17.pdf

10
1 PENERTIBAN ATAS TANAH DAN BANGUNAN TNI DENGAN STATUS OKUPASI Muhadi Prabowo ([email protected]) Widyaiswara Madya Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Abstrak Pemberian hak atas tanah oleh Negara telah diatur melalui Undang- undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Pada saat ini, banyak tanah dan bangunan milik Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya Angkatan Darat yang masih berstatus okupasi. Apabila tanah-tanah berstatus okupasi tersebut dilaporkan dalam laporan keuangan, maka akan menimbulkan masalah karena status kepemilikan yang tidak jelas. Salah satu asersi manajemen terkait dengan saldo akun adalah hak dan kewajiban. Asersi ini menyatakan bahwa aset adalah dimiliki oleh entitas dan bahwa liabilitas adalah memang kewajiban entitas pada suatu tanggal tertentu. Kata Kunci: Laporan Keuangan, Okupasi, Asersi, Kepemilikan Pendahuluan Dengan diterbitkannya Paket Undang-undang Keuangan Negara, pemerintah diwajibkan menyusun laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Laporan keuangan tersebut akan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk diberikan opini atas kewajarannya. Laporan keuangan yang diperiksa oleh BPK pada dasarnya mengandung asersi manajemen berikut ini: (1) keberadaan dan keterjadian, (2) kelengkapan, (3) hak dan kewajiban, (4) penilaian dan pengalokasian, dan (5) penyajian dan pengungkapan. Asersi manajemen mengenai hak (untuk aset) adalah pernyataan manajemen bahwa aset yang dilaporkan dalam laporan keuangan adalah benar-benar aset yang dimilikinya dan dapat ditunjukkan dengan bukti kepemilikan yang sah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah salah satu instansi pemerintah yang menjadi entitas akuntansi yang akan mendukung laporan keuangan yang disusun oleh Kementerian Pertahanan. Sebagai entitas akuntansi, TNI melakukan fungsi akuntansi untuk mencatat aset, kewajiban dan ekuitas serta transaksi-transaksi keuangan lainnya. Salah satu aset yang dimiliki dan dilaporkan oleh TNI adalah

Upload: resigjeflin

Post on 13-Sep-2015

5 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 1

    PENERTIBAN ATAS TANAH DAN BANGUNAN TNI DENGAN

    STATUS OKUPASI

    Muhadi Prabowo ([email protected])

    Widyaiswara Madya

    Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

    Abstrak Pemberian hak atas tanah oleh Negara telah diatur melalui Undang-

    undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Pada

    saat ini, banyak tanah dan bangunan milik Tentara Nasional Indonesia (TNI),

    khususnya Angkatan Darat yang masih berstatus okupasi. Apabila tanah-tanah

    berstatus okupasi tersebut dilaporkan dalam laporan keuangan, maka akan

    menimbulkan masalah karena status kepemilikan yang tidak jelas. Salah satu asersi

    manajemen terkait dengan saldo akun adalah hak dan kewajiban. Asersi ini

    menyatakan bahwa aset adalah dimiliki oleh entitas dan bahwa liabilitas adalah

    memang kewajiban entitas pada suatu tanggal tertentu.

    Kata Kunci: Laporan Keuangan, Okupasi, Asersi, Kepemilikan

    Pendahuluan

    Dengan diterbitkannya Paket Undang-undang Keuangan Negara, pemerintah

    diwajibkan menyusun laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi

    Pemerintahan (SAP). Laporan keuangan tersebut akan diperiksa oleh Badan

    Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk diberikan opini atas kewajarannya. Laporan

    keuangan yang diperiksa oleh BPK pada dasarnya mengandung asersi manajemen

    berikut ini: (1) keberadaan dan keterjadian, (2) kelengkapan, (3) hak dan kewajiban,

    (4) penilaian dan pengalokasian, dan (5) penyajian dan pengungkapan. Asersi

    manajemen mengenai hak (untuk aset) adalah pernyataan manajemen bahwa aset

    yang dilaporkan dalam laporan keuangan adalah benar-benar aset yang dimilikinya

    dan dapat ditunjukkan dengan bukti kepemilikan yang sah.

    Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah salah satu instansi pemerintah yang

    menjadi entitas akuntansi yang akan mendukung laporan keuangan yang disusun

    oleh Kementerian Pertahanan. Sebagai entitas akuntansi, TNI melakukan fungsi

    akuntansi untuk mencatat aset, kewajiban dan ekuitas serta transaksi-transaksi

    keuangan lainnya. Salah satu aset yang dimiliki dan dilaporkan oleh TNI adalah

  • 2

    tanah dan bangunan. Karena termasuk unsur dalam laporan keuangan, maka tanah

    dan bangunan tersebut akan menjadi obyek pemeriksaan pada saat BPK-RI

    melakukan pemeriksaan keuangan yang salah satu tujuannya adalah untuk

    meyakini hak (kepemilikan) atas tanah dan bangunan tersebut.

    Pada saat ini, TNI masih mempunyai tanah-tanah yang berstatus okupasi dan

    belum ada hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berikut

    ini bahasan tentang permasalahan tersebut.

    Tanah Okupasi dan Contoh Kasus

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, okupasi (okupasi) diartikan sebagai

    n 1 pendudukan, penggunaan, atau penempatan tanah kosong; 2 pendudukan dan

    penguasaan suatu daerah oleh tentara asing. Dengan demikian tanah okupasi

    adalah tanah yang diduduki dan digunakan oleh orang yang melakukan pendudukan

    atau penggunaan atas tanah tersebut.

    Tanah okupasi TNI terjadi karena setelah perang kemerdekaan RI tahun 1945,

    banyak warga Negara asing, terutama Belanda, yang meninggalkan Indonesia dan

    meninggalkan tanah dan bangunan yang semula dimilikinya dalam keadaan kosong.

    Tanah-tanah tersebut kemudian diokupasi oleh TNI dan dijadikan markas/kantor,

    asrama, perumahan, sekolah, dan fasilitas lainnya. Sebagian besar tanah-tanah

    okupasi tersebut telah ada yang dilepaskan, tetapi sebagian lainnya masih tetap

    berstatus okupasi tanpa adanya surat kepemilikan yang sah berdasarkan peraturan

    perundangan. Bahkan ada tanah status okupasi yang kemudian menjadi sengketa

    hukum dengan berbagai kasus.

    Di antara kasus tersebut yang terbanyak adalah yang berkaitan dengan siapa

    yang berhak atas tanah tersebut. Sebagian tanah berstatus okupasi dulunya

    digunakan untuk perumahan prajurit dan perwira yang setelah pensiun menempati

    rumah di atas tanah okupasi. Beberapa penghuni awal sudah meninggal dan

    diteruskan ke anak dan cucunya. Merasa telah menempati lebih dari 30 tahun,

    mereka kemudian mengklaim bahwa mereka yang berhak atas tanah tersebut.

    Kasus hukum lainnya adalah adanya tanah eks okupasi yang telah dibeli oleh

    pihak lain tetapi tetap tercatat sebagai tanah okupasi TNI-AD sebagaimana kasus

  • 3

    berikut ini. Sebidang tanah dan bangunan di sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur

    pada mulanya milik warga Negara Belanda dengan status hak eigendom. Setelah

    kemerdekaan, tanah dan bangunan tersebut ditinggal pemiliknya dan kemudian

    diambil alih oleh Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda (P3MB) yang

    selanjutnya dikuasai TNI-AD menjadi tanah dan bangunan berstatus okupasi.

    Setelah melalui proses yang sesuai dengan peraturan perundangan, tanah dan

    bangunan tersebut dibeli oleh seseorang dengan membayar sejumlah uang yang

    telah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Badan Pertanahan Nasional (BPN),

    pada saat tersebut bernama Kantor Agraria, menerbitkan Hak Guna Bangunan pada

    tahun 1982.

    Pembeli kemudian mengajukan surat kepada TNI-AD agar atas tanah dan

    bangunan tersebut dikeluarkan dari daftar rumah okupasi TNI-AD, namun tidak

    pernah mendapatkan tanggapan. Bahkan setiap 5 (lima) tahun sekali Komando

    Distrik Militer (Kodim) setempat menurunkan tim inventarisasi dan mengirimkan

    surat kepada pembeli yang menyatakan bahwa tanah dan bangunan tersebut masih

    milik TNI-AD dan terdaftar di Inventaris Kekayaan Negara (IKN).

    Karena menemui jalan buntu, pembeli kemudian mengajukan tuntutan ke

    Pengadilan Negeri (PN) setempat. PN setempat telah memutus perkara ini dengan

    memenangkan pembeli. Salah satu dasar yang dijadikan pertimbangan majelis

    hakim adalah bahwa pengertian okupasi adalah penguasaan, bukan kepemilikan

    (ownership). Istilah menguasai atau dikuasai dengan dimiliki atau kepunyaan dalam

    konteks yuridis mempunyai arti/makna yang jauh berbeda dan menimbulkan akibat

    hukum yang berbeda pula. Pertimbangan lain yang utama adalah bahwa dalam

    daftar Hasil Pengumpulan Data Tanah Bangunan Status Okupasi di Komando

    Daerah Militer (Kodam) setempat menunjukkan bahwa status okupasi telah berakhir

    pada tanggal 16 Januari 1989 dan tidak diperbaharui waktu penguasaannya.

    Tidak puas dengan putusan PN setempat, TNI-AD mengajukan banding ke

    Pengadilan Tinggi (PT) dan putusan PT menguatkan putusan PN. Saat ini kasus

    sedang bergulir ke Mahkamah Agung (MA) karena pihak TNI-AD mengajukan kasasi

    dan belum ada putusan MA tentang kasus ini.

  • 4

    Hak-hak Kepemilikan Atas Tanah Di Indonesia

    Pasal 16 Undang Undang Pokok Agraria (UU-PA) menetapkan jenis-jenis hak

    atas tanah, yang meliputi:

    1. Hak Milik

    2. Hak Guna Usaha

    3. Hak Guna Bangunan

    4. Hak Pakai

    5. Hak Sewa

    6. Hak Membuka Tanah

    7. Hak Memungut Hasil Hutan

    8. Ha-hak Lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan

    ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.

    Pasal-pasal berikutnya pada UU-PA mendefinisikan berbagai hak atas tanah

    tersebut yang sebagian dikutip sebagai berikut:

    Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat

    dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah

    mempunyai fungsi sosial

    Hak guna-usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang

    dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun

    dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian,

    perikanan atau peternakan.

    Hak guna-bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai

    bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka

    waktu paling lama 30 tahun, yang dapat diperpanjang dengan waktu paling

    lama 20 tahun.

    Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari

    tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang

    memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

    pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam

    perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa

    atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan

    dengan jiwa dan ketentuan UU-PA.

  • 5

    Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah,

    apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan

    bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai

    sewa.

    AB Property dalam situsnya membagi hak atas tanah yang dapat diberikan oleh

    Negara sebagai berikut:

    1. Hak Individual bersifat Perdata, yang dibagi lagi;

    a. Hak Primer, yaitu:

    1) Hak Milik

    2) Hak Guna Bangunan

    3) Hak Guna Usaha

    4) Hak Pakai

    b. Hak Sekunder (derivatif), yaitu:

    1) Hak sekunder yang ditumpangkan diatas hak lain yang memiliki derajat

    lebih tinggi

    2) Hak sewa di atas tanah Hak Milik/HGB/HGU/Hak pengelolaan atas

    tanah Negara

    3) Hak sewa atas tanah pertanian

    4) Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan

    5) Hak usaha bagi hasil

    6) Hak Numpang Karang

    7) Hak jaminan atas tanah, yang terdiri dari; gadai dan hak tanggungan.

    2. Hak Pengelolaan

    3. Tanah Wakaf

    Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

    Pengelolaan Barang Milik Negara diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6

    Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang telah diubah

    dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas

    Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik

    Negara/Daerah. PP 6/2206 jo PP 38/2008 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

  • 6

    lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan

    Barang Milik Negara/Daerah.

    Pasal 1 PP 27/2014 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Barang Milik

    Negara (BMN) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang

    sah. PP 27/2014 mengatur tentang pengelolaan BMN yang meliputi: (a).

    perencanaan kebutuhan dan penganggaran; (b). pengadaan; (c) penggunaan; (d)

    pemanfaatan; (e) pengamanan dan pemeliharaan; (f). penilaian; (g)

    pemindahtanganan; (h). pemusnahan; (i). penghapusan; (j) penatausahaan; dan (k).

    pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

    Penggunaan BMN adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang

    dalam mengelola dan menatausahakan Barang Milik Negara/Daerah yang sesuai

    dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan. Sedangkan penatausahaan

    didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi,

    dan pelaporan Barang Milik Negara/Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan

    Perundang-undangan. Dalam rangka penatausahaan BMN, PP 27/2014 mengatur

    antara lain sebagai berikut:

    1. Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang harus melakukan pendaftaran

    dan pencatatan BMN/D yang status penggunaannya berada pada Pengguna

    Barang/Kuasa Pengguna Barang ke dalam Daftar Barang Pengguna/Daftar

    Barang Kuasa Pengguna menurut penggolongan dan kodefikasi barang.

    2. Pengguna Barang melakukan inventarisasi BMN/D paling sedikit 1 (satu) kali

    dalam 5 (lima) tahun.

    Khusus untuk pengelolaan BMN/D berupa tanah, PP 27/2014 mengatur hal-hal

    berikut ini:

    1. Penetapan status Penggunaan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah

    dan/atau bangunan dilakukan dengan ketentuan bahwa tanah dan/atau

    bangunan tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan

    fungsi Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang yang bersangkutan.

    2. Pengguna Barang wajib menyerahkan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah

    dan/atau bangunan yang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan

    fungsi Pengguna Barang, kepada:

  • 7

    a. Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara; atau

    b. Gubernur/Bupati/Walikota melalui Pengelola Barang Milik Daerah, untuk

    Barang Milik Daerah.

    3. Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah harus disertipikatkan atas nama

    Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

    4. Penyimpanan bukti kepemilikan Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau

    bangunan dilakukan oleh Pengelola Barang.

    Penertiban Tanah TNI Berstatus Okupasi

    Dari uraian tentang berbagai hak atas tanah di atas dapat disimpulkan bahwa

    status tanah okupasi tidak dikenal dalam UU-PA dan seharusnya tidak dapat

    dijadikan bukti kepemilikan atas suatu tanah. Bukti kepemilikan atas suatu tanah

    berupa sertipikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Status

    okupasi menunjukkan bahwa atas tanah tersebut hanya dikuasai, mungkin secara

    fisik, tetapi tidak dimiliki. Istilah menguasai atau dikuasai dengan dimiliki atau

    kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti/makna yang jauh berbeda dan

    menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula.

    Penertiban tanah TNI berstatus okupasi dapat dilakukan dengan cara

    melakukan inventarisasi atas tanah-tanah tersebut kemudian dilakukan

    pengelompokan berdasarkan kondisi pemakaiannya. Adapun tanah berstatus

    okupasi tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:

    1. Tanah masih digunakan oleh TNI dan diperlukan untuk kepentingan

    penyelenggaraan tugas dan fungsinya.

    2. Tanah sudah tidak digunakan oleh TNI untuk kepentingan penyelenggaraan

    tugas dan fungsinya dan sudah dikuasai oleh pihak ketiga.

    3. Tanah sudah dimiliki oleh pihak ketiga dengan diterbitkannya sertipikat hak

    kepemilikan sesuai peraturan perundang-undangan.

    Untuk tanah berstatus okupasi dalam kelompok 1 dan belum ada klaim oleh

    pihak lain mengenai kepemilikannya, maka TNI wajib segera mengurus hak

    kepemilikannya kepada instansi yang berwenang, dalam hal ini Badan Pertanahan

    Nasional (BPN) sehingga bukti kepemilikan tersebut dapat dijadikan dokumen

    pendukung untuk menunjukkan kepemilikan (ownership) atas aset. Hal ini juga

  • 8

    sesuai dengan amanat PP 27/2014 yang menyatakan bahwa Barang Milik

    Negara/Daerah berupa tanah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik

    Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Meskipun atas tanah ini belum

    didukung dengan sertipikat kepemilikan, TNI dapat mengakuinya sebagai aset

    dalam Neraca dan memberikan pengungkapan yang memadai pada Catatan Atas

    Laporan Keuangan. Secara substansi, aset tersebut dikuasai oleh TNI dan

    diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsinya

    Tanah okupasi kelompok yang kedua, yaitu atas tanah okupasi tersebut sudah

    tidak digunakan lagi untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi TNI dan

    tanah tersebut sudah dikuasai oleh pihak ketiga. Atas tanah kelompok ini, sebaiknya

    TNI menyerahkan kembali aset ini ke Negara, dalam hal ini Pengelola Barang, yaitu

    pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan

    pedoman serta melakukan pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Apabila

    penguasaan oleh pihak ketiga tersebut telah melampaui waktu 30 (tiga pupuh)

    tahun, maka pihak ketiga dapat diberi kesempatan untuk mengajukan hak

    kepemilikan sesuai peraturan perundang-undangan. Atas tanah kelompok ini

    seharusnya juga tidak dilaporkan dalam laporan keuangan karena tidak memenuhi

    asersi hak/kepemilikan. TNI tidak memiliki maupun menguasai atas tanah tersebut,

    tetapi hanya ada pengakuan sepihak dari TNI yang menyatakn bahwa tanah

    tersebut berstatus okupasi dan status okupasi bukan merupakan bukti yang sah atas

    kepemilikan tanah sesuai peraturan perundang-undangan.

    Kelompok yang terakhir adalah tanah sudah dimiliki dan dikuasai oleh pihak

    ketiga. Untuk kasus ini, TNI sebaiknya mencoret tanah tersebut dari daftar tanah

    berstatus okupasi. Apabila atas tanah tersebut telah dimasukkan dalam Inventaris

    Kekayaan Negara, maka daftar tersebut juga harus diperbaharui. Atas tanah ini, TNI

    tidak boleh melaporkannya dalam Laporan Keuangan karena asersi hak/kepemilikan

    benar-benar tidak terpenuhi. Pencatatan suatu aset yang sama oleh dua institusi

    yang berbeda tidak dimungkinkan karena akan menyebabkan overstatement atas

    aset yang dilaporkan.

  • 9

    Simpulan dan Saran

    Salah satu asersi manajemen dalam laporan keuangan adalah hak, yaitu bahwa

    aset yang dilaporkan dalam laporan keuangan adalah benar-benar aset milik pihak

    yang melaporkan. TNI, sebagai salah satu entitas akuntansi, harus menyiapkan

    laporan keuangan untuk mendukung laporan keuangan Kementerian Pertahanan.

    Dalam laporan keuangan yang disusunnya, TNI juga akan melaporkan aset-aset

    yang dimilikinya, termasuk atas tanah dan bangunan. Pada saat ini, TNI masih

    mengakui adanya tanah-tanah yang berstatus okupasi.

    Bukti kepemilikan atas tanah berdasarkan UU-PA berupa sertipikat hak yang

    diberikan Negara kepada pemilik yang dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak

    guna bangunan, dan sebagainya. Okupasi tanah oleh TNI pada dasarnya bukan

    merupakan hak kepemilikan tanah, karena status okupasi tidak ada dalam peraturan

    perundangan-undangan. Status okupasi tersebut hanya digunakan dalam

    lingkungan TNI. Oleh karena itu, TNI seharusnya tidak mencatatkan aset dengan

    berbekal status okupasi dan tidak melaporkannya dalam laporan keuangan.

    TNI sebaiknya segera mengurus hak kepemilikan atas tanah-tanah berstatus

    okupasi dan yang masih diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan

    fungsinya sehingga ada kepastian hukum atas status tanah tersebut. Dengan

    demikian, tanah-tanah tersebut dapat dicatatkan sebagai Barang Milik Negara

    (BMN) dan dilaporkan dalam laporan keuangan.

    Tanah yang statusnya okupasi tetapi sudah tidak digunakan untuk keperluan

    penyelenggaraan tugas dan fungsinya sebaiknya dikembalikan ke Negara, dalam

    hal ini Pengelola Barang. Sedangkan untuk tanah yang masih terdaftar pada tanah

    okupasi di inventaris kekayaan Negara tetapi atas tanah tersebut sudah terbit hak

    kepemilikannya yang sah sesuai dengan peraturan perundangan, maka TNI harus

    mengeluarkannya dari daftar tanah okupasi. Kedua hal terakhir ini dimaksudkan

    agar memberi kepastian hukum pada warga Negara yang berhak dan TNI dapat

    berkonsentrasi mengurusi tanah okupasi yang masih digunakan untuk keperluan

    dinas.

  • 10

    Daftar Pustaka:

    1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

    Agraria.

    2. DPR-RI, Laporan Singkat Komisi I DPR-RI pada Rapat Dengar Pendapat Umum

    (RDPU) Komisi I DPR RI dengan Forum Koordinasi Penghuni Rumah Negara

    Dephan/TNI-Polri Seluruh Indonesia dan warga penghuni Tanah/Kompleks

    Perumahan di lingkungan Dephan/TNI.

    3. Keputusan BPK-RI Nomor 04/K/I-XIII.2/5/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan

    Pemeriksaan Keuangan.

    4. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

    Indonesia.

    5. AB Property, Hak-Hak Atas Tanah Menurut UU Pokok Agraria,

    http://serbaserbiproperti-abproperty.blogspot.com/2012/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-

    uu-pokok.html

    6. Aliansi SROBOT, Mendorong Kepastian Hukum Terhadap Bangunan, Tanah dan

    Segala Aset yang diklaim oleh TNI,

    http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1230

    7. Indonesia News, Gugat Kementerian Pertahanan RI Soal PMH, Edisi 229,

    Agustus 2013.

    8. Kasun Pabyongan, Tinjauan Persoalan Hukum Pemilikan Tanah (Bekas)

    Eigendom,

    http://kalimatkalimata.blogspot.com/2013/02/tanah-dan-hukum-tanah.html

    9. Pusat Penerangan TNI, Kasus Tanah dan Bangunan Di Jalan Surapati No. 29

    Bandung,

    http://www.tni.mil.id/view-27802-kasus-tanah-dan-bangunan-di-jalan-surapati-no-29-

    bandung.html