sarafambarawa.files.wordpress.com  · web viewpada tanggal 20 juli 2019 pukul 19.00, pasien datang...

84
LAPORAN KASUS STATUS EPILEPTIKUS DD SOP INTRACRANIAL Pembimbing: dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan Sp.S, M.Sc Disusun oleh: Aoulia Ajeng Rahmawati H2A014056P KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN SARAF 1

Upload: others

Post on 06-Jan-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

STATUS EPILEPTIKUS DD SOP INTRACRANIAL

Pembimbing:

dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan Sp.S, M.Sc

Disusun oleh:

Aoulia Ajeng Rahmawati

H2A014056P

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

RSUD AMBARAWA

2019

1

I. IDENTITAS PASIEN

No. RM : 1507xxx-20xx

Nama : Ny. M

Tanggal Lahir : 15 Agustus 1994

Umur : 24 tahun 11 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Sanggrahan 02/02, Lodoyong

Pekerjaan : Pelajar

Pendidikan : SMK

Status : Menikah

Tanggal Periksa : 23 Juli 2019

Ruangan : Ruang 201.1, Bangsal Mawar

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan aloanamnesis dengan

suami pasien, serta dari catatan rekam medik, tanggal 23 Juli 2019 di Bangsal

Mawar, RSUD Ambarawa.

Keluhan Utama:

Kejang.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pada tanggal 20 Juli 2019 pukul 19.00, Pasien datang ke IGD RSUD

Ambarawa diantar oleh suami dan ibu pasien dengan keluhan kejang saat

perjalanan menuju rumah sakit. Kejang terjadi sebanyak 6 kali dari pukul

19.20 sampai 05.00. Rata – rata durasi kejang < 5 menit tetapi saat kejang

yang terakhir merupakan kejang paling lama dengan durasi kurang lebih 30

menit. Kejang terjadi diseluruh tubuh dengan kedua mata pasien melirik ke

arah atas, mulut menganga tanpa adanya busa maupun cairan yang keluar.

Setelah kejang, pasien langsung tersadar tanpa mengalami penurunan

kesadaran namun pasien tidak mengingat bahwa ia mengalami kejang.

Keluhan lain seperti nyeri kepala (+) seperti cekot-cekot dan terus menerus,

muntah sebanyak 3 kali yang berwarna kekuningan disertai isi makanan yang

2

dimakan sebelumnya, mual (+), berkeringat (+), sesak napas (-), BAB dan

BAK normal, gangguan tidur (-), perubahan perilaku (-), gangguan suasana

perasaan (-), pasien sering tampak melamun tetapi saat diajak berkomunikasi

tetap nyambung dan mengerti, kesemutan (+), tebal (-), seperti terkena aliran

listrik (-), gangguan mengenali bentuk benda (-), gangguan penglihatan (-),

pandangan mata kabur (+), pandangan ganda (-), gangguan pembauan (-),

bicara pelo (+), kelemahan anggota gerak kanan (+), gangguan keseimbangan

saat berjalan (-).

Pasien mengatakan 7 tahun yang lalu mengalami kejang sebanyak 1 kali

dengan durasi < 3 menit. Kejang terjadi saat pasien melakukan kegiatan

disekolah. Setelah kejang, pasien langsung sadar dan tidak mengingat kejadian

apa yang sebelumnya terjadi. Keluhan disertai dengan adanya nyeri perut

terus-menerus dan nyeri kepala cekot-cekot. Pasien sudah berobat ke dokter

dan diberi obat selama satu bulan setelah itu membaik.

Selama 5 tahun ini pasien sering mengalami nyeri kepala disertai cekot-

cekot. Nyeri kepala hilang timbul. Namun saat digunakan untuk tidur keluhan

berkurang, keluhan ini sering dihiraukan oleh pasien karena menganggap sakit

kepala biasa.

Selama 2 minggu ini, pasien mengalami demam. Demam terjadi terus

menerus. Keluhan ini mengganggu aktivitas pasien. Demam hanya turun saat

pasien minum obat. Tetapi tidak kunjung membaik.

Saat ini pasien mengeluh pusing terus menerus disertai rasa cekot – cekot.

Rasa mual masih ada namun sudah tidak muntah. Batuk tidak berdahak

dengan frekuensi terus menerus. Pasien juga mengeluh adanya sariawan pada

lidah pasien sehingga sakit saat makan. Selain itu, pasien merasa anggota

gerak sebelah kanan mengalami kelemahan sehingga tidak bisa digerakan.

BAB dan BAK normal. Sudah tidak demam dan tidak kejang.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat kejang demam saat kecil dan riwayat kejang epilepsy disangkal.

Riwayat nyeri kepala kronis diakui. Riwayat vertigo disangkal. Riwayat

trauma sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit jantung, riwayat hipertensi,

riwayat DM, riwayat stroke disangkal. Riwayat operasi, riwayat rawat inap,

3

riwayat alergi, riwayat mengkonsumsi obat-obatan, riwayat keganasan

disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat keluhan serupa pada keluarga : disangkal

2. Riwayat hipertensi : disangkal

3. Riwayat diabetes mellitus : disangkal

4. Riwayat jantung : disangkal

5. Riwayat kejang : disangkal

6. Riwayat stroke : disangkal

Riwayat Pengobatan

Saat kejang pertama, pasien pernah berobat ke dokter namun sudah lama

tidak kambuh sehingga pasien sudah tidak minum obat sampai sekarang.

Untuk demam, pasien sudah berobat namun tidak terjadi perbaikan.

Riwayat Pribadi Dan Sosial Ekonomi

Pasien merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Pasien sudah menikah

dan tinggal bersama suami. Pasien tidak merokok, tidak mengkonsumsi

alkohol, dan jarang berolahraga. Pasien menggunakan asuransi kesehatan

untuk pembiayaan rumah sakit.

Anamnesis Sistem

Sistem Serebrospinal : Nyeri kepala (+), muntah (+), riwayat penurunan

kesadaran (-) kelemahan anggota gerak (+) sisi

kanan, perubahan tingkah laku (-), wajah merot

(+), bicara susah (+), kesemutan/baal (+)

Sistem Kardiovaskuler : Riwayat hipertensi (-) riwayat sakit jantung (-)

nyeri dada (-)

Sistem Respirasi : Sesak napas (-), batuk (+)

Sistem Gastrointestinal : Mual (+) muntah (-) diare (-) makan minum (+)

BAB (+)

Sistem Neurologi : Kelemahan anggota gerak (+) sisi kanan

Sistem Urogenital : BAK (+), sulit berkemih (-) nyeri berkemih (-)

4

Resume Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pasien

berumur 24 tahun. Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan

kejang. Pasien mengatakan 7 tahun yang lalu mengalami kejang sebanyak 1

kali dengan durasi < 3 menit. Keluhan disertai dengan adanya nyeri perut

terus-menerus dan nyeri kepala cekot-cekot. Pasien sudah berobat ke dokter

dan diberi obat selama satu bulan setelah itu membaik. Selama 5 tahun ini

pasien sering mengalami nyeri kepala disertai cekot-cekot. Nyeri kepala

hilang timbul. Namun saat digunakan untuk tidur keluhan berkurang, keluhan

ini sering dihiraukan oleh pasien karena menganggap sakit kepala biasa.

Selama 2 minggu ini, pasien mengalami demam. Demam terjadi terus

menerus. Keluhan ini mengganggu aktivitas pasien. Demam hanya turun saat

pasien minum obat. Tetapi tidak kunjung membaik.

Pada tanggal 20 Juli 2019 pukul 19.00, Pasien datang ke IGD RSUD

Ambarawa diantar oleh suami dan ibu pasien dengan keluhan kejang saat

perjalanan menuju rumah sakit. Kejang terjadi sebanyak 6 kali dari pukul

19.20 sampai 05.00. Rata – rata durasi kejang < 5 menit tetapi saat kejang

yang terakhir merupakan kejang paling lama dengan durasi kurang lebih 30

menit. Kejang terjadi diseluruh tubuh dengan kedua mata pasien melirik ke

arah atas, mulut menganga tanpa adanya busa maupun cairan yang keluar.

Setelah kejang, pasien langsung tersadar tanpa mengalami penurunan

kesadaran namun pasien tidak mengingat bahwa ia mengalami kejang.

Keluhan lain seperti nyeri kepala (+) seperti cekot-cekot dan terus menerus,

muntah sebanyak 3 kali yang berwarna kekuningan disertai isi makanan yang

dimakan sebelumnya, mual (+), berkeringat (+), sesak napas (-), BAB dan

BAK normal, gangguan tidur (-), perubahan perilaku (-), gangguan suasana

perasaan (-), pasien sering tampak melamun tetapi saat diajak berkomunikasi

tetap nyambung dan mengerti, kesemutan (+), tebal (-), seperti terkena aliran

listrik (-), gangguan mengenali bentuk benda (-), gangguan penglihatan (-),

pandangan mata kabur (+), pandangan ganda (-), gangguan pembauan (-),

5

bicara pelo (+), kelemahan anggota gerak kanan (+), gangguan keseimbangan

saat berjalan (-).

Saat ini pasien mengeluh pusing terus menerus disertai rasa cekot – cekot.

Rasa mual masih ada namun sudah tidak muntah. Batuk tidak berdahak

dengan frekuensi terus menerus. Pasien juga mengeluh adanya sariawan pada

lidah pasien sehingga sakit saat makan. Selain itu, pasien merasa anggota

gerak sebelah kanan mengalami kelemahan sehingga tidak bisa digerakan.

BAB dan BAK normal. Sudah tidak demam dan tidak kejang.

Pasien sudah berobat ke dokter namun sudah lama tidak kambuh sehingga

pasien sudah tidak minum obat sampai sekarang. Riwayat kejang demam saat

kecil dan riwayat kejang epilepsy disangkal. Riwayat nyeri kepala kronis

diakui. Riwayat vertigo disangkal. Riwayat trauma sebelumnya disangkal.

Riwayat penyakit jantung, riwayat hipertensi, riwayat DM, riwayat stroke.

Riwayat operasi, riwayat rawat inap, riwayat alergi, riwayat mengkonsumsi

obat-obatan, riwayat keganasan disangkal.

Diskusi I

Dari hasil anamnesis didapatkan seorang anak perempuan berusia 24 tahun

mengalami kejang. Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan

sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai

pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial

atau fokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan

kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak

yang terkena.

A. Kejang

Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara

yang menyebabkan aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik

serebral yang berlebihan (Betz & Sowden; 2002). Epilepsi ialah

manifestasi gangguan otak akibat berbagai etiologi yang ditandai oleh

gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berulang yang disebabkan oleh

lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan (Mardjono dan

Sidharta, 2003). Lepas muatan listrik tersebut terjadi karena terganggunya

6

fungsi neuron oleh gangguan fisiologis, biokimia, anatomis, atau

gabungan faktor-faktor tersebut. Setiap kelainan yang mengganggu fungsi

otak baik kelainan lokal maupun umum, dapat mengakibatkan terjadinya

bangkitan epilepsi (Lumbantobing, 2000).

Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi terus-menerus

selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah

tanpa pemulihan kesadaran di antaranya. Definisi ini telah diterima secara

luas, walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi kejang

lebih singkat dapat merupakan suatu SE. Untuk alasan praktis, pasien

dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus lebih dari 5 menit.3,9

Manifestasi ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling

sering dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang

didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat

berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum,

serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa

pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap

kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang

melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-

putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea

retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,

hyperpireksia mungkin berkembang.

B. Etiologi

SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem

saraf pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan

kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada

sekitar 20% kasus. Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE

tersering di Negara maju, sedangkan di negara berkembang penyebab

tersering karena infeksi susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat penting

sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas. Etiologi status epileptikus

antara lain : alcohol, anoksia, antikonvulsan-withdrawal, penyakit,

cerebrovascular, epilepsy kronis, infeksi SSP, toksisitas obat, metabolic,

trauma atau tumor.3,9

7

C. Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari

sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu

keadaan patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas

muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan

korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan

lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.12

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa

fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut: 12

- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami

pengaktifan;

- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan

menurun, apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;

- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang

waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan

asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);

- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau

elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga

terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini

menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau

deplesi neurotransmitter inhibitorik.

D. Klasifikasi Status Epilepsi (The International League Against Epilepsy

/ILAE, 1981)

1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic

Status Epileptikus)

2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status

Epileptikus)

3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

4. Status Epileptikus Mioklonik.

5. Status Epileptikus Absens

6. Status Epileptikus Non Konvulsif

7. Status Epileptikus Parsial Sederhana

8

a. Status Somatomotorik

b. Status Somatosensorik

8. Status Epileptikus Parsial Kompleks

Diagnosis Sementara

Diagnosis Klinis : cephalgia kronis, kejang berulang, dengan progresifitas

Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum, hemiparese dextra, dan vomitus

Diagnosis Topis : hemisphere sinistra

Diagosis Etiologis : Infeksi, misalnya bakteri, virus, parasite atau jamur

SOP Intracranial, misalnya perdarahan, tumor, atau abses

Status Epileptikus

A. Definisi

Lebih dari satu dekade lalu, Epilepsy Foundation of America (EFA)

mendefinisikan SE sebagai kejang yang terus-menerus selama paling

sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa

pemulihan kesadaran di antaranya.3 Definisi ini telah diterima secara luas,

walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih

singkat dapat merupakan suatu SE. Untuk alasan praktis, pasien dianggap

sebagai SE jika kejang terus-menerus lebih dari 5 menit.9

B. Klasifikasi

Saat ini, ada beberapa versi pengklasifikasian SE sebagai berikut

(Treiman):10

1. Generalized Convulsive SE

Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized

mengacu pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan

convulsive mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang.

2. Subtle SE

Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat

tidak ada respons motorik. Terminologi ini dapat membingungkan,

karena subtle SE seperti tipe NCSE (Non-convulsive Status

Epilepticus). Walaupun secara definisi subtle SE merupakan

nonconvulsive, namun harus dibedakan dari NCSE lain. Subtle SE

merupakan keadaan berbahaya, sulit diobati, dan mempunyai

9

prognosis yang buruk.

3. Nonconvulsive SE

NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan

complex partial SE. Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam

tatalaksana, etiologi, dan prognosis; focal motor SE mempunyai

prognosis lebih buruk.

4. Simple Partial SE

Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang

terlokalisasi pada area korteks serebri dan tidak menyebabkan

perubahan kesadaran. Berbeda dengan convulsive SE, simple partial

SE tidak dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.

Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi convulsive dan

nonconvulsive, namun istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru klasifikasi

ILAE (International League Against Epilepsy) telah menolak penggunaan

istilah nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu keadaan yang

beragam seperti kejang fokal pada limbic SE ataupun generalized seperti

absence SE. Di samping itu, keadaan convulsive, khususnya kejang

myoclonic, dapat terlihat pada nonconvulsive SE, misalnya kejang di

kelopak mata atau perioral.11

Skema ILAE 2001 mendefinisikan SE sebagai aktivitas kejang yang

terus-menerus dan mengklasifi kasikan SE menjadi dua kategori, yaitu

generalized dan focal SE. Laporan ILAE Core Group (2006) mengklasifi

kasikan bermacam-macam tipe SE, serta berusaha menghindari istilah

generalized dan focal.11

C. Epidemiologi

Angka kejadian SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000

individu setiap tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86

per 100.000 untuk usia lanjut. Dua penelitian restropektif di Jerman

mendapatkan insidens 17,1 per 100.000 per tahun. Mortalitas SE

(kematian dalam 30 hari) pada penelitian Richmond berkisar 22%.

Kematian pada anak hanya 3%, sedangkan pada dewasa 26%. Populasi

yang lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38%. Mortalitas tergantung

10

dari durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi. Pasien stroke dan

anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan pasien dengan

etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam darah yang

rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah.3,5 Insiden SE pada lanjut usia

setidaknya dua kali pada populasi umum. SE pada lansia menjadi

perhatian besar karena kondisi medis bersamaan sering ada yang

cenderung mempersulit terapi dan memperburuk prognosis.4

D. Etiologi

SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem

saraf pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan

kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada

sekitar 20% kasus. Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE

tersering di Negara maju, sedangkan di negara berkembang penyebab

tersering karena infeksi susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat penting

sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas.3,9

Hampir seperempat dari orang yang mengalami SE memiliki alcohol

yang sudah ada sebelumnya. Penurunan dramatis dalam tingkat serum

AED karena ketidakpatuhan atau alcohol lain adalah mekanisme yang

paling umum dari SE dalam kasus tersebut. Pada banyak pasien dengan

gangguan kejang sebelumnya, tidak ada alcoho pencetus yang jelas dapat

diidentifikasi untuk terjadinya SE. SE lebih sering terjadi pada pasien

dengan epilepsy umum sekunder dibandingkan pada pasien dengan

epilepsy umum idiopatik.4

Tabel 1. Etiologi Status Epileptikus

AlcoholAnoksia

Antikonvulsan-withdrawal

Penyakit cerebrovascular

Epilepsy kronis

Infeksi SSP

Toksisitas obat-obatan

metabolik

trauma

tumor

11

E. PATOFISIOLOGI

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari

sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu

keadaan patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas

muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan

korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan

lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.12

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa

fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut: 12

- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami

pengaktifan;

- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan

menurun, apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;

- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang

waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan

asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);

- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau

elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga

terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini

menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau

deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah

kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat

hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis

meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat

menjadi 1000 per detik. Aluran darah otak meningkat, demikian juga

respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan

serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin

mengalami deplesi selama aktifitas kejang. 12

12

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti

histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi

lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik

yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme

kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya

sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik;

fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin. 12

Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status

epileptikus melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang

tersebut. Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan yang mungkin

timbul dari kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi

yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang

tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus lebih

efektif apabila diberikan pada jam pertama berlangsungnya status. 13

Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur

limbik seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih

dapat mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah,

glukosa darah, dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan

homeostasis dimulai dan mungkin akan berperan dalam kerusakan otak.

Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat

sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang terjadi terus

menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat,

yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output

yang tidak memadai. 13

Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri

saja nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya

aliran darah otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit,

memberikan banyak efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase

(iNOS) di dalam astrosit dan microglia yang mungkin berhubungan

dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor yang

menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja yang

kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-

13

radical. Aktivasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik

aspartat dan glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme

kerusakan yang dimediasi oleh glutamate-glutamic-mediated

excitotoxicity khususnya di hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium

ekstraseluler normal pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali lebih besar

daripada intraseluler. Selama kejang, receptor-gated calcium channel

terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA. Peningkatan kalsium

intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan keracunan sel.

Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak yang

terjadi pun akan semakin besar. 14

F. Manifestasi Klinis15

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium

untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum

(Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang

paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74

persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.

1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic

Status Epileptikus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering

dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang

didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat

berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum,

serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa

pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.

14

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase

tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang

terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh

hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan

darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan

peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH

serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai

lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.

2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status

Epileptikus)

Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik

umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada

periode kedua.

3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan

kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada

ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut

Syndrome.

15

4. Status Epileptikus Mioklonik.

Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan

mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin

memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak

biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,

tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau

kondisi degeneratif.

5. Status Epileptikus Absens

Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada

usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran

dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan

respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan

mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada

riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.

Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz

spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus

Benzodiazepin intravena didapati.

6. Status Epileptikus Non Konvulsif

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau

parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status

epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.

16

Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,

delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive

behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai

psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges,

tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.

7. Status Epileptikus Parsial Sederhana

8. Status Somatomotorik

Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu

jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan

kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada

satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan

kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu

menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada

hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan

dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status

somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau

gangguan berbahasa (status afasik).

9. Status Somatosensorik

Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan

gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory

jacksonian march.

10. Status Epileptikus Parsial Kompleks

Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari

frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode.

Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan

kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal

pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan

epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status

absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status

epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada

beberapa kasus.

G. Diagnosis dan pemeriksaan penunjang2,3,10

17

Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 – 10 menit. Hal yang

pertama kita lakukan adalah:

1. Anamnesis

Riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol,

penyakit serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan

lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik), tingkat

kesadaran diantara kejang, riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang

dalam keluarga, demam, riwayat persalinan, tumbuh kembang, dan

penyakit yang sedang diderita.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran

penglihatan dan pendengaran refleks fisiologis dan patologi,

lateralisasi, papil edema akibat peningkatan intrakranial akibat tumor,

perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu parestesia, hipestesia, anestesia.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi

ginjal dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi,

maka dilakukan kultur darah

b. imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi

struktural di otak

c. EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat

mungkin jika pasien mengalami gangguan mental

d. Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS

atau perdarahan subarachnoid.

H. Diagnosis banding

1. Bangkitan Psychogenik

2. Gerak lnvolunter (Tics, headnodding, paroxysmalchoreoathethosisl

dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, startle

response, jitterness, dll.)

3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA,

narkolepsi, attention deficit)

4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)

18

5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion,

sindroma psikotik akut)

6. Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen)

7. Keadaan episbdik dari penyakit tertentu (tetralogy speels,

hydrocephalic spells, cardiac arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi,

periodic paralysis, migren, dll

I. Penatalaksanaan

Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang

membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur

diagnostik, dan penanganan segera. Mungkin dan harus dirawat pada

ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada

makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of

America (EFA). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus

menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering

digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan

Midazolam (Versed).2,3,10

Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-

aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan

kompleks Reseptor-Barbiturat. Berdasarkan penelitian Randomized

Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status

epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di

bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang

berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen. 2,3,10

Tabel 2. Obat-obat OAE2,3,10

Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase

1. Lorazepam 0,1 65 %

2. Phenobarbitone 15 59 %

3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %

4. Fenitoin 18 44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan

dengan Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang.

Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot

19

lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam

plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan

kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari

Lorazepam adalah sama. 2,3,10

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan

menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20

mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus.

Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping

termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral

berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan

harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %

untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove

syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan

fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya

mikrokristal.2,3,10

Status Epileptikus Refrakter

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60

menit. Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang

berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah

kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten. 2,3,10

Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan

psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status

epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon

terhadap terapi lini pertama. Dalam mengatasi status epileptikus refrakter,

beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone

secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan

kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton.

Penggunaan ini dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang,

maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.2,3,10

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus2,3,10

Pada : awal menit

20

1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan

(bila perlu intubasi)

a. Periksa tekanan darah

b. Mulai pemberian Oksigen

c. Monitoring EKG dan pernafasan

d. Periksa secara teratur suhu tubuh

e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen,

kadar glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar

antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)

3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat

4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan

Tiamin 100 mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya

wernicke’s encephalophaty

5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)

6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8

mg) intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2

mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin

(Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit,

dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang

berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular

dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau

NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.

Pada: 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur

2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena

dengan kecepatan 100 mg per menit

Pada: 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial),

kemudian bolus intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG;

21

lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus lambat

setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti.

Pertahankan tekanan darah stabil.

-atau-

Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75

sampai 10 mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.

-atau-

Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan

dosis pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.

22

J. Prognosis

Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang

mendasari status epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat

penggunaan antikonvulsan atau akibat alkohol biasanya prognosisnya

lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan dilakukan

pencegahan terjadi komplikasi.4

23

III.PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

1. Keadan Umum : Tampak sakit sedang

2. Kesadaran : Compos mentis

3. GCS : E4V5M6

4. Status Gizi : Kesan cukup

5. Tanda Vital

Tekanan Darah : 100/60 mmHg

Nadi : 92x/menit

Respirasi : 20x/menit

Suhu :37,0 oC

6. Kepala : Normocephal

7. Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah

dicabut

8. Wajah : Simetris, deformitas (-)

9. Mata : Pupil isokor 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)

10. THT : Normotia, discharge dari telinga/hidung (-), faring

hiperemis (-) tonsil T1-T1 tenang

11. Mulut : Mukosa hiperemis (+) lesi pada lidah dan mucosa

buccal (+)

12. Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba

membesar, trachea ditengah, jejas atau benjolan di

leher (-)

13. Thoraks :

a. Cor :

1) Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

2) Palpasi : kuat angkat, ictus cordis teraba 2 cm medial di

ICS 5 linea midclavikula sinistra,

3) Perkusi :

- Kanan jantung : ICS IV linea sternalis dextra

- Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra

24

- Kiri jantung :ICS V, 2cm medial linea

midclavicula sinistra

4) Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

b. Pulmo :

Depan Dextra

I: Simetris,retraksi dinding dada (-)

Pal :vocal fremitus kanan = kiri

Per: sonor (+/+)

A: suara dasar vesikuler, suara

tambahan : wheezing (-), ronki (-)

Sinistra

I: Simetris,retraksi dinding dada

(-)

Pal :vocal fremitus kanan = kiri

Per: sonor (+/+)

A: suara dasar vesikuler, suara

tambahan : wheezing (-), ronki (-)

Belakang I: Simetris,retraksi dinding dada (-)

Pal :Stem fremitus kanan = kiri

Per: Sonor (+/+)

A: suara dasar vesikuler, suara

tambahan : wheezing (-), ronchi(-)

I: Simetris,retraksi dinding dada

(-)

Pal :Stem fremitus kanan = kiri

Per: Sonor (+/+)

A: suara dasar vesikuler, suara

tambahan : wheezing (-), ronchi(-)

14. Abdomen

Inspeksi : datar

Auskultasi : BU +

Palpasi : supel +, hepatosplenomegali -

Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen

15. Ektremitas

Superior :akral hangat +/+, CRT < 2 detik, edema -/-

Inferior : akral hangat +/+, CRT < 2 detik, edema -/-

B. Status Psikiatrik

1. Cara berpikir : Sulir dinilai

2. Perasaan hati : Sedih

3. Tingkah laku : Wajar, pasien sadar

4. Ingatan : Sulit dinilai

5. Kecerdasan : Sulit dinilai

25

C. Status Neurologis

1. Sikap : Simetris dan lurus

2. Gerakan abnormal : Tidak ada gerakan abnormal

3. Cara berjalan : Tidak dilakukan

MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE) :Item Tes Nilai

Maksimal

Nilai

1.

ORIENTASI

Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari apa? 5 5

2. Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit),

(lantai/kamar)

5 5

3.

REGISTRASI

Sebutkan 3 buah nama benda (jeruk, uang, mawar), tiap

benda 1 detik, pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda

tadi. Nilai 1 untuk tiap nama benda yang benar. Ulangi sampai

pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat jumlah

pengulangan.

ATENSI DAN KALKULASI

3 3

4. Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar.

Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik

kata “WAHYU” (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum

kesalahan; misalnya uyahw=2 nilai)

5 2

MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

5. Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 3 2

BAHASA

6. Pasien diminta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan

(pensil, arloji)

2 2

7. Pasien diminta mengulang rangkaian kata :” tanpa kalau dan

atau tetapi ”

3 3

8. Pasien diminta melakukan perintah: “Ambil kertas ini dengan

tangan kanan, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai”.

1 1

9. Pasien diminta membaca dan melakukan perintah “Angkatlah

tangan kiri anda”

1 1

10. Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan) 1 1

11. Pasien diminta meniru gambar di bawah ini 1 0

26

Skor Total 30 20

Pedoman Skor kognitif global (secara umum):

Nilai 24 -30: normal

Nilai 17-23 : probable gangguan kognitif

Nilai 0-16:definite gangguan kognitif

4. Kognitif : probable gangguan kognitif (skor NMSE : 20 )

5. Rangsang Meningeal :

a. Kaku kuduk : (-)

b. Kernig sign : >1350 | >1350

c. Brudzinsky I : (-)

d. Brudzinsky II : (-)

e. Brudzinsky III : (-)

f. Brudzinsky IV : (-)

g. Laseque : >700 | >700

6. Saraf kranial

Saraf Kranialis Kanan Kiri

N.I Olfactorius

Hidung Tersumbat

Polip

Penghidu

(-)

(-)

Baik

(-)

(-)

Baik

N. II Optikus

Daya Penglihatan

Lapang Penglihatan

Nistagmus

Melihat Warna

normal

normal

(-)

Tidak dilakukan

normal

normal

(-)

Tidak dilakukan

N. III Okulomotorius

Ptosis

Gerakan mata ke medial

Gerakan mata ke atas

(-)

Baik

Baik

(-)

Baik

Baik

27

Gerakan mata ke bawah

Nistagmus

Eksoftalmus

Enoftalmus

Pupil - Besar

- Bentuk

Refleks terhadap sinar

langsung/tidak langsung

Melihat ganda

Baik

(-)

(-)

(-)

3mm

Bulat, isokor,

se

ntr

al

(+)

(-)

Baik

(-)

(-)

(-)

3mm

Bulat,isokor, sentral

(+)

(-)

N.IV Trokhlearis

Pergerakan mata (ke bawah-

lateral)

Srabismus konvergen

Menggigit

Membuka mulut

Baik

(-)

Normal

Normal

Baik

(-)

Normal

Normal

N.V Trigeminus

Sensibilitas muka

Reflek kornea

Trismus

Normal

(+)

(-)

Normal

(+)

(-)

N.VI Abducen

Gerakan mata ke lateral

Strabismus konvergen

Normal

(-)

Normal

(-)

N.VII Fasialis

Sulcus nasolabialis

Kedipan mata

Sudut Mulut

Mengerutkan dahi

Menutup mata

Meringis

datar

Baik

asimetris

(+)

(+)

(-)

Baik

Baik

Baik

(+)

(+)

(+)

28

Mengembungkan pipi

Daya Kecap 2/3 anterior

(-)

Tidak dilakukan

(+)

Tidak dilakukan

N.VIII Vestibulokoklearis

Ketajaman pendengaran

Weber

Rinne

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

N.IX Glossofaringeus dan N.X

Vagus

Daya kecap 1/3 belakang

Refleks Muntah

Arcus pharynx

Uvula di tengah

Tersedak

Sengau

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Simetris

(+)

(-)

(-)

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Simetris

(+)

(-)

(-)

N.XI Accecorius

Mengangkat bahu

Memalingkan kepala

Sulit

Baik

Baik

Baik

N.XII Hypoglossus

Sikap lidah

Artikulasi

Menjulurkan lidah

Tremor lidah

Fasikulasi

Trofi otot lidah

Deviasi (-)

Kurang jelas

Lateralisasi (+)

(-)

(-)

Eutrofi

Deviasi (-)

Baik

Lateralisasi (-)

(-)

(-)

Eutrofi

7. Badan dan anggota gerak

a. Motorik

- Respirasi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis

- Bentuk columna verterbralis : Tidak dinilai

- Pergerakan columna vertebralis : Tidak dinilai

b. Sensorik kanan kiri

- Eksteroseptif

Taktil + +

29

Nyeri + +

Suhu + +

- Propioseptif

Gerak + +

Getar + +

- Diskriminatif

Gramestesia + +

Barognosia + +

Topognosia + +

Pemeriksaan Motorik

G

- +

K

2/2/2 5/5/5

Tn

N N

Tr

Eu Eu

- + 2/2/2 5/5/5 N N Eu Eu

8. Koordinasi, gait, dan keseimbangan

a. Cara berjalan : Tidak dilakukan

b. Tes Romberg : Tidak dilakukan

c. Tes Romberg dipertajam : Tidak dilakukan

9. Sistem Otonom

a. Miksi : Dalam Batas Normal

b. Defekasi : Dalam Batas Normal

10. Refleks

Refleks Kanan Kiri

Fisiologis

Biseps

Triseps

Patella

Achilles

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)

Patologis

Hoffman Tromer (-) (-)

30

Babinski

Chaddock

Openheim

Gordon

Schaeffer

(+)

(+)

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

11. Fungsi koordinasi dan keseimbangan

Pemeriksaan Kanan Kiri

Jari tangan – jari tangan

Jari tangan – hidung

Pronasi – supinasi

Romberg test

Baik

Baik

Baik

Tidak dilakukan

Baik

Baik

Baik

Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Laboratorium Darah

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan

Hemoglobin 13,6 13,2 – 17,3 g/dl

Leukosit 9,8 3,8-10,5 Ribu

Eritrosit 5,24 (H) 4,5-5,8 Juta

Hematokrit 41,1 37-47 %

Trombosit 303 150-400 Ribu

MCV 78,5 (L) 82-95 fL

MCH 26,0 (L) >27 Pg

MCHC 33,1 32-37 g/dl

RDW 14,9 10-15 %

MPV 9,8 7-11 mikro m3

Limfosit 5,01 1,0-4,5 103/mikro m3

Monosit 0,44 0,2-1,0 103/mikro m3

Eosinophil 0,01 0,04 – 0,8 103/mikro m3

Basophil 0,03 0 – 0,2 103/mikro m3

31

Neutrophil 4,26 1,8 – 2,5 103/mikro m3

Limfosit% 51,4 (H) 25 – 40 %

Monosit% 4,5 2 – 8 %

Granulosit% 74,5 50- 80 %

PCT 0,299 0,2 – 0,5 %

PDW 11,2 10 – 18 %

SGOT 70 (H) 0 – 50 U/L

SGPT 45 (H) 0 – 50 IU/L

Ureum 23 10 – 50 mg/dL

Kreatinin 1,10 (H) 0,62 – 1,1 mg/dL

GDS 116 (H) 74-106 mg/dL

Natrium 141 136-146 mmol/L

Kalium 3,9 3.5-5.1 mmol/L

Chloride 108 (H) 98-106 mmol/L

HbSAg Non reaktif Non reaktif -

SEROLOGIS

Anti Salmonella IgM 2 ≤ 2 : negative

3 : borderline

4 – 5 : positif lemah

≥ 6 : positif kuat

-

B. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

32

Pemeriksaan CT Scan Kepala Axial tanpa Kontras

Tampak lesi inhomogen isoekoik dengan bagian hiperdens (HU 70)

pada lovus parietal kiri disertai gambaran finger like edema

Sulci cortocalis dan fissure sylvii normal

Differensiasi white-grey matter pada parietal kiri tak jelas

Tampak midline shifting ke kanan

Sisterna perimesen sefalic normal

Batang otak dan serebellum normal

Tak tampak kesuraman / penebalan mukosa sinus paranasales dan

mastoid air cells

Kesan:

Susp gambaran SOL parietal kiri

Tampak peningkatan tekanan intrakranial

Usul: CT-Scan kepala dengan kontras

33

DISKUSI II

Pada gambaran CT Scan, ditemukan susp. Gambaran SOL parietal kiri disertai

adanya peningkatan tekanan intracranial.

TUMOR OTAK

A. Definisi

Tumor susunan saraf pusat ditemukan sebanyak lebih kurang 10% dari

semua proses neoplasma di seluruh tubuh, dengan frekuensi 80%

berlokasi di ruang intrakranial dan 20% di ruang kanalis spinalis. Pada

umunya penderita tumor intracranial, laki-laki lebih banyak ditemukan

daripada wanita, terkecuali meningioma. Jenis dan lokasi tumor

intracranial berbeda pada anak-anak dan dewasa. Jenis tersering pada

dewasa adalah astrocytoma, sedangkan pada anak-anak adalah

medulloblastoma. Lokasi tersering pada dewasa adalah supratentorial,

sedang pada anak-anak adalah infratentorial. Proses neoplasma di susunan

saraf mencakup dua tipe, yaitu:

1. Tumor primer, yaitu tumor yang berasal dari jaringan otak sendiri yang

cenderung berkembang ditempat-tempat tertentu. Seperti ependimoma

yang berlokasi di dekat dinding ventrikel atau kanalis sentralis medulla

spinalis, glioblastoma multiforme kebanyakan ditemukan dilobus

parietal, oligodendroma di lobus frontalis dan spongioblastoma di

korpus kalosum atau pons.

2. Tumor sekunder, yaitu tumor yang berasal dari metastasis karsinoma

yang berasal dari bagian tubuh lain. Yang paling sering ditemukan

adalah metastasis karsinoma bronkus dan prostat pada pria serta

karsinoma mammae pada wanita.

Diagnosis tumor intrakranial ditegakkan berdasarkan pemeriksaan

klinis dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologi dan

patologi anatomi. Dengan pemeriksaan klinis sulit menegakkan diagnosis

tumor intrakranial dan membedakan benigna atau maligna, karena gejala

klinis yang ditemukan bukan saja berasal dari massa tumor yang mendesak

jaringan sekitarny, tetapi juga karena adanya gejala-gejala yang

34

menyesatkan serta komplikasi lainnya ynga membuat gejala klinis yang

rumit, sehingga dengan pemeriksaan klinis hanya mampu sampai taraf

diagnosis dugaan.

B. Etiologi

Etiologi yang spesifik terjadinya tumor otak, sama seperti tumor

lainnya diseluruh tubuh, sampai saat ini belum diketahui secara pasti.

Faktor etiologi yang diduga memegang peranan terjadinya tumor otak

pada manusia adalah bahan karsinogen, virus, imunologi, keturunan, sisa-

sisa embrionik, radiasi dan trauma kepala.

C. Klasifikasi

Tumor intracranial dapat dibagi berdasarkan patologi dan letak dari

tumor tersebut, tatapi secara klinis pembagian menurut letak tumor lebih

penting karena akan memberikan gejala fokal sesuai dengan letak tumor

disamping gejala umum yang biasanya tidak spesifik. Berdasarkan letak

tumor, tumor intracranial terbagi atas:

1. Tumor supratentorial

a. Tumor lobus serebri: tumor frontal, tumor parietal, tumor temporal,

tumor oksipital

b. Tumor hemisfer dalam (Deep hemispheric tumors): tumor

ventrikel lateral, tumor sentrum ovale, tumor basal ganglia

c. Tumor garis tengah hemisfer (Midline hemispheric tumors): tumor

korpus kalosum, tumor sella tursika, tumor ventrikel III, tumor

pineal.

2. Tumor infratentorial

a. Tumor garis tengah: tumor ventrikel IV, tumor vermis

b. Tumor lobus serebellum

c. Tumor batang otak

d. Tumor ekstraparenkim: tumor cerebellopontin angle, tumor

ganglion gaserri, tumor basis cranii, tumor klivus

D. Patofisiologi

35

Tumor intrakranial jinak memiliki efek yang membahayakan karena

berkembang didalam rongga tengkorak yang berdinding kaku. Tumor

intrakranial ganas berarti pertumbuhan yang cepat, diferensiasi yang

buruk, selularitas yang bertambah, mitosis, nekrosis, dan proliferasi

vaskular. Namun, metastasis kedaerah ekstrakranial jarang terjadi.

Gangguan neurologik pada tumor intrakranial biasanya disebabkan

oleh dua faktor yaitu gangguan fokal akibat tumor dan gangguan akibat

peningkatan tekanan intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila terdapat

penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau invasi langsung pada

parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai darah

akibat tekanan tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak.

Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai

hilangnya fungsi secara akut. Serangan kejang sebagai manifestasi

perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan

perubahan suplai darah ke jaringan otak.

Peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh bertambahnya massa

dalam tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahah

sirkulasi cairan serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan menyebabkan

bertambahnya massa karena tumor akan mendesak ruang yang relatif tetap

pada ruangan tengkorak yang kaku. Tumor ganas menimbulkan edema

dalam jaringan otak sekitarnya. Mekanisme belum begitu dipahami, tetapi

diduga disebabkan oleh selisih osmotik yang menyebabkan perdarahan.

Obstruksi vena dan edema akibat kerusakan sawar darah otak, semua

menimbulkan peningkatan volume intrakranial dan tekanan intrakranial.

Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruang

subarachnoid menimbulkan hidrosefalus.

Peningkatan tekanan intrakranial akan membahayakan jiwa bila terjadi

cepat. Mekanisme kompensasi memerlukan waktu berhari-hari atau

berbulan-bulan untuk menjadi efektif sehingga tidak berguna bila tekanan

intrakranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi ini bekerja menurunkan

volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan

intrasel, dan mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan tekanan yang tidak

36

diobati mengakibatkan terjadinya herniasi unkus atau serebelum. Herniasi

unkus timbul bila girus medialis lobus temporalis tergeser ke inferior

melalui incisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi

menekan mesencephalon menyebabkan hilangnya kesadaran dan menekan

saraf otak. Kompresi medulla oblongata dan henti napas terjadi dengan

cepat. Perubahan fisiologi lain yang terjadi akibat peningkatan tekanan

intrakranial yang cepat adalah bradikardi progesif, hipertensi sistemik, dan

gagal napas.

E. Gejala Klinis

Gejala klinis tumor intrakranial dibagi atas 3 kategori, yaitu gejala

umum, gejala lokal dan gejala lokal yang tidak sesuai dengan lokasi

tumor.

1. Gejala Umum

Gejala umum timbul akibat peningkatan tekanan intrakranial atau

proses difus dari tumor tersebut. Tumor ganas menyebabkan gejala

yang lebih progresif daripada tumor jinak. Tumor pada lobus temporal

depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran

yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis dan pada

mulanya hanya memberikan gejala-gejala yang umum. Tumor pada

fossa posterior atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering

memberikan gejala fokal dahulu baru kemudian memberikan gejala

umum. Terdapat 4 gejala klinis umum yang berkaitan dengan tumor

otak, yaitu perubahan status mental, nyeri kepala, muntah, dan kejang.

a. Perubahan status mental

Gejala dini dapat samar. Ketidakmampuan pelaksanaan tugas

sehari-hari, lekas marah, emosi yang labil, inersia mental,

gangguan konsentrasi, bahkan psikosis.3 Fungsi kognitif

merupakan keluhan yang sering disampaikan oleh pasien kanker

dengan berbagai bentuk, mulai dari disfungsi memori ringan dan

kesulitan berkonsentrasi hinggga disorientasi, halusinasi, atau

letargi.

b. Nyeri kepala

37

Nyeri kepala merupakan gejala dini tumor intrakranial pada

kira-kira 20% penderita. Sifat nyeri kepalanya berdenyut-denyut

atau rasa penuh di kepala seolah-olah mau meledak.3 Awalnya

nyeri dapat ringan, tumpul dan episodik, kemudian bertambah

berat, tumpul atau tajam dan juga intermiten. Nyeri juga dapat

disebabkan efek samping dari obat kemoterapi. Nyeri ini lebih

hebat pada pagi hari dan dapat diperberat oleh batuk, mengejan,

memiringkan kepala atau aktifitas fisik.7 Lokasi nyeri yang

unilateral dapat sesuai dengan lokasi tumornya sendri. Tumor di

fossa kranii posterior biasanya menyebabkan nyeri kepala

retroaurikuler ipsilateral. Tumor di supratentorial menyebabkan

nyeri kepala pada sisi tumor, di frontal orbita, temporal atau

parietal.

c. Muntah

Muntah ini juga sering timbul pada pagi hari dan tidak

berhubungan dengan makanan. Dimana muntah ini khas yaitu

proyektil dan tidak didahului oleh mual. Keadaan ini lebih sering

dijumpai pada tumor di fossa posterior.

d. Kejang

Kejang fokal merupakan manifestasi lain yang biasa ditemukan

pada 14-15% penderita tumor otak.7 20-50% pasien tumor otak

menunjukan gejala kejang. Kejang yang timbul pertama kali pada

usia dewasa mengindikasikan adanya tumor di otak. Kejang

berkaitan tumor otak ini awalnya berupa kejang fokal (menandakan

adanya kerusakan fokal serebri) seperti pada meningioma,

kemudian dapat menjadi kejang umum yang terutama merupakan

manifestasi dari glioblastoma multiforme.3 Kejang biasanya

paroxysmal, akibat defek neurologis pada korteks serebri. Kejang

parsial akibat penekanan area fokal pada otak dan menifestasi pada

lokal ekstrimitas tersebut, sedangkan kejang umum terjadi jika

tumor luas pada kedua hemisfer serebri.

2. Gejala lokal (localizing signs)

38

a. Tumor Kortikal

1) Lobus frontalis

Lobus frontal memiliki berbagai fungsi penting, termasuk

fungsi motorik, bahasa, atensi, fungsi eksekutif, judgment,

perencanaan (planning) dan pemecahan masalah (problem

solving). Gejala lokal yang sering timbul akibat tumor di lobus

frontalis adalah sakit kepala yang merupakan gejala dini dan

muntah timbul pada tahap lanjut. Tumor di lobus frontalis

daerah prefrontal bisa memberikan gejala gangguan mental

sebelum munculnya gejala lainnya, berupa perubahan perasaan,

kepribadian dan tingkah laku serta penderita merasakan

perasaan selalu senang (euforia); jadi menyerupai gejala

psikiatris. Makin besar tumomya, gejala gangguan mental ini

semakin nyata dan kompleks. Afasia motorik (gangguan bicara

bahasa berupa hilangnya kemampuan mengutarakan maksud)

bisa terjadi bila tumor mengenai daerah area Broca yang

terletak di belahan kiri belakang. Reflck memegang (grasp

reflex) juga khas untuk tumor di lobus frontalis ini. Pada

stadium yang lebih lanjut bisa terjadi gangguan pembauan

(anosmia), gangguan visual, gangguan keseimbangan dalam

berjalan, gangguan bola mata karena kelumpuhan sarafnya

serta edema papil. Tumor di daerah presentral bisa

menimbulkan gejala kejang fokal pada sisi kontralateral.

Kelumpuhan motorik timbul bila terjadi destruksi atau

penekanan oleh tumor terhadap jalur kortikospinal.

2) Lobus temporalis

Tumor lobus temporalis bila berada di daerah unkus akan

menimbulkan gejala halusinasi pembauan dan pengecapan

(uncinate fits) disertai gerakan gerakan bibir dan lidah

(mengecapngecap). Bila lesinya destruktif akan menimbulkan

39

gangguan pembauan dan pengecapan walau tidak sampai total.

Tumor di lobus temporal bagian media bisa menimbulkan

gejala "seperti pernah mengalami kejadian semacam ini

sebelumnya" (deja vu). Bisa juga terjadi gangguan kesadaran

sesaat (misalnya selagi penderita berjalan kaki) tapi tidak

sampai terjatuh. Gangguan emosi berupa rasa takut/panik bisa

juga muncul. Berkurangnya pendengaran bisa terjadi pada

tumor yang mengenai korteks di bagian belakang lobus

temporal. Tumor di hemisfer dominan bagian belakang (area

Wcrnicke) menimbulkan gejala afasia sensoris, yaitu

kehilangan kemampuan memahami maksud pembicaraan orang

lain. Tumor yang berkembang lebih lanjut akan melibatkan

jalur kortikospinal sehingga menyebabkan kelumpuhan

anggota badan sisi kontralateral. Bisa juga terjadi herniasi dan

menekan batang otak sehingga menyebabkan gangguan pada

beberapa saraf kranial, misalnya terjadi dilatasi pupil sesisi

yang menetap atau menghilangkan reflek kornea.

3) Lobus parietalis

Tumor di lobus parietalis pada umumnya akan memberikan

gejala gangguan sensoris. Lesi iritatif bisa menimbulkan gejala

parestesi (rasa tebal, kesemutan atau seperti terkena aliran

listrik) di satu lokasi, yang kemudian bisa menyebar ke lokasi

lainnya. Lesi destruktif akan menyebabkan hilangnya berbagai

bentuk sensasi, tapi jarang anestesi total. Gangguan

diskriminasi terhadap rangsang taktil, astereognosis (tak bisa

mengenali bentuk benda yang ditaruh di tangan) merupakan

bentuk-bentuk gejala yang sering timbul. Tumor yang tumbuh

ke arah lebih dalam bisa menimbulkan gejala hiperestesi,

seperti merasakan rangsang yang berlebih padahal rangsang

yang sebenarnya terjadi hanya ringan. Atau bisa juga mengenai

jalur optik (radiatio optica) sehingga timbul gangguan

penglihatan sebagian. Tumor pada girus angularis kiri bisa

40

menimbulkan gejala yang disebut aleksia (kehilangan

kemampuan memahami katakata tertulis). Sedang pada yang

kanan menyebabkan gejala berupa gangguan dalam menyadari

adanya sisi sebelah dari tubuh. Setengah kasus pasien dengan

tumor parietal mengalami kejang, yang umumnya berupa tipe

motorik atau sensorik sederhana.

5) Lobus oksipital

Tumor di lobus oksipitalis memberikan gejala awal

terutama nyeri kepala Tumor lobus oksipital memberikan

gejala gangguan visual. Defek lapangan pandang yang paling

sering adalah hemianopsia homonim kongruen yang

melibatkan makula. Kejang oksipital fokal umumnya ditandai

oleh adanya episode penglihatan kilatan cahaya, warna-warni,

atau bentuk-bentuk pola geometris secara kontralateral. Adanya

gangguan visuospatial terhadap benda bergerak menuju

hemiperimeter yang berlawanan menunjukan adanya

kerterlibatan pada pusat penatapan oksipital (occipital gaze

center). Kadang kadang dapat pula terjadi metamorphosia

(distorsi pada bentuk gambaran visual). Lesi di hemisfer

dominan bisa menimbulkan gejala tidak mengenal benda yang

dilihat (visual object agnosia) dan kadang-kadang tidak

mengenal warna (agnosia warna), juga tidak mengenal wajah

orang lain (prosopagnosia).

41

Gambar 2. Defisit neurologfis sesuai dengan lokasi tumor

3. Gejala lokal yang tidak sesuai dengan lokasi tumor (False

localizing signs)

Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifestasi yang

tidak sesuai dengan fungsi tempat yang didudukinya. Keadaan ini

sering sebagai akibat dari peningkatan tekanan intrakranial. Saat

tekanan meningkat pada beberapa kompartemen di otak, tumor mulai

memencarkan jaringan, namun pemencaran ini juga terjadi di tempat

yang jauh dari tumor, keadaan inilah yang memberikan gambaran false

localizing signs, yaitu:

a. Kelumpuhan nervus kranialis, yang sering terkena adalah nervus 6,

sebab nervus ini merupakan nervus yang paling panjang di

intrakranial. Hal ini juga terjadi akibat penekanan ligamentum

petrosal akibat peningkatan TIK.

42

b. Invasi tumor difus pada lobus frontal atau korpus kalosum

menyebabkan ataksia pada pola jalan (frontal ataxia) yang sukar

dibedakan dengan gejala ataxia serebelar. Dismetria pada anggota

gerak yang mengalami kelemahan dan disartria kortikal dapat pula

salah didiagnosis sebagai penyakit serebelar. Nistagmus jarang

ditemukan pada tumor frontal atau kalosal, dan tidak adanya

nistagmus pada lesi supratentorial dapat merupakan titik yang

penting untuk membedakannya.

c. Kompresi pada pedunkulus serebri oleh tepi bebas tentorium

serebeli yang sifatnya kontralateral terhadap hemisfer serebri yang

mengalami herniasi (sindroma Kernohan’s notch) dapat

menyebabkan hemiparesis terlokalisir palsu yang bersifat

ipsilateral lesi.

d. Kompresi atau invasi dan status hiperkoagulabilitas yang

berhubungan dengan sifat keganasan atau terapinya dapat

menyebabkan infark atau perdarahan yang jauh dari lokasi tumor.

Sebagai contohnya, infark korteks oksipital yang dapat terjadi

akibat kompresi arteri serebral posterior selama herniasi

transtentorial.

F. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita

tumor intrakranial yaitu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik

neurologik yang teliti. Dari anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala

yang dirasakan oleh penderita, misalnya ada tidaknya nyeri kepala,

muntah, dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik neurologik

mungkin ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan defisit

lapangan pandang.

G. Pemeriksaan Penunjang

Setelah diagnosis klinik ditentukan, harus dilakukan pemeriksaan yang

spesifik untuk memperkuat diagnosis dan mengetahui letak tumor. Bagi

seorang ahli bedah saraf dalam menegakkan diagnosis tumor intrakranial

adalah dengan mengetahui informasi jenis tumor, karakteristik, lokasi,

43

batas, hubungannya dengan system ventrikel, dan hubungannya dengan

struktur vital otak, misalnya sirkulus willisi dan hipotalamus. Selain itu

juga diperlukan pemeriksaan radiologi canggih yang invasif maupun non

invasif. Pemeriksaan non invasif mencakup CT scan dan MRI, bila perlu

diberikan kontras agar dapat mengetahui batas-batas tumor. CT scan dan

MRI memperlihatkan semua tumor intrakranial dan menjadi prosedur

investigasi awal ketika penderita menunjukkan gejala yang progresif atau

tanda-tanda penyakit otak yang difus atau fokal, atau salah satu tanda

spesifik dari sindrom atau gejala-gejala tumor. Kadang sulit membedakan

tumor dari abses ataupun proses lainnya.

Pemeriksaan invasif seperti angiografi serebral dapat memberikan

gambaran sistem peredaran darah tumor dan hubungannya dengan sistem

pembuluh darah sirkulus willisi. Selain itu, dapat mengetahui hubungan

massa tumor dengan vena otak dan sinus duramater. Foto polos dada dan

pemeriksaan lainnya juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah tumor

berasal dari suatu metastasis yang akan memberikan gambaran nodul

tunggal ataupun multiple pada otak.

Study Imaging

Gambar 3. CT Scan Low-grade Astrocytoma dan karakteristiknya

44

Gambar 4. MRI Low-grade Astrocytoma pada lobus temporalis kanan

Gambar 5. CT Scan Glioblastoma (Malignant Astrocytoma) dan

karakteristiknya

Gambar 6. MRI potongan koronal Glioblastoma (Malignant Astrocytoma)

menunjukkan massa heterogen pada lobus temporal dextra yang menekan

ventrikel III dan lateral.

45

Gambar 7. Meningioma dan karakteristiknya

Gambar 8. MRI potongan koronal Meningioma

Gambar 9. Ependymoma dan karakteristiknya

Gambar 10. Oligodendroglioma dan karakteristiknya

46

Gambar 11. Oligodendroglioma (A) CT Scan tanpa kontras (B) MRI pada lobus temporalis kiri

Gambar 12. Metastasis tumor otak dan karakteristiknya

H. Terapi

Penatalaksanaan pasien dengan tumor intrakranial meliputi:

1. Simptomatik

a. Antikonvulsi

Mengontrol epilepsi merupakan bagian penting dari tatalaksana

pasien dengan tumor otak.

b. Steroid

Jika pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dan

gambaran radiologi memperlihatkan adanya edema serebri, maka

dexametason dapat digunakan dengan keuntungan yang signifikan.

Rasa tidak menyenangkan pada pasien akan dikurangi dan kadang-

kadang juga berbahaya, gejala dan tanda status intrakranial ini akan

lebih aman bila intervensi bedah saraf akan diambil. Steroid secara

langsung dapat mengurangi edema sekeliling tumor intrakranial,

47

namun tidak berefek langsung terhadap tumor. Dosis deksametason

12 mg intravena diikuti 4 mg. q.i.d. sering mengurangi

perburukan klinis yang progresif dalam beberapa jam. Setelah

beberapa hari pengobatan, dosis dikurangi bertahap untuk menekan

risiko efek samping yang tidak diharapkan.

2. Etiologik (pembedahan)

a. Complete removal

Meningioma dan tumor-tumor kelenjar tidak mempan dengan

terapi medis, neuroma akustik dan beberapa metastase padat di

berbagai regio otak dapat diangkat total. Terkadang, operasi

berlangsung lama dan sulit jika tumor jinak tersebut relatif sulit

dijangkau.

b. Partial removal

Glioma di lobus frontal, oksipital dan temporal dapat diangkat

dengan operasi radical debulking. Terkadang tumor jinak tidak

dapat diangkat secara keseluruhan karena posisi tumor atau psikis

pasien.

3. Radioterapi

Tumor diterapi melalui radioterapi konvensional dengan radiasi

total sebesar 5000-6000 rad tiap fraksi dalam beberapa arah. Kegunaan

dari radioterapi hiperfraksi ini didasarkan pada alasan bahwa sel-sel

normal lebih mampu memperbaiki kerusakan subletal dibandingkan

sel-sel tumor dengan dosis tersebut. Radioterapi akan lebih efisien jika

dikombinasikan dengan kemoterapi intensif.

Efek radioterapi tergantung dosis total dan durasi pengobatan.

Harus terdapat keseimbangan terhadap risiko pada struktur normal

sekitar. Umumnya, makin cepat sel membelah, makin besar

sensitivitasnya. Radioterapi terutama bernilai pada pengelolaan tumor

ganas, seperti astrositoma maligna, metastasis, medulloblastoma, dan

germinoma. Namun juga berperan penting pada beberapa tumor jinak,

seperti adenoma pituitary dan kraniofaringioma. Karena beberapa

tumor menyebar melalui jalur cairan serebrospinal seperti

48

medulloblastoma, iradiasi seluruh aksis neural dapat menekan risiko

terjadinya rekurensi dalam selang waktu singkat.

4. Kemoterapi

Jika tumor tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pembedahan,

kemoterapi tetap diperlukan sebagai terapi tambahan dengan metode

yang beragam. Pada tumor-tumor tertentu seperti meduloblastoma dan

astrositoma stadium tinggi yang meluas ke batang otak, terapi

tambahan berupa kemoterapi dan regimen radioterapi dapat membantu

sebagai terapi paliatif.

Obat kemoterapeutik ideal adalah membunuh sel tumor secara

selektif, namun respon sel tumor berkaitan langsung dengan dosis.

Tidak dapat dihindarkan bahwa dosis tinggi menyebabkan toksisitas

pada sum-sum tulang. Dalam praktek, dosis yang tidak adekuat dapat

menimbulkan depresi sum-sum tulang seperti leukopenia.

5. Imunoterapi

Imunoterapi dengan menggunakan teknik produksi antibodi

monoklonal memberi harapan yang lebih baik dalam mengatasi tumor

ganas, walau pengangkutan dan lokasinya masih merupakan masalah.

Antibodi monoklonal berperan sebagai karier, yang membawa obat

sitotoksik, toksin atau radionuklida langsung ke daerah tumor.

Antibodi monoklonal dapat mengidentifikasi antigen yang terdapat

pada sel tumor.

I. Prognosis

Tumor intrakranial tergantung pada jenis tumor spesifik. Berdasarkan

data di negara-negara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan

yang tepat melalui pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka

ketahanan hidup 5 tahun berkisar 50-60 % dan angka ketahanan hidup 10

tahun berkisar 30-40 %. Terapi tumor intrakranial di Indonesia secara

umum prognosisnya masih buruk, berdasarkan tindakan operatif yang

dilakukan pada beberapa rumah sakit di Jakarta.

49

Tumor otak umumnya memberikan prognosis yang jelek. Tabel

berikut memperlihatkan kesimpulan akhir untuk pasien dengan beberapa

keganasan pada otak yang sering dijumpai.

RESUME

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, GCS 15

(E4M6V5), Tekanan darah : 100/60mmHg, Nadi : 92x/menit, RR: 20 x/menit,

Suhu: 37 oC. Berdasarkan pemeriksaan status neurologis didapatkan adanya

hemiparese dextra. Hasil pemeriksaan laboratorium antara lain eritrosit 5,24

juta↑, MCV 78,5↓, MCH 25,0↓, susp. anemia hipokromik mikrositer, SGOT

70↑, SGPT 45↑, susp. Hepar. Pada pemeriksaan CT Scan kepala dengan

kontras didapatkan gambaran susp gambaran sol parietal kiri dan tampak

peningkatan tekanan intracranial.

V. DIAGNOSIS AKHIR

Diagnosis Klinis : Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum dan hemiparese

dextra dengan gangguan kognitif

Diagnosis Topis : hemisphere sinistra

Diagosis Etiologis : SOP Intracranial

DISKUSI III

Pada kasus ini pasien perempuan usia 24 tahun di diagnosa awal dengan status

epileptikus tonik-klonik umum dd SOP intracranial berdasarkan hasil anamnesis

yang telah dilakukan secara allo- dan autoanamnesis. Selanjutnya dilakukan

pemeriksaan fisik mulai dari vital sign sampai dengan Head to Toe. Pada

pemeriksaan kekuatan motorik, sensorik dan reflek fisiologis serta pemeriksaan

50

psikiatrik didapatkan hasil hemiparese dextra. Menurut literatur, CT Scan kepala

merupakan salah satu alat diagnostic tumor intracranial yang aman dan tidak

invasive. Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara

lain MRI, arteriografi dan EEG.

Planning

1. CT-Scan head axial dengan kontras

2. MRI

3. Pemeriksaan patologi anatomi

4. Terapi :

a. Non Medika Mentosa :

1) IVFD NaCl 20 Tpm

2) Fisioterapi rutin

3) Mobilisasi bertahap

b. Medikamentosa :

1) Inj. Citicolin 2x500 mg

2) Inj. Ranitidin 2x1 amp

3) Inj. Meticobalamin 1x1 amp

4) Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr

5) Fenitoin 2 amp/500ml NaCl 12 tpm

6) Po : Paracetamol 3x500mg

7) Po : Unalium 2 x 5 mg

8) Po : ambroxol 3 x 1 cth

5. Edukasi :

a. Minum obat dan kontrol ke dokter secara teratur.

b. Menjalani fisioterapi secara rutin sesuai jadwal.

c. Edukasi keluarga.

6. Monitoring :

a. Keadaan umum

b. GCS

c. Tanda vital

51

d. Defisit neurologis

e. Pemeriksaan penunjang

PENATALAKSAAN

1. Terapi Konservatif dan Simptomatik

Tujuan terapi konservatif dan simptomatik adalah mengurangi gejala

yang terjadi saat ini sebagai akibat dari adanya massa tumor dan

meningkatnya tekanan intracranial.

a. Phenitoin

Phenitoin dapat menjadi obat pilihan untuk hampir semua jenis

kejang.  Fenitoin berefek antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi

umum susunan saraf pusat. Sifat antikonvulsan fenitoin didasarkan

pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di

otak. Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada

saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya

sel sistem konduksi di jantung. Fenitoin juga mempengaruhi perpindah

anion melintasi membran sel; dalam hal ini, khususnya dengan

menggiatkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik dan beberapa

bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna. Gejala aura sensorik

dan gejala prodromal lainnya tidak dapat dihilangkan secara sempurna

oleh fenitoin

b. Citicolin

Citicolin merupakan prekusor phospholipid yang bekerja

menghambat deposisi beta amyloid di otak, membentuk acetylcoline

sehingga mneingkatkan neurotransmitter norepinefrin, dopamine, dan

serotonin serta menghambat aktivitas fosfolipase dan sfingomielinase

dan memberikan efek neuriproteksi. Bioavailabilitas hamper 90% (per

oral) dihidrolisis di dalam usus dan siap diserap dalam bentuk choline

dan cyctidine dan kembali dibentuk menjadi citicolin. Citicolin akan

didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh termasuk sel otak.

c. Ranitidin

Antagonis respetor H2 yang bekerja menghambat sekresi asam

lambung. Pada pemberian im/iv kadar dalam serum yang diperlukan

52

untuk menghambat 50% perangsangan sekresi asam lambung adalah

36094 mg/ml. kadar tersebut bertahan selama 6-8 jam. Ranitidine

diabsorbsi 50% setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak plasma

dicapai 2-3 jam setelah pemberian dosis 150 mg. absorpsi tidak

dipengaruhi secara nyata oleh makanan dan antasida. Waktu paruh 2,5

– 3jam pada pemberian oral dan disekresi melalui urin.

d. Meticobalamin

Berfungsi untuk memfasilitasi proses metilasi t-RNA yang

merupakan proses pening dalam sintesis protein dan perubahan

homosistein menjadi metionin. Sehingga dapat meningkatkan

penyembuhan pada kelemahan otot dan menunjukkan efek perbaikan

kerusakan jaringan saraf. Mecobalamin diperlukan untuk kerja normal

sel saraf.

e. Unalium

Merupakan salah satu merek dagang dari flunarizin. Flunarizine secara

farmakologi termasuk golongan obat penghambat ion kalsium dan

merupakan derivat dari difenilpiperazin. Flunarizine telah terbukti

sebagai salah satu obat migrain. Awalnya, flunarizine

mengurangi m a s u k n y a i o n C a 2 + da la m

pembu l uh da rah o t o t ha lu s dan da pa t m ens t ab i l kan

vasomotrik sehingga menghindari atau mengurangi rasa sakit.

Pada penelitian s e l a n j u t n y a f l u n a r i z i n e t e r n y a t a

m e m i l i k i a k t i v i t a s d a l a m t e r a p i m i g r a i n .

D i t em ukan bahw a f luna r i z i ne mam pu me l indung i

ke rus akan se l o t ak ak iba t h i poks i a da n gene s i s

neu rona l mi g ra in . F luna r i z ine t i dak m emi l ik i ak t i f i t a s

myogenic dan bahkan tidak menyebabkan vasodilatasi atau perubahan

tekanan arteri. Flunarizine juga dapat mempengaruhi pelepasan

neurotransmiter seperti dopamin dan met-enkephalin yang

terlibat dalam patogenesis migraine.

f. Ceftriaxone

53

Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan cefalosporin generasi

ketiga. Cefalosporin generasi ketiga memiliki spectrum luas terhadap

bakteri gram positif dan gram negatif tetapi kurang aktf dibandingkan

dengan generasi pertama terhadap kokus Gram-positif, tetapi jauh

lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil

penisilinase. Ceftriaxone memiliki waktu paruh yang cukup panjang

sekitar 8 jam. Ketika ceftriaxone mencapai konsentrasi terapeutik, obat

ini menunjukan penetrasi yang sangat baik ke jaringan – jaringan.

g. Paracetamol

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik

dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di

Sistem Syaraf Pusat (SSP) . arasetamol (asetaminofen) mempunyai

dayakerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti

radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung.

Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam

dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan

bagi nyeri yang ringan sampai sedang.h. Ambroxol

Ambroxol adalah agen mukolitik. Nitrat oksida (NO) yang berlebihan dikaitkan dengan inflamasi dan beberapa gangguan lain fungsi saluran udara. NO meningkatkan aktivasi larut guanylate cyclase dan akumulasi cGMP. Ambroxol telah terbukti menghambat NO-dependent aktivasi larut guanylate cyclase.

Ambroxol yang berefek mukokinetik dan sekretolitik, dapat

mengeluarkan lendir yang kental dan lengket dari saluran pernafasan

dan mengurangi staknasi cairan sekresi. Pengeluaran lendir

dipermudah sehingga melegakan pernafasan. Sekresi lendir menjadi

normal kembali selama pengobatan dengan Ambroxol. Baik batuk

maupun volume dahak dapat berkurang secara bermakna. Dengan

demikian cairan sekresi yang berupa selaput pada permukaan mukosa

54

saluran pernafasan dapat melaksanakan fungsi proteksi secara normal

kembali.

Pencegahan

Faktor genetic tidak dapat dicegah dan dihindari, tetapi perubahan gaya hidup

dapat membantu mencegah berkembangnya penyakit ini. Pencegahan dapat

dilakukan dengan memodifikasi faktor risiko meliputi mengatur pola makan,

konsumsi makanan yang sehat, olahraga teratur.

PROGNOSIS

Didapat kesan prognosis pada pasien ini:

Death : Dubia

Desease : Dubia

Dissability : Dubia

Discomfort : Dubia

Dissatisfaction : Dubia

Distitution : Dubia

55

Follow UpTanggal S O A P Keterangan

Selasa, 23 juli 2019

III

Kelemahan anggota

gerak kanan (+), Pusing

(+), mual (+), batuk (+), kejang (-), demam (-),

sariawan (+)

TD : 100/60 mmHg

N : 92x/menitRR : 20x/menit

S : 36oC

Kesadaran : CM

M :2/2/2 5/5/52/2/2 5/5/5

S :N NN N

Status epileptikus tonik-klonik umum dd

SOP intracranial

Hemiparesis dextra

Inj. Citicolin 2x500Inj. Ranitidin 2x1

Inj. Meticobalamin 1x1

Inj. Ceftriaxone 3x1grPhenytoin 2

amp/500ml 12 tpmPO: paracetamol

3x500mgUnalium 2x5mg

Ambroxol syr 3x1cth

Rencana hari ini : head CT-

Scan Axial tanpa kontras

Rabu, 24 juli 2019

IV

Kelemahan anggota

gerak kanan (+), Pusing

(+), mual (-), batuk (+), kejang (-), demam (-),

sariawan (+)

TD : 100/70 mmHg

N : 84x/menitRR : 18x/menit

S : 36oC

Kesadaran : CM

M :2/2/2 5/5/52/2/2 5/5/5

S :N NN N

Pasca Status epileptikus tonik-klonik umum dd

SOP intracranial

Hemiparesis dextra

Inj. Citicolin 2x500Inj. Ranitidin 2x1

Inj. Meticobalamin 1x1

Inj. Ceftriaxone 3x1grPhenytoin 2

amp/500ml 8 tpmPO: paracetamol

3x500mgUnalium 2x5mg

Ambroxol syr 3x1cthDepakote ER 2x500mg

Terapi LanjutHasil CT Scan tanpa kontras

: tampak gambaran susp. SOL

parietal kiri, dan adanya peningkatan

tekanan intrakranial

Kamis, 25 juli 2019

V

Kelemahan anggota

gerak kanan (+), Pusing (-),

mual (-), batuk (+), kejang (-), demam (-),

sariawan (+)

TD : 110/70 mmHg

N : 83x/menitRR : 20x/menit

S : 37oC

Kesadaran : CM

M :2/2/2 5/5/52/2/2 5/5/5

S :N NN N

SOP intracranial

Hemiparesis dextra

Inj. Citicolin 2x500Inj. Ranitidin 2x1

Inj. Meticobalamin 1x1

Inj. Ceftriaxone 3x1grPO: paracetamol

3x500mgUnalium 2x5mg

Ambroxol syr 3x1cthDepakote ER 2x500mg

Phenytoin 2x100mg

56

Jumat, 26 juli 2019

VI

Kelemahan anggota

gerak kanan (+), Pusing (-),

mual (-), batuk (-), kejang (-), demam (-), sariawan (-)

TD : 100/70 mmHg

N : 69x/menitRR : 19x/menit

S : 36,2oC

Kesadaran : CM

M :2/2/2 5/5/52/2/2 5/5/5

S :N NN N

SOP intracranial

Hemiparesis sinistra

Inj. Citicolin 2x500Inj. Ranitidin 2x1

Inj. Meticobalamin 1x1

Inj. Ceftriaxone 3x1grPO: paracetamol

3x500mgUnalium 2x5mg

Ambroxol syr 3x1cthDepakote ER 2x500mg

Phenytoin 2x100mg

Pulang hari ini

57

Daftar Pustaka

1. Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologis Klinis . Edisi pertama. Yogyakarta.

Gadjah Mada University Press.

2. Harsono. 2001. Epilepsi, edisi 1. Yogyakarta : GajahMada University

Press

3. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors). 2003. Pedoman

Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi

4. Laidlaw J, dan Richens A. 1982. A Texbook of Epilepsy. 2nd ed. New

York. Churchill Livingstone.

5. Lumbantobing SM. 2000. Etiologi dan faal sakitan epilepsi. Dalam:

Soetomenggolo TS,Ismael S,penyunting. Buku ajar neurologi anak. Edisi

kedua.Jakarta:BPIDAI.H:179203.

6. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2003. Neurologi klinis dasar. Edisi

ke9. Jakarta: Dian Rakyat.

7. SPM Neurologi

8. Hauser, S.L. 2010. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine 17th edition.

San Fransisco: McGraw- Hill.

9. Basuki, A., Dian, S. Neurology in daily practice. 2010. Bandung: Bagian

Ilmu Penyakit Saraf Universitas Padjajaran.

10. Silbernagl, S. Lang, F. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. Thieme.

11. Degirmenci, Y. Kececi, H. Prolonged Todd Paralysis2016. A Rare Case of

Post-ictal Motor Phenomenon. Journal of Neurology and Neuroscience.

Vol.7, no.3.

12. Pedoman Tatalaksana Epilepsi Dari Kelompok Studi Epilepsi

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) 2011

58