widyadari oktober 2014
TRANSCRIPT
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
1/297
i
Pengantar Redaksi
IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi yang berkonsentrasi pada ilmu
pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan amatlah pesat. Oleh karena itu diperlukan
wadah untuk menghimpun dan mempublikasikan perkembangan ilmu pendidikan itu.
Berdasarkan kesadaran dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI Bali berhasil
mewujudkan idealisme ilmiahnya melalui jurnal pendidikan Widyadari yang terbit
dua kali dalam setahun, yakni bulan April dan Oktober. Apa yang ada ditangan
pembaca yang budiman saat ini merupakan jurnal pendidikan Widyadari Nomor 17
Tahun XI April 2015.
Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri. Penerbitan edisi
ini disebarkan baik secara internal di kampus IKIP PGRI Bali, dan juga disebarkan
pada alumni beserta komunitas akademik yang lebih luas. Jurnal pendidikan
widyadari kali ini memuat tiga belas artikel ilmiah dari dosen di lingkungan IKIp
PGRI Bali dan alumi IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan dari alumni kampus IKIP
PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas akademik.
Semoga penerbitan jurnal pendididkan Widyadari ini menjadi wahana yangbaik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya, sumbangan pemikiran, kritik,
dan saran dari pembaca diharapkan dapat memperbaiki terbitan edisi selanjutnya.
Redaksi
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
2/297
iii
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi ............. ............ ......... ............. ............ ......... ....... i
Daftar Isi ........... ............. ......... ............ ............. ......... ............. ....... ii
Peran Kepala Sekolah Terhadap Guru Bimbingan dan Konsling(Konselor)
Dr. A.A. Ngurah Adhiputra, M.Pd ............ ............. ......... ............ ...... 1
Konseptualisasi Desain dan Pendekatan Kurikulum
Pendidikan Vokasi pada Abad 21Dr. I Made Darmada, M.Pd............ ............ ......... ............. ............. .... 18
Penerapan Pendekatan Kontekstual denganMetode Observasi untukMeningkatkan Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi di Kalangan SiswaKelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014
Dra. Dewa Ayu Widiasri, M.Pd ............ ............. ......... ............. ......... 36
Pengaruh Risiko Perusahaan dengan Konservatisma Akuntansi
Putu Diah Asrida, SE., Ak., M.Si .................... ............ ........... .......... 51
Efektivitas Bimbingan Kelompok melalui Teknik Permainan untukMeningkatkan Perilaku Sosial Siswa (Studi Kuasi Eksperimen
terhadap Siswa Kelas X SMA Laboratorium (Percontohan)UPI Bandung)
Putu Agus Semara Giri, S.Pd., M.Pd............ ............ .......... ............ .... 62
Beberapa Problematika Dan Kontroversi Seputar PenggunaanMixed Method(Metode Campuran) dalam Penelitian
Dr. I Wayan Gunartha, M.Pd. ............ ............ ......... ............. ............ . 91
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan KeterampilanMenulis Puisi Siswa Kelas Viic SMP Negeri 2 Bebandem Semester 2
Tahun Pelajaran 2014/2015Drs.I Wayan Kerti, M.Pd ............. ............. ......... ............ ............. ...... 109
Efektivitas Psychological First Aiddalam Mengurangi GejalaKecemasan pada Penyintas Kecelakaan Kendaraan BermotorI Made Mahaardika, SH., M.Psi ............ ............. ......... ............. ......... 122
Re-Brandingdan Model Aisas dalam Membangun
Kesetiaan Pelanggan Es Krim Merek MagnumDra. Ni Nyoman Murniasih, M.Erg, dan Ni Wayan Karlini .... .... .... .... .. 142
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
3/297
iv
Penerapanpembelajaran Bioteknologi melalui Fermentasi
Jerami Padi (Oryza Satival.)Menggunakan LarutanBio Casuntuk Pakan Ternak Ruminansia
Drs. I Wayan Suanda, SP., M.Si dan Ni Wayan Ratnadi, S.Pd., M.Pd ... 158
Program Intervensi untuk Meningkatkan Percaya Diri SiswaKadek Suhardita ............ ............ ......... ............. ............ .......... .......... 175
Implementasi Model Collaborative Teamwork Learning (MCTL)untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Fisika
Siswa Kelas Xi Mipa 4 Sma Negeri 1 TampaksiringTahun Pelajaran 2014/2015
Ngakan Ketut Tresna Budi .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . 197
Peningkatan Kompetensi dan Profesional Guru melaluiPenelitian Tindakan Kelas.
Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si ............ ............. ......... ............. ......... 209
Seni Pertunjukan Tari Joged Bungbung Yang Exis DalamBentuk ,Fungsi Dan Makna
Luh Putu Pancawati ......................................................... 221
Penerapan Metode Inkuiri Sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi BelajarIPS Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 9 Denpasar
Tahun pelajaran 2013/2014Ni Wayan Widi Astuti .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 229
Model Evaluasi CIPP Dalam Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan
(PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/KoperasiFPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014.
Ni Wayan Ary Rusitayant i............. ............. ......... ............ ............. .... 240
Pengaruh Komunikasi dari Bawahan Terhadap Atasan
(upward communication) untuk motivasi karyawanPutu Dessy Fridayanthi ........... ............. ......... ............ ............. ......... . 248
Pelatihan Jump Shoot dengan awalan Passing dan awalan Drible 10 repetisi 5set terhadap ketepatan Jumpt Shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring
Ida Ayu Kade Arisanthi Dewi ............ ............ ......... ............. ............ . 273
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
4/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
1
PERAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP
GURU BIMBINGAN DAN KONSLING ATAU KONSELOR
Oleh:Dr. A.A. Ngurah Adhiputra, MPd.
Dosen FIP. IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
Guidance teacher and counseling or counselor as a professional educator is a
bachelor (S-1) in education of guidance and counseling department and hascompleted the teacher professional education program guidance and counseling or
counselor (PPG LB/K), which provides expert guidance and counseling services,while individuals who receive guidance and counseling services are called counselee.
The existence of guidance teacher and counseling or counselor in the nationaleducation system is expressed as one of educational qualifications, in line with the
qualifications of teachers, lecturers, learning-educators, tutors, lecturers, facilitatorsand instructors (Law no. 2 20/2003, Article 1, paragraph 6). It is believed that the
principals support in the implementation and management guidance and counselingprogram in schools is essential. The relationship between the principle and counselor
is very important especially in determining the effectiveness of the program.Principals who understand well the guidance and counseling profession will: (1)
giving credence to counselors and maintaining regular communication in variousforms, (2) understanding and formalizing the role of the counselor, and (3) placing
the staffs of the school as a team or partners.
Key words: make the principles understand; freeing the counselor from irrelevant
task; counselor responsibility; building standard supervision
PENDAHULUAN
Guru profesional adalah guru yang dalam melaksanakan tugas profesi
kependidikan mampu menampilkan kinerja atas penguasan kompetensi akademik
kependidikan dan kompetensi penguasaan substansi dan/atau bidang studi sesuai
bidang ilmunya. Keberadaan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dalam
sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar
dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan
instruktur (UU No. 20/2003, pasal 1 ayat 6). Namun pengakuan secara eksplisit dan
kesejajaran posisi antara kualifikasi tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
5/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
2
menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki
konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan seting pelayanan spesifik yang satu dan yang
lainnya mengandung keunikan dan perbedaan. Oleh sebab itu, di dalam naskah ini
konteks dan ekspektasi kinerja guru bimbingan dan konseling atau konselor
mendapatkan penegasan kembali dengan maksud untuk meluruskan konsep dan
praktik bimbingan dan konseling ke arah yang tepat. Merujuk pada Peraturan
Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, untuk selanjutnya tenaga
pendidik di bidang bimbingan dan konseling disebut dengan Guru Bimbingan dan
Konseling atau Konselor
1.1. Penegasan Konteks Tugas Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor
Pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal telah
dipetakan secara tepat dalam kurikulum SMP dan SMA 1975, bahkan juga pada
Kurikulum SD 1976, meskipun ketika itu masih dinamakan layanan bimbingan
dan penyuluhan, dan layanan di bidang pembelajaran yang dibingkai dalam
kurikulum, sebagaimana tampak pada gambar 1.
WilayahBimbingan &
Konseling ygMemandirikan
WilayahManajemen& Kepemimpinan
WilayahPembelajaranyg Mendidik
Manajemen& Suvervisi
PembelajaranBidangStudi
Bimbingan &
Konseling
Tujuan:Perkem-banganOptimalTiapPesertaDidik
Gambar 01Wilayah Pelayanan Bimbingan dan Konseling
Dalam Jalur Pendidikan Formal
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
6/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
3
Pada konteks kurikulum, sesungguhnya penanganan pengembangan diri
lebih banyak terkait dengan wilayah layanan guru, khususnya melalui
pengacaraan berbagai dampak pengiring (nurturant effects) yang relevan, yang
dapat dan oleh karena itu perlu dirajutkan ke dalam pembelajaran yang
mendidik yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks layanan.
Meskipun demikian, guru bimbingan dan konseling atau konselor memang juga
diharapkan untuk berperan-serta dalam bingkai layanan yang komplementer
dengan layanan guru, bahu membahu dengan guru termasuk dalam pengelolaan
kegiatan pengembangan diri dan ekstra kurikuler. Persamaan, keunikan, dan
keterkaitan antara wilayah layanan, konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru
bimbingan dan konseling atau konselor dapat digambarkan seperti tampak pada
gambar 02, di mana materi pengembangan diri berada dan merupakan wilayah
komplementer antara guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling
atau konselor.
PERKEMBANGAN OPTIMAL PESERTA DIDIK
Pemenuhan standar Kemandirian
Peseta Didik; Perwujudan Diri Secara
Akademik, Vokasional, Pribadi dan
Sosial melalui Bimbingan dan Konseling
yang Memandirikan
Pemenuhan Standar Kompetensi
Lulusan; Penumbuhan Karakter yang
Kuat serta Penguasaan hard skillsdan
soft skillsmelalui pembelajaran yang
mendidik
Wilayah Layanan
Bimbingan dan Konseling
yang Memandirikan
Penghormatan kepada
Keunikan dan
Komplementaritas
Layanan
Wilayah Pembelajaran
yang Mendidik
Gambar 02
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
7/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
4
Keunikan Komplementalitas Wilayah Pelayanan
Guru Mata Pelajaran dan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor
1.2. Ekspektasi Kinerja Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor
dikaitkan dengan
Jenjang Pendidikan
Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor sebagai pendidik
profesional adalah Sarjana Pendidikan (S-1) bidang Bimbingan dan Konseling
dan telah menyelesaikan program Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan
Konseling atau Konselor (PPG BK/K) yang memberikan layanan ahli bimbingan
dan konseling, sedangkan individu yang menerima pelayanan bimbingan dan
konseling disebut Konseli. Meskipun sama-sama berada dalam jalur pendidikan
formal, perbedaan rentang usia peserta didik pada tiap jenjang memicu tampilnya
kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling yang berbeda-beda pada tiap
jenjang pendidikan. Batas ragam kebutuhan antara jenjang yang satu dengan
jenjang yang lainnya tidak terbedakan sangat tajam. Dengan kata lain, batas
perbedaan antar jenjang tersebut lebih merupakan suatu wilayah. Di pihak lain,
perbedaan yang lebih signifikan, juga tampak pada sisi pengaturan birokratik,
seperti misalnya di Taman Kanak-kanak sebagian besar tugas guru bimbingan
dan konseling atau konselor ditangani langsung oleh guru kelas taman kanak-
kanak. Sedangkan di jenjang Sekolah Dasar, meskipun memang ada
permasalahan yang memerlukan penanganan oleh guru bimbingan dan konseling
atau konselor, namun cakupan pelayanannya belum menjustifikasi untuk
ditempatkannya guru bimbingan dan konseling atau konselor di setiap Sekolah
Dasar, sebagaimana yang diperlukan di jenjang sekolah menengah (SMP/MTs,
SMA/MA, SMK).
1.3. Keunikan dan Keterkaitan Tugas Guru Mata Pelajaran dan Guru
Bimbingan dan
Konseling atau Konselor
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
8/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
5
Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan
optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh
guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling atau konselor, dan tenaga
pendidik dan kependidikan lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu masing-
masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan khusus dalam mendukung
realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam hubungan
fungsional kemitraan antara guru bimbingan dan konseling atau konselor dengan
guru mata pelajaran, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan
(referral). Masalah-masalah perkembangan peserta didik yang dihadapi guru
pada saat pembelajaran dirujuk kepada guru bimbingan dan konseling atau
konselor untuk penanganannya, demikian pula masalah yang ditangani guru
bimbingan dan konseling atau konselor dirujuk kepada guru untuk
menindaklanjutinya apabila itu terkait dengan proses pembelajaran mata
pelajaran atau bidang studi. Masalah kesulitan belajar peserta didik
sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri.
Ini berarti di dalam pengembangan dan proses pembelajaran bermutu, fungsi-
fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian guru, dan sebaliknya,
fungsi-fungsi pembelajaran bidang studi perlu mendapat perhatian guru
bimbingan dan konseling atau konselor.
Secara rinci keterkaitan dan kekhususan pelayanan pembelajaran oleh guru
mata pelajaran dan pelayanan bimbingan dan konseling oleh guru bimbingan dan
konseling atau konselor dilukiskan dalam Tabel 01.
Tabel 01
Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru Mata Pelajaran dengan
Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor
Dimensi Guru Mata PelajaranGuru Bimbingan dan Konseling atau
Konselor
1. Wilayah Gerak Khususnya Sistem Pendidikan Khususnya Sistem Pendidikan Formal
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
9/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
6
Dimensi Guru Mata PelajaranGuru Bimbingan dan Konseling atau
Konselor
Formal2. Tujuan Umum Pencapaian tujuan pendidikan
nasional
Pencapaian tujuan pendidikan nasional
3. Konteks Tugas Pembelajaran yang mendididk
melalui mata pelajaran dengan
Skenario Guru
Pelayanan yang memandirikan dengan
skenario konseli-guru bimbingan dan
konseling atau konselor.
Fokus kegiatan Pengembangan kemampuan
penguasaan bidang studi dan
penyelesaian masalah-
masalahnya.
Pengembangan potensi diri bidang pribadi,
sosial, belajar, karier, dan penyelesaian
masalah-masalahnya.
Hubungan
kerja
Alih tangan (referral) Alih tangan (referral)
4. Target Intervensi:
Individual Minim Utama
Kelompok Pilihan strategis Pilihan strategis
Klasikal Utama Minim
5. Ekspektasi Kinerja:
Ukurankeberhasilan
- Pencapaian StandarKompetensi Lulusan
- Lebih bersifat kuantitatif
- Kemandirian dalam kehidupan
- Lebih bersifat kualitatif yang unsur-unsurnya saling terkait (ipsatif)
Pendekatan
umum
PemanfaatanInstructional
Effects&Nurturant Effects
melalui pembelajaran yang
mendidik.
Pengenalan diri dan lingkungan oleh Konseli
dalam rangka pengatasan masalah pribadi,
sosial, belajar, dan karier. Skenario tindakan
merupakan hasil transaksi yang merupakan
keputusan konseli.
Perencanaantindak
intervensi
Kebutuhan belajar ditetapkan
terlebih dahulu untuk
ditawarkan kepada peserta
didik.
Kebutuhan pengembangan diri ditetapkan
dalam proses transaksional oleh konseli,
difasilitasi oleh guru bimbingan dan konseling
atau konselor
Pelaksanaantindak
intervensi
Penyesuaian proses
berdasarkan respons
ideosinkratik peserta didik
yang lebih terstruktur.
Penyesuaian proses berdasarkan respons
ideosinkratik konseli dalam transaksi makna
yang lebih lentur dan terbuka.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
10/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
7
Pembahasan
2.1. Peran Kepala Sekolah dalam memahami Langkah-langkahPenegasan Indentitas Profesi
Sejarah menunjukkan terjadinya ragam pemaknaan dan pemahaman
terhadap bimbingan dan ko nseling, dan memperhadapkan konselor kepada
konflik, ketidak-konsistenan, dan ketidak-kongruenan peran. Untuk
mempersempit kesenjangan semacam ini perlu ada langkah penguatan dan
pe negasan peran dan ident itas pro fesi. Adapun langkah-langkah ter se bu t
adalah sebagai berikut:
a. Memahamkan Para Kepala Sekolah.
Diyakini bahwa dukungan kepala sekolah dalam implementasi dan penanganan
program bimbingan dan konseling di sekolah sangat esensial. Hubungan dengan
kepala sekolah dengan konselor sangat penting terutama di dalam menentukan
keefektifan program. Kepala sekolah yang memahami dengan baik profesi bimbingan
dan konseling akan: (1) memberikan kepercayaan kepada konselor dan memelihara
komunikasi yang teratur dalam berbagai bentuk, (2) memahami dan merumuskanperan konselor, dan (c) menempatkan staf sekolah sebagai tim atau mitra kerja.
b. Membebaskan Konselor dari Tugas yang Tidak Relevan.
Masih ada konselor sekolah yang diberi tugas mengajar bidang studi, bahkan
mengurus hal-hal yang tidak relevan dengan bimbingan dan konseling, seperti jadi
petugas piket, perpustakaan, koperasi, dan sebagainya. Tugas-tugas ini tidak relevan
dengan latar belakang pendidikan, dan tidak akan menjadikan bimbingan dan
konseling dapat dilaksanakan secara profesional.
c. Mempertegas Tanggungjawab konselor.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
11/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
8
Sudah saatnya menegaskan bahwa bimbingan dan konseling menjadi
tanggungjawab dan kewenangan konselor. Sebutan guru pembimbing sudah harus
diganti dengan sebutan Konselor. (sebagaimana sudah ditegaskan dalam UU No.
20/2003). Perlu ditegaskan bahwa konselor adalah orang yang memiliki latar
belakang pendidikan bimbingan dan konseling dan memperoleh latihan khusus
sebagai konselor, dan memiliki lisensi untuk melaksanakan layanan bimbingan dan
konseling. Pemberian kewenangan untuk melaksanakan layanan bimbingan dan
konseling didasarkan kepada lisensi dan kredensialisasi oleh ABKIN, sesuai
dengan perundang dan peraturan yang berlaku.
d.
Membangun Standar Supervisi.
Tidak terpenuhinya standar yang diharapkan untuk melakukan supervisi
bimbingan dan konseling membuat layanan tersebut terhambat dan tidak efektif.
Supervisi yang dilakukan oleh orang yang tidak memahami atau tidak berlatar
belakang bimbingan dan konseling bisa membuat perlakuan supervisi bimbingan dan
konseling disamakan dengan perlakuan supervisi terhadap guru bidang studi.
Akibatnya balikan yang diperoleh konselor dari pengawas bukanlah hal-hal yang
substantif tentang kemampuan bimbingan dan konseling, melainkan hal-hal teknis
administratif. Supervisi bimbingan dan konseling mesti diarahkan kepada upaya
membina keterampilan profesional konselor seperti: (1) memahirkan keterampilan
konseling, (2) belajar bagaimana menangani isu kesulitan siswa, (3) mempraktekkan
kode etik profesi, (4) mengembangkan program komprehensif, (5) mengembangkan
ragam intervensi psikologis, dan (6) melakukan fungsi-fungsi relevan lainnya.
2.2. Apa yang dilakukan Konselor Profesional
Dengan melihat kecendrungan kehidupan dalam masyarakat dan arahparadigma konseling, seorang konselor profesional akan melakukan/dipersyaratkan
untuk (Sunaryo, 2003: 12):
a. Menguasai pengetahuan tentang perkembangan manusia dan ragam teknik
assesment perilaku dan lingkungan.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
12/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
9
b. Memiliki kemampuan mengantisipasi sosok perkembangan yang diharapkan
dan menguasai keterampilan psikologi untuk mengembangkan lingkungan
belajar.
c. Memiliki kompetensi tinggi dalam memahami kompleksitas interaksi individu
dan lingkungan dalam ragam konteks sosio-kultural.
d. Menguasai ragam bentuk intervensi psikologis yang tidak terbatas kepada
intervensi intrapersonal tetapi juga interpersonal dan lintas budaya.
e. Menguasai strategi assesment lingkungan dalam kaitannya dengan
keberfungsian psikologis individu.
f. Menguasai kompetensi teknologi informasi.
g. Memberikan layanan dalam tim yang akan mengurangi perdebatan wilayah
garapan dan duplikasi upaya,
h. Memberikan layanan konsultatif yang bersifat privat dan indipenden dalam
ragam seting.
i. Merancang dan mengembangkan strategi intervensi dan lingkungan
perkembangan berbasis internet.
2.3. Isu Isu ProfesionalKekuatan eksisitensi suatu profesi bergantung kepada public trust (Biggs &
Blocher, 1986). Masyarakat percaya bahwa layanan yang diperlukannya itu hanya
dapat diperoleh dari konselor. Public trust akan menentukan definisi profesi dan
memungkinkan anggota profesi berfungsi dalam cara-cara profesional. Public trust
akan melanggengkan profesi karena dalam public trust terkandung keyakinan bahwa
profesi dan para anggotanya itu: (a) memiliki kompetensi dan keahlian yang
disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus, (b) ada perangkat aturan untuk
mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahtraan public, dan (c) para
anggota profesi akan bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang kepada
standar profesi.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
13/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
10
Diakui bahwa di Indonesia public trust terhadap profesi konseling ini masih
sangat lemah, sehingga identitas profesi konseling-pun masih sangat lemah. Upaya
upaya yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat identitas profesi konseling di
Indonesia antara lain :
a. Menata organisasi asosiasi profesi konseling (ABKIN) menjadi betul-betul
sebagai organisasi profesi yang dapat menumbuhkan public trust.
b. Menetapkan tingkat pendidikan minimum untuk persyaratan konselor
profesional, misalnya tingkat pendidikan program Magister dan atau melalui
pendidikan profesi konselor.
c. Kredensial (penganugrahan surat kepercayaan) dilakukan oleh organisasi
profesi dengan standar assesment secara lokal dan nasional.
d. Pemberian kesempatan kepada para konselor yang memenuhi standar profesi
untuk melaksanakan praktek privat dan indipendent di masyarakat.
e. Menata ulang dan memasyarakatkan kode etik profesi termasuk kode etik
untuk konseling jarak jauh atau cyber counselling.
f. Memperkokoh kesejawatan antar profesi yang terkait dengan helping
relationship seperti: psikologi, dokter, pekerja sosial, dsbnya.
2.4. Tantangan dan Arah Profesional Bimbingan dan Konseling
Esensi tantangan dalam profesional bimbingan dan konseling terletak dalam
pemantapan identitas profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Krisis identitas
akan menimbulkan kesulitan pemantapan unjuk kerja profesional di kalangan orang-
orang yang mengeluti dunia bimbingan dan konseling. Pemantapan identitas profesi
bimbingan dan konseling memerlukan pemantapan dalam segi-segi sebagai berikut:
a. Wawasan profesional yang akan menjadi dasar dalam melakukan timbangan
profesional (professional judgment) dalam menentukan suatu tindakan
layanan. Apakah suatu tindakan itu profesional atau tidak profesional antara
lain terletak timbangan profesional (professional judgment) yang mendasari
tindakan itu.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
14/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
11
b. Standarisasi tingkat pendidikan. Jika eksistensi bimbingan dan konseling yang
tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.
20 tahun 2003 dan perangkat peraturannya serta tuntutan yang terkandung
dalam SK Menpan No. 26/89 tahun 2003 ingin dilaksanakan secara optimal
dan profesional, maka para guru pembimbing haruslah mereka yang
berkelayakan untuk melaksanakan tugas itu. Ini berarti perlu adanya standar
minimal tingkat pendidikan yang relevan yang harus dipenuhi oleh para guru
pembimbing.
c. Pemantapan bidang atau fokus garapan. Wilayah garapan bimbingan dan
konseling masih dirasakan sebagai wilayah marginal yang ditarik oleh dua
kutub, yakni kutub pekerjaan guru dan kutub pekerjaan ahli psikologi klinis.
Kondisi ini menimbulkan krisis identitas bimbingan dan konseling.
Pemantapan unjuk kerja hanya mungkin jika pemantapan bidang/fokus
garapan ini telah tercapai, kendatipun pemantapan bidang garapan ini tidak
merupakan titik akhir tetapi lebih merupakan sesuatu yang berkembang secara
berkelanjutan. Pemantapan bidang garapan ini memerlukan kajian konseptual
maupun emperik atas dasar penelitian. Konsep pendekatan atau orientasi
perkembangan dalam bimbingan dan konseling adalah suatu konsep yang
dipandang dapat membantu memantapkan fokus garapan bimbingan dan
konseling.
d. Pemantapan pendekatan dan metodologi intervensi. Keragaman tatanan dan
populasi layanan sebagai peluang pemantapan identitas profesional,
menghendaki pendekatan dan metode intervensi yang dinamik dan sejalan
dengan isu-isu yang terjadi dalam perkembangan manusia. Metode intervensi
bisa dalam bentuk konsultasi dan latihan, dan menggunakan media tertentu di
samping memberikan layanan langsung kepada individu. Pendekatan dan
intervensi kelompok tampaknya perlu lebih dimantapkan sebagai upaya
mewujudkan fungsi preventif-pengembangan yang menjadi fungsi utama
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
15/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
12
bimbingan dan konseling. Keterampilan mengajar dalam arti membantu
individu terampil dalam berpikir, memahami diri dan lingkungan, serta
memilih dan mengambil keputusan merupakan dimensi keterampilan
profesional yang perlu dimantapkan.
e. Pemantapan aturan main profesi berupa kode etik. Salah satu faktor yang
menyebabkan banyaknya intervensi pihak luar terhadap pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling karena ketidak jelasan kode etik profesi ini.
Kode etik merupakan perlindungan profesi dan sekaligus juga merupakan
perlindungan konsumen profesi itu. Yang lebih penting lagi ialah
implementasi kode etik oleh para anggota profesi, yang ditunjukkan dalam
kemampuan mengatur diri (self-regulation) baik sebagai seorang pribadi
maupun sebagai seorang profesional dan anggota kelompok profesi. Perilaku
mengatur diri sendiri atas dasar kode etik profesi inilah yang akan
menumbuhkan kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap profesi
bimbingan dan konseling.
Sedangkan arah peningkatan unjuk kerja profesional bimbingan dan konseling
menggambarkan adanya kecendrungan pergeseran-pergeseran konseptual maupun
praktek dalam pelaksanaan layanan profesional bimbingan dan konseling.
Kecendrungan pergeseran tersebut dapat diidentifikasikan dalam hal sebagai berikut:
a. Pergeseran dari bimbingan dan konseling sebagai pekerjaan ke arah sebagai
suatu profesi dengan ditandai adanya pengakuan secara formal tentang
eksistensi bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan nasional.
b. Pergeseran dari orientasi terapeutis-klinis ke arah orientasi perkembangan
dengan menjaga martabat individu dalam konteks sosial budaya.c. Pergeseran dari populasi layanan yang terbatas kepada populasi layanan yang
lebih luas dalam berbagai tatanan dan situasi.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
16/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
13
d. Pergeseran dari teknik dan pendekatan mekanistik ke arah pendekatan yang
dinamik, fluid, teknologis, sesuai dengan isu-isu yang muncul dalam
perkembangan manusia.
Kecendrungan pergeseran itu menghendaki peningkatan unjuk kerja
profesional bagi guru pembimbing (konselor) dalam beberapa arah sebagai berikut:
a. Pemerolehan kesadaran identitas profesional yang kuat dengan ditandai
pemerolehan tingkat pendidikan minimal dan sertifikasi.
b. Predikat konselor didasarkan atas sertifikasi yang dimiliki seseorang.
Sertifikasi diberikan olehLembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan(LPTK)
dalam program yang disiapkan secara khusus untuk itu. Program studi
Bimbingan dan Konseling yang ada di LPTK adalah program yang
terakreditasi dan berwenang menyiapkan tenaga konselor profesional.
c. Kelayakan sebuah lembaga penyelenggara pendidikan konselor didasarkan
pada hasil akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN)
bersama-sama ABKIN. Keterlibatan ABKIN dalam melakukan akreditasi
dipandang penting karena ABKIN adalah institusi yang menetapkan
kompetensi profesional yang harus dicapai melalui program pendidikan
konselordi LPTK. Dengan sertifikasi dan akreditasi ini pekerjaan bimbingan
dan konseling akan menjadi profesional karena hanya dilakukan oleh konselor
profesional yang bersetifikat.
d. Kredensial adalah penganugrahan kepercayaan kepada konselor professional
yang menyatakan bahwa yang bersangkutan memiliki kewenangan dan
memperoleh lisensi untuk menyelenggarakan layanan professional secara
indipenden kepada masyarakat maupun di dalam lembaga tertentu. Lisensidiberikan oleh ABKIN atas dasar permohonan yang bersangkutan, berlaku
untuk masa waktu tertentu dan dilakukan evaluasi secara periodik untuk
menentukan apakah lisensi masih bisa diberikan. Pemberian lisensi diberikan
atas hasil asesmen nasional yang dilakukan ABKIN melalui Badan
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
17/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
14
Akreditasi dan Kredensialisasi Konselor Nasional. Seorang Konselor tidak
secara otomatis memperoleh kredensial, kecuali atas dasar permohonan dan
melakukan secara nyata layanan profesi bagi masyarakat atau sekolah.
Simpulan
Mengkaji kualifikasi profesional petugas bimbingan (konselor) di Indonesia
tidak dapat lepas dari eksistensi profesi bimbingan dan konseling di dalam sistem
pendidikan Indonesia. Berdasarkan GBHN tahun 1988, pendidikan di Indonesia
bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu: manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggungjawab, mandiri,
cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani (Sunaryo, 1989: 1).
Kata meningkatkan dalam rumusan tujuan tersebut mengandung arti bahwa
pendidikan merupakan upaya membawa manusia Indonesia mencapai kualitas hidup
yang lebih baik. Ini berarti pula bahwa pendidikan nasional Indonesia adalah upaya
membawa manusia Indonesia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi atas
dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam konteks dan tatanan kehidupan masyarakat manapun memang
pendidikan akan selalu berhadapan dengan manusia yang sedang berada dalam proses
berkembang. Secara psikologis proses perkembangan tersebut adalah proses yang
bersifat individual. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendidikan merupakan alat
untuk membantu manusia menjadi apa yang dapat dia lakukan dan bagaimana
seharusnya dia menjadi sesuai dengan hakekat keberadaannya. Ini mengandung arti
bahwa proses pendidikan itu adalah proses yang dialami secara individual.
Semua ciri-ciri kualitas manusia Indonesia yang tersurat dalam GBHN tahun
1988 tersebut di atas, adalah ciri-ciri yang diharapkan dimiliki oleh semua manusia
Indonesia sebagai identitas diri dan budayanya. Mengingat proses pendidikan itu
pada hakekatnya merupakan proses individual, maka pencapaian atau pemilikan
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
18/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
15
semua ciri kualitas manusia Indonesia-pun merupakan proses yang bersifat
individual. Implikasi dari pemikiran tersebut bahwa proses pendidikan umum harus
sampai kepada upaya yang dapat menyentuh dunia kehidupan individual manusia
Indonesia. Upaya ini dimaksudkan untuk membantu mereka (peserta didik)
memperhalus, menginternalisasikan dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola
perilaku yang dipelajari melalui proses pendidikan umum.
Strategi upaya khusus yang dapat menyentuh kehidupan individual itu adalah
melalui layanan profesi bimbingan dan konseling. Sejalan dengan perkembangan
bimbingan dan konseling, pengakuan legal atas eksistensi konselor di Indonesia
terjadi dengan ditetapkannya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam pasal 1 ayat (6) dinyatakan bahwa konselor sebagai salah satu
kualifikasi pendidik. Pengakuan legal atas eksistensi konselor dalam Sistem
Pendidikan Nasional merupakan prestasi pucak dalam sejarah bimbingan dan
konseling di Indonesia. Sebagai asosiasi profesi, ABKIN (Asosiasi Bimbingan
Konseling Indonesia) ingin menegaskan dan mendeklarasikan bahwa Konselor
adalah Pendidik , dan layanan profesional yang dilakukan oleh konselor adalah
Bimbingan dan Konseling.
Pada Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling ke XIII tahun 2003, dan
Konvensi Divisi-Divisi ABKIN tahun 2004 merekomendasi langkah lanjut
profesional bimbingan dan konseling melalui Standarisasi Profesi. Standarisasi
tidak hanya secaraNasionaltetapi juga kearah standarInternasional, yang mencakup
etik, akreditasi/sertifikasi, dan kredensialisasi. Secara konkret upaya standarisasi ini
di awali pada tahun 2002, dengan pengembangan Dasar-Standarisasi Profesi
Konseling Indonesia, sebagai kerjasama antara ABKIN dengan Dirjen Dikti.
Standar ini masih terus dikaji dan dikembangkan untuk penyempurnaan. Konvensi
Divisi-Divisi ABKIN tahun 2009 dikaji dan dikembangkan terus standarisasi
profesional konseling untuk mencapi tujuan pendidikan nasional.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
19/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
16
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi StandarKompetensi Mata Pelajaran Sains Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Undang-undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, RENSTRA Departemen Pendidikan
Nasional 2005-2009, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional, 2006, Peraturan Menteri Pendidikan NasionalNomor 16 Tahun 2006 Tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru,
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Directorate General of Higher Education, Ministry of Education, 2003, Higher
Education Long Term Strategy 2003-2010. Jakarta: Directorate General of
Higher Education Ministry of Education Republic of Indonesia
Direktorat Pembinaan Akademik dan Kamahasiswaan, 2003, Pedoman Penjaminan
Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Akademik dan Kamahasiswaan. Ditjen Dikti. Depdiknas
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan PendidikanTinggi. 2003. Naskah Akademik Standar Kompetensi Guru SD-MI. Jakarta:Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan
Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, DepartemenPendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). 2005. The Professional Counselor
Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA:AACD.
Faiver, C., S. Eisengart, dan R. Colonna. 2004. The counselor interns handbook.
(3rd Edition). Belmont, CA: Brooks/Cole
Gardner, H. 1993. Frame of Mind: The theory of multiple intelligences. N.Y.: BasicBooks.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
20/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
17
Gysbers, N. C. dan P. Henderson. 2006. Developing and Managing your School
Guidance and Counseling Program (4th Ed). Alexandria, VA: ACA.
Hogan-Garcia, M. 2003. The Four Skills of Cultural Diversity Competence: aProcess for Understanding and Practice. Pacific Grove, CA.: Brooks/Cole.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4496)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 tahun 2008 tentang StandarKualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor
Schone, DA. 1983. The Reflective Practitioner: how professionals think in action.
New York: Basic Book, Inc., Publishers.
Slavin, Robert E, 2006, EducationalPsychology: Theory and Practice. 8th. Boston:
Allyn and Bacon
Sternberg, RJ. 2003. Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized. New York:Cambridge University Press.
T.Raka Joni 2007. Prospek Pendidikan Profesional Guru di Bawah Naungan UU No.
14 Tahun 2005, Universitas Negeri Malang
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
21/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
18
KONSEPTUALISASI DESAIN DAN PENDEKATAN KURIKULUMPENDIDIKAN VOKASI PADA ABAD 21
Oleh
Dr. I Made Darmada, [email protected]
ABSTRACT
Vocational education is one type of higher education system. Vocational education
has a special characteristic that is focusing on preparing the student to work in aspecific field. Therefore, a vocational education cannot be separated from the
world of work because world of work is considered as link that should not bebroken from the series of vocational education system. A world of work and a
vocational education are likened as a moving object with its shadows whichcannot be divided or moving separately. A vocational education is built and
developed by carefully paying attention to the needs and situations in the world ofwork to satisfy the developing market demand. A vocational education cannot
stand apart from the development of world of work includes the development and
utilization of technology and its impact to paradigm demands, attitudes, and
continuous
skills.
Key Words: Vocational, Curriculum, Higher Education
1. PENDAHULUAN
Dellors dalam laporan Komisi Pendidikan di abad 21 untuk
UNESCO (1998:22) menjelaskan bahwa untuk melaksanakan empat
perubahan besar di dunia pendidikan tersebut, dipakai dua basis landasan,
berupa : Empat pilar pendidikan: (i) learning to know, (ii) learning to do
yang bermakna pada penguasaan kompetensi dari pada penguasaan
keterampilan menurut klasifikasi ISCE (International Standard
Classification of Education) dan ISCO (International Standard
Classification of Occupation), dematerialisasi pekerjaan dan kemampuan
berperan untuk menanggapi bangkitnya sektor layanan jasa, dan bekerja di
kegiatan ekonomi informal, (iii) learning to live together (withothers), dan
(iv) learning to be, serta; belajar sepanjang hayat (learning
throughoutlife).
Perubahan-perubahan mendasar pendidikan yang berlangsung di
abad 21 ini, akan meletakkan kedudukan pendidikan sebagai: (i) lembaga
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
22/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
19
pembelajaran dan sumber pengetahuan, (ii) pelaku, sarana dan wahana
interaksi antara pendidikan tinggi dengan perubahan pasaran kerja, (iii)
lembaga pendidikan sebagai tempat pengembangan budaya dan
pembelajaran terbuka untuk masyarakat, dan (iv) pelaku, sarana dan
wahana kerjasama internasional.
ukuran survive atau tidaknya suatu negara. Kemampuan bersaing
berkaitan dengan kemampuan manajemen, penggunaan dan penguasaan
teknologi informasi (IT), dan sumber daya manusia (SDM).
Diberlakukannya perjanjian General Agreement on Tariff and Trade
(GATT) yang berkembang menjadi World Trade Organization (WTO),
dibentuknya blok-blok perdagangan regional seperti European Common
Market (ECM) lalu menjadi European Economics Community (EEC),
North American Free Trade Area (NAFTA), Asean Free Trade Area
(AFTA), dan Asia Pacific Economics Cooperation (APEC) merupakan
wujud nyata era perdagangan bebas, liberal, dan terbuka.
Hal lain yang membutuhkan kewaspadaan adalah tuntutan
percepatan penciptaan Masyarakat ASEAN dalam Asean Economic
Communitymenjadi tahun 2015 dari rencana tahun 2020, untuk Indonesia
Malaysia, Filipina, dan Thailand. Konsekuensinya, akan terjadi aliran
perdagangan dan jasa serta pekerja lintas batas. Para pencari kerja di
ASEAN akan bersaing tidak lagi dengan sesama warga negara, tetapi
dengan negara lain di ASEAN.
Oleh karena itu, abad 21 merupakan peluang dan ancaman yang
patut dicermati serta sangat menarik untuk didiskusikan dalam berbagai
hal seputaran desain dan pendekatan kurikulum pada pendidikan vokasi.
Adapun permasalahannya dapat dirumuskan seperti berikut ini.
2.
Permasalahan
Bagaimana desain dan pendekatan kurikulum dalam pendidikan
vokasi pada abad 21?
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
23/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
20
3.
Dukungan Teori
Prosser (1925) menjelaskan bahwa pendidikan vokasi memiliki
prinsip-prinsip sebagai berikut : 1) Pendidikan vokasi akan efisien jika
lingkungan di mana peserta didik dilatih merupakan replika
lingkungan dimana nanti dia akan bekerja, 2) Pendidikan vokasi yang
efektif hanya dapat diberikan di mana tugas-tugas latihan dilakukan
dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di
tempat kerja. 3) Pendidikan vokasi akan efektif jika dia melatih
seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang
diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri.Sayling Wen (2003) menyatakan bahwa terjadinya perubahan
dalam kualitas pendidikan masa depan. Perubahan tersebut antara lain:
(1) perubahan dari pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan
menjadi pengembangan ke segala arah yang seimbang, (2) dari
pembelajaran bersama yang disentralisasikan menjadi pembelajaran
yang diindividualisasikan yang didesentralisasikan, (3) dari
pembelajaran yang terbatas pada tahapan pendidikan menjadi
pembelajaran seumur hidup dan (4) dari pengakuan diploma menjadi
pengakuan kekuatan-kekuatan nyata.
Pendidikan vokasi merupakan jenis pendidikan yang memiliki
karakteristik khusus, yakni berorientasi kepada penyiapan peserta didik
untuk bekerja dalam bidang tertentu. Untuk itu, pendidikan vokasi
tidak dapat terlepas dari keterikatannya dengan dunia kerja, karena
dunia kerja dianggap sebagai mata rantai yang tidak boleh putus dari
suatu rangkaian sistem pendidikan vokasi. Dunia kerja dan pendidikan
kejuruan ibarat benda yang bergerak dan bayangannya, keduanya tidak
dapat terpisah atau berdiri sendiri-sendiri. Pendidikan vokasi dibangun
dan dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan dan situasi
dunia kerja untuk dapat memenuhi tuntutan pasar yang berkembang.
Pendidikan vokasi tidak dapat menutup diri terhadap perkembangan
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
24/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
21
yang terjadi di dunia kerja, termasuk perkembangan dan pemanfaatan
teknologi dan dampaknya terhadap tuntutan keterampilan lulusannya.
(Ivan, 2008)
Dengan demikian, permintaan terhadap keterampilan kerja
yang berubah dengan sangat dinamis itu harus selalu dicermati,
dipantau, dan dijadikan sandaran atau rujukan untuk mengembangkan
pendidikan kejuruan, terutama dalam menyusun strategi pembelajaran
yang sesuai dengan perkembangan dunia kerja. Hal itu juga merupakan
upaya untuk menjaga sustainabilitas pendidikan kejuruan di tengah
arus perubahan dan perkembangan pengetahuan dan teknologi yang
berdampak langsung kepada tuntutan pengetahuan, sikap,dan
keterampilan lulusannya. Sejak Tahun 1993 Pemerintah dalam hal ini
melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah
memperkenalkan kebijakan link and match, dimana kebijakan ini
dioperasionalkan dalam bentuk Pendidikan Sistem Ganda (PSG),
(Wardiman, 1998).
Pendidikan kejuruan (vokasi) tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan dunia kerja yang ada. Pengembangan tenaga kerja yang
marketable dilakukan oleh pendidikan kejuruan berdasarkan
kebutuhan pasar (demand driven) melalui peningkatan kompetensi
lulusan. Selain itu Pendidikan kejuruan lebih dekat dengan kebutuhan
sektor industri dan mengarah kepada pemberian solusi terhadap
permasalahan ketenagakerjaan dalam memasuki era perdagangan
bebas yang menuntut kemampuan bersaing di tingkat nasional dan
internasional. Oleh karena itu kompetensi menjadi hal yang sangat
penting agar para lulusan dapat diserap di dunia kerja/industri.
Berdasarkan Kepmendiknas No.045/U/2002 kurikulum pada
perguruan tinggi adalah kurikulum yang berbasis kompetensi. Karena
itu kompetensi adalah sentral yang harus dibangun dalam pendidikan
kejuruan termasuk bagaimana penetapan dan bagaimana pengukuran
kompetensinya.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
25/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
22
Pendidikan vokasi adalah pendidikan tinggi yang diarahkan
pada penguasaan keahlian terapan tertentu, yang mencakup program
pendidikan diploma 1, diploma 2, diploma 3, dan diploma 4, maksimal
setara dengan program pendidikan sarjana. Lulusan pendidikan vokasi
akan mendapatkan gelar vokasi.
(id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_vokasi).
Pendidikan vokasi tertuang dan dijelaskan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) 2004 yang merupakan :
Merupakan pendidikan tinggi maksimal setara dengan program
sarjana yang berfungsi mengembangkan peserta didik agar memiliki
pekerjaan keahlian terapan tertentu melalui program diploma dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan nasional (Pasal 21).
Merupakan pendidikan yang mengarahkan mahasiswa untuk
mengembangkan keahlian terapan, beradaptasi pada bidang
pekerjaann tertentu dan dapat menciptakan peluang kerja (Pasal 22
Ayat [1]).
Menganut sistem terbuka (multi-entry-exit system) dan multimakna
(berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan
watak, dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup life skill
(Pasal 22 Ayat [2]).
Pendidikan vokasi berorientasi pada kecakapan kerja sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan serta sesuai
dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja (Pasal 22 Ayat [3]).
Pendidikan vokasi merupakan pendidikan keahlian terapan yang
diselenggarakan di perguruan tinggi berbentuk akademi, politeknik,
sekolah tinggi, institut dan universitas (Pasal 23 Ayat [1]).
Kurikulum pendidikan vokasi merupakan rencana dan pengaturan
pendidikan yang terdiri atas standar kompetensi, standar materi,
indikator pencapaian, strategi pengajaran, cara penilaian dan
pedoman lainnya yang relevan untuk mencapai kompetensi
pendidikan vokasi (Pasal 27 Ayat [3]).
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
26/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
23
Pendanaan pendidikan vokasi menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia kerja (dunia
usaha/industri), dan masyarakat (Pasal 38 Ayat [1]).
Peran serta masyarakat dalam pendidikan vokasi meliputi peranserta
perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan
organisasi kemasyarakatan (Pasal 39 Ayat [1]).
Dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan vokasi dapat menjamin
kerja sama dengan lembaga-lembaga lain baik di dalam maupun di
luar negeri (Pasal 40 Ayat [1]). (http://www.polteklampung.ac.id)
Menurut pendapat Gill (2000:12) vocational education is
distinguished from general general education by its higher cost of
delivery, especially at the secondary level, and by the options it opens or
closesat the secondary and postsecondary levels. pendidikan kejuruan
dibedakan dari pendidikan umumkarena biaya pendidikan yang lebih
tinggi, terutama pada tingkat menengah, dan oleh karena itu pilihan ini
membuka atau menutup pada tingkat sekunder dan pasca menengah
Menurut Ornstein (2004:10) bahwa A curriculum can be defined
as a plan for action or a written document that includes strategies for
achieving desired goals or ends. Kurikulum dapat didefinisikan sebagai
suatu rencana untuk melakukan tindakan dari suatu dokumen tertulis yang
mencakup strategi untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau
berakhirnya suatu program pembelajaran.
Selain itu menurut Saylor dalam bukunya Ornstein ( 2004 : 10)
yang berjudul Curriculum, Foundation, Principles, and Issues
mendefinisikan kurikulum sebagai as a plan for providing sets of
learning opportunities for person to be educated .
Definisi kurikulum menurut Finch & Crunkilton (1999 : 11) adalah
the sum of learning activities and experiences that a student has under
the auspices or direction of the school
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
27/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
24
Finch & Crunkilton (1997 : 23), memberikan penjelasan dalam
proses pengembangan kurilulum pada pendidikan teknik dan vokasi
seperti pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Pengembangan Kurikulum pada Pendidikan Vokasi
Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum
diantaranya, yaitu:
a)
Kurikulum untuk Pendidikan Vokasi
(1). Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan Sk Mendiknas 232
Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Vomor
232/U/2000 Mail menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam
Surat Keputusan tersebut dikemukakan struktur kurikulum.
berdasarkan tujuan belajar (1)Learning to know, (2) learning to do,
(3) learning to live together, dan (4) learning to be. Berdasarkan
pemikiran tentang tujuan belajar tersebut maka mata kuliah dalam
kurikulum perguruan tinggi dibagi atas 5 kelompok yaitu: (1) Mata.
kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) (2) Mata KuliahKeilmuan Dan Ketrampilan (MKK) (3) Mata Kuliah Keahlian
Berkarya (MKB) (4) Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan
(5) Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB).
Planning The
Curriculum
- Establish a Decision
making Proses
- Collect and AssessSchool-related Data
- Collect and Asses
Community-related
Data
EstablishingCurriculum Content
- Utilize Strategies toDetermine Content
- Make CurriculumContent Decisions
-Develop Curriculum
Goals and Objectives
Implementing TheCurriculum
- Identify and SelectMaterials
- Develop Materials
- Select DeliveryStrategies
- Assess theCurriculum
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
28/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
25
Dalam Ketentuan Umum (7.8,9.10,11) dikemukakan deskripsi
setiap kelompok mata kuliah dalam kurikulum inti dan pada pasal 9
berkenaan dengan kurikulum institusional. Dengan mengambil
rumusan pada Ketentuan Umum, deskripsi tersebut adalah sebagai
berikut:
Keputusan Mendiknas yang dituangkan dalam SK nomor 232
tahun 2000 di atas jelas menunjukkan arah kurikulum berbasis
kompetensi walau. pun secara. eksplisit tidak dinyatakan demikian.
(Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004)
(2). Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan SK Mendiknas
No.045/U/2002
Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang
Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan "Kompetensi
adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang
dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh
masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan
tertentu".
Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang
pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan
ide akan dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan
pendekatan, kompetensi dapat menjawab tantangan yang
muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi
pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang
kurikulum harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan dan
kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan,
serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan,
karena kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan
tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.
SK Mendilmas nomor 045 tahun 2002 ini memperkuat
perlunya pendekatan KBK dalam pengembangan kurikulum
pendidikan tinggi. Bahkan dalam SK Mendiknas 045 pasal 2
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
29/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
26
ayat (2) dikatakan bahwa kelima kelompok mata kuliah yang
dikemukakan dalam SK nomor 232 adalah merupakan elemen-
elemen kompetensi.
Selanjutnya, keputusan tersebut menetapkan pula arah
pengembangan program yang dinamakan dengan kurikulum inti
dan kurikulum institusional. Jika diartikan melalui keputusan
nornor 045 maka kurikulum inti berisikan kompetensi utama
sedangkan kurikulum institusional berisikan kompetensi
pendukung dan kompetensi lainnya. Berdasarkan SK Mendiknas
nomor 045:
Kurikulum inti yang merupakan penciri kompetensi utama,
bersifat:
a. dasar untuk mencapai kompetensi lulusan
b.
acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program studi
c.berlaku secara. nasional dan internasional
d. lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di
masa mendatang.
e.
kesepakatan bersama antara kalangan perguruan tinggi,
masyarakat profesi, dan pengguna lulusan
Sedangkan Kurikulurn institusional berisikan kompetensi
pendukung serta kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut
dengan kompetensi utama. (Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18
Oktober 2004).
Ada banyak model pengembangan kurikulum yang telah dipikirkan
dan dikemukakan banyak orang. Menurut Ahmad dkk (1997: 51-56) ada
beberapa model yang banyak digunakan dalam pengembangan kurikulum,
diantaranya model yang dikemukakan oleh Rogers Zais.
a)Model Pengembangan Kurikulum Rogers
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
30/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
27
Ada beberapa model yang dikemukakan Rogers, yaitu jumlah dari
model yang paling sederhana sampai dengan yang komplit. Model-
model tersebut disusun sedemikian rupa sehingga model yang
berikutnya sebenarnya merupakan penyempurnaan dari yang
sebelumnya.
b)
Model Pengembangan Kurikulum Robert Zais S.
Zais (1976 : 91) mengemukakan delapan macam model pengambangan
kurikulum. Model tersebut sebgian merupakan model yang sering
ditempuh dalam kegiatan pengembangan kurikulum sekolah. Adapun
beberapa model tersebut antara lain :
1)Model Administratif.
Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang
paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan
kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan
menggunakan prosedur administrasi. Model administrative/ disebut
juga model garis staf atau model dari atas ke bawah. Kegiatan
pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat pendidikan yang
berwenang yang membentuk panitia pengarah. Biasanya terdiri dari
pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan staf pengajar inti. Panitia
pengarah tersebut diarahkan tugas untuk merencanakan, menyiapkan
rumusan falsafah dan tujuan umum pendidikan.
Setelah kegiatan tersebut selesai, Panitia pengarah membentuk
kelompok kerja sesuai keperluan. Para anggotanya biasanya adalah
staf pengajaran dan spesialis kurikulum. Kelompok ini bertugas
untuk menyusun tujuan-tujuan khusus pendidikan, garis besar bahan
pengajaran, dan kegiatan belajar. Hasil kerja kelompok tersebut
direvisi Panitia Pengarah, menguji coba kemudian memutuskan
pelaksanaannya. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan
dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
31/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
28
berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka
model ini disebut juga model Top-Down. Dalam pelaksanaannya,
diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan
beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
2)
Model Grass Root
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model
pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan
datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah.
Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam
sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi,
sedangkan model grass root akan berkembang dalam sistem
pendidikan yang bersifat desentralisasi.
Pengembangan kurikulum model dari bawah ini menuntut
adanya kerja antarguru, antar sekolah secara baik, disamping harus
juga ada kerjasama antar pihak diluar sekolah khususnya orangtua
murid dan masyarakat.
3)ModelBeauchamp
Sesuai dengan namanya, model ini diformulasikan oleh GA.
Beauchamp, yaitu mengemukakan lima langkah penting dalam
pengambilan keputusan pengambangan kurikulum, yaitu :
1)Menentukan arena pengambangan kurikulum yang dilakukan,
yaitu berupa kelas, sekolah, system persekolahan regional atau
nasional.
2)
Memilih dan mengikutsertakan pengembang kurikulum yang
terdiri atas spesialis kurikulum, kelompok professional, penyuluh
pendidikan dan orang awam.
3)
Mengorganisasikan dan menentukan perencanaan kurikulum yang
meliputi penentuan tujuan, materi dan kegiatan belajar.
4)Melaksanakan kurikulum secara sistematis di sekolah.
5)
Melakukan penilaian.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
32/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
29
4)
Model Terbalik Hilda Taba
Model yang dikemukakan Hilda (1962 : 234) ini berbeda
dengan cara lazim yang bersifat deduktif karena caranya bersifat
induktif. Itulah sebabnya ini dinamakan model terbalik. Model ini
diawali justru dengan percobaan, kemudian baru penyusunan dan
kemudian penerapan. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan antara
teori dan praktek.
Pengembangan model ini dilakukan dengan lima tahap, yaitu :
1)
Menyusun unit-unit kurikulum yang ada dan diujicobakan oleh
staf pengajar.
2)Mengujicobakan untuk mengetahui kesahihan dan kelayakan
kegiatan belajar mengajar.
3)Menganalisis dan merevisi hasil ujicoba, serta
mengkonsolidasikannya.
4)Menyusun kerangka teroritis.
5)
Menyusun kurikulum yang dikembangkan secara menyeluruh dan
mengumumkannya.
5)The Systemic Action-Research Model
Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa
perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal ini
mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua,
siswa, guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan
kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi
tersebut, model ini menekankan pada tiga hal, yaitu : hubungan
insani, sekolah dan organisasi masyarakat serta wibawa dari
pengetahuan profesional. Penyusunan kurikulum dengan
memasukkan pandangan dan harapan masyarakat, dan salah satu
cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedur action-research.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
33/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
30
6)
Emerging Technical Models
Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta
nilai-nilai efisiensi dan efektivitas dalam bisnis, juga mempengaruhi
perkembangan model kurikulum. Tumbuh kecenderungan baru yang
didasarkan atas hal itu, diantaranya :
(1)
The Behavioral Analysis Model.
Menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan. Suatu
perilaku / kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi
perilaku yang sederhana yang tersusun secara hirarkis.
(2)
The System Analysis Model.
Berasal dari gerakan efisiensi bisnis. Langkah pertama model ini
adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang
harus dikuasi siswa. Langkah kedua menyusun instrumen untuk
menilai ketercapaian hasil belajar tersebut. Langkah ketiga
mengidentifikasi tahap-tahap hasil yang dicapai serta perkiraan
biaya yang diperlukan. Langkah keempat membandingkan biaya
dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.
(3)
The Computer-Based Model.Suatu pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan
komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi
seluruh unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki
rumusan tentang hasil yang diharapkan. Kepada para siswa dan
guru diminta untuk melengkapi pertanyaan tentang unit
kurikulum tersebut. Stelah diadakan pengolahan disesuaikan
dengan kemampuan dan hasil belajar siswa disimpan dalam
komputer.
(b)
Pendekatan dalam Pengembangan Kurikulum
Menurut Finch & Crunkilton (1999 : 136-141), terdapat 5
strategi/pendekatan dalam menentukan dan mengembangkan isi
kurikulum, yaitu (1) Pendekatan Filosofis, (2) Pendekatan Instropeksi, (3)
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
34/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
31
Pendekatan DACUM, (4) Pendekatan Fungsional, dan (5) Pendekatan
Analisis Tugas. Selain itu Hussaini Umar (2002) menyatakan bahwa untuk
merencanakan pendidikan termasuk didalamnya pengembangan kurikulum
dapat dilakukan dengan Teknik Delphi.
Dari beberapa pendekatan tersebut di atas dalam pengembangan
kurikulum ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan DACUM
(Development a Curriculum). Alasan dilakukan pendekatan ini karena
DACUM banyak digunakan dibeberapa negara untuk berbagai bidang
seperti pendidikan, perusahaan, serta pemerintahan dan terbukti berhasil
dengan baik Selain itu jugaDACUMmemiliki metode yang sangat efektif,
cepat dan biaya rendah (2008:5).
Gambar 2. Evaluasi CIPP
(c)
Standar Kelulusan
Selama ini standar kelulusan yang diberlakukan oleh lembaga
pendidikan adalah standar yang dibuat oleh BSNP (BSNP di bawah
Kementerian Pendidikan Nasional) sedangkan dunia usaha/industri (Dudi)
memiliki standar kompetensi kerja SKKNI (Standar Kompetensi Kerja
ProcessProduct
InputContext
Curriculum Planing &
Development
Curriculum Operation &
Refinement
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
35/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
32
Nasional Indonesia) yang dikembangkan oleh Kementrakers, sehingga
kedua standar tersebut harus dipertemukan untuk menghidari mishmach
antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Gambar di bawah 3 ini
menggambarkan kemitraan antara dunia industri dengan pendidikan
berdasarkan kompetensi.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah melakukan penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja.
Penyelarasan merupakan upaya penyesuaian pendidikan sebagai pemasok
SDM dengan dunia kerja sebagai penyerap SDM yang berubah sangat
dinamis. (www. Penyelarasan.kemdiknas.go.id).
Dalam upaya untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dari dunia
industri maka pemetaan yang komprehensif menjadi sangat penting untuk
dilakuan. Pemetaan ini dapat menghasilkan matching kompetensi antara
dunia industri dengan dunia pendidikan dalam hal ini lembaga terkait. Setelah
diperoleh matching competency langkah awal yang perlu dilakukan
selanjutnya adalah pengembangan kurikulum, hal ini bertujuan agar
kompetensi yang dimiliki oleh siswa atau mahasiswa sesuai dengan
ekspektasi dunia kerja. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan kemendikbud
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
36/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
33
dalam penyelerasan dunia kerja dengan dunia pendidikan seperti pada
Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. Model Supply-DemandTenaga Kerja
Dengan demikian pengembangan model kurikulum untuk menyiapkan
kompetensi mahasiswa program vokasi perlu untuk dikembangkan dengan
harapan: Memenuhi standar yang ditetapkan oleh dunia kerja (workforce)
untuk menghindari miss match dan under qualified, memuat tentang skill
yang dibutuhkan di masa mendatang (the future skill), serta terdapat standar
kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan vokasi.
4.
Simpulan
1.
Desain kurikulum dengan model Grass Root. Alasan dipilihnya model
tersebut adalah, (1) karena sistem pendidikan yang berlaku saat ini adalah
sistem desentralisasi, sehingga pengembangan kurikulum berlaku bottom-
up, (2) model ini melibatkan lembaga, instansi, dan para praktisi industri
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
37/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
34
yang aplikatif secara langsung di dunia industri sehingga mengetahui akan
kompetensi yang menjadi tuntutan industri.
2.
Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan DACUM karena telah
teruji dibeberapa negara, baik digunkan di dunia pendidikan, perusahaan,
dan pemerintah.
3.
Evaluasi pelaksanaan kurikulum menggunakan CIPP dan Standar
kelulusan dengan mengembangkan model kemitraan.
4.
Luaran pendidikan vokasi dapat bekerja sesuai dengan Model Supply-
DemandTenaga Kerja
SUMBER :
Buku Teks :
1.
Indermit S. Gill, Fred Fluitman, & Amit Dar. (2000).
Vocational Education & Training Reform. Matching Skills
to Market and Budget.Oxford University Press.
2.
Finch, C. R., & Crunkilton, J. R. (1979). Curriculum
Development in Vocational and Technical Education :
Planning, Content and Implementation. Boston,Massachusetts : Allyn & Bacon, Inc.
3.
Rahn, M. L., ODriscoll, P., & Hudecki, P. (1999). Taking
off!: Sharing state-level accountability strategies. Berkeley,
CA: National Center for Research inVocational Education.
4. DACUM Handbook . (2008)
5.
Robert S. Zais. Curriculum Principles and Foundations.
(1976). Harper & Row, Publishers.6.
Hilda Taba. Curriculum Development. Theory and
Practice. (1962). Harcourt Brace Jovanovich, Inc.7.
Naskah lengkap dalam Learning: the Treasure Within,
1996. Report to UNESCO of the International Comission
on Education for the Twenty-first Century. UNESCOPublishing/The Australian National Commission forUNESCO. 266 hal.
Jurnal Internasional :
1. Steven R. Aragon, Hui-Jeong Woo, Matthew R. The Role
of National Industry-Based Skill Standards in The
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
38/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
35
Development, Implementation, and Assessment ofCommunity College Curriculum. Marvel University of
Illinois at Urbana-Champaign2005 Journal of Career and
Technical Education, 21(2), Spring, 2005 Page 37 Jurnal Nasional Terakreditasi :
1.
Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004
Sumber Internet :
1.
http://bksp-jateng.or.id, Diakses pada tanggal 17 Juni
2010, 15:38)
2.
http://www.ittelkom.ac.id. Diakses pada tanggal 26
Oktober 2010
3.
(id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_vokasi). Diakses pada
tanggal 10 Agustus 2010.
4.
(http://www.polteklampung.ac.id). Diakses pada tanggal
10 Agustus 2010
Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan :1. Peraturan Pemerintah (RPP) Maret 20042. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan PenyelenggaraanPendidikan.
3. PP UU No. 20/2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional.4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia nomor : kep.318/men /ix/2007 tentang
Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
sektor penyedia makanan dan minuman sub sektor
restoran, bar dan jasa boga bidang industri jasa boga
5. Kepmendiknas No. 232/U/2000. Tentang Kurikulum
Berbasis Kompetensi.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
39/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
36
PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGANMETODE OBSERVASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
MENULIS WACANA DESKRIPSI DI KALANGAN SISWA
KELAS X.3 SMA NEGERI 8 DENPASARTAHUN PELAJARAN 2013/2014
Oleh
Dra. Dewa Ayu Widiasri, M.Pd
ABSTRACT
Writing is an active and productive language skill. Nevertheless, writing a
descriptive composition is not an easy thing for the students. Referring to the
problem elaborated in the background of the study, one of the solutions is by
appying Observation Method of Contextual Approach during the teaching-
learning process. The problem of the study, then, was whether the use of The
observation method of contextual approach really could improve the X.3 studentsof SMA NEGERI 8 DENPASAR in the academic year of 2013/2014s ability inwriting descriptive composition? It had been expected that the use of observation
method of contextual approach could improve the students achievement andability in writing descriptive composition.
The theoretical background of the study was (1) the theory of contextuallearning and (2) the theory of descriptive writing. The methods applied in this
study were: (1) the research setting, (2) the subject of the study, (3) the action
procedure, (4) data collection method and (5) data processing method.
The raw data which was the test result of Cycle I and II was processed into
standard scores using descriptive statistics served in the form of tables. Using the
data procession method , the average score in cycle I was calculated to be 54.02%
which belonged to the Less Good category, while the data in cycle II showed an
improvement in the average score of 82.27% and, thus, belonged to the Good
Category. The students mastery learning in cycle I was only 27.27 and improved
significantly into 84.09% in the cycle II.
Based on the data procession result, this study can be considered a success
since the implementation of observation method of contextual approach was able
to improve the students ability in writing descriptive composition. Therefore, the
conclusion to be drawn from the study is that the implementation of obeservationmethod of contextual approach improved students ability in writing descriptive
composition of the x.3 students of sma negeri 8 denpasar in the academic year of2013/2014.
Key Words: Observation method of contextual approach, descriptive
composition
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
40/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
37
Pendahuluan
Pembelajaran bahasa merupakan alat untuk belajar berkomunikasi,
mengingat bahasa merupakan sarana komunikasi dalam masyarakat. Untuk dapat
berkomunikasi dengan baik, maka seseorang perlu belajar cara berbahasa yang
baik dan benar. Pembelajaran tersebut akan lebih baik apabila dipelajari sejak usia
dini dan secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa
disertakan dalam kurikulum. Hal ini berarti bahwa, setiap peserta didik dituntut
agar mampu menguasai bahasa yang mereka pelajari terutama dalam penggunaan
bahasa resmi yang dipakai oleh warga negara khususnya bagi peserta didik.
Bahasa Indonesia menjadi materi pembelajaran yang wajib diberikan di setiap
jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga di perguruan tinggi. Hal ini
dilakukan agar peserta didik mampu menguasai Bahasa Indonesia dengan baik
dan benar serta mampu menerapkannya dalam kehidupan masyarakat.
Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang
mendasar (berbicara, mendengar, menulis, dan membaca). Dewasa ini,
keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dan literasi (literacy skill) sudah
menjadi keterampilan berbahasa lanjutan (advanced linguistic skill)
(Zainurrahman 2011: 2)Selama ini pembelajaran menulis wacana deskripsi dilakukan secara
umum. Dalam hal ini siswa diberi sebuah teori tentang menulis deskripsi,
kemudian siswa melihat contoh, dan akhirnya siswa ditugaskan untuk menulis
wacana deskripsi secara langsung.
Fenomena yang terjadi saat ini dalam pembelajaran menulis di sekolah,
khususnya di SMA Negeri 8 Denpasar, berdasarkan hasil survei yang telah
dilaksanakan menunjukkan bahwa rendahnya hasil pembelajaran menulis siswa
kelas X.3. Hal ini dapat dilihat dari hasil evaluasi (free test) dari menulis wacana
pada kelas tersebut, di mana dari 49 orang siswa hanya 10 orang siswa yang
berhasil mencapai ketuntasan belajar yaitu dengan nilai 75 ke atas, padahal
SKBM dari menulis wacana adalah 75. Ini berarti ketuntasan klasikal baru
tercapai sebesar 20% atau dengan kata lain secara klasikal belum tercapai. Selain
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
41/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
38
itu, peneliti beranggapan bahwa metode pengajaran dan pembelajaran yang
digunakan oleh guru cenderung menggunakan metode ceramah dan kegiatan
tanya jawab yang tidak berpengaruh pada perubahan hasil pembelajaran siswa
dalam menulis. Masalah lain yang muncul, adalah siswa akan beranggapan negatif
terhadap materi menulis, karena metode yang digunakan terkesan membosankan
serta membingungkan.
Melihat kondisi demikian, maka permasalahan tersebut haruslah dapat
diminimalisasikan. Akhirnya peneliti bersama guru bidang studi Bahasa Indonesia
di SMA Negeri 8 Denpasar berusaha memberikan solusi alternatif dalam
pembelajaran menulis agar segala permasalahan serta kendala yang terdapat pada
siswa maupun guru dapat diatasi melalui pendekatan kontekstual dengan metode
observasi dalam pembelajaran.
Pendekatan kontekstual dengan metode observasi merupakan
pembelajaran konseptual untuk membantu guru dalam penulisan wacana deskripsi
karena adanya masalah yang dialami siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2013/2014.
Bertitik tolak pada permasalahan- permasalahan di atas, maka peneliti
memandang perlu untuk mengangkat topik ini menjadi sebuah penelitian dengan
judul: Pendekatan Kontekstual dengan Metode Observasi untuk Meningkatkan
Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi oleh Siswa Kelas X.3 SMA Negeri 8
Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014. Penerapan strategi pembelajaran ini
diharapkan mampu memberikan tanggapan atas permasalahan yang diberikan oleh
pendidik. Apabila siswa mampu menjadi pelajar yang mandiri diharapkan pula
mampu menjadi pelajar yang mandiri serta mampu menciptakan suasana
pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan.
Tujuan Penelitian
Setiap suatu kegiatan tentulah mempunyai tujuan tertentu yang ingin
dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini dapat
dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus seperti berikut.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
42/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
39
1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan siswa dalam menulis wacana.
2 Tujuan Khusus
Selain memiliki tujuan umum, penelitian ini juga memiliki tujuan khusus.
Adapun tujuan khusus penelitian tindakan kelas ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui kemampuan siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2013/2014 dalam menulis wacana deskripsi melalui
pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
2.
Untuk dapat mengetahui respon terhadap pendekatan kontekstual dengan
metode observasi dalam menulis wacana deskripsi siswa kelas X.3 SMA
Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2014/2014.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian tindakan kelas ini
dapat dibagi menjadi empat, yaitu bagi siswa, guru, sekolah, dan pengembangan
kurikulum.
1. Manfaat bagi siswa
Dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis pada umumnya,
menulis wacana deskripsi pada khususnya, serta meningkatkan kreativitas
dan keberanian siswa dalam berpikir.
2.
Manfaat bagi guru
Untuk memperkaya khasanah/ wawasan metode dan strategi dalam
pembelajaran menulis, dapat memperbaiki metode yang tepat dalam
mengajar, dan dapat mengembangkan keterampilan guru Bahasa Indonesia
khususnya dalam menerapkan pembelajaran menulis wacana deskripsi
melalui pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
3.
Manfaat bagi sekolah
Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka memajukan dan
meningkatkan prestasi sekolah yang dapat disampaikan dalam pembinaan
guru bahwa alam pembelajaran menulis wacana deskripsi dapat
menggunakan pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
43/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
40
4.
Manfaat bagi pengembangan kurikulum. Dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam rangka memajukan dan meningkatkan prestasi belajar
siswa dan kemajuan bidang pendidikan serta dapat disampaikan dalam
pembinaan guru Bahasa Indonesia, dan dapat dijadikan pertimbangan dalam
penyusunan kurikulum berikutnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan di SMA Negeri 8
Denpasar, khususnya di kelas X.3 karena permasalahan yang muncul di dalam
kaitannya dengan pembelajaran menulis wacana deskripsi. Dalam hal ini, peneliti
berkolaborasi dengan guru bidang studi Bahasa Indonesia, di mana peneliti
berperan sebagai perencana, pengamat, pelaksana pengumpulan data, penganalisis
data, pelapor hasil penelitian, dan selalu berada di lapangan selama proses
penelitian berlangsung.
Dalam penelitian ini akan direncanakan beberapa siklus yang dilaksanakan
selama satu kali pertemuan (2X45 Menit). Apabila dalam siklus pertama belum
mencapai hasil yang maksimal maka akan dilanjutkan dengan siklus II yang
dilaksanakan pada minggu berikutnya, dan telah mendapat persetujuan dari kepala
sekolah dan guru bidang studi Bahasa Indonesia di SMA Negeri 8 Denpasar.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar pada
semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 44 orang siswa.
Sedangkan yang menjadi objek penelitian tindakan kelas ini adalah pembelajaran
menulis wacana deskripsi melalui pendekatan kontekstual dengan metode
observasi.
Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahap ini adalah:
1. Melakukan observasi awal tentang pembelajaran tentang menulis wacana
deskripsi di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.
2.
Mengidentifikasi masalah mengenai pembelajaran menulis wacana deskripsi
di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.
3. Menganalisis masalah secara mendalam dengan mengacu pada teori- teori
yang relevan.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
44/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015
ISSN 1907-3232
41
4.
Menyusun bentuk tindakan yang sesuai untuk mengatasi permasalahan yang
ditemukan dengan memanfaatkan pendekatan kontekstual dengan metode
observasi pada siklus pertama.
5. Menyusun jadwal penelitian dan rancangan pelaksanaan tindakan.
6.
Menyusun lembar observasi dan lembar evaluasi kerja siswa yang berupa
rubrik penilaian kerja siswa berupa tulisan deskripsi.
Pada tahap ini, peneliti dan guru menyusun:
1.
Perangkat pembelajaran berupa penentuan kompetensi dasar yang akan
dicapai.
2.
Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang isinya sebagai berikut.
a.
Guru membuka pelajaran.
b. Guru memberikan materi tentang menulis wacana deskripsi.
c. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang
materi yang disampaikan.
d. Guru bersama dengan siswa melakukan observasi pada tempat yang
telah ditentukan.
e. Guru membagikan lembar kerja dan menugaskan siswa untuk menulis
wacana deskripsi berdasarkan pendekatan kontekstual dengan metode
observasi.
Indikator yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini adalah
meningkatnya kemampuan menulis wacana deskripsi pada siswa kelas X.3 SMA
Negeri 8 Denpasar melalui pengoptimalan pemanfaatan pendekatan kontekstual
dengan metode observasi. Setiap tindakan menunjukkan peningkatan indikator
tersebut dirancang dalam satu siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap, yaitu
1) perencanaan tindakan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi dan evaluasi, dan
4) analisis dan refleksi untuk perencanaan siklus berikutnya. Tahap ini dilakukan
dengan melaksanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah
direncanakan. Pada siklus I, direncanakan satu kali pertemuan dengan alokasi
waktu 2 X 45 menit.
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
45/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
42
Gambar 01 Desain Penelitian Tindakan
Adapun langkah- langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data dengan metode tes
adalah: 1) menyusun tes, 2) menyusun format penyekoran tes, dan 3) melaksanakan tes. Untuk
lebih jelasnya, pembahasan terhadap ketiga langkah tersebut dapat dilihat pada bagian berikut
ini.
1. Menyusun Tes
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian ini adalah tes, instrumen
penelitian harus disusun dengan teliti agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu
bentuk tes yang digunakan dalam penelitiannya ini adalah tes tulis, yaitu dengan cara menyuruh
siswa membuat wacana deskripsi berdasarkan hasil observasi.
2. Menetapkan Skor
Setelah lembar jawaban siswa dikumpul, langkah selanjutnya adalah menetapkan skor.
Aspek yang dinilai dalam penetapan skor yaitu: 1) struktur wacana deskripsi, 2) hubungan antar
kalimat, 3) pemakaian kalimat efektif, 4) pilihan kata, dan 5) pemakaian ejaan
Tes dilaksanakan setiap akhir siklus di mana siswa diberikan tugas untuk menulis sebuah
wacana deskripsi. Tes dikerjakan ketika jam pelajaran Bahasa Indonesia, serta pelaksanaan tes
dilakukan dan diawasi oleh guru bidang studi Bahasa Indonesia dan peneliti.
Observasi
Refleksi
Perencanaan
Tindakan
Observasi
Refleksi
Perencanaan
Tindakan
Siklus I Siklus II
N Siklus
-
7/24/2019 WIDYADARI OKTOBER 2014
46/297
Nomor 17 Tahun XI April 2015ISSN 1907-3232
43
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kritis. Teknik
tersebut mencakup kegiatan yang mengungkapkan kelebihan dan kekurangan kerja siswa dan
guru dalam proses belajar mengajar yang terjadi di kelas selama penelitian berlangsung. Hasil
analisis digunakan untuk menyusun rencana tindakan kelas berikutnya sesuai dengan siklus yang
ada. Analisis dilakukan oleh guru dan peneliti secara bersama- sama.
Data yang diperoleh dari penelitian ini masih merupakan skor mentah atas jawaban siswa
terhadap tes yang dikerjakan oleh siswa sebagai subjek penelitian sehingga data tersebut perlu
diolah dengan langkah- langkah sebagai berikut: (1) mengubah skor mentah menjadi skor
standar, (2) menentukan kreteria predikat, (3) kreteria ketuntasan minimal, (4) mencari skor rata-
rata, (5) skor maksimal ideal, dan (6) menarik kesimpulan.
Data respon siswa terhadap penerapan pendekatan kontekstual dikumpulkan melalui
angket dengan cara menyebarkan angket kepada siswa pada akhir siklus. Jumlah item dalam
angket sebanyak 10 item yang penyekorannya menggunakan skala likert 5. Angket yang
digunakan terdiri atas 5 alternatif jawaban yaitu: SS untuk pilihan sangat setuju, S untuk pilihan
setuju, KS untuk pilihan kurang setuju, TS untuk pilihan tidak setuju, dan STS untuk pilihan
sangat tidak setuju.
Data hasil wawancara dan penyebaran angket yang digunakan untuk mengetahui respon
siswa dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Data mengenai respon siswa dianalisis untuk
memperoleh gambaran tentang respon siswa terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakan.
Skor Maksimal Ideal (SMI) respon siswa adalah 50 dan skor minimum idealnya adalah 10. Nilai
tersebut diperoleh dari penjumlahan nilai indikator respon siswa dengan 5 alternatif jawaban
respon siswa.
Indikator keber