4.2 laminer dan turbulent boundary layer pada pelat...
TRANSCRIPT
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 80
4.2 Laminer dan Turbulent Boundary Layer pada Pelat Datar
Aliran laminer dan turbulen melintasi pelat datar dapat disimulasikan dengan
mengalirkan uniform flow sepanjang pelat (Gambar 4.15). Boundary Layer akan terus
berkembang mulai dari leading edge sampai ke ujung pelat. Discontinuity akan terjadi
pada aliran di leading edge karena perubahan kecepatan aliran yang tadinya uniform
menjadi nol (stagnasi). Dalam simulasi numerik, efek discontinuity ini akan
mempengaruhi keakuratan properties aliran di dekat leading edge.
Walaupun kebanyakan aliran real adalah aliran turbulen, namun aliran laminer
melintasi pelat datar dapat digunakan sebagai bahan validasi dalam simulasi numerik.
Solusi untuk laminar boundary layer pada pelat datar, tersedia baik secara analitis
maupun empirik oleh Blasius (1908). Solusi ini dapat digunakan untuk memvalidasi
software CFD. Solusi Blasius adalah sebagai berikut :
2199 Re.0,5 −= xx
δ
21,
Re
664.0
x
xfC = ……………………………………………………...…..(4.1)
31
21
xx 3320Nu Pr.Re..= …………………………………………….....(4.2)
dimana : υ
xuox
.Re = dan 0.6<Pr<50
Sedangkan untuk Turbulent Boundary Layer tidak memiliki solusi exact dan
kebanyakan parameter solusi untuk aliran turbulen diperoleh dari hasil eksperimen.
Menurut Incopera & Dewit (1990), solusi aliran turbulen melalui pelat datar adalah
sebagai berikut :
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 81
5199 Re.37,0 −= xx
δ
51
x
xf05920C
Re
., = ……………………………………………….……..…….(4.3)
31
54
xx 02960Nu Pr.Re..= ………………………………………..………(4.4)
dimana : 5.105<Re<107 dan 0.6<Pr<60
Node pertama dari dinding yang berada pada daerah viscous sub layer akan
menghasilkan hubungan linier dalam perhitungan temperatur dan gradient kecepatan
di dekat dinding. Jarak dinding terhadap node pertama tergantung pada kondisi aliran,
apakah aliran itu turbulen atau laminar. Untuk aliran laminar incompressible, node
pertama harus lebih kecil dari η = 1.73 (Schlichting, 1979), dimana :
xU
yυ
η ∞= ………………………………………...………………..….....(4.5)
Sedangkan untuk turbulent boundary layer, jaraknya harus lebih rapat karena
viscous sub layer pada aliran turbulen jauh lebih kecil dibanding pada kondisi laminar.
Bardina et al. (1997), mengusulkan harga wall element, y+ = 0.1 untuk node pertama
dan 60 node di dalam boundary layer bila alirannya adalah aliran incompressible.
Ketika turbulent boundary layer dalam kondisi equilibrium, hubungan Wall
Function dapat digunakan untuk menurunkan jumlah node. Wall Function ini
menggunakan daerah log law untuk menginterpolasi gradient kecepatan dan
temperatur pada dinding. Karena daaerah log-law ini berada dalam batas 30<y+<500,
sehingga Wall Function hanya memerlukan beberapa node saja.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 82
Pada Ansys CFD Flotran memiliki wall turbulence model yang menggunakan
wall element, yang didefinisikan :
ρτ
μρ
ρτ
wall
wall
yuy ==+ ……..…………………………………………………(4.6)
4.2.1 Definisi Masalah
Simulasi ini terdiri atas dua macam yaitu pertama, simulasi pada laminar
boundary layer dengan Reynold Number 105 dan kedua, simulasi pada turbulent
boundary layer dengan Reynold Number 107. Panjang domain aliran adalah 1,3 meter,
dengan panjang pelat datar 1 meter. Tinggi dari domain aliran diperkiran 10 kali
dari tebal boundary layer pada ujung pelat. Struktur grid dibagi atas dua daerah,
daerah pertama adalah daerah sekitar boundary layer dan free stream di dekat pelat,
sedangkan daerah yang kedua adalah daerah di sekitar leading edge dalam arah
vertikal. Node yang digunakan tidak uniform, halus di dekat dinding dan lebih kasar
pada daerah free stream. Grid refinement sepanjang leading edge diperlukan untuk
memperhalus transisi dari free stream menuju boundary layer. Meshing pada aliran
laminer dan turbulent boundary layer ini ditunjukkan pada Gambar 4.16 dan 4.17
berturut-turut. Meshing untuk aliran turbulen tampak lebih rapat dibanding aliran
laminer. Hal ini dimaksudkan agar solusi yang dihasilkan lebih akurat karena aliran
turbulen cenderung tidak teratur dan berfluktuasi (anisotropic), juga dikarenakan
viscous sub layer pada aliran turbulen yang lebih tipis dibanding aliran laminer,
sehingga dibutuhkan node yang lebih rapat di dekat dinding agar daerah viscous sub
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 83
layer dapat terselesaikan dengan baik. Jumlah node untuk aliran laminer dengan grid
kasar adalah 12291, dan 19521 untuk grid halus. Sedangkan, jumlah node untuk aliran
turbulen dengan grid kasar adalah 19521, dan 29161untuk grid halus.
Tujuan dari simulasi ini adalah untuk menguji kemampuan berbagai model
turbulensi dalam menyelesaikan aliran di dekat dinding dimana aliran tersebut tidak
mengalami adverse pressure gradient.
Gambar 4.15 Aliran Laminer dan Turbulent Boundary Layer pada pelat datar
Gambar 4.16 Meshing untuk laminer boundary layer melintasi pelat datar
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 84
Gambar 4.17 Meshing untuk turbulent boundary layer melintasi pelat datar
4.2.2 Simulasi Aliran
Boundary Condition yang digunakan adalah seperti ditunjukkan pada Gambar
4.18. Boundary condition pada inlet (inflow) adalah uniform velocity dan boundary
condition pada daerah di ujung pelat (outflow) dispesifikasikan sebagai tekanan
atmosfer. Boundary condition pada daerah bagian bawah sepanjang 0.3 m
dispesifikasikan sebagai symmetric boundary condition (yaitu Vy = 0), sedangkan
boundary condition untuk pelat adalah berupa wall (semua komponen kecepatan diset
dengan nilai nol) dan temperatur konstan. Untuk aliran yang jauh dari pelat, yaitu
boundary bagian atas juga dispesifikasikan sebagai symmetric boundary condition.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 85
Simulasi pada laminer boundary layer masih menggunakan dua discretization
scheme yang disediakan Ansys, yaitu MSU1 dan SUPG1, sedangkan simulasi pada
turbulent boundary layer hanya menggunakan discretization scheme MSU, karena
SUPG tidak dapat memberikan hasil yang konvergen. Asumsi yang digunakan dalam
simulasi adalah berupa aliran thermal, steady, incompressible, viscous, dua dimensi.
Parameter-parameter aliran yang digunakan dalam simulasi ini terdapat pada
Tabel 4.1
Tabel 4.1 Parameter–parameter Simulasi Untuk Aliran Laminer dan Turbulent Boundary Layer Melintasi Pelat Datar.
PARAMETER LAMINER TURBULEN
ρ (kg/m3) 1 1
μ (N.s/m2) 10-5 10-6
cp (J/kg.K) 103 103
k (W/m.k) 10-3 10-3
u∞ (m/s) 1 10
Re 105 107
Pr 10 1
δ (m) 0.016 0.015
Jarak node pertama dari wall (Z)
Z < 1.73 η • coarse (0.81194E-03 m) • finer (0.50906E-03 m)
Z < 4y+, log law • coarse (0.50906E-03 m) • finer (0.31224E-04 m)
1 MSU (Monotonic Streamlined Upwind) dan SUPG adalah metode diskretisasi ANSYS untuk ruas konveksi-difusi. Fluent menggunakan Upwind, Quick dll.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 86
Temperatur Wall (K) 400 500
Gambar 4.18 Boundary Condition untuk aliran melintasi pelat datar
4.2.3 Hasil Simulasi
Simulasi pada Laminer dan Turbulent Boundary Layer melintasi pelat datar
menghasilkan prediksi profil kecepatan, distribusi Nusselt Number dan Skin Friction
yang disajikan dalam bentuk grafik u/Uo = f(ETA), Nu = f(x) dan Cf = f(x). Simulasi
ini juga menampilkan vektor kecepatan di ujung pelat, kontur kecepatan, kontur
tekanan dan kontur temperatur, baik untuk aliran laminer maupun turbulen. Profil
kecepatan (u/Uo) untuk aliran laminer merupakan fungsi dari ETA (η), dimana η
adalah jarak tidak berdimensi dari wall. Untuk aliran turbulen, profil kecepatan u/Uo
tidak disajikan karena tidak ada solusi exact pada aliran turbulen. Khusus untuk aliran
turbulen dengan grid halus, kemampuan software dalam memprediksi Nusselt
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 87
Number dan Skin Friction pada beberapa node yang dekat dengan dinding diuji dan
dianalisa dengan bantuan wall unit (y+).
Nusselt Number dan Skin Friction untuk aliran laminer dapat dihitung dari
persamaan (4.1) dan (4.2), sedangkan untuk aliran turbulen menggunakan persamaan
(4.3) dan (4.4).
Untuk prediksi hasil simulasi, Nusselt Number dan Skin Friction dapat
dihitung dengan menggunakan perumusan sebagai berikut :
0
"
=∂∂
−=yy
Tkq ………………………………………………………..…..(4.7)
dimana : 12
12
0 yyTT
yT
y −−
=∂∂
=
Persamaan (4.7) merupakan persamaan heat flux yang diperoleh dari panas
konduksi pada wall dengan mengasumsikan profil temperatur yang linier di dekat
wall. Persamaan Nusselt Number (Nu) dan Skin Friction (Cf) adalah sebagai berikut :
( ) kx
TTq
kxhNu
w ∞−==
"
……………………………………………..……(4.8)
)(5.0)(5.0 22 Uo
dydu
UoCf w
ρ
μ
ρτ
== …………………….……..………………(4.9)
Hasil prediksi profil kecepatan pada aliran laminer melintasi pelat datar cukup
akurat setelah dibandingkan dengan solusi exact dari Blasius, baik untuk
discretization scheme MSU maupun SUPG (Gambar 4.19 & 4.20). Selanjutnya,
Gambar 4.21 dan 4.22 menunjukkan perbandingan keakuratan kedua discretization
scheme tersebut diambil untuk x = 0.5 dan x = 1, disini terlihat bahwa simulasi aliran
laminer menggunakan discretization scheme MSU memberikan prediksi yang lebih
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 88
baik dibanding SUPG, dengan error kurang dari dua persen, namun hanya terjadi
sedikit saja perbedaan prediksi antara kedua discretization scheme tersebut. Prediksi
MSU terhadap Skin Friction dan Nusselt Number untuk aliran laminer ditunjukkan
pada Gambar 4.23 dan 4.24, sedangkan untuk SUPG pada Gambar 4.25 dan 4.26.
Gambar 4.27 dan 4.28 menunjukkan perbandingan MSU dan SUPG dalam
memprediksi Skin Friction dan Nusselt Number untuk aliran laminer dan terlihat
bahwa SUPG memberikan prediksi yang lebih baik. Dikarenakan MSU memberikan
prediksi profil kecepatan aliran laminer yang lebih baik dibanding SUPG, tetapi
prediksi Nusselt Number dan Skin Friction yang dihasilkan cukup buruk, maka
perbandingan lanjut juga dilakukan dengan mengggunakan discretization scheme
MSU pada meshing yang lebih halus, dan dibandingkan dengan hasil prediksi SUPG
sebelumnya. Hasil prediksi pada MSU dengan meshing yang lebih halus
menunjukkan bertambahbaiknya prediksi Skin Friction dan Nusselt Number, namun
belum memberikan prediksi sebaik SUPG, padahal meshing pada SUPG masih lebih
kasar dibanding MSU. Perbandingan ini ditunjukkan pada Gambar 4.29 & 4.30.
Dari hasil simulasi pada Laminer Boundary Layer ini, dapat disimpulkan
bahwa discretization scheme SUPG masih tetap lebih akurat dibanding MSU (sesuai
dengan simulasi sebelumnya pada Square Driven Cavity). Walaupun SUPG lebih
akurat dibanding dengan MSU, discretization ini masih memiliki kelemahan.
Kelemahannya adalah tidak dapat memberikan solusi yang konvergen, disaat meshing
yang digunakan terlalu rapat di dekat solid wall. Pada kondisi ini SUPG tidak mampu
menyelesaikan persamaan energi yang menghasilkan prediksi harga temperatur
sehingga error akibat divergensi akan muncul pada saat iterasi berlangsung. Berbeda
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 89
dengan MSU yang cukup stabil dan mampu menyelesaikan aliran dengan grid yang
cukup rapat di dekat solid wall.
Dikarenakan kelemahan SUPG yang tidak dapat memberikan konvergensi
pada simulasi dengan grid halus di dekat solid wall, maka simulasi pada Turbulent
Boundary Layer tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan discretization scheme
ini. Dengan demikian, satu-satunya discretization scheme yang dapat digunakan
adalah MSU. Walaupun keakuratan MSU tidak begitu baik, discretization scheme ini
masih dapat digunakan karena simulasi pada Turbulent Boundary Layer ini hanya
bertujuan untuk menguji kemampuan model turbulensi dalam menyelesaikan aliran di
dekat dinding dengan penerapan Wall Function-nya.
Simulasi pada Turbulent Boundary Layer untuk kelima model tersebut dalam
memprediksi harga Skin Friction dan Nusselt Number ditunjukkan pada Gambar 4.31
s.d 4.40. Dari hasil simulasi terlihat bahwa model turbulensi k-ε yang dikembangkan
oleh Girimaji (GIR) memiliki prediksi yang paling mendekati hasil empirik (Teori).
Sebaliknya prediksi terburuk dihasilkan oleh model turbulensi k-ε yang
dikembangkan oleh Shih (NKE). Sedangkan, hasil simulasi dengan model lainnya
menunjukkan prediksi yang cukup baik. Perbandingan model-model turbulensi ini
terdapat pada Gambar 4.41 dan 4.42. Perbedaan keakuratan prediksi oleh berbagai
model turbulensi ini dikarenakan setiap model turbulen memiliki kelebihan dan
kekurangan. Keempat model turbulensi selain standard k-ε model, dikembangkan
hanya untuk menyelesaikan kasus-kasus aliran tertentu saja. Ansys
merekomendasikan model-model k-ε yang dimodifikasi tersebut dengan beberapa
spesifikasi seperti: Model RNG disarankan untuk digunakan dalam menyelesaikan
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 90
aliran dengan geometri yang berkurva, misalnya aliran di dalam duct dengan
perubahan arah aliran sampai 180 derajat, NKE untuk aliran yang berotasi (rotating
flow), GIR untuk aliran yang mengandung secondary flow, dan SZL dapat digunakan
untuk menyelesaikan hampir semua bentuk aliran yang dispesifikasikan oleh RNG,
NKE dan GIR namun tidak sebaik bila menggunakan model turbulensi RNG, NKE
atau GIR yang memiliki spesialisasi. Model turbulensi SZL ini biasanya
membutuhkan meshing yang lebih halus. Sedangkan, standard k-ε model merupakan
model yang paling sederhana dan biasanya mampu meyelesaikan hampir semua aliran
umum dengan baik, walau demikian tentu saja juga masih memiliki kelemahan dalam
menyelesaikan kasus aliran tertentu
Aliran free stream yang pertama sekali menyentuh leading edge akan
mengalami stagnasi, sedangkan aliran free stream di atasnya yaitu pada node yang
paling mendekati pelat datar (node pertama) akan mengalami percepatan aliran
sehingga memiliki kecepatan yang lebih besar, bahkan melebihi kecepatan free stream
yang ada. Hal ini disebabkan karena seakan-akan aliran free stream tersebut dipaksa
untuk melewati wall sehingga kecepatannya akan bertambah. Kecepatan di sekitar
leading edge yaitu node kedua, ketiga dan seterusnya di atas pelat datar akan terus
mengecil dibanding kecepatan pada node pertama dan akhirnya sama dengan
kecepatan free stream. Hal ini dapat dimengerti karena semakin jauh dari leading edge
dalam arah vertikal, aliran fluida tidak lagi terganggu oleh adanya efek leading edge.
Setelah leading edge dilalui, maka perlahan-lahan efek berubahnya kecepatan di
sekitar leading edge mulai menghilang dan kecepatan aliran akan terus mengecil
sepanjang down stream karena efek gesekan pada wall dan tekanan balik yang ada.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 91
Namun tidak sampai terjadi separasi, karena momentum aliran masih mampu
mengatasi gangguan aliran tersebut. Aliran yang terdekat dengan wall akan merasakan
efek gesekan yang paling dominan dibanding aliran di atasnya. Dengan demikian,
semakin jauh dari pelat dalam arah vertikal, kecepatan akan bertambah besar dan
akhirnya sama dengan kecepatan free stream.
Grafik Skin Friction (Cf) hasil simulasi pada leading edge untuk aliran laminar
cukup baik dibanding dengan teori. Sedangkan pada aliran turbulen tidak begitu
memuaskan. Hal ini disebabkan pengaruh jumlah node di dalam boundary layer
sangat menentukan keakuratan interpolasi dari nilai kecepatan. Dikarenakan
boundary layer turbulen yang lebih kecil dibanding boundary layer laminar dan efek
turbulensi yang sangat berfluktuasi, maka diperlukan jumlah node yang jauh lebih
banyak di dalam boundary layer. Tetapi, adanya keterbatasan kemampuan komputer,
sehingga tidak memungkinkan simulasi ini dilakukan dengan jumlah node yang
terlalu banyak. Sebaliknya, estimasi harga Cf di ujung pelat cukup baik karena
boundary layer di ujung pelat ini memiliki jumlah node yang lebih banyak dibanding
jumlah node di leading edge sehingga hasil interpolasi nilai kecepatan yang
menghasilkan harga wall shear lebih baik. Dengan demikian, prediksi harga Cf pun
menjadi lebih akurat.
Wall shear (τw) tidak konstan pada daerah log law. Dengan demikian τw pada
daerah log law tidak sama lagi dengan τw pada wall. Harga τw akan semakin mengecil
mulai dari leading edge sampai ke ujung pelat. Hal ini disebabkan karena wall shear
merupakan fungsi dari gradient kecepatan, dimana kecepatan fluida semakin jauh ke
arah down stream akan semakin kecil harganya karena harus melawan gesekan baik
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 92
itu dari wall maupun gesekan antar fluida itu sendiri serta tekanan dari arah
sebaliknya. Dengan demikian, nilai dari skin friction (Cf) yang merupakan fungsi dari
wall shear (τw) pada persamaan (4.9) juga akan semakin menurun sepanjang pelat
datar. Atau juga dari persamaan (4.1) dan (4.3), dimana Local Reynold Number akan
bertambah besar sepanjang aliran, dikarenakan Local Reynold Number berbanding
terbalik terhadap Skin Friction (Cf) maka harga Cf pun akan menurun sepanjang
aliran. Dengan bertambah jauhnya aliran dari wall, maka τw akan semakin kecil,
walau kecepatannya lebih besar namun perbedaannya kecil sekali dibanding
kecepatan di lapisan bawahnya, sementara jarak y semakin membesar sehingga
menyebabkan nilai du/dy akan semakin mengecil. Hal ini menyebabkan harga Cf akan
semakin mengecil dalam arah vertikal ke atas. Kejadian ini juga ditunjukkan pada
Gambar 4.43 dimana untuk node terdekat dengan wall memberikan prediksi harga Cf
yang lebih tinggi dibanding prediksi node diatasnya. Gambar 4.43 merupakan
perbandingan prediksi harga Cf untuk beberapa node terdekat dengan wall. Bila
diurutkan mulai dari node dengan jarak yang terdekat dengan wall sampai yang
terjauh adalah y = 2.375.10-5 m, y = 4.75.10-5 m, y = 7.125.10-5 m, y = 9.5.10-5 m, y
=1.9.10-4 m, dan y = 7.6.10-4 m. Dari hasil simulasi untuk aliran turbulen pada grid
yang halus menunjukkan harga Cf pada y = 7.6E-4 m yang paling mendekati Cf teori
(Gambar 4.43). Node pada y = 7.6E-4 m merupakan node terjauh dari wall pada
sejumlah node yang digunakan sebagai perbandingan. Hal ini juga ditunjukkan oleh
harga wall unit (y+), dimana berdasarkan perhitungan dengan menggunakan
persamaan (4.6) untuk y = 7.6E-4 memiliki harga y+ yang sesuai dengan data output
hasil simulasi y+ yang langsung disediakan oleh Ansys (Gambar 4.44). Kejadian ini,
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 93
jelas menunjukkan terjadinya kesalahan prediksi karena seharusnya node yang paling
dekat dengan wall yang mempunyai karakteristik nilai yang mendekati teori. Sebab
semakin dekat aliran tersebut dengan wall maka nilai τw akan mendekati konstan
(daerah viscous sub layer), sehingga nilai yang dihasilkan akan semakin mendekati
teori. Kesalahan prediksi ini disebabkan oleh karena dalam simulasi numerik,
konvergensinya solusi iterative yang dihasilkan pasti akan selalu mengandung
rounding error yaitu error yang terjadi karena proses iterasi dimana software hanya
mampu memberikan satu harga yang presisi (sigle precission).
Adanya temperatur wall akan menyebabkan temperatur aliran di dekat wall
berakumulasi sehingga temperatur fluida meningkat sepanjang aliran, mulai dari
leading edge sampai ke ujung pelat. Sebaliknya, hal ini akan menyebabkan nilai heat
flux di sepanjang pelat datar menurun. Tetapi, nilai Local Nusselt Number akan terus
meningkat sepanjang aliran sampai ke ujung pelat. Meningkatnya Local Nusselt
Number ini dapat dianalisa dari persamaan (4.8) untuk penyelesaian melalui simulasi
dimana walaupun heat flux menurun sepanjang aliran tetapi dengan bertambahnya
jarak x dari leading edge, maka Local Nusselt Number juga akan meningkat.
Demikian juga dari persamaan (4.2) dan (4.4) untuk penyelesaian secara teori
(empiris) dimana Local Nusselt Number tergantung pada Local Reynold Number,
dalam hal ini Local Reynold Number akan meningkat sepanjang aliran sehingga Local
Nusselt Number juga akan ikut meningkat. Daerah stagnasi memiliki nilai heat flux
yang paling tinggi sedangkan Local Nusselt Number berharga nol. Bila ditinjau dari
perumusan hasil eksperimen (teori), dimana Local Nusselt Number merupakan fungsi
dari Local Reynold Number (persamaan (4.2) atau (4.4)), dimana pada daerah stagnasi
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 94
ini Local Reynold Number adalah berharga nol karena titik stagnasi yang berada pada
leading edge merupakan awal jarak x untuk perhitungan Local Reynold Number
dimana untuk x = 0, sehingga Reynold Number Local akan berharga nol juga, maka
akan menghasilkan nilai Nusselt Number yang juga berharga nol. Demikian juga dari
hasil simulasi yang menggunakan perumusan dengan persamaan (4.8) dimana Local
Nusselt Number juga tergantung pada variabel x. Dalam hal ini, walaupun maupun
pada daerah stagnasi memiliki nilai heat flux yang paling tinggi, tetapi untuk posisi x
= 0 akan menghasilkan perhitungan Nusselt Number yang juga berharga nol. Lapisan
aliran fluida yang berada di atas lapisan aliran fluida yang terdekat dengan wall jelas
akan memiliki temperatur yang lebih rendah dibanding temperatur aliran fluida
terdekat dengan wall, hal ini bukan berarti bahwa aliran tersebut memiliki nilai heat
flux yang lebih tinggi (persamaan (4.7)), tetapi sebaliknya nilai heat flux untuk aliran
ini akan memiliki nilai yang lebih kecil dibanding nilai heat flux pada aliran terdekat
dengan dinding. Hal ini dikarenakan pada persamaan heat flux (persamaan (4.7))
tersebut menunjukkan bahwa untuk ΔT = T2 – T1, dimana T2 adalah temperatur wall
(konstan) dan T1 adalah temperatur lokal aliran fluida, walaupun temperatur local
aliran fluida menurun yang menyebabkan membesarnya harga ΔT ternyata tidak
potensial dalam menaikkan harga heat flux karena persamaan heat flux tersebut
berbanding terbalik terhadap variabel Δy (jarak fluida terhadap wall). Jadi, walaupun
ΔT meningkat, tetapi harga Δy juga meningkat dimana kenaikan ΔT ini tidak dapat
mengimbangi kenaikan harga Δy, sehingga nilai heat flux pun akan menurun dengan
bertambah jauhnya aliran dari wall (normal terhadap wall). Dengan demikian maka
jelaslah bahwa aliran pada node pertama terdekat dengan wall akan memiliki harga
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 95
Nusselt Number (Nu) yang lebih tingi dibanding aliran di atasnya. Kejadian ini
ditunjukkan pada Gambar 4.45. Dari Gambar 4.45 tersebut terlihat bahwa hasil
simulasi untuk prediksi Nu menunjukkan node pada y = 7.6E-4 yang paling
mendekati Nu teori. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya kejadian ini juga
disebabkan oleh adanya Rounding Error akibat iterasi sehingga terjadi kesalahan
prediksi harga Nu dimana seharusnya aliran pada node pertamalah yang paling
mendekati harga grafik Nusselt Number teori, karena nilai heat flux pada aliran yang
paling dekat dengan dinding memiliki heat flux tertinggi.
Gambar 4.46a, dan 4.47a, merupakan profil dari kecepatan di ujung pelat datar
untuk aliran laminar dan turbulen. Profil kecepatan aliran turbulen lebih fuller
dibanding laminar, karena Reynold Number aliran turbulen jauh lebih besar dibanding
laminar sehingga momentum (gaya inersia) yang dimiliki oleh fluida lebih besar dan
lebih mampu melawan gesekan dan tekanan balik atmosfer. Gambar 4.46b dan 4.47b
menunjukkan kontur kecepatan sepanjang aliran pada pelat datar, terlihat bahwa
gradient kecepatan aliran di dekat dinding akan semakin bertambah tinggi sepanjang
aliran karena berakumulasinya efek viscous yang ada. Adanya perubahan tekanan
pada aliran yang melalui pelat datar ini bukan disebabkan oleh adanya adverse
pressure gradient, tapi perbedaan tekanan seperti yang terlihat pada kontur tekanan
(Gambar 4.46c dan 4.47c) menunjukkan bahwa tekanan dinamis yang dimiliki oleh
fluida masih cukup kuat melawan tekanan dari arah sebaliknya. Perbedaan tekanan
pada kontur tekanan untuk aliran turbulen akan semakin kecil dibanding laminer. Hal
ini juga disebabkan gaya inersia yang lebih tinggi pada aliran turbulen sehingga
tekanan dinamis yang dimiliki oleh aliran pun semakin tinggi. Dengan demikian
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 96
perbedaan tekanan sepanjang aliran akan semakin kecil. Sedangkan pada kontur
temperatur terlihat bahwa temperatur aliran fluida di dekat dinding akan bertambah
tinggi mulai dari leading edge menuju ke ujung pelat (Gambar 4.46d dan 4.47d).
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
ETA=y*SQRT(Uo*rho/miu*X)
u/U
o
Blasius X=0.5 (MSU) X=0.7 (MSU) X=0.8 (MSU) X=1 (MSU)
Gambar 4.19 Profil kecepatan pada beberapa lokasi X sepanjang aliran fluida untuk Laminer Boundary Layer menggunakan discretization scheme MSU.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 97
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
ETA=y*SQRT(Uo*rho/miu*X)
u/U
o
Blasius X=0.5 (SUPG) X=0.7 (SUPG) X=1 (SUPG) X=0.8 (SUPG)
Gambar 4.20 Profil kecepatan pada beberapa lokasi X sepanjang aliran fluida untuk Laminer Boundary Layer menggunakan discretization scheme SUPG.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
ETA = y*SQRT(Uo*rho/miu*X)
u/U
o
SUPG ( X = 0.5 ) MSU ( X = 0.5 ) Blasius
Gambar 4.21 Perbandingan profil kecepatan pada X = 0.5 dalam arah vertikal untuk Laminer Boundary Layer dengan menggunakan discretization scheme MSU dan SUPG.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 98
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
ETA = y*SQRT(Uo*rho/miu*X)
u/U
o
Blasius MSU ( X = 1) SUPG ( X = 1)
Gambar 4.22 Perbandingan profil kecepatan pada X = 1 dalam arah vertikal untuk Laminer Boundary Layer dengan menggunakan discretization scheme MSU dan SUPG.
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Cf
Teori MSU
Gambar 4.23 Distribusi Skin Friction pada Laminer Boundary Layer menggunakan discretization scheme MSU.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 99
0
50
100
150
200
250
300
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Nu
Teori MSU
Gambar 4.24 Distribusi Nusselt Number pada Laminer Boundary Layer menggunakan discretization scheme MSU.
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Cf
Teori SUPG
Gambar 4.25 Distribusi Skin Friction pada Laminer Boundary Layer menggunakan discretization scheme SUPG.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 100
-50
0
50
100
150
200
250
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Nu
Teori SUPG
Gambar 4.26 Distribusi Nusselt Number pada Laminer Boundary Layer menggunakan discretization scheme SUPG.
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Cf
Teori MSU SUPG
Gambar 4.27 Perbandingan distribusi Skin Friction pada Laminer Boundary Layer menggunakan discretization scheme MSU dan SUPG.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 101
-50
0
50
100
150
200
250
300
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Nu
Teori MSU SUPG
Gambar 4.28 Perbandingan distribusi Nusselt Number pada Laminer Boundary Layer menggunakan discretization scheme MSU dan SUPG.
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X - distance
Cf
Teori MSU (Finer Grid) MSU SUPG
Gambar 4.29 Perbandingan distribusi Skin Friction pada Laminer BoundaryLayer menggunakan discretization scheme MSU, MSU (Finer Grid) dan SUPG.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 102
-50
0
50
100
150
200
250
300
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X - distance
Nu
Teori MSU (Finer Grid) SUPG MSU
Gambar 4.30 Perbandingan distribusi Nusselt Number pada Laminer Boundary Layer menggunakan discretization scheme MSU, MSU (Finer Grid) dan SUPG.
0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
0.008
0.009
0.01
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Cf
Teori k-e model
Gambar 4.31 Distribusi Skin Friction pada Turbulent Boundary Layer untuk discretization scheme MSU menggunakan standard k-e model.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 103
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Nu
Teori k-e model
Gambar 4.32 Distribusi Nusselt Number pada Turbulent Boundary Layer untuk discretization scheme MSU menggunakan standard k-e model.
0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
0.008
0.009
0.01
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Cf
Teori RNG model
Gambar 4.33 Distribusi Skin Friction pada Turbulent Boundary Layer untuk discretization scheme MSU menggunakan RNG model.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 104
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Nu
Teori RNG model
Gambar 4.34 Distribusi Nusselt Number pada Turbulent Boundary Layer untuk discretization scheme MSU menggunakan RNG model.
0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
0.008
0.009
0.01
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Cf
Teori NKE model
Gambar 4.35 Distribusi Skin Friction pada Turbulent Boundary Layer untuk discretization scheme MSU menggunakan NKE model.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 105
0
5000
10000
15000
20000
25000
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Nu
Teori NKE model
Gambar 4.36 Distribusi Nusselt Number pada Turbulent Boundary Layer untuk discretization scheme MSU menggunakan NKE model.
0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
0.008
0.009
0.01
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Cf
Teori SZL model
Gambar 4.37 Distribusi Skin Friction pada Turbulent Boundary Layer untuk discretization scheme MSU menggunakan SZL model.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 106
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Nu
Teori SZL model
Gambar 4.38 Distribusi Nusselt Number pada Turbulent Boundary Layer untuk discretization scheme MSU menggunakan SZL model.
0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
0.008
0.009
0.01
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Cf
Teori GIR model
Gambar 4.39 Distribusi Skin Friction pada Turbulent Boundary Layer untuk discretization scheme MSU menggunakan GIR model.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 107
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
X-distance
Nu
Teori GIR model
Gambar 4.40 Distribusi Nusselt Number pada Turbulent Boundary Layer untuk discretization scheme MSU menggunakan GIR model.
0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
0.008
0.009
0.01
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4x-distance
Cf
Teori GIR model SZL model RNG model NKE model k-e model
Gambar 4.41 Perbandingan kelima model turbulensi dalam memprediksi distribusi Skin Friction pada Turbulent Boundary Layer
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 108
0
5000
10000
15000
20000
25000
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
x-distance
N u
Teori GIR model SZL model RNG model NKE model k-e model
Gambar 4.42 Perbandingan kelima model turbulensi dalam memprediksi distribusi Nusselt Number pada Turbulent Boundary Layer
0.00225
0.00275
0.00325
0.00375
0.00425
0.00475
0.00525
0.00575
0.00625
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4X
Cf
y=1.9E-4 y=7.6E-4 TEORI y=9.5E-5 y=7.125E-5 y=4.75E-5 y=2.375E-5
Gambar 4.43 Perbandingan distribusi Skin Friction pada Turbulent Boundary Layer (Finer Grid) untuk beberapa jarak node terdekat sepanjang pelat datar.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 109
0
50
100
150
200
250
300
350
400
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4
X
Y PL
US
y=7.6E-4 y=2.375E-5 y=4.75E-5 y=7.125E-5 y=9.5E-5 y=1.9E-4 SIMULASI
Gambar 4.44 Perbandingan distribusi nilai wall unit ( y +) pada Turbulent Boundary Layer (Finer Grid) untuk beberapa jarak node terdekat sepanjang pelat datar.
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000
11000
12000
13000
14000
15000
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4X
Nu
TEORI y=7.6E-4 y=1.9E-4 y=9.5E-5 y=7.125E-5 y=2.375E-5 y=4.75E-5
Gambar 4.45 Perbandingan distribusi Nussel Number pada Turbulent Boundary Layer (Finer Grid) untuk beberapa jarak node terdekat sepanjang pelat datar.
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 110
(a) (b)
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 111
(c) (d)
Gambar 4.46 (a) profil kecepatan, (b) kontur kecepatan, (c) kontur tekanan, dan (d) kontur temperatur, untuk Laminer Boundary Layer.
(a) (b)
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Laporan Tugas Akhir
Konversi Energi 112
(c) (d) Gambar 4.47 (a) profil kecepatan, (b) kontur kecepatan, (c) kontur tekanan, dan
(d) kontur temperatur, untuk Turbulent Boundary Layer.