disertasidigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/digital... · 2021. 1. 15. · disertasi ini...

210
DISERTASI REVITALISASI SISTEM PERTAHANAN NASIONAL SEBAGAI PILAR KEDAULATAN NEGARA Revitalization of National Defence System As A Pillar for State Sovereignty Oleh : JEFFRY ALEXANDER CHRISTIANTO LIKADJA NIM : P0400313404 SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS HUKUM MAKASSAR 2017

Upload: others

Post on 27-Jan-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • DISERTASI

    REVITALISASI SISTEM PERTAHANAN NASIONAL

    SEBAGAI PILAR KEDAULATAN NEGARA

    Revitalization of National Defence System As A Pillar for

    State Sovereignty

    Oleh :

    JEFFRY ALEXANDER CHRISTIANTO LIKADJA

    NIM : P0400313404

    SEKOLAH PASCASARJANA

    UNIVERSITAS HASANUDDIN

    FAKULTAS HUKUM

    MAKASSAR

    2017

  • ii

  • iii

    PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

    Yang bertanda tangan di bawah ini :

    Nama : Jeffry Alexander Christianto Likadja

    Nomor Induk Mahasiswa : P.0400313404

    Program Studi : Ilmu Hukum

    Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Disertasi yang saya tulis ini,

    benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

    pengambil-alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian

    hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan

    Disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas

    perbuatan tersebut.

    Makassar, 09 Agustus 2017 Yang menyatakan,

    Jeffry Alexander Christianto Likadja

  • iv

    KATA PENGANTAR

    Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha

    Kuasa, karena dengan rahmat, berkat dan kasih karunianya sajalah, maka

    penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Adapun pemikiran

    yang menjadi gagasan dalam penelitian ini adalah permasalahan yang

    berkaitan dengan esensi kedaulatan negara dalam hukum internasional

    pada masa modern (kontemporer), khususnya terkait dengan pertahanan

    dan keamanan negara; kontekstualisasi sistem pertahanan negara yang

    berbasis pada prinsip self determination; dan revitalisasi kebijakan

    pertahanan dan keamanan nasional ideal, yang menunjang kedaulatan

    negara. Sepanjang pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini,

    peneliti banyak mengalami kendala dan hambatan, namun, dukungan dan

    bantuan baik berupa tenaga, sumbangan pemikiran, dorangan moril

    maupun materil dari berbagai pihak telah sangat membantu peneliti,

    sehingga pada akhirnya penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Oleh

    karena itu, pada kesempatan ini, ijinkan peneliti mengungkapkan dan

    menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

    tingginya kepada pihak-pihak yang terhormat dan saya banggakan,

    diantaranya :

    Pimpinan Universitas Hasanuddin, Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina

    Pulubuhu, M.A (Rektor Unhas), Bapak Prof. Dr. Ir. Junaedi Muhidong,

    M.Sc (Wakil Rektor I), BapaK Prof. Dr. Syamsul Bachri., SH., M.S (Wakil

    Rektor II), Bapak Prof. Dr. Ir. Abdul Rasyid, M.Si (Wakil Rektor III), dan

    Bapak Prof. dr. Budu, Phd., SPM(K) (Wakil Rektor IV). Pimpinan sekolah

    Pascasarjana Universitas Hasanuddin; Bapak Prof. Dr. Muhammad Ali,

    M.S (Dekan), Ibu Prof. Dr. Dr Suryani As’ad, M.Sc (Asisten Dekan I),

    Bapak Prof. Dr. Hamka, M.A (Asisten Dekan II), Bapak Dr. Ing. Herman

    Parung (Asisten Dekan III). Pimpinan Fakultas Hukum Universitas

    Hasanuddin, Ibu Prof. Dr. Hj. Farida Patittingi, SH., MH (Dekan), Bapak

    Prof. Dr. Ahmadi Miru, SH., MH (Wakil Dekan I), Bapak Dr. Syamsuddin

    Muchtar, SH., MH (Wakil Dekan II), Bapak Dr. Hamzah Halim, SH., MH

    (Wakil Dekan III) dan Bapak Prof. Dr. Abdul Razak, SH., MH (Ketua Prodi

    Program Doktor Ilmu Hukum). Terima kasih atas kesempatan yang

    diberikan kepada peneliti untuk menimba ilmu di Universitas Hasanuddin.

    Tim Promotor, Bapak Prof. Dr, Muhammad Ashri, SH., MH, sebagai

    Promotor dan Bapak Prof. Dr. Juajir Sumardi, SH., MH serta Ibu Prof. Dr.

    Marwati Riza, SH., M.Si selaku Co-Promotor, yang telah meluangkan

    waktu, tenaga dan pikiran, serta dengan tekun, sabar, telaten dan penuh

    perhatian, telah mencurahkan segala pengetahuan, pemahaman dan

  • iv

    kemampuan akademik masing-masing dalam membimbing dan

    memberikan masukan bagi peneliti, sehingga memperkaya dan

    menyempurnakan penulisan disertasi ini.

    Tim Penilai, Ibu Prof. Dr. Alma Manuputty, SH., MH, Bapak Prof.

    Dr. Syamsuddin Muhammad Noor, SH., MH, Bapak Prof. Dr. Marcel

    Hendrapati Yaparno, SH., MH, Bapak Prof. Dr. Marthen Napang, SH., MH,

    M.Si, yang telah memberikan kritikan, saran-saran dan masukan yang

    sangat membangun dan berguna serta menunjang penyempurnaan

    penelitian dan penulisan disertasi ini.

    Kepada yang terhormat, Bapak Anang Puji Utama, SH. M.Si,

    Direktur Peraturan dan Perundang-undangan (Dit Tur Per-UU) dan Bapak

    Brigadir Jenderal TNI (Brigjen) M. Nakir, Direktur kebijakan dan Strategi

    Pertahanan (Ditjakstra), kementerian Pertahanan Nasional (Kemenhan);

    Ibu Prof Dr. Bondan T Sofyan (Staf Ahli) dan Ibu Hj. Lina (staf) dari

    lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), yang telah menerima dan

    mengakomodir segala keperluan penelitian, terutama masukan data

    primer dan sekunder yang diperlukan oleh peneliti, selama melaksanakan

    penelitian pada kedua lembaga yang dimaksud.

    Orang tua tercinta, Drs. John Daniel Likadja (almarhum) dan Ny,

    Elisabeth Pakasi, yang telah mendidik dan mengayomi peneliti hingga

    saat ini. Cinta kasih dan pengorbanan yang tak terbalaskan dari beliau

    berdua sebagai orang tua, yang dengan ketulusan hati dan semangat

    yang luar biasa telah mengerahkan dan memberikan segenap

    kemampuan mereka, untuk menghantarkan anak-anak mereka

    mengecam pendidikan tinggi dengan segala keterbatasan yang ada.

    begitu pula dengan papa terkasih Prof. Frans Edward Likadja, SH (Alm),

    yang telah mengajar dan mengarahkan peneliti dalam menuntut ilmu di

    bidang hukum semasa dan selama menempuh pendidikan. Terima kasih

    buat semua kasih sayang dan curahan perhatian dari papa dan mama.

    Disertasi ini merupakan bukti nyata dari curahan dan limpahan kasih

    sayang serta pendidikan yang kalian berikan kepada peneliti.

    Kepada saudara-saudaraku terkasih, kakanda Frans James

    Likadja, ST., MM, Edward Leopold Likadja, S.H., dan adinda Maya Ruth

    Wacanno-Likadja, S.E., serta Jermy Marcel Likadja SP dan Vaya

    Tumbelaka SE, terima kasih atas segala bentuk pengorbanan, bantuan

    serta doa yang tak berkesudahan yang senantiasa mengiringi perjalanan

    peneliti selama menempuh pendidikan Doktor di fakultas Hukum

    Universitas Hasanuddin.

  • iv

    Kepada Papa dan Mama Mertuaku, Julius Lontoh dan Juliana

    Montolalu tersayang, terima kasih buat semua doa, dukungan, perhatian

    dan pengorbanan yang telah kalian berikan. Tak lupa pula, saudaraku

    terkasih Franky Natanel Lontoh (anky), yang telah sempat meluangkan

    waktunya untuk membantu peneliti dalam menyelesaikan proses

    penyusunan dan penulisan disertasi ini.

    Kepada saudara-saudaraku terkasih, Dra. Leely Loury Herewila

    Likadja, M.Sc, Ir. Rida Maleanti Herewila Likadja, Ir. Risel Diana Herewila

    Likadja, M.Sc, Rola Afreta Likadja, S.Si dan Philipus Irwan Ivada, Se.Akt.,

    MM, Wiggers Lucky Herewila Likadja, SH (Alm) dan Nike Tahitoe-Likadja,

    S.Si, Nanamayo Souisa, S.s dan Charles Mandalika, terima kasih buat

    doa, dukungan, dan keceriaan yang senantiasa mengiringi perjalanan

    peneliti dalam menempuh pendidikan dan penyelesaian penyusunan

    disertasi ini.

    Kepada keluarga kecilku, pasangan hidupku yang tercinta Franke

    Maria Lontoh (Anke), kedua anakku tersayang Caitlin Abigail Frykel

    Likadja dan Clayfort Adriel Likadja, terima kasih buat semua doa,

    pengertian, pengorbanan dan dukungan yang telah kalian berikan

    sepanjang hari dan waktu, yang memahami dan mengerti akan

    keberadaan dan kesulitan yang dihadapi oleh peneliti, sehingga

    senantiasa memberikan semangat dan motivasi yang sangat berarti,

    sehingga penulisan disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik.

    Teman-teman seperjuangan angkatan 2013 pada program Doktor

    Universitas Hasanuddin yang saya banggakan; (1) Dr.Sulhan, S.Pd., SH.,

    M.Si., M.Kn, (2) Dr. I Gusti Bagus Suryawan, SH., M.Hum, (3) Dr. Amaliah

    Aminah Pratiwi Tahir, SH., MH, (4) Dr. Ria Trisnomurti, SH., M.Kn, (5) Dr,

    Yulia, SH., M.Hum, (6) Suwito, SH., MH, (7) Anshar, SH., MH, (8)

    Kadaruddin, SH., MH, (9) Marwan Djafar, SH., MH, (10) Mansur Armin Bin

    Ali, SH., MH, (11) Muhammad Ilyas, SH., MH, (12) Almusawir Nansa, SH.,

    MH, (13) Bayu Arjuna, SH., MH, (14) Andi Risma, SH., MH, (15) Nur

    Insani, SH., MH, (16) Srigandawati, S.Ag, SH., MH, (17) Muslimah, SH.,

    MH, (18) Suwarti, SH., MH, (19) Marwah, SH., MH, (20) Rahman

    Syamsuddin, SH., MH, (21) Fitriah Ingratubun, SH., MH (22) St.

    Rahmawati, SH., MH, (23) St. Ulfah, SH., MH, dan (24) Audyna Mayasari

    Muin, SH., MH. Terima kasih buat kebersamaan dan semangat

    persaudaraan yang telah terjalin selama ini. Teriring doa dan salam

    sukses buat kita semua.

    Teman-teman sekaligus sahabat-sahabat yang tergabung dalam kelompok diskusi kecil, yang telah memberikan banyak masukan, saran dan sumbangan pemikiran bagi pengembangan keilmuan masing-masing; pak Wito, ibu Ria, pak Kadar, pak Suryawan, pak Anshar, dan pak

  • iv

    Marwan, terima kasih buat dukungan, bantuan dan diskusi yang berkualitas selama ini. Semoga semangat persaudaraan ini tetap terjalin sepanjang masa. Teruslah saling memberikan motivasi dalam membentuk dan membangun idealisme keilmuan yang berkontribusi bagi kemajuan ilmu hukum di masa depan.

    Para sahabat dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat penulis ungkapkan satu persatu, terima kasih atas kesempatan, perhatian dukungan serta doa yang tulus, yang senantiasa terucap dalam kebersamaan kita selama ini. Semoga kebaikan Bapak, ibu, saudara-saudariku sekalian, mendapatkan balasan yang setimpal atas semua amal dan kebaikan yang telah kalian berikan kepada peneliti.

    Akhir kata, semoga disertasi ini dapat memberikan sumbangsih

    pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang

    kajian ilmu hukum dan dapat menjadi referensi serta rekomendasi bagi

    peneliti-peneliti selanjutnya, yang memiliki perhatian dan keinginan,

    terutama dalam mengembangkan ilmu hukum khususnya bidang hukum

    internasional.

    Makassar, 09 Agustus 2017

    Jeffry Alexander Ch Likadja

  • v

  • vi

  • vii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    Halaman Judul i

    Halaman Pengesahan ii

    Pernyataan Keaslian Disertasi iii

    Kata Pengantar iv

    Abstrak v

    Abstract vi

    Daftar Isi vii

    Daftar Tabel viii

    Daftar Gambar ix

    Daftar Singkatan x

    I. Pendahuluan 1

    A. Latar Belakang Masalah 1

    B. Rumusan Masalah 21

    C. Tujuan Penelitian 22

    D. Kegunaan Penelitian 22

    E. Orisinalitas Penelitian 23

    II. Tinjauan Pustaka 26

    A. Pandangan Filsuf tentang Hukum dan Negara 26

    1. Marcus Tulius Cicero (106-43 SM/BC) 31

    2. Thomas Hobbes (1588-1679 M) 37

    B. Kerangka Teori 40

    1. Kedaulatan Negara 45

    2. Kedaulatan Rakyat 58

  • vii

    3. Pembagian kekuasaan 64

    C. Kerangka Konseptual 74

    1. Negara Hukum (rechstaat) dan

    Rule Of Law 78

    2. Konsep-konsep hubungan antara Hukum

    dan Manusia 90

    a. Kebebasan 90

    b. Kekuasaan 97

    c. Perintah 100

    d. kewajiban 104

    3. Sanksi dan Delik 107

    4. Legitimasi 115

    5. Individu dan Hukum 119

    6. Tinjauan tentang Sistem Hukum : 123

    a. Putusan Hukum 123

    b. Aturan-aturan Hukum 125

    c. Primery 127

    d. Secondary 128

    7. Identitas 130

    D. Hukum Tentang Sistem Pertahanan Negara 132

    1. Instrumen Hukum Internasional tentang

    Pertahanan Negara 132

    2. Ketentuan Hukum Nasional

    tentang Pertahanan Negara 139

    3. Pancasila sebagai Landasan Idiil Pertahanan

    Nasional 141

    4. Aspek-aspek Strategis Pertahanan Nasional 147

    a. Organisasi Militer 148

    b. Industri Pertahanan Militer 152

    c. Tenaga Ahli atau Profesi 155

    d. Sarana dan Prasarana 159

  • vii

    e. Warga Negara dan Bela Negara 161

    f. Sumber Daya Alam

    (Ketahanan Pangan dan Energi) 165

    5. Sistem Pertahanan Semesta 172

    6. Sistem Pertahanan Non Militer 175

    7. Cold War (Perang Dingin) 179

    E. Kerangka Pikir 184

    1. Hubungan antar Variabel dan Indikator 184

    2. Bagan Kerangka Pikir 187

    3. Definisi Operasional 188

    III. Metode Penelitian 192

    A. Tipe Penelitian 192

    B. Pendekatan Penelitian 193

    C. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 193

    IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan 195

    1. Esensi Kedaulatan Negara dalam Hukum

    Internasional Kontemporer terkait Pertahanan dan

    kemananan Negara 195

    a. Perintah dalam Hukum Internasional 202

    b. Kewajiban terkait Penggunaan Kekuatan Militer 208

    c. Sanksi Hukum Internasional 211

    d. Validitas 242

    2. Sistem Pertahanan dan Keamanan Nasional

    Berbasis Prinsip Self-Determination 257

    a. Domestic Sovereignty 268

    b. Interdependence Sovereignty 297

    c. Aspek Primery dalam sistem Pertahanan negara 313

    d. Aspek Secondary dalam Sistem

    Pertahanan negara 323

  • vii

    3. Revitalisasi Kebijakan pertahanan dan keamanan

    nasional ideal yang menunjang kedaulatan negara 348

    a. Kolektifitas dalam sistem Pertahanan Negara 348

    b. Individu 359

    c. Kebebasan 371

    d. Identitas 378

    V. Penutup 382

    A. Kesimpulan 382

    B. Saran 384

    Daftar Pustaka 386

  • viii

    DAFTAR TABEL

    DAFTAR TABEL Halaman

    Tabel 1. Perbandingan Inti Teori Locke dan Rousseau 71

    Tabel 2. Perbedaan antara Rechstaat dan Rule of Law 86

    Tabel 3. Unsur-unsur Rechstaat dan Rule of Law terkait Individual Liberty 91

    Tabel 4. Anggaran Pertahanan Militer 271

    Tabel 5. Perbandingan Konsep Jakumhaneg 281

    Tabel 6. Pembajakan dan Perompakan Bersenjata di Kapal Laut 334

    Tabel 7. Kekuatan Militer Dunia 342

    Tabel 8. Data Anggaran Pertahanan dan Luas Wilayah Negara 346 Tabel 9. Perbandingan Kekuatan Militer Negara-Negara Asean 350 Tabel 10. Jumlah Personil Militer Aktif Negara-Negara Asia dan

    Asian Tenggara 366

  • ix

    DAFTAR GAMBAR

    Daftar Gambar Halaman

    Gambar 1. Upaya Membangun Sarana-Prasarana Pertahanan Negara 160

    Gambar 2. Perkembangan Konsep Cadangan Sebagai Komponen Bela Negara 292 Gambar 2, Penyusunan Kembali FIR Singapore

    dan FIR Jakarta 310

  • x

    DAFTAR SINGKATAN

    Asean : Association of Southeast Asian Nations

    ADMM : Asean Defence Ministers Meeting

    APSC : Asean Political-Security Community

    ARF : Asean Regional Forum

    ABK : Anak Buah Kapal

    ADIZ : Air Defence Identification Zone

    ASAM : Asean Single Aviation Market

    ATFM : Air Traffic Flow Management System

    CMR : Civil-Military Relation

    CFSP : The Common Foreign and Security Policy

    CARAT : Cooperation Afloat Readiness abd Training

    CFE : Treaty on Conventional Armed Forces In Europe

    CAT : Category

    CCP : China Communist Party

    C4ISR : Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance and Reconnaissance

    D.K PBB : Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa

    DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

    EMD : European Missile Defence

    ECOSOC : The United Nations Economic and Social Council

    EU : European Union

    ECSC : European Coal and Steel Community

    EAEC : European Atomic Energy Community

    FAA : Federation Aviation Administration

    FIR : Flight Information Region

  • x

    GLCM : Grounded Launched Cruise Missile

    GFP : Global Fire Power

    HAM : Hak Asasi Manusia

    Hanneg : Pertahanan Negara

    ICW : Indonesian Corruption Wacth

    ICJ : International Court Of Justice

    IISS : The International Institute For Strategic Studies

    ILO : International Labour Organization

    IMT : International Monitoring Team

    ICMM : International Committee Of Military Medicine

    ICAO : International Civil Aviation Organization

    Jakumhaneg : Kebijakan Umum Pertahanan Negara

    JIDD : Jakarta International Defence Dialogue

    Lemhannas : Lembaga Pertahanan Nasional

    LCS : Laut Cina Selatan

    LOSC : Law of The Sea Convention

    Menhan : Menteri Pertahanan

    MOU : Memorandum of Understanding

    MEF : Minimun Essential Force

    MBFR : Mutual Balance Force Reduction

    MSG : Melanesia Spearhead Group

    MILF : Moro Islamic Liberation Front

    MONUSCO : The UN Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo

    MINUSCA : United Nations Multidimensional Integrated Stabilization Mission in the Central African Republic

    MINURSO : The United Nations Mission for the Referendum in

    Western Sahara

  • x

    MINUSMA : The United Nations Multidimensional Integrated

    Stabilization Mission in Mali

    NATO : North Atlantic Treaty Organization

    NCW : Network Centric Warfare

    NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

    OAS : Organization of American States

    PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

    PM : Prime Minister

    PCA : Permanetn Court of Arbitration

    PLA : People’s Liberation Army

    PIF : Pacific Islands Forum

    POLRI : Kepolisian Reublik Indonesia

    PMK : Peraturan Menteri Keuangan

    PP : Peraturan Pemerintah

    PMD : Poros Maritim Dunia

    ReCAAP : Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia

    RDTL : República Democrática de Timor Leste RMA : Revolution in Miliatry Affairs SAF : Singapore Armed Forces

    SDA : Sumber Daya Alam

    SDB : Sumber Daya Buatan

    SDM : Sumber Daya Manusia

    Sishanrata : Sistem Pertahanan Rakyat Semesta

    SM/ BC : Sebelum Masehi/ before Christ

    Sekjen : Sekretaris Jenderal

  • x

    SOMS : Straits of Malaca and Singapore

    SEANWFZ : The Southeast Asian Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty

    Tap MPR : Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

    TFEU : The Treaty On The Functioning of The European Union

    TEC/ TEU : the European Community/ Union

    TNI : Tentara Nasional Indonesia

    U.N Charter : United Nations Charter

    UNIDO : United Nationalist Democratic Organization

    USSOUTHCOM : United State South Command

    USNORTHCOM : United State North Command

    USEUCOM : United State Europe Command

    USCENTCOM : United State Central Command

    USPACOM : United State Pasific Command

    UNCLOS : United Nation Convention On The Law of Sea

    UNIFIL : The United Nations Interim Force in Lebanon

    UNAMID : United Nations - African Union Mission in Darfur

    UNISFA : United Nations Interim Security Force for Abye

    UNMIL : United Nations Mission in Liberia

    UNMISS : United Nations Mission In South Sudan

    ZOPFAN : The Zone of Peace, Freedom and Neutrality

  • 1

    BAB 1 PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Saling ketergantungan yang kompleks antar manusia dalam

    komunitas internasional, membuat istilah Sovereignty, yang dulunya

    merupakan tembok utama dalam membatasi masuknya kedaulatan

    lain serta berfungsi sebagai rambu-rambu dalam mengatur lalu lintas

    interaksi antar negara, mengalami deviasi makna, bahkan telah

    menjadi residu dari pemaknaan awalnya. Konsekuensinya, harga

    tertinggi yang harus dibayar dalam suatu relasi antar negara dalam

    komunitas internasional, pada prinsipnya akan menggeser makna dan

    nilai-nilai kedaulatan dalam satu negara. Bahkan, dalam perspektif

    politik internasional, kedaulatan tidak lagi menjadi pembatas bahkan

    penghalang, dalam mencapai tujuan bersama antar masyarakat dunia

    maupun umat manusia.

    Awalnya, kedaulatan negara tidak saja merupakan apresiasi

    dari negara lain (eksternal) yakni berupa pengakuan atas eksistensi

    dan penguasaannya terhadap suatu wilayah teritorial, namun secara

    internal, kedaulatan dulunya dipandang sebagai konkretisasi delegasi

    kekuasaan yang dimiliki oleh individu-individu (keluarga) yang

    dimandatkan kepada negara (Electorate).1 Kemudian, negara melalui

    organ-organ yang dimilikinya, mendelegasikan kekuasaan yang ada

    padanya, kepada seseorang (penguasa) dan atau kepada 1 C.F Strong, Konstitusi–Konstitusi Politik Modern, Nusa Media, Bandung, 2010, hal 9

  • 2

    sekelompok orang (pemerintah), yang dianggap mampu dan pantas

    dalam mengelola kekuasaan tersebut. 2 Sesungguhnya, Kedaulatan

    murni merupakan hasil dari kepentingan pribadi individu secara

    rasional, yang menggantikan hasrat tidak rasional. Inilah inti dari

    doktrin Hobbes mengenai kedaulatan yang adalah rasional dan

    utilitarian.3

    Adalah Hobbes yang pertama kali mencetuskan teori tentang

    kedaulatan. Kemudian Jean Bodin 4 , mengelaborasi lebih rinci

    bagaimana seseorang yang berdaulat, selalu berada di luar hukum.

    Namun di sisi lain, juga aktif menciptakan dan memberlakukan hukum

    kepada masyarakatnya tanpa persetujuan mereka. Dapat dikatakan,

    seluruh teori kedaulatan pada abad pertengahan setelah Hobbes,

    adalah Hobbesian.5

    Menurut Hizkia Yosie Polimpung6, gagasan Hobbes berawal

    dari sifat dasar manusia, yang dianalogikan dengan serigala (lupus).

    Maka, pada kondisi Homo Homini Lupus, manusia menjadi serigala

    bagi manusia lainnya. Kondisi ini oleh Hobbes disebut sebagai kondisi

    alamiah (state of nature), dan diktum yang berlaku adalah bellum

    omnium contra omnes (perang semua melawan semua). Tepat pada

    2 Ibid, Hal 8 3 Bandingkan dengan W. Friedman, Teori & Filsafat Hukum, Susunan III, Rajawali Pers, 1990, hal 244 4 Hizkia Yossie Polimpung, Asal-usul Kedaulatan, Kepik, Jawa Barat, 2014, hal 131 5 Ibid. 6 Ibid.

  • 3

    kondisi inilah, para lupus membutuhkan lahirnya suatu Leviathan

    untuk meredam dan memberi mereka rasa aman. Dalam suatu latar

    kontraktual, para lupus memberikan uang, hak dan kepatuhan

    mereka, yang kemudian terakumulasi serta memposisikan Leviathan

    sebagai sesuatu yang absolut. Hak-hak dan kepatuhan ditukarkan

    dengan rasa aman dari Leviathan.7

    Doktrin ini pada prinsipnya menelaah kedaulatan dalam batas-

    batas teritorial negara, sehingga sering juga dikatakan sebagai

    kedaulatan internal tanpa batasan kekuasaan pembuat hukum dari

    kedaulatan. Bahkan pada zaman kekuasaan monarki absolut,

    kedaulatan sering dikaitkan dengan teori “kedaulatan mutlak”, yang

    secara singkat dapat dijelaskan bahwa para warga negara

    menjalankan kepatuhan berdasarkan kebiasaan, dan pemegang

    kedaulatan tidak menjalankan kepatuhan terhadap siapapun juga

    berdasarkan kebiasaan.8

    Sangat disayangkan, logika ini gugur saat berhadapan dengan

    kenyataan. Leviathan justru memakan Lupus-lupus yang telah

    membayarnya, dengan mengirim mereka untuk berperang. Bahkan,

    dalam logika kritis, teori Leviathan dilihat sebagai teori yang dipakai

    oleh orang-orang yang ingin merebut kursi Leviathan berikut

    kekuasaan dan keuntungan ekonominya. Mereka menggunakan

    7 Ibid. 8 H.L.A Hart, The Consept Of Law, Nusa Media, Bandung, 2010, hal 80

  • 4

    jargon Leviathan dan berjanji untuk mengupayakan kesejahteraan dan

    keamanan bersama, apabila para lupus (manusia-manusia)

    menyerahkan sebagian hak dan kepatuhannya. Namun

    sesungguhnya, yang dicari Leviathan adalah kekuatan dari para

    lupus, sehingga memperoleh kekuasaan absolut. 9

    Pemahaman yang sedikit berbeda nampak dalam pandangan

    J.J Rousseau tentang kedaulatan, yang menyatakan bahwa

    kepatuhan penduduk terhadap kedaulatan tidak lain merupakan

    kepatuhan terhadap semua orang yang berdaulat. 10 Namun, perlu

    ditekankan bahwa kekuasaan yang diberikan kepada penguasa,

    hanyalah berdasarkan kesukarelaan masyarakatnya, yang telah

    berjanji menghargai perjanjian yang telah dibuat (consensus),

    sehingga kekuasaan yang sesungguhnya tetap berada pada

    masyarakat dan tidak pernah diserahkan kepada individu lainnya

    secara mutlak. 11

    Sublimasi kegelisahan manusia akan keberadaannya

    (eksistensi) akan dorongan untuk bertahan hidup, membuat konsep

    negara berdaulat, merupakan manifestasi dari masyarakat (manusia),

    yang bertujuan menciptakan rasa aman, guna mengatasi kegelisahan

    akan eksistensi (keberadaan) manusia itu sendiri.12 Dalam perspektif

    9 Hizkia Yosie Polimpung, Loc.Cit, hal 133 10 Opcit, TT 11 Jean Jacques Rousseau, Kontrak sosial, Filsafat Hukum, UI, TT 12 Bandingkan dengan Hizkia Yosie Polimpung, Loc.Cit.

  • 5

    internal dimana negara dengan kedaulatannya memiliki kekuasaan

    tertinggi, bahkan melebihi kekuatan Undang-undang sekalipun, maka

    kekuasaan yang ada merupakan kekuatan yang utama, dalam

    melakukan upaya-upaya untuk mencapai kebebasan dan

    kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, sebagai apresiasi dari

    penyerahan kekuasaan dan kepatuhan oleh para pemegang awal

    kekuasaan.

    Oleh karenanya, maka setiap tindakan negara seharusnya

    mengacu pada kepentingan rakyat, yang senantiasa dapat diukur dan

    dipantau pelaksanaannya. Jika rakyat sebagai pemilik asal kekuasaan

    mengisyaratkan ketidak-puasan terhadap negara, maka sudah

    sepantasnya negara mengubah, mereformulasi dan mengganti

    kebijakan formal, sehingga dapat searah dan selaras dengan

    kehendak para pemegang kekuasaan sesungguhnya (asli), yang lebih

    berorientasi pada kekalnya keberadaan.

    Selain perspektif internal dari kedaulatan sebagaimana

    paparan di atas, maka secara ekternal, kedaulatan dimaknai secara

    terbatas dan juga sedikit berbeda dari pengertian pada mulanya.

    Diawali dari perjanjian Wesphalia (Tahun 1648), kedaulatan dipahami

    sebagai yurisdiksi penuh atas wilayah teritorial dan prinsip pengakuan

    kedaulatan bersama. 13 Dalam hal ini, negara-negara mengakui

    kedaulatan dalam wilayah teritorial masing-masing dan secara

    13 Ibid.

  • 6

    bersama-sama mengakui akan adanya kedaulatan lain, sebagai

    pembatas berlakunya kedaulatan wilayah ataupun teritorial dari para

    pemilik kekuasaan.

    Yurisdiksi Internal (teritorial) dan pengakuan bersama

    merupakan merupakan inti perjanjian Wesphalia 14 , yang oleh

    Magdalena Petronella Ferreira-Snyman, dijelaskan bahwa “the

    principle of absolute sovereignty of equal states came to be

    recoqnized as the foundation of modern international relations theory”.

    15 Dasar dari hubungan internasional modern, dibangun di atas prinsip

    kesetaraan, sehingga Kedaulatan tidak lagi dapat dipandang sebagai

    sesuatu yang mutlak dan absolut bagi suatu negara, karena

    kedaulatan satu negara (equal sovereingnty), justru menjadi pembatas

    kedaulatan negara yang lainnya.16

    Kesepahaman akan adanya kedaulatan yang sama bagi setiap

    negara (equal sovereingty), juga telah diadopsi dalam piagam

    perserikatan Bangsa-bangsa (selanjutnya disingkat Piagam PBB atau

    UN Charter), yang mengharuskan setiap negara diperlakukan secara

    seimbang dalam suatu komunitas masyarakat internasional. Maka

    dalam “The Friendly Relations Declarations of 1970”, penjabaran lebih

    jauh tentang kedaulatan yang seimbang bagi setiap negara, meliputi,

    keseimbangan; hak, kewajiban, ekonomi, dan politik, termasuk

    14 Hizkia Yosie Polimpung, Op.Cit, hal 135 15 Ibid. 16 Terjemahan Bebas

  • 7

    penghormatan terhadap negara lain, integritas teritorial dan politik,

    dan kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan

    ittikad baik (good faith) dan hidup berdampingan secara damai

    dengan negara lain.17

    Prinsip-prinsip internasional yang tersebut di atas, sebenarnya

    merupakan konsep “payung” (umbrella Concepts) 18 , yang pada

    dasarnya meliputi dua kepentingan utama yakni, kedaulatan dan

    hukum yang berimbang. Berdasarkan hal ini, negara sering

    menerapkan prinsip Non-intervention dalam menjustifikasi wilayah

    yurisdiksi masing-masing. Adapun wilayah (teritorial) yang merupakan

    tempat dilaksanakannya kekuasaan secara penuh, sebagaimana

    dikenal dalam doktrin-doktrin para ahli dan dipraktekkan oleh dunia

    internasional harus memiliki syarat-syarat yang meliputi : (a) stabil; (b)

    terbatas; dan (c) berlangsung terus menerus. 19

    Penerapan yurisdiksi atas wilayah suatu negara, ditegaskan

    secara lebih konkret dalam konsep negara sebagaimana yang

    dicantumkan dalam konvensi Montevideo tahun 1933 tentang syarat-

    17 Ibid. Hal 17 18 Ibid. 19 Giovanni Distefano, Theories on Territorial Sovereignty: A Reappraisal, Journal of Sharia & Law, issue No. 411 Muharram 1431 H, January 2010, pages 26, As far as the main features of the territory are concerned, it is generally recognized by the doctrine and consolidated practice that the territory must be (a) stable, (b) delimitated, (c) continuous. The first characteristic refers to the permanence of the residing population, thus excluding the phenomenon of nomadism. With regard to the second one, it has not to be interpreted in a restrictive manner when it is affirmed that the state’s territory has to be clearly delimited,... Finally, the third one refers to the continuity of State’s territory.

  • 8

    syarat negara20, yang meliputi wilayah, penduduk, pemerintah dan

    kemampuan untuk bekerja sama secara internasional. Jelas bahwa

    ke-4 (empat) syarat ini menjadi dasar suatu komunitas bangsa agar

    dapat di akui sebagai suatu negara yang berdaulat. Dengan kata lain,

    negara yang berdaulat adalah negara yang mampu melaksanakan

    yurisdiksi secara penuh atas ke-4 (empat) syarat negara tersebut.

    Menyadari akan hal ini, para perancang dan perumus undang-

    undang dasar negara kita pada tahun 1945 juga mendeklarasikan

    dengan tegas adanya prinsip kedaulatan negara Indonesia itu, baik

    dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasal UUD 1945. 21 Dan

    secara eksternal, demi menjaga keutuhan dan kedaulatan negara,

    diatur pula tugas konstitusional yang dibebankan kepada Tentara

    Nasional Indonesia (TNI) dalam Pasal 30 ayat (3) UUD 1945. 22 Pasal

    30 ayat (3) tersebut menentukan, “Tentara Nasional Indonesia terdiri

    atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai

    alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara

    keutuhan dan kedaulatan negara”.23 Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat

    3, juga ditegaskan bahwa; Bumi dan air dan segala kekayaan alam

    yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan

    20 Montevideo Convention On Rights and Duties of States, 1933, article 1 21 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Lingkungan; Demokrasi Versus Ekokrasi, disarikan sebagian dari materi buku Jimly Asshiddiqie, “Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945”, Rajagrafindo/Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal 1-2 22 UUD 1945, Visimedia, 2007, hal 39 23 Bab XII, Pertahanan dan Keamanan Negara, hal 74, Opcit

  • 9

    untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.24 Dari kutipan-kutipan di

    atas jelas tergambar bahwa UUD 1945 juga menganut ajaran

    kedaulatan negara dalam konteks eksistensi antar negara yang

    bersifat eksternal25, namun tetap berpegang pada kedaulatan wilayah

    nasional, sebagai modal dasar kesejahteraan rakyat.

    Berdasarkan penegasan dalam Pasal 30 ayat (3) dan Pasal 33

    (3) di atas, maka dapat dimaknai sebagai berikut : bahwa secara

    eksternal, kedaulatan berdasarkan konstitusi meliputi 3 (tiga) wilayah

    utama yaitu darat, laut dan udara, serta termasuk kekayaan alam yang

    terkandung di dalam wilayah-wilayah tersebut. Dengan demikian,

    maka sebagai bangsa yang berdaulat, Indonesia berhak dan

    berkewajiban secara penuh untuk menerapkan yurisdiksinya atas

    wilayah teritorial yang dimaksud.

    Selain ide kedaulatan dalam pengertian yang bersifat eksternal

    (hubungan antar negara), UUD 1945 juga dapat dikatakan menganut

    beberapa ajaran tentang kedaulatan dalam pengertian internal,

    terutama dalam hubungan antara negara dan warga negara dan

    antara sesama warga negara. Setidaknya UUD 1945 menganut 2

    ajaran secara eksplisit, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum

    yang berkaitan dengan ide demokrasi dan negara hukum. Bahkan,

    UUD 1945 juga mengakui adanya prinsip kekuasaan tertinggi yang

    24 Bab XIV, Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, Ibid. 25 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Lingkungan, Loc.Cit

  • 10

    bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa, di samping adanya praktik

    sistem kerajaan di daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang statusnya

    diakui dan dihormati menurut Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.26

    Bahwa dalam konstitusi Indonesia terdapat dikotomi dari kelima

    teori kedaulatan (Tuhan, Raja, Negara, Rakyat dan Hukum) baik yang

    tercantum secara eksplisit maupun secara implisit, memastikan

    adanya dinamika konsep bernegara di Indonesia, berdasarkan hukum

    dalam keadaannya yang hidup. 27 Peruntukkan Kedaulatan negara

    untuk menjaga pertahanan, keamanan, keutuhan, ketertiban,

    perlindungan dan penegakan hukum; kedaulatan rakyat demi

    demokrasi dan politik; kedaulatan hukum bagi konsep Rechstaat;

    kedaulatan Tuhan sebagai dasar negara dan; pemaknaan Kedaulatan

    Raja (implisit) sebagai bentuk pengakuan negara terhadap satuan-

    satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa

    (pasal 18B, UUD 1945) 28 , merupakan wujud ketegasan bangsa

    Indonesia untuk diakui dan mengakui adanya kedaulatan sebagai

    bagian dari identitas suatu negara.

    26 Perubahan Kedua UUD 1945 Tahun 2000, Pasal 18B ayat (1), “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. 27 Bandingkan dengan; Jimly Asshiddigie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaan di Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, hal 12-16 28 UUD 1945, Loc.Cit

  • 11

    Idealnya, pemaknaan kedaulatan yang tercermin dalam

    konstitusi Indonesia sebagai dasar negara, sudah sangat tegas, jelas

    dan mencerminkan keinginan negara ini untuk menjaga kedaulatan

    negaranya. Namun, ajakan harmonisasi global dalam kerangka

    pergaulan internasional menjadi penyebab utama terkikisnya makna

    kedaulatan.

    Agenda penyeragaman dalam berbagai bidang, terutama

    hukum, sebenarnya merupakan refleksi dari munculnya konsep-

    konsep kekinian, yang merubah pemahaman tentang makna

    kedaulatan (changing Nature of International Law). Sebut saja

    misalnya, Globalization, Global Governance dan International

    constitutionalism, akan berkonsekuensi pada kualitas hubungan

    antara hukum nasional dan hukum internasional.29 Sebab, walaupun

    hubungan internasional berkaitan dengan pengakuan timbal-balik

    serta upaya saling mendefinisikan satu sama lain30, namun menurut

    Krasner, pengakuan dan penerapan prinsip non-intervensi dalam

    urusan negara-negara lain misalnya, akan menjelma menjadi

    intervensi, yang sesungguhnya wajar dalam konteks hubungan

    internasional.31

    29 Magdalena Petronella Ferreira-Snyman, The Erosion Of State Sovereignty in Publik International Law, Disertation, faculty of Law, University of Johannesburg, 2009, pages 6-14 30 Walter Carlsnaes, et.al, Handbook of International relations, Cetakan I, Nusa Media, Bandung, 2013, hal 323-336 31 Krasner menyebut kedaulatan sebagai “kemunafikan terorganisir”, yang mengacu pada teori permainan yang stabil pada praktek kontradiktif penegasan wilayah-wilayah di satu sisi, dan praktek intervensi terus-menerus di lain sisi, Ibid.

  • 12

    Pendapat Krasner di atas cukup beralasan, sebab negara-

    negara dalam hukum internasional, terikat satu sama lain dalam hal

    pencapaian kemaslahatan bersama. Karena itu, kewajiban untuk

    menyelenggarakan kerja sama dalam upaya untuk mewujudkan

    maksud dan tujuan secara khusus, harus memperhatikan maslahat

    bagi negara-negara lain (jus cogens). 32 Sehingga, dalam

    menyelenggarakan pemerintahannya, negara wajib berada dalam

    garis-garis kaidah hukum internasional, yang bersifat umum dan

    mencakup seluruh negara. 33 Dengan demikian, dapat dikatakan

    bahwa negara dalam melaksanakan kedaulatannya, terikat dan

    tunduk pada prinsip-prinsip hukum internasional, sebagai batasan

    otoritas suatu negara berdaulat.

    Keberadaan Norma-norma internasional yang berstatus jus

    Cogens dan Erga Omnes seperti self-determination, indenpendencies

    dan sovereignty dengan 4 (empat) karakter utamanya yaitu internal

    authority, border control, policy autonomy dan non-intervention,

    seringkali menjadi pemicu terjadinya conflict of interest antar negara.

    Sebab negara sebagai subyek hukum internasional dengan

    kedaulatannya, memiliki kompetensi yang sama, untuk menafsirkan

    norma-norma internasional tersebut.

    32 Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Hukum Internasional dan Hukum Islam tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, TT, hal 153 33 Ibid.

  • 13

    Oleh Perdana Menteri (prime minister/PM) Dupuy diingatkan :

    “One of the features of international legal order derives from the fact that, within it, in principle, each subject has the competence, to interpret the meaning and scope of the rights and obligations he has by virtue of international norms”.34

    Salah satu bagian dari hukum internasional modern, berawal dari fakta bahwa, sebagai prinsip, setiap subyek (negara) memiliki kompetensi, untuk menginterpretasikan makna dan cakupan dari hak dan kewajiban yang dimilikinya dalam norma-norma internasional, (terjemahan bebas).

    Merupakan prinsip bahwa setiap negara memiliki kapasitas

    yang sama untuk memaknai maksud dari keberadaan suatu norma

    internasional. Sehingga, interpretasi oleh negara, terkadang menjadi

    masalah dalam suatu komunitas internasional yang merupakan

    kumpulan negara berdaulat dan desentralisasi kekuatan politik.35

    Keberadaan norma-norma internasional semisal perdamaian

    dunia (World Peace), dan Hak Asasi Manusia (Human Rights), sering

    ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai negara, sehingga untuk

    mencapai keseragaman (unification), sesuatu yang seharusnya

    menjadi urusan internal suatu negara, sering kali diintervensi oleh

    kedaulatan negara lain yang memiliki pengaruh (kekuasaan) besar

    dengan berlandaskan pada argumentasi universal yuridis tersebut.

    34 Ibid, page 4 35 Carlos Fernandez De Casadevante y Romani, Sovereignty and Interpretation of International Law, Springer, Universidad Rey Juan Carlos, Madrid, Chapter 1, page 3; ..., Interpretation of international norms is one of themes most closely linked to the practice of both international and domestic law, ...In spite of the advances made, the international community is still a society composed mainly of sovereign states and is chracterised by the decentralisation of political power.

  • 14

    Bahkan, dalam beberapa kasus tertentu, hukum internasional

    terkesan menjustifikasi penggunaan kekuatan bersenjata

    (empowering force) demi menegakkan konsep-konsep internasional

    tertentu, misalnya perlindungan Hak Asasi Manusia (human rights).

    Hal ini yang dulunya merupakan urusan internal suatu negara, namun

    saat ini, telah menjadi perhatian komunitas internasional. 36 Dalam

    bidang lainnya, semisal perdagangan dan ekonomi, instrumen

    intenasional seperti GATT (general agreement on traffic and Trade)

    dan WTO (World Trade Organization37, yang berisikan standarisasi

    transaksional yang sama bagi setiap negara, juga menyisakan ruang

    interpretasi yang terkadang menimbulkan intervensi, bahkan tak

    jarang bermuara pada sengketa antar negara. Sehingga, menurut

    Cotterrell, upaya unifikasi tersebut sekali lagi menolak relativisme

    kultural yang menuntut penghargaan terhadap perbedaan38,

    Adanya indikasi intervensi internasional yang mengarah pada

    bentuk ancaman terhadap kedaulatan, terekam secara baik dalam

    data media, baik secara nasional maupun internasional. Pada masa

    36 Bandingkan dengan, Magdalena Petronella Ferreira-Snyman, Op.cit, page 24-26 37 Lihat, John H Jackson, Sovereignty, The WTO and Changing Fundamentals Of International Law, Cambridge University Press, United States, 2006, pages 84-90; The WTO includes most of the GATT preamble language and also adds objective as follows: The Parties to this agreement, recoqnizing that their relations in the field of trade and economic endeavour should be conducted with a view to raising standards of living, ensuring full employment and a large and steadily growing volume of real income and effective demand, and expanding the production of and trade in goods and services, ..., Resolved, therefore, to develop an integrated, more viable and durable multilateral trading system encompassing the General Agreement on Tariffs and Trade, the results of past trade liberalization efforts, and all of the results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations. 38 Ibid.

  • 15

    lalu, isu keamanan tradisional cukup menonjol, yakni sehubungan

    dengan geopolitik dan geostrategis, di mana kekhawatiran dunia yang

    tertuju pada masalah pengembangan kekuatan militer dan senjata

    strategis serta hegemoni.

    Namun, isu keamanan pada dekade terakhir ini semakin

    multidimensional dengan meningkatnya aktivitas terorisme, kejahatan

    dunia maya, penyelundupan dan perdagangan manusia, narkotika,

    penangkapan ikan secara ilegal, dan kejahatan lintas negara lainnya.

    Bentuk-bentuk kejahatan tersebut semakin kompleks karena

    dikendalikan oleh aktor-aktor dengan jaringan lintas negara yang

    sangat rapi, serta memiliki kemampuan teknologi dan dukungan

    finansial. 39

    Ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan nasional

    diungkapkan oleh Bantarto Bandoro dengan menyebutkan 5 ancaman

    global selain terorisme. 40 Kelima ancaman tersebut adalah

    perdagangan ilegal di bidang: obat-obatan (drugs), senjata, hak milik

    intelektual, manusia dan uang. Sumber-sumber yang dimiliki oleh para

    pelaku kelima perang tersebut, yaitu-financial, sumber daya manusia

    dan teknologi demikian mengesankan sehingga mereka dapat

    bergerak dengan leluasa bahkan tanpa terdeteksi.

    39 INDONESIA : Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, Buku Putih Pertahanan Negara Republik Indonesia, Tahun 2003 40 Bantarto Bandoro, Masalah-masalah Keamanan Internasional Abad 21, Makalah, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 2003, Hal 8-18

  • 16

    Kejahatan Narkotika dan Obat-obatan berbahaya (Narkoba) di

    Indonesia sudah memasuki tahap yang mencemaskan. Walaupun

    demikian, negara belum mampu menangani masalah ini secara

    serius. 41 Secara global, perang terhadap Drugs adalah yang paling

    popular di antara kelima perang tersebut. Sebabnya, 85% Pemasukan

    kejahatan lintas negara terorganisasi berasal dari bisnis narkoba.42

    Jika dihubungkan di antara kasus kejahatan yang telah

    disebutkan di atas dengan wilayah teritorial negara, timbul kesan

    bahwa negara tidak mampu menegakkan yurisdiksi dalam wilayah

    nasionalnya. Sebab, hampir sebagian besar kejahatan tersebut,

    dilakukan dengan cara melintasi batas-batas wilayah kedaulatan

    suatu negara. Hal ini membuktikan bahwa negara tidak dapat

    mengamankan (secure) secara maksimal wilayah teritorialnya.

    Berkaitan dengan wilayah teritorial negara di daratan (border

    dispute), semisal sengketa pulau Sipadan-Ligitan diantara pemerintah

    Republik Indonesia dan Malaysia, yang oleh mahkamah internasional

    diputuskan memberikan wilayah tersebut kepada Pemerintahan

    Malaysia berdasarkan prinsip effective occupation, tidak hanya

    mempengaruhi garis-garis perbatasan darat (critical border) dan

    41 Narkoba Hancurkan Bangsa Ini, Kompas.com, diakses pada tanggal 15 Sepetember 2015, jam.11.00 42 Bisnis Narkoba, Pemasukan Utama Kejahatan Lintas-Negara, Kompas.com, Nasional, minggu, 20 September 2015, diakses pada tanggal 20 September 2015, jam 11.00

  • 17

    maritim (maritime boundaries) negara43 , namun juga telah membuat

    Malaysia lebih percaya diri untuk terus berupaya untuk mengintervensi

    wilayah teritorial Indonesia.

    Intervensi lainnya, di wilayah kedaulatan Indonesia sampai

    saat ini masih mewarnai pasang-surut kualitas hubungan antar

    negara. Adanya upaya untuk menggeser patok-patok wilayah teritorial

    di perbatasan pulau Kalimantan44, sengketa di wilayah perairan pulau

    Ambalat 45 , tindakan illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing

    bahkan intervensi kapal coastguard China di kepulauan Natuna

    terhadap otoritas pemerintah Indonesia46, yang berupaya melakukan

    penangkapan terhadap kapal-kapal pelaku illegal fishing, merupakan

    gambaran nyata akan adanya ancaman terhadap kedaulatan negara.

    Ancaman juga terjadi di wilayah udara Indonesia terutama

    kejadian internasional di selat Malaka, sebagai upaya intervensi yang

    dilakukan oleh kekuatan negara lain, masih terdeteksi hingga

    sekarang. 47 Tercatat sampai dengan November Tahun 2014, total

    sudah ada lima insiden pendaratan paksa pesawat, yaitu di Medan (2

    43 Marcel Hendrapati, Implikasi Kasus Sipadan & Ligitan atas titik pangkal dan delimitasi maritim, Arus Timur, Makassar, 2013, hal 1-8 44 Indonesia Terus Kehilangan Wilayah Teritorialnya, http://nasional.kompas.com, diakses tanggal 20 April 2016, jam 13.20 Wita 45 Jangan Biarkan TNI AL Sendirian di Ambalat!, http://news.kompas.com/read/2009/06/02, diakses pada tanggal 20 April 2016, pukul 13.00 46 Susi: China Harus Larang Kapal-kapalnya Tangkap Ikan di Perairan Indonesia!, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/03/21, diakses pada tanggal 22 Maret 2016, pukul 11.00 47 H Priyatna Abdurrayid, Kedaulatan negara di Ruang Udara, Fikahati Aneska dan BANI, Jakarta, 2003, hal 136-162

    http://nasional.kompas.com/http://news.kompas.com/read/2009/06/02http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/03/21

  • 18

    pesawat), Nusa Tenggara Timur (NTT), Pontianak, dan Manado. 48

    Sebagai tambahan, kawasan Selat Malaka dan daerah perairan Laut

    Natuna, wilayah udaranya sudah sejak tahun 1946 berada di bawah

    kekuasaan otoritas penerbangan Singapura, sehingga setiap pesawat

    yang akan terbang di wilayah Natuna harus memperoleh ijin terlebih

    dahulu dari pihak otoritas penerbangan Singapura. Padahal di wilayah

    tersebut, sangat berpotensi untuk terjadinya sengketa perbatasan

    (border dispute).49

    Pentingnya wilayah pertahanan udara, karena merupakan

    kekuatan pelindung untuk mendukung wilayah darat dan laut sampai

    ke batas Zona Ekonomi Eksklusif, menyebabkan wilayah tersebut

    menjadi benteng utama pertahanan. Terdapat 3 isu utama yang terkait

    dengan pertahanan udara yaitu, sabotase Komunikasi, operasi

    intelijen dan menguji wilayah pertahanan udara Indonesia. 50

    Fakta bahwa adanya ancaman terhadap wilayah kedaulatan

    Indonesia, menyebabkan aspek pertahanan dan keamanan negara

    menjadi sangat vital untuk diperkuat dan dipertahankan

    keberadaannya. Secara singkat, pertahanan negara memiliki dua

    defenisi yang penting, yaitu pengertian dalam aspek strategic

    definition dan aspek economic strategic defenition. Pada defenisi yang

    48 Kedaulatan Udara, Kepentingan Bangsa, http://nasional.kompas.com/read/2014/11/15, diakses pada tanggal 14 Janunari 2016, jam 10.00 49 Dua Jempol untuk Menteri Susi, http://nasional.kompas.com/read/2016/03/23, diakses pada tanggal 26 Maret 2016, jam 10.00 50 Kedaulatan Udara, Kepentingan Bangsa, Loc.Cit

    http://nasional.kompas.com/read/2014/11/15http://nasional.kompas.com/read/2016/03/23

  • 19

    pertama, pertahanan negara diartikan sebagai wujud konkretisasi

    kedaulatan negara yang sangat berkaitan dengan wilayah, yurisdiksi

    dan keamanan nasional (Montevideo convention). Pada pemahaman

    ini banyak menyinggung tentang fungsi tentara nasional Indonesia

    (selanjutnya disingkat TNI) sebagai komponen utama pertahanan

    negara, termasuk prasarana dan sarana penunjangnya. Sedangkan

    pada defenisi yang kedua, berhubungan dengan fungsi negara dari

    aspek Non-Militer, seperti pemberdayaan sumber-sumber ekonomi,

    sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), sumber

    daya buatan, termasuk seluruh sarana dan prasarana dari negara.

    Lalu, bagaimana realisasi kedua strategi ini dalam kehidupan

    berbangsa dan bernegara di Indonesia?.

    Bahwa kedaulatan negara, di wilayah teritorial Indonesia,

    terkesan belum dapat ditegakkan secara maksimal. Adanya berbagai

    upaya yang mengganggu implementasi kedaulatan domestik,

    khususnya terkait dengan pertahanan dan keamanan nasional

    (national security), seperti kejahatan perbatasan negara (illegal

    crossborder, drugs, trafficking, etc) bahkan intervensi penegakan

    hukum (law enforcement intervention) menjadikan kedaulatan

    nasional tidak lagi menjadi jati diri bangsa. Sulitnya membendung

    ancaman-ancaman kontemporer yang melintasi batas wilayah

    teritorial, menjadikan norma dan prinsip hukum internasional seperti

  • 20

    non-intervention, self determination, dan equal-sovereignty tidak

    efektif dan prospektif bagi eksistensi kedaulatan Negara Indonesia.

    Meskipun demikian, pemerintah melalui konstitusi negara

    telah mencantumkan secara tegas tentang keinginan bangsa

    Indonesia dalam menjaga kedaulatan wilayah teritorial. Pasal 30

    Undang-undang dasar 1945 jelas mengatur tentang Pertahanan dan

    Keamanan, yang dibebankan kepada 2 lembaga negara yaitu Tentara

    Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat TNI) dan Kepolisian.

    Bahkan untuk memastikan semua komponen bangsa menjaga

    kedaulatan negara, maka setiap warga negara memiliki hak dan

    kewajiban dalam bela negara (Pasal 27 ayat 3 UUD 1945).

    Namun, beberapa kasus yang telah disebutkan sebelumnya,

    menjadi bukti nyata tentang lemahnya komitmen negara (pemerintah)

    dalam mereformulasi dan mengkonstruksi konsep pertahanan yang

    tangguh, berbasis posisi geogstrategis dan geopolitis Indonesia,

    sebagai pendorong dan penyeimbang berbagai konflik yang terjadi di

    Asia.51 Kuat dugaan, kurangnya penegasan penerapan prinsip hukum

    internasional yang terkait dengan non-intervention, equal-sovereignty,

    dan self determination khusus dalam regulasi-regulasi di bidang

    pertahanan negara, dan sulitnya implementasi konsep-konsep

    pertahanan secara nasional, berimplikasi pada ketidaksiapan negara

    51 “Worst Case Scenario: Are You Ready To War Indonesia”, http://jakartagreater.com/, 01 Juni 2014, Diakses pada tanggal 2 November 2015, jam. 10.00

    http://jakartagreater.com/

  • 21

    dalam mengantisipasi dan mengatasi setiap tindakan, yang berpotensi

    mengancam pertahanan, keamanan, bahkan kedaulatan negara.

    Jika hal ini tidak disikapi secara serius oleh negara

    (pemerintah), maka Indonesia tidak akan pernah siap, untuk menjaga

    kedaulatan negaranya, khususnya berkaitan dengan posisi negara,

    sebagai suatu wilayah teritorial yang berpengaruh, baik di kawasan

    Asia Tenggara, maupun sebagai penyeimbang kekuatan di kawasan

    Asia Pasifik.52 Sehingga, diperlukan adanya pemahaman secara lebih

    komprehensif tentang pertahanan dan keamanan nasional, agar dapat

    menangkal, mengantisipasi dan mengatasi setiap ancaman

    internasional yang mengganggu kemaslahatan Manusia dan

    eksistensi wilayah kedaulatan (teritorial) suatu negara.

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimanakah esensi Kedaulatan Negara dalam hukum

    Internasional kontemporer (international legality) terkait Pertahanan

    dan Keamanan negara?

    2. Bagaimanakah kontekstualisasi sistem pertahanan negara yang

    berbasis prinsip self of determination?

    3. Bagaimanakah revitalisasi kebijakan pertahanan dan keamanan

    nasional ideal, yang menunjang kedaulatan negara?

    52 Ibid.

  • 22

    C. Tujuan Penelitian

    1. Melakukan studi tentang esensi kedaulatan negara yang

    mengalami evolusi dari masa ke masa, bahkan telah mengalami

    degradasi dan erosi makna, dan hingga saat ini (kontemporer)

    dipraktekkan oleh negara-negara dalam interaksi transnasional

    khususnya terkait dengan pertahanan nasional domestik serta

    kerjasama pertahanan antar negara, baik ditingkat regional maupun

    internasional.

    2. Mengkaji Implementasi prinsip-prinsip hukum internasional yang

    terkait dengan kedaulatan Negara dalam regulasi Pertahanan

    Negara, yang secara substansial telah mencerminkan penegasan

    tekad untuk menentukan nasib sendiri yang berbasis pada karakter

    dan potensi bangsa.

    3. Mengkaji kontekstualisasi revitalisasi kebijakan Pertahanan Negara,

    khususnya yang terkait dengan penerapan konsep pertahanan

    rakyat semesta yang ideal, dalam menunjang Indonesia sebagai

    negara berdaulat, baik domestik maupun di kawasan regional, serta

    internasional (global).

    D. Kegunaan Penelitian

    Penelitian dalam Disertasi ini diharapkan berguna untuk :

    1. Filosofis, memberikan cara pandang yang konstruktif dalam

    memahami dan memaknai pemaknaan dan penerapan prinsip-

  • 23

    sovereingty secara khusus, dalam perspektif hukum internasional

    maupun nasional yang kontemporer, yang dapat memperkuat dan

    meningkatkan Pertahanan Negara secara menyeluruh

    2. Teoritis, diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran dan

    pembaruan perspektif, sehubungan dengan penggunaan teori

    kedaulatan negara, khususnya dalam memperbarui konsep di

    bidang pertahanan dan keamanan Nasional.

    3. Praktis, sebagai konstribusi pemikiran akademik (konseptual),

    terkait dengan urgensi pengusulan dan pembentukan Rancangan

    Undang-undang Keamanan Nasional, Undang-undang Komponen

    cadangan (UU Komcad) maupun peraturan terkait lainnya, sebagai

    acuan hukum positif, dalam menunjang pertahanan dan keamanan

    Indonesia sebagai negara berdaulat, khususnya yang berpengaruh

    di kawasan Asia.

    E. Keaslian Penelitian Disertasi (Orisinalitas)

    Peneliti-peneliti terdahulu yang menulis disertasi dan buku-buku

    tentang prinsip kedaulatan (negara) dengan sudut pandang penelitian

    yang berbeda adalah :

    Maskun, “Interseksi Kejahatan Siber dan Kejahatan Agresi

    dalam Hukum Internasional Kontemporer”, PascaSarjana, Unhas,

    2015. Disertasi ini mengulas tentang menggunakan teori kedaulatan

    negara dari Jean Bodin dengan mengedepankan tiga aspek yaitu

  • 24

    aspek Eksternal, Aspek Internal dan Aspek teritorial. Berdasarkan

    hasil dari mesin pembanding “Utext Rikuz” maka kesamaan judul 0%,

    kesamaan nama peneliti 0% dan kesamaan pada isi 33.33%.

    M Adnan Madjid, “Perlindungan hukum Prajurit Tentara

    Nasional Indonesia (TNI) dalam Penyelenggaraan Pertahanan

    Negara”, Fakultas Hukum, PascaSarjana Unhas, 2012. Disertasi ini

    membahas tentang teori kedaulatan negara (Hugo Grotius) dan Teori

    Tanggung Jawab negara (state responsibility), dengan berfokus pada

    pembahasan mengenai penyelenggaraan pertahanan dan hukum

    humaniter. Berdasarkan hasil dari mesin pembanding “Utext Rikuz”

    maka kesamaan judul 12.5%, kesamaan nama peneliti 0% dan

    kesamaan pada isi 34.48%.

    Magdalena Petronella Ferreira-Snyman, “The Erosion Of State

    Sovereignty in Publik Internasional Law: Towards A World Law”.

    Dalam Disertasi ini, penulis yang bersangkutan membahas tentang

    perubahan-perubahan terkini terkait dengan hukum Internasional,

    khususnya sehubungan dengan kedaulatan negara. Sebagai

    kesimpulan, kedaulatan negara dalam penelitian ini, mengalami

    pengurangan makna, sehingga menjadi subjek dalam hukum

    internasional, yang tunduk pada ketentuan-ketentuan yang menjadi

    perhatian utama masyarakat internasional, dan pada akhirnya

    mengikat dan membatasi kedaulatan negara. Berdasarkan hasil dari

  • 25

    mesin pembanding “Utext Rikuz” maka kesamaan judul 11%,

    kesamaan nama peneliti 0% dan kesamaan pada isi 17.78%.

    Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam

    Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia”, Ictiar Baru Van Hoeve,

    1994. Buku ini merupakan olahan hasil disertasi penulis yang

    melakukan telaah kritis terhadap kerangka historis-konstitusional

    mengenai demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sebagaimana

    judul buku tersebut, maka pembahasan dalam karya ini terkait dengan

    kedaulatan rakyat sebagai perwujudan law in action. Berdasarkan

    hasil dari mesin pembanding “Utext Rikuz” maka kesamaan judul

    4.35%, kesamaan nama peneliti 0% dan kesamaan pada isi 12.5%.

    Sepanjang pemahaman penulis, belum ada tulisan yang

    membahas Pertahanan Negara dengan menggunakan teori

    kedaulatan negara dari Hans Kelsen dan Austin, yang dikombinasikan

    dengan teori kedaulatan rakyat sebagai penyeimbang kekuasaan di

    dalam suatu wilayah teritorial. Oleh karenanya, penelitian ini perlu

    dilakukan, agar dapat memberikan kontribusi pemikiran baru dalam

    perspektif yang berbeda, dan sebagai acuan akademik dalam

    menunjang sistem pertahanan negara yang paling tepat dan ideal.

  • 26

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    A. Pandangan Filsafat tentang Hukum dan Negara

    Dunia filsafat tidak terlepas dari peradaban bangsa Yunani-Romawi

    yang telah banyak menginspirasikan berbagai pemikiran tentang

    perkembangan konsep sejarah negara, politik, hukum dan perang.

    Bahkan sampai hari ini, sebagian besar konsep-konsep tersebut, masih

    dipergunakan oleh negara-negara modern, bahkan merupakan

    pengembangan dari model yang telah dipratekkan sebelumnya oleh

    kedua bangsa tersebut di atas khususnya di dunia Eropa.

    Tentang negara, warisan pemikiran dalam karya Plato “Republic”

    banyak mempengaruhi perkembangan kedua bangsa ini. Buku yang terdiri

    dari tiga bagian utama tersebut, yaitu mengenai pembentukan negara

    persemakmuran, tentang pendefenisian filsuf dan pembahasan mengenai

    berbagai macam konstitusi dan berbagai kelebihan serta kekurangannya,

    pada dasarnya berupaya untuk mendefenisikan keadilan yang lebih

    mudah dicermati dalam bentuknya yang besar daripada kecil, sehingga

    lebih baik menyelidiki apa yang bisa menciptakan negara yang adil

    daripada menyelidiki apa yang bisa melahirkan individu yang adil.53

    Persoalan kebenaran, kebaikan bahkan pencarian akan keadilan

    merupakan inti pengajaran dunia filsafat di benua Eropa yang dipengaruhi

    oleh para pemikir filsafat Yunani dan Romawi. Jika Filsafat Yunani

    53 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Pustaka Pelajar, Cetakan ketiga, 2007, hal 146-161

  • 27

    dianggap sebagai hasil pemikiran manusia melalui akal budi yang dapat

    mencapai kebenaran (karena manusia sebagai ciptaan Tuhan), maka

    bangsa Romawi menyatakan bahwa kebenaran dan kebijaksanaan hanya

    tertulis pada kitab suci (wahyu). Seringkali, filsafat Yunani dikatakan

    sebagai Filsafat Kuno sedangkan Filsafat Romawi merupakan Filsafat

    abad pertengahan (bahkan filsafat modern).54

    Pada masa Yunani Kuno, hubungan Hukum buatan manusia dan

    keadilan telah diperdebatkan dengan hangat oleh para filsuf. Hukum

    mempunyai fungsi untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Karena

    adanya hukum, kehidupan masyarakat tidak ditentukan semata-mata oleh

    kepentingan mereka yang kuat, melainkan adanya suatu aturan rasional

    yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak. Dengan

    kata lain, hukum harus adil. Di era ini, gagasan dan paham hukum kodrat

    yang dikembangkan oleh kaum Stoa (300-200 sesudah masehi) menitik-

    beratkan pada akal budi (logos). Ilahi meresapi seluruh alam semesta,

    termasuk segala tatanan alamiah, begitu juga kodrat manusia yang

    mencerminkan akal budi Ilahi itu. Hidup sesuai dengan kodrat, berarti

    hidup sesuai dengan tatanan Ilahi alam semesta.55

    Akan tetapi ide keadilan tidak hanya disandarkan pada kesadaran

    individu namun juga hukum. Hukum dan keadilan memiliki ikatan yang

    sangat kuat (Plato). Keadaan sosiologi-politis menyebabkan terjadinya

    pergesekan dan penggeseran kekuasaan di masa pemerintahan Romawi. 54 Poedjawijatna, Pembimbing kearah Alam Filsafat, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal 74-88 55 Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip dasar Moral Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kedelapan, 2016, hal 107-108

  • 28

    pada masa itu, orang Romawi terbagi atas dua klas sosial yaitu kaum

    Patricia (patra= tanah) dan kaum Plebeia. Kaum Patricia adalah mereka

    yang memiliki tanah sedangkan kaum Plebeia adalah mereka yang hanya

    menjadi tukang dan petani. Kaum Patricia adalah kaum bangsawan

    sedangkan Plebeia didukung oleh militer. Struktur sosial mereka pada

    akhirnya berpengaruh terhadap hukum dan politik. Mereka sudah

    mengenal pembagian kekuasaan antara Comitia, Magistrate dan senat.56

    Walaupun demikian, baik tugas dan kewenangan yang ada pada ketiga

    lembaga tersebut berbeda dengan pembagian kekuasaan di Indonesia.

    Singkatnya, kehidupan politik pada waktu itu telah mengenal Demokrasi.57

    Di bawah pemerintahan Agustus (pewaris tahta dan putra angkat

    Julius Caesar) yang berkuasa pada 30 SM-14 M, Bangsa Romawi dan

    Yunani (negeri jajahan) berada dalam periode kebahagiaan. Kebanyakan

    bangsa Romawi tunduk secara sukarela kepada Agustus, namun bukan

    karena kekuasaannya yang besar tetapi karena sistem pemerintahan

    militernya yang disamarkan melalui keputusan senat. Pada masa ini,

    Sistem konstitusi negara Romawi berbentuk Republik Aristokrasi dengan

    pengaruh yang sangat besar dari militer. Kekuatan militer yang sangat

    besar menekan para kaisar dan akibatnya, mereka (Serdadu) tak lagi

    menjadi kekuatan tempur yang efektif; tak mampu menjadi kekuatan

    56 Sebagai catatan: Comitia seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Indonesia, Magistrate mungkin sejajar dengan Mahkamah Konstitusi (MK), dan Senat dapat disejajarkan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 57 Dominikus Rato, Pengantar Filsafat Hukum, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2017, hal 241-245

  • 29

    pertahanan. 58 Pada saat inilah tercipta kondisi saling membutuhkan

    dimana negara membutuhkan militer dan militer membutuhkan tentara,

    logistik dan dukungan rakyat.59

    Manifestasi keadilan dalam sistem konstitusi pemerintahan

    Aristokrasi yang berwujud senat sebenarnya bermakna kekuasaan yang

    berangsur-angsur terkikis oleh demokrasi. Namun, adanya polarisasi

    dalam masyarakat Romawi, yaitu golongan senat, golongan menengah-

    atas dan kaum petani, menciptakan kekuasaan golongan senat yang

    nyaris tak terbatas, tanpa perduli pada kepentingan negara atau

    kesejahteraan rakyatnya. Dampaknya adalah pengusiran terhadap

    bangsa Etruska (pembantaian etnis) dan ekspansi bangsa Romawi ke

    seluruh dunia. Namun, dalam keadaan konflik pada periode perang

    saudara yang didasari oleh perilaku koersif para militer dan sikap balas

    dendam dari mereka yang teraniaya, melahirkan suatu rumusan hukum

    baru untuk meredam serta mengendalikan kekerasan yang terjadi.60

    Solusinya adalah kompromi konstitusi ideal (kombinasi antara

    unsur Monarki, Aristokrasi dan Demokrasi), yang awalnya merupakan

    pemikiran-pemikiran kaum Stoa yang dihidupkan kembali oleh Polybius

    dan Cicero. 61 Konsolidasi kekaisaran Roma untuk mengakhiri perang

    58 Bertrand Russell , Loc.Cit. 59 Dominikus Rato, Loc.Cit; 60 Dominikus Rato, Ibid; Politik ekspansi Roma pada waktu itu, melahirkan rumusan hukum baru yang disebut hukum pidana, yang didahului oleh perilaku-perilaku koersif para militer dan sikap balas dendam dari mereka yang teraniaya. Jika sebelumnya telah dikenal hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum perdata dan dagang, maka dalam perkembangannya diperlukan hukum pidana untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam masyarakat. 61 Ibid.

  • 30

    saudara dan kekerasan pada akhirnya melahirkan sistem pemerintahan

    Republik62 , dengan suatu pendekatan politik hukum administrasi yang

    menghendaki penyelesaian sengketa secara politik tanpa harus melalui

    lembaga peradilan. Namun, pengutamaan pola pendekatan politik dan

    budaya secara kekeluargaan dalam menyelesaikan sengketa tidak berarti

    meninggalkan hukum. 63 Sekolah hukum yang dibangun pada masa

    pemerintahan Romawi mengidentifikasikan pemandangan terhadap

    hukum dan pemikiran hukum yang tidak dapat diremehkan. Lahirnya Ius

    respondi64, merupakan bentuk kepercayaan penguasa terhadap profesi

    hukum, sehingga sejak saat itu banyak bermunculan sekolah-sekolah

    hukum di Berytus (Beirut sekarang). Dalam perkembangan selanjutnya,

    kerajaan-kerajaan baru yang muncul menggunakan nilai-nilai, azas-azas

    dan norma hukum Romawi.65

    Perkembangan kehidupan hukum yang menonjol pada bangsa

    Romawi (bahkan Yunani), tentunya tidak terlepas dari keterlibatan

    beberapa tokoh filsuf terkemuka yang hidup pada masa itu. Untuk

    mengatasi banyaknya sengketa yang terjadi pada masa itu, filsuf dan para

    pemikir telah memberikan kontribusi dalam cara pandang maupun solusi

    untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Sehingga, konsep pemikiran

    dari para filsuf tersebut perlu untuk diketahui, dikaji serta dipahami secara

    lebih komprehensif. Oleh karena itu, beberapa pemikiran cemerlang dari

    62 Res-publica bermakna pemerintahan yang dikembalikan pada rakyat 63 Dominikus Rato, Loc.Cit. 64 Ius respondi adalah hak untuk memberikan pandangan hukum atas nama kaisar terhadap suatu persoalan hukum; sejenis fatwa Mahkamah Agung 65 Dominikus Rato, Op.Cit, hal 246-247

  • 31

    filsuf-filsuf terkemuka yang hidup pada era atau masa tersebut akan

    dipaparkan secara singkat, diantaranya :

    1. Marcus Tullius Cicero ( 106-43 SM/BC)

    Mengenai hukum dan negara, menurut pandangan Cicero adalah

    merupakan perkumpulan orang banyak yang dipersatukan melalui suatu

    aturan hukum berdasarkan kepentingan bersama. Sehingga pengertian

    negara sebagai masyarakat moral sudah dilepaskan dan negara hanya

    merupakan masyarakat hukum yang dalam pelaksanaannya harus

    berpedoman pada hukum alam dan memajukan kepentingan umum.

    Cicero menyatakan bahwa hukum yang benar “a true law” adalah adanya

    kesesuaian antara akal “right reason” (penalaran yang benar) dengan

    alam, hal ini merupakan kebutuhan universal, tidak berubah dan abadi

    (kekal). Budi Tuhan menyatakan diri dalam hidup bersama manusia

    melalui hukum alam. Oleh sebab itu, hukum alam merupakan pernyataan

    budi Tuhan, yang bersifat menentukan apa yang adil dan apa yang tidak

    adil di antara manusia dan di antara semua mahluk di dunia. Tidak ada

    perbedaan pandangan antara Romawi dan Athena (Yunani); dalam hal ini,

    merupakan hukum yang tetap untuk semua bangsa dan setiap saat.66

    Persoalan tertentu yang berkaitan dengan hukum dan menjadi

    pertanyaan yang berulang secara terus-menerus adalah tentang keadilan,

    kesejahteraan dan kebenaran. Diantara ketiga hal ini, maka keadilan yang

    paling menonjol karena hukum atau aturan perundang-undangan

    66 Kumpulan Tugas Bahan Bacaan, Terjemahan Filsafat Hukum buku ke I dan Ke II, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, TT

  • 32

    seharusnya adil, namun seringkali dan bahkan terabaikan.67 Hukum akan

    selalu berkaitan dengan keadilan walaupun secara empirik, kurang

    disadari sepenuhnya. Menurut Cicero, “tidaklah mungkin mengingkari

    karakter hukum sebagai hukum yang tidak adil, sebab hukum seharusnya

    adil”. Keadilan merupakan persoalan fundamental dalam hukum.68

    Menurut kaum naturalis, tujuan hukum adalah keadilan. Akan tetapi

    di dalam keadilan ada sifat relativisme, karena sifatnya yang abstrak, luas

    dan kompleks, maka tujuan hukum harus lebih realistis. Tujuan realistis

    hukum adalah kepastian dan kemanfaatan. Namun demikian, meskipun

    kaum positivisme lebih mengutamakan kepastian dan kaum fungsionalis

    lebih mengutamakan kemanfaatan hukum, dapat dikatakan bahwa

    “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux”.69 Jadi walaupun

    keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya, namun tujuan

    hukum yang paling substansif adalah keadilan.

    Keadilan berkaitan erat dengan hak-hak manusia yang terbagi

    dalam 2 bagian yaitu hak alamiah (hak yang dibawa sejak menjadi

    manusia) dan hak yang diberikan oleh negara (hak yang lahir karena

    hukum). Adanya perbuatan yang dilakukan untuk merusak atau

    menghilangkan hak-hak yang khususnya merupakan azasi, bertentangan

    67 Dominikus Rato, Op.Cit, hal 58-63 68 Ibid, Menurut Cicero : hukum tanpa keadilan ibarat membuat gulai tanpa daging, hampir tak bermakna. Sebaliknya, keadilan tanpa hukum ibarat menyeberangi sungai tanpa jembatan, dan tertatih-tatih. 69 Ibid, Hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya; Keadilan menurut Aristoteles, unicuique suum tribuere (memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya); dan menurut Kant, honeste vivere, neminem laeder, suum quiqui tribuere/tribuendi. (janganlah merugikan orang lain).

  • 33

    dengan keadilan azasi. Seorang tokoh Romawi kuno, Aurelius Agustinus

    yang hidup pada abad ke-4 mengatakan bahwa jika negara melakukan

    kejahatan, maka dengan apa negara mempertahankan kewibawaannya?,

    mereka hanyalah segerombolan penjahat saja. Oleh karenanya, untuk

    melahirkan ketertiban, keadilan dan kemanfaatan tidak harus dengan

    kekerasan melainkan mesti diupayakan dengan penegakan hukum.70

    Sebagai seorang yang besar dan hidup di zaman pemerintahan

    Romawi, Cicero merupakan salah seorang filsuf yang ditunjuk oleh

    pemerintahan Republic Romawi untuk mengupayakan konsolidasi dalam

    mengatasi dan mengakhiri perang saudara. Cicero merupakan seorang

    pemikir yang ahli dalam bidang hukum dan politik. karyanya yang terkenal

    adalah De Respublica (tentang politik) dengan teori-teorinya antara lain :

    “bahwa suatu negara tidak dapat diperintah tanpa adanya keadilan”.71

    Cicero, merupakan salah satu tokoh Romawi yang meneruskan

    ajaran dari Sokrates, Plato dan Aristoteles (Yunani). Ajaran Cicero banyak

    dipengaruhi oleh pandangan kaum Stoa khususnya tentang alam

    semesta. Sebagaimana kebanyakan filsuf kaum Stoa Romawi yang

    memandang semua studi teoritis berada di bawah etika serta logika

    sebagai hal yang mendasar, Cicero memberikan pengaruh Stoisisme

    yang sangat besar bagi bangsa Romawi yang dikombinasikan dengan

    ajaran Plato tentang jiwa dan kehidupan. Dalam aliran filsafat Stoa, maka

    pandangan tentang kesenangan dan segala kebaikan duniawi adalah

    70 Ibid, vis legibus est inimica (kekerasan adalah musuh dari hukum) 71 Ibid.

  • 34

    tidak berharga sebab bertentangan dengan hukum alam, yang berarti

    tidak pasrah terhadap kehendak Tuhan. Dengan demikian etika Stoa

    dapat dinyatakan sebagai berikut : “tidak ada sesuatu yang baik, sesuatu

    yang baik adalah kehendak yang diarahkan untuk memperoleh

    kebaikan”.72

    Dua hal penting yang berkaitan dengan pemikiran kaum Stoa

    adalah ajaran tentang ilmu pengetahuan dan hak alamiah. Adalah kaum

    Stoa (Romawi) yang memperkenalkan sekaligus membedakan doktrin

    tentang Ius Naturale, Ius Gentium dan Ius Civille. Kaum Stoa berpendapat

    bahwa sudah kodrat semua manusia setara dan sederajat; suatu negara

    harus diselenggarakan dengan mengakui kesetaraan hak dan kebebasan

    berbicara yang setara dan suatu pemerintahan oleh raja yang

    menghormati kebebasan mereka yang dipimpin; meninggikan derajat

    perempuan dan para budak; masa pemerintahan bangsa Romawi juga

    yang pertama-kalinya memperkenalkan sistem pembagian kekuasaan

    (separation of power). 73 Inilah beberapa pandangan filsafat bangsa

    Romawi, yang hingga saat ini masih dipergunakan oleh negara-negara

    modern dunia, dengan berbagai jenis modifikasi.

    Pada masa abad filsafat zaman Renaissance (pencerahan) dan

    zaman modern, warisan pandangan filsafat bangsa Romawi yang tersebut

    sebelumnya di atas terutama yang berkaitan dengan perkembangan

    hukum, diperkenalkan kembali baik oleh Grotius dengan pandangannya

    72 Bertrand Russell, Op.Cit, hal 350-367 73 Ibid.

  • 35

    tentang pemisahan kekuasaan negara (Civitas Terrena) dan gereja

    (Civitas Dei) serta perkembangan hukum bangsa-bangsa dengan

    penghormatan terhadap Pacta Sunt Servanda, Hobbes dengan Trias

    Politica dan Du Contract Social, John Locke dengan teori The Rule of

    Law, Samuel Pufendorf tentang hukum alam yang berbasis pada dualistis

    kodrati yaitu: kelemahan (Imbecillitas) di satu sisi dan keharusan untuk

    hidup dalam persekutuan (Socialitas) pada sisi yang lain dengan konsep-

    konsep mengenai teori hukum alam dan hukum negara, Montesqiau

    dengan teori The Separation of Power, Jean Jaques Rousseau dengan

    Teori Du Contract Social, Immanuel Kant dengan falsafah Transedental

    dan idealisme Kritik maupun Hegel dengan idealisme hukum.74

    Keanekaragaman pemikiran filosofis dari para filsuf tersebut

    melandasi pergeseran-pergeseran sosial politik di negara-negara dunia.

    Kepekaan terhadap masalah kebenaran, keadilan dan hak azasi manusia

    untuk melepaskan diri dari penindasan baik di kalangan sendiri maupun

    dari kolonialisme bangsa luar menyebabkan isu kebebasan dan

    74 Dominikus Rato, Op.Cit, hal 251-296; mendahului para filsuf yang telah disebutkan di atas, masih terdapat beberapa filsuf lainnya yang juga membahas tentang Thomas Aquinas dengan filsafat Skolastik yang mengedepankan teknik Hermeneutika (penafsiran) dan Jean Bodin dengan lahirnya Kedaulatan Negara; sejarah Islam yang berkembang di Jazirah Arab juga membuat hukum yang didasari oleh Fiqh dan moral keislaman. Fiqh adalah pengetahuan tentang Syariat yang adalah pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban umat Muslim, juga tentang pahala dan sanksi. Syariat bersumber dari Al Qur’an, Hadist Nabi atau Sunnah Rasul dan Ijma’ (Ijtihad dan Qias) yang melahirkan ajaran integralistik artinya Islam sebagai iman dan Islam sebagai hukum yang diturunkan untuk mewajibkan manusia sebagai individu sekaligus anggota masyarakat yang tunduk pada Figh sebagai hukum kemasyalahatan. Ahli Figh yang terkenal di Eropa Timur (bekas Wilayah Konstantinopel) adalah Al Syafi’i yang diperkuat oleh tulisan-tulisan Ibn Sina dan Ibn Rushidi yang melanjutkan studi Aristoteles dan di bekas wilayah Romawi Barat dikenal Al-Farabi yang melanjutkan studi Plato. Sebagai tambahan, dalam masa abad pertengahan, lahirnya Magna Charta Liberatum (tahun 1215) yang mengakhiri konflik Inggris dan Prancis, merupakan perkembangan monumental sejarah lahirnya hukum modern yang membatasi kekuasaan absolut dan hukum dasar bagi jaminan kebebasan.

  • 36

    perdamaian dunia terus digalakkan, dengan tujuan kemerdekaan bangsa-

    bangsa. Politik “3 G” (Gol, Gospel and Glory) yang di pelopori oleh

    Bangsa Eropa dan Inggris dalam semangat kolonialisme, harus

    berhadapan dengan konsep-konsep baru di bidang hukum, politik dan hak

    azasi manusia yang menghendaki kebebasan dan perdamaian dunia yang

    memicu lahirnya revolusi di seluruh dunia.75

    Secara Khusus, gejolak revolusi di seluruh dunia menyebabkan

    perkembangan yang cukup signifikan dalam konsep politik, hukum,

    ekonomi dan teknologi termasuk militer. Di bidang militer, Kopral

    Napoleon Bonaparte menjadi tokoh dibalik lahirnya organisasi militer yang

    sangat rapi, terlatih dan keras/ kejam (militerisme) dengan struktur

    komando yang sangat modern, yang kemudian diadopsi oleh militer di

    seluruh dunia. Istilah kepangkatan seperti general, liutenant, sergent;

    istilah kelompok seperti bataillon, regiment, peleton; nama senjata seperti

    baionette, balistigue, mitrailleur; dan istilah gerakan seperti maneuvre, dan

    sabotage adalah nama-nama yang sering digunakan oleh Napoleon

    Bonaparte. Napoleon Code adalah hukum yang juga dikenal bahkan

    sebagian masih diterapkan di Indonesia.76

    75 Ibid. 76 Ibid.

  • 37

    2. Thomas Hobbes (1588-1679 M)

    Homo Homini Lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia

    lainnya), merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Thomas Hobbes

    dalam bukunya “leviathan” yang kemudian melahirkan istilah lainnya yaitu

    Bellum Omnium Contra Omnes (semua melawan semua). Kedua istilah ini

    lahir sebagai ungkapan ekspresi Hobbes untuk menilai keadaan perang

    yang berkecamuk selama 30 tahun di Eropa, terjadinya ekploitasi manusia

    dan hilangnya harkat dan martabat manusia. Dalam keadaan chaos

    tersebut, Hobbes menawarkan suatu teori baru yaitu Du Contract Social.77

    Teori tentang Perjanjian sosial lahir dari kesadaran bahwa manusia

    tidak mungkin hidup dalam perang yang terus berkecamuk, sehingga

    mereka harus membuat perjanjian. Dalam perjanjian tersebut, mereka

    harus menyerahkan seluruh kekuasaan (hak) mereka kepada negara,

    sehingga negara memiliki kekuasaan yang absolut dalam negara

    monarchie. Adapun inti ajaran Thomas Hobbes adalah sebagai berikut :78

    1) Status kodrat alam sehingga segala sesuatu bersifat “Bellum

    Omnium Contra Omnes”

    2) Untuk mencegah hal tersebut, maka manusia harus mencapai

    perdamaian, bahkan wajib menerima dan mengakui dibatasinya

    kebebasan dan berkomitmen untuk menjunjung tinggi persetujuan-

    persetujuan yang telah dibuat.

    77 Dominikus Rato, Op.Cit, hal 268-270 78 Ibid.

  • 38

    3) Harus dibuat contract sosial yang di dalamnya manusia harus

    menyerahkan kekuasaannya kepada penguasa (raja, parlemen)

    untuk memerintah mereka. pemerintah menguasai tanpa restriksi-

    restriksi dan tidak dapat dipecat, bukan merupakan pihak dalam

    kontrak dan hanya bertanggung jawab kepada Tuhan;

    4) Walaupun demikian, penguasa harus bertindak sesuai dengan

    hukum alam (moral);

    5) Hak seorang warga negara untuk membela diri, tidak boleh dibatasi

    oleh suatu perintah penguasa; dan

    6) Kewajiban warga negara untuk menurut hanya ada selama

    penguasa berwenang untuk menggunakan kekuasaan tersebut.

    Leviathan merupakan suatu analogi dari seorang manusia tiruan

    (artificial man) yang memiliki kedaulatan sebagai jiwa tiruan (artificial soul)

    yang dibungkus dalam balutan perjanjian bersama (kontrak sosial).

    Tentang Hasrat (keinginan) dan kehendak bebas (will), Hobbes

    menyatakan bahwa hal tersebut tidak berbeda dengan nafsu (desire) dan

    keengganan (aversion). Jika berkaitan dengan keinginan, maka “semua

    baik” dan jika berhubungan dengan keengganan, maka “semua buruk”.

    Semua manusia ingin mempertahankan kebebasannya dengan cara

    menguasai orang lain, maka timbullah perang sesama manusia. Sehingga

    cara untuk menghindari hal ini adalah dengan menyatukan diri dalam

    komunitas-komunitas yang tunduk pada suatu otoritas sentral.79

    79 Bertrand Russell, Op.Cit, Hal 717-731

  • 39

    Tujuan pembatasan kebebasan manusia adalah untuk menghindari

    perang sebab manusia menyukai kebebasan sendiri dan kekuasaan atas

    orang lain. Oleh karenanya maka kesepakatan diantara manusia bersifat

    alami; meskipun semu sebab perjanjian tidak dapat dipaksakan dengan

    pedang melainkan melalui kata-kata, namun perjanjian dibuat antara

    sesama manusia untuk mematuhi penguasa pilihan mayoritas. Persatuan

    manusia ini, kemudian disebut sebagai persemakmuran; “Leviathan”

    dinamakan sebagai Dewa yang besar sekali.80

    Kekuasaan kedaulatan dalam sistem Hobbes tidak terbatas, baik

    berada di tangan individu maupun lembaga. Asumsinya, kepentingan

    pokok adalah memelihara perdamaian internal dan doktrin anti

    perdamaian tidak dibenarkan. Dalam hal ini, kepentingan raja identik

    dengan kepentingan warga negara, sehingga pemberontakan adalah

    kesalahan. Alasan ini memiliki kecenderungan bahwa Hobbes lebih

    membela kekuasaan raja dibandingkan kekuasaan dewan. Meskipun

    peran rakyat dalam sistem Hobbes berakhir setelah terpilihnya raja

    (berakhirnya kebebasan rakyat), namun doktrin bahwa rakyat tidak boleh

    menentang kehendak raja dibatasi oleh hak untuk menyelamatkan diri

    yang bernilai absolut. Seorang manusia berhak untuk menolak perang,

    ataupun tidak mematuhi perintah seorang raja yang tidak dapat

    melindunginya.81

    80 Ibid. 81 Ibid.

  • 40

    B. Kerangka Teori

    Sudah menjadi hal yang hampir pasti, bahwa dalam suatu negara

    hukum (rechtstaat), tujuan hukumlah yang menjadi salah satu indikator

    penting dalam mengukur tingkat keberhasilan dari seluruh proses

    bernegara. Hal ini tentunya berkaitan dengan 3 tujuan hukum (populer)

    yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Namun, ketiga tujuan tersebut

    hanyalah merupakan simbol belaka tanpa makna, jika tidak dibarengi

    dengan tujuan politik dari suatu negara yang berorientasi pada

    kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya.

    Telah menjadi pertentangan yang fundamental dalam sejarah

    peradaban manusia, sehubungan dengan keinginan untuk membentuk

    keluarga, kelompok, lembaga atau negara, adalah keutamaan cita-cita

    kollektivisme atau cita-cita Individualisme. Sumbangsih teori-teori oleh

    para pakar diantaranya, Sokrates, Plato, Aristoteles dan Kaum de Stoa

    serta para filsuf setelahnya terkait pertentangan tersebut, masih

    menyisakan perbedaan pendapat yang belum dapat didamaikan. Secara

    singkat, perbedaan pendapat para ahli pikir, ahli hukum dan ahli politik

    tersebut, bertujuan untuk menemukan jawaban tentang manakah yang

    lebih didahulukan (utama), perorangan atau masyarakat ataukah

    kompromi diantara keduanya.82

    Dimulai dengan pendapat kaum Stoik (aliran stoisisme), yang

    meragukan kerangka negara atau republik (polis) Plato dan Aristoteles,

    82 Bandingkan dengan Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 1, Pradinya Paramita, Cetakan 1, Jakarta, 2008, hal 42- 47

  • 41

    yang menyatakan bahwa umat manusia sebagai suatu komunitas yang

    utuh: satu Tuhan, satu hukum dan satu negara, yang menurut doktrin

    Stoa, kesatuan tersebut bukan karena Polis, namun dikarenakan

    keberadaan komunitas orang-orang yang bijak. 83 Dengan demikian, de

    Stoa menginterpretasikan bahwa hukum alam merupakan hukum yang

    dibuat berdasarkan rasio manusia. Rasio manusia di seluruh dunia adalah

    sama, karena berasal dari manusia yang memiliki harkat dan martabat

    yang sama. Sehingga hukum yan