· web viewhal ini diwujudkan melalui pembentukan ‘komite nasional mengenai kebijakan corporate...
TRANSCRIPT
MAKALAH ETIKA BISNISBAB MENGENAI “Good Governance”
Kelompok 7
DISUSUN OLEH:KETUA : GUGUS A. BAKTIOWIDHI
ANGGOTA : GANDARU ALIF FIRMANDA
SASTYA DWI R.
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNISJURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANGOKTOBER 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara umum, Good Governance adalah pemerintahan yang baik. Dalam versi World
Bank, Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan
bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik
maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan
politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha. Hal ini bagi pemerintah maupun swasta
di Indonesia ialah merupakan suatu terobosan mutakhir dalam menciptakan kredibilitas
publik dan untuk melahirkan bentuk manajerial yang handal.
Di Era reformasi hingga saat ini perbincangan good governance selalu menjadi
perbincangan menarik baik dari jajaran politisi, akademisi, birokrat maupun kalangan
mahasiswa. Dalam dunia kampus, Isu-isu mengenai good governance seolah menjadi isu
yang penting dibahas dalam rangkaian studi administrasi Negara konsep-konsep mengenai
pemerintahan yang baik pun diajarkan seperti demokratisasi, desentralisasi, deregulasi,
debirokratisasi, reinventing government dan lain sebagainya. Pada dekade awal abad ke-21,
Bangsa Indonesia menghadapi gelombang besar pada masa reformasi berupa meningkatnya
tuntutan demokratisasi, desentralisasi, dan globalisasi. Sekalipun keadaan serupa pernah
terjadi pada beberapa kurun waktu yang Ialu/ namun tuntutan saat ini mangandung nuansa
yang berbeda sesuai dengan kemajuan zaman.
Globalisasi yang menyentuh berbagai bidang kehidupan di seluruh wilayah
pemerintahan negara menuntut reformasi sistem perekonomian dan pemerintahan, termasuk
birokrasinya, sehingga memungkinkan interaksi perekonomian antar daerah dan antarbangsa
berlangsung lebih efisien. Kunci keberhasilan pembangunan perekonomian adalah daya
saing, dan kunci dari daya saing adalah efisiensi proses pelayanan, serta mutu ketepatan dan
kepastian kebijakan public. Kunci keberhasilan pembangunan perekonomian adalah daya
saing dan kunci dari daya saing adalah efisiensi proses pelayanan, mutu, dan kepastian
kebijakan publik. Dalam upaya menghadapi tantangan tersebut, salah satu prasyarat yang
perlu dikembangkan adalah komitmen yang tsnggi untuk menerapkan nilai luhur dan prinsip
tata kelola (good governance) dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan negara, sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Good Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan
sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan
sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good
Governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam
pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah
berjalan selama 15 tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat
dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih
banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi
yang merupakan dua produk utama Good Governance.
Pentingnya penerapan good Gevernance di beberapa negara sudah meluas mulai +
tahun 1980, dan di Indonesia good gevernance mulai dikenal secara lebih dalam + tahun 1990
sebagai wacana penting yang muncul dalam berbagai pembahasan, diskusi, penelitian, dan
seminar, baik di lingkungan pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat termasuk di
lingkungan para akademisi. Sejak terjadinya krisis moneter dan krisis kepercayaan yang
mengakibatkan perubahan dramatis pada tahun 1998, Indonesia telah memulai berbagai
inisiatif yang dirancang untuk mempromosikan Good Governance, akuntabilitas dan
partisipasi yang lebih luas. Ini berbagai awal yang penting dalam menyebarluaskan gagasan
yang menmgarah pada perbaikan Governance dan demokrasi partisipatoris di Indonesia.
Good Governance dipandang sebagai paradigma baru dan menjadi ciri yang perlu ada dalam
sistem administrasi publik. Secara umum, Governance diartikan sebagai kualitas hubungan
antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dan dilindunginya, Governance mencakup 3
(tiga) domain yaitu state (negara/pemerintahan), private sectors (sektor swasta/dunia usaha),
dan society (masyarakat). Oleh sebab itu, Good Governance sektor publik diartikan sebagai
suatu proses tata kelola pemerintahan yang baik, dengan melibatkan stakeholders), terhadap
berbagai kegiatan perekonomian, sosial politik dan pemanfaatan berbagai sumber daya
seperti sumber daya alam, keuangan, dan manusia bagi kepentingan rakyat yang dilaksanakan
dengan menganut asas: keadilan, pemerataan, persamaan, efesiensi, transparansi dan
akuntabilitas (World Conference on Governance, UNDP, 1999).
Good governance dapat dimaknai secara berlainan, sedangkan sisi yang lain dapat
diartikan sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan, perusahaan atau
organisasi kemasyarakatan, Apabila istilah ini dirujuk pada asli kata dalam bahasa Inggris:
governing maka artinya adalah mengarahkan atau mengendalikan, Karena itu good
governance dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengarahkan, mengendalikan, atau
memengaruhi masalah publik. Oleh karena itu ranah good governance tidak terbatas pada
negara atau birokrasi pemerintahan, tetapi jugs pada ranah masyarakat sipil yang
dipresentasikan oleh organisasi nonpe-merintah dan sektor swasta. Singkatnya, tuntutan
terhadap good governance tidak hanya ditujukkan kepada penyelenggara negara atau
pemerintah, me-lainkan juga pada masyarakat di luar struktur birokrasi pemerintahan.
Sejarah Good Governance
Good governance di Indonesia mulai popular sejak era reformasi bahkan
mengalahkan reformasi politik yang yang pernah popular ditahun 1998, dengan adanya
symbol good governance ini seolah-olah Indonesia masuk dalam standar dunia.
Perkembangan Good governance di Indonesia tidak terlepas dari sejarahnya yang panjang di
Negara-negara dunia.
Dalam konteks masa lalu, governance tidak dikenal. Hal ini karena perubahan
pandangan mengenai governance yang semula adalah government. Dalam jurnal yang ditulis
oleh sutoro eko yang tentunya juga akan banyak mewarnai tulisan saya, kita bisa melihat
beberapa tahapan sejarah singkat dalam perkembangan Good Governance,
Tahap I dilalui dengan konsolidasi pemerintahan yang demokratis didunia barat pada
abad 20,
Tahap ke II adalah pasca perang dunia yang justru peran Negara semakin kuat, basis-
basis politik, ekonomi dan control terhadap masyarakat begitu kuatnya, program-
program welfare state menjadi semakin luas. Negara menjadi omnipotent. Bahkan
bukan sesuatu yang baru Negara menjadi kendaraan tangguh dalam membawa
perubahan social
Tahap III kekuatan Negara yang tidak diragukan dalam memanajerial masyarakat,
membawa barat kepada orientasi yang lain yaitu Negara-negara dunia ketiga, Negara
dunia ke III menjadi perhatian perluasan devlopmentalisme atau moderenisme, namun
sangat disayangkan karena disisi lain kawasan-kawasan Asia, Afrika dan Amerika
Latin justru muncul rezim otoritarian, sehingga konsep modernisasi yang ditawarkan
sebagai pendorong birokrasi yang rasional ditolak mentah karena mereka ditopang
oleh aliansi birokrasi sipil, militer dan masyarakat bisnis internasional.
Tahap IV pada dekade 1980-an menjadi angin segar bagi perkembangan
demokratisasi dan modernisme, karena kenyataan pahit diterima oleh Amerika ketika
reagen naik dan di inggris Margaret naik harus mengahadpi problem serius yaitu
krisis ekonomi dan financial. Kepercayaan masyarakat terhadap Negara akhirnya
menjadi sirna karena Negara bukan sebagai solusi tapi akar dari masalah krisis.
Akhirnya perkembangan pesat terhadap “penyesuaian struktural”, yang lahir dalam
bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar.
Berkembangnya isu-isu baru ini menandai kemenangan pandangan modernisme yang
sejak lama menghendaki peran negara secara minimal, dan sekaligus kemenangan
pasar dan swasta.
Tahap V atau tahap finishing tahun 1990-an proyek demokratisasi yang sudah
diperjuangkan masa lalu berkembang luas ke santero negeri yang ditandai dengan
cara pandang baru terhadap pemerintahan yakni ditandai munculnya governance dan
good governance.
Konsep governance dan good governance dari IMF dan World Bank awalnya hanya
dimaknai sebagai kinerja pemerintahan yang efektif mengingat pengalaman masa lalu bagi
pemerintahan yang buruk yang tentunya juga punya sejarah panjang saat Asia dan Afrika
merdeka sekitar 1960-an lembaga donor ini (world bank) banyak memberikan bantuan untuk
membangun asistensi badan pemerintahan dan pelatihan pejabat public yang diberi nama
institution building. Baru pada tahun 1990-an konsep ini mengalami revitalisasi menjadi
institutional capacity building dibawah rubric Governance for development. Gagasan
governance yang di promosikan oleh badan internasional ini dalam rangka mendorong
reformasi ekonomi dan demokratisasi politik yang diarahkan pada pemerintahan yang baik.
Seiring dengan perjalanan waktu, konsep Good Governance diarahkan pada proses
multi arah yang sebelumnya setelah tahun 1990-an pun masih pada konsep yang lama hanya
terpaku pada pemerintah, namun saat ini konsep tersebut bersifat multiarah artinya tidak
sebatas pada pemerintah namun juga diluar dari pemerintah itu sendiri (masyarakat dan
swasta).
Kesimpulannya governance tidak sekedar pemerintah atau pemerintahan yang
mempunyai kekuasaan dan kewenangan namun lebih dari itu bagaimana kekuasaan dan
kewenangan ini harus bersinerngi dan berinteraksi dengan actor diluar dari pemerintahan.
Artinya bagaimana pemerintah mampu menjadi fasilitator demi kepentingan actor-aktor
tersebut dengan membuat kebijakan dan lain sebagainya.
1.2 Tujuan Penulisan
Maksud dan tujjuan pembuatan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas kelompok
mata kuliah Etika Bisnis mengenai Good Governance dan juga memberikan pengetahuan dan
wawasan agar kita dapat memahami dan mengetahui apa yang di maksud dengan Good
Governance dan apa kaitannya dengan etika bisnis.
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dari Good Governance ?
2. Bagaimana prinsip dari Good Governance ?
3. Apa saja pilar – pilar Good Governance ?
4. Bagaimana karakteristik dari Good Governance ?
5. Bagaimana kaitnnya Good Governance dengan etika bisnis / Good coorporate
Governance ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep dari Good Governance
Governance merupakan terminologi yang digunakan menggantikan istilah
government, menunjukkan penggunaan otoritas politik, dan administrasi dalam mengelola
masalah kenegaraan. Istilah ini secara khusus menggambarkan perubahan peranan
pemerintah dari pemberi pelayanan kepada fasilitator, dan perubahan kepemilikan dari milik
negara menjadi milik rakyat. Pusat perhatian utama gevernance adalah perbaikan kinerja
atau perbaikan kualitas. Governance berarti proses pengambilan keputusan dan proses di
mana keputusan diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Governance dapat
digunakan dalam beberapa konteks sepeerti corporate governance, international governance,
national governance, dan local governance.
Tiga hal yang melatar belakangi munculnya good governance, yaitu:
1. Muncul fenomena yang disebut Samuel P. Hutington sebagai “gelombang
demokratisasi berskala global”. Gelombang ini mulanya muncul di Korea Selatan dan
di beberapa negara Amerika Latin yang menenggelamkan politik birokratik otoriter
pada dasawarsa tahun 1980-an dan berikutnya menyapu bersih sosialisme di eropa
pada awal dasawarsa tahun 1990-an.
2. Terjadinya kehancuran antara sistematik berbagai dasarinstitusional bagi proses
pengelolaan distribusi sumber ekonomi pada sebagian besar masyarakat dunia ketiga.
Institusi bisnis dan politik yang seharusnya memiliki prinsip pengelolaan berbeda
telah berubah menjadi sekutu dan melipat gandakan tumbuhnya kronisme.
Transparansi, akuntabilitas publik dan alokasi berbagai sumber ekonomi gagal
berkembang dalam dunia bisnis.
3. Terakumulasinya kegagalan struktural adjusment program yang diprakarsai IMF dan
bank dunia. Program ini memiliki dan menganut asumsi dasar bahwa negara
merupakan satu-satunya lembaga penghambat proses terjadinya globalisasi ekonomi
(Suryanto, 2001).
Pembaharuan tata pemerintahan atau governance reform adalah adanya kesadaran
bahwa tradisi, institusi dan proses tata pemerintahan yang berlaku berada di bawah standar
yang dapat diterima dan kebulatan tekad serta tindakan untuk meningkatkannya. Pihak terkait
atau stakeholders adlah pihak yang dipengaruhi oleh atau berkaitan dengan keputusan
institusi, organisasi atau jejaring, dan oleh karenanya mencakup seluruh masyarakat
Indonesia dan mitra-mitra internasional Indonesia.
Tata kepemerintahan mempunyai makna yang jauh lebih luas dari pemerintahan. Tata
pemerintahan menyangkut cara-cara yang disetujui bersama dalam mengatur pemerintahan
dan kesepakatan yang dicapai antara individu, masyarakat madani, lembaga masyarakat, dan
pihak swasta.
Ada dua hal penting dalam hubungan ini:
Semua pelaku harus saling tahu apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya.
Adanya dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan di antara mereka.
Melalui proses tersebut, diharapkan akan tumbuh konsensus dan sinergi di dalam
masyarakat. Perbedaan yang ada justru menjadi salah satu warna dari berbagai warna yang
ada dalam tata pengaturan tersebut.
Dari uraian tersebut dapat diformulasikan ciri tata pemerintahan yang baik, yaitu:
Mengikutsertakan masyarakat.
Transparan dan bertanggung jawab.
Efektif dan adil.
Menjamin adanya supremasi hukum.
Menjamin prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus
masyarakat.
Memerhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses
pengambilan keputusan, termasuk menyangkut alokasi sumber daya pembangunan.
Sektor publik sebagai salah satu unsur Good Governance terkait erat dengan tugas
pokok dan fungsi lembaga penyelenggaraan kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif
maupun yudikatif, dan menjadi domain yang terpenting dalam upaya mewujudkan Good
Governance. Peran birokrasi/administrasi publik adalah membantu pemerintahan dalam
merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik. Penerapan Good Governance di sektor
publik akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan terselenggarahnya Good Governance
pada sektor swasta/dunia usaha. Hal ini karena kebijakan publik diperlukan untuk mendorong
terciptanya lingkungan yang kondusif bagi pemanfaatan peluang dan kegairahan kegiatan
produktif masyarakat. Artinya bahwa peran pemerintah melalui kebijakan publik sangat
penting, untuk menfasilitasi terjadinya mekanisme pasar dengan benar dan mencegah
timbulnya monopoli komersial dan KKN (korupsi, kolusi nepotisme).
Konsep Good Governance sebenarnya telah lama dilaksanakan oleh semua pihak
yaitu Pemerintah, Swasta dan Masyarakat, namun demikian masih banyak yang rancu
memahami konsep Governance. Secara sederhana, banyak pihak menerjemahkan governance
sebagai Tata Pemerintahan. Tata pemerintahan disini bukan hanya dalam pengertian struktur
dan manajemen lembaga yang disebut eksekutif, karena pemerintah (government) hanyalah
salah satu dari tiga aktor besar yang membentuk lembaga yang disebut governance. Dua
aktor lain adalah private sektor (sektor swasta) dan civil society (masyarakat madani).
Karenanya memahami governance adalah memahami bagaimana integrasi peran antara
pemerintah (birokrasi), sektor swasta dan civil society dalam suatu aturan main yang
disepakati bersama. Lembaga pemerintah harus mampu menciptakan lingkungan ekonomi,
politik, sosial budaya, hukum dan keamanan yang kondusif. Sektor swasta berperan aktif
dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan memperluas lapangan kerja dan
meningkatkan pendapatan, sedangkan civil society harus mampu berinteraksi secara aktif
dengan berbagai macam aktifitas perekonomian, sosial dan politik termasuk bagaimana
melakukan kontrol terhadap jalannya aktifitas-aktifitas tersebut.
Mewujudkan konsep good governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan
yang baik dan sinergi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam
pengelolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan dan ekonomi. Prasyarat minimal untuk
mencapai good governance adalah adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi,
pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Kebijakan publik yang
dikeluarkan oleh pemerintah harus transparan, efektif dan efisien, serta mampu menjawab
ketentuan dasar keadilan. Sebagai bentuk penyelenggaraan negara yang baik maka harus
keterlibatan masyarakat di setiap jenjang proses pengambilan keputusan (Hunja, 2009).
Konsep good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur
hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik. Human interest adalah faktor terkuat yang
saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara serta
pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa
setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu, kelompok, dan/atau
kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap
kepentingan tersebut selalu terjadi benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang
namanya “good governance” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan
melahirkan jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata
“sepakat”. Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada
proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara
bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor
swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. Negara berperan
memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan yang baik dan
sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada publik. Meruju pada 3 (tiga)
pilar pembangunan berkelanjutan. Dalam pembangunan ekonomi, lingkungan, dan
pembangunan manusia. Good governance menyentuh 3 (tiga) pihak yaitu pihak pemerintah
(penyelenggara negara), pihak korporat atau dunia usaha (penggerak ekonomi), dan
masyarakat sipil (menemukan kesesuaiannya). Ketiga pihak tersebut saling berperan dan
mempengaruhi dalam penyelenggaraan negara yang baik. Sinkronisasi dan harmonisasi antar
pihak tersebut menjadi jawaban besar. Namun dengan keadaan Indonesia saat ini masih sulit
untuk bisa terjadi (Efendi, 2005).
Dengan berbagai statement negatif yang dilontarkan terhadap pemerintah atas
keadaan Indonesia saat ini. Banyak hal mendasar yang harus diperbaiki, yang berpengaruh
terhadap clean and good governance, diantaranya (Efendi, 2005):
1. Integritas Pelaku Pemerintahan,
Peran pemerintah yang sangat berpengaruh, maka integritas dari para pelaku
pemerintahan cukup tinggi tidak akan terpengaruh walaupun ada kesempatan
untuk melakukan penyimpangan misalnya korupsi.
2. Kondisi Politik dalam Negeri,
Jangan menjadi dianggap lumrah setiap hambatan dan masalah yang
dihadirkan oleh politik. Bagi terwujudnya good governance konsep politik
yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di
lapangan. Maka tentu harus segera dilakukan perbaikan.
3. Kondisi Ekonomi Negara,
Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak
teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh.
4. Kondisi Sosial Masyarakat,
Masyarakat yang solid dan berpartisipasi aktif akan sangat menentukan
berbagai kebijakan pemerintahan. Khususnya dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan yang merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat
juga menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan. Namun jika masyarakat yang belum berdaya
di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya
seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good
governance bisa ditegakkan.
5. Sistem Hukum,
Menjadi bagian yang tidak terpisahkan disetiap penyelenggaraan negara.
Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance.
Kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja
pemerintahan secara keseluruhan. Good governanance tidak akan berjalan
dengan baik di atas sistem hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan
sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi
terwujudnya good governance.
Nilai-nilai Bebas Good Governance
Karena Good Governance merupakan sebuah nilai yang bebas maka wajar banyak
individu dan lembaga memaknainya secara beragam tentang konsep Good Governance. Bank
Dunia memberi batasan Good Governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem
peradilan yang dapat diandalkan, serta pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya.
Komunitas Eropa merumuskan good governance sebagai pengelolaan kebijakan sosial
ekonomi yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi
pemerintahan dan pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan lingkungan yang
bershabat dengan pasar bagi pembangunan, langkah-langkah untuk memerangi korupsi,
penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan
ekspresi.
Sedangkan UNDP (1997) memberi pengertian good governance sebagai sebuah
konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi
penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Hal ini merupakan sebuah dialog yang
melibatkan seluruh partisipan, sehingga setiap orang merasa terlibat dalam urusan
pemerintahan. Secara tegas, UNDP mengidentifikasi 6 karakteristik good governance:
Partisipatif.
Transparan dan bertanggungjawab.
Efektif dan berkadilan.
Mempromosikan supremasi hukum.
Memastikan bahwa prioritas sosial, ekonomi, dan politik didasarkan pada konsensus
dalam masyarakat.
Memastikan bahwa suara penduduk miskin dan rentan didengarkan dalam proses
pembuatan keputusan.
Dari pemaparan diatas sesungguhnya Good Governance adalah sebuah nilai yang
memang sudah berkembang sebelumnya, konsep partisipatif, transparent, bertanggung jawab,
efektif efisien, supermasi hokum adalah sebuah konsekuensi logis sebuah Negara. Nilai-nilai
seperti ini bersifat bebas, bebas dalam artian mempunyai definisi dan pengertian yang
berbeda tergantung pada dasar pemikiran yang dianut oleh sebuah Negara. Secara ide Good
Governance dinilai lebih menarik disbanding teori modernisasi yang dahulu banyak dikecam
oleh Negara-negara, dari sisi ini Good Governance belajar dari kegagalan teori tersebut kalau
modernisasi yang menjadi objek adalah Mayarakat dan pasar yang dikendalikan Negara,
sekarang Good Governance lebih mengorientasikan Negara sebagai “terdakwa” sehingga
dipaksa untuk membagikan Sumber Daya kepada masyarakat, namun mayarakat dalam hal
ini justru di dominasi para swasta (capital).
Transformasi Good Governance
Seperti dijelaskan sebelumnya, Good Governance tidak lain merupakan sebuah
manifestasi politik moderenisme baru yang bersumber pada ideology liberalism, kekuatan
ideology yang dibangun dalam Good Governance membawa pengaruh nilai-nilai Good
Governance dalam proses aplikasinya. Watak ideology liberalism yang cenderung pada
kebebasan individu dan ekonomi kapitalisnya justru akan membuka akses pasar yang tidak
terkendali, hal ini akan membawa dampak buruk mengingat akses masyarakat terutama
golongan miskin akan lemah karena mereka tidak mempunyai kemampuan partisipasi dalam
proses politik dan ketidakmampuan kompetisi dalam sector ekonomi.
Sejarah telah membuktikan bahwa kapitalisasi yang besar-besaran telah
menghancurkan tanah ulayat, membuat involusi pertanian, meminggirkan masyarakat dan
memperbesar kemiskinan struktural.
Indonesia cukup menjadi contoh dalam hal ini apalagi ketika dibukanya kerjasama
AFTA (Asian Free Trade Area) yang banyak mematikan pasar-pasar local karena
ketidakmampunannya dalam berkompetisi, padahal sector inilah yang memperkuat pasar
dalam negeri.
2.2 Prinsip – Prinsip Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di
dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu
pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan
semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-
prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan
berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara
konstruktif.
2. Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di
dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses
pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan
dipantau.
4. Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua
pihak yang berkepentingan.
5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda
demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-
kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan
prosedur-prosedur.
6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau
mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai
kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada
seoptimal mungkin.
8. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi
masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga
yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya
tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas
tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang
dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus
memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar
bagi perspektif tersebut.
2.3 Pilar – Pilar Good Governance
Good Governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang
melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah:
Negara
Menciptakan kondisi politik, ekonomidan sosial yang stabil.
Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan.
Menyediakan public service yang efektif dan accountable.
Menegakkan HAM.
Melindungi lingkungan hidup.
Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan public.
Sektor Swasta
Menjalankan industry.
Menciptakan lapangan kerja.
Menyediakan insentif bagi karyawan.
Meningkatkan standar hidup masyarakat.
Memelihara lingkungan hidup.
Mentaati peraturan.
Masyarakat
Menjaga agar hak-hak masyrakat terlindungi.
Mempengaruhi kebijakan public.
Sebagai sarana chek and balance pemerintah.
Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah.
Sarana komunikasi agar anggota masyarakat.
Agar Good Governance dapat berjalan dengan baik, dibutuhkan dari semua pihak.
Baik itu pihak pemerintah, swasta dan masyarakat. Dan untuk mencapai good governance
yang efektif dan efisien, kesetaraan, interpretasi, serta etos kerja dan moral yang tinggi yang
akan digunakan sebagai nilai dasar yang harus dipegang teguh oleh seluruh komponen yang
harus langsung dengan good governance.
2.4 Karakteristik dari Good Governance
Karakteristik Dasar Good Governance
Ada tiga karakteristik dasar good governance:
Diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan
yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu
kaidah yang abadi. Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati
(given) dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan
konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya
kreativitas yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang
menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan
tercipta apabila manusia memiliki sikap inklusif dan kemampuan (ability)
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan, identitas
sejati atas parameter-parameter otentik agama tetap terjaga.
Tingginya sikap lolcransi, baik terhadap saudara sesama agama maupun terhadap
umat agama lain. Secara sederhana, Toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka
mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu,
Quraish Shihab menyatakan bahwa agama tidak semata-mata mempertahankan
kelestariannya sebagai sebuah agama, namun juga mengakui eksistensi agama lain
dengan memberinya hak hidup, berdampingan, dan saling menghormati.
Tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekadar kebebasan dan persaingan,
demokrasi juga merupakan suatu pilihan untuk bersama-sama membangun dan
memperjuangkan perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera.
2.5 Kaitannya Good Governance Dengan Etika Bisnis / Good Coorporate Governance
(GCG)
Beberapa negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang Good Coorporate
Governance. Beberapa negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip
walaupun ada sedikit perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD), umpamanya
mendefinisikan Good Coorporate Governance sebagai cara-cara manajemen perusahaan
bertanggung jawab pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah
dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi
shareholders lainnya. Karena itu fokus utama di sini terkait dengan proses pengambilan
keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility,
accountability, dan tentu saja fairness.
,ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa Good Coorporate Governance
mengandung empat nilai utama yaitu: Accountability, Transparency, Predictability dan
Participation. Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance
Malaysia. Menurut lembaga tersebut Good Coorporate Governance merupakan suatu proses
serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan
perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun
tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang tetapi tetap
memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance
merupakan:
i. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan
komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder lainnya.
ii. Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian
perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang
salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
iii. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian,
berikut pengukuran kinerjanya.
Arti Penting dari Good Coorporate Governance (GCG)
Good Coorporate Governance diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang
efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan GCG
perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya
sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna
produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar
adalah:
a. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang
menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law
enforcement) .
b. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar
pelaksanaan usaha.
c. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena
dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol
sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung jawab.
Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan) adalah suatu subjek yang
memiliki banyak aspek. Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah
menyangkut masalah akuntabilitas dan tanggung jawab/ mandat, khususnya implementasi
pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan
pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem
tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan
penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan
subjek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut pandang pemangku kepentingan, yang
menunjuk perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihak-pihak lain selain pemegang
saham, misalnya karyawan atau lingkungan.
Peranan Etika dalam Good Corporate Governance
1. Code of Corporate and Business Conduct
Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (Code of Corporate and
Business Conduct)” merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance
(GCG). Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan
praktek-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama
perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan (corporate
culture), maka seluruh karyawan & pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan
berusaha mematuhi “mana yang boleh” dan “mana yang tidak boleh” dilakukan dalam
aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran atas Kode Etik merupakan hal yang serius, bahkan
dapat termasuk kategori pelanggaran hukum.
2. Nilai Etika Perusahaan
Kepatuhan pada Kode Etik ini merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan & pimpinan
perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan nilai
pemegang saham (shareholder value). Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan
dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya bukan sekedar buku atau dokumen yang
tersimpan saja. Namun Kode Etik tersebut hendaknya dapat dimengerti oleh seluruh
karyawan & pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat dilaksanakan dalam bentuk tindakan
(action). Beberapa contoh pelaksanaan kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan
& pimpinan perusahaan, antara lain masalah informasi rahasia dan benturan kepentingan
(conflict of interest).
a. Informasi rahasia
Seluruh karyawan harus dapat menjaga informasi rahasia mengenai
perusahaan dan dilarang untuk menyebarkan informasi rahasia kepada pihak lain yang
tidak berhak. Informasi rahasia dapat dilindungi oleh hukum apabila informasi
tersebut berharga untuk pihak lain dan pemiliknya melakukan tindakan yang
diperlukan untuk melindunginya. Beberapa kode etik yang perlu dilakukan oleh
karyawan yaitu harus selalu melindungi informasi rahasia perusahaan dan termasuk
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) serta harus memberi respek terhadap hak
yang sama dari pihak lain. Selain itu karyawan juga harus melakukan perlindungan
dengan seksama atas kerahasiaan informasi rahasia yang diterima dari pihak lain.
Adanya kode etik tersebut diharapkan dapat terjaga hubungan yang baik dengan
pemegang saham (share holder), atas dasar integritas (kejujuran) dan transparansi
(keterbukaan), dan menjauhkan diri dari memaparkan informasi rahasia. Selain itu
dapat terjaga keseimbangan dari kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya
dengan kepentingan yang layak dari karyawan, pelanggan, pemasok maupun
pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
b. Conflict of interrest
Seluruh karyawan & pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang
bebas dari suatu benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perusahaan. Suatu
benturan kepentingan dapat timbul bila karyawan & pimpinan perusahaan memiliki,
secara langsung maupun tidak langsung kepentingan pribadi didalam mengambil
suatu keputusan, dimana keputusan tersebut seharusnya diambil secara obyektif,
bebas dari keragu-raguan dan demi kepentingan terbaik dari perusahaan. Beberapa
kode etik yang perlu dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara
lain menghindarkan diri dari situasi (kondisi) yang dapat mengakibatkan suatu
benturan kepentingan. Selain itu setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang
merasa bahwa dirinya mungkin terlibat dalam benturan kepentingan harus segera
melaporkan semua hal yang bersangkutan secara detail kepada pimpinannya
(atasannya) yang lebih tinggi.
Terdapat 8 (delapan) hal yang termasuk kategori situasi benturan kepentingan
(conflict of interest) tertentu, sebagai berikut :
a) Segala konsultasi atau hubungan lain yang signifikan dengan, atau berkeinginan
mengambil andil di dalam aktivitas pemasok, pelanggan atau pesaing
(competitor).
b) Segala kepentingan pribadi yang berhubungan dengan kepentingan perusahaan.
c) Segala hubungan bisnis atas nama perusahaan dengan personal yang masih ada
hubungan keluarga (family), atau dengan perusahaan yang dikontrol oleh personal
tersebut.
d) Segala posisi dimana karyawan & pimpinan perusahaan mempunyai pengaruh
atau kontrol terhadap evaluasi hasil pekerjaan atau kompensasi dari personal yang
masih ada hubungan keluarga .
e) Segala penggunaan pribadi maupun berbagi atas informasi rahasia perusahaan
demi suatu keuntungan pribadi, seperti anjuran untuk membeli atau menjual
barang milik perusahaan atau produk, yang didasarkan atas informasi rahasia
tersebut.
f) Segala penjualan pada atau pembelian dari perusahaan yang menguntungkan
pribadi.
g) Segala penerimaan dari keuntungan, dari seseorang / organisasi / pihak ketiga
yang berhubungan dengan perusahaan.
h) Segala aktivitas yang terkait dengan insider trading atas perusahaan yang telah go
public, yang merugikan pihak lain.
c. Sanksi
Setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar ketentuan dalam
Kode Etik tersebut perlu dikenakan sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan /
peraturan yang berlaku di perusahaan, misalnya tindakan disipliner termasuk sanksi
pemecatan (Pemutusan Hubungan Kerja). Beberapa tindakan karyawan & pimpinan
perusahaan yang termasuk kategori pelanggaran terhadap kode etik, antara lain
mendapatkan, memakai atau menyalahgunakan asset milik perusahaan untuk
kepentingan / keuntungan pribadi, secara fisik mengubah atau merusak asset milik
perusahaan tanpa izin yang sesuai dan menghilangkan asset milik perusahaan .Untuk
melakukan pengujian atas Kepatuhan terhadap Kode Etik tersebut perlu dilakukan
semacam audit kepatuhan (compliance audit) oleh pihak yang independent, misalnya
Internal Auditor, sehingga dapat diketahui adanya pelanggaran berikut sanksi yang
akan dikenakan terhadap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar kode
etik.Akhirnya diharpkan para karyawan maupun pimpinan perusahaan mematuhi
Code of Corporate & Business Conduct yang telah ditetapkan oleh perusahaan
sebagai penerapan GCG.
Tujuan Penerapan Good Corporate Governance
Penerapan sistim GCG diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi semua
pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut:
Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang
memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai
dan stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi
tantangan organisasi kedepan.
Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para share holders dan stakeholders.
Dalam menerapkan nilai-nilai Tata Kelola Perusahaan, Perseroan menggunakan
pendekatan berupa keyakinan yang kuat akan manfaat dari penerapan Tata Kelola Perusahaan
yang baik. Berdasarkan keyakinan yang kuat, maka akan tumbuh semangat yang tinggi
untuk menerapkannya sesuai standar internasional. Guna memastikan bahwa Tata Kelola
Perusahaan diterapkan secara konsisten di seluruh lini dan unit organisasi, Perseroan
menyusun berbagai acuan sebagai pedoman bagi seluruh karyawan. Selain acuan yang
disusun sendiri, Perseroan juga mengadopsi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal penerapan prinsip GCG harus disadari bahwa penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang baik hanya akan efektif dengan adanya asas kepatuhan dalam kegiatan
bisnis sehari-hari, terlebih dahulu diterapkan oleh jajaran manajemen dan kemudian diikuti
oleh segenap karyawan. Melalui penerapan yang konsisten, tegas dan berkesinambungan dari
seluruh pelaku bisnis. Dengan pemberlakukan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas akankah implementasi GCG di Indonesia akan terwujud ? Hal ini
tergantung pada penerapan dan kesadaran dari perseroan tersebut akan pentingnya prinsip
GCG dalam dunia usaha.
STUDI KASUS
(ETIKA BISNIS TAK BERJALAN DI INDONESIA: ADA APA DALAM CORPORATE
GOVERNANCE?)
Dalam studi kasus ini akan membahas berbagai kendala penerapan konsep CG
(Corporate Governance) di Indonesia, dari sudut pandang etika bisnis. Bagian pertama
meninjau ulang makna/pengertian konsep CG. Bagian kedua membahas perkembangan
konsep CG berkaitan dengan pandangan umum mengenai pelaksanaan CG di Indonesia.
Berbagai kendala penerapan CG di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan etika bisnis,
dibahas pada bagian berikutnya, dan diakhiri dengan bagian penutup.
Berbagai isu yang berhubungan dengan Corporate Governance - disingkat CG- menjadi
populer di Indonesia di penghujung abad ke-20, tepatnya setelah terjadinya krisis ekonomi
dalam bulan Juni 1997. Isu semacam itu menguat kembali setelah runtuhnya beberapa
raksasa bisnis dunia seperti Enron and WorldCom di AS1, dan tragedi jatuhnya HIH dan One-
tel di Australia pada permulaan abad ke 21. Isu CG semakin gempar setelah berbagai
lembaga keuangan multilateral, seperti World Bank dan ADB mengungkap bahwa penyebab
krisis keuangan yang melanda berbagai negara, terutama di Asia, tak lain adalah buruknya
pelaksanaan Corporate Governance. Dalam hal ini, Indonesia merupakan negara yang paling
menderita serta paling lambat bangkit dari dampak tersebut (ADB 2000). Di Indonesia, krisis
ekonomi ini telah berkembang dan bersifat multi dimensi, karena diikuti krisis politik serta
berbagai masalah dalam negeri lainnya.
Hal ini diperparah oleh lemahnya mekanisme berbagai institusi penyangga sistem
perekonomian negara. Keadaan menjadi semakin parah karena rendahnya kadar penegakan
hukum sebagai benteng terakhir yang diharapkan dapat menjamin tegaknya aturan dan
berjalannya sistem yang ada. Apalagi, larinya modal dalam negeri ke negara lain (capital
flights) sangat besar jumlahnya, sehingga secara teknis menyebabkan Indonesia dianggap
bangkrut. Dalam kondisi demikian, tidak mengherankan bila lembaga keuangan terbesar di
dunia (IMF) datang menawarkan program penyelamatan ekonomi kepada Indonesia.
Lembaga ini mensyaratkan adanya perbaikan serta peningkatan praktik CG di Indonesia
(Kurniawan & Indriantoro 2000). Letter of intent yang ditandatangani pemerintah RI bersama
lembaga ini menjadi tonggak awal dimulainya reformasi sistem CG nasional secara legal-
formal2. Hal ini diwujudkan melalui pembentukan ‘Komite Nasional Mengenai Kebijakan
Corporate Governance’ melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Ekuin tahun 1999.
Pada tahun berikutnya, dihasilkan kode etik untuk pelaksanaan CG melalui ‘Code for Good
Corporate Governance’ (2000). Namun demikian, hingga tulisan ini selesai, penerapan kode
etik itu belum bersifat wajib (mandatory) atau masih bersifat himbauan (optional) dan hanya
ditujukan pada perusahaan yang tercatat dipasar modal. Masalahnya sekarang, Corporate
Governance itu harus seperti apa.
KENAPA CORPORATE GOVERNANCE?
Dari paparan di atas, pertanyaan paling mendasar yang muncul dari kalangan umum
adalah; kenapa berbagai praktik yang dilakukan perusahaan (corporate) berhubungan dengan
krisis ekonomi-nasional secara menyeluruh. Salah satu alternatif jawaban atas pertanyaan ini
dapat dilihat dari sudut pandang organisasi sebagai sebuah sistem. Fenomena ini dapat
diamati melalui pemahaman bahwa sebuah sistem terdiri dari berbagai komponen (sub-
system) seperti “perusahaan” dan kelembagaan (institusi) lainnya yang akan berinteraksi di
dalam sistem tersebut. Sebagaimana kutipan yang disajikan di awal tulisan ini, Adam Smith
mengibaratkan sistem ini melalui permainan papan catur besar. Setiap bidak yang berada di
papan permainan mempunyai fungsi/peranan serta aturan main (motion) yang berbeda-beda.
Misalnya, fungsi serta aturan main bidak ‘gajah’ dengan ‘kuda’ adalah berbeda, dan pemain
berperan untuk menjaga agar semua bidak berfungsi/berperan dan berjalan sesuai dengan
aturan mainnya, sehingga permainan dapat dilaksanakan secara baik. Sebagai sebuah sistem,
permainan akan menjadi lancar dan menarik, jika semua komponennya berjalan sesuai
dengan fungsi atau peranannya dan berinteraksi secara harmoni. Sebaliknya, jika bidak dan
pemain tidak mengikuti aturan main yang ditetapkan, akan terjadi kekacauan (disorder)
dengan akibat tidak tercapainya tujuan permainan yang diinginkan. Pada intinya, sistem
adalah adalah kesatuan antar komponen sehingga bila satu komponen berjalan menyimpang,
maka system akan menjadi kacau.
Dari metafora di atas, jelas bahwa CG sebenarnya merupakan suatu sistem, yang
terdiri dari berbagai perangkat/kelembagaan serta aturan main (code of conduct) dan hukum
yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan (cheks and balances) agar sistem dapat
bekerja secara optimal. Secara umum, CG dapat dibedakan dengan fenomena manajemen
lainnya melalui pemahaman istilah sederhana berikut. Manajemen dapat diartikan sebagai
suatu mekanisme yang akan menjamin bahwa segala sesuatu “dilakukan secara benar” (doing
things right) atau manajemen berhubungan dengan aktivitas manages the “things” (Takala
1998). Sementara CG adalah mekanisme untuk “melakukan sesuatu yang benar, secara
benar” (doing the right things right), dengan penekanan makna pada “the right things”.
Melalui pembedaan yang sangat mendasar ini, terlepas dari setuju atau tidaknya seseorang,
pembelajaran yang bisa dipetik dalam hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Konsep
manajemen, merupakan hal yang sudah dikenal, diterapkan untuk jangka waktu panjang dan
berkembang secara pesat. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, berbagai teknik manajemen
telah menjadi semakin canggih dan variatif.
Tetapi konsep ini dianggap belum mampu menjawab pertanyaan; kenapa dengan
manajemen yang canggih sekalipun, perusahaan kelas dunia seperti Enron bisa runtuh? Salah
satu kelemahan dari konsep ini adalah tidak dipisahkannya prinsip yang “benar” dengan yang
“salah” sebelum dilakukan (do) secara “benar”. Artinya, terlepas dari apakah sesuatu hal itu
“benar” atau “salah” semuanya dikerjakan “secara benar” atau telah sesuai dengan prosedur.
Dalam kasus Enron, misalnya, pengelola perusahaan melalui teknik yang canggih dan
meng(make-up) sedemikian rupa terhadap kinerja usaha perusahaan sehingga mampu
menutupi kondisi perusahaan yang sebenarnya.
Dibalik hal tersebut, sebagaimana terbukti belakangan, keadaan internal perusahaan
ini jauh dari kondisi sehat (Zandstra 2002). Berbeda dengan konsep ini, CG memberikan
penekanan pada the right things sebelum dikerjakan secara benar. Berkaitan dengan ini hal
yang paling mendasar adalah sebelum memutuskan atau melakukan sesuatu perlu
dipertimbangkan apakah hal tersebut “benar” (right) atau “salah” (wrong) sebelum dilakukan
(do) dengan “benar”. Dengan demikian, konsep CG sama sekali tidak berlawanan dengan
konsep manajemen, tetapi lebih bersifat saling mendukung satu sama lainnya.
Tegasnya, melakukan “sesuatu secara benar” adalah penting, tetapi memutuskan apakah yang
akan dilakukan itu adalah “sesuatu yang benar” merupakan hal yang lebih penting. Adalah
sesuatu yang mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan jika kita berbicara mengenai
kriteria suatu dikotomi antara sesuatu yang “benar” dengan “salah”. Menurut penulis, hal ini
lebih bermuara kepada masalah moralitas, dan dalam konteks CG, aplikasi dari dikotomi ini
berkaitan dengan etika bisnis individu yang berada di dalam sebuah sistem (akan dibahas
lebih detail pada bagian kendala penerapan CG).
DAFTAR PUSTAKA
http://www.transparansi.or.id/tentang/good-governance/
http://blog.umy.ac.id/stratasatu/2012/06/30/penerapan-konsep-good-governance-dalam
proses-manajemen-perkotaan/
http://beritagratis.blogspot.com/2009/10/penerapan-good-governance-di-indonesia.html
http://www.transparansi.or.id/tentang/good-governance/
Miko Kamal, Undang Undang PT dan Harapan Implementasi GCG, www.alf.com, 2008
Sita Supomo, Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Prinsip GCG,
www.worldbank.org
http://id.wikipedia.org/wiki/Good_Governance
http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/index2.php?
option=com_content&task=view&id=257847&pop=1&page=0 (Reformasi Birokrasi dan
Pembangunan Ekonomi)
Sebagian dikutip dalam buku Yeremias T. Keban. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi
Publik. Yogyakarta : Gava Media