uu asn
DESCRIPTION
analisis uu asnTRANSCRIPT
A. PENDAHULUAN
Perbaikan kinerja aparat pelayanan publik merupakan suatu keharusan
jika dikaitkan dengan perkembangan dan tuntutan kontemporer seperti
globalisasi atau liberalisasi perdagangan, good governance, profesionalisme,
transparansi, akuntabilitas, penegakan etika dan moral dalam penyelenggaraan
pelayanan publik (Milakovich and Gordon, 2007 dalam jurnal Merit System
dalam manajemen pegawai negeri sipil oleh Arief Daryanto).
Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan salah satu SDM yang memerlukan
penerapan sistem penilaian kinerja (prestasi kerja) melalui merit sistem.
Mengingat, keberadaan PNS sangat dibutuhkan dalam rangka pemberian
pelayanan umum kepada masyarakat. PNS sebagai aparatur negara masih
memiliki kinerja yang rendah. Hal ini didasarkan pada kompetensi dan
produktivitas PNS yang masih rendah dan perilaku yang rule driven, paternalistik
dan kurang profesional.
PNS sebagai SDM yang bertugas melayani kepentingan publik sudah
semestinya memiliki kualitas yang baik agar mampu menjalankan tugasnya
secara tepat dan benar. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang mampu
meningkatkan produktivitas dan prestasi kerjanya.
Atas dasar belum berjalannya pelaksanaan manajemen aparatur sipil
negara berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang
diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon
dalam rektrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan
sejalan dengan tata kelola pemerintah yang baik, mendorong lahirnya Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(ASN). Undang-undang ini berisikan tentang pengelolaan ASN dalam upaya
untuk mengahasilkan pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika,
bebas dari intervinsi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
dengan menerapkan merit sistem.
B. Problem yang Dihadapi Saat Ini dalam Kebijakan (policy) dan manajemen ASN di Indonesia
1. Pelaksanaan merit sistem di Indonersia
Lampiran I Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Lingkungan Instansi Pemerintah, berisikan
pedoman bagi instansi pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan
1
pengisian jabatan pimpinan tinggi utama, madya dan pratama secara terbuka
dengan menggunakan merit sistem. Tujuannya adalah terselenggaranya seleksi
calon pejabat pimpinan tinggi utama, madya dan pratama yang transparan,
obyektif, kompetitif dan akuntabel.
Yang dimaksud dengan merit sistem dalam peraturan menteri PAN dan RB
Nomor 13 Tahun 2014 adalah kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan
pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa
membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis
kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.
Hal-hal yang dapat digaris bawahi berhubungan dengan merit sistem
dalam tata cara pengisian jabatan pimpinan tertinggi di lingkungan pemerintah
dalam peraturan menteri PAN dan RB tersebut, antara lain :
1) Dalam Tahap Persiapan, dibentuk panitia seleksi dengan syarat anggota
memiliki pengetahuan/pengalaman sesuai dengan jenis, bidang tugas, dan
kompetensi jabatan yang lowong. Kemudian disusun dan ditetapkan standar
kompetensi untuk calon pengisi jabatan yang lowong.
2) Dalam Tahap Pelaksaan :
a. Pengumuman lowongan jabatan dilakukan secara terbuka, dalam
pengumuman tersebut juga memuat tentang adanya prasyarat :
pernyataan integritas calon pengisi jabatan yang lowong, jejang
pendidikan yang sesuai, dan pengalaman jabatan yang terkait dengan
jabatan yang akan diliamar minimal lima tahun.
b. Dalam seleksi administrasi, menggunakan kriteria perundang-undangan
dan peraturan internal instansi yang ditetapkan oleh pejabat pembina
kepegawaian masing-masing.
c. Dalam seleksi kompetensi :
a) Untuk penilaian kompetensi manajerial, perlu adanya assessment
center atau jika belum bisa dilaksanakan secara lengkap dapat
menggunakan metode psikometri, wawancara kompetensi, analisis
kasus atau presentasi.
b) Untuk penilaian kompetensi bidang menggunakan metode tertulis dan
wawancara.
3) Dalam Tahao Penelusuran (Rekam Jejak) Calon, perlu dilakukan uji publik
bagi jabatan yang dipandang strategis jika diperlukan.
4) Instansi Pemerintahan juga dapat menyelenggarakan promosi jabatan secara
terbuka bagi Jabatan Administrator, Pengawas atau jabatan strategis lainnya
2
sesuai dengan kebutuhan instansi, apabila di lingkungan internal instansi
tersebut tidak terdapat SDM yang memenuhi syarat kompetensi yang
dibutuhkan.
5) Pejabat Pimpinan Tinggi yang telah menduduki jabatan lima tahun atau lebih
harus dilakukan penilaian kembali terkait dengan komptetensi dan jabatan
yang diduduki.
6) Pejabat Pembina Kepegawaian dapat menyampaikan permohonan kepada
Presiden untuk membuka kesempatan bagi nonPNS, Prajurit TNI dan Anggota
Polri untuk mengikuti seleksi terbuka dan kompetitif jabatan-jabatan
pimpinan tinggi.
2. Representasi Birokrasi dalam Merit Sistem (Kebijakan afirmasi) terhadap
Kekhususan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
memandang ASN sebagai sebuah profesi, bukan hanya sekedar pegawai, oleh
karena itu dibutuhkan kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan sesuai dengan
jabatan yang diduduki sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. ASN
juga berkewajiban untuk mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib
mempertanggungjawabkan kinerjanya. Dalam hal pengembangan karier, pasal
69 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengembangan Karier PNS dilakukan
berdasarkan kualifikasi, kompetensi, penilaian kinerja, dan kebutuhan Instansi
Pemerintah.
Selain hal di atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara juga mengatur mengenai :
1) Pasal 25 ayat (2) point (b) menyatakan bahwa, KASN, berkaitan dengan
kewenangan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan
manajemen ASN untuk menjamin perwujudan Sistem Merit serta
pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku
ASN.
2) Pasal 28, menyebutkan tujuan dari KASN, antara lain :
a. Menjamin terwujudnya Sistem Merit dalam kebijakan dan manajemen
ASN;
b. Mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja tinggi, sejahtera, dan
berfungsi sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. Mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif, efisien,
dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme;
3
d. Mewujudkan pegawai ASN yang netral dan tidak membedakan
masyarakat yang dilayani berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan;
e. Menjamin terbentuknya profesi ASN yang dihormati pegawainya dan
masyarakat;
f. Mewujudkan ASN yang dinamis dan berbudaya;
3) Untuk tujuan menjaga kode etik profesi dan standar pelayanan profesi ASN,
serta mewujudkan jiwa korps ASN sebagai pemersatu bangsa, maka menurut
pasa 126 ayat (1) Pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps profesi
Pegawai ASN Republik Indonesia.
4) Pasal 127 ayat (1) berbunyi bahwa Untuk menjamin efisiensi, efektifitas dan
akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem
Informasi ASN. Informasi ASN tersebut memuat seluruh informasi data
pegawai ASN.
Dari isi Undang-undang Nomor 5 tentang Aparatur Negara dapat ditarik
kesimpulan bahwa dengan dilaksanakannya merit sistem dalam pengelolaan
ASN diharapkan birokrasi akan lebih profesional dan lebih netral karena birokrasi
dijalankan oleh personel-personel yang sesuai dengan keahlian dan memiliki
kompetensi yang tinggi karena memang direkrut dengan cara-cara yang
profesional dan pelaksanaan manjemen ASN tersebut juga diawasi oleh sebuah
kelembagaan yang bernama KASN.
3. Intervensi Politik dalam Birokrasi
Pada dasarnya politik sangat erat kaitannya dengan kekuasaan (power).
Politik merupakan sarana untuk memaksakan kehendak suatu pihak kepada
pihak lain dengan cara-cara tertentu. Sedangkan birokrasi secara etimologi
dapat didefinisikan sebagai kantor atau organisasi pemerintah. Selanjutnya, Max
weber mengemukakan bahwa tipe ideal birokrasi ditujukan untuk menunjang
efisiensi dan efektivitas organisasi, dimana birokrasi merupakan konsekuensi
logis dari kehidupan yang demokratis yang menghendaki objektivitas dan
konsistensi kebijakan.
Wilson (1887-1941) dan Goodnow (1990), menyatakan bahwa politik dan
birokrasi merupakan dua ranah institusi yang berbeda, dimana politik ada dalam
ranah kebijakan (policy) dan birokrasi di ranah administrasi (administration).
Perbedaan kedua institusi tersebut tentunya akan melahirkan pola relasi yang
dinamis. Pola relasi yang dinamis antara politik dan birokrasi terjadi ketika ada
4
keseimbangan relasi diantara keduanya (Elip Heldan, kompasania, 24 April
2012).
Sejak era demokrasi di Indonesia, dimana terdapatnya peningkatan
lembaga politik terhadap birokrasi menyebabkan pola relasi politik dengan
birokrasi cenderung berjalan secara tidak sehat. Hal ini ditandai dengan adanya
intervensi politik dalam pelaksanaan birokrasi di Indonesia.
Secara teoritis, intervensi politik terhadap birokrasi memang sulit
dihindarkan. Elip Heldan (kompas 24 April 2012) menyebutkan terdapat
beberapa penyebab mengapa hal tersebut dapat terjadi, yaitu :
1) Masih kuatnya primordialisme politik, dimana ikatan kekerabatan, politik
balas budi, keinginan membagun pemerintahan berbasis keluarga, mencari
rasa aman, dan perilaku oportunis birokrat;
2) Mekanisme check and balance belum menjadi budaya dan belum
dilaksanakan dengan baik;
3) Kekuasaan yang dimiliki politisi cenderung untuk korup sebagaimana
dikemukakan oleh Lord Acton “power tends to corrupt”;
4) Rendahnya kedewasaan parpol dan ketergantungan tinggi terhadap
birokrasi;
5) Kondisi kesejahteraan aparat birokrat atau PNS di daerah yang rendah
cenderung melahirkan praktek rent seeking melalui aktivitas politik
tersembunyi demi mendapat income tambahan.
6) Perangkat aturan yang belum jelas dan mudah dipolitisasi, seperti lemahnya
instrumen pembinaan pegawai, kode etik belum melembaga, adanya status
kepada daerah sebagai pembina kepegawaian, dan rangkap jabatan kepala
daerah dengan ketua umum parpol.
Sebab-sebab sebagaimana dikemukakan di atas masih sangat kuat
terlihat di daerah di Indonesia. Implikasinya, kebijakan-kebijakan yang
dilaksanakan oleh pejabat birokrasi atas arahan politik banyak yang tidak sesuai
dengan mekanisme dan persyaratan yang ada, sehingga semakin menjauhkan
profesionalisme dan netralitas birokrasi.
C. Tantangan dalam Kebijakan dan Manajemen ASN
1. Peluang Bagi Non PNS untuk Menduduki Jabatan ASN
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
membuka peluang kepada non-pns untuk menduduki posisi strategis di
pemerintahan. Posisi yang dimaksud adalah untuk jabatan eselon II bahkan
eselon I. Namun, tidak semua jabatan bereselon I dan II bisa diserahkan kepada
5
non PNS, khususnya untuk instansi pemerintan yang telah menerapkan sistem
merit dalam pembinaan pegawai ASN dengan persetujuan KASN, seperti yang
dijelaskan dalam pasal 111.
Tantanganya adalah, dalam Undang-undang Nomo5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara tidak menyebutkan batasan atau prasyarat seorang non-
pns yang ingin mencalonkan diri untuk menduduki posisi jabatan pimpinan
tertinggi. Hal yang dikhawatirkan dengan masih tingginya intervensi politik pada
ranah birokrasi di Indonesia, bagaimana sistem manajemen ASN ini dapat
mengatur bahwa pengisian posisi strategis tersebut tidak mengandung unsur
politik didalamnya. Misalnya dengan memberikan batasan berupa calon yang
berasal dari non-pns tidak boleh menjadi kader partai politik selama lima tahun
sebelum melamar pada posisi jabatan tinggi negara dan manajemen kinerja
yang jelas dan tegas bagi pemangku jabatan tinggi non-pns yang tidak
berkinerja dengan baik.
2. Promosi terbuka (open bidding)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
didukung dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Apatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014 mengamanatkan bahwa pengisian
jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementrian, kesekretariatan
lembaga negara, lembaga non struktural, dan instansi daerah dilakukan secara
terbuka dan kompetitif baik di kalangan pns dan non-pns sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Pelaksanaan sistem promosi secara terbuka dilakukan melalui pengisian
jabatan yang lowong secara kompetitif dengan didasarkan pada sistem merit.
Tantangannya adalah pelaksanaan promosi terbuka tersebut harus
memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan
latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang
dibutuhkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan dilakukan pada
tingkat nasional.
Selain itu, sesuai dengan isi Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014, perlu dibentuk panitia
seleksi yang memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman sesuai dengan jenis,
bidang dan kompetensi jabatan yang lowong dan memiliki kompetensi umum
mengenai penilaian kompetensi.
6
Dua hal penting di atas merupakan hal yang harus dipersiapkan secara
matang dan terperinci agar proses promosi terbuka (oppen bidding) benar-benar
berjalan secara adil dan wajar.
3. Kepemimpinan Birokrasi Nasional di Setiap Jenjang Jabatan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN Pasal 131
menyebutkan bahwa pada saat Undang-Undang ASN ini mulai berlaku, terhadap
jabatan PNS dilakukan penyetaraan:
1) Jabatan eselon Ia kepala lembaga pemerintah non kementerian setara
dengan jabatan pimpinan tinggi utama;
2) Jabatan eselon Ia dan Ib setara dengan jabatan pimpinan tinggi madya;
3) Jabatan eselon II setara dengan jabatan pimpinan tinggi pratama;
4) Jabatan eselon III setara dengan jabatan administrator;
5) Jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas; dan
6) Jabatan eselon V dan fungsional umum setara dengan jabatan pelaksana.
Dengan berlakunya Undang-undang ASN maka akan terjadi perombakan atau
reformasi birokrasi di setiap instansi pemerintahan baik pusat maupun daerah.
Kemudian Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN pasal 19
ayat (2) menyebutkan bahwa “Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud
berfungsi memimpin dan memotivasi setiap Pegawai ASN pada Instansi
Pemerintah, melalui a. Kepeloporan dalam bidang keahlian profesional, analisis
dan rekomendasi kebijakan, dan kepemimpinan manajemen; b. Pengembangan
kerjasama dengan instansi lain; dan c. Keteladanan dalam mengamalkan nilai
dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN.”
Namun menurut Elkana Goro Leba dalam artikelnya mengenai
Kepemimpinan dalam sistem birokrasi, menyebutkan secara mendasar, birokrasi
Indonesia masih terkesan sulit untuk direformasi. Beberapa persoalan birokrasi
tersebut, antara lain:
1) Gaya kepemimpinan dan mentalitas mayoritas aparat birokrasi (baik pusat
atau daerah) belum berorientasi pada pelayanan publik. Kondisi ini
disebabkan masih kuatnya mentalitas aparat publik yang lama, sementara
aparat publik yang baru belum mampu mengubah budaya kerja di unit
kerjanya;
2) Pemerintah pusat terkesan belum ikhlas memberikan keleluasaan pada
birokrat di daerah dalam upaya memacu perkembangan daerahnya. Pada
kasus ini, pemerintah pusat selalu memonitor dan mensupervisi setiap
perda-perda di tingkat daerah;
7
3) Birokrasi sering macet karena berhadapan dengan benang kusut politik.
Birokrasi tidak akan bisa bekerja dalam situasi politik yang kurang kondusif.
Dalam kondisi demikian, banyak produk politik yang terasa aneh dan
menjadikan birokrasi sebagai “kambing hitam” dalam penyelenggaraan
urusan public;
4) Birokrasi kurang berfungsi karena pernyataan visi dan misi yang tidak
konsisten. Hal ini diperparah dengan daerah yang kurang mampu membuat
prioritas dalam mengeksplorasi potensi daerah. Akibatnya birokrasi kurang
terfokus dalam memberikan pelayanan public;
5) Kepemimpinan birokrat yang lemah. Birokrasi di era reformasi cenderung
lentur seiring dengan demokratisasi dalam masyarakat. Dengan demikian
gaya kepemimpinan tetap berperan di sini. Kepemimpinan para birokrat kita
selama ini masih menggunakan konsep lama, kurang fleksibel. Akibatnya,
mesin birokrasi juga kurang berfungsi dengan baik;
6) birokrat di daerah masih berorientasi ke dalam sehingga belum terbuka
untuk bersaing dengan daerah lain melalui inovasi, sehingga memiliki nilai
tambah. Problem birokrasi seperti ini akan menghambat kemajuan, baik di
pusat atau di daerah. Persaingan dengan mengedepankan potensi yang
dimiliki daerah menjadi pemicu dan pemacu bagi konstituen asing agar
bersedia berinvestasi di daerahnya. Selama ini calon investor masih
mengeluhkan regulasi dan birokrasi dalam hal perizinan yang dinilai amat
merepotkan.
Saat ini pemerintah telah banyak melakukan inisiatif untuk mereformasi
birokrasi khususnya perbaikan sistem dan budaya kerja, pengukuran kinerja,
penerapan disiplin, optimalisasi peningkatan pelayanan publik, upaya
mengurangi korupsi dan peningkatan produktifitas kerja dan renumerasi yang
memadai. Namun demikian upaya-upaya tersebut belum dapat mencapai hasil
yang maksimal dan memuaskan masyarakat.
Anies Baswedan dalam artikelnya yang berjudul Pemimpin dan Mantera
Perubahan, menyebutkan sekurangnya ada tujuh kekuatan yang perlu ada
dalam diri seorang pemimpin yang harus berperan untuk implementasi reformasi
birokrasi, yaitu :
1) Pemimpin harus memiliki potret keadaan birokrasi setelah reformasi itu
dilakukan. Pendeknya, pemimpin harus memiliki imajinasi tentang kondisi
atau wajah birokrasi di masa depan. Imajinasi inilah yang akan menuntunnya
membuat langkah-langkah mencapai perubahan yang diinginkan itu;
8
2) Pemimpin tersebut haruslah figur yang siap untuk bertarung atau
bertentangan dengan kultur birokrasi yang salama ini terjadi, dimana
cenderung memposisikan pimpinan dan koleganya untuk saling
berkompromi, saling melindungi, dan sebagainya;
3) Pemimpin tersebut haruslah memiliki kemampuan untuk menerjemahkan
kerumitan konsep reformasi birokrasi ke dalam bahasa yang lebih sederhana
dan mudah dipahami;
4) Pemimpin dalam proses implementasi reformasi birokrasi, harus peka
(sensitive) dan mampu memberi penghargaan terhadap setiap pencapaian
yang dihasilkan;
5) Pemimpin harus mampu memposisikan hubungan dukungan sebagai aset
bagi pencapaian sebuah perubahan;
6) Pemimpin harus terus belajar dan terbuka terhadap gagasan-gagasan baru,
sekalipun gagasan itu datang dari mereka yang dari sisi hirarki berada di
bawahnya;
7) Pemimpin harus mampu membangkitkan rasa kepemilikan pada setiap orang
yang diajak dan terlibat dalam proses reformasi birokrasi.
4. Membangun Profesionalisme dalam Birokrasi yang Efektif
Tujuan utama dari undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN
adalah untuk melakukan perubahan terhadap tatanan birokrasi pemerintahan
agar dapat berkerja secara profesional. Undang-undang ini membawa perubahan
yang besar dalam birokrasi kita, mulai dari sistem perencanaan, pengadaan,
pengembangan karier, penggajian, serta sistem dan batas usia pensiun.
Perubahan itu didasarkan pada sistem merit, yang mengedepankan prinsip
profesionalisme, kompetensi, kualifikasi, kinerja, transparansi, obyektivitas, serta
bebas dari intervensi politik dan KKN.
Birokrasi pemerintahan berhubungan dengan urusan-urusan publik.
Menurut Ripley dan Franklin (1982:32), agar dapat memberikan pelayanan
publik dengan baik, birokrasi harus dapat menunjukkan sejumlah indikasi
perilaku sebagai berikut:
1) Memproses pekerjaannya secara stabil dan giat.
2) Memperlakukan individu yang berhubungan dengannya secara adil
dan berimbang
3) Mempekerjakan dan mempertahankan pegawai berdasarkan kualifikasi
profesional dan berorientasi terhadapkeberhasilan program
9
4) Mempromosikan staff berdasarkan sistem merit dan hasil pekerjaan baik
yang dapat dibuktikan
5) Melakukan pemeliharaan terhadap prestasi yang sudah dicapai sehingga
dapat segera bangkit bila menghadapi keterpurukan.
Berdasarkan kelima indikasi yang disampaikan oleh Ripley dan Franklin, perilaku
yang dituntut dalam suatu birokrasi adalah kerja keras aparatur, sikap netralitas
dalam melayani masyarakat, memberikan apresiasi terhadap prestasi atau
performance yang baik untuk aparatur antara lain dengan memberikan promosi,
danmempunyai kemampuan untuk mengantisipasi segala kemungkinan
terburuk dan beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi.
5. Dilema Jabatan dalam Aparatur Sipil Negara (antara kepentingan publik dan
pribadi)
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa Undang-undang ASN
memandang Aparatur Sipil Negara bukan hanya sebagai pekerjaan namun juga
sebagai sebuah profesi, dimana profesionalitas dan kompetensi dijadikan syarat
utama yang harus dimiliki oleh seorang ASN. Selain itu ASN juga berkewajiban
untuk mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib
mempertanggungjawabkan kinerjanya. Hal tersebut merupakan salah satu
upaya untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang bertugas
melayani kepentingan publik. Oleh karena itu, atas produktivitas dan prestasi
kinerja yang dimiliki ASN pantas untuk diberikan pendapatan atau gaji yang juga
berbasiskan pada profesionalitas.
Sistem penggajian dengan merit sistem diyakini merupakan salah satu
alternatif sistem penggajian yang dapat memacu prestasi dari ASN. Arief
Daryanto dalam jurnalnya “Meryt System dalam Manajemen Pegawai Negeri
Sipil”, 2007, berpendapat terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
penerapan sistem merit antara lain :
1) Langkah awal dalam penerapan penggajian merit sistem, pihak manajemen
perlu memperhatikan bahwa dalam pemberian gaji tidak terlepas daripada
penilaian terhadap tugas dan tanggung jawab seluruh karyawan disemua
unit kerja, sehingga penilaiannya adalah orang-orang yang mengetahui
dengan benar apa yang dikerjakan karyawan yaitu atasan langsung dan
sebagai bahan pertimbangan penilai dapat melakukan konfirmasi kepada
bagian lain yang terkait dengan pekerjaan dan karyawan yang dinilai;
10
2) Untuk mensejahterakan PNS pemerintah seyogyanya juga memperhatikan
kemerataan penghasilan. Sudah sepantasnya pemerintah meningkatkan
standar gaji PNS dengan standar yang layak, dengan demikian kesenjangan
akan lebih dapat diminimalisir dan kesejahteraan pun dapat diperoleh;
3) Dalam perhitungan penentuan formula penggajian PNS, perlu diperhatikan
juga tingkat inflasi/kemahalan antara lain dengan membuat indeks untuk
dijadikan dasar bagi penyesuaian gaji dan tunjangan;
4) Penggajian untuk PNS seharusnya dibuat standar tertentu, artinya bisa saja
dalam golongan yang sama tetapi memiliki gaji yang berbeda disesuaikan
dengan beban kerjanya sehari-hari.
5) Reward yang diberikan kepada PNS yang memiliki prestasi kerja seharusnya
dilakukan dengan transparan sehingga memiliki sikap kompetisi antar
departemen dalam memberikan pelayanan, mendorong tegaknya hukum
dan bersedia memberikan pertanggungjawaban terhadap publik (public
accountibility) secara teratur.
6) Diperlukan pengawasan yang ketat dalam menerapkan merit system dimana
pemerintah perlu membentuk tim merit system sehingga dapat berjalan
secara efek
D. Rekomendasi Pondasi Kelembagaan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk Efektifitas Pelaksanaan Tugas secara Berkelanjutan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menyebutkan bahwa,
KASN merupakan lembaga non-struktural yang mandiri dan bebas dari intervensi
politik untuk menciptakan pegawai ASN (PNS, PPPK, dan anggota TNI/Polri yang
ditugaskan dalam jabatan ASN) yang profesional dan berkinerja, memberikan
pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa.
Menurut UU ini, KASN berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar,
kode etik dan kode perilaku ASN, serta penerapan Sistem Merit dalam kebijakan
dan Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan sistem merit (merit system) dalam kebijakan promosi
jabatan di daerah meliputi regulasi, kontrol eksternal dan komitmen pelaku.
Untuk menjalankan tugas dan fungsinya dalam kondisi politik di Indonesia,
KASN perlu memiliki sebuah pondasi kelembagaan yang kuat dalam bentuk
11
undang-undang untuk menjamin KASN bebas dari pengaruh politik, serta dibuat
aturan mengenai pertanggungjawaban kinerja KASN yang jelas dan terperinci.
E. Analisis Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Teori Traditional Model of Public Administration dan New Public Management
Berikut perbedaan substansi antara Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974
Jo. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara :
UU No.8/1974 jo UU No.43/1999
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
UU No.5/2014 tentang Aparatur
Sipil Negara
Pendekatan Administrasi Kepegawaian. Pendekatan Manajemen SDM.
Sistem Karir tertutup. Sistem Karir Terbuka.
Pegawai Negeri terdiri atas : Pegawai Negeri terdiri atas :
1. Pegawai Negeri Sipil, yang terdiri
dari pegawai negeri pusat, pegawai
daerah dan PTT;
1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Republik
Indonesia;
2. TNI (sudah ada Undang-undang
sendiri);
3. Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja (PPPK).
4. POLRI (sudah ada undang-undang
sendiri).
Jabatan : Jabatan :
1. Struktural: Eselon I s.d. V; 1. Struktural : Jabatan Pimpinan Tinggi
(JPT) dan Jabatan Administrasi;
2. Fungsional: Keahlian, Keterampilan. 2. Fungsional : Keahlian, Keterampilan.
Pejabat yang berwanang mengangkat,
memindahkan dan memberhentikan
PNS (Pejabat Pembina Kepegawaian):
Pejabat yang berwanang mengangkat,
memindahkan dan memberhentikan
PNS (Pejabat Pembina Kepegawaian):
1. Presiden; 1. Presiden;
2. Didelegasikan kepada pejabat
nonkarir (Menteri, Gubernur,
Bupati/Walikota) dan karir (Kepala
LPNK).
2. Didelegasikan kepada pejabat non
karir (Menteri) dan karir (Kepala
LPNK dan Sekda).
Pembentukan Komisi Kepegawaian
Negara dijabat ex-oficio Kepala BKN
Pembentukan Komisi Aparatur Sipil
Negara (KASN) dengan tegas menjamin
12
(sampai sekarang belum terbentuk). penerapan merit sistem.
Batas Usia Pensiun (BUP) tidak diatur
secara eksplisit (diatur dalam
peraturan pemerintah).
Batas Usia Pensiun (BUP) diatur secara
eksplisit dimuat dalam batang tubuh
UU No. 5/2014.
Sistem Informasi Kepegawaian tidak
diatur secara eksplisit.
Sistem Insformasi ASN diatur secara
eksplisit dan terintegrasi antar instansi
pemerintah.
Sistem penggajian dengan skala
ganda.
Perubahan struktur gaji ke arah skala
tunggal secara bertahap.
Sistem pidana tidak diatur. Pengaturan sanksi pidana bagi
pejabat/pegawai yang
menyelahgunakan wewenang dalam
pengadan calon pegawai ASN atau
pengisian calon pimpinan tinggi.
Dari perbedaan subtansial di atas dapat disimpulkan bahwa, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, merupakan bentuk dari
upaya pemerintah mengubah paradigma Pegawai Negeri Sipil menjadi pegawai
yang profesional dengan menggunakan pendekatan new public management.
Didalamnya diatur mengenai manajemen SDM yang telah meninggalkan basis
administrasi, adanya pasar terbuka yang dibentuk untuk jabatan tertentu
sehingga membuka ruang kompetisi dalam menduduki jabatan di pemerintahan
yang juga menyaratkan kompetensi dan kualifikasi kerja diikuti dengan adanya
pertanggungjawaban kinerja ASN.
F. Kesimpulan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN merupakan salah satu
alat percepatan Reformasi Birokrasi di Indonesia. Reformasi Birokrasi tentunya
sangat diharapkan dapat mengawal seluruh proses pembangunan yang sedang
berjalan sehingga komitmen pembangunan daya saing dapat terus kita
tingkatkan. Birokrasi yang modern, dan dikelola dengan professional tentunya
akan mendorong pembangunan yang lebih berkualitas baik dari dimensi waktu,
biaya, maupun SDM.
Daftar Pustaka
13
http://politik.kompasiana.com/2012/04/24/birokrasi-vs-politik-457730.html (Elip
Heldan, kompas 24 April 2012). Selasa, 20 Mei 2014.
http://www.bkn.go.id/attachments/180_jurnalvol1nov2007.pdf. Selasa, 20 Mei
2014.
http://elkanagoro.blogspot.com/2014/03/kepemimpinan-dalam-sistem-
birokrasi.html. Selasa, 20 Mei 2014.
Prasojo, Eko. Baswedan Anies, dkk. Pemimpin dan Reformasi Birokrasi: Catatan
Inspiratif dan Alat Ukur untuk Kepemimpinan dalam Implementasi
Reformasi Birokrasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi.
Sekretariat Negara R.I. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Kepegawaian Negara.Jakarta, Setneg RI: 1975.
__________ Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1074 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
Negara. Jakarta: Setneg RI, 2000.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Menkumham RI:
2014.
_________ Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi
Birokrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi secara Terbuka di Lingkungan Instansi
Pemerintah. Menkumham RI: 2014.
14