validitas kontrak tidak berbahasa indonesia pada...
TRANSCRIPT
VALIDITAS KONTRAK TIDAK BERBAHASA INDONESIA
PADA LOAN AGREEMENT ANTARA PT BANGUN KARYA PRATAMA
LESTARI DAN NINE AM LTD
(Analisis Putusan No: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt Bar)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
NADIA RAHMA
NIM 1113048000023
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2017 M
VALIDITAS KONTRAK TIDAK BERBAIIASA INDONESIAPADALOANAGREEMENT N.ITARA PT BANGUN KARYA PRATAMA
LESTARI DAN NINE AM LTD(Analisis putusan No: 45l/pdt.Gl2orztfN,jtt far)
Skipsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi persyaratanMemperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Nadia Rahma
1113048000023
Pembimbing I
H. M. Yasir, S.H., M. H. Ahmad Bahtiar, M, Hum.
NIP: 19760118 2OO9 t2to02
KONSENTRASI HUKUM BISNISPROGRAM STUDI ILMU HUIflII\,I
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNI}'ERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA1438W2017 M
Pembimbing II
LEMBAR PENGESAIIAN PENGUJI
Skripsi ini berjudul VALIDITAS KONTRAK TIDAK BERBAIIASA INDONESIA
PADA LOAN AGREEMENT ANTARA PT BANGUN KARYA PRATAMA
LESTARIDANNINEAMLTD(AnalisisPutusanNo:451/Pdt.Gl2012/PN.JktBar)
telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (uIN) SyarifHidayatullah Jakart4 pada tanggal 28 Juli 2017. skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat Inemperoleh gelar Sarjana Hukum (S'H') pada
Program Studi llmu Hukum.
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Pembimbing I
4. Pembimbing 2
5. Penguji I
6. Penguji II
Dr. H. Asep Svarifuddin Hidavat. S.H.. M.H-
NIP. 19691 121 1994031001
Drs. Abu Tamrin. S.H. M.Hum.
NIP. 19650908 199503 1001
H. M. Yasir. S.H.. M' H.
Ahmad Bahtiar. M. Hum.
NIP. 1976 0ll8 2009 1210 02
Dr. Nahrowi. S.H.. M.H.
NIP. 197302151999031002
Drs. Norvamin Aini. M.A.
NrP. 196303s1 99103002
fil , 1p\1l9
T-1
lakarta,28 Juli 2017
Mengesahkan
161996031001
LEMBAR PER}TYATAAN
Saya yang bertandatangan dengan ini menyatakan bahwa:
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar strata satu (Sl) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah
Jika kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta
Nadia Rahma
1.
3.
m
1 Juli 2017
iv
ABSTRAK
Nadia Rahma, NIM 1113048000023, “VALIDITAS KONTRAK TIDAK
BERBAHASA INDONESIA PADA LOAN AGREEMENT ANTARA PT
BANGUN KARYA PRATAMA LESTARI DAN NINE AM LTD (Analisis
Putusan No: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt Bar)”, Strata Satu (S1), Konsentrasi Hukum
Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2017 M, viii+ 79 halaman+ 66 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui validitas kontrak yang tidak berbahasa
Indonesia pada sebuah loan agreement dan juga cara hakim mendudukkan persoalan
dan menyelesaikan masalah hukum dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Barat dalam perkara Nomor: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar tentang sengketa
loan agreement antara PT Bangun Karya Pratama Lestari dan Nine AM. Latar
belakang penelitian ini berkaitan dengan kontrak loan agreement yang dalam
pelaksanaannya masih memiliki pro dan kontra terhadap penggunaan bahasa yang
digunakan. Penelitian ini bersifat library research, mengkaji Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat Nomor: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt Bar dan mengkaitkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan teori-teori yang ada untuk mendukung
penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah empiris yuridis dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Dalam penelitian
ini menggunakan dua sumber data yakni, sumber data primer terdiri dari Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt, sedangkan sumber
data sekunder berupa Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Pasal 31 ayat (1) tidak dapat terlaksana dengan baik dikarenakan
adanya multitafsir pada kata “wajib”, dengan kata lain kita harus mengabaikan
keberadaan Pasal 31 ayat (2) yang isinya dapat “ditulis juga” dalam bahasa nasional
pihak asing tersebut dan / bahasa Inggris. Hal ini karena Majelis Hakim
mendudukkan persoalan dan menyelesaikan masalah hukum tentang sengketa loan
agreement antara PT Bangun Karya Pratama Lestari dan Nine AM adalah dengan
cara melihat pada peraturan perundang-undangan yang ada dan mengesampingkan
asas kebebasan berkontrak.
Kata Kunci : Kebebasan berkontrak, Undang-undang bahasa
Pembimbing : H. M. Yasir, S.H., M. H.
Ahmad Bahtiar, M. Hum.
Sumber Rujukan dari 1976 sampai 2013
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
memberikan nikmat, rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga banyaknya.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya sampai akhir zaman.
Dengan mengucap Alhamdulillahi Robbil ‘alamin penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “VALIDITAS KONTRAK TIDAK
BERBAHASA INDONESIA PADA LOAN AGREEMENT ANTARA PT
BANGUN KARYA PRATAMA LESTARI DAN NINE AM LTD (Analisis
Putusan No: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt Bar)”. Penelitian ini merupakan salah satu
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini peneliti
dengan setulus hati menyampaikan terima kasih kepada Yang Terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya
vi
2. Dr. Asep Syariffudin Hidayat, S.H., M.H Ketua Program Studi Ilmu
Hukum & Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan
dan masukkan atas penyusunan skripsi
3. M. Yasir, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I & Ahmad Bahtiar, M. Hum.,
Dosen Pembimbing II yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga dan
pikirannya untuk memberikan saran dan masukkan terhadap proses
penyusunan skripsi ini
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan ilmu selama perkuliahan
5. Kedua Orang tua yang sangat saya sayangi dan cintai dan adik tercinta,
Alm. Bapak Suparno, Ibu Yuyun Yuhanis dan Adnan Syauqi, yang terus
memberikan saya doa, dukungan, semangat dan motivasi yang tak pernah
putus untuk menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, atas jasa dan bantuan semua pihak dalam memberikan saran dan
masukkan yang tak hentinya, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan masyarakat.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, 1 Juli 2017
Nadia Rahma
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iii
ABSTRAK .................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................. 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... 8
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ............................................................ 9
F. Metode Penelitian ..................................................................................... 12
G. Sistematika penulisan ............................................................................... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERJANJIAN ................................. 17
A. Pengertian Perjanjian dan Jenis-Jenis Perjanjian ...................................... 17
B. Lahirnya Perjanjian ................................................................................... 20
C. Berakhirnya Suatu Perjanjian ................................................................... 21
D. Syarat – Syarat Sahnya Perjanjian dan Asas – Asas Hukum Perjanjian ... 27
E. Pelaksanaan Perjanjian.............................................................................. 34
BAB III ASPEK HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL ................................ 36
viii
A. Pengertian Hukum Kontrak Internasional .............................................. 36
B. Prinsip – Prinsip Hukum Kontrak Internasional .................................... 37
C. Sumber Hukum Kontrak Internasional ................................................... 41
D. Jenis – Jenis Kontrak Internasional ........................................................ 45
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PERKARA NO: 451/PDT.G/2012/PN.JKT.BAR
TENTANG SENGKETA LOAN AGREEMENT ANTARA PT. BANGUN
KARYA PRATAMA LESTARI DAN NINE AM LTD........................................... 49
A. Duduk Perkara ........................................................................................ 49
B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim .................................................... 54
C. Analisis ................................................................................................... 57
D. Interpretasi .............................................................................................. 67
BAB V PENUTUP ....................................................................................................... 73
A. Kesimpulan ............................................................................................... 73
B. Saran ......................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 76
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Putusan Nomor
451/Pdt.G/2012/PN.Jkt Bar ............................................................................... 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penanaman modal menjadi suatu hubungan ekonomi internasional
yang tak terelakkan, sebagaimana hubungan ekonomi internasional lainnya,
penanaman modal menjadi suatu tuntutan guna memenuhi hubungan suatu
negara, perusahaan dan juga masyarakat.1 Banyaknya pihak asing yang masuk
ke Indonesia dalam rangka menjalankan praktik bisnisnya setelah
menanamkan modalnya di Indonesia membuat banyaknya perubahan
mengenai hal-hal baru yang terjadi di dalam praktik hukum bisnis di
Indonesia. Hal ini terjadi pula dalam masalah kontrak bisnis. Para pihak
investor asing dalam hal ini banyak menganggap bahwa di Indonesia masalah
kontrak masih merupakan suatu hal yang asing sehingga tidak banyak jenis-
jenis variasi atau macam-macam kontrak yang ada di Indonesia.
Banyak pebisnis tidak menyadari bagaimana pentingnya peran yang
dimainkan oleh seorang business lawyer dalam suatu negosiasi transaksi
bisnis, apalagi jika salah satu pihaknya adalah pihak asing. Biasanya pihak
asing tersebut sudah berkonsultasi terlebih dahulu dengan lawyernya,
1 Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia (Malang: Bayumedia
Publishing, 2004), h. 1.
2
sehingga kedudukannya dari segi legal sudah benar-benar safe dan kuat.2
Celakanya dalam suatu kontrak, semakin kuat kedudukan salah satu pihak,
maka semakin besar pula ancaman bagi pihak lainnya.
Secara umum, kontrak lahir pada saat tercapainya kesepakatan para
pihak mengenai hal yang pokok atau unsur esensial dari kontrak tersebut.3
Sebagai contoh apabila dalam kontrak jual beli telah tercapai kesepakatan
tentang barang dan harga, lahirlah kontrak, sedangkan hal-hal yang tidak
diperjanjikan oleh para pihak akan diatur oleh undang-undang.
Hukum kontrak di Indonesia diatur dalam buku ke III KUH Perdata,
yang terdiri dari 18 bab dan 631 Pasal.4 Dimulai dari Pasal 1233 KUH
Perdata sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Di dalam NBW Negeri
Belanda, tempat pengaturan hukum kontrak dalam bukum IV tentang van
Verbintenissen, yang dimulai dari Pasal 1269 NBW sampai dengan Pasal
1901 NBW.5
Suatu kontrak biasanya dapat dipengaruhi oleh jenis atau bentuk
perjanjiannya. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjiaan adalah
2 Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1999), h. 1.
3Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007), h. 13.
4 Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 5.
5 Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak, h. 6.
3
Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan hukum
antara dua orang atau lebih yang disebut perikatan yang di dalamya terdapat
hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Jika diperhatikan dengan saksama, rumusan yang diberikan dalam
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut ternyata
menegaskan kembali bahwa dari suatu perjanjian lahir kewajiban atau prestasi
dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya,
yang berhak atas prestasi tersebut.6 Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa
suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan
yang diucapkan atau ditulis.7
Pengaturan mengenai pemakaian bahasa pada perjanjian tertulis
terdapat pada Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
mengenai Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
yang berbunyi:
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau
perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah
Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan
warga negara Indonesia.
6 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 92.
7Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 2005), h. 1.
4
Dilanjutkan dengan ayat (2) yang berbunyi:
Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang melibatkan pihak asing di tulis juga dalam bahasa nasional
pihak asing tersebut dan atau bahasa Inggris.
Kemudian dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut:
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian
internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang
diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dan
negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.
Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara
lain, dan/atau bahasa Inggris. Khusus dalam perjanjian dengan
organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa
organisasi internasional.
Ayat (2)
Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa
Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa
Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.
Dalam bisnis internasional, para pihak tentunya membutuhkan
kepastian hukum guna menjamin hak dan kewajiban para pihak. Oleh karena
itu perlu diatur lebih jauh mengenai hubungan hukum, karena perjanjian
internasional sekarang ini masih banyak mengalami kendala dalam
pelaksanaannya. Terlebih lagi dengan adanya Pasal 31 Undang-undang
bahasa, mengakibatkan banyaknya pro dan kontra terhadap kewajiban
penggunaan bahasa Indonesia dalam kontrak.
Sebelum pembuatan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, lembaga
5
pembentuk undang-undang tentunya tidak memikirkan secara detail tentang
apa yang akan terjadi kedepannya. Terlebih lagi jika dihadapkan dengan era
globalisasi dimana sebuah kontrak bisa saja terjadi di antara dua negara
dengan bahasa yang berbeda. Sehingga dapat dikatakan bahwa undang-
undang tersebut tidak bisa digunakan dalam masa sekarang, karena dahulu
pembuatan undang-undang tersebut hanya melihat dari latar belakang orang
Indonesia.
Hal ini nyata terjadi dalam kasus bisnis yang terjadi pada tahun 2010
antara PT Bangun Karya Pratama Lestari dan Nine AM dan PT Bangun Karya
Pratama Lestari (BKPL). Gugatan ini bermula dari sebuah perjanjian Loan
Agreement tertanggal 23 April 2010.8 Perjanjian tersebut mengatur BKPL
memperoleh pinjaman dana dari Nine AM sejumlah US$4,422 juta. Perjanjian
tersebut dibuat dan tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Sebagai jaminan utang, para pihak membuat akta perjanjian jaminan fidusia
atas benda tertanggal 27 April 2010.
Benda yang dijaminkan adalah enam unit Truk Caterpillar Model
775F Off Highway. Mekanisme pelunasan pembayaran pinjaman tersebut
adalah 48 kali angsuran bulanan sebesar US$148,5 ribu per bulan dan bunga
8“MA Tolak Kasasi Gugatan Kontrak Berbahasa Inggris”, artikel diakses pada 8 Oktober 2016
dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55f90b8b8ca6d/ma-tolak-kasasi-perkara-gugatan-kontrak-berbahasa-inggris
6
akhir AS1,8 juta yang wajib dibayar pada tanggal pembayaran akhir angsuran
pinjaman.
Pembayaran angsuran oleh BKPL yang semula lancar, namun menjadi
terhenti sejak bulan November 2011 sampai dengan Juli 2012. Akhirnya pada
tanggal 10 Juli 2012 Nine AM mengeluarkan surat peringatan. Namun setelah
berjalan selama dua tahun, BKPL mengajukan gugatan karena menurutnya
perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat formal. Perjanjian tersebut dinilai
melanggar Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (Undang-Undang
Bahasa). Pasalnya, kontrak tersebut dibuat hanya dalam bahasa Inggris, tanpa
ada bahasa Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu untuk melakukan
penelitian tentang sengketa atas pembatalan kontrak tidak berbahasa
Indonesia pada sebuah loan agreement dengan menganalisis putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat No: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt Bar, dalam
sebuah skripsi yang berjudul VALIDITAS KONTRAK TIDAK
BERBAHASA INDONESIA PADA LOAN AGREEMENT ANTARA PT.
BANGUN KARYA PRATAMA LESTARI DAN NINE AM LTD
(Analisis Putusan No: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt Bar).
7
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan suatu tahap permulaan dari
penguasaan masalah di mana suatu objek tertentu dalam situasi tertentu dapat
kita kenali sebagai suatu masalah. Tujuan identifikasi masalah yaitu agar kita
bisa mendapatkan sejumlah masalah yang berhubungan dengan judul
penelitian. Adapun identifikasi masalah dari skripsi ini adalah:
1. Bagaimana pengaturan kontrak tanpa bahasa Indonesia pada sebuah loan
agreement?
2. Bagaimana cara pembuatan loan agreement yang baik dan benar?
3. Apa pengaruh-pengaruh yang didapatkan dalam sebuah kontrak loan
agreement antarnegara yang hanya menggunakan satu bahasa?
4. Bagaimana hubungan antara sengketa loan agreement dengan asas
kebebasan berkontrak?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terfokus pada judul yang telah peneliti
kemukakan di atas maka peneliti memberikan batasan masalah agar
pembahasan tidak jauh menyimpang dari apa yang menjadi pokok
bahasan. Hal tersebut dilakukan agar bisa mempermudah mendapatkan
data dan informasi yang diperlukan. Pembatasan tersebut berupa kontrak
8
yang tidak mencantumkan bahasa Indonesia dalam sebuah loan
agreement.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah di atas,
maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana validitas kontrak yang tidak menggunakan bahasa
Indonesia pada sebuah loan agreement?
b. Bagaimana cara hakim mendudukkan persoalan dan menyelesaikan
masalah hukum dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Barat dalam perkara Nomor: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar tentang
sengketa loan agreement antara PT Bangun Karya Pratama Lestari
dan Nine AM?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan
penelitian skripsi ini antara lain:
a. Untuk mengetahui validitas kontrak yang tidak menggunakan bahasa
Indonesia pada sebuah loan agreement.
b. Untuk mengetahui cara hakim dalam mendudukkan sebuah persoalan
dan menyelesaikan masalah hukum apabila hal tersebut dikaitkan
9
dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam perkara
Nomor:451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar tentang sengketa loan agreement
antara PT Bangun Karya Pratama Lestari dan Nine AM.
2. Manfaat Penelitian
Sesuatu hal yang dikerjakan, tentulah memiliki manfaat tersendiri
yang bisa didapatkan. Manfaat penelitian merupakan suatu dampak dari
tercapainya tujuan dan terjawabnya rumusan masalah secara akurat.
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka manfaat penelitian
skripsi ini antara lain:
a. Sebagai manfaat praktis, penelitian ini sangat bermanfaat untuk
membuka peluang bagi pihak-pihak yang mumpuni dalam merevisi
undang-undang, sehingga tidak terdapat lagi perbedaan penafsiran di
antara pihak terkait.
b. Sebagai manfaat akademis, penelitian ini dapat bermanfaat untuk
dijadikan bahan kajian atau referensi dalam memperkaya khazanah
ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kontrak.
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Review studi terdahulu berisi mengenai review dan evaluasi seluruh
studi yang membahas fokus yang sama. Review studi terdahulu juga bisa
dilakukan dengan cara menggali kelebihan dan kekurangan skripsi tersebut
10
dengan yang akan di teliti. Perbedaan yang diperoleh bisa menjadi nilai
tambah dari skripsi yang akan ditulis. Agar tidak terjadi kesamaan antara
penelitian skripsi ini dengan penelitian tentang kontrak lainnya, maka peneliti
melakukan penelusuran terhadap beberapa penelitian terdahulu. Penelitian-
penelitian tersebut di antaranya:
Skripsi yang berjudul “Kontrak Baku pada Asuransi Syariah dalam
Persfektif Hukum Perlindungan Konsumen” yang disusun oleh Abdul Karim
Munthe, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2014. Pada skripsi tersebut membahas tentang kontrak baku
yang terdapat dalam asuransi syariah. Sedangkan peneliti membahas
mengenai kontrak pihak asing dengan pihak Indonesia yang tertuang dalam
sebuah loan agreement.
Skripsi yang berjudul “Perlindungan Konsumen dalam Kontrak Jual
Beli Rumah di Perumahan Harapan Indah Bekasi” yang disusun oleh
Marwan, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015. Skripsi tersebut juga membahas tentang kontrak,
namun perbedaannya terletak pada fokus permasalahan yang dibahas. Pada
skripsi tersebut permasalahan terfokus pada kontrak jual beli rumah,
sedangkan skripsi ini terfokus pada kontrak dalam sebuah loan agreement
antarnegara.
11
Buku yang berjudul “Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak”
yang ditulis oleh Ahmadi Miru tahun 2007. Dalam buku ini dijelaskan secara
komprehensif tentang berbagai pembahasan mengenai kontrak yang termasuk
didalamnya dijelaskan tentang penyelesaian sengketa bisnis terkait kontrak
sedangkan perbedaannya dengan skripsi ini hanya menjelaskan tentang sah
tidaknya sebuah kontrak loan agreement yang tidak menyertakan kontrak
berbahasa Indonesia di dalamnya.
Jurnal Hukum volume 3 no. 2 tahun 2015 yang berjudul “Penerapan
Lembaga Pilihan Hukum Terhadap Sengketa Hukum dalam Pelaksanaan
Kontrak Bisnis Internasional” yang ditulis oleh Winda Pebriyanti dari
Fakultas Hukum Universitas Bengkulu. Dalam jurnal ini dijelaskan secara
rinci tentang pelaksanaan pilihan hukum apabila terjadi sengketa kontrak
internasional, sedangkan dalam skripsi ini lebih fokus kepada kontrak
internasional yang tidak berbahasa Indonesia dalam sebuah loan agreement
antara pihak Indonesia dengan pihak asing.
Berdasarkan tinjauan (review) studi terdahulu, dengan penelitian yang
dilakukan peneliti, belum ada yang melakukan penelitian mengenai kontrak
loan agreement antara pihak asing dengan pihak Indonesia dengan skripsi
berjudul “VALIDITAS KONTRAK TIDAK BERBAHASA INDONESIA
PADA LOAN AGREEMENT ANTARA PT BANGUN KARYA PRATAMA
LESTARI DAN NINE AM LTD (Analisis Putusan No:
12
451/Pdt.G/2012/PN.Jkt Bar)” merupakan penelitian yang belum pernah di
angkat sebelumnya menjadi judul skripsi.
F. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu usaha untuk
menganalisis serta mengadakan konstruksi secara metodologis, sistematis dan
konsisten.9 Kemudian untuk sampai pada rumusan yang tepat mengenai
penelitian ini, maka metodologi yang digunakan adalah:
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada skripsi ini adalah penelitian
empiris yuridis. Jenis penelitian hukum empiris yuridis adalah suatu
penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata
dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat.
Penelitian hukum ini juga melihat bagaimana hukum diterapkan oleh
aparat penegak hukum (hakim) pada saat menyelesaikan sengketa hukum
berdasarkan undang-undang tersetentu. Dapat dikatakan bahwa penelitian
hukum ini dapat diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu
masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.
Jenis pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI-Press, 1986), h. 43.
13
approach). Jenis pendeketan perundang-undangan (statute approach)
adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah perundang-undangan
yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang
dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan
mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan
Undang-Undang, atau antara Undang-Undang yang satu dengan Undang-
Undang yang lain.
2. Data dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data berupa informasi yang dikandung
dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No:
451/Pdt.G/2012/PN.Jkt Bar. Informasi tersebut berupa pendapat hakim
ketika menafsirkan Pasal 31 ayat (1) yang digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam memutus perkara loan agreement antara PT Bangun
Karya Pratama Lestari dan Nine AM Ltd.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua sumber data, yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah
sumber data yang bersifat autoritatif berupa Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Barat No: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt Bar.
Sumber data sekunder pada dasarnya digunakan untuk memberikan
penjelasan terhadap sumber data primer. Dengan adanya sumber data
sekunder maka peneliti akan terbantu untuk memahami/menganalisis
14
sumber data primer. Sumber data sekunder dalam penelitian ini berupa
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
3. Teknik Pengumpulan Data dan Metode Analisis Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik pengumpulan data melalui studi dokumentasi. Karena penelitian ini
menggunakan (non-human resources) yaitu sumber-sumber yang bukan
berasal dari manusia. Contohnya dokumen yang berupa undang-undang,
putusan pengadilan, peraturan pemerintah, internet, koran, laporan
berkala, surat-surat resmi dan lain sebagainya.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis komparatif. Metode analisis komparatif bersifat
membandingkan. Analisis ini dilakukan untuk membandingkan persamaan
dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang di teliti
berdasarkan kerangka pemikiran tertentu. Dalam penelitian ini, metode
analisis data komparatif digunakan dengan cara membandingkan antara
peraturan perundang-undangan yang ada, pendapat hakim dalam
menerapkan suatu putusan dan opini pakar hukum dalam memahami suatu
ketentuan hukum.
15
4. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik penulisan skripsi ini peneliti menggunakan acuan dari buku
“Pedoman Menulis Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum”, yang
diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini penulis membagi permasalahan ke dalam lima Bab,
dimana masing-masing bab mempunyai penekanan pembahasan mengenai
topik-topik tertentu, yaitu:
BAB I
Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
(review) studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
Pada bab ini akan dibahas tinjauan pustaka mengenai perjanjian, termasuk
didalamnya pengertian perjanjian dan jenis-jenis perjanjian, lahirnya
perjanjian, berakhirnya perjanjian, syarat-syarat sah dan asas-asas perjanjian,
pelaksanaan perjanjian, dan pengaturan asas kebebasan berkontrak. Bab ini
dimaksudkan untuk menguatkan teori mengenai perjanjian secara umum.
BAB III
16
Dalam bab ini penulis akan membahas tentang tinjauan umum tentang aspek
hukum kontrak internasional termasuk di dalamnya mengenai pengertian
hukum kontrak internasional, prinsip-prinsip hukum kontrak internasional,
sumber hukum kontrak internasional dan jenis-jenis kontrak internasional.
BAB IV
Bab ini membahas tentang analisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat
dalam perkara Nomor: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar tentang sengketa loan
agreement antara PT Bangun Karya Pratama Lestari dan Nine AM Ltd
termasuk didalamya membahas mengenai duduk perkara dan pertimbangan
hukum Majelis Hakim atas sengketa loan agreement tersebut.
BAB V
Bab ini berisi tentang kesimpulan yang menjawab beberapa rumusan masalah
dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERJANJIAN
A. Hukum Perjanjian pada Umumnya
1. Pengertian Perjanjian dan Jenis-Jenis Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
Salah satu bentuk hukum yang berperan nyata dan penting bagi
kehidupan masyarakat adalah Hukum Perjanjian. Hukum perjanjian
merupakan hukum yang terbentuk akibat adanya suatu pihak yang
mengikatkan dirinya kepada pihak lain. Hukum perjanjian bisa juga
dikatakan sebagai suatu hukum yang terbentuk akibat seseorang yang
berjanji kepada orang lain untuk melakukan suatu hal, dalam hal ini kedua
belah pihak telah menyetujui untuk melakukan suatu perjanjian tanpa
adanya paksaan maupun keputusan yang hanya bersifat sebelah pihak.
Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan perjanjian adalah perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini maka timbul suatu hubungan
hukum antara dua orang atau lebih yang disebut sebagai perikatan, yang di
dalamnya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Abdul Kadir
Muhammad memberikan pengertian bahwa perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
18
melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.1 R. M. Sudikno
Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan
akibat hukum.2 Subekti memberikan pengertian perikatan sebagai suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.3
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diketahui bahwa
dalam suatu perjanjian itu terkandung adanya beberapa unsur, yaitu:4
1) Essentialia, unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian sah dan
merupakan syarat sah perjanjian.
2) Naturalia, yakni unsur yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu
unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara
diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian. Unsur
ini merupakan sifat bawaan atau melekat pada perjanjian.
3) Accidentalia, yakni unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas
dalam perjanjian.
1Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjanjian (Bandung: Alumni, 1982), h. 6.
2R. M. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Liberty, 1988), h. 97.
3Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT Intermasa, 2005), h. 1.
4R. M. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, h. 98.
19
b. Jenis-Jenis Perjanjian
Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis yaitu:
1) Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan
meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat
perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli, dalam perjanjian jual beli hak
dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban
menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran
dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima
barangnya.
2) Perjanjian sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan
meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian
hibah, dalam hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang
menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan
penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun.
3) Perjanjian konsensuil, riil dan formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah
apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat
20
perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata
sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Perjanjian formil adalah
perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang
mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu
secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau
PPAT.
2. Lahirnya Perjanjian
Perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian maupun karena undang-
undang (Pasal 1233 KUHPerdata). Sumber terpenting dari perikatan adalah
perjanjian, terutama perjanjian obligatoir yang diatur lebih lanjut di dalam
Bab Kedua Buku Ketiga KUHPerdata “Tentang perikatan-perikatan yang
dilahikan dari kontrak atau perjanjian”.
Suatu perikatan yang lahir dari perjanjian, kedua belah pihak harus
mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri. Perikatan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dikenal adanya asas konsensualisme
sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa untuk melahirkan suatu
perjanjian cukup dengan sepakat saja dan perjanjian sudah dilahirkan pada
saat atau detik tercapainya konsensus tersebut, dan pada detik tersebut
perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang
terkemudian atau yang sebelumnya.
21
Suatu perikatan yang lahir dari undang-undang terbagi menjadi dua
golongan, yang pertama perikatan yang lahir karena undang-undang itu
sendiri, dalam hal ini termasuk didalamnya peristiwa hukum. Selanjutnya
yang kedua adalah perikatan yang lahir dari undang-undang yang disertai
dengan perbuatan manusia, yang mana perbuatan tersebut ada yang
diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan atau sering disebut dengan
perbuatan melanggar hukum.
3. Berakhirnya Perjanjian
Berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya sebuah
perjanjian yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
tentang suatu hal.5 Dalam BW tidak diatur secara khusus tentang berakhirnya
perjanjian, tetapi yang diatur dalam Bab IV Buku III BW hanya hapusnya
perikatan-perikatan.6 Berdasarkan Pasal 1381 BW hapusnya perikatan
dikarenakan sebab berikut:
a. Pembayaran
5 Salim HS, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), h. 163. 6 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007), h. 87.
22
Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut
dalam Pasal 1382 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1403 KUH Perdata.7
Pembayaran umumnya dilakukan oleh debitur / si berutang, namun dalam
BW pembayaran boleh juga dilakukan oleh orang lain yang
berkepentingan bahkan yang tidak berkepentingan, orang yang lain
dimaksud adalah orang yang turut berutang (tanggung menanggung),
penanggung utang, dan pihak ketiga yang tidak berkepentingan.
Walaupun ada beberapa pihak yang dapat melakukan pembayaran
terhadap kreditor, untuk sahnya pembayaran tersebut harus
memenuhi syarat sebagai berikut:8
1) Orang yang membayar adalah pemilik mutlak barang yang
digunakan untuk membayar.
2) Orang yang membayar adalah orang yang juga harus berkuasa
memindahtangankan barang yang digunakan untuk membayar
tersebut.
b. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti dengan Penitipan
Merupakan cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si
berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Cara itu adalah sebagai
berikut :
1) Barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi
oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan kepada kreditur
atas nama debitur, pembayaran mana akan dilakukan dengan
7 Salim HS, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), h. 165.
8 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, h. 89.
23
menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah diperinci.
Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses perbal.
2) Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan
itu, maka selesailah perkara pembayaran itu.
3) Apabila kreditur menolak, maka notaris/juru sita akan
mempersilahkan kreditur itu menandatangani proses perbal tersebut
dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya, hal itu akan
dicatat oleh notaris / juru sita di atas surat proses perbal
tersebut. Dengan demikian ada bukti yang resmi bahwa si berpiutang
telah menolak pembayaran.
4) Langkah berikutnya: Debitur di muka Pengadilan Negeri dengan
permohonan kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan
penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu.
5) Setelah itu, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu,
disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri dan
dengan demikian utang piutang itu sudah hapus.
c. Pembaruan Utang (Novasi)
Novasi diatur dalam Pasal 1413 KUH Perdata sampai dengan Pasal
1424 KUH Perdata. Novasi (pembaruan utang) adalah sebuah persetujuan,
24
di mana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain
harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli.9
d. Perjumpaan Utang (Kompensasi)
Perjumpaan utang atau kompensasi adalah suatu cara penghapusan
utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan
utang piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur.
Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada
yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut
dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua
mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan
perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). 10
e. Percampuran Utang
Konfusio atau percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 BW s/d
Pasal 1437 BW. Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang
yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu (vide:
Pasal 1436).
f. Pembebasan Utang
Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 KUH Perdata sampai
dengan Pasal 1443 KUH Perdata.11
Apabila si berpiutang dengan tegas
menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan
melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka
9 Salim HS, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), h. 168.
10
Subekti, Hukum Perjanjian, h. 72. 11
Salim HS, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), h. 172.
25
perikatan – yaitu hubungan utang piutang hapus. Perikatan di sini hapus
karena pembebasan.
g. Musnahnya Barang yang Terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah
tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi
suatu keadaan memaksa atau force majeur. Menurut Pasal 1444 KUH
Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu
hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya
debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h. Kebatalan / Pembatalan
Kebatalan / batal demi hukum suatu perjanjian terjadi jika
perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya
perjanjian yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal.12
Dapat dikatakan
kalau perjanjian itu objeknya tidak jelas atau bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum atau kesusilaan, maka perjanjian tersebut batal
demi hukum.
i. Berlakunya Syarat Batal
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang nasibnya
digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih
12
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, h. 107.
26
belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan
sehingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan
menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dalam hal yang
pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu
terjadi. Dalam hal yang kedua, suatu perikatan yang sudah dilahirkan
justru akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu
terjadi. Perikatan semacam yang terakhir ini dinamakan suatu perikatan
dengan suatu syarat batal.13
j. Kedaluarsa
Daluarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
atas syarat-syarat yang diterima oleh Undang – Undang (Pasal 1946 KUH
Perdata). Dengan lewatnya waktu tersebut, hapuslah setiap perikatan
hukum dan tinggallah suatu “perikatan bebas” artinya kalau dibayar boleh
tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim. Debitur jika ditagih utangnya
atau dituntut di depan pengadilan dapat mengajukan tangkisan (eksepsi)
tentang kedaluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelak atau
menangkis setiap tuntutan.14
13
Subekti, Hukum Perjanjian, h. 76. 14
Subekti, Hukum Perjanjian, h. 78.
27
4. Syarat – syarat Sahnya Perjanjian dan Asas – asas Hukum Perjanjian
a. Syarat – syarat Sahnya Perjanjian
Hukum Eropa Kontinental, menyatakan syarat sahnya perjanjian
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW
(BW Baru) Belanda.15
Pasal 1320 KUH Perdata, menyebutkan syarat-
syarat sah perjanjian adalah:16
1) Adanya Kesepakatan Kedua Belah Pihak
Menurut sistem hukum manapun di dunia ini, kesepakatan
kehendak merupakan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian.
Menurut sistem hukum perjanjian di Indonesia, syarat kesepakatan ini
merupakan syarat subjektif bersama dengan syarat kecakapan atau
kewenangan para pihak.17
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.18
Apabila syarat kesepakatan ini tidak terpenuhi maka akibat
hukum yang timbul adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Artinya harus ada upaya salah satu pihak untuk meminta pembatalan
15
Salim HS, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), h. 33. 16
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank (Bandung: Alumni, 1991), h. 201. 17
Sophar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis di ASEAN, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 53. 18
Salim HS, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), h. 33.
28
tersebut (ke pengadilan). Semua akibat hukum yang lahir sebelum
dibatalkannya perjanjian adalah sah menurut hukum.
2) Kecakapan untuk Melakukan Perbuatan Hukum
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang
akan menimbulkan akibat hukum. Untuk melakukan suatu perjanjian,
para pihak harus cakap hukum, sebagaimana telah ditentukan oleh
undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa19
. Ukuran
kedewasaan seseorang adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah
kawin. Menurut Pasal 1330 BW, ditentukan bahwa yang tidak cakap
membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa; mereka
yang ditaruh di bawah pengampuan; dan orang-orang perempuan dalam
hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang.
3) Adanya Objek Tertentu
Suatu objek tertentu adalah dapat dikatakan sebagai objek dari
perikatan atau isi dari suatu perikatan, yaitu prestasi yang harus
dilakukan debitur. Hal atau prestasi tersebut harus tertentu atau dapat
ditentukan menurut ukuran yang objektif, misalnya penjualan satu
barang-barang tertentu menurut harga yang telah ditaksir. Hal tertentu
19
Salim HS, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), h. 34.
29
itu tidak perlu dilakukan secara terperinci, cukup asal jelas bentuk dan
keadaannya.20
Objek dari perjanjian dapat pula mengenai kebendaan yang
akan ada di kemudian hari, baik yang akan ada secara mutlak maupun
secara relatif sesuai dengan Pasal 1334 KUH Perdata. Dikecualikan
mengenai warisan yang belum terbuka, yaitu tidak diperkenankan
untuk melepaskan atau diperjanjikan sesuatu hal seperti tersebut sesuai
dalam Pasal 1334 ayat (2) KUH Perdata.21
4) Adanya Kausa yang Halal
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian
orzaak (kausa yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya
disebutkan kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum.22
Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka suatu perjanjian akan
batal demi hukum.23
Undang-undang tidak memberikan pegangan yang pasti tentang
pengertian apa itu sebab dalam perjanjian. Sebab dalam arti hukum ini
20
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003), h. 136. 21
Sophar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis di ASEAN, h. 63. 22
Salim HS, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), h. 34.
23J. Satrio, Hukum Perjanjian (Bandung: PT. Aditya Bakti, 1992), h. 306.
30
tidak boleh dicampur adukkan dengan sebab dalam arti hukum alam.
Dalam hal ini HR (Hoge Raad) telah memberikan perumusan apa yang
dimaksud dengan para pihak dengan membuat perjanjian itu, (HR – 17
November 1922) atau apa tujuan atau maksud perjanjian itu.24
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah ditentukan syarat-syarat
sahnya perjanjian. Syarat-syarat seperti sepakat untuk mengikatkan diri
dan kecakapan untuk membuat perbuatan hukum disebut juga syarat
subjektif. Syarat-syarat adanya objek tertentu dan adanya suatu sebab
yang halal dapat disebut sebagai syarat objektif. Apabila syarat
subjektif tersebut tidak dipenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan
(vernietigbaar), dan apabila syarat objektif tersebut tidak dipenuhi
maka perjanjian adalah batal demi hukum.25
Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan
pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah
pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang
berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak
yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Lain halnya dengan
batal demi hukum, batal demi hukum artinya adalah dari semula
24
Sophar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis di ASEAN, h. 64. 25
Subekti, Hukum Perjanjian, h. 20.
31
dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah
ada suatu perikatan.
b. Asas – asas Hukum Perjanjian
Asas adalah prinsip dasar yang menjadi acuan berpikir seseorang
dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting di dalam hidupnya.
Definisi asas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti dasar atau
hukum dasar. Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal lima macam asas
hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta
sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik, dan asas
kepribadian.26
Asas-asas dalam hukum perjanjian akan dijelaskan sebagai
berikut:
1) Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata , yang berbunyi: “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun,
26
Salim HS, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 1.
32
menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, dan
menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
2) Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme memiliki pengertian bahwa suatu
perjanjian sudah sah dan mengikat pada saat tercapai kata sepakat para
pihak, tentunya sepanjang perjanjian tersebut memenuhi syarat sah
yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.27
Dengan perkataan
lain, perjanjian itu sudah sah apabila sepakat mengenai hal-hal yang
pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.28
Berlakunya asas
konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia memantapkan
adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak
yang membuat perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
3) Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian
hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta
sunt servanda menggariskan bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
27
Sophar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis di ASEAN, h. 49. 28
Subekti, Hukum Perjanjian, h. 15.
33
pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang”.29
“Suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali delain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”,
berdasarkan pasal ini daya mengikat kontrak sama seperti undang-
undang bagi para pihak yang menyepakatinya.30
4) Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)
Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan
melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka dan saling percaya.
Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud
untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
Asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad
merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.31
5) Asas Kepribadian (Personalitas)
29
Salim HS, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding, h. 3. 30
Sophar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis di ASEAN, h. 48. 31
Salim HS, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), h. 11.
34
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontral hanya untuk
kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315
dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa
seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara
pihak yang membuatnya”. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh
para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
5. Pelaksanaan Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang
telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai
tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa.
Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian
tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja. Itikad baik
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata merupakan ukuran objektif untuk
menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus
35
megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk
memperoleh hak milik ialah jual beli.
Pelaksanaan perjanjian disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan
kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu
mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal
pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian.
Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin
pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya
penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.
36
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG ASPEK HUKUM KONTRAK
INTERNASIONAL
A. Aspek Hukum Kontrak Internasional
1. Pengertian Hukum Kontrak Internasional
Hukum Kontrak Internasional merupakan bagian dari Hukum
Perdata Internasional yang mengatur ketentuan-ketentuan dalam transaksi
bisnis antara pelaku bisnis yang berasal dari dua atau lebih negara yang
berbeda melalui suatu sarana kontrak yang dibuat atas kesepakatan oleh
para pihak yang terikat dalam transaksi bisnis tersebut. Ciri-ciri
internasionalnya, harus ada unsur asing dan melampaui batas negara.
Sudargo Gautama menjelaskan bahwa Kontrak internasional adalah
kontrak nasional yang terdapat unsur luar negeri atau foreign element.1
Lanjutnya dalam hal tertentu, hukum nasional tidak mengatur suatu bentuk
atau objek yang menjadi substansi dalam kontrak.
Unsur dalam suatu kontrak internasional dapat berupa para
pihaknya, substansi yang diatur, dan lain-lain. Sebagai contoh apabila
dalam suatu kontrak para pihak yang mengikatkan diri adalah warga
negara atau badan hukum asing maka hal ini sudah dapat dikategorikan
kontrak internasional. Dalam bisnis internasional, kontrak memiliki peran
yang sangat penting. Peran ini tampak dari semakin meningkatnya transaksi
1Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional (Bandung: Alumni, 1976), h. 7.
37
dagang yang dewasa ini sudah lintas batas. Transaksi-transaksi dagang
demikian biasanya dituangkan dalam dokumen-dokumen kontrak. Dengan
semakin meningkatnya bentuk-bentuk transaksi dagang telah membawa
konsekuensi lain:2
a. Dengan semakin berkembangnya transaksi dagang, semakin
berkembang pula bentuk-bentuk kontrak internasional;
b. Karena kontrak tidak lain adalah kesepakatan atau perjanjian yang
melahirkan hukum, maka hukum yang mengatur bidang ini pun
konsekuensinya adalah lahir dan berkembang dari adanya kesepakatan-
kesepakatan para pihak.
2. Prinsip – prinsip Hukum Kontrak Internasional
Pada dasarnya prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT tidak secara tegas
mencantumkan jual beli internasional sebagai objek dasar pengaturan.
Prinsip-Prinsip UNIDROIT memberikan solusi terhadap masalah yang
timbul ketika terbukti bahwa tidak mungkin untuk menggunakan sumber
hukum yang relevan dengan hukum yang berlakudi suatu negara.3
Terdapat prinsip-prinsip kontrak internasional yang utama dalam
UNIDROIT, yaitu prinsip kebebasan berkontrak, prinsip itikad baik (good
faith) dan transaksi jujur (fair dealing), prinsip diakuinya kebiasaan
2Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional (Bandung: PT Refika Aditama,
2007), h. 3. 3Taryana Sunandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan
Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 10.
38
transaksi bisnis di negara setempat, prinsip kesepakatan melalui penawaran
(offer) dan penerimaan (acceptance) atau melalui tindakan, dan prinsip
larangan bernegosiasi dengan itikad buruk.4
a. Prinsip Kebebasan Berkontrak
Prinsip ini ditekankan sebagai dasar dari prinsip perdagangan
internasional. Kebebasan disini adalah bebas untuk menyatakan
dengan siapa pihak tersebut akan membuat kontrak, bebas menentukan
barang yang akan diperdagangakan, bebas untuk melakukan negosiasi,
bebas untuk memilih forum (choice of forum) maupun memilih hukum
(choice of law) yang akan dipergunakan dalam kontrak. Sumber dari
kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang
merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula, dengan
demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan
kepadanya kebebasan untuk berkontrak
Hukum perjanjian di Indonesia mengatur prinsip
kebebasan berkontrak pada pasal 1338 ayat (1) BW, yang
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas
kebebasan berkontrak ini adalah dengan jalan menekankan
pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan
“perjanjian”.5
4Bayu Seto Hardjowahono, Kontrak-Kontrak Bisnis Transnasional dan UNIDROIT
Principles of International Commercial Contracts (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 2006), h. 36.
5 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1995), h. 4-5.
39
b. Prinsip Itikad Baik (good faith) dan Transaksi Jujur (fair dealing)
Walaupun dinyatakan bebas untuk menentukan isi kontrak,
tetapi segala hal yang dicantumkan di dalam kontak tersebut harus
berdasarkan dengan prinsip bonafide. Berdasarkan prinsip ini, apa
yang telah disepakati para pihak, maka kesepakatan itu harus dihormati
dan dilaksanakan dengan itikad baik.6
Landasan utama dari setiap transaksi komersial adalah prinsip
itikad baik dan transaksi jujur, kedua prinsip ini harus melandasi
seluruh proses kontrak mulai dari negoisasi sampai pelaksanaan
dan berakhirnya kontrak. Seperti pada Pasal 1.7 UPICC yang
menyatakan bahwa ada tiga unsur prinsip itikad baik dan
transaksi jujur, yaitu:7
1) Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang
melandasi kontrak.
2) Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam UPICC‟s
ditekankan pada praktik perdagangan internasional.
3) Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa.
c. Prinsip Diakuinya Kebiasaan Transaksi Bisnis di Negara Setempat
Dalam hal ini, UNIDROIT memberikan pedoman bagaimana
hukum kebiasaan berlaku, terlihat dalam Pasal 1.8 UNIDROIT
Principles yang mengandung hal-hal pokok yang perlu diperhatikan,
yaitu bahwa:
1) Praktik kebiasaan harus memenuhi kriteria tertentu;
2) Praktik kebiasaan yang berlaku di lingkungan para pihak;
6 Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, h. 167.
7 Taryana Sunandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan
Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, h. 42.
40
3) Praktik kebiasaan yang disepakati;
4) Praktik kebiasaan lain yang diketahui luas atau rutin dilakukan;
5) Praktik kebiasaan yang tidak benar;
6) Praktik kebiasaan setempat yang berlaku mengesampingkan aturan
umum.
Apabila praktik kebiasaan telah disepakati untuk diberlakukan
terhadap suatu transaksi, maka hukum kebiasaan akan
mengesampingkan ketentuan umum yang bertentangan dengan
kebiasaan itu. Alasannya adalah karena hukum kebiasaan setempat
mengikat para pihak sebagai syarat-syarat yang mengatur kontrak
secara keseluruhan. Pengecualian diberikan hanya terhadap ketentuan
yang bersifat memaksa.
d. Prinsip Kesepakatan Melalui Penawaran (offer) dan Penerimaan
(acceptance)
Dasar pemikiran dari prinsip-prinsip UNIDROIT adalah
dengan tercapainya kata sepakat saja sudah cukup untuk melahirkan
kontrak. Konsep tentang penawaran dan penerimaan digunakan untuk
menentukan apakah dan kapankah para pihak telah mencapai kata
sepakat. Namun, dalam prakteknya terkadang kontrak menyangkut
transaksi yang rumit dan seringkali terwujud setelah melalui negosiasi
yang cukup panjang tanpa diketahui urutan penawaran dan
41
penerimaannya, sehingga sulit untuk menentukan kapan kata sepakat
itu terjadi.
e. Prinsip Larangan Bernegosiasi dengan Itikad Buruk
Larangan untuk melakukan negosiasi yang berdasarkan itikad
buruk dalam Pasal 2.15 UNIDROIT Principles. Jadi dalam prinsip
UNIDROIT tanggung jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi
dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :
1) Kebebasan negosiasi;
2) Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;
3) Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.
3. Sumber Hukum Kontrak Internasional
Arti kata sumber hukum kontrak internasional adalah di mana kita
dapat menemukan hukum yang mengatur kontrak internasional. Sudargo
Gautama menyatakan, hukum kontrak internasional adalah hukum
(kontrak) nasional yang ada unsur asingnya. Dalam hal tertentu, hukum
nasional tidak mengatur suatu bentuk atau objek yang menjadi substansi
dalam kontrak. Sumber hukum Kontrak Internasional dapat digolongakan
ke dalam 7 bentuk hukum yang diuraikan pada sub sumber-sumber hukum
sebagai berikut:
a. Hukum Nasional
Hukum nasional adalah sumber hukum yang utama (primer)
dalam hukum kontrak internasional. Sudarga Gautama menyatakan,
42
bahwa kontrak internasional adalah kontrak nasional yang ada unsur
asingnya.8 Sebagai contoh, aturan-aturan kontrak atau untuk sahnya
perjanjian di Indonesia tercantum dalam kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan aturan-aturan lainnya yang terkait dengan objek
kontraknya. Hukum nasional di sini termasuk pula aturan-aturan
hukum pemerintah yang terkait baik secara langsung atau tidak
langsung dengan objek kontrak itu sendiri.
b. Dokumen Kontrak
Dokumen kontrak adalah aturan lex specialist dari aturan-
aturan atau prinsip-prinsip hukum. Aturan-aturan dalam dokumen
kontrak, terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak adalah
aturan yang esensial dan utama.
c. Kebiasaan Perdagangan Internasional
Pada pokoknya, kebiasaan perdagangan internasional ini terdiri
atas praktik-praktik dagang, kebiasaan-kebiasaan atau standar-standar
yang dirumuskan oleh berbagai lembaga-lembaga internasional (baik
yang bersifat privat atau publik). Sumber hukum ini disebut juga Lex
Mercatoria (hukum para pedagang), karena hukum ini lahir dan
berkembang berkat praktik atau kebiasaan yang dilakukan oleh para
pedagang sendiri.9 Penerimaan lex mercatoria sebagai sumber hukum
yang mengikat melahirkan kontroversi dari berbagai sarjana. Yang
8Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, h. 70.
9Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, h. 71.
43
menjadi permasalahan adalah penerimaannya ke dalam hukum
nasional. Namun demikian, lex mercatoria dalam perkembangannya
sudah semakin diakui eksistensi dan kekuatan mengikatnya.
d. Prinsip-prinsip Hukum Umum Mengenai Kontrak
Pada tahun 1979, Institut Hukum Internasional (Institut de
Droit International atau the Institute of International Law)
mengeluarkan suatu resolusi berjudul: „Resolutions on Contract
Concluded by International Organizations with Private
Persons’. Resolusi ini menegaskan kembali pengakuan mengenai
sumber hukum ini sebagai salah satu sumber hukum yang cukup
penting. Menurut Hecke prinsip-prinsip hukum umum terkait erat
dengan sumber hukum internasional yang termuat dalam Pasal 38
Statura Mahkamah Internasional.
Hukum internasional secara spesifik tidak sama sekali
mengatur kontrak internasional. Bidangnya lebih menyangkut aturan-
aturan hukum publik yang sifatnya lintas batas negara. Namun
demikian, beliau berargumen bahwa atura-aturan hukum internasional
hanya dapat diterapkan terhadap kontrak internasional, yaitu berupa
prinsip-prinsip hukum umum dari hukum internasional.
e. Putusan Pengadilan
Sumber hukum ini cukup penting untuk mengetahui posisi
pengadilan terhadap aturan-aturan kontrak internasional. Fox
44
menyatakan bahwa cukup banyak putusan pengadilan yang memberi
sumbangan penting bagi perkembangan aturan kontrak internasional.
Putusan hukum ini bersifat persuasif dan menentukan. Dalam arti,
apabila putusan pengadilan tersebut kemudian kemudian diikut oleh
pengadilan-pengadilan selanjutnya secara konsisten atau bahkan kalau
kemudian menjadi jurisprudensi di tanah air, sudah secara nyata
menunjukkan bahwa memang putusan pengadilan memiliki arti atau
nilai penting bagi perkembangan hukum kontrak, termasuk juga aturan
hukum kontrak internasional.
f. Doktrin
Sumber hukum ini dapat dipandang sebagai sumber hukum
tambahan.10
Artinya, doktrin dapat dijadikan acuan untuk menegaskan
ada tidaknya suatu ketentuan hukum mengenai sesuatu objek kontrak.
Doktrin sebenarnya juga dapat tercermin dari putusan-putusan
pengadilan. Hakim-hakim di berbagai majelis pengadilan internasional,
baik arbitrase maupun mahkamah atau pengadilan internasional antara
lain terdiri atas para sarjana yang bertindak dalam kapasitasnya sebagai
hukum. Umunya mereka berasal dari kalangan dunia perguruan tinggi
terkemuka di dunia.
g. Perjanjian Internasional (Mengenai Kontrak)
Perjanjian Internasional adalah salah satu bagian (sumber) saja
dari hukum internasional. Perjanjian internasional dapat berupa
10
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, h. 76.
45
perjanjian bilateral yang berlaku antara dua negara. Perjanjian bilateral
seperti ini yang berpengaruh secara langsung atau tidak langsung
adalah berbagai perjanjian di bidang navigasi, perdagangan atau
persahabatan. Bentuk perjanjian lainnya adalah perjanjian multilateral
yang berlaku bagi lebih dari dua negara.
4. Jenis – jenis Kontrak Internasional
Kontrak internasional dalam dunia bisnis bisa dibedakan dengan
adanya unsur internasional. Unsur internasional dapat berupa para
pihaknya, substansi yang diatur, dan lain-lain. Sebagai contoh apabila
dalam suatu kontrak bisnis para pihak yang mengikatkan diri adalah warga
negara atau badan hukum asing maka hal ini sudah dapat dikategorikan
Kontrak Bisnis Internasional. Contoh Kontrak Bisnis Internasional akan
dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Perjanjian Pendirian Usaha Patungan (Joint Venture Agreement)
Istilah kontrak patungan merupakan terjemahan dari kata joint
venture contract atau joint venture agreement. Joint venture secara
umum dapat diartikan persetujuan diantara dua pihak atau lebih, untuk
melakukan kerja sama. Peter Mahmud mengemukakan bahwa kontrak
joint venture adalah “suatu kontrak antara dua perusahaan untuk
membentuk suatu perusahaan baru”. Perusahaan baru inilah yang
kemudian disebut perusahaan joint venture.
46
Kontrak joint venture yang telah dibuat, biasanya bahasa yang
digunakan adalah dengan menggunakan bahasa inggris, karena hal ini
akan memudahkan para pihak, mengingat kontrak joint venture pada
umumnya adalah bentuk kerja sama dengan perusahaan asing. Dan isi
kontrak tersebut dibuat oleh para pihak yang ikut terlibat.11
b. Perjanjian Pinjam Meminjam (Loan Agreement)
Loan agreement atau perjanjian pinjaman adalah kontrak antara
peminjam dan pemberi pinjaman yang mengatur hak dan kewajiban di
dalamnya. Loan agreement sebagai perjanjian pinjaman luar negeri
fungsinya sama dengan undang-undang yakni berlaku kepada para
pihak yang bersepakat membuat perjanjian. Hal-hal yang berhubungan
dengan syarat sah atau tidaknya loan agreement mengacu kepada
syarat sah perjanjian yang jika dilihat dalam hukum indonesia terdapat
dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Empat syarat sahnya perjanjian
yaitu:12
1) Adanya kesepakatan antara dua belah pihak.
2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
3) Adanya objek tertentu, dan
4) Adanya kausa yang halal
11
Salim H. S. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) , h. 51-57.
12
Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 33.
47
Pemerintah Indonesia acap kali melakukan loan agreement
untuk pengadaan barang atau jasa pemerintah. Alasan terbesar
seringnya loan agreement terjadi adalah karena kurangnya anggaran.
Perlu diketahui bahwa anggaran pengadaan barang / jasa di Indonesia
baik di pusat maupun daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) / Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Penerimaan perpajakan maupun penerimaan bukan pajak
setiap tahunnya akan masuk ke kas negara tidak hanya diperuntukkan
kepada barang / jasa, tapi segalanya sudah mencakup untuk belanja
negara dan pembiayaan dalam ataupun luar negeri.
c. Jual Beli Internasional
Pada prinsipnya jual beli internasional merupakan jual beli biasa,
sehingga aturan hukum tentang jual beli biasa pada prinsipnya berlaku
terhadap jual beli internasional. Hanya saja yang membedakan dengan
jual beli biasa adalah bahwa dalam jual beli internasional, antara pihak
penjual dengan pihak pembeli tidak berada dalam 1 (satu) negara,
sehingga harga ataupun barang harus dikirim dari satu negara ke
negara lainnya. Karena itu, hukum tentang Jual Beli Internasional akan
berjalan berbarengan dengan hukum tentang ekspor-impor.
Ekspor adalah penjualan barang ke luar negeri dengan
menggunakan sistem pembayaran, kualitas, kuantitas dan syarat
penjualan lainnya yang telah disetujui oleh pihak eksportir dan
importir. Proses ekspor pada umumnya adalah tindakan untuk
48
mengeluarkan barang atau komoditas dari dalam negeri untuk
memasukannya ke negara lain. Ekspor barang secara besar umumnya
membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim
maupun penerima
Impor adalah proses pembelian barang atau jasa asing dari suatu
negara ke negara lain. Impor barang secara besar umumnya
membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim
maupun penerima. Impor adalah bagian penting dari perdagangan
internasional. Jika perusahaan menjual produknya secara lokal, mereka
dapat manfaat karena harga lebih murah dan kualitas lebih tinggi
dibandingkan pasokan dari dalam negeri. Impor juga sangat
dipengaruhi 2 faktor yakni, pajak dan kuota. Tingkat impor dipengaruhi
oleh hambatan peraturan perdagangan.
49
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PERKARA NO: 451/PDT.G/2012/PN.JKT.BAR
TENTANG SENGKETA LOAN AGREEMENT ANTARA PT. BANGUN
KARYA PRATAMA LESTARI DAN NINE AM LTD
A. Duduk Perkara
Para pihak dalam putusan perkara No: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt Bar
yaitu PT Bangun Karya Pratama Lestari, yang berkedudukan di Sentra
Niaga Puri Indah Blok T3 Puri Kembangan, Jakarta Barat, diwakili oleh
kuasa hukumnya Antawirya Jaya, S.H, M.H, dan Jimmy G.P Silalahi, S.H,
advokat dan konsultan hukum pada kantor hukum Antawirya &
Associates, berkantor di Wisma Nugraha lantai 4, Jalan Raden Saleh No 6
Jakarta Pusat, sebagai penggugat. Sedangkan tergugat adalah suatu
perusahaan kemitraan terbatas asal Amerika Serikat, Nine AM Ltd, yang
berkedudukan di 16031 East Freeway, Channelview, Texas 77530, USA.
Kasus bermula dari sebuah Loan Agreement tertanggal 23 April
2010 yang dibuat oleh PT Bangun Karya Pratama Lestari dengan Nine
AM Ltd. Perjanjian tersebut mengatur PT Bangun Karya Pratama Lestari
yang dalam hal ini adalah sebuah badan hukum berbentuk Perseroan
Terbatas yang kegiatan utamanya dalam bidang penyewaan atau rental
alat-alat berat, memperoleh pinjaman dana dari Nine AM sejumlah
US$4,422.000 (empat juta empat ratus dua puluh dua ribu Dollar Amerika
Serikat).
50
Sebagai jaminan utang, para pihak membuat akta perjanjian
jaminan fidusia atas benda bergerak tertanggal 27 April 2010, yang dibuat
di hadapan Popie Savitri Martosuhardjo Pharmanto, S.H., Notaris dan
PPAT di Jakarta. Berbeda dengan perjanjian pokoknya, perjanjian jaminan
fiducia tersebut dibuat dalam bahasa Indonesia. Benda yang dijaminkan
adalah enam unit Truk Caterpillar Model 775F Off Highway.
Dengan demikian mekanisme pelunasan pembayaran pinjaman
adalah sebagai berikut:
1. 48 kali angsuran bulanan sebesar US$148,500 (seratus empat puluh
delapan ribu lima ratus rupiah)per bulan, dimana angsuran wajib
dibayar satu bulan setelah tanggal transfer pinjaman ke rekening
debitur, sedangkan angsuran sisanya akan menyusul setelahnya;
2. Pembayaran bunga akhir sebesar US$1,800.000 (satu juta delapan
ratus ribu Dolar Amerika Serikat) yang wajib dibayar pada tanggal
pembayaran akhir angsuran pinjaman.1
Pembayaran angsuran oleh PT Bangun Karya Pratama Lestari yang
semula lancar, menjadi terhenti sejak bulan November 2011 sampai
dengan Juli 2012. Akhirnya pada tanggal 10 Juli 2012, Nine AM
mengeluarkan surat peringatan. Namun setelah perjanjian berjalan selama
dua tahun, PT Bangun Karya Pratama Lestari mengajukan gugatan karena
menurutnya perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat formil, karena
1MA Tolak Kasasi Gugatan Perkara Kontrak Berbahasa Inggris, di akses pada 1 Maret
2017 dari http://www.hukumonline.com/index.php/berita/baca/lt55f90b8b8ca6d/ma-tolak-kasasi-perkara-gugatan-kontrak-berbahasa-inggris/
51
dalam hal ini, syarat sahnya suatu perjanjian, khususnya sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata tidak terpenuhi, yaitu terdapatnya
suatu sebab yang dilarang oleh undang-undang. Perjanjian tersebut dinilai
melanggar Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan. Pasalnya, kontrak tersebut dibuat hanya dalam bahasa
Inggris, tanpa ada bahasa Indonesia.
Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
mengenai Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
yang berbunyi:
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau
perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah
Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan
warga negara Indonesia.
Dalam gugatan perkara No: 451/PDT.G/2012/PN.JKT.BAR, PT
Bangun Karya Pratama Lestari mengajukan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Loan agreement tidak memenuhi syarat formil tertentu sebagaimana
diwajibkan oleh Undang-Undang, maka loan agreement tersebut batal
demi hukum atau setidak-tidaknya tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat (Null And Void; Nietig);
2. Isi loan agreement mengandung ketentuan-ketentuan yang
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan
(Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUH Perdata), maka loan agreement
52
tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat (Null And Void; Nietig);
Gugatan tersebut dikabulkan majelis hakim yang dalam
putusannya menyatakan perjanjian tersebut memang bertentangan dengan
Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Bahasa. Beleid tersebut dengan tegas
mengatur bahasa Indonesia adalah bahasa yang wajib digunakan dalam
sebuah perjanjian. Terlebih lagi ketika daya ikat undang-undang tersebut
adalah tanggal diundangkannya, yang dalam hal ini adalah sejak tanggal 9
Juli 2009 sehingga oleh karena itu setiap kesepakatan atau perjanjian yang
melibatkan Negara, Instansi Pemerintah Republik Indonesia, Lembaga
Swasta Indonesia, atau perseorangan Warga Negara Indonesia yang dibuat
sesudah tanggal 9 Juli 2009 yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia
adalah bertentangan dengan undang-undang, yang dalam hal ini adalah
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Nine AM Ltd menyatakan bahwa gugatan PT Bangun Karya
Pratama Lestari untuk membatalkan Loan Agreement karena tidak dibuat
dalam Bahasa Indonesia adalah tidak berdasar, karena alasan-alasan
berikut ini:2
2Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Batal Demi Hukum, artikel di akses pada 2 Maret
2017 dari http://robertsidauruk.com/pengadilan-perjanjian-tidak-berbahasa-indonesia-batal-demi-hukum/
53
1. PT Bangun Karya Pratama Lestari dalam posisi wanprestasi karena
belum membayar angsuran utang sejak 30 November 2011 sampai
dengan 10 Juni 2012.
2. Sebelum Loan Agreement tertanggal 23 April 2010 dibuat, antara PT
Bangun Karya Pratama Lestari dengan Nine AM Ltd telah
mengadakan Loan Agreement tertanggal 10 November 2006, yang juga
tidak menggunakan Bahasa Indonesia.
3. Tidak terdapat satu ketentuanpun pada Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2009 yang menyatakan perjanjian yang dibuat tidak
menggunakan Bahasa Indonesia mengakibatkan perjanjian tersebut
batal demi hukum.
4. Pada 28 Desember 2009, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
menerbitkan Surat No. M.HH.UM.01.01-35 yang menyatakan
penggunaan Bahasa Inggris pada perjanjian tidak melanggar syarat
formil yang ditentukan dalam UU 24/2009.
Selanjutnya Nine AM mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta, yang dalam putusannya juga memenangkan pihak PT Bangun
Karya Pratama Lestari. Tidak puas dengan putusan yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta maka perseteruan antara dan PT Bangun
Karya Pratama Lestari bermuara ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Namun portal informasi perkara Kepaniteraan Mahkamah Agung dikutip
dari laman resmi kepaniteraan.mahkamahagung.go.id menginformasikan
54
bahwa pada tanggal 31 Agustus 2015, Mahkamah Agung telah menolak
kasasi yang diajukan oleh Nine AM Ltd.3 Putusan kasasi ini berarti
memperkuat putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor:
48/PDT/2014/PT.DKI tertanggal 7 Mei 2014.
B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Dalam pertimbangan putusan Loan Agreement No:
451/PDT.G/2012/PN.JKT.BAR majelis hakim mengemukakan beberapa
alasan terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat dalam perjanjian yang bisa
mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Pasal 31 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan telah secara tegas mewajibkan
Bahasa Indonesia digunakan dalam Perjanjian yang melibatkan lembaga
swasta Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan mengikat
sejak diundangkan yaitu 9 Juli 2009, karenanya setiap perjanjian yang
melibatkan lembaga swasta Indonesia yang tidak menggunakan bahasa
Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.
Majelis hakim menimbang bahwa syarat sahnya perjanjian berupa
sepakat mengikatkan diri dan kecapakan membuat suatu perikatan
merupakan syarat Non Esensialia, yang mana apabila syarat tersebut tidak
terpenuhi maka suatu perjanjian tersebut berakibat dapat dibatalkan,
3 MA Tolak Kasasi Gugatan Perkara Kontrak Berbahasa Inggris, di akses pada 30 Maret
2017 dari http://www.hukumonline.com/index.php/berita/baca/lt55f90b8b8ca6d/ma-tolak-kasasi-perkara-gugatan-kontrak-berbahasa-inggris/
55
sedangkan apabila syarat sahnya perjanjian yang berupa adanya sesuatu
hal tertentu dan adanya kausa yang halal merupakan syarat esensialia,
yang mana apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka suatu perjanjian
tersebut berakibat batal demi hukum. Loan Agreement antara PT Bangun
Karya Pratama Lestari dan Nine AM ditandatangani setelah Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2009 diundangkan, maka tidak dibuatnya Loan
Agreement dalam bahasa Indonesia adalah bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2009 sehingga merupakan perjanjian yang
terlarang karena dibuat dengan sebab yang terlarang (vide Pasal 1335 Jo
Pasal 1337 KUH Perdata) dan karenanya tidak memenuhi syarat esensialia
Perjanjian sebagaimana Pasal 1320 KUH Perdata. Maka, Loan Agreement
batal demi hukum.
Selanjutnya majelis hakim mempertimbangkan bahwa yang
dimaksudkan oleh Tergugat dalam jawabannya tidak dapat melumpuhkan
kata “wajib” yang disebutkan dalam Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009, karena Peraturan Presiden mempunyai kedudukan
yang lebih rendah dari Undang-Undang. Sama halnya dengan surat
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia No.M.HH.UM.01.01.35
tanggal 28 Desember 2009, yang menjawab surat dari 11 (sebelas)
Associate Pengacara mengenai klarifikasi atas implikasi dan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Klarifikasi tersebut menyatakan
bahwa penggunaan Bahasa Inggris pada perjanjian tidak melanggar syarat
formil yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
56
sampai dikeluarkannya Peraturan Presiden sebagaimana ketentuan Pasal
40 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yaitu “ketentuan lebih lanjut
mengenai penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 sampai dengan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden”, dan
juga tidak dapat melumpuhkan kata-kata “wajib” yang terdapat dalam
ketentuan Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
karena Surat Menteri tidak termasuk kepada tata urutan perundang-
undangan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, akhirnya majelis
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat memberikan putusan yang
dinyatakan dalam amar putusan yang dibacakan pada tanggal 20 juni 2013,
sebagai berikut:
I. DALAM EKSEPSI :
- Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;
II. DALAM PROVISI :
- Menolak tuntutan Provisionil dari Penggugat;
III. DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan bahwa loan agreement tetanggal 23-April-2010 yang
dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat batal demi
hukum;
57
3. Menyatakan bahwa Akta Perjanjian Jaminan Fidusia atas Benda
tertanggal 27-April-2010 Nomor: 33 yang merupakan Perjanjian
ikutan (Accesoir) dari Loan Agreement tertanggal 23-April-2010
batal demi hukum;
4. Memerintahkan kepada Penggugat untuk mengembalikan sisa uang
dari pinjaman yang belum diserahkan kembali kepada Tergugat
sebanyak USD.115.540. (seratus lima belas ribu lima ratus empat
puluh Dolar Amerika Serikat);
5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam
perkara ini sebesar Rp 316.000,- (tiga ratus enam belas ribu
rupiah).
C. ANALISIS
Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim atas
sengketa yang diperiksa dan diadilinya. Hakim harus dapat mengolah dan
memproses data-data yang diperoleh selama proses persidangan, baik dari
bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan maupun sumpah yang
terungkap dalam persidangan . Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan
dapat didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan,
profesionalisme dan bersifat obyektif. Untuk itu hakim harus menggali
nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.4 Sumber hukum yang dapat diterapkan oleh
4Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
58
hakim dapat berupa peraturan perundang-undangan berikut peraturan
pelaksanaannya, hukum tidak tertulis (hukum adat), putusan desa,
yurisprudensi, ilmu pengetahuan maupun doktrin/ajaran para ahli.5
Pada penelitian ini penulis akan menganalisis putusan perkara No:
451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar tentang sengketa loan agreement antara PT
Bangun Karya Pratama Lestari dan Nine AM meliputi pengaturan validitas
kontrak yang tidak menggunakan bahasa Indonesia pada sebuah loan
agreement dan bagaimana hakim mendudukkan persoalan dan
menyelesaikan masalah hukum dikaitkan dengan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat dalam perkara Nomor: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar.
Pengaturan bahasa kontrak terdapat dalam Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan Pasal 31 yang menegaskan bahwa:
Ayat (1):
“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau
perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah
Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan
warga negara Indonesia”.
Ayat (2):
“Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa
nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris”.
Terlihat bahwa tanpa dapat ditafsirkan lain, Pasal 31 tersebut
secara tegas mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam suatu
5 R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi (Bandung: Mandar Maju,
2005), h. 146.
59
kontrak yang seluruh atau sebagian pihaknya adalah pihak Indonesia. Jika
kontrak tersebut sebagian pihaknya adalah pihak asing, maka kontrak
tersebut harus pula ditulis dalam bahasa nasional pihak-pihak asing
bersangkutan dan atau dalam Bahasa Inggris. Namun dalam hal ini,
ternyata Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 sama sekali tidak
menyebutkan sanksi terhadap pelanggarannya.
Sehingga berlaku menjadi norma terbuka yang mengundang
banyak penafsiran. Dalam teori ilmu hukum, kondisi aturan yang tidak
disertai sanksi disebut “lex imperfecta”. Sebagai konsekuensinya, aturan
tersebut bersifat fakultatif dan bukan imperatif (memaksa). Kalaupun ada
salah satu pihak yang tidak menaati aturan maka tidak akan ada implikasi
apa-apa bagi pihak tersebut. Dengan kata lain keputusan untuk
menyatakan loan agreement tersebut batal demi hukum dinilai tidak
sesuai.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 pada
saat diundangkannya pada 9 Juli 2009 serta telah jelas dan tidak dapat
ditafsirkan lainnya, maka Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan adalah
hukum khusus (lex specialis) terhadap KUH Perdata. Jadi, aturan
kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia bagi kontrak yang seluruh atau
sebagian pihaknya adalah pihak Indonesia, maupun kewajiban penggunaan
bahasa nasional pihak-pihak asing yang terikat dalam kontrak dan/atau
penggunaan bahasa Inggris sebagai alternatifnya adalah menjadi suatu
60
keharusan dan sepatutnya ditaati oleh para pihak yang akan membuat
kontrak.
Mengenai validitas suatu kontrak dalam hal ini loan agreement
yang dalam pembuatannya tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka
kedudukan sebuah loan agreement tersebut menjadi tidak sah manakala
ditulis tidak menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan Pasal 31 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Oleh karena itu dalam hal
pembuktian dan keabsahan di pengadilan dapat menjadi lemah saat
perjanjian tersebut dibuat dalam bahasa Inggris. Dengan kata lain kita
harus mengabaikan Pasal 31 Ayat (2) yang isinya dapat “ditulis juga”
dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan / bahasa Inggris.
Majelis Hakim dalam putusannya menyebutkan bahwa perjanjian
tersebut dinyatakan batal demi hukum, hal ini berarti mengenyampingkan
adanya surat dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, No. M.HH.UM.01.01.35 tanggal 28 Desember 2009, perihal:
Klarifikasi atas implikasi dan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2009. Dalam surat tersebut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
berpendapat penggunaan Bahasa Inggris pada perjanjian tidak melanggar
syarat formil yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 sampai dikeluarkannya Peraturan Presiden. Akan adanya Peraturan
Presiden tersebut sebagaimana termuat dalam Pasal 40 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara
61
serta Lagu Kebangsaan, yaitu “ketentuan lebih lanjut mengenai
penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
sampai dengan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden.”
Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan, peraturan
presiden tersebut nantinya tidak dapat melumpuhkan kata-kata “wajib”
sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan, karena Peraturan Presiden mempunyai kedudukan yang lebih
rendah dari undang-undang. Demikian pula dengan surat dari Menteri
Hukum dan Ham tersebut, tidak dapat mengalahkan ketentuan
sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dengan demikian karena Loan
Agreement tersebut tidak dibuat dalam bahasa indonesia maka
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
sehingga merupakan perjanjian terlarang karena dibuat dengan sebab yang
terlarang.
Sebelum pembuatan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan,
lembaga pembentuk undang-undang tentunya tidak memikirkan secara
detail tentang apa yang akan terjadi kedepannya. Terlebih lagi jika
dihadapkan dengan era globalisasi dimana sebuah kontrak bisa saja terjadi
di antara dua negara dengan bahasa yang berbeda. Sehingga dapat
dikatakan bahwa undang-undang tersebut tidak bisa digunakan dalam
62
masa sekarang, karena dahulu pembuatan undang-undang tersebut hanya
melihat dari latar belakang orang Indonesia. Hal ini nyata terjadi dalam
sengketa loan agreement antara PT Bangun Karya Pratama Lestari dan
Nine AM.
Dalam kasus ini, pihak tergugat yaitu Nine AM merasa sangat
dirugikan karena hakim membatalkan loan agreement yang telah dibuat
oleh Nine AM dengan BKPL hanya karena perjanjian tersebut tidak dibuat
dalam bahasa Indonesia. Padahal di dalam undang-undang tersebut tidak
ada satupun pasal yang menyebutkan bahwa perjanjian akan menjadi batal
demi hukum (null and void) jika tidak dibuat dalam bahasa Indonesia.
Berdasarkan putusan ini, maka Nine AM merasa dirugikan oleh penegak
hukum di Indonesia, yang kemudian disusul oleh hilangnya rasa
kepercayaan Nine AM untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kasus
ini juga tentunya akan menjadi acuan selanjutnya bagi pihak asing untuk
berpikir ulang dalam menanamkan modalnya di Indonesia, karena
buruknya penegakan hukum di bidang investasi di Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, International Swaps and
Derivatives Association (ISDA) yang diwakili oleh 11 (sebelas) associate
pengacara, dalam suratnya mengenai tanggapan atas putusan pengadilan
No. 451/PDT.G/2012/PN.JKT.BAR terkait loan agreement yang terjadi
antara PT Bangun Karya Pratama Lestari dengan Nine AM, mengatakan
bahwa mewajibkan dokumentasi berbahasa Indonesia dapat menghentikan
anggota-anggota Indonesia dalam pasar OTC derivatif global. Hal tersebut
63
terjadi karena untuk menerjemahkan dokumen hukum, khususnya
dokumen transaksi keuangan seperti dokumen ISDA ke dalam Bahasa
Indonesia bukan merupakan hal yang mudah.
Selanjutnya penulis akan menganalisis bagaimana hakim
mendudukkan persoalan dan menyelesaikan masalah hukum dikaitkan
dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam perkara Nomor:
451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar tentang sengketa loan agreement antara PT
Bangun Karya Pratama Lestari dan Nine AM. Perlu diketahui kasus loan
agreement antara PT Bangun Karya Pratama Lestari dengan Nine AM
sudah memasuki tiga tahapan lembaga peradilan, yaitu pengajuan gugatan
kepada Pengadilan Negeri, pengajuan banding kepada Pengadilan Tinggi
dan pengajuan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Dimulai dari Pengadilan Negeri dimana majelis hakim
memenangkan PT Bangun Karya Pratama Lestari. Dalam pertimbangan
putusan Loan Agreement No: 451/PDT.G/2012/PN.JKT.BAR majelis
hakim mengemukakan bahwa tidak terpenuhinya syarat-syarat dalam
perjanjian yang bisa mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum.
Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan telah
secara tegas mewajibkan Bahasa Indonesia digunakan dalam Perjanjian
yang melibatkan lembaga swasta Indonesia. Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan mengikat sejak diundangkan yaitu 9 Juli 2009, karenanya
64
setiap perjanjian yang melibatkan lembaga swasta Indonesia yang tidak
menggunakan bahasa Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009.
Selanjutnya Nine AM mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta, yang dalam putusannya juga memenangkan pihak PT Bangun
Karya Pratama Lestari. Majelis hakim yang terdiri dari Fritz Jhon Polnaja,
Asnahwati dan Syamsul Bahri Borut itu memutus perkara pada tanggal 7
Mei 2014 dalam putusan nomor 48/Pdt.G/2014/PT.DKI dan menerima
permohonan banding dari kuasa Pembanding semula Tergugat. Majelis
hakim juga menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.
451/PDT.G/2013/PN.JKT.BRT tanggal 20 Juni 2013 silam dan
menghukum Pembanding semula Tergugat untuk membayar biaya perkara
yang timbul dalam kedua tingkat pengadilan, yang dalam tingkat banding
ditetapkan sebesar Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah).
Dalam putusan Nomor 48/Pdt.G/2014/PT.DKI majelis hakim
memberikan pertimbangan hukum bahwa putusan pengadilan sebelumnya
yaitu putusan perkara No. 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar sudah benar dan
tidak bertentangan dengan hukum dilihat dari segi surat bukti, salinan
putusan sela dan salinan putusan akhir, memori banding, serta kontra
memori banding. Selain itu, tidak ada fakta-fakta baru yang melemahkan
putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Tidak puas dengan putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta maka perseteruan antara dan PT Bangun Karya
65
Pratama Lestari bermuara ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Namun
portal informasi perkara Kepaniteraan Mahkamah Agung dikutip dari
laman resmi kepaniteraan.mahkamahagung.go.id menginformasikan
bahwa pada tanggal 31 Agustus 2015, Mahkamah Agung telah menolak
kasasi yang diajukan oleh Nine AM Ltd.6 Putusan kasasi ini berarti
memperkuat putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor:
48/PDT/2014/PT.DKI tertanggal 7 Mei 2014.
Gugatan pembatalan perjanjian dengan alasan Pasal 31 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan juga ditemukan dalam perkara No.
35/PDT.G/2010/PN.PRA di Pengadilan Negeri Praya, Lombok. Perkara
ini secara garis besar mengenai Perjanjian Jual Beli Tanah tertanggal 8
Februari 2010 yang dibuat hanya dalam bahasa Inggris antara Carpenter
Asia Pacific Pty Ltd dengan PT Tate Developments Land and Consultacy,
atas sebidang tanah berukuran ± 8.127 m² (delapan ribu seratus dua puluh
tujuh meter persegi) terletak di Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Provinsi
Nusa Tenggara Barat, Indonesia, senilai Rp 8.127.000.000; (delapan miliar
seratus dua puluh tujuh juta rupiah).
Kemudian diketahui bahwa Neil Allan Tate selaku Direktur PT
Tate Developments Land and Consultacy bukanlah pemilik resmi atas
tanah tersebut, melainkan dimiliki oleh Bati Anjani. Oleh karena itu
6 MA Tolak Kasasi Gugatan Perkara Kontrak Berbahasa Inggris, di akses pada 30 Maret
2017 dari http://www.hukumonline.com/index.php/berita/baca/lt55f90b8b8ca6d/ma-tolak-kasasi-perkara-gugatan-kontrak-berbahasa-inggris/
66
Randolph Nicholas Bolton Carpenter selaku Direktur Carpenter Asia
Pacific Pty Ltd mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Praya pada
6 Juli 2010. Randolph Nicholas Bolton Carpenter juga mendasarkan
gugatannya pada salah satu fakta bahwa Perjanjian Jual Beli Tanah
tersebut hanya dibuat dalam bahasa Inggris, dimana bertentangan dengan
Pasal 31 (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, sehingga perjanjian
tersebut harus dinyatakan batal demi hukum.
Meskipun dalam putusannya hakim memutuskan bahwa perjanjian
jual beli tanah tersebut batal demi hukum karena Tergugat terbukti secara
tidak sah menjual tanah yang bukan miliknya, namun hakim dalam
pertimbangannya tidak mengakui bahwa perjanjian harus dinyatakan batal
demi hukum karena hanya dibuat dalam bahasa Inggris. Pertimbangan
hakim dalam putusan tertanggal 24 Januari 2011 menyatakan bahwa
permintaan Randolph Nicholas Bolton Carpenter untuk menyatakan
perjanjian tersebut batal demi hukum adalah terlalu berlebihan sehingga
hakim menolak dalil tersebut.
Putusan negeri Praya memberikan penafsiran yang tepat atas Pasal
31 (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa
dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan bahwa ketentuan yang
terkandung di dalamnya bukanlah merupakan unsur dari “suatu sebab yang
halal”. Pengadilan menghormati kesepakatan yang telah dibuat oleh para
pihak. Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia yang diatur tetap
67
menghormati asas kebebasan berkontrak yang menjadi pilar utama dalam
kehidupan privat masyarakat. Bahasa adalah pengantar untuk
berkomunikasi, sedangkan isi yang dikomunikasikan adalah hal lain yang
semestinya disebut atau dinilai sebagai “suatu sebab yang halal”. Oleh
karenanya, penggunaan bahasa seharusnya tidak mengakibatkan perjanjian
batal demi hukum.
Sebelum pembuatan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan,
lembaga pembentuk undang-undang tentunya tidak memikirkan secara
detail tentang apa yang akan terjadi kedepannya. Terlebih lagi jika
dihadapkan dengan era globalisasi dimana sebuah kontrak bisa saja terjadi
di antara dua negara dengan bahasa yang berbeda. Sehingga dapat
dikatakan bahwa undang-undang tersebut tidak bisa digunakan dalam
masa sekarang, karena dahulu pembuatan undang-undang tersebut hanya
melihat dari latar belakang orang Indonesia. Hal ini nyata terjadi dalam
sengketa loan agreement antara PT Bangun Karya Pratama Lestari dan
Nine AM.
D. INTERPRETASI
Pengertian interpretasi adalah tafsiran, penjelasan, makna, arti,
kesan, pendapat atau pandangan teoritis terhadap suatu objek yang
dihasilkan dari pemikiran yang mendalam dan sangat dipengaruhi oleh
sudut pandang dan latar belakang orang yang melakukan interpretasi.
Interpretasi dalam pembahasan kali ini dapat dikatakan sebagai
68
keselurahan opini terhadap hasil penelitian kasus sengketa loan agreement
yang terjadi antara PT Bangun Karya Pratama Lestari dengan Nine AM
Ltd yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.
451/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Bar.
Majelis Hakim dalam putusannya menyebutkan bahwa perjanjian
tersebut dinyatakan batal demi hukum. Hal ini berarti mengenyampingkan
adanya surat dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, No. M.HH.UM.01.01.35 tanggal 28 Desember 2009, perihal:
Klarifikasi atas implikasi dan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2009. Dalam surat tersebut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
berpendapat penggunaan Bahasa Inggris pada perjanjian tidak melanggar
syarat formil yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 sampai dikeluarkannya Peraturan Presiden. Akan adanya Peraturan
Presiden tersebut sebagaimana termuat dalam Pasal 40 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara
serta Lagu Kebangsaan, yaitu “ketentuan lebih lanjut mengenai
penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
sampai dengan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden”. Namun
kenyataannya sampai sekarang Peraturan Presiden yang dimaksud belum
dikeluarkan, hal ini membuktikan bahwa asas kepastian hukum belum
dijunjung dalam undang-undang bahasa.
Selanjutnya memang surat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia tidak dapat melumpuhkan kata-kata “wajib” yang
69
terdapat dalam ketentuan Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2009 karena Surat Menteri tidak termasuk kepada tata urutan
perundang-undangan.7 Namun perlu diketahui hal tersebut dapat
digunakan sebagai terobosan hukum dimana dapat dijadikan sebagai dasar
untuk menolak gugatan terkait kewajiban penggunaan bahasa Indonesia
dalam kontrak yang melibatkan warga negara Indonesia, pemerintah, dan
lembaga swasta Indonesia.
Pada kasus sengketa loan agreement antara PT Bangun Karya
Pratama Lestari dengan perusahaan asal Amerika Serikat, Nine AM Ltd
penulis melihat adanya iktikad tidak baik dari pihak Indonesia untuk
membatalkan perjanjian yakni dengan cara menunda pembayaran atas
kewajiban terhutangnya atau yang kita kenal dengan wanprestasi. Adapun
yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan
kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti
yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan
memaksa.8 Hal ini terlihat dari pernyataan Nine AM dalam eksepsinya
menyatakan bahwa:
21. Bahwa sehubungan dengan uraian dari ketentuan Pasal 1238
KUHPerdata tersebut dapat dibuktikan bahwa Penggugat sendiri
yang telah melakukan wanprestasi kepada Tergugat dengan tidak
dipenuhinya perjanjian sebagaimana Tergugat uraikan pada butir
19 di atas. Adapun bukti lainnya yang menunjukkan secara jelas
Penggugat sendiri telah melakukan wanprestasi kepada Tergugat
adalah dengan adanya surat peringatan (somasi) dari Tergugat
kepada Penggugat pada tanggal 10 Juli 2012 (Bukti T-5);
7 Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Putusan No 451/PDT.G/2012/PN.JKT.BAR (tanggal 11
Maret 2017). 8 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), h. 21.
70
22. Bahwa dengan dikirimkannya surat peringatan sebagaimana
Tergugat sebutkan di atas, maka berdasarkan Pasal 11 Perjanjian
Pinjam Meminjam (Loan Agreement), Penggugat dinyatakan telah
wanprestasi (cidera janji). Dengan demikian, Penggugat dalam hal
ini telah terbukti secara jelas telah melakukan wanprestasi (cidera
janji) dengan tidak memenuhi kewajiban-kewajiban Penggugat
dalam membayar angsuran utang yang dimulai sejak 20 November
2011 sampai dikirimnya surat peringatan tersebut di atas;
Sehingga dengan diajukannya pembatalan, maka pembayaran
kewajiban atas wanprestasi pihak BKPL dapat tertunda dengan adanya
gugatan ini, atau indikasi lainnya dengan dibatalkannya perjanjian ini
maka utang BKPL tidak semakin besar kepada pihak Nine AM. Maka dari
itu, hal yang paling utama yang harus di perhatikan oleh Hakim dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara yang di dalamnya terdapat tuntutan
pembatalan perjanjian adalah apakah benar Penggugat beriktikad baik
dalam mencari keadilan atau justru beriktikad buruk.
Pembangunan hukum ke depan seharusnya menerapkan prinsip
efisiensi. Harus mulai mempertimbangkan apakah hukum yang akan
diundangkan itu akan bermanfaat atau tidak jika diundangkan di
masyarakat. Kecuali jika memang para pembentuk undang-undang hanya
merasa berhasil ketika menelurkan puluhan undang-undang baru, sekadar
agar ada undang-undang yang dihasilkan sebagai indikator kerja.
Dalam hal sengketa pembatalan perjanjian tentunya kekuasaan
kekuasaan kehakiman harus lebih berhati-hati dalam mengadili dan
memutuskan perkara yang berkaitan dengan dalil ketiadaan penggunaan
bahasa Indonesia dalam kontrak yang melibatkan warga negara Indonesia,
pemerintah, dan lembaha swasta Indonesia. Jangan sampai lembaga
71
peradilan terjerumus sebagai kendaraan untuk melegitimasi itikad buruk
salah satu pihak untuk melarikan dirinya dari kewajiban yang diatur dalam
kontrak.
Atas dasar sengekta loan agreement untuk mengakhiri
permasalahan kontrak yang mengandung dwi bahasa, maka yang perlu
dilakukan adalah berupa perbaikan hukum dan perbaikan individu.
Peluang mengatur kembali undang-undang bahasa sangatlah besar dan
dapat digunakan sebagai perbaikan hukum. Untuk itu diperlukan para
pihak yang dapat merevisi undang-undang tersebut secara jelas. Hal
tersebut bisa diupayakan dengan cara mengajukan permohonan penafsiran
konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi yang dilakukan dengan cara
menafsirkan di antara dua pasal yaitu Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang
Bahasa dalam kata “Bahasa Indonesia wajib digunakan” dan menafsirkan
Pasal 31 Ayat (2) Undang-undang Bahasa dalam kata “ditulis juga dalam
bahasa nasional pihak asing tersebut”. Hal tersebut dilakukan agar tidak
terjadi kontradiksi di antara para pasal dan tidak terdapat lagi perbedaan
penafsiran di antara pihak terkait.
Selanjutnya perbaikan individu dapat dilakukan untuk
meminimalisir itikad tidak baik salah satu pihak yang ingin menggunakan
undang-undang bahasa sebagai celah untuk merugikan salah satu pihak,
dengan cara memberitahukan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia
dalam kontrak yang melibatkan warga negara Indonesia, pemerintah, dan
lembaga swasta Indonesia kepada masing-masing pihak pada saat pra
72
perancangan kontrak. Perlu diketahui salah satu faktor yang harus
diperhatikan oleh pihak-pihak yang akan mengadakan dan membuat
kontrak adalah terkait bentuk perjanjian standar. Sehingga dalam hal ini
teori fiksi hukum yang menganggap semua orang tahu hukum (presumptio
iures de iure) tidak menjadi sebuah keutamaan. Mengingat hal tersebut
dikhawatirkan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja dan berpotensi untuk
merugikan salah satu pihak di kemudian hari.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk menjawab rumusan masalah dan berdasarkan pembahasan pada
bab-bab sebelumnya, maka penulis mengemukakan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Kedudukan sebuah loan agreement menjadi tidak valid manakala ditulis
tidak menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan Pasal 31 ayat (1)
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Oleh karena itu dalam hal
pembuktian dan valid tidaknya di pengadilan kekuatan kontrak tersebut
dapat menjadi lemah saat perjanjian tersebut dibuat dalam bahasa Inggris.
Dengan kata lain kita harus mengabaikan Pasal 31 ayat (2) yang isinya
dapat “ditulis juga” dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan /
bahasa Inggris.
2. Majelis Hakim mendudukkan persoalan dan menyelesaikan masalah
hukum tentang sengketa loan agreement antara PT Bangun Karya Pratama
Lestari dan Nine AM adalah dengan melihat pada perarturan perundang-
undangan yang ada dan mengesampingkan asas kebebasan berkontrak.
74
Asas kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang
oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Jika dikaitkan
dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam perkara Nomor:
451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar tentang sengketa loan agreement antara PT
Bangun Karya Pratama Lestari dan Nine AM, maka dapat dikatakan asas
kebebasan berkontrak merupakan sebuah hal yang tidak mutlak. Dalam
hal ini sebuah loan agreement yang berbahasa Inggris harus mengikuti
aturan yang tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Bahasa,
yaitu loan agreement tersebut wajib menggunakan bahasa Indonesia.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis
mengajukan saran sebagai berikut:
1. Untuk mengakhiri permasalahan kontrak yang mengandung dwi bahasa,
maka peluang mengatur kembali undang-undang bahasa sangatlah besar.
Untuk itu diperlukan para pihak yang dapat merevisi undang-undang
tersebut secara jelas. Hal tersebut bisa diupayakan dengan cara
mengajukan permohonan penafsiran konstitusional kepada Mahkamah
Konstitusi yang dilakukan dengan cara menafsirkan di antara dua pasal
yaitu Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Bahasa dalam kata “Bahasa
75
Indonesia wajib digunakan” dan menafsirkan Pasal 31 ayat (2) Undang-
undang Bahasa dalam kata “ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing
tersebut”. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi kontradiksi di antara
para pasal dan tidak terdapat lagi perbedaan penafsiran di antara pihak
terkait.
2. Untuk meningkatkan kualitas penelitian-penelitian selanjutnya terkait
permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini, maka peran
akademisi lebih banyak dibutuhkan. Peran tersebut antara lain untuk lebih
memperbanyak bahan kajian atau referensi demi menunjang penelitian,
yang berguna untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Khususnya
yang berhubungan dengan cara penyelesaian sengketa pembatalan
perjanjian serta pengaturan dan keutamaan asas kebebasan berkontrak.
76
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Adolf, Huala. Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung: PT Refika
Aditama, 2007.
---------------.Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Badrulzaman, Mariam Darus. Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Alumni, 1991.
Fuadi, Munir. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1999.
Gautama, Sudargo. Kontrak Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1976
Hardjowahono, Bayu Seto. Kontrak-Kontrak Bisnis Transnasional dan UNIDROIT
Principles of International Commercial Contracts. Bandung: Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan, 2006.
Hawkins, Joycem. Kamus Dwi Bahasa Oxford. Jakarta: Erlangga, 1996.
Hutagalung, Sophar Maru. Kontrak Bisnis di ASEAN. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
J. Satrio. Hukum Perjanjian. Bandung: PT. Aditya Bakti, 1992.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1988.
Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007.
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Perjanjanjian. Bandung: Alumni, 1982.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Nindyo Pramono, Hukum Komersil. Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003.
Rakhmawati, Rosyidah. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Malang:
Bayumedia Publishing, 2004.
77
Salim HS. Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak). Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
----------. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding. Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
----------. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2003.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:UI-Press, 1986.
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta, 1979.
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2005.
----------. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.
Sunandar, Taryana. Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak
dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional. Jakarta: Sinar Grafika,
2004.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012.
Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Bandung: Mandar Maju,
2005.
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan
Putusan Pengadilan Negeri:
Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Putusan Nomor 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt Bar (23
April 2010)
Jurnal Ilmiah:
Pasek Bagiartha, Putu “Kepastian Pelindungan Hukum Bagi Konsumen Atas
Pemberlakuan Kontrak Baku”, Jurnal IUS, Vol 1 No 1, April 2013.
78
Website:
FAT, “MA Tolak Kasasi Gugatan Kontrak Berbahasa Inggris”, artikel diakses pada 8 Oktober 2016 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55f90b8b8ca6d/ma-tolak-kasasi-perkara-gugatan-kontrak-berbahasa-inggris
Robert, “Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Batal Demi Hukum”, artikel di akses pada 2 Maret 2017 dari http://robertsidauruk.com/pengadilan-perjanjian-tidak-berbahasa-indonesia-batal-demi-hukum/