vi. faktor yang memengaruhi kemiskinan · hasil penghitungan menunjukkan bahwa persamaan pertama,...
TRANSCRIPT
VI. FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEMISKINAN
6.1 Analisis Model Regresi Data Panel
Penelitian ini menggunakan model regresi data panel yang digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pro poor growth, yang berarti
pula mempengaruhi poverty reduction. Model ini menggunakan data sekunder BPS
dan data sekunder Departemen Keuangan, menurut provinsi sebanyak 33 provinsi
selama tahun 2005-2009. Terdapat keterbatasan data pada provinsi baru hasil
pemekaran (provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Papua Barat), yaitu data Rata-rata
Lama Sekolah Perempuan (RLSP), Rata-rata Lama Sekolah Laki-laki (RLSL), Rata-
rata Lama Sekolah Laki-laki (RLSL) dan Produktifitas sektor Pertanian (TANI) tahun
2005. Adapun data tersebut pada tahun 2005 diasumsikan sama dengan data yang
digunakan pada provinsi induknya, yaitu data di provinsi Sulawesi Barat sama
dengan data di provinsi Sulawesi Selatan dan data di provinsi Papua Barat sama
dengan data di provinsi Papua. Selain itu, penelitian ini menggunakan tiga persamaan
yang memisahkan variabel Rata-rata Lama Sekolah (RLS) menurut jenis kelaminnya.
Sehingga yang membedakan diantara ketiga persamaan yaitu persamaan pertama
menggunakan variabel RLS, persamaan kedua menggunakan variabel RLSP dan
persamaan ketiga menggunakan RLSL.
Pemilihan Model
Pemilihan diantara dua model regresi data panel, yaitu Fixed Effect Model
(FEM) dan Random Effect Model (REM), dilakukan dengan menggunakan Hausman
Test. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa baik persamaan pertama, kedua
maupun ketiga menunjukkan bahwa REM lebih baik dibandingkan dengan FEM. Hal
ini terlihat dari nilai peluang statistik Hausman yang lebih besar dari 5 persen, yaitu
sebesar 16 persen untuk persamaan pertama, 7,53 persen untuk persamaan kedua dan
5,86 persen untuk persamaan ketiga. Nilai peluang ini memiliki arti bahwa data
pengamatan belum cukup untuk menolak hipotesis tidak adanya korelasi antara
peubah penjelas dengan komponen error, sehingga memenuhi asumsi dasar model
90
REM. Oleh karena itu model REM lebih baik digunakan dalam mengestimasi ketiga
persamaan dibandingkan model FEM.
Pada model REM, pengujian efek random dilakukan dengan Breusch-Pagan
Langrange Multiplier Test (LM Test). Nilai peluang yang lebih kecil dari 5 persen
(probability 0,0000) di ketiga persamaan menunjukkan bahwa cukup bukti untuk
menolak hipotesis bahwa antar individu memiliki varian nol, atau dengan kata lain
tidak ada perbedaan yang berarti antar unit. Hal ini berimplikasi pada pentingnya
pengunaan REM sebagai perkiraan model, dimana terdapat perbedaan yang
signifikan antar unit. Sedangkan pengujian kesesuaian REM (goodness of fit test)
dapat dilihat dari nilai statistik uji F (213,55 untuk persamaan pertama, 169,16 untuk
persamaan kedua dan 179,10 untuk persamaan ketiga) yang ketiganya signifikan
menolak hipotesis semua koefisien bernilai nol, dengan nilai peluang sebesar 0,0000.
Sehingga REM merupakan model yang lebih baik dibandingkan dengan metode
Pooled Ordinary Least Square (Pooled OLS). Hasil output stata secara lengkap ada di
Lampiran 21-23.
Uji Asumsi Outokorelasi dan Heteroskedastisitas
Pengujian ada tidaknya autokorelasi pada model terpilih (REM) dilakukan
dengan Wooldridge Test for Serial Correlation in Panel Data Models (Drukker,
2003). Ketiga persamaan menunjukkan nilai peluang yang sama, yaitu 0,0000 yang
berarti menolak hipotesis tidak terdapat autokorelasi pada order pertama. Hal ini
berarti bahwa REM yang terpilih sebagai model terbaik di ketiga persamaan
melanggar asumsi terbebas dari autokoreasi. Demikian juga dengan uji
heteroskedastisitas di ketiga model terpilih dengan menggunakan Modified Wald
Statistic (Greene, 2002). Nilai peluang sebesar 0,0000 di ketiga persamaan berarti
menolak hipotesis adanya varian yang sama antar individu (homoskedastisitas).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa model REM yang terpilih sebagai model terbaik
untuk ketiga persamaan tersebut melanggar asumsi homoskedastisitas atau dengan
kata lain model REM tersebut mengandung heteroskedastisitas.
91
Permasalahan heteroskedastisitas dan autokorelasi pada model mempengaruhi
perkiraan nilai parameter yang tidak akan memenuhi sifat BLUE (Best Linear
Unbiased Estimate). Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model terpilih
memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model dengan menggunakan
pendekatan Panel-Corrected Standard Error (PCSE) (Greene, 2002 dan Hardin,
1995). Berdasarkan model PCSE ini berarti telah dilakukan koreksi atas
permasalahan heteroskedastisitas, contemporaneously correlated across panel, and
first order autokorelasi (ar1). Hasil perkiraan model dengan PCSE dari ketiga
persamaan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Hasil Regresi Data Panel Faktor yang Memengaruhi Pro Poor Growth
(dengan pendekatan Jumlah Penduduk Miskin) dengan Tiga Persamaan
Variabel
Persamaan Satu (RLS)
Persamaan Dua (RLSP)
Persamaan Tiga (RLSL)
Koefisian P-value Koefisian P-
value Koefisian P-value
C 9,8840 0,000 8,3170 0,000 8,4871 0,000 LnTANI -0,2652 0,000 -0,3096 0,000 -0,2637 0,000 LnINV_PEM -0,0405 0,269 -0,0503 0,205 -0,0509 0,208 LnRLS/LnRLSP/LnRLSL -2,2716 0,000 - - - - LnRLSP - - -1,1129 0,020 - - LnRLSL - - - - -1,5828 0,006 GINI 0,2326 0,224 0,2093 0,444 0,1171 0,592 LnPDDK 0,8786 0,000 0,8828 0,000 0,8991 0,000 F-Test 331,7900 0,000 182,2900 0,000 143,5700 0,000 R-Square 0,9892 0,9881 0,9886 Hausman Test 7,93 0,1600 10,00 0,0753 10,66 0,0586 Breusch and Pagan LM Test 212,52 0,0000 210,48 0,0000 205,78 0,0000
Berdasarkan hasil perkiraan regresi data panel pada Tabel 6., tidak semua
faktor berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin, yang berarti pula tidak semua
faktor berpengaruh terhadap pro poor growth. Walaupun tidak semua faktor
berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah penduduk miskin, akan tetapi tanda
pada koefisien dapat menunjukkan arah hubungannya terhadap jumlah penduduk
miskin. Peningkatan produktifitas sektor pertanian, investasi pemerintah, rata-rata
92
lama sekolah pada persamaan pertama, rata-rata lama sekolah perempuan pada
persamaan kedua, rata-rata lama sekolah laki-laki pada persamaan ketiga berpengaruh
terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin. Demikian juga dengan Indeks gini
dan jumlah penduduk yang memiliki tanda koefisien positif, yang berarti
peningkatannya berpengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin.
6.2 Faktor yang Memengaruhi Pro Poor Growth dengan Pendekatan Poverty
Reduction
6.2.1 Produktifitas Sektor Pertanian
Besarnya pengaruh produktifitas sektor pertanian terhadap pro poor growth
yang berarti pula berpengaruh terhadap poverty reduction dapat dilihat pada nilai
koefisien parameternya yang juga menunjukkan nilai elastisitasnya. Ketiga
persamaan menunjukkan bahwa peningkatan produktifitas sektor pertanian memiliki
pengaruh yang nyata terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin.
Nilai koefisien produktifitas sektor pertanian sebesar 9,8444 pada model
pertama berarti peningkatan produktifitas sektor pertanian sebesar 1 persen akan
mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 9,8444 persen dengan asumsi ceteris
paribus. Berdasarkan persamaan kedua, peningkatan produktifitas sektor pertanian
sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 8,317 persen
dengan asumsi ceteris paribus. Sedangkan berdasarkan persamaan ketiga, nilai
elastisitas sebesar 8,4871 berarti peningkatan produktifitas sektor pertanian sebesar 1
persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 8,4871 persen.
Hasil ini menunjukkan peran penting produktifitas sektor pertanian terhadap
pengurangan jumlah penduduk miskin, yang menjadi salah satu indikator pro poor
growth. Produktifitas terkait erat dengan output dan tenaga kerja. Share output
pertanian terhadap PDRB memang berkisar antara 13-15% selama tahun 2005-2009,
akan tetapi jumlah tenaga kerja yang melebihi 40% menyebabkan pendapatan pekerja
di sektor ini tergolong rendah. Tahun 2008, 56,35 persen dari rumah tangga miskin
dan 64,65 persen rumah tangga miskin tahun 2009 memiliki sumber penghasilan
utama dari sektor pertanian (BPS, 2008 dan BPS, 2009). Hal ini mengindikasikan
93
bahwa lebih dari separuh rumah tangga miskin menggantungkan hidup dari sektor
pertanian. Sehingga peningkatan produktifitas sektor pertanian setidaknya
berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan lebih dari 50 persen rumah tangga
miskin yang memiliki sumber penghasilan utama dari sektor ini.
Suparno (2010) menunjukkan bahwa peningkatan PDRB sektor pertanian
sebesar 1 persen akan mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,138 persen,
dikarenakan 36 persen penduduk menggantungkan sumber penghasilan utamanya
dari sektor pertanian. Seperti halnya Klasen (2007) yang mengindikasikan bahwa
peningkatan produktifitas di sektor tanaman pangan seperti penggunaan bibit dan
input lainnya yang lebih baik, perbaikan sarana perdesaan dan perkembangan akses
petani terhadap kredit usaha akan meningkatkan derajat pro poor growth yang berarti
pula meningkatkan poverty reduction. Demikian juga dengan hasil penelitian dari
Siregar dan Wahyuniarti (2007) bahwa program-program pengentasan kemiskinan
sebaiknya difokuskan di sektor pertanian di perdesaan.
Hasil ini juga sejalan dengan temuan Geda, et. al. (2005) yang meneliti faktor
yang mempengaruhi kemiskinan di Kenya dengan analisis pada tingkat rumah tangga.
Kemiskinan di Kenya terpusat di daerah perdesaan dan di sektor pertanian.
Peningkatan kualitas lahan pertanian dan pemenuhan input pertanian dalam rangka
meningkatkan produktifitas sektor pertanian akan berpengaruh terhadap poverty
reduction.
Peningkatan produktifitas melalui peningkatan output perlu ditingkatkan
dengan meningkatkan investasi di bidang infrastruktur pokok dan riset pertanian,
peningkatan kemampuan petani dan lembaga pendukungnya, perbaikan dan
peningkatan pemanfaatan irigasi, peningkatan akses petani terhadap permodalan,
informasi teknologi pengolahan, serta perbaikan iklim usaha khususnya di sektor
pertanian dan yang berkaitan. Revitalisasi kelembagaan penyuluhan dan kelembagaan
petani menurut Saptana dan Ashari (2007) akan mampu meningkatkan produksi
pertanian yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani
dan mengurangi kemiskinan.Upaya memperlancar sertifikasi tanah dan memastikan
bentuk-bentuk yang tepat bagi penguasaan lahan juga akan membantu peningkatan
94
produktifitas pertanian melalui akses petani terhadap permodalan. Hal ini terkait
keterbatasan petani terhadap permodalan untuk investasi produktif, melalui adopsi
teknologi maju pertanian yang dapat meningkatkan produktifitas (Nuryartono, et al.,
2005). Selain itu Suparno (2010) yang menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah di
sektor pertanian perlu ditekankan kembali agar lebih berorientasi pada penduduk
miskin, karena selama tahun 2002-2008 manfaat pertumbuhan sektor pertanian lebih
banyak dinikmati oleh penduduk tidak miskin daripada penduduk miskin.
Berdasarkan uraian tersebut berbagai cara dapat ditempuh pemerintah dalam
rangka meningkatkan produktifitas pertanian, yang banyak menopang kehidupan
penduduk miskin. Pengadaan infrastruktur pedesaan yang lebih terarah, riset dan
penyuluhan pertanian akan membantu petani dalam meningkatkan produktifitasnya.
Perluasan jangkauan layanan keuangan bagi petani, revitalisasi pertanian melalui
investasi di bidang infrastruktur pertanian dan membangun kembali riset dan
penyuluhan secara desentralisasi, sehingga memungkinkan peningkatan keterlibatan
masyarakat. Memperlancar sertifikasi tanah, serta perbaikan sistem informasi juga
akan berdampak pada produktifitas pertanian sebagai usaha yang berbasis pedesaan
(World Bank, 2006). Peningkatan peran smallholder di bidang pertanian sebagai
strategi pro poor growth juga akan meningkatkan produktifitas pertanian (Birner,
2010). Program subsidi pupuk dan subsidi benih juga berdampak terhadap
peningkatan produktifitas pertanian khususnya tanaman padi dan jagung serta
peningkatan pendapatan petani (IPB, 2010).
6.2.2 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang digunakan dalam estimasi ini digunakan sebagai
pembeda dari ketiga persamaan. Tingkat pendidikan yang didekati dengan rata-rata
lama sekolah (RLS) dibagi menurut jenis kelamin, sehingga persamaan pertama
menggunakan rata-rata lama sekolah total (RLS), persamaan kedua menggunakan
rata-rata lama sekolah perempuan (RLSP) dan persamaan ketiga menggunakan rata-
rata lama sekolah laki-laki (RLSL).
95
Variabel RLS, RLSP, dan RLSL ketiganya signifikan pada tingkat α = 5
persen dalam mempengaruhi jumlah penduduk miskin, dengan nilai peluang
koefisien RLS sebesar 0,000; peluang koefisien RLSP sebesar 0,020 dan peluang
koefisien RLSL sebesar 0,006. Nilai koefisien RLS sebesar -2,2716 memiliki arti
peningkatan rata-rata lama sekolah sebesar 1 persen akan dapat mengurangi jumlah
penduduk miskin sebesar 2,2716 persen. Nilai memiliki arti yang lebih jelas ketika
dibedakan berdasarkan gender, dimana peningkatan 1 persen rata-rata lama sekolah
perempuan akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 1,1129 persen.
Peningkatan 1 persen rata-rata lama sekolah laki-laki akan menurunkan jumlah
penduduk miskin sebesar 1,5828 persen.
Peningkatan human capital sebagai aset dasar bagi penduduk miskin akan
berpengaruh terhadap pro poor growth yang berarti pula berpengaruh terhadap
poverty reduction (Klasen, 2007). Suparno (2010) juga menyatakan bahwa
pentingnya peran pendidikan sebagai investasi modal manusia dalam rangka
mengurangi kemiskinan. Rendahnya tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap
rendahnya produktifitas, sehingga output dan pendapatan juga rendah, selanjutnya
terjadi kemiskinan. Sehingga peningkatan pendidikan khususnya penduduk miskin
akan memberikan kesempatan untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya dan
keluar dari kondisi miskin.
Siregar dan Wahyuniarti (2007) menemukan variabel yang signifikan dan
relatif paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan adalah pendidikan.
Demikian juga dengan Fan (2004) yang membuktikan bahwa modal manusia dalam
pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan
khususnya di Negara-negara di Afrika. Geda, et. al. (2005) menemukan tiga hal yang
berpengaruh terhadap kemiskinan di Kenya, salah satunya yaitu tingkat pendidikan
dari kepala rumah tangga, dan tingkat pendidikan kaum perempuan. Semakin rendah
tingkat pendidikan kepala rumah tangga akan semakin besar memberikan peluang
bagi rumah tangga menjadi miskin. Peningkatan tingkat pendidikan perempuan
berpengaruh terhadap penurunan fertilitas sehingga berdampak pada ukuran rumah
96
tangga (family size), yang merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap
kemiskinan.
Sejak tahun 2007, pemerintah melakukan berbagai langkah konsolidasi
program bantuan untuk penduduk miskin dan hampir miskin. Program tersebut
diwujudkan ke dalam paket bantuan program sebagai berikut: Paket Bantuan dan
Perlindungan Sosial. Paket bantuan ini ditujukan untuk perlindungan dan pemenuhan
hak atas pendidikan, kesehatan, pangan, sanitasi dan air bersih. Paket ini diwujudkan
dalam bentuk beras miskin (raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas
yang dulunya disebut Askeskin), BOS (Bantuan Operasional Sekolah), PKH
(Program Keluarga Harapan) dan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Melalui Paket Bantuan dan Perlindungan Sosial diharapkan terjadi
peningkatan pada tingkat pendidikan penduduk miskin dan hampir miskin. Bantuan
langsung diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin dan
memiliki kesempatan yang lebih untuk pengeluaran di bidang pendidikan. Sedangkan
untuk jangka panjang, melalui program PKH diharapkan terjadi perubahan pola pikir
dan perilaku terhadap kesehatan dan pendidikan. Pemerintah juga menerapkan wajib
pendidikan dasar 9 tahun bagi anak usia sekolah dan membangun/merehabilitasi
sarana dan prasarana pendidikan terutama di wilayah perdesaan, daerah tertinggal,
daerah konflik dan daerah bencana. Akses bagi anak usia sekolah untuk mengenyam
pendidikan juga diperluas melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada jenjang
SD dan SLTP agar dapat membebaskan anak-anak dari pungutan sekolah terutama
dari keluarga miskin. Berbagai beasiswa bagi siswa kurang mampu juga disediakan
pemerintah untuk tingkat SLTA hingga Perguruan Tinggi agar tetap dapat
melanjutkan pendidikannya. Selain itu pemerintah juga meningkatkan peran
pendidikan informal seperti kelompok belajar (kejar) paket A,B,C, sekolah terbuka,
kelompok belajar fungsional dan bimbingan ketrampilan di Sanggar Kelompok
Belajar (SKB). Selain itu pemerintah juga meningkatkan alokasi anggaran pendidikan
sebesar minimal 20 persen dari APBN mulai tahun 2009 (UU no 20 Tahun 2003).
Bahkan 0,5 persen dari Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas
97
Bumi digunakan untuk menambah anggaran pendidikan dasar (UU no 33 Tahun
2004).
6.2.3 Jumlah Penduduk
Peningkatan jumlah penduduk berbanding lurus dengan jumlah penduduk
miskin, dengan nilai koefisien yang signifikan pada tingkat 5 persen di ketiga
persamaan. Tanda positif pada koefisien menunjukkan bahwa peningkatan jumlah
penduduk akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin, dengan
asumsi ceteris paribus. Peningkatan pada jumlah penduduk, memiliki konsekuensi
logis terhadap penyediaan fasilitas dasar (pendidikan, kesehatan, kebutuhan pangan,
dan perumahan). Jika pendapatan dan faktor yang lain diasumsikan tetap, maka
peningkatan jumlah anggota keluarga akan mengurangi kemampuan penduduk untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya. Dengan demikian akan meningkatkan peluang
penduduk menjadi miskin.
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang semula
sebesar 1,49 persen (1990-2000) menjadi 1,52 persen (2000-2010). Peningkatan
jumlah penduduk ini memiliki implikasi peningkatan kebutuhan dasar serta
penyediaan sarana dan prasarana dasar (basic need) dan juga lapangan pekerjaan.
Apabila hal tersebut tidak dapat dipenuhi, pertambahan jumlah penduduk tersebut
akan mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk miskin. Hasil ini sejalan dengan
temuan pada penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2007) bahwa
jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
pengurangan jumlah penduduk miskin. Studi Indra (2008) juga menunjukkan bahwa
peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan jumlah penduduk
miskin.
Pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan redistribusi pendapatan yang berjalan
dengan baik, akan mampu mengatasi kemiskinan. Program Keluarga Berencana
merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menekan laju pertumbuhan penduduk,
98
yang berpengaruh terhadap ukuran rumah tangga, yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap tingkat kesejahteraan terutama penduduk miskin.
Selain itu, peningkatan jumlah penduduk yang dibarengi dengan peningkatan
tingkat pendidikannya, akan berpengaruh terhadap pengetahuan dan keahlian
penduduk, yang berarti pula peningkatan human capital. Hal ini berpengaruh
terhadap produktifitasnya yang pada akhirnya akan berpengaruh juga terhadap
pendapatan khususnya penduduk miskin.
6.2.4 Pengeluaran Pemerintah untuk Investasi Publik atau Investasi Pemerintah
dan Ketimpangan Pendapatan
Investasi pemerintah dan ketimpangan pendapatan keduanya tidak
berpengaruh signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Akan tetapi tanda pada
koefisien menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk investasi
publik (investasi pemerintah) berpengaruh terhadap pengurangan jumlah penduduk
miskin yang berarti pula berpengaruh terhadap pro poor growth, dengan asumsi
ceteris paribus. Koefisien yang tidak signifikan pada level 5 persen ini mungkin
disebabkan waktu penelitian yang kurang panjang. Pengeluaran investasi merupakan
pengeluaran yang dapat dirasakan manfaatkannya dalam jangka panjang, sehingga
jangka waktu 5 tahun masih kurang untuk melihat pengaruh investasi pemerintah
terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk
investasi publik berpengaruh terhadap poverty reduction yang berarti pula
berpengaruh terhadap pro poor growth. Suparno (2010) menemukan bahwa
peningkatan realisasi pengeluaran APBD sebesar 1 persen akan berdampak
mengurangi penduduk miskin sebesar 0,112 persen. Peningkatan realisasi
pengeluaran APBD akan meningkatkan kemampuan pemerintah terutama pemerintah
daerah dari segi pendanaan dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan.
Pengeluaran investasi publik di daerah pedesaan seperti investasi infrastruktur,
invetasi di bidang pertanian dan investasi di bidang pendidikan berpengaruh terhadap
pengurangan penduduk miskin (Fan, 2004). Fan, et. al. (1999) juga menyimpulkan
99
bahwa pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung
terhadap penduduk miskin. Demikian juga Iradian (2005) menyatakan bahwa selain
ketimpangan pendapatan, pengeluaran pemerintah juga memiliki pengaruh terhadap
penurunan kemiskinan. Investasi pembangunan jalan desa, investasi di bidang
kesehatan dan pendidikan akan meningkatkan akses penduduk miskin terhadap
pelayanannya (World Bank, 2006).
Faktor ketimpangan pendapatan yang didekati dengan nilai Indeks Gini
digunakan dalam estimasi persamaan faktor yang mempengaruhi pro poor growth
dengan pendekatan poverty reduction. Walaupun koefisien dari Indeks Gini tidak
signifikan pada tingkat 5 persen, tanda positif pada koefisien menunjukkan bahwa
peningkatan ketimpangan pendapatan yang dinyatakan dengan peningkatan nilai
Indeks Gini akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin,
meskipun penurunan Indeks Gini bukan berarti akan menurunkan kemiskinan.
Aspek ekuitas (distribusi pendapatan yang lebih merata) dari pro poor growth
(pertumbuhan yang berpihak ke penduduk miskin) akan memperkuat dampak
pertumbuhan terhadap pengentasan kemiskinan (Kakwani dan Pernia, 2000). Grimm,
et. al. (2007) juga menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan atau aspek ekuitas
secara langsung akan mengurangi kemiskinan, meningkatkan dampak pertumbuhan
terhadap kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan yang selanjutnya mempercepat
pengentasan kemiskinan. Peningkatan ketimpangan antar wilayah akan berpengaruh
terhadap pro poor growth yang berarti pula berpengaruh terhadap poverty reduction
(Klasen, 2007). Ketimpangan antar wilayah salah satunya bisa didekati dengan
ketimpangan pendapatan antar wilayah yang bisa dilihat dari ukuran indeks gininya.
Demikian juga dengan Gelaw (2010) yang menyatakan bahwa kemiskinan akan tetap
tinggi jika pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan ketimpangan pendapatan.
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pro poor
growth merupakan peningkatan pendapatan (growth) yang memberikan manfaat yang
lebih besar ke pihak miskin daripada non-miskin (Kakwani dan Pernia, 2000).
Selanjutnya badan-badan internasional seperti PBB, Organization for Economic
100
Cooperation and Development (OECD), UNDP, dan Bank dunia lebih sering
menggunakan definisi pro poor growth sebagai pertumbuhan ekonomi yang lebih
menguntungkan penduduk miskin dan memberikan mereka kesempatan untuk
memperbaiki situasi ekonomi mereka seperti dikemukakan Kakwani, et al. (2004).
Selain itu, Klasen (2007) mengidentifikasikan beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap pro poor growth yang didekati dengan poverty reduction,
seperti produktifitas sektor pertanian, tingkat pendidikan, dan ketimpangan antar
wilayah. Sedangkan Siregar dan Wahyuniarti (2007) dan Indra (2008) memasukkan
jumlah penduduk sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap poverty
reduction. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam rangka pengentasan kemiskinan. Komitmen ini
diwujudkan dalam RPJM 2005-2009 yang dikenal dengan triple track strategy
pembangunan yaitu pro growth, pro job dan pro poor. Pertumbuhan ekonomi yang
dicapai, diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih banyak terhadap penduduk
miskin daripada non-miskin, sehingga akan berimplikasi pada terbukanya kesempatan
yang lebih baik baik kelompok penduduk miskin untuk memperbaiki keadaan
kesejahteraannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang telah
dicapai selama RPJM 2005-2009 memiliki kecenderungan menurun dan
memunculkan situasi yang mengarah kepada semakin timpangnya antar provinsi,
demikian juga dengan indeks gini yang menunjukkan ketidakmerataan di tingkat
provinsi yang semakin tinggi. Ketimpangan yang semakin tinggi tersebut tentunya
akan berpengaruh terhadap manfaat pertumbuhan dalam mengurangi kemiskinan. Hal
ini berdampak pada beragamnya tingkat kemiskinan antar provinsi, walaupun secara
nasional menunjukkan adanya penurunan. Provinsi yang memiliki kondisi awal
RPJM 2005-2009 sudah cukup bagus (pertumbuhan cukup tinggi, ketidakmerataan
dan tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibanding provinsi lainnya) pada umumnya
memiliki pencapaian hasil pembangunan yang lebih bagus dibanding provinsi
lainnya. Sebaliknya provinsi dengan kondisi awal yang kurang bagus (pertumbuhan
rendah, ketidakmerataan cenderung tinggi dan kemiskinan yang tinggi) memiliki
101
pencapaian pembangunan yang kurang memuaskan, seperti tingkat kemiskinan atau
ketidakmerataan yang masih tinggi, ataupun pertumbuhan ekonomi yang masih
berada di bawah angka nasional.
Disamping itu, pencapaian pertumbuhan ekonomi secara nasional yang pada
tahun 2005-2006 masih anti pro poor growth, pada akhir periode RPJM telah
memenuhi kondisi pro poor growth yang berarti manfaat pertumbuhan lebih
dirasakan oleh penduduk miskin daripada non miskin. Kondisi ini juga berlaku di
sebagian besar provinsi, dimana pada periode 2008-2009 (periode akhir RPJM 2005-
2009), banyak provinsi yang mencapai kondisi pro poor growth yang ketika periode
2005-2006 masih anti pro poor growth. Walaupun beberapa provinsi justru
mengalami hal yang berkebalikan, yang semula sudah pro poor growth, pada periode
akhir berbalik menjadi anti pro poor growth. Kondisi yang beragam antar provinsi ini
diduga dipengaruhi oleh kondisi awal (initial condition) dari masing-masing provinsi
pada awal periode RPJM 2005-2009 dan karakteristik antar provinsi yang berbeda
satu sama lain. Sehingga walaupun secara nasional terjadi penurunan tingkat
kemiskinan, akan tetapi karena hasil pembangunan yang sangat beragam antar
provinsi berpengaruh terhadap pencapaian tingkat kemiskinan nasional yang masih
jauh dari target RPJM 2005-2009 dan Millenium Development Goals.
Berbagai upaya yang dilaksanakan pemerintah untuk mengentaskan
kemiskinan, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberikan dampak yang
positif terhadap kemiskinan. Adapun upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk
mengentaskan kemiskinan adalah sebagai berikut:
1. Program bantuan yang bersifat langsung ke penduduk miskin seperti raskin,
PKH, jamkesmas, dan lainnya dalam pelaksanaannya memiliki kelemahan
(ADB, 2008). Oleh karena itu, pendataan ulang penduduk miskin dengan kriteria
yang lebih komprehensif, pengawasan pelaksanaan secara ketat dan
berkelanjutan diperlukan agar program bantuan lebih optimal.
2. Banyaknya penduduk miskin yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian
menjadi alasan utama pentingnya peningkatan produktifitas pertanian. Jumlah
tenaga kerja di sektor ini yang melimpah, banyaknya petani dengan kepemilikan
102
lahan yang sempit, serta terbatasnya akses penduduk miskin terhadap
infrastruktur, informasi teknologi, pengolahan, permodalan dan lainnya menjadi
alasan berikutnya untuk meningkatkan produktifitas pertanian. Revitalisasi
pertanian melalui investasi di bidang infrastruktur, pengembangan riset dan
penyuluhan secara desentralisasi, serta memperlancar sertifikasi tanah dalam
rangka peningkatan produktifitas pertanian.
3. Bertambahnya jumlah penduduk berarti bertambahnya jumlah tenaga kerja.
Apabila diiringi dengan peningkatan kualitas pendidikan dan keahlian, maka
akan meningkatkan modal manusia (human capital), yang akan berpengaruh
terhadap produktifitas tenaga kerja dan output. Penduduk miskin yang juga masih
memiliki akses yang terbatas terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan,
perumahan, permukiman dan lainnya menjadi alasan penting peningkatan
pengeluaran untuk pendidikan. Investasi di bidang pendidikan dengan fokus pada
perbaikan akses dan keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan
ketrampilan bagi penduduk miskin, peningkatan mutu dan efisiensi sekolah dasar
diperlukan untuk peningkatan tingkat pendidikan. Selain itu, pengintegrasian
program pengentasan kemiskinan perlu ditingkatkan sosialisasinya terhadap
masyarakat, sehingga membuka peluang yang lebih luas bagi partisipasi
masyarakat terhadap pembangunan.
4. Investasi yang merupakan pengeluaran jangka panjang akan dapat dirasakan
manfaatnya setelah beberapa jangka waktu. Walaupun pengeluaran ini tidak
secara langsung dapat mengurangi kemiskinan, akan tetapi pengeluaran ini pada
waktunya akan dapat dirasakan manfaatnya oleh penduduk miskin. Misalnya
perbaikan infrastruktur seperti jalan, irigasi dan jaringan, pembangunan gedung
pemerintahan, pembangunan gedung sekolah, pembelian alat dan mesin, serta
belanja modal lainnya akan memperluas akses penduduk terhadap berbagai
pelayanan yang diperlukan.
5. Selain itu, perlunya dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan berbagai program
pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan, seperti raskin, BLT,
jamkesmas, askeskin, dan lainnya. Program ini juga perlu ditingkatkan dan