
- Terdakwa I berlaku sopan di depan persidangan ;
- Terdakwa I masih mempunyai tanggungan keluarga ;
- Terdakwa I telah mengabdikan diri dan memperoleh penghargaan
Satya Lencana dari Negara ;
- Terdakwa II :
89
- Terdakwa II mengakui perbuatannya dan berterus terang di depan
persidangan sehingga berperilaku kooperatif ;
- Terdakwa II telah mengabdikan diri pada Negara sebagai Pegawai
Negeri Sipil yang cukup lama ;
- Terdakwa II berlaku sopan di persidangan ;
- Terdakwa II masih mempunya tanggungan keluarga.
b. Amar Putusan
Terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana korupsi tersebut diatas, maka
Majelis Hakim, dengan memperhatikan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65
ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo
Pasal 25 Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, serta ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan
dan hukum yang berkenaan dengan perkara ini, menjatuhkan putusan yang
amar putusannya berbunyi sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa I Ir. JACOB PURWONO, M.S.E.E dan Terdakwa
II Ir. KOSASIH ABBAS tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
90
bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Dakwaan Primer Surat Dakwaan perkara ini;
2. Membebaskan oleh karenanya Terdakwa I Ir. JACOB PURWONO,
M.S.E.E dan Terdakwa II Ir. KOSASIH ABBAS dari Dakwaan Primer
Surat Dakwaan tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa I Ir. JACOB PURWONO, M.S.E.E dan Terdakwa
II Ir. KOSASIH ABBAS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan “Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagai
perbuatan perbarengan” sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan
Subsider Surat Dakwaan Perkara ini;
4. Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa I Ir. JACOB
PURWONO, M.S.E.E dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun
dan pidana denda sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti
dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan, terhadap Terdakwa II Ir.
KOSASIH ABBAS dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan
pidana denda sebesar Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti
dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
5. Menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti terhadap Terdakwa I Ir.
JACOB PURWONO, M.S.E.E sebesar Rp 1.030.000.000,00 (satu miliar
tiga puluh juta rupiah) dan terhadap Terdakwa II Ir. KOSASIH ABBAS
91
sebesar Rp 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) selambat-
lambatnya satu bulan setelah putusan ini memperoleh kekuatan hukum
tetap, dengan ketentuan apabila setelah lewatnya waktu tersebut
Terdakwa-Terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut maka harta
kekayaannya disita dan dilelang untuk memenuhi pembayaran uang
pengganti dimaksud, dan apabila Terdakwa-Terdakwa tidak memenuhi
pembayaran uang pengganti tersebut, maka Terdakwa I dipidana penjara
selama 2 (dua) tahun dan untuk Terdakwa II selama 1 (satu) tahun;
6. Memerintahkan Para Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
7. Memerintahkan masa penahanan yang telah dijalani Para Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
8. Memerintahkan perampasan untuk negara atas barang bergerak berupa
uang dari:
a. PT. Eltran Indonesia sebesar Rp 1.826.395.027,00 (satu miliar
delapan ratus dua puluh enam juta tiga ratus sembilan puluh lima
ribu dua puluh tujuh rupiah) ;
b. PT. Azet Surya Lestari sebesar Rp 9.370.584.135,00 (sembilan
miliar tiga ratus tujuh puluh juta lima ratus delapan puluh empat ribu
seratus tiga puluh lima rupiah) ;
92
c. PT. LEN Industri sebesar Rp 3.782.057.894,00 (tiga miliar tujuh
ratus delapan puluh dua juta lima puluh tujuh ribu delapan ratus
sembilan puluh empat rupiah) ;
d. PT. LEN Industri dan PT. Gomzu Daguzi sebesar Rp
3.933.720.373,00 (tiga miliar sembilan ratus tiga puluh tiga juta
tujuh ratus dua puluh ribu tiga ratus tujuh puluh tiga rupiah) ;
e. PT. Mitra Muda Berdikari Indonesia sebesar Rp 1.819.752.642,00
(satu miliar delapan ratus sembilan belas juta tujuh ratus lima puluh
dua ribu enam ratus empat puluh dua rupiah) ;
f. PT. Bangun Baskara Mandiri sebesar Rp 6.081.616.888,00 (enam
miliar delapan puluh satu juta enam ratus enam belas ribu delapan
ratus delapan puluh delapan rupiah) ;
g. CV. Cipta Sarana sebesar Rp 3.275.505.209,00 (tiga miliar dua ratus
tujuh puluh lima juta lima ratus lima ribu dua ratus sembilan rupiah)
;
h. PT. Pancuranmas Jaya sebesar Rp 4.563.960.584,00 (empat miliar
lima ratus enam puluh tiga juta sembilan ratus enam puluh ribu lima
ratus delapan puluh empat rupiah) ;
i. PT. Pentas Menara Komindo sebesar Rp 2. 476.126.941,00 (dua
miliar empat ratus tujuh puluh enam juta seratus dua puluh enam
ribu sembilan ratus empat puluh satu rupiah) ;
93
j. PT. Citrakaton Dwidaya Lestari sebesar Rp 647.463.625,00 (enam
ratus empat puluh tujuh juta empat ratus enam puluh tiga ribu enam
ratus dua puluh lima rupiah) ;
k. Dan seterusnya hingga poin 47.
9. Memerintahkan barang-barang bukti berupa:
a. BB 161 : 1 (satu) Hardisk External HDD Wester Digital 250 GB,
penguasa barang Dothor Panjaitan memiliki MD5 hash :
07948707eb1620a36e944d30ee8fe3bf.
b. BB 162 : 1 (satu) Hardisk External Paijan Merk SEAGATE Tipe
ST340014 A, SN: 5JVQZMXA -40 GB, penguasa barang milik
Pujiharso (eks pc Paijan) memiliki MD5 hash :
444861b4395feeefb66e21396b3f7185.
c. BB 171 : 1 (satu) ABAGT 74 Flashdisk merk Kingston Data
traveler G2 Warna abu-abu 2GB.
d. BB 172 : 1 (satu) ABAGT 76 Flashdisk imation Warna Hitam
produk name : NANO 2 GB.
e. BB 173 : 1 (satu) ABAGT 75 Flashdisk merk Kingston Data
traveler Warna hijau putih 2 GB.
f. BB 174 : 1 (satu) keping CDR merk Sony 700MB, SN:
VC04B1324121348002 terdapat tulisan : PJB 2006-DITREN-PPJB
II.
94
g. BB 181 : 10 (sepuluh) keping CDR warna kuning dengan nomor
1,2,3,4,5,7,8,9,10,11.
h. BB 182 : 1 (satu) buah CD warna putih dengan tulisan RUPTL.
i. BB 190 : Keputusan Presiden RI Nomor 60/M Tahun 2006 tentang
pengangkatan Sdr. Ir. J. Purwono sebagai Dirjen LPE.
j. BB 194 : 1 (satu) buah Handphone merk Blackberry seri ONYX
9700 dengen lmei: 351937040217745.
k. BB 195 : 1 (satu) buah Handphone merk Blackberry gemini 8250
dengan nomor lmei: 353906031439962.
l. BB 196 : 1 (satu) buah Handphone merk Nokia E 71 dengan nomor
lmei: 354208039166963.
Dikembalikan kepada Terdakwa I Ir. Jacob Purwono, M.S.E.E
m. BB 208 : Uang sejumlah Rp 201.770.000,00 (dua ratus satu juta
tujuh ratus tujuh puluh ribu rupiah) terdiri dari:
1. Uang pecahan Rp 50.000 sebanyak 3.794 (tiga ribu tujuh ratus
sembilan puluh empat) lembar.
2. Uang pecahan Rp 100.000 sebanyak 120 (seratus dua puluh)
lembar.
3. Uang pecahan Rp 1000 sebanyak 68 (enam puluh delapan)
lembar.
4. Uang pecahan Rp 2000 sebanyak 1 lembar.
n. 1 (satu) surat pernyataan tanggung jawab belanja nomor 66/DLE-
EB/6/2010 tanggal 17 Juni 2010.
95
(Barang Bukti 1 - 1599 terdapat dalam berkas perkara)
10. Membebankan biaya perkara kepada para Terdakwa masing-masing
sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pada Hari : Kamis, tanggal 30 Januari 2013, oleh kami : SUJATMIKO, S.H.,
M.H. sebagai Ketua Majelis, AVIANTARA, S.H., M.H., ANNAS
MUSTAQIM, S.H., M.Hum., I MADE HENDRA KUSUMA, S.H., Sp.N.,
dan JOKO SUBAGYO, S.H., M.T., masing-masing sebagai Hakim Anggota,
putusan mana diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada Rabu :
Tanggal 6 Februari 2013 oleh Ketua Majelis tersebut dan Hakim-Hakim
Anggota, dibantu oleh SUAEB, S.H. sebagai Panitera Pengganti, dengan
dihadiri oleh : RISMA ANSYARI, SH., ASRUL ALIMINA, SH.MH.,
NURUL WIDIASIH, SH, MH., ALI FIKRI, SH, M.Kn., dan AFNI
CAROLINA, SH, MH., masing-masing sebagai Penuntut Umum pada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Terdakwa I dan Terdakwa II
yang didampingi oleh Tim Penasihat Hukumnya masing-masing.
96
B. Pembahasan
1. Urgensi Justice Collaborator dalam pengungkapan kasus tindak
pidana korupsi dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana
korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan
kejahatan extra ordinary crime (kejahatan yang berdaya rusak luar
biasa)52. Tindak pidana inipun merupakan serious crime dan scandal crime
sehingga memang memiliki tempat khusus dalam pemberantasannya.
Semakin hari tindak pidana ini terus berkembang, kejahatan ini biasa
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan dan kedudukan penting
dalam institusi negara. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi biasa
dilakukan oleh orang-orang yang cerdas, cermat, orang-orang yang
mengerti seluk-beluk keuangan dan birokrasi dalam institusinya tersebut.
Untuk menutupi perilakunya, para pelaku cenderung akan membuat
sebuah skenario yang rapi dan sulit diidentifikasi oleh penyidik dan
kejaksaan sehingga mempersulit proses pemeriksaan di persidangan.
Kerugian negara akibat maraknya tindak pidana korupsi ini pun tidak
dapat dibilang kecil, disini tentu negara lah yang paling dirugikan sehingga
berimbas pada masyarakat yang mana segala pembangunan dan
52 Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana di Indonesia dalam Sirkus Hukum, Bogor: Ghlmia
Indonesia, Cet I, 2009, hlm. 320.
97
infrastruktur dibiayai oleh negara. Masyakarat menjadi semakin menderita
dengan banyaknya tindak pidana korupsi ini.
Kejahatan yang terorganisir seperti tindak pidana korupsi harus lah
diberantas dengan tindakan-tindakan yang tepat. Apabila penegak hukum
kekurangan akal dan kurang cermat untuk memberantas semua ini, maka
tidak heran korupsi akan semakin berkembang dan merajalela, para
koruptor pun semakin mudah untuk menghilangkan uang negara tanpa
jejak. Oleh karenanya, akan sangat efektif dan efisien jika para penegak
hukum mengajak para pelaku kejahatan untuk bekerjasama menyelesaikan
kasus korupsi yang sedang ditangani dengan menjadi seorang justice
collaborator, yang artinya para aktor itu sendiri yang akan ‘bercerita’
tentang keseluruhan aksi korupsi yang dilakukan oleh komplotannya.
Dari sudut Hukum Acara Pidana, ada tingkat kesulitan pembuktian
karena prinsip bukti utama dalam tindak pidana adalah keterangan saksi,
karakter kejahatan terorganisir yang berlaku di kalangan pelaku kejahatan
adalah loyalitas yang dikenal dengan “kesaksian diam atau sumpah diam
(omerta), yaitu komitmen dan aturan yang tidak tertulis diantara anggota
mafia yang tidak mudah digoyahkan”. Pelanggaran atas omerta tersebut
adalah nyawa tebusannya bagi siapapun yang melanggarnya. Oleh karena
itu, peranan dari justice collaborator merupakan sarana pembuktian yang
ampuh dalam mengungkapkan dan membongkar kejahatan terorganisir,
baik yang termasuk scandal crime maupun serious crime dalam tindak
pidana. Justice collaborator dapat dijadikan alat bantu pembuktian di
98
dalam pengungkapan kejahatan dimensi baru (new dimension crime),
seperti perbuatan korupsi yang mana merugikan perekonomian negara
serta modus-modus korupsi menggunakan high-technology, bantuan dana
dari hasil kejahatan corporate crime, customer fraund, illegal fishing,
illegal labour, dan cyber crime.
Yang kita ketahui kasus tindak pidana korupsi diungkap oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri dengan melakukan penyidikan,
masih terbilang jarang pengungkapan tindak pidana korupsi dilakukan oleh
pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri, dikarenakan perlindungan
hukumnya sendiri masih kurang belum jelas. Pelaku yang mempunyai niat
untuk mengakui dan mengungkap kejahatannya jarang sekali ada karena
dengan mengakui kejahatannya akan mempersulit dirinya sendiri dalam
proses peradilan. Padahal, pelaku yang mengungkap kejahatannya sendiri
seharusnya diberi penghargaan atas keberaniannya dalam membantu KPK
mengungkap suatu perkara korupsi. Sudah sepantasnya seorang justice
collaborator menerima penghargaan dari negara, sebagaimana ketentuan
dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan
Konvensi international lainnya dalam melawan kejahatan serius selama
ini.
1.1 Dasar Ide Justice Collaborator di Indonesia
Pada dasarnya, ide justice collaborator ini diperoleh dari Pasal 37
ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun
99
2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang No 7 Tahun
2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption,
2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Antikorupsi). Pasal 37 ayat
(2) UNCAC menegaskan:
“Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini.”
Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan:
“Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.”
Di Indonesia, pengaturan terkait justice collaborator ini memang
beberapa sudah diatur walaupun masih bersifat umum dan masih dianggap
rancu, yaitu:
a.) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, secara lengkap rumusan Pasal 10 ayat (1) dan (2)
berbunyi:
(1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
100
(2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan terhadapnya.
Dari rumusan tersebut, Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban telah memberikan dasar hukum pertama
mengenai pelaku yang bekerjasama dengan menggunakan istilah “saksi
yang juga tersangka”. Rumusan inilah satu-satunya rumusan yang berhasil
mencantumkan peran dari seorang pelaku yang bekerjasama dan
rekomendasi reward bagi kontribusinya. Namun dalam penerapannya
ketentuan tersebut masih problematik karena Pasal 10 ayat (2) tersebut
memiliki banyak kelemahan dan dipahami secara berbeda, baik oleh
masyarakat maupun oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Beberapa
kelemahan53 tersebut yakni : ruang lingkup “pelaku yang bekerjasama”
yang masih terbatas, peran pelaku yang bekerjasama harus dalam
pengadilan, persyaratan yang kurang jelas, pemberian reward yang
terbatas, tidak ada kepastian dalam pemberian reward, pemberian
perlindungan yang tidak pasti, tidak ada standar mengenai menghitung
kontribusi sebagai pelaku yang bekerjasama.
b. SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
53 Supriyadi Widodo Ediyono, “Melihat Prospek Perlindungan ‘Pelaku yang
Bekerjasama’ di Indonesia”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Tahun 2012, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hlm. 23.
101
Ketentuan perlindungan bagi pelaku yang bekerjasama selanjutnya
diatur di dalam Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan
bagi pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang
bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana
Tertentu. Mengingat belum ada pedoman teknis yang bisa dijadikan
pegangan oleh aparat penegak hukum, maka keberadaan SEMA ini patut
diapresiasi. SEMA ini sebagai produk hukum yang sifatnya transisi, sangat
berkontribusi untuk memperkuat ketetentuan pasal 10 ayat (2) Undang-
undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
SEMA ini memberikan persyaratan yang lebih jelas mengenai syarat dari
pelaku yang bekerjasama yakni:
a. Merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, yang bersifat
serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tidak pidana
narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang
maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir;
b. Harus mengakui kejahatan yang dilakukannya;
c. Bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut;
d. Memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;
e. Pengungkapan tersebut mencakup:
• mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif;
• mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran
lebih besar; dan/atau
• mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana
102
f. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa
pelaku yang bekerjasama telah memberikan keterangan dan bukti-
bukti yang sangat signifikan
SEMA memberikan panduan yang lebih pasti mengenai keringanan
hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa. SEMA
menyarankan agar putusan hakim mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
1. menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau
2. menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan
diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara
yang dimaksud;
3. dalam memberikan perlakuan khusus dalam bentuk keringanan
pidana, hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan
masyarakat.
c. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai
pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak
hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu
tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak
pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat
penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan
103
dalam hal tindak pidana serius dan/atau terorganisir yakni tindak pidana
korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, narkotika/psikotropika,
terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan/atau tindak
pidana lain yang dapat menimbulkan bahaya dan mengancam keselamatan
masyarakat luas.
Syarat untuk mendapatkan perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang
Bekerjasama dalam Peraturan ini adalah sebagai berikut:
a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius
dan/atau terorganisir;
b. memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk
mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
c. bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya;
d. kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari
tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam
pernyataan tertulis; dan
e. adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya
ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi
pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana
tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan perlindungan
fisik dan psikis; perlindungan hukum; penanganan secara khusus; dan
penghargaan. Perlindungan fisik, psikis dan/atau perlindungan hukum
104
diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Penanganan secara khusus dapat berupa:
a. pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka,
terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap
dalam hal Saksi Pelaku yang Bekerjasama ditahan atau menjalani
pidana badan;
b. pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan terpisah dengan
tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara pidana yang
dilaporkan atau diungkap;
c. penundaan penuntutan atas dirinya;
d. penundaan proses hukum (penyidikan dan penuntutan) yang
mungkin timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang
diberikannya; dan/atau
e. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan
wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya;
f. apabila Saksi Pelaku yang Bekerjasama berupa adalah seorang
narapidana, keringan tuntutan hukuman, termasuk menuntut
hukuman percobaan;
g. pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, perlindungan dalam bentuk penghargaan bagi Saksi
Pelaku yang Bekerjasama berupa keringanan tuntutan hukuman, termasuk
105
menuntut hukuman percobaan, dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. permohonan diajukan oleh pelaku sendiri kepada Jaksa Agung atau
Pimpinan KPK;
b. LPSK dapat mengajukan rekomendasi terhadap Saksi Pelaku yang
Bekerjasama untuk kemudian dipertimbangkan oleh Jaksa Agung
atau Pimpinan KPK;
c. permohonan memuat identitas Saksi Pelaku yang Bekerjasama,
alasan dan bentuk penghargaan yang diharapkan;
d. Jaksa Agung atau Pimpinan KPK memutuskan untuk memberikan
atau menolak memberikan penghargaan yang dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam hal Jaksa Agung atau Pimpinan KPK mengabulkan
permohonan penghargaan sebagaimana dimaksud, maka Penuntut Umum
wajib menyatakan dalam tuntutannya mengenai peran yang dilakukan oleh
Saksi Pelaku yang Bekerjasama agar dapat menjadi pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan. Dalam hal penghargaan berupa pemberian
remisi dan/atau pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud, maka
permohonan diajukan oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Jaksa Agung,
Pimpinan KPK dan/atau LPSK kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia untuk kemudian diproses sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
106
Namun sungguh disayangkan, pengaturan mengenai justice
collaborator yang disebut diatas masih banyak kelemahan dan belum
menjelaskan secara detail bagaimana seseorang dapat menjadi seorang
justice collaborator dan bagaimana perlindungan hukumnya. Masih
banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab dari peraturan-peraturan
diatas, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dari berbagai
komponen lembaga hukum dan para ahli hukum.
1.2 Urgensi Justice Collaborator
Saat ini peranan dan perlindungan terhadap justice collaborator di
Indonesia belum sepenuhnya secara luas dan maksimal terlaksana. Negara
ini sangat jauh tertinggal dari negara-negara lain seperti Amerika Serikat,
Australia dan beberapa negara di Eropa yang sudah lama menerapkan
sistem peranan dan perlindungan justice collaborator. Peran
pengungkapan justice collaborator kepada tersangka yang tidak memiliki
iktikad baik membuka tabir kejahatan korupsi sama saja dengan membuka
ruang tawar-menawar tuntutan, negosiasi, serta peluang bagi politisi yang
telah masuk bidikan KPK untuk lari dari jerat penegak hukum. Sebagian
orang mengatakan bahwa keberadaan justice collaborator hanya
digunakan sebagai sarana negoisasi para narapidana agar dapat lolos dari
jeratan hukum dan opini yang tersebar mengatakan bahwa ini adalah
wujud ketidakmampuan KPK dalam menangani kasus korupsi. Namun
kiranya kita perlu melihat sisi kemanfaatan dari keberadaan justice
collaborator sebagai salah satu langkah yang luar biasa. Mungkin KPK
107
akan mampu mengusut kasus korupsi tanpa bantuan justice collaborator
sekalipun sangat mungkin bahwa hal itu memakan waktu yang cukup
lama, sedangkan keuangan dan stabilitas negara tidak dapat ditempatkan
dalam kondisi yang tidak pasti karena dapat mengganggu laju
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di negara itu sendiri. Selain
itu, besar kemungkinan bahwa aparat penegak hukum tidak akan
menemukan ujung dari permasalahan ini, sehingga kasus ini nantinya
terbengkalai dan menguap begitu saja tanpa penyelesaian. Adapun
beberapa urgensi dari justice collaborator adalah :
a. Membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat bukti
dan tersangka lain yang signifikan.
Justice collaborator dan whistle blower adalah langkah strategis
untuk mempercepat pengungkapan tindak pidana terorganisir seperti
tindak pidana korupsi ini dan memudahkan pelaku untuk menempuh
jalan taubat. Keberadaan justice collaborator sangat potensial
membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat bukti
dan tersangka lain yang signifikan sehingga penyidikan dan
pemeriksaan dapat berjalan efektif karena dia adalah orang yang
pernah terlibat dalam organisasi kejahatan dan telah melakukan suatu
tindak pidana.
108
b. Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana
Indonesia untuk mengatasi kemacetan prosedural dalam
pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit pembuktiannya.
Menurut Firman Wijaya54, justice collaborator merupakan bentuk
peran serta masyarakat yang tumbuh dari suatu kesadaran membantu
aparat penegak hukum mengungkap tindak pidana yang tidak banyak
diketahui orang dan melaporkannya kepada aparat penegak hukum.
Justice collaborator memiliki peran dalam mengungkap suatu kasus.
Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana
Indonesia guna mengatasi kemacetan prosedural dalam
pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit pembuktiannya.
Para pelaku kejahatan terorganisir ini seringkali sulit dapat diproses
secara hukum karena terlalu sedikit bukti-bukti yang dapat diajukan,
belum lagi tidak adanya kesaksian yang mampu memberatkan posisi
pelaku utama kejahatan terorganisir.
Di dalam praktik peradilan aparat hukum seringkali menemukan
berbagai kendala yuridis dan non-yuridis untuk mengungkap tuntas
dan menemukan kejelasan suatu tindak pidana, terutama
menghadirkan saksi-saksi kunci dalam proses hukum sejak penyidikan
sampai proses pengadilan. 55 Orang enggan menjadi justice
54 Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 16.
55 Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 19.
109
collaborator karena masalah ketakutan: menjadi justice collaborator
beresiko amat berbahaya. Oleh karena itu dapat dipahami jika orang
memilih diam dan tidak mau mengungkap atau melaporkan suatu
tindak pidana.56
c. Justice collaborator bertujuan untuk memudahkan pembuktian dan
penuntutan serta dapat mengungkap tuntas suatu tindak pidana
terutama yang berkaitan dengan organisasi kejahatan.
Skandal kejahatan dalam kasus tindak pidana korupsi kita ketahui
tidak mudah pembuktiannya. Maksudnya ialah tidak mudah penyidik
atau jaksa menemukan bukti kesaksian atau bukti tertulis karena para
pelaku melakukan kejahatannya dengan rapi dan terorganisir. Dalam
konteks ini, kasus korupsi di Indonesia yang tidak pernah dilakukan
sendirian melainkan bersifat kolektif, keberadaan justice collaborator
merupakan celah hukum yang diharapkan memperkuat pengumpulan
alat bukti dan barang bukti di persidangan. Tidak ada jalan lain untuk
keluar dari cara-cara konvensional pengungkapan kasus semacam ini
kecuali menggunakan instrumen baru sebagai alat bantu dalam proses
hukum pidana.57 Bisa dibayangkan jika tak ada justice collaborator,
para terdakwa atau saksi akan menjawab tidak tahu atau lupa
mengingat hingga saat ini para pelaku tindak pidana korupsi yang
56 Ibid
57 Firman Wijaya, Op. Cit, hlm. 62.
110
sudah masuk dalam tahap pembuktian di pengadilan, sebagian besar
tidak mengakui perbuatannya, memberikan keterangan yang bertele-
tele dan tidak masuk akal, seperti kasus lain yang belakangan muncul
di Indonesia.
Walaupun justice collaborator memiliki peranan yang penting dalam
pengungkapan tindak pidana korupsi, masih ada permasalahan dalam
tingkat peraturan perundang-undangan di Indonesia karena terkait justice
collaborator dari segi kriteria justice collaborator maupun perlindungan
hukumnya belum ada pengaturannya secara khusus dalam undang-undang.
Program perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator yang
tertuang dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban belum memadai sebagai landasan/ pijakan
hukum bagi aparat hukum untuk memberikan perlindungan hukum.58 Hal
ini merupakan sesuatu yang penting, bagaimanapun kita berbicara tentang
pentingnya justice collaborator namun belum diatur dalam undang-
undang, semuanya akan kurang berarti karena implementasi dalam
peradilan akan cukup sulit karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Maka dari itulah diperlukan political will yang kuat dari semua pihak yang
berkepentingan untuk mengimplementasikan justice collaborator
khususnya dalam tindak pidana korupsi.
1.3 Kosasih Abbas Sebagai Justice Collaborator
58 Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 35.
111
Dalam kasus korupsi pengadaan dan pemasangan Solar Home
System dalam Ditjen LPE Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
yang dilakukan oleh Terdakwa I Ir. Jacob Purwono dan Terdakwa II Ir.
Kosasih Abbas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan
Terdakwa II yaitu Ir. Kosasih Abbas sebagai justice collaborator karena
Terdakwa II bersikap kooperatif dalam membantu jalannya penyidikan.
Dalam hal ini, Kosasih Abbas ditetapkan oleh KPK sebagai justice
collaborator karena sudah memenuhi prasyarat menjadi justice
collaborator yang tertera dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku
yang Bekerjasama (justice collaborator).
Kosasih Abbas berperan penting dalam terungkapnya Kasus Korupsi
Pengadaan dan Pemasangan Solar Home System di Ditjen LPE
Departemen ESDM. Terdakwa II ini membantu Jaksa Penuntut Umum
(dalam hal ini ialah dari KPK) dalam mengungkap kasus tersebut. Seperti
diketahui, Kosasih memang secara terus terang menyesali perbuatannya
dan mengaku bersalah karena telah menerima sejumlah uang,
mengembalikan uang hasil kejahatannya, tidak melarikan diri dan
mengikuti semua proses hukum sangat memudahkan aparat penegak
hukum dan hakim untuk menjangkau semua pelaku tindak pidana tersebut
dan memperkecil kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Bahkan,
Kosasih mengatakan telah mempertaruhkan nyawanya karena
mengungkapkan sederet nama-nama besar yang diduga terlibat dalam
112
permainan proyek SHS ini, ia mengungkapkan beberapa informasi penting
seputar perkara korupsi pengadaan SHS tahun 2007-2008 tersebut.
Kosasih memaparkan bahwa dia mendapatkan dua arahan dari Dirjen LPE,
Jacob Purwono yang juga terdakwa dalam kasus yang sama. Arahan
pertama, karena adanya persoalan internal yang berbarengan dengan
pembahasan RUU Ketenagalistrikan. Persoalan internal yang dimaksud
bahwa Ditjen LPE tidak memiliki dana untuk menganggarkan ke anggota
dewan agar meloloskan RUU tersebut. Maka itu, diperintahkan agar
menerima apabila ada rekanan proyek yang memberikan uang. Kemudian,
dia diminta memenangkan perusahaan tertentu dalam proyek SHS. Dari
perusahaan-perusahaan yang diminta dimenangkan, ada yang dimiliki
anggota dewan ada pula yang dimiliki perusahaan lain. Setelah menerima
dua arahan, Kosasih diberikan selembar kertas disposisi berwarna kuning
oleh Jacob yang berisikan nama-nama anggota dewan dan perusahaan
yang direkomendasikan terkait dua arahan tersebut.59
Dari fakta hukum yang ada, pengungkapan yang dilakukan Kosasih
Abbas memang tepat dikatakan sebagai justice collaborator karena ia
sosok yang mengungkapkan pertama kali bahwa ada tindak pidana
terorganisir, dengan maksud dan tujuan tertentu yang karena jabatannya
mampu mengubah sesuatu atau dapat merugikan kekayaan Negara atau
perekonomian Negara. Dia turut terlibat dalam tindak pidana korupsi ini
59 http://www.suarapembaruan.com/home/ditetapkan-sebagai-justice-collaborator-
kosasih-dituntut-lebih-ringan/29552 diakses pada tanggal 23 Maret 2013
113
yang memenuhi unsur-unsur pedoman bagi seorang justice collaborator,
Kosasih Abbas tidak dapat dikatakan sebagai seorang whistle blower
karena ia juga turut terlibat dalam tindak pidana korupsi yang ia ungkap.
Apa yang dilakukan oleh Kosasih memang membantu jalannya
penyidikan dan membantu KPK dalam mengusut tuntas Kasus Korupsi
pengadaan dan pemasangan SHS di Ditjen LPE Departemen ESDM Tahun
2007-2008. Kosasih sudah sepantasnya diberikan penghargaan atas apa
yang telah dilakukannya yaitu berani mengungkap kebenaran Kasus
Korupsi pengadaan dan pemasangan SHS tersebut.
2. Pertimbangan hakim dalam memutus seorang terdakwa yang
sekaligus merupakan justice collaborator dalam Putusan No.
59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst
2.1 Perlindungan Justice Collaborator di Indonesia
Whistle blower dan justice collaborator merupakan seseorang yang
mengungkap suatu kebenaran/ melaporkan suatu tindak pidana yang
bersifat terorganisir dan serius seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana
narkotika, tindak pidana pencucian uang, terorisme, perdagangan orang,
dan lain-lain. Dengan adanya whistle blower dan justice collaborator,
pengungkapan kasus tindak pidana korupsi akan semakin mudah. Selain
diperlukan untuk proses pemberantasan tindak pidana korupsi, juga
sebenarnya bisa digunakan sebagai salah satu upaya untuk pencegahan
tindak pidana korupsi.
114
Namun, hingga saat ini negara belum memberikan penghargaan dan
perlindungan maksimal kepada para justice collaborator di Indonesia.
Program perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator yang
tertuang dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban belum memadai sebagai landasan/ pijakan
hukum bagi aparat hukum untuk memberikan perlindungan hukum.60
Bahkan, banyak justice collaborator juga menerima hukuman yang sama
dengan para tersangka/terdakwa lainnya. Artinya, perannya untuk
mengungkap kejahatan secara lebih luas, lebih dalam, lebih cepat sama
sekali tidak diperhitungkan sama sekali oleh para penegak hukum terutama
peraturan yang mengaturnya. Saksi dan/ atau korban dengan kriteria
tertentu, yaitu mempunyai keterangan yang sangat penting dalam
pengungkapan peristiwa suatu tindak pidana serta mengalami ancaman
yang sangat membahayakan jiwa saksi dan/atau korban tersebut, perlu
dipenuhi hak dan jaminan perlindungan hukumnya.61
Seharusnya tidak semua justice collaborator harus dihukum
sekalipun sanksi hukumnya tetap diterapkan. Jika itu adalah kasus
kejahatan kemanusian seperti terorisme, pembunuhan, perdagangan
manusia, bila dia bisa menjadi justice collaborator, dan perannya tidak
60 Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 35.
61 Lies Sulistiani, et. Al, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, hlm. 1-2.
115
secara signifikan berhubungan langsung dengan subyek korban, maka
mereka perlu diperlakukan secara berbeda, sekalipun tetap dihukum.
Khususnya, pada kasus korupsi, dimana pidana kurungan bagi
terpidana kasus korupsi yang juga adalah seorang justice collaborator
sangatlah tidak tepat. Sebaiknya untuk konteks Indonesia, tersangka kasus
korupsi yang juga adalah seorang justice collaborator harus diperlakukan
secara istimewa dan hukumannya berbeda. Hukuman kurungan bagi
seorang justice collaborator menyebabkan banyak orang yang tutup mulut
dan tidak mau memberikan kesaksian yang sebenarnya karena ia
mengetahui ia tetap akan dihukum dengan pidana kurungan nantinya
apabila ia bersaksi. Pada dasarnya, para saksi, korban dan pelapor tidak
berani memberikan keterangan apa yang dia lihat dan alami karena
ancaman tekanan dan intimidasi bahkan terancam keselamatan jiwanya,
sementara itu tindak pidana serius tersebut menimbulkan masalah dan
ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi, perdagangan ancaman dan
ketertiban masyarakat, sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai nilai
demokrasi, dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan
dan supremasi hukum.62
Suatu pengungkapan atau kesaksian kebenaran dalam suatu
scandal crime ataupun serious crime oleh justice collaborator jelas
62Djoko Sarwoko, 2011, “Reward bagi “Whistle Blower“ (Pelapor Tindak Pidana) Dan
“Justice Collaborator” (Saksi Pelaku yang Bekerja Sama) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu”, Makalah Tuada Pidsus dalam Rakernas Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia, hlm. 12.
116
merupakan ancaman nyata bagi pelaku kejahatan63. Pelaku kejahatan
akan menggunakan berbagai cara untuk membungkam dan melakukan
aksi pembalasan sehingga kebijakan perlindungan seharusnya bersifat
prevensial (mencegah sebelum terjadi). Kehadiran justice collaborator
memang sulit dibantah dapat menjadi alat bantu, sekalipun seorang
justice collaborator berani mengambil resiko yang sangat berbahaya bagi
keselamatan fisik maupun psikis dirinya, dan keluarganya, resiko
terhadap pekerjaan dan masa depannya.64
Maka perlu dirancang landasan hukum maupun bentuk-bentuk
perlindungan hukum yang kuat dan skema perlindungan yang jelas dan
terukur bagi justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana
tertentu khususnya tindak pidana korupsi terutama di lingkungan aparat
publik yang terkait dengan mal administrasi, penyalahgunaan kekuasaan,
korupsi, dan yang membahas kepentingan umum. Dalam realitasnya
justice collaborator seringkali kurang mendapatkan perlindungan hukum
dalam proses hukumnya.
Berdasarkan penjabaran diatas sangatlah patut adanya perlindungan
hukum bagi justice collaborator dalam mengungkap fakta tindak pidana
korupsi di Indonesia. Terhadap orang-orang yang kritis dan berani
mencegah dan mengungkap korupsi yang telah ia lakukan bersama rekan-
rekannya, kebalikannya seringkali diberikan sanksi dengan merekayasa
seolah-olah yang bersangkutan melakukan perbuatan indisipliner atau
63 Firman Wijaya, Op.Cit, hlm. 4264 Ibid.
117
perbuatan melawan hukum. Justice collaborator perlu diberikan
perlindungan hukum, sehingga ia tidak selalu menjadi korban dengan
harapan justice collaborator yang lain mampu bekerjasama dan
mempermudah aparat hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana
korupsi guna menemukan alat bukti serta menangkap tersangka yang lain.
2.2 Penjatuhan Putusan Kosasih Abbas oleh Majelis Hakim
Dalam kasus korupsi pengadaan dan pemasangan Solar Home
System dalam Ditjen LPE Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
yang dilakukan oleh Terdakwa I Ir. Jacob Purwono dan Terdakwa II Ir.
Kosasih Abbas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan
Terdakwa II yaitu Ir. Kosasih Abbas sebagai justice collaborator melalui
Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 756/01-
55/12/2012 tertanggal 20 Desember 2012 karena Terdakwa II bersikap
kooperatif dalam membantu jalannya penyidikan. Majelis Hakim
menjatuhkan putusan kepada Terdakwa II ini yaitu:
1. Menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun,
2. Denda Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta) dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti
dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Sedangkan tuntutan Penuntut Umum ialah:
1. Menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun,
118
2. Denda sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
Putusan yang diberikan kepada Jacob Purwono (Terdakwa I)
berkurang dari tuntutan Penuntut Umum yang semula dituntut berupa:
1. Pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun,
2. Pidana denda sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
subsidair 6 bulan kurungan.
Kemudian diputus oleh Majelis Hakim berupa:
1. Pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun,
2. Pidana denda sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka
diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.
Tuntutan Penuntut Umum Putusan Hakim
Jacob
Purwono
1. Pidana Penjara 12 tahun 1. Pidana Penjara 9
tahun
2. Denda Rp
500.000.000,00 subsidair 6
bulan kurungan
2. Denda Rp
300.000.000,00 dengan
ketentuan apabila tidak
dibayar diganti dengan 6
bulan kurungan
Kosasih Abbas 1. Pidana penjara 4 tahun 1. Pidana penjara 4 tahun
2. Denda Rp
250.000.000,00 subsidair 3
2. Denda Rp
150.000.000,00 dengan
119
bulan kurungan ketentuan apabila tidak
dibayar diganti dengan 3
bulan kurungan
Hal ini dirasa tidak adil, terlebih apabila melihat pada pertimbangan
hakim dalam Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan pada diri
Terdakwa, yaitu:
Hal-hal yang memberatkan :
- Terdakwa I :
- Perbuatan Terdakwa I kontraproduktif bagi upaya pemberantasan
korupsi di tanah air ;
- Terdakwa I tidak memberi teladan bagi jajarannya dalam
kedinasan ;
- Terdakwa I tidak merasa bersalah atas perbuatannya ;
- Terdakwa II :
- Perbuatan Terdakwa II kontraproduktif bagi upaya pemberantasan
korupsi di tanah air ;
- Terdakwa II tidak berani menolak arahan yang tidak benar dari
atasannya, sehingga terjadi tindak pidana tersebut ;
Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa I :
- Terdakwa I berlaku sopan di depan persidangan ;
- Terdakwa I masih mempunyai tanggungan keluarga ;
120
- Terdakwa I telah mengabdikan diri dan memperoleh penghargaan
Satya Lencana dari Negara ;
- Terdakwa II :
- Terdakwa II mengakui perbuatannya dan berterus terang di depan
persidangan sehingga berperilaku kooperatif ;
- Terdakwa II telah mengabdikan diri pada Negara sebagai Pegawai
Negeri Sipil yang cukup lama ;
- Terdakwa II berlaku sopan di persidangan ;
- Terdakwa II masih mempunya tanggungan keluarga.
Dapat dilihat bahwa putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim kepada
Terdakwa II (Kosasih Abbas) tidak jauh berbeda dengan tuntutan Penuntut
Umum, padahal disini Terdakwa II berperan sebagai justice collaborator.
Majelis Hakim hanya menuliskan bahwa terdakwa II berperilaku
kooperatif, padahal posisi justice collaborator mempunyai makna lebih
dari sekedar berperilaku kooperatif, melainkan sebagai seseorang yang
paling berperan dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi. Jaksa
Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi telah memberi
apresiasi kepada terdakwa Kosasih Abbas dengan memberi tuntutan lebih
ringan karena dianggap telah bekerjasa sama dalam mengungkapkan kasus
sejak penyidikan. Hendaknya, apresiasi ini berlanjut hingga menjadai
pertimbangan Majelis Hakim dalam menetapkan keputusan hukuman
ringan bagi mereka yang telah bersedia menjadi justice collaborator.
121
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, justice collaborator pantas
diberikan penghargaan sebagai seseorang yang telah berani mengungkap
kebenaran dalam suatu kasus tindak pidana tertentu (dalam hal ini tindak
pidana korupsi). Namun, dalam kasus Kosasih Abbas, Majelis Hakim tidak
terlihat memberikan penghargaan kepada Kosasih Abbas sebagai justice
collaborator yang mana telah bersedia mengungkap perkara yang
dinyatakan merugikan keuangan negara sebesar 80 miliar rupiah. Majelis
Hakim sama sekali tak menyinggung dalam pertimbangan putusan akan
status terdakwa II sebagai justice collaborator. Hal ini dapat memberikan
dampak negatif bagi perkembangan justice collaborator di Indonesia.
Tindakan majelis hakim ini dapat menurunkan keberanian orang untuk
menjadi justice collaborator, para pelaku tindak pidana korupsi yang ingin
mengungkap kejahatannya sendiri sebagai justice collaborator akan
mengendurkan semangatnya karena tidak ada perbedaannya seseorang
menjadi justice collaborator maupun tidak.
2.3 Majelis Hakim dalam Memperhatikan SEMA No. 4 Tahun
2011
Sebagai seorang justice collaborator, Kosasih Abbas dilindungi oleh
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban (UU PSK). Hakim pun terikat untuk memberikan putusan yang
berpihak pada justice collaborator. Apalagi karena Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor
Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama
122
(Justice Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (SEMA
4/2011), memandatkan hal tersebut.
Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara jelas menyebutkan:
(1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
(2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Ketentuan Pasal 10 tersebut secara essensial mengadopsi kedudukan
whistle blower dan justice collaborator dan bentuk jaminan hukum bagi
saksi yang mungkin sekaligus tersangka/ terdakwa dapat diberikan reward
berupa pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan
kepadanya apabila kelak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.
Politik hukum pidana yang hendak dibangun adalah adanya kepastian
hukum pemberian reward dan punishment bagi kesaksian yang sangat
bernilai atau penting bagi pengungkapan kasus-kasus berbau skandal dan
kasus-kasus serius, sementara kesaksian dimiliki oleh seseorang yang
berkedudukan sebagai tersangka/ terdakwa.65 Artinya, Kosasih berhak
memperoleh putusan yang meringankan dirinya sebagai seorang justice
collaborator, karena telah membantu mengungkapkan pelaku utama
perkara korupsi.
65 Firman Wijaya, Op.Cit, hlm. 29.
123
Surat Edaran Mahkaman Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku
yang Bekerjasama (justice collaborator) seharusnya dijadikan dasar bagi
hakim dalam menjatuhkan putusan, terlebih apabila terdakwa memiliki
status sebagai whistle blower atau justice collaborator. Hakim harus
memiliki pemahaman atas SEMA ini, dan memberikan apresiasi bagi
terdakwa yang juga sekaligus sebagai justice collaborator. Dalam angka 7
SEMA ini, disebutkan :
“Dengan merujuk pada nilai-nilai di dalam ketentuan tersebut diatas, dengan ini Mahkamah Agung meminta kepada Para Hakim agar jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya”.
Begitu pula dalam angka 9 huruf (c) SEMA ini, disebutkan :
“Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud diatas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut:
i. menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atauii. menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling
ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.
Dalam pemberian perlakuan khusus dalam membentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.”
Penuntut Umum menuntut Terdakwa II karena terbukti melanggar
Pasal 2 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun,
124
yang merupakan pidana minimum khusus pada pasal tersebut.
Menariknya, hakim menggunakan pasal 3 Undang- Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (pidana
minimum khususnya adalah 1 (satu) tahun penjara), namun menjatuhkan
pidana penjara 4 tahun. Dapat kita lihat Pasal 3 tersebut berisikan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Kosasih memang divonis lebih ringan dari terdakwa lainnya yaitu
Jacob Purwono yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi, tapi
tidak cukup melindungi dirinya dari vonis hakim. Hakim memang
memiliki kewenangan dalam menjatuhkan putusan seorang terdakwa
bersalah atau tidak, namun memang seharusnya Hakim harus memberikan
apresiasi kepada justice collaborator, Hakim seharusnya berani
menjatuhkan vonis paling ringan. Dalam tuntutannya, Penuntut Umum
menuntut Kosasih dengan pidana penjara selama 4 tahun karena terbukti
melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Menariknya, Majelis Hakim memutus Kosasih melanggar Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
125
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana
Pasal 3 ini memberikan pidana penjara paling sedikit selama 1 tahun,
namun Majelis tetap memutus pidana penjara selama 4 tahun. Setidaknya,
Majelis Hakim bisa lebih cermat dalam memberikan putusannya
berdasarkan Asas Keadilan, Asas kepastian, dan Asas Kemanfaatan.
Majelis hakim disini terlalu formalis dan positivistik, terlalu
mengutamakan asas kepastian. Seharusnya yang dilihat adalah asas
manfaatnya, bahwa peran Kosasih telah mampu mengungkap kasus ini
dengan terang dan jelas.
Vonis terhadap Kosasih Abbas menunjukkan bahwa Hakim belum
serius mempertimbangkan peran para justice collaborator dan
whistleblower. Ketiadaan kepastian tentang perlindungan bagi mereka
justru memutus partisipasi publik dalam mengungkap perkara korupsi,
karena dapat terjadi para saksi maupun saksi pelaku yang ingin bekerja
sama enggan mengungkap perkara korupsi karena tidak disertai dengan
perlindungan hukum atau reward yang pantas bagi mereka. Pada
prinsipnya, tidak mudah seorang tersangka atau terdakwa untuk memiliki
keinginan menjadi justice collaborator karena akan banyak risiko yang
dihadapi.
Nantinya, seorang justice collaborator perlu dihukum dengan
mengembalikan semua uang hasil korupsi kepada negara dan membayar
sejumlah denda yang pantas sesuai undang-undang serta dibebaskan dari
hukuman kurungan. Bila hal ini bisa dilakukan, sangat mungkin akan
126
banyak kasus korupsi yang terbongkar dengan cepat, mudah, murah.
Dampak lainnya adalah tingkat korupsi di Indonesia akan semakin kecil.
127
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan diatas maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Urgensi Justice Collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana
korupsi dalam Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst yaitu :
a. Membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat
bukti dan tersangka lain yang signifikan sehingga penyidikan dan
pemeriksaan dapat berjalan efektif.
b. Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan
pidana Indonesia untuk mengatasi kemacetan prosedural dalam
pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit
pembuktiannya.
c. Memudahkan pembuktian dan penuntutan serta dapat mengungkap
tuntas suatu tindak pidana terutama yang berkaitan dengan
organisasi kejahatan.
2. Majelis Hakim memberikan vonis putusan yang terlalu tinggi untuk
terdakwa II, dan juga tidak mempertimbangkan Kosasih sebagai justice
collaborator dalam hal-hal yang meringankan bagi terdakwa II dalam
128
Putusan No. 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst. Majelis Hakim hanya
menuliskan bahwa terdakwa II bersikap kooperatif, padahal posisi
justice collaborator mempunyai makna lebih dari sekedar bersikap
kooperatif, melainkan sebagai seseorang yang berperan dalam
mengungkap kasus tindak pidana korupsi.
B. Saran
1. Sebaiknya aparat penegak hukum memberikan kepastian hukum
(penghargaan negara) terhadap justice collaborator yang berani
mengungkap jaringan kejahatan terorganisir. Dari segi kuantitas
penerapannya masih minim dan masih ditingkat pusat.
2. Para hakim di Indonesia harus memperhatikan dan
mengimplementasikan SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi
Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama (justice collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana
Tertentu, walaupun Hakim memiliki kewenangan memutus, namun harus
diperhatikan pula asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
129
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur :
Adami Chazawi. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni.
Djaja, Ermansjah. 2009. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika.
Munir Fuady. 2006. Teori Hukum Pembuktian, Pidana dan Perdata. Bandung: Citra Aditya
Hamzah, Andi. 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.
____________. 2000. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
____________. 2001. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi.Jakarta: Ghalia Indonesia.
____________. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika
____________. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika
________________. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.
Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
130
Ilias, Chatzis. et, Al. Praktik Terbaik Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta. 2010
Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Nugroho, Hibnu. 2012. Intergralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta: Media Prima Aksara.
Pangaribuan, Luhut MP. 2005. Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat. Jakarta: Djambatan.
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Rineka Cipta.
Prinst, Darwin. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Praktik, cet 3. Jakarta: Djambatan.
Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Salami, Mochamad Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana dan Praktik. Bandung:Mandar Maju.
Sarwoko, Djoko. 2011. “Reward bagi “Whistle Blower“ (Pelapor Tindak Pidana) Dan “Justice Collaborator” (Saksi Pelaku yang Bekerja Sama) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu”. Makalah Tuada Pidsus dalam Rakernas Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia, Jakarta 2011.
Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana di Indonesia dalam Sirkus HukumCet.I. Bogor: Ghlmia Indonesia.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Suhandi Cahaya dan Surachmin. 2011. Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui untuk Mencegah. Jakarta: Sinar Grafika.
Sulistiani, Lies. et. Al, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
131
Waluyadi. 1999. Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus). Bandung: Mandar Maju.
Wijaya, Firman. 2008. Peradilan Korupsi Teori dan Praktik. Jakarta: Maharani Press.
____________. 2012. Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum. Jakarta: Penaku
B. Jurnal
Nixson, Syafruddin Kalo, Tan Kamello, dan Mahmud Mulyadi. “Perlindungan Hukum Terhadap Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Universitas Sumatera Utara Law Journal, Vol. II-No.2 (Nov 2013), Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara..
Ridwan, “Pembaharuan Hukum Pidana dalam Kerangka Hukum yang Berkeadilan Berdasarkan Kultur Hukum Indonesia”, Jurnal Ilmiah Media Hukum, Vol.. 18 No. I, Juni 2011, Yogyakarta: Fakultas Hukum UMY.
Abdul Haris Semendawai, “Revisi Undang-Undang No.13 tahun 2006, Momentum Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Tahun 2011, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Supriyadi Widodo Ediyono, “Melihat Prospek Perlindungan “Pelaku yang Bekerjasama” di Indonesia”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Tahun 2012, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
C. Peraturan Perundang-Undangan :
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
________, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
________, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
132
D. Internet
Indonesia Corruption Watch. 2013. Catatan Pemantauan Perkara Korupsi yang Divonis oleh Pengadilan Selama Tahun 2013. Diakses melalui www.antikorupsi.org pada tanggal 11 Maret 2014.
Putri, Narila. 2012. Agus Condro: Pengungkapan Korupsi Melalui Justice Collaborator. Diakses melalui http://hukum.kompasiana.com/2012/06/11/agus-condro-pengungkapan-korupsi-melalui-justice-collaborator-463901.html pada tanggal 10 Juni 2014.
http://www.suarapembaruan.com/home/ditetapkan-sebagai-justice-collaborator-
kosasih-dituntut-lebih-ringan/29552 diakses pada tanggal 23 Maret 2013
E. Sumber Lainnya :
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Preamble The States Parties to this Convention of United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, 2003).
Fausto Zucarelli, Handling and Protection Witnesses and Collaborations of Justice, the Italian Experience, disampaikan pada International Seminar on the Protection of Whistle Blower as Justice Collaborator, di Jakarta, 09 Juli 2011