disertasidigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/digital... · 2021. 1. 15. · disertasi ini...
TRANSCRIPT
-
DISERTASI
REVITALISASI SISTEM PERTAHANAN NASIONAL
SEBAGAI PILAR KEDAULATAN NEGARA
Revitalization of National Defence System As A Pillar for
State Sovereignty
Oleh :
JEFFRY ALEXANDER CHRISTIANTO LIKADJA
NIM : P0400313404
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS HUKUM
MAKASSAR
2017
-
ii
-
iii
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Jeffry Alexander Christianto Likadja
Nomor Induk Mahasiswa : P.0400313404
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Disertasi yang saya tulis ini,
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambil-alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan
Disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Makassar, 09 Agustus 2017 Yang menyatakan,
Jeffry Alexander Christianto Likadja
-
iv
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa, karena dengan rahmat, berkat dan kasih karunianya sajalah, maka
penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Adapun pemikiran
yang menjadi gagasan dalam penelitian ini adalah permasalahan yang
berkaitan dengan esensi kedaulatan negara dalam hukum internasional
pada masa modern (kontemporer), khususnya terkait dengan pertahanan
dan keamanan negara; kontekstualisasi sistem pertahanan negara yang
berbasis pada prinsip self determination; dan revitalisasi kebijakan
pertahanan dan keamanan nasional ideal, yang menunjang kedaulatan
negara. Sepanjang pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini,
peneliti banyak mengalami kendala dan hambatan, namun, dukungan dan
bantuan baik berupa tenaga, sumbangan pemikiran, dorangan moril
maupun materil dari berbagai pihak telah sangat membantu peneliti,
sehingga pada akhirnya penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini, ijinkan peneliti mengungkapkan dan
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada pihak-pihak yang terhormat dan saya banggakan,
diantaranya :
Pimpinan Universitas Hasanuddin, Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina
Pulubuhu, M.A (Rektor Unhas), Bapak Prof. Dr. Ir. Junaedi Muhidong,
M.Sc (Wakil Rektor I), BapaK Prof. Dr. Syamsul Bachri., SH., M.S (Wakil
Rektor II), Bapak Prof. Dr. Ir. Abdul Rasyid, M.Si (Wakil Rektor III), dan
Bapak Prof. dr. Budu, Phd., SPM(K) (Wakil Rektor IV). Pimpinan sekolah
Pascasarjana Universitas Hasanuddin; Bapak Prof. Dr. Muhammad Ali,
M.S (Dekan), Ibu Prof. Dr. Dr Suryani As’ad, M.Sc (Asisten Dekan I),
Bapak Prof. Dr. Hamka, M.A (Asisten Dekan II), Bapak Dr. Ing. Herman
Parung (Asisten Dekan III). Pimpinan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Ibu Prof. Dr. Hj. Farida Patittingi, SH., MH (Dekan), Bapak
Prof. Dr. Ahmadi Miru, SH., MH (Wakil Dekan I), Bapak Dr. Syamsuddin
Muchtar, SH., MH (Wakil Dekan II), Bapak Dr. Hamzah Halim, SH., MH
(Wakil Dekan III) dan Bapak Prof. Dr. Abdul Razak, SH., MH (Ketua Prodi
Program Doktor Ilmu Hukum). Terima kasih atas kesempatan yang
diberikan kepada peneliti untuk menimba ilmu di Universitas Hasanuddin.
Tim Promotor, Bapak Prof. Dr, Muhammad Ashri, SH., MH, sebagai
Promotor dan Bapak Prof. Dr. Juajir Sumardi, SH., MH serta Ibu Prof. Dr.
Marwati Riza, SH., M.Si selaku Co-Promotor, yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran, serta dengan tekun, sabar, telaten dan penuh
perhatian, telah mencurahkan segala pengetahuan, pemahaman dan
-
iv
kemampuan akademik masing-masing dalam membimbing dan
memberikan masukan bagi peneliti, sehingga memperkaya dan
menyempurnakan penulisan disertasi ini.
Tim Penilai, Ibu Prof. Dr. Alma Manuputty, SH., MH, Bapak Prof.
Dr. Syamsuddin Muhammad Noor, SH., MH, Bapak Prof. Dr. Marcel
Hendrapati Yaparno, SH., MH, Bapak Prof. Dr. Marthen Napang, SH., MH,
M.Si, yang telah memberikan kritikan, saran-saran dan masukan yang
sangat membangun dan berguna serta menunjang penyempurnaan
penelitian dan penulisan disertasi ini.
Kepada yang terhormat, Bapak Anang Puji Utama, SH. M.Si,
Direktur Peraturan dan Perundang-undangan (Dit Tur Per-UU) dan Bapak
Brigadir Jenderal TNI (Brigjen) M. Nakir, Direktur kebijakan dan Strategi
Pertahanan (Ditjakstra), kementerian Pertahanan Nasional (Kemenhan);
Ibu Prof Dr. Bondan T Sofyan (Staf Ahli) dan Ibu Hj. Lina (staf) dari
lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), yang telah menerima dan
mengakomodir segala keperluan penelitian, terutama masukan data
primer dan sekunder yang diperlukan oleh peneliti, selama melaksanakan
penelitian pada kedua lembaga yang dimaksud.
Orang tua tercinta, Drs. John Daniel Likadja (almarhum) dan Ny,
Elisabeth Pakasi, yang telah mendidik dan mengayomi peneliti hingga
saat ini. Cinta kasih dan pengorbanan yang tak terbalaskan dari beliau
berdua sebagai orang tua, yang dengan ketulusan hati dan semangat
yang luar biasa telah mengerahkan dan memberikan segenap
kemampuan mereka, untuk menghantarkan anak-anak mereka
mengecam pendidikan tinggi dengan segala keterbatasan yang ada.
begitu pula dengan papa terkasih Prof. Frans Edward Likadja, SH (Alm),
yang telah mengajar dan mengarahkan peneliti dalam menuntut ilmu di
bidang hukum semasa dan selama menempuh pendidikan. Terima kasih
buat semua kasih sayang dan curahan perhatian dari papa dan mama.
Disertasi ini merupakan bukti nyata dari curahan dan limpahan kasih
sayang serta pendidikan yang kalian berikan kepada peneliti.
Kepada saudara-saudaraku terkasih, kakanda Frans James
Likadja, ST., MM, Edward Leopold Likadja, S.H., dan adinda Maya Ruth
Wacanno-Likadja, S.E., serta Jermy Marcel Likadja SP dan Vaya
Tumbelaka SE, terima kasih atas segala bentuk pengorbanan, bantuan
serta doa yang tak berkesudahan yang senantiasa mengiringi perjalanan
peneliti selama menempuh pendidikan Doktor di fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
-
iv
Kepada Papa dan Mama Mertuaku, Julius Lontoh dan Juliana
Montolalu tersayang, terima kasih buat semua doa, dukungan, perhatian
dan pengorbanan yang telah kalian berikan. Tak lupa pula, saudaraku
terkasih Franky Natanel Lontoh (anky), yang telah sempat meluangkan
waktunya untuk membantu peneliti dalam menyelesaikan proses
penyusunan dan penulisan disertasi ini.
Kepada saudara-saudaraku terkasih, Dra. Leely Loury Herewila
Likadja, M.Sc, Ir. Rida Maleanti Herewila Likadja, Ir. Risel Diana Herewila
Likadja, M.Sc, Rola Afreta Likadja, S.Si dan Philipus Irwan Ivada, Se.Akt.,
MM, Wiggers Lucky Herewila Likadja, SH (Alm) dan Nike Tahitoe-Likadja,
S.Si, Nanamayo Souisa, S.s dan Charles Mandalika, terima kasih buat
doa, dukungan, dan keceriaan yang senantiasa mengiringi perjalanan
peneliti dalam menempuh pendidikan dan penyelesaian penyusunan
disertasi ini.
Kepada keluarga kecilku, pasangan hidupku yang tercinta Franke
Maria Lontoh (Anke), kedua anakku tersayang Caitlin Abigail Frykel
Likadja dan Clayfort Adriel Likadja, terima kasih buat semua doa,
pengertian, pengorbanan dan dukungan yang telah kalian berikan
sepanjang hari dan waktu, yang memahami dan mengerti akan
keberadaan dan kesulitan yang dihadapi oleh peneliti, sehingga
senantiasa memberikan semangat dan motivasi yang sangat berarti,
sehingga penulisan disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Teman-teman seperjuangan angkatan 2013 pada program Doktor
Universitas Hasanuddin yang saya banggakan; (1) Dr.Sulhan, S.Pd., SH.,
M.Si., M.Kn, (2) Dr. I Gusti Bagus Suryawan, SH., M.Hum, (3) Dr. Amaliah
Aminah Pratiwi Tahir, SH., MH, (4) Dr. Ria Trisnomurti, SH., M.Kn, (5) Dr,
Yulia, SH., M.Hum, (6) Suwito, SH., MH, (7) Anshar, SH., MH, (8)
Kadaruddin, SH., MH, (9) Marwan Djafar, SH., MH, (10) Mansur Armin Bin
Ali, SH., MH, (11) Muhammad Ilyas, SH., MH, (12) Almusawir Nansa, SH.,
MH, (13) Bayu Arjuna, SH., MH, (14) Andi Risma, SH., MH, (15) Nur
Insani, SH., MH, (16) Srigandawati, S.Ag, SH., MH, (17) Muslimah, SH.,
MH, (18) Suwarti, SH., MH, (19) Marwah, SH., MH, (20) Rahman
Syamsuddin, SH., MH, (21) Fitriah Ingratubun, SH., MH (22) St.
Rahmawati, SH., MH, (23) St. Ulfah, SH., MH, dan (24) Audyna Mayasari
Muin, SH., MH. Terima kasih buat kebersamaan dan semangat
persaudaraan yang telah terjalin selama ini. Teriring doa dan salam
sukses buat kita semua.
Teman-teman sekaligus sahabat-sahabat yang tergabung dalam kelompok diskusi kecil, yang telah memberikan banyak masukan, saran dan sumbangan pemikiran bagi pengembangan keilmuan masing-masing; pak Wito, ibu Ria, pak Kadar, pak Suryawan, pak Anshar, dan pak
-
iv
Marwan, terima kasih buat dukungan, bantuan dan diskusi yang berkualitas selama ini. Semoga semangat persaudaraan ini tetap terjalin sepanjang masa. Teruslah saling memberikan motivasi dalam membentuk dan membangun idealisme keilmuan yang berkontribusi bagi kemajuan ilmu hukum di masa depan.
Para sahabat dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat penulis ungkapkan satu persatu, terima kasih atas kesempatan, perhatian dukungan serta doa yang tulus, yang senantiasa terucap dalam kebersamaan kita selama ini. Semoga kebaikan Bapak, ibu, saudara-saudariku sekalian, mendapatkan balasan yang setimpal atas semua amal dan kebaikan yang telah kalian berikan kepada peneliti.
Akhir kata, semoga disertasi ini dapat memberikan sumbangsih
pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang
kajian ilmu hukum dan dapat menjadi referensi serta rekomendasi bagi
peneliti-peneliti selanjutnya, yang memiliki perhatian dan keinginan,
terutama dalam mengembangkan ilmu hukum khususnya bidang hukum
internasional.
Makassar, 09 Agustus 2017
Jeffry Alexander Ch Likadja
-
v
-
vi
-
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul i
Halaman Pengesahan ii
Pernyataan Keaslian Disertasi iii
Kata Pengantar iv
Abstrak v
Abstract vi
Daftar Isi vii
Daftar Tabel viii
Daftar Gambar ix
Daftar Singkatan x
I. Pendahuluan 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 21
C. Tujuan Penelitian 22
D. Kegunaan Penelitian 22
E. Orisinalitas Penelitian 23
II. Tinjauan Pustaka 26
A. Pandangan Filsuf tentang Hukum dan Negara 26
1. Marcus Tulius Cicero (106-43 SM/BC) 31
2. Thomas Hobbes (1588-1679 M) 37
B. Kerangka Teori 40
1. Kedaulatan Negara 45
2. Kedaulatan Rakyat 58
-
vii
3. Pembagian kekuasaan 64
C. Kerangka Konseptual 74
1. Negara Hukum (rechstaat) dan
Rule Of Law 78
2. Konsep-konsep hubungan antara Hukum
dan Manusia 90
a. Kebebasan 90
b. Kekuasaan 97
c. Perintah 100
d. kewajiban 104
3. Sanksi dan Delik 107
4. Legitimasi 115
5. Individu dan Hukum 119
6. Tinjauan tentang Sistem Hukum : 123
a. Putusan Hukum 123
b. Aturan-aturan Hukum 125
c. Primery 127
d. Secondary 128
7. Identitas 130
D. Hukum Tentang Sistem Pertahanan Negara 132
1. Instrumen Hukum Internasional tentang
Pertahanan Negara 132
2. Ketentuan Hukum Nasional
tentang Pertahanan Negara 139
3. Pancasila sebagai Landasan Idiil Pertahanan
Nasional 141
4. Aspek-aspek Strategis Pertahanan Nasional 147
a. Organisasi Militer 148
b. Industri Pertahanan Militer 152
c. Tenaga Ahli atau Profesi 155
d. Sarana dan Prasarana 159
-
vii
e. Warga Negara dan Bela Negara 161
f. Sumber Daya Alam
(Ketahanan Pangan dan Energi) 165
5. Sistem Pertahanan Semesta 172
6. Sistem Pertahanan Non Militer 175
7. Cold War (Perang Dingin) 179
E. Kerangka Pikir 184
1. Hubungan antar Variabel dan Indikator 184
2. Bagan Kerangka Pikir 187
3. Definisi Operasional 188
III. Metode Penelitian 192
A. Tipe Penelitian 192
B. Pendekatan Penelitian 193
C. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 193
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan 195
1. Esensi Kedaulatan Negara dalam Hukum
Internasional Kontemporer terkait Pertahanan dan
kemananan Negara 195
a. Perintah dalam Hukum Internasional 202
b. Kewajiban terkait Penggunaan Kekuatan Militer 208
c. Sanksi Hukum Internasional 211
d. Validitas 242
2. Sistem Pertahanan dan Keamanan Nasional
Berbasis Prinsip Self-Determination 257
a. Domestic Sovereignty 268
b. Interdependence Sovereignty 297
c. Aspek Primery dalam sistem Pertahanan negara 313
d. Aspek Secondary dalam Sistem
Pertahanan negara 323
-
vii
3. Revitalisasi Kebijakan pertahanan dan keamanan
nasional ideal yang menunjang kedaulatan negara 348
a. Kolektifitas dalam sistem Pertahanan Negara 348
b. Individu 359
c. Kebebasan 371
d. Identitas 378
V. Penutup 382
A. Kesimpulan 382
B. Saran 384
Daftar Pustaka 386
-
viii
DAFTAR TABEL
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 1. Perbandingan Inti Teori Locke dan Rousseau 71
Tabel 2. Perbedaan antara Rechstaat dan Rule of Law 86
Tabel 3. Unsur-unsur Rechstaat dan Rule of Law terkait Individual Liberty 91
Tabel 4. Anggaran Pertahanan Militer 271
Tabel 5. Perbandingan Konsep Jakumhaneg 281
Tabel 6. Pembajakan dan Perompakan Bersenjata di Kapal Laut 334
Tabel 7. Kekuatan Militer Dunia 342
Tabel 8. Data Anggaran Pertahanan dan Luas Wilayah Negara 346 Tabel 9. Perbandingan Kekuatan Militer Negara-Negara Asean 350 Tabel 10. Jumlah Personil Militer Aktif Negara-Negara Asia dan
Asian Tenggara 366
-
ix
DAFTAR GAMBAR
Daftar Gambar Halaman
Gambar 1. Upaya Membangun Sarana-Prasarana Pertahanan Negara 160
Gambar 2. Perkembangan Konsep Cadangan Sebagai Komponen Bela Negara 292 Gambar 2, Penyusunan Kembali FIR Singapore
dan FIR Jakarta 310
-
x
DAFTAR SINGKATAN
Asean : Association of Southeast Asian Nations
ADMM : Asean Defence Ministers Meeting
APSC : Asean Political-Security Community
ARF : Asean Regional Forum
ABK : Anak Buah Kapal
ADIZ : Air Defence Identification Zone
ASAM : Asean Single Aviation Market
ATFM : Air Traffic Flow Management System
CMR : Civil-Military Relation
CFSP : The Common Foreign and Security Policy
CARAT : Cooperation Afloat Readiness abd Training
CFE : Treaty on Conventional Armed Forces In Europe
CAT : Category
CCP : China Communist Party
C4ISR : Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance and Reconnaissance
D.K PBB : Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
EMD : European Missile Defence
ECOSOC : The United Nations Economic and Social Council
EU : European Union
ECSC : European Coal and Steel Community
EAEC : European Atomic Energy Community
FAA : Federation Aviation Administration
FIR : Flight Information Region
-
x
GLCM : Grounded Launched Cruise Missile
GFP : Global Fire Power
HAM : Hak Asasi Manusia
Hanneg : Pertahanan Negara
ICW : Indonesian Corruption Wacth
ICJ : International Court Of Justice
IISS : The International Institute For Strategic Studies
ILO : International Labour Organization
IMT : International Monitoring Team
ICMM : International Committee Of Military Medicine
ICAO : International Civil Aviation Organization
Jakumhaneg : Kebijakan Umum Pertahanan Negara
JIDD : Jakarta International Defence Dialogue
Lemhannas : Lembaga Pertahanan Nasional
LCS : Laut Cina Selatan
LOSC : Law of The Sea Convention
Menhan : Menteri Pertahanan
MOU : Memorandum of Understanding
MEF : Minimun Essential Force
MBFR : Mutual Balance Force Reduction
MSG : Melanesia Spearhead Group
MILF : Moro Islamic Liberation Front
MONUSCO : The UN Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo
MINUSCA : United Nations Multidimensional Integrated Stabilization Mission in the Central African Republic
MINURSO : The United Nations Mission for the Referendum in
Western Sahara
-
x
MINUSMA : The United Nations Multidimensional Integrated
Stabilization Mission in Mali
NATO : North Atlantic Treaty Organization
NCW : Network Centric Warfare
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
OAS : Organization of American States
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PM : Prime Minister
PCA : Permanetn Court of Arbitration
PLA : People’s Liberation Army
PIF : Pacific Islands Forum
POLRI : Kepolisian Reublik Indonesia
PMK : Peraturan Menteri Keuangan
PP : Peraturan Pemerintah
PMD : Poros Maritim Dunia
ReCAAP : Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia
RDTL : República Democrática de Timor Leste RMA : Revolution in Miliatry Affairs SAF : Singapore Armed Forces
SDA : Sumber Daya Alam
SDB : Sumber Daya Buatan
SDM : Sumber Daya Manusia
Sishanrata : Sistem Pertahanan Rakyat Semesta
SM/ BC : Sebelum Masehi/ before Christ
Sekjen : Sekretaris Jenderal
-
x
SOMS : Straits of Malaca and Singapore
SEANWFZ : The Southeast Asian Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty
Tap MPR : Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
TFEU : The Treaty On The Functioning of The European Union
TEC/ TEU : the European Community/ Union
TNI : Tentara Nasional Indonesia
U.N Charter : United Nations Charter
UNIDO : United Nationalist Democratic Organization
USSOUTHCOM : United State South Command
USNORTHCOM : United State North Command
USEUCOM : United State Europe Command
USCENTCOM : United State Central Command
USPACOM : United State Pasific Command
UNCLOS : United Nation Convention On The Law of Sea
UNIFIL : The United Nations Interim Force in Lebanon
UNAMID : United Nations - African Union Mission in Darfur
UNISFA : United Nations Interim Security Force for Abye
UNMIL : United Nations Mission in Liberia
UNMISS : United Nations Mission In South Sudan
ZOPFAN : The Zone of Peace, Freedom and Neutrality
-
1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saling ketergantungan yang kompleks antar manusia dalam
komunitas internasional, membuat istilah Sovereignty, yang dulunya
merupakan tembok utama dalam membatasi masuknya kedaulatan
lain serta berfungsi sebagai rambu-rambu dalam mengatur lalu lintas
interaksi antar negara, mengalami deviasi makna, bahkan telah
menjadi residu dari pemaknaan awalnya. Konsekuensinya, harga
tertinggi yang harus dibayar dalam suatu relasi antar negara dalam
komunitas internasional, pada prinsipnya akan menggeser makna dan
nilai-nilai kedaulatan dalam satu negara. Bahkan, dalam perspektif
politik internasional, kedaulatan tidak lagi menjadi pembatas bahkan
penghalang, dalam mencapai tujuan bersama antar masyarakat dunia
maupun umat manusia.
Awalnya, kedaulatan negara tidak saja merupakan apresiasi
dari negara lain (eksternal) yakni berupa pengakuan atas eksistensi
dan penguasaannya terhadap suatu wilayah teritorial, namun secara
internal, kedaulatan dulunya dipandang sebagai konkretisasi delegasi
kekuasaan yang dimiliki oleh individu-individu (keluarga) yang
dimandatkan kepada negara (Electorate).1 Kemudian, negara melalui
organ-organ yang dimilikinya, mendelegasikan kekuasaan yang ada
padanya, kepada seseorang (penguasa) dan atau kepada 1 C.F Strong, Konstitusi–Konstitusi Politik Modern, Nusa Media, Bandung, 2010, hal 9
-
2
sekelompok orang (pemerintah), yang dianggap mampu dan pantas
dalam mengelola kekuasaan tersebut. 2 Sesungguhnya, Kedaulatan
murni merupakan hasil dari kepentingan pribadi individu secara
rasional, yang menggantikan hasrat tidak rasional. Inilah inti dari
doktrin Hobbes mengenai kedaulatan yang adalah rasional dan
utilitarian.3
Adalah Hobbes yang pertama kali mencetuskan teori tentang
kedaulatan. Kemudian Jean Bodin 4 , mengelaborasi lebih rinci
bagaimana seseorang yang berdaulat, selalu berada di luar hukum.
Namun di sisi lain, juga aktif menciptakan dan memberlakukan hukum
kepada masyarakatnya tanpa persetujuan mereka. Dapat dikatakan,
seluruh teori kedaulatan pada abad pertengahan setelah Hobbes,
adalah Hobbesian.5
Menurut Hizkia Yosie Polimpung6, gagasan Hobbes berawal
dari sifat dasar manusia, yang dianalogikan dengan serigala (lupus).
Maka, pada kondisi Homo Homini Lupus, manusia menjadi serigala
bagi manusia lainnya. Kondisi ini oleh Hobbes disebut sebagai kondisi
alamiah (state of nature), dan diktum yang berlaku adalah bellum
omnium contra omnes (perang semua melawan semua). Tepat pada
2 Ibid, Hal 8 3 Bandingkan dengan W. Friedman, Teori & Filsafat Hukum, Susunan III, Rajawali Pers, 1990, hal 244 4 Hizkia Yossie Polimpung, Asal-usul Kedaulatan, Kepik, Jawa Barat, 2014, hal 131 5 Ibid. 6 Ibid.
-
3
kondisi inilah, para lupus membutuhkan lahirnya suatu Leviathan
untuk meredam dan memberi mereka rasa aman. Dalam suatu latar
kontraktual, para lupus memberikan uang, hak dan kepatuhan
mereka, yang kemudian terakumulasi serta memposisikan Leviathan
sebagai sesuatu yang absolut. Hak-hak dan kepatuhan ditukarkan
dengan rasa aman dari Leviathan.7
Doktrin ini pada prinsipnya menelaah kedaulatan dalam batas-
batas teritorial negara, sehingga sering juga dikatakan sebagai
kedaulatan internal tanpa batasan kekuasaan pembuat hukum dari
kedaulatan. Bahkan pada zaman kekuasaan monarki absolut,
kedaulatan sering dikaitkan dengan teori “kedaulatan mutlak”, yang
secara singkat dapat dijelaskan bahwa para warga negara
menjalankan kepatuhan berdasarkan kebiasaan, dan pemegang
kedaulatan tidak menjalankan kepatuhan terhadap siapapun juga
berdasarkan kebiasaan.8
Sangat disayangkan, logika ini gugur saat berhadapan dengan
kenyataan. Leviathan justru memakan Lupus-lupus yang telah
membayarnya, dengan mengirim mereka untuk berperang. Bahkan,
dalam logika kritis, teori Leviathan dilihat sebagai teori yang dipakai
oleh orang-orang yang ingin merebut kursi Leviathan berikut
kekuasaan dan keuntungan ekonominya. Mereka menggunakan
7 Ibid. 8 H.L.A Hart, The Consept Of Law, Nusa Media, Bandung, 2010, hal 80
-
4
jargon Leviathan dan berjanji untuk mengupayakan kesejahteraan dan
keamanan bersama, apabila para lupus (manusia-manusia)
menyerahkan sebagian hak dan kepatuhannya. Namun
sesungguhnya, yang dicari Leviathan adalah kekuatan dari para
lupus, sehingga memperoleh kekuasaan absolut. 9
Pemahaman yang sedikit berbeda nampak dalam pandangan
J.J Rousseau tentang kedaulatan, yang menyatakan bahwa
kepatuhan penduduk terhadap kedaulatan tidak lain merupakan
kepatuhan terhadap semua orang yang berdaulat. 10 Namun, perlu
ditekankan bahwa kekuasaan yang diberikan kepada penguasa,
hanyalah berdasarkan kesukarelaan masyarakatnya, yang telah
berjanji menghargai perjanjian yang telah dibuat (consensus),
sehingga kekuasaan yang sesungguhnya tetap berada pada
masyarakat dan tidak pernah diserahkan kepada individu lainnya
secara mutlak. 11
Sublimasi kegelisahan manusia akan keberadaannya
(eksistensi) akan dorongan untuk bertahan hidup, membuat konsep
negara berdaulat, merupakan manifestasi dari masyarakat (manusia),
yang bertujuan menciptakan rasa aman, guna mengatasi kegelisahan
akan eksistensi (keberadaan) manusia itu sendiri.12 Dalam perspektif
9 Hizkia Yosie Polimpung, Loc.Cit, hal 133 10 Opcit, TT 11 Jean Jacques Rousseau, Kontrak sosial, Filsafat Hukum, UI, TT 12 Bandingkan dengan Hizkia Yosie Polimpung, Loc.Cit.
-
5
internal dimana negara dengan kedaulatannya memiliki kekuasaan
tertinggi, bahkan melebihi kekuatan Undang-undang sekalipun, maka
kekuasaan yang ada merupakan kekuatan yang utama, dalam
melakukan upaya-upaya untuk mencapai kebebasan dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, sebagai apresiasi dari
penyerahan kekuasaan dan kepatuhan oleh para pemegang awal
kekuasaan.
Oleh karenanya, maka setiap tindakan negara seharusnya
mengacu pada kepentingan rakyat, yang senantiasa dapat diukur dan
dipantau pelaksanaannya. Jika rakyat sebagai pemilik asal kekuasaan
mengisyaratkan ketidak-puasan terhadap negara, maka sudah
sepantasnya negara mengubah, mereformulasi dan mengganti
kebijakan formal, sehingga dapat searah dan selaras dengan
kehendak para pemegang kekuasaan sesungguhnya (asli), yang lebih
berorientasi pada kekalnya keberadaan.
Selain perspektif internal dari kedaulatan sebagaimana
paparan di atas, maka secara ekternal, kedaulatan dimaknai secara
terbatas dan juga sedikit berbeda dari pengertian pada mulanya.
Diawali dari perjanjian Wesphalia (Tahun 1648), kedaulatan dipahami
sebagai yurisdiksi penuh atas wilayah teritorial dan prinsip pengakuan
kedaulatan bersama. 13 Dalam hal ini, negara-negara mengakui
kedaulatan dalam wilayah teritorial masing-masing dan secara
13 Ibid.
-
6
bersama-sama mengakui akan adanya kedaulatan lain, sebagai
pembatas berlakunya kedaulatan wilayah ataupun teritorial dari para
pemilik kekuasaan.
Yurisdiksi Internal (teritorial) dan pengakuan bersama
merupakan merupakan inti perjanjian Wesphalia 14 , yang oleh
Magdalena Petronella Ferreira-Snyman, dijelaskan bahwa “the
principle of absolute sovereignty of equal states came to be
recoqnized as the foundation of modern international relations theory”.
15 Dasar dari hubungan internasional modern, dibangun di atas prinsip
kesetaraan, sehingga Kedaulatan tidak lagi dapat dipandang sebagai
sesuatu yang mutlak dan absolut bagi suatu negara, karena
kedaulatan satu negara (equal sovereingnty), justru menjadi pembatas
kedaulatan negara yang lainnya.16
Kesepahaman akan adanya kedaulatan yang sama bagi setiap
negara (equal sovereingty), juga telah diadopsi dalam piagam
perserikatan Bangsa-bangsa (selanjutnya disingkat Piagam PBB atau
UN Charter), yang mengharuskan setiap negara diperlakukan secara
seimbang dalam suatu komunitas masyarakat internasional. Maka
dalam “The Friendly Relations Declarations of 1970”, penjabaran lebih
jauh tentang kedaulatan yang seimbang bagi setiap negara, meliputi,
keseimbangan; hak, kewajiban, ekonomi, dan politik, termasuk
14 Hizkia Yosie Polimpung, Op.Cit, hal 135 15 Ibid. 16 Terjemahan Bebas
-
7
penghormatan terhadap negara lain, integritas teritorial dan politik,
dan kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan
ittikad baik (good faith) dan hidup berdampingan secara damai
dengan negara lain.17
Prinsip-prinsip internasional yang tersebut di atas, sebenarnya
merupakan konsep “payung” (umbrella Concepts) 18 , yang pada
dasarnya meliputi dua kepentingan utama yakni, kedaulatan dan
hukum yang berimbang. Berdasarkan hal ini, negara sering
menerapkan prinsip Non-intervention dalam menjustifikasi wilayah
yurisdiksi masing-masing. Adapun wilayah (teritorial) yang merupakan
tempat dilaksanakannya kekuasaan secara penuh, sebagaimana
dikenal dalam doktrin-doktrin para ahli dan dipraktekkan oleh dunia
internasional harus memiliki syarat-syarat yang meliputi : (a) stabil; (b)
terbatas; dan (c) berlangsung terus menerus. 19
Penerapan yurisdiksi atas wilayah suatu negara, ditegaskan
secara lebih konkret dalam konsep negara sebagaimana yang
dicantumkan dalam konvensi Montevideo tahun 1933 tentang syarat-
17 Ibid. Hal 17 18 Ibid. 19 Giovanni Distefano, Theories on Territorial Sovereignty: A Reappraisal, Journal of Sharia & Law, issue No. 411 Muharram 1431 H, January 2010, pages 26, As far as the main features of the territory are concerned, it is generally recognized by the doctrine and consolidated practice that the territory must be (a) stable, (b) delimitated, (c) continuous. The first characteristic refers to the permanence of the residing population, thus excluding the phenomenon of nomadism. With regard to the second one, it has not to be interpreted in a restrictive manner when it is affirmed that the state’s territory has to be clearly delimited,... Finally, the third one refers to the continuity of State’s territory.
-
8
syarat negara20, yang meliputi wilayah, penduduk, pemerintah dan
kemampuan untuk bekerja sama secara internasional. Jelas bahwa
ke-4 (empat) syarat ini menjadi dasar suatu komunitas bangsa agar
dapat di akui sebagai suatu negara yang berdaulat. Dengan kata lain,
negara yang berdaulat adalah negara yang mampu melaksanakan
yurisdiksi secara penuh atas ke-4 (empat) syarat negara tersebut.
Menyadari akan hal ini, para perancang dan perumus undang-
undang dasar negara kita pada tahun 1945 juga mendeklarasikan
dengan tegas adanya prinsip kedaulatan negara Indonesia itu, baik
dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasal UUD 1945. 21 Dan
secara eksternal, demi menjaga keutuhan dan kedaulatan negara,
diatur pula tugas konstitusional yang dibebankan kepada Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dalam Pasal 30 ayat (3) UUD 1945. 22 Pasal
30 ayat (3) tersebut menentukan, “Tentara Nasional Indonesia terdiri
atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai
alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara
keutuhan dan kedaulatan negara”.23 Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat
3, juga ditegaskan bahwa; Bumi dan air dan segala kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan
20 Montevideo Convention On Rights and Duties of States, 1933, article 1 21 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Lingkungan; Demokrasi Versus Ekokrasi, disarikan sebagian dari materi buku Jimly Asshiddiqie, “Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945”, Rajagrafindo/Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal 1-2 22 UUD 1945, Visimedia, 2007, hal 39 23 Bab XII, Pertahanan dan Keamanan Negara, hal 74, Opcit
-
9
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.24 Dari kutipan-kutipan di
atas jelas tergambar bahwa UUD 1945 juga menganut ajaran
kedaulatan negara dalam konteks eksistensi antar negara yang
bersifat eksternal25, namun tetap berpegang pada kedaulatan wilayah
nasional, sebagai modal dasar kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan penegasan dalam Pasal 30 ayat (3) dan Pasal 33
(3) di atas, maka dapat dimaknai sebagai berikut : bahwa secara
eksternal, kedaulatan berdasarkan konstitusi meliputi 3 (tiga) wilayah
utama yaitu darat, laut dan udara, serta termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalam wilayah-wilayah tersebut. Dengan demikian,
maka sebagai bangsa yang berdaulat, Indonesia berhak dan
berkewajiban secara penuh untuk menerapkan yurisdiksinya atas
wilayah teritorial yang dimaksud.
Selain ide kedaulatan dalam pengertian yang bersifat eksternal
(hubungan antar negara), UUD 1945 juga dapat dikatakan menganut
beberapa ajaran tentang kedaulatan dalam pengertian internal,
terutama dalam hubungan antara negara dan warga negara dan
antara sesama warga negara. Setidaknya UUD 1945 menganut 2
ajaran secara eksplisit, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum
yang berkaitan dengan ide demokrasi dan negara hukum. Bahkan,
UUD 1945 juga mengakui adanya prinsip kekuasaan tertinggi yang
24 Bab XIV, Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, Ibid. 25 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Lingkungan, Loc.Cit
-
10
bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa, di samping adanya praktik
sistem kerajaan di daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang statusnya
diakui dan dihormati menurut Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.26
Bahwa dalam konstitusi Indonesia terdapat dikotomi dari kelima
teori kedaulatan (Tuhan, Raja, Negara, Rakyat dan Hukum) baik yang
tercantum secara eksplisit maupun secara implisit, memastikan
adanya dinamika konsep bernegara di Indonesia, berdasarkan hukum
dalam keadaannya yang hidup. 27 Peruntukkan Kedaulatan negara
untuk menjaga pertahanan, keamanan, keutuhan, ketertiban,
perlindungan dan penegakan hukum; kedaulatan rakyat demi
demokrasi dan politik; kedaulatan hukum bagi konsep Rechstaat;
kedaulatan Tuhan sebagai dasar negara dan; pemaknaan Kedaulatan
Raja (implisit) sebagai bentuk pengakuan negara terhadap satuan-
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa
(pasal 18B, UUD 1945) 28 , merupakan wujud ketegasan bangsa
Indonesia untuk diakui dan mengakui adanya kedaulatan sebagai
bagian dari identitas suatu negara.
26 Perubahan Kedua UUD 1945 Tahun 2000, Pasal 18B ayat (1), “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. 27 Bandingkan dengan; Jimly Asshiddigie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaan di Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, hal 12-16 28 UUD 1945, Loc.Cit
-
11
Idealnya, pemaknaan kedaulatan yang tercermin dalam
konstitusi Indonesia sebagai dasar negara, sudah sangat tegas, jelas
dan mencerminkan keinginan negara ini untuk menjaga kedaulatan
negaranya. Namun, ajakan harmonisasi global dalam kerangka
pergaulan internasional menjadi penyebab utama terkikisnya makna
kedaulatan.
Agenda penyeragaman dalam berbagai bidang, terutama
hukum, sebenarnya merupakan refleksi dari munculnya konsep-
konsep kekinian, yang merubah pemahaman tentang makna
kedaulatan (changing Nature of International Law). Sebut saja
misalnya, Globalization, Global Governance dan International
constitutionalism, akan berkonsekuensi pada kualitas hubungan
antara hukum nasional dan hukum internasional.29 Sebab, walaupun
hubungan internasional berkaitan dengan pengakuan timbal-balik
serta upaya saling mendefinisikan satu sama lain30, namun menurut
Krasner, pengakuan dan penerapan prinsip non-intervensi dalam
urusan negara-negara lain misalnya, akan menjelma menjadi
intervensi, yang sesungguhnya wajar dalam konteks hubungan
internasional.31
29 Magdalena Petronella Ferreira-Snyman, The Erosion Of State Sovereignty in Publik International Law, Disertation, faculty of Law, University of Johannesburg, 2009, pages 6-14 30 Walter Carlsnaes, et.al, Handbook of International relations, Cetakan I, Nusa Media, Bandung, 2013, hal 323-336 31 Krasner menyebut kedaulatan sebagai “kemunafikan terorganisir”, yang mengacu pada teori permainan yang stabil pada praktek kontradiktif penegasan wilayah-wilayah di satu sisi, dan praktek intervensi terus-menerus di lain sisi, Ibid.
-
12
Pendapat Krasner di atas cukup beralasan, sebab negara-
negara dalam hukum internasional, terikat satu sama lain dalam hal
pencapaian kemaslahatan bersama. Karena itu, kewajiban untuk
menyelenggarakan kerja sama dalam upaya untuk mewujudkan
maksud dan tujuan secara khusus, harus memperhatikan maslahat
bagi negara-negara lain (jus cogens). 32 Sehingga, dalam
menyelenggarakan pemerintahannya, negara wajib berada dalam
garis-garis kaidah hukum internasional, yang bersifat umum dan
mencakup seluruh negara. 33 Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa negara dalam melaksanakan kedaulatannya, terikat dan
tunduk pada prinsip-prinsip hukum internasional, sebagai batasan
otoritas suatu negara berdaulat.
Keberadaan Norma-norma internasional yang berstatus jus
Cogens dan Erga Omnes seperti self-determination, indenpendencies
dan sovereignty dengan 4 (empat) karakter utamanya yaitu internal
authority, border control, policy autonomy dan non-intervention,
seringkali menjadi pemicu terjadinya conflict of interest antar negara.
Sebab negara sebagai subyek hukum internasional dengan
kedaulatannya, memiliki kompetensi yang sama, untuk menafsirkan
norma-norma internasional tersebut.
32 Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Hukum Internasional dan Hukum Islam tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, TT, hal 153 33 Ibid.
-
13
Oleh Perdana Menteri (prime minister/PM) Dupuy diingatkan :
“One of the features of international legal order derives from the fact that, within it, in principle, each subject has the competence, to interpret the meaning and scope of the rights and obligations he has by virtue of international norms”.34
Salah satu bagian dari hukum internasional modern, berawal dari fakta bahwa, sebagai prinsip, setiap subyek (negara) memiliki kompetensi, untuk menginterpretasikan makna dan cakupan dari hak dan kewajiban yang dimilikinya dalam norma-norma internasional, (terjemahan bebas).
Merupakan prinsip bahwa setiap negara memiliki kapasitas
yang sama untuk memaknai maksud dari keberadaan suatu norma
internasional. Sehingga, interpretasi oleh negara, terkadang menjadi
masalah dalam suatu komunitas internasional yang merupakan
kumpulan negara berdaulat dan desentralisasi kekuatan politik.35
Keberadaan norma-norma internasional semisal perdamaian
dunia (World Peace), dan Hak Asasi Manusia (Human Rights), sering
ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai negara, sehingga untuk
mencapai keseragaman (unification), sesuatu yang seharusnya
menjadi urusan internal suatu negara, sering kali diintervensi oleh
kedaulatan negara lain yang memiliki pengaruh (kekuasaan) besar
dengan berlandaskan pada argumentasi universal yuridis tersebut.
34 Ibid, page 4 35 Carlos Fernandez De Casadevante y Romani, Sovereignty and Interpretation of International Law, Springer, Universidad Rey Juan Carlos, Madrid, Chapter 1, page 3; ..., Interpretation of international norms is one of themes most closely linked to the practice of both international and domestic law, ...In spite of the advances made, the international community is still a society composed mainly of sovereign states and is chracterised by the decentralisation of political power.
-
14
Bahkan, dalam beberapa kasus tertentu, hukum internasional
terkesan menjustifikasi penggunaan kekuatan bersenjata
(empowering force) demi menegakkan konsep-konsep internasional
tertentu, misalnya perlindungan Hak Asasi Manusia (human rights).
Hal ini yang dulunya merupakan urusan internal suatu negara, namun
saat ini, telah menjadi perhatian komunitas internasional. 36 Dalam
bidang lainnya, semisal perdagangan dan ekonomi, instrumen
intenasional seperti GATT (general agreement on traffic and Trade)
dan WTO (World Trade Organization37, yang berisikan standarisasi
transaksional yang sama bagi setiap negara, juga menyisakan ruang
interpretasi yang terkadang menimbulkan intervensi, bahkan tak
jarang bermuara pada sengketa antar negara. Sehingga, menurut
Cotterrell, upaya unifikasi tersebut sekali lagi menolak relativisme
kultural yang menuntut penghargaan terhadap perbedaan38,
Adanya indikasi intervensi internasional yang mengarah pada
bentuk ancaman terhadap kedaulatan, terekam secara baik dalam
data media, baik secara nasional maupun internasional. Pada masa
36 Bandingkan dengan, Magdalena Petronella Ferreira-Snyman, Op.cit, page 24-26 37 Lihat, John H Jackson, Sovereignty, The WTO and Changing Fundamentals Of International Law, Cambridge University Press, United States, 2006, pages 84-90; The WTO includes most of the GATT preamble language and also adds objective as follows: The Parties to this agreement, recoqnizing that their relations in the field of trade and economic endeavour should be conducted with a view to raising standards of living, ensuring full employment and a large and steadily growing volume of real income and effective demand, and expanding the production of and trade in goods and services, ..., Resolved, therefore, to develop an integrated, more viable and durable multilateral trading system encompassing the General Agreement on Tariffs and Trade, the results of past trade liberalization efforts, and all of the results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations. 38 Ibid.
-
15
lalu, isu keamanan tradisional cukup menonjol, yakni sehubungan
dengan geopolitik dan geostrategis, di mana kekhawatiran dunia yang
tertuju pada masalah pengembangan kekuatan militer dan senjata
strategis serta hegemoni.
Namun, isu keamanan pada dekade terakhir ini semakin
multidimensional dengan meningkatnya aktivitas terorisme, kejahatan
dunia maya, penyelundupan dan perdagangan manusia, narkotika,
penangkapan ikan secara ilegal, dan kejahatan lintas negara lainnya.
Bentuk-bentuk kejahatan tersebut semakin kompleks karena
dikendalikan oleh aktor-aktor dengan jaringan lintas negara yang
sangat rapi, serta memiliki kemampuan teknologi dan dukungan
finansial. 39
Ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan nasional
diungkapkan oleh Bantarto Bandoro dengan menyebutkan 5 ancaman
global selain terorisme. 40 Kelima ancaman tersebut adalah
perdagangan ilegal di bidang: obat-obatan (drugs), senjata, hak milik
intelektual, manusia dan uang. Sumber-sumber yang dimiliki oleh para
pelaku kelima perang tersebut, yaitu-financial, sumber daya manusia
dan teknologi demikian mengesankan sehingga mereka dapat
bergerak dengan leluasa bahkan tanpa terdeteksi.
39 INDONESIA : Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, Buku Putih Pertahanan Negara Republik Indonesia, Tahun 2003 40 Bantarto Bandoro, Masalah-masalah Keamanan Internasional Abad 21, Makalah, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 2003, Hal 8-18
-
16
Kejahatan Narkotika dan Obat-obatan berbahaya (Narkoba) di
Indonesia sudah memasuki tahap yang mencemaskan. Walaupun
demikian, negara belum mampu menangani masalah ini secara
serius. 41 Secara global, perang terhadap Drugs adalah yang paling
popular di antara kelima perang tersebut. Sebabnya, 85% Pemasukan
kejahatan lintas negara terorganisasi berasal dari bisnis narkoba.42
Jika dihubungkan di antara kasus kejahatan yang telah
disebutkan di atas dengan wilayah teritorial negara, timbul kesan
bahwa negara tidak mampu menegakkan yurisdiksi dalam wilayah
nasionalnya. Sebab, hampir sebagian besar kejahatan tersebut,
dilakukan dengan cara melintasi batas-batas wilayah kedaulatan
suatu negara. Hal ini membuktikan bahwa negara tidak dapat
mengamankan (secure) secara maksimal wilayah teritorialnya.
Berkaitan dengan wilayah teritorial negara di daratan (border
dispute), semisal sengketa pulau Sipadan-Ligitan diantara pemerintah
Republik Indonesia dan Malaysia, yang oleh mahkamah internasional
diputuskan memberikan wilayah tersebut kepada Pemerintahan
Malaysia berdasarkan prinsip effective occupation, tidak hanya
mempengaruhi garis-garis perbatasan darat (critical border) dan
41 Narkoba Hancurkan Bangsa Ini, Kompas.com, diakses pada tanggal 15 Sepetember 2015, jam.11.00 42 Bisnis Narkoba, Pemasukan Utama Kejahatan Lintas-Negara, Kompas.com, Nasional, minggu, 20 September 2015, diakses pada tanggal 20 September 2015, jam 11.00
-
17
maritim (maritime boundaries) negara43 , namun juga telah membuat
Malaysia lebih percaya diri untuk terus berupaya untuk mengintervensi
wilayah teritorial Indonesia.
Intervensi lainnya, di wilayah kedaulatan Indonesia sampai
saat ini masih mewarnai pasang-surut kualitas hubungan antar
negara. Adanya upaya untuk menggeser patok-patok wilayah teritorial
di perbatasan pulau Kalimantan44, sengketa di wilayah perairan pulau
Ambalat 45 , tindakan illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing
bahkan intervensi kapal coastguard China di kepulauan Natuna
terhadap otoritas pemerintah Indonesia46, yang berupaya melakukan
penangkapan terhadap kapal-kapal pelaku illegal fishing, merupakan
gambaran nyata akan adanya ancaman terhadap kedaulatan negara.
Ancaman juga terjadi di wilayah udara Indonesia terutama
kejadian internasional di selat Malaka, sebagai upaya intervensi yang
dilakukan oleh kekuatan negara lain, masih terdeteksi hingga
sekarang. 47 Tercatat sampai dengan November Tahun 2014, total
sudah ada lima insiden pendaratan paksa pesawat, yaitu di Medan (2
43 Marcel Hendrapati, Implikasi Kasus Sipadan & Ligitan atas titik pangkal dan delimitasi maritim, Arus Timur, Makassar, 2013, hal 1-8 44 Indonesia Terus Kehilangan Wilayah Teritorialnya, http://nasional.kompas.com, diakses tanggal 20 April 2016, jam 13.20 Wita 45 Jangan Biarkan TNI AL Sendirian di Ambalat!, http://news.kompas.com/read/2009/06/02, diakses pada tanggal 20 April 2016, pukul 13.00 46 Susi: China Harus Larang Kapal-kapalnya Tangkap Ikan di Perairan Indonesia!, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/03/21, diakses pada tanggal 22 Maret 2016, pukul 11.00 47 H Priyatna Abdurrayid, Kedaulatan negara di Ruang Udara, Fikahati Aneska dan BANI, Jakarta, 2003, hal 136-162
http://nasional.kompas.com/http://news.kompas.com/read/2009/06/02http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/03/21
-
18
pesawat), Nusa Tenggara Timur (NTT), Pontianak, dan Manado. 48
Sebagai tambahan, kawasan Selat Malaka dan daerah perairan Laut
Natuna, wilayah udaranya sudah sejak tahun 1946 berada di bawah
kekuasaan otoritas penerbangan Singapura, sehingga setiap pesawat
yang akan terbang di wilayah Natuna harus memperoleh ijin terlebih
dahulu dari pihak otoritas penerbangan Singapura. Padahal di wilayah
tersebut, sangat berpotensi untuk terjadinya sengketa perbatasan
(border dispute).49
Pentingnya wilayah pertahanan udara, karena merupakan
kekuatan pelindung untuk mendukung wilayah darat dan laut sampai
ke batas Zona Ekonomi Eksklusif, menyebabkan wilayah tersebut
menjadi benteng utama pertahanan. Terdapat 3 isu utama yang terkait
dengan pertahanan udara yaitu, sabotase Komunikasi, operasi
intelijen dan menguji wilayah pertahanan udara Indonesia. 50
Fakta bahwa adanya ancaman terhadap wilayah kedaulatan
Indonesia, menyebabkan aspek pertahanan dan keamanan negara
menjadi sangat vital untuk diperkuat dan dipertahankan
keberadaannya. Secara singkat, pertahanan negara memiliki dua
defenisi yang penting, yaitu pengertian dalam aspek strategic
definition dan aspek economic strategic defenition. Pada defenisi yang
48 Kedaulatan Udara, Kepentingan Bangsa, http://nasional.kompas.com/read/2014/11/15, diakses pada tanggal 14 Janunari 2016, jam 10.00 49 Dua Jempol untuk Menteri Susi, http://nasional.kompas.com/read/2016/03/23, diakses pada tanggal 26 Maret 2016, jam 10.00 50 Kedaulatan Udara, Kepentingan Bangsa, Loc.Cit
http://nasional.kompas.com/read/2014/11/15http://nasional.kompas.com/read/2016/03/23
-
19
pertama, pertahanan negara diartikan sebagai wujud konkretisasi
kedaulatan negara yang sangat berkaitan dengan wilayah, yurisdiksi
dan keamanan nasional (Montevideo convention). Pada pemahaman
ini banyak menyinggung tentang fungsi tentara nasional Indonesia
(selanjutnya disingkat TNI) sebagai komponen utama pertahanan
negara, termasuk prasarana dan sarana penunjangnya. Sedangkan
pada defenisi yang kedua, berhubungan dengan fungsi negara dari
aspek Non-Militer, seperti pemberdayaan sumber-sumber ekonomi,
sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), sumber
daya buatan, termasuk seluruh sarana dan prasarana dari negara.
Lalu, bagaimana realisasi kedua strategi ini dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia?.
Bahwa kedaulatan negara, di wilayah teritorial Indonesia,
terkesan belum dapat ditegakkan secara maksimal. Adanya berbagai
upaya yang mengganggu implementasi kedaulatan domestik,
khususnya terkait dengan pertahanan dan keamanan nasional
(national security), seperti kejahatan perbatasan negara (illegal
crossborder, drugs, trafficking, etc) bahkan intervensi penegakan
hukum (law enforcement intervention) menjadikan kedaulatan
nasional tidak lagi menjadi jati diri bangsa. Sulitnya membendung
ancaman-ancaman kontemporer yang melintasi batas wilayah
teritorial, menjadikan norma dan prinsip hukum internasional seperti
-
20
non-intervention, self determination, dan equal-sovereignty tidak
efektif dan prospektif bagi eksistensi kedaulatan Negara Indonesia.
Meskipun demikian, pemerintah melalui konstitusi negara
telah mencantumkan secara tegas tentang keinginan bangsa
Indonesia dalam menjaga kedaulatan wilayah teritorial. Pasal 30
Undang-undang dasar 1945 jelas mengatur tentang Pertahanan dan
Keamanan, yang dibebankan kepada 2 lembaga negara yaitu Tentara
Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat TNI) dan Kepolisian.
Bahkan untuk memastikan semua komponen bangsa menjaga
kedaulatan negara, maka setiap warga negara memiliki hak dan
kewajiban dalam bela negara (Pasal 27 ayat 3 UUD 1945).
Namun, beberapa kasus yang telah disebutkan sebelumnya,
menjadi bukti nyata tentang lemahnya komitmen negara (pemerintah)
dalam mereformulasi dan mengkonstruksi konsep pertahanan yang
tangguh, berbasis posisi geogstrategis dan geopolitis Indonesia,
sebagai pendorong dan penyeimbang berbagai konflik yang terjadi di
Asia.51 Kuat dugaan, kurangnya penegasan penerapan prinsip hukum
internasional yang terkait dengan non-intervention, equal-sovereignty,
dan self determination khusus dalam regulasi-regulasi di bidang
pertahanan negara, dan sulitnya implementasi konsep-konsep
pertahanan secara nasional, berimplikasi pada ketidaksiapan negara
51 “Worst Case Scenario: Are You Ready To War Indonesia”, http://jakartagreater.com/, 01 Juni 2014, Diakses pada tanggal 2 November 2015, jam. 10.00
http://jakartagreater.com/
-
21
dalam mengantisipasi dan mengatasi setiap tindakan, yang berpotensi
mengancam pertahanan, keamanan, bahkan kedaulatan negara.
Jika hal ini tidak disikapi secara serius oleh negara
(pemerintah), maka Indonesia tidak akan pernah siap, untuk menjaga
kedaulatan negaranya, khususnya berkaitan dengan posisi negara,
sebagai suatu wilayah teritorial yang berpengaruh, baik di kawasan
Asia Tenggara, maupun sebagai penyeimbang kekuatan di kawasan
Asia Pasifik.52 Sehingga, diperlukan adanya pemahaman secara lebih
komprehensif tentang pertahanan dan keamanan nasional, agar dapat
menangkal, mengantisipasi dan mengatasi setiap ancaman
internasional yang mengganggu kemaslahatan Manusia dan
eksistensi wilayah kedaulatan (teritorial) suatu negara.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah esensi Kedaulatan Negara dalam hukum
Internasional kontemporer (international legality) terkait Pertahanan
dan Keamanan negara?
2. Bagaimanakah kontekstualisasi sistem pertahanan negara yang
berbasis prinsip self of determination?
3. Bagaimanakah revitalisasi kebijakan pertahanan dan keamanan
nasional ideal, yang menunjang kedaulatan negara?
52 Ibid.
-
22
C. Tujuan Penelitian
1. Melakukan studi tentang esensi kedaulatan negara yang
mengalami evolusi dari masa ke masa, bahkan telah mengalami
degradasi dan erosi makna, dan hingga saat ini (kontemporer)
dipraktekkan oleh negara-negara dalam interaksi transnasional
khususnya terkait dengan pertahanan nasional domestik serta
kerjasama pertahanan antar negara, baik ditingkat regional maupun
internasional.
2. Mengkaji Implementasi prinsip-prinsip hukum internasional yang
terkait dengan kedaulatan Negara dalam regulasi Pertahanan
Negara, yang secara substansial telah mencerminkan penegasan
tekad untuk menentukan nasib sendiri yang berbasis pada karakter
dan potensi bangsa.
3. Mengkaji kontekstualisasi revitalisasi kebijakan Pertahanan Negara,
khususnya yang terkait dengan penerapan konsep pertahanan
rakyat semesta yang ideal, dalam menunjang Indonesia sebagai
negara berdaulat, baik domestik maupun di kawasan regional, serta
internasional (global).
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian dalam Disertasi ini diharapkan berguna untuk :
1. Filosofis, memberikan cara pandang yang konstruktif dalam
memahami dan memaknai pemaknaan dan penerapan prinsip-
-
23
sovereingty secara khusus, dalam perspektif hukum internasional
maupun nasional yang kontemporer, yang dapat memperkuat dan
meningkatkan Pertahanan Negara secara menyeluruh
2. Teoritis, diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran dan
pembaruan perspektif, sehubungan dengan penggunaan teori
kedaulatan negara, khususnya dalam memperbarui konsep di
bidang pertahanan dan keamanan Nasional.
3. Praktis, sebagai konstribusi pemikiran akademik (konseptual),
terkait dengan urgensi pengusulan dan pembentukan Rancangan
Undang-undang Keamanan Nasional, Undang-undang Komponen
cadangan (UU Komcad) maupun peraturan terkait lainnya, sebagai
acuan hukum positif, dalam menunjang pertahanan dan keamanan
Indonesia sebagai negara berdaulat, khususnya yang berpengaruh
di kawasan Asia.
E. Keaslian Penelitian Disertasi (Orisinalitas)
Peneliti-peneliti terdahulu yang menulis disertasi dan buku-buku
tentang prinsip kedaulatan (negara) dengan sudut pandang penelitian
yang berbeda adalah :
Maskun, “Interseksi Kejahatan Siber dan Kejahatan Agresi
dalam Hukum Internasional Kontemporer”, PascaSarjana, Unhas,
2015. Disertasi ini mengulas tentang menggunakan teori kedaulatan
negara dari Jean Bodin dengan mengedepankan tiga aspek yaitu
-
24
aspek Eksternal, Aspek Internal dan Aspek teritorial. Berdasarkan
hasil dari mesin pembanding “Utext Rikuz” maka kesamaan judul 0%,
kesamaan nama peneliti 0% dan kesamaan pada isi 33.33%.
M Adnan Madjid, “Perlindungan hukum Prajurit Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dalam Penyelenggaraan Pertahanan
Negara”, Fakultas Hukum, PascaSarjana Unhas, 2012. Disertasi ini
membahas tentang teori kedaulatan negara (Hugo Grotius) dan Teori
Tanggung Jawab negara (state responsibility), dengan berfokus pada
pembahasan mengenai penyelenggaraan pertahanan dan hukum
humaniter. Berdasarkan hasil dari mesin pembanding “Utext Rikuz”
maka kesamaan judul 12.5%, kesamaan nama peneliti 0% dan
kesamaan pada isi 34.48%.
Magdalena Petronella Ferreira-Snyman, “The Erosion Of State
Sovereignty in Publik Internasional Law: Towards A World Law”.
Dalam Disertasi ini, penulis yang bersangkutan membahas tentang
perubahan-perubahan terkini terkait dengan hukum Internasional,
khususnya sehubungan dengan kedaulatan negara. Sebagai
kesimpulan, kedaulatan negara dalam penelitian ini, mengalami
pengurangan makna, sehingga menjadi subjek dalam hukum
internasional, yang tunduk pada ketentuan-ketentuan yang menjadi
perhatian utama masyarakat internasional, dan pada akhirnya
mengikat dan membatasi kedaulatan negara. Berdasarkan hasil dari
-
25
mesin pembanding “Utext Rikuz” maka kesamaan judul 11%,
kesamaan nama peneliti 0% dan kesamaan pada isi 17.78%.
Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam
Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia”, Ictiar Baru Van Hoeve,
1994. Buku ini merupakan olahan hasil disertasi penulis yang
melakukan telaah kritis terhadap kerangka historis-konstitusional
mengenai demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sebagaimana
judul buku tersebut, maka pembahasan dalam karya ini terkait dengan
kedaulatan rakyat sebagai perwujudan law in action. Berdasarkan
hasil dari mesin pembanding “Utext Rikuz” maka kesamaan judul
4.35%, kesamaan nama peneliti 0% dan kesamaan pada isi 12.5%.
Sepanjang pemahaman penulis, belum ada tulisan yang
membahas Pertahanan Negara dengan menggunakan teori
kedaulatan negara dari Hans Kelsen dan Austin, yang dikombinasikan
dengan teori kedaulatan rakyat sebagai penyeimbang kekuasaan di
dalam suatu wilayah teritorial. Oleh karenanya, penelitian ini perlu
dilakukan, agar dapat memberikan kontribusi pemikiran baru dalam
perspektif yang berbeda, dan sebagai acuan akademik dalam
menunjang sistem pertahanan negara yang paling tepat dan ideal.
-
26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pandangan Filsafat tentang Hukum dan Negara
Dunia filsafat tidak terlepas dari peradaban bangsa Yunani-Romawi
yang telah banyak menginspirasikan berbagai pemikiran tentang
perkembangan konsep sejarah negara, politik, hukum dan perang.
Bahkan sampai hari ini, sebagian besar konsep-konsep tersebut, masih
dipergunakan oleh negara-negara modern, bahkan merupakan
pengembangan dari model yang telah dipratekkan sebelumnya oleh
kedua bangsa tersebut di atas khususnya di dunia Eropa.
Tentang negara, warisan pemikiran dalam karya Plato “Republic”
banyak mempengaruhi perkembangan kedua bangsa ini. Buku yang terdiri
dari tiga bagian utama tersebut, yaitu mengenai pembentukan negara
persemakmuran, tentang pendefenisian filsuf dan pembahasan mengenai
berbagai macam konstitusi dan berbagai kelebihan serta kekurangannya,
pada dasarnya berupaya untuk mendefenisikan keadilan yang lebih
mudah dicermati dalam bentuknya yang besar daripada kecil, sehingga
lebih baik menyelidiki apa yang bisa menciptakan negara yang adil
daripada menyelidiki apa yang bisa melahirkan individu yang adil.53
Persoalan kebenaran, kebaikan bahkan pencarian akan keadilan
merupakan inti pengajaran dunia filsafat di benua Eropa yang dipengaruhi
oleh para pemikir filsafat Yunani dan Romawi. Jika Filsafat Yunani
53 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Pustaka Pelajar, Cetakan ketiga, 2007, hal 146-161
-
27
dianggap sebagai hasil pemikiran manusia melalui akal budi yang dapat
mencapai kebenaran (karena manusia sebagai ciptaan Tuhan), maka
bangsa Romawi menyatakan bahwa kebenaran dan kebijaksanaan hanya
tertulis pada kitab suci (wahyu). Seringkali, filsafat Yunani dikatakan
sebagai Filsafat Kuno sedangkan Filsafat Romawi merupakan Filsafat
abad pertengahan (bahkan filsafat modern).54
Pada masa Yunani Kuno, hubungan Hukum buatan manusia dan
keadilan telah diperdebatkan dengan hangat oleh para filsuf. Hukum
mempunyai fungsi untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Karena
adanya hukum, kehidupan masyarakat tidak ditentukan semata-mata oleh
kepentingan mereka yang kuat, melainkan adanya suatu aturan rasional
yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak. Dengan
kata lain, hukum harus adil. Di era ini, gagasan dan paham hukum kodrat
yang dikembangkan oleh kaum Stoa (300-200 sesudah masehi) menitik-
beratkan pada akal budi (logos). Ilahi meresapi seluruh alam semesta,
termasuk segala tatanan alamiah, begitu juga kodrat manusia yang
mencerminkan akal budi Ilahi itu. Hidup sesuai dengan kodrat, berarti
hidup sesuai dengan tatanan Ilahi alam semesta.55
Akan tetapi ide keadilan tidak hanya disandarkan pada kesadaran
individu namun juga hukum. Hukum dan keadilan memiliki ikatan yang
sangat kuat (Plato). Keadaan sosiologi-politis menyebabkan terjadinya
pergesekan dan penggeseran kekuasaan di masa pemerintahan Romawi. 54 Poedjawijatna, Pembimbing kearah Alam Filsafat, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal 74-88 55 Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip dasar Moral Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kedelapan, 2016, hal 107-108
-
28
pada masa itu, orang Romawi terbagi atas dua klas sosial yaitu kaum
Patricia (patra= tanah) dan kaum Plebeia. Kaum Patricia adalah mereka
yang memiliki tanah sedangkan kaum Plebeia adalah mereka yang hanya
menjadi tukang dan petani. Kaum Patricia adalah kaum bangsawan
sedangkan Plebeia didukung oleh militer. Struktur sosial mereka pada
akhirnya berpengaruh terhadap hukum dan politik. Mereka sudah
mengenal pembagian kekuasaan antara Comitia, Magistrate dan senat.56
Walaupun demikian, baik tugas dan kewenangan yang ada pada ketiga
lembaga tersebut berbeda dengan pembagian kekuasaan di Indonesia.
Singkatnya, kehidupan politik pada waktu itu telah mengenal Demokrasi.57
Di bawah pemerintahan Agustus (pewaris tahta dan putra angkat
Julius Caesar) yang berkuasa pada 30 SM-14 M, Bangsa Romawi dan
Yunani (negeri jajahan) berada dalam periode kebahagiaan. Kebanyakan
bangsa Romawi tunduk secara sukarela kepada Agustus, namun bukan
karena kekuasaannya yang besar tetapi karena sistem pemerintahan
militernya yang disamarkan melalui keputusan senat. Pada masa ini,
Sistem konstitusi negara Romawi berbentuk Republik Aristokrasi dengan
pengaruh yang sangat besar dari militer. Kekuatan militer yang sangat
besar menekan para kaisar dan akibatnya, mereka (Serdadu) tak lagi
menjadi kekuatan tempur yang efektif; tak mampu menjadi kekuatan
56 Sebagai catatan: Comitia seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Indonesia, Magistrate mungkin sejajar dengan Mahkamah Konstitusi (MK), dan Senat dapat disejajarkan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 57 Dominikus Rato, Pengantar Filsafat Hukum, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2017, hal 241-245
-
29
pertahanan. 58 Pada saat inilah tercipta kondisi saling membutuhkan
dimana negara membutuhkan militer dan militer membutuhkan tentara,
logistik dan dukungan rakyat.59
Manifestasi keadilan dalam sistem konstitusi pemerintahan
Aristokrasi yang berwujud senat sebenarnya bermakna kekuasaan yang
berangsur-angsur terkikis oleh demokrasi. Namun, adanya polarisasi
dalam masyarakat Romawi, yaitu golongan senat, golongan menengah-
atas dan kaum petani, menciptakan kekuasaan golongan senat yang
nyaris tak terbatas, tanpa perduli pada kepentingan negara atau
kesejahteraan rakyatnya. Dampaknya adalah pengusiran terhadap
bangsa Etruska (pembantaian etnis) dan ekspansi bangsa Romawi ke
seluruh dunia. Namun, dalam keadaan konflik pada periode perang
saudara yang didasari oleh perilaku koersif para militer dan sikap balas
dendam dari mereka yang teraniaya, melahirkan suatu rumusan hukum
baru untuk meredam serta mengendalikan kekerasan yang terjadi.60
Solusinya adalah kompromi konstitusi ideal (kombinasi antara
unsur Monarki, Aristokrasi dan Demokrasi), yang awalnya merupakan
pemikiran-pemikiran kaum Stoa yang dihidupkan kembali oleh Polybius
dan Cicero. 61 Konsolidasi kekaisaran Roma untuk mengakhiri perang
58 Bertrand Russell , Loc.Cit. 59 Dominikus Rato, Loc.Cit; 60 Dominikus Rato, Ibid; Politik ekspansi Roma pada waktu itu, melahirkan rumusan hukum baru yang disebut hukum pidana, yang didahului oleh perilaku-perilaku koersif para militer dan sikap balas dendam dari mereka yang teraniaya. Jika sebelumnya telah dikenal hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum perdata dan dagang, maka dalam perkembangannya diperlukan hukum pidana untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam masyarakat. 61 Ibid.
-
30
saudara dan kekerasan pada akhirnya melahirkan sistem pemerintahan
Republik62 , dengan suatu pendekatan politik hukum administrasi yang
menghendaki penyelesaian sengketa secara politik tanpa harus melalui
lembaga peradilan. Namun, pengutamaan pola pendekatan politik dan
budaya secara kekeluargaan dalam menyelesaikan sengketa tidak berarti
meninggalkan hukum. 63 Sekolah hukum yang dibangun pada masa
pemerintahan Romawi mengidentifikasikan pemandangan terhadap
hukum dan pemikiran hukum yang tidak dapat diremehkan. Lahirnya Ius
respondi64, merupakan bentuk kepercayaan penguasa terhadap profesi
hukum, sehingga sejak saat itu banyak bermunculan sekolah-sekolah
hukum di Berytus (Beirut sekarang). Dalam perkembangan selanjutnya,
kerajaan-kerajaan baru yang muncul menggunakan nilai-nilai, azas-azas
dan norma hukum Romawi.65
Perkembangan kehidupan hukum yang menonjol pada bangsa
Romawi (bahkan Yunani), tentunya tidak terlepas dari keterlibatan
beberapa tokoh filsuf terkemuka yang hidup pada masa itu. Untuk
mengatasi banyaknya sengketa yang terjadi pada masa itu, filsuf dan para
pemikir telah memberikan kontribusi dalam cara pandang maupun solusi
untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Sehingga, konsep pemikiran
dari para filsuf tersebut perlu untuk diketahui, dikaji serta dipahami secara
lebih komprehensif. Oleh karena itu, beberapa pemikiran cemerlang dari
62 Res-publica bermakna pemerintahan yang dikembalikan pada rakyat 63 Dominikus Rato, Loc.Cit. 64 Ius respondi adalah hak untuk memberikan pandangan hukum atas nama kaisar terhadap suatu persoalan hukum; sejenis fatwa Mahkamah Agung 65 Dominikus Rato, Op.Cit, hal 246-247
-
31
filsuf-filsuf terkemuka yang hidup pada era atau masa tersebut akan
dipaparkan secara singkat, diantaranya :
1. Marcus Tullius Cicero ( 106-43 SM/BC)
Mengenai hukum dan negara, menurut pandangan Cicero adalah
merupakan perkumpulan orang banyak yang dipersatukan melalui suatu
aturan hukum berdasarkan kepentingan bersama. Sehingga pengertian
negara sebagai masyarakat moral sudah dilepaskan dan negara hanya
merupakan masyarakat hukum yang dalam pelaksanaannya harus
berpedoman pada hukum alam dan memajukan kepentingan umum.
Cicero menyatakan bahwa hukum yang benar “a true law” adalah adanya
kesesuaian antara akal “right reason” (penalaran yang benar) dengan
alam, hal ini merupakan kebutuhan universal, tidak berubah dan abadi
(kekal). Budi Tuhan menyatakan diri dalam hidup bersama manusia
melalui hukum alam. Oleh sebab itu, hukum alam merupakan pernyataan
budi Tuhan, yang bersifat menentukan apa yang adil dan apa yang tidak
adil di antara manusia dan di antara semua mahluk di dunia. Tidak ada
perbedaan pandangan antara Romawi dan Athena (Yunani); dalam hal ini,
merupakan hukum yang tetap untuk semua bangsa dan setiap saat.66
Persoalan tertentu yang berkaitan dengan hukum dan menjadi
pertanyaan yang berulang secara terus-menerus adalah tentang keadilan,
kesejahteraan dan kebenaran. Diantara ketiga hal ini, maka keadilan yang
paling menonjol karena hukum atau aturan perundang-undangan
66 Kumpulan Tugas Bahan Bacaan, Terjemahan Filsafat Hukum buku ke I dan Ke II, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, TT
-
32
seharusnya adil, namun seringkali dan bahkan terabaikan.67 Hukum akan
selalu berkaitan dengan keadilan walaupun secara empirik, kurang
disadari sepenuhnya. Menurut Cicero, “tidaklah mungkin mengingkari
karakter hukum sebagai hukum yang tidak adil, sebab hukum seharusnya
adil”. Keadilan merupakan persoalan fundamental dalam hukum.68
Menurut kaum naturalis, tujuan hukum adalah keadilan. Akan tetapi
di dalam keadilan ada sifat relativisme, karena sifatnya yang abstrak, luas
dan kompleks, maka tujuan hukum harus lebih realistis. Tujuan realistis
hukum adalah kepastian dan kemanfaatan. Namun demikian, meskipun
kaum positivisme lebih mengutamakan kepastian dan kaum fungsionalis
lebih mengutamakan kemanfaatan hukum, dapat dikatakan bahwa
“summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux”.69 Jadi walaupun
keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya, namun tujuan
hukum yang paling substansif adalah keadilan.
Keadilan berkaitan erat dengan hak-hak manusia yang terbagi
dalam 2 bagian yaitu hak alamiah (hak yang dibawa sejak menjadi
manusia) dan hak yang diberikan oleh negara (hak yang lahir karena
hukum). Adanya perbuatan yang dilakukan untuk merusak atau
menghilangkan hak-hak yang khususnya merupakan azasi, bertentangan
67 Dominikus Rato, Op.Cit, hal 58-63 68 Ibid, Menurut Cicero : hukum tanpa keadilan ibarat membuat gulai tanpa daging, hampir tak bermakna. Sebaliknya, keadilan tanpa hukum ibarat menyeberangi sungai tanpa jembatan, dan tertatih-tatih. 69 Ibid, Hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya; Keadilan menurut Aristoteles, unicuique suum tribuere (memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya); dan menurut Kant, honeste vivere, neminem laeder, suum quiqui tribuere/tribuendi. (janganlah merugikan orang lain).
-
33
dengan keadilan azasi. Seorang tokoh Romawi kuno, Aurelius Agustinus
yang hidup pada abad ke-4 mengatakan bahwa jika negara melakukan
kejahatan, maka dengan apa negara mempertahankan kewibawaannya?,
mereka hanyalah segerombolan penjahat saja. Oleh karenanya, untuk
melahirkan ketertiban, keadilan dan kemanfaatan tidak harus dengan
kekerasan melainkan mesti diupayakan dengan penegakan hukum.70
Sebagai seorang yang besar dan hidup di zaman pemerintahan
Romawi, Cicero merupakan salah seorang filsuf yang ditunjuk oleh
pemerintahan Republic Romawi untuk mengupayakan konsolidasi dalam
mengatasi dan mengakhiri perang saudara. Cicero merupakan seorang
pemikir yang ahli dalam bidang hukum dan politik. karyanya yang terkenal
adalah De Respublica (tentang politik) dengan teori-teorinya antara lain :
“bahwa suatu negara tidak dapat diperintah tanpa adanya keadilan”.71
Cicero, merupakan salah satu tokoh Romawi yang meneruskan
ajaran dari Sokrates, Plato dan Aristoteles (Yunani). Ajaran Cicero banyak
dipengaruhi oleh pandangan kaum Stoa khususnya tentang alam
semesta. Sebagaimana kebanyakan filsuf kaum Stoa Romawi yang
memandang semua studi teoritis berada di bawah etika serta logika
sebagai hal yang mendasar, Cicero memberikan pengaruh Stoisisme
yang sangat besar bagi bangsa Romawi yang dikombinasikan dengan
ajaran Plato tentang jiwa dan kehidupan. Dalam aliran filsafat Stoa, maka
pandangan tentang kesenangan dan segala kebaikan duniawi adalah
70 Ibid, vis legibus est inimica (kekerasan adalah musuh dari hukum) 71 Ibid.
-
34
tidak berharga sebab bertentangan dengan hukum alam, yang berarti
tidak pasrah terhadap kehendak Tuhan. Dengan demikian etika Stoa
dapat dinyatakan sebagai berikut : “tidak ada sesuatu yang baik, sesuatu
yang baik adalah kehendak yang diarahkan untuk memperoleh
kebaikan”.72
Dua hal penting yang berkaitan dengan pemikiran kaum Stoa
adalah ajaran tentang ilmu pengetahuan dan hak alamiah. Adalah kaum
Stoa (Romawi) yang memperkenalkan sekaligus membedakan doktrin
tentang Ius Naturale, Ius Gentium dan Ius Civille. Kaum Stoa berpendapat
bahwa sudah kodrat semua manusia setara dan sederajat; suatu negara
harus diselenggarakan dengan mengakui kesetaraan hak dan kebebasan
berbicara yang setara dan suatu pemerintahan oleh raja yang
menghormati kebebasan mereka yang dipimpin; meninggikan derajat
perempuan dan para budak; masa pemerintahan bangsa Romawi juga
yang pertama-kalinya memperkenalkan sistem pembagian kekuasaan
(separation of power). 73 Inilah beberapa pandangan filsafat bangsa
Romawi, yang hingga saat ini masih dipergunakan oleh negara-negara
modern dunia, dengan berbagai jenis modifikasi.
Pada masa abad filsafat zaman Renaissance (pencerahan) dan
zaman modern, warisan pandangan filsafat bangsa Romawi yang tersebut
sebelumnya di atas terutama yang berkaitan dengan perkembangan
hukum, diperkenalkan kembali baik oleh Grotius dengan pandangannya
72 Bertrand Russell, Op.Cit, hal 350-367 73 Ibid.
-
35
tentang pemisahan kekuasaan negara (Civitas Terrena) dan gereja
(Civitas Dei) serta perkembangan hukum bangsa-bangsa dengan
penghormatan terhadap Pacta Sunt Servanda, Hobbes dengan Trias
Politica dan Du Contract Social, John Locke dengan teori The Rule of
Law, Samuel Pufendorf tentang hukum alam yang berbasis pada dualistis
kodrati yaitu: kelemahan (Imbecillitas) di satu sisi dan keharusan untuk
hidup dalam persekutuan (Socialitas) pada sisi yang lain dengan konsep-
konsep mengenai teori hukum alam dan hukum negara, Montesqiau
dengan teori The Separation of Power, Jean Jaques Rousseau dengan
Teori Du Contract Social, Immanuel Kant dengan falsafah Transedental
dan idealisme Kritik maupun Hegel dengan idealisme hukum.74
Keanekaragaman pemikiran filosofis dari para filsuf tersebut
melandasi pergeseran-pergeseran sosial politik di negara-negara dunia.
Kepekaan terhadap masalah kebenaran, keadilan dan hak azasi manusia
untuk melepaskan diri dari penindasan baik di kalangan sendiri maupun
dari kolonialisme bangsa luar menyebabkan isu kebebasan dan
74 Dominikus Rato, Op.Cit, hal 251-296; mendahului para filsuf yang telah disebutkan di atas, masih terdapat beberapa filsuf lainnya yang juga membahas tentang Thomas Aquinas dengan filsafat Skolastik yang mengedepankan teknik Hermeneutika (penafsiran) dan Jean Bodin dengan lahirnya Kedaulatan Negara; sejarah Islam yang berkembang di Jazirah Arab juga membuat hukum yang didasari oleh Fiqh dan moral keislaman. Fiqh adalah pengetahuan tentang Syariat yang adalah pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban umat Muslim, juga tentang pahala dan sanksi. Syariat bersumber dari Al Qur’an, Hadist Nabi atau Sunnah Rasul dan Ijma’ (Ijtihad dan Qias) yang melahirkan ajaran integralistik artinya Islam sebagai iman dan Islam sebagai hukum yang diturunkan untuk mewajibkan manusia sebagai individu sekaligus anggota masyarakat yang tunduk pada Figh sebagai hukum kemasyalahatan. Ahli Figh yang terkenal di Eropa Timur (bekas Wilayah Konstantinopel) adalah Al Syafi’i yang diperkuat oleh tulisan-tulisan Ibn Sina dan Ibn Rushidi yang melanjutkan studi Aristoteles dan di bekas wilayah Romawi Barat dikenal Al-Farabi yang melanjutkan studi Plato. Sebagai tambahan, dalam masa abad pertengahan, lahirnya Magna Charta Liberatum (tahun 1215) yang mengakhiri konflik Inggris dan Prancis, merupakan perkembangan monumental sejarah lahirnya hukum modern yang membatasi kekuasaan absolut dan hukum dasar bagi jaminan kebebasan.
-
36
perdamaian dunia terus digalakkan, dengan tujuan kemerdekaan bangsa-
bangsa. Politik “3 G” (Gol, Gospel and Glory) yang di pelopori oleh
Bangsa Eropa dan Inggris dalam semangat kolonialisme, harus
berhadapan dengan konsep-konsep baru di bidang hukum, politik dan hak
azasi manusia yang menghendaki kebebasan dan perdamaian dunia yang
memicu lahirnya revolusi di seluruh dunia.75
Secara Khusus, gejolak revolusi di seluruh dunia menyebabkan
perkembangan yang cukup signifikan dalam konsep politik, hukum,
ekonomi dan teknologi termasuk militer. Di bidang militer, Kopral
Napoleon Bonaparte menjadi tokoh dibalik lahirnya organisasi militer yang
sangat rapi, terlatih dan keras/ kejam (militerisme) dengan struktur
komando yang sangat modern, yang kemudian diadopsi oleh militer di
seluruh dunia. Istilah kepangkatan seperti general, liutenant, sergent;
istilah kelompok seperti bataillon, regiment, peleton; nama senjata seperti
baionette, balistigue, mitrailleur; dan istilah gerakan seperti maneuvre, dan
sabotage adalah nama-nama yang sering digunakan oleh Napoleon
Bonaparte. Napoleon Code adalah hukum yang juga dikenal bahkan
sebagian masih diterapkan di Indonesia.76
75 Ibid. 76 Ibid.
-
37
2. Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Homo Homini Lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia
lainnya), merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Thomas Hobbes
dalam bukunya “leviathan” yang kemudian melahirkan istilah lainnya yaitu
Bellum Omnium Contra Omnes (semua melawan semua). Kedua istilah ini
lahir sebagai ungkapan ekspresi Hobbes untuk menilai keadaan perang
yang berkecamuk selama 30 tahun di Eropa, terjadinya ekploitasi manusia
dan hilangnya harkat dan martabat manusia. Dalam keadaan chaos
tersebut, Hobbes menawarkan suatu teori baru yaitu Du Contract Social.77
Teori tentang Perjanjian sosial lahir dari kesadaran bahwa manusia
tidak mungkin hidup dalam perang yang terus berkecamuk, sehingga
mereka harus membuat perjanjian. Dalam perjanjian tersebut, mereka
harus menyerahkan seluruh kekuasaan (hak) mereka kepada negara,
sehingga negara memiliki kekuasaan yang absolut dalam negara
monarchie. Adapun inti ajaran Thomas Hobbes adalah sebagai berikut :78
1) Status kodrat alam sehingga segala sesuatu bersifat “Bellum
Omnium Contra Omnes”
2) Untuk mencegah hal tersebut, maka manusia harus mencapai
perdamaian, bahkan wajib menerima dan mengakui dibatasinya
kebebasan dan berkomitmen untuk menjunjung tinggi persetujuan-
persetujuan yang telah dibuat.
77 Dominikus Rato, Op.Cit, hal 268-270 78 Ibid.
-
38
3) Harus dibuat contract sosial yang di dalamnya manusia harus
menyerahkan kekuasaannya kepada penguasa (raja, parlemen)
untuk memerintah mereka. pemerintah menguasai tanpa restriksi-
restriksi dan tidak dapat dipecat, bukan merupakan pihak dalam
kontrak dan hanya bertanggung jawab kepada Tuhan;
4) Walaupun demikian, penguasa harus bertindak sesuai dengan
hukum alam (moral);
5) Hak seorang warga negara untuk membela diri, tidak boleh dibatasi
oleh suatu perintah penguasa; dan
6) Kewajiban warga negara untuk menurut hanya ada selama
penguasa berwenang untuk menggunakan kekuasaan tersebut.
Leviathan merupakan suatu analogi dari seorang manusia tiruan
(artificial man) yang memiliki kedaulatan sebagai jiwa tiruan (artificial soul)
yang dibungkus dalam balutan perjanjian bersama (kontrak sosial).
Tentang Hasrat (keinginan) dan kehendak bebas (will), Hobbes
menyatakan bahwa hal tersebut tidak berbeda dengan nafsu (desire) dan
keengganan (aversion). Jika berkaitan dengan keinginan, maka “semua
baik” dan jika berhubungan dengan keengganan, maka “semua buruk”.
Semua manusia ingin mempertahankan kebebasannya dengan cara
menguasai orang lain, maka timbullah perang sesama manusia. Sehingga
cara untuk menghindari hal ini adalah dengan menyatukan diri dalam
komunitas-komunitas yang tunduk pada suatu otoritas sentral.79
79 Bertrand Russell, Op.Cit, Hal 717-731
-
39
Tujuan pembatasan kebebasan manusia adalah untuk menghindari
perang sebab manusia menyukai kebebasan sendiri dan kekuasaan atas
orang lain. Oleh karenanya maka kesepakatan diantara manusia bersifat
alami; meskipun semu sebab perjanjian tidak dapat dipaksakan dengan
pedang melainkan melalui kata-kata, namun perjanjian dibuat antara
sesama manusia untuk mematuhi penguasa pilihan mayoritas. Persatuan
manusia ini, kemudian disebut sebagai persemakmuran; “Leviathan”
dinamakan sebagai Dewa yang besar sekali.80
Kekuasaan kedaulatan dalam sistem Hobbes tidak terbatas, baik
berada di tangan individu maupun lembaga. Asumsinya, kepentingan
pokok adalah memelihara perdamaian internal dan doktrin anti
perdamaian tidak dibenarkan. Dalam hal ini, kepentingan raja identik
dengan kepentingan warga negara, sehingga pemberontakan adalah
kesalahan. Alasan ini memiliki kecenderungan bahwa Hobbes lebih
membela kekuasaan raja dibandingkan kekuasaan dewan. Meskipun
peran rakyat dalam sistem Hobbes berakhir setelah terpilihnya raja
(berakhirnya kebebasan rakyat), namun doktrin bahwa rakyat tidak boleh
menentang kehendak raja dibatasi oleh hak untuk menyelamatkan diri
yang bernilai absolut. Seorang manusia berhak untuk menolak perang,
ataupun tidak mematuhi perintah seorang raja yang tidak dapat
melindunginya.81
80 Ibid. 81 Ibid.
-
40
B. Kerangka Teori
Sudah menjadi hal yang hampir pasti, bahwa dalam suatu negara
hukum (rechtstaat), tujuan hukumlah yang menjadi salah satu indikator
penting dalam mengukur tingkat keberhasilan dari seluruh proses
bernegara. Hal ini tentunya berkaitan dengan 3 tujuan hukum (populer)
yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Namun, ketiga tujuan tersebut
hanyalah merupakan simbol belaka tanpa makna, jika tidak dibarengi
dengan tujuan politik dari suatu negara yang berorientasi pada
kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya.
Telah menjadi pertentangan yang fundamental dalam sejarah
peradaban manusia, sehubungan dengan keinginan untuk membentuk
keluarga, kelompok, lembaga atau negara, adalah keutamaan cita-cita
kollektivisme atau cita-cita Individualisme. Sumbangsih teori-teori oleh
para pakar diantaranya, Sokrates, Plato, Aristoteles dan Kaum de Stoa
serta para filsuf setelahnya terkait pertentangan tersebut, masih
menyisakan perbedaan pendapat yang belum dapat didamaikan. Secara
singkat, perbedaan pendapat para ahli pikir, ahli hukum dan ahli politik
tersebut, bertujuan untuk menemukan jawaban tentang manakah yang
lebih didahulukan (utama), perorangan atau masyarakat ataukah
kompromi diantara keduanya.82
Dimulai dengan pendapat kaum Stoik (aliran stoisisme), yang
meragukan kerangka negara atau republik (polis) Plato dan Aristoteles,
82 Bandingkan dengan Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 1, Pradinya Paramita, Cetakan 1, Jakarta, 2008, hal 42- 47
-
41
yang menyatakan bahwa umat manusia sebagai suatu komunitas yang
utuh: satu Tuhan, satu hukum dan satu negara, yang menurut doktrin
Stoa, kesatuan tersebut bukan karena Polis, namun dikarenakan
keberadaan komunitas orang-orang yang bijak. 83 Dengan demikian, de
Stoa menginterpretasikan bahwa hukum alam merupakan hukum yang
dibuat berdasarkan rasio manusia. Rasio manusia di seluruh dunia adalah
sama, karena berasal dari manusia yang memiliki harkat dan martabat
yang sama. Sehingga hukum yan