a11mpe_bab ii tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Acacia mangium
Tanaman A. mangium termasuk dalam sub Divisi Angiospermae, Famili
Leguminosae, Sub famili Mimosoideae. Daerah penyebarannya meliputi daerah
Queensland Australia bagian utara, Irian Jaya bagian utara, Kepulauan Aru,
Maluku Selatan, Seram bagian barat, dan daerah Bentuas Kalimantan Timur
(Jensen, 1999).
Tanaman ini mampu bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen
(Rhizobium) dan melaksanakan proses penambatan N2 dari udara, sehingga
tanaman dapat memenuhi kebutuhan unsur N melalui penambatan secara hayati
dan mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan pupuk N buatan. Selain itu,
A. mangium perakarannya luas, mampu beradaptasi pada tanah yang miskin unsur
hara dan tahan terhadap kekeringan, serta mempunyai nilai ekonomi tinggi,
kayunya mempunyai kualitas yang cukup baik khususnya sebagai bahan
pulp/kertas maupun mebel (Purwaningsih, 2004).
Kertas yang dihasilkan A. mangium memiliki kualitas yang tinggi karena
menghasilkan bubur kayu yang berwarna putih dan bersih. Manfaat lain A.
mangium adalah daunnya biasa dimanfaatkan sebagai pakan ternak serta dapat
juga digunakan untuk tanaman reklamasi lahan bekas tambang batu bara atau
untuk penghijauan lahan kritis (Anonim, 2010b).
Pada umumnya A. mangium dapat tumbuh pada daerah dataran rendah yaitu
sekitar 300 m di atas permukaan laut (Khaerudin, 1994). Ciri-ciri dari tanaman ini
adalah bentuk batangnya bulat, lurus, bercabang banyak (simpodial), berkulit
tebal agak kasar, dan kadang-kadang beralur kecil dengan warna coklat muda.
Pohon acacia yang dewasa tingginya dapat mencapai 30 m dengan diameter
batang >75 cm. Tajuk dari acacia menyerupai kerucut sampai lonjong. Pada
masa persemaian tanaman yang masih muda memiliki daun majemuk ganda,
sedangkan setelah dewasa akan muncul daun semu tunggal atau yang disebut juga
phyllodia (Jensen, 1999).
Persyaratan tumbuh A. mangium relatif lebih mudah. Acacia mampu
tumbuh pada lahan bekas tebangan, bekas perladangan liar, tanah yang jelek dan
5
lahan yang ditumbuhi alang-alang. Acacia memiliki kemampuan adaptasi yang
cukup tinggi dan mampu tumbuh pada tanah dengan pH 4.2 (tanah masam).
Acacia akan tumbuh dengan sangat baik pada daerah dengan curah hujan yang
tinggi yaitu 1500-4000 mm/thn dengan temperatur antara 13-34 0C (Retnowati,
1988).
Penyakit yang biasa menyerang A. mangium antara lain „Pink disease’ yang
disebabkan oleh Corticium salmonicolor yang dapat menyebabkan kematian
tajuk, „Powdery Mildew’ oleh genus Oidium yang akan menyerang anakan
Acacia sp yang berumur empat bulan ke bawah. Bagian tanaman yang diserang
adalah daun dan pucuk yang masih muda. Pertumbuhan daun akan terhambat akan
terserapnya zat-zat makanan yang ada di dalam oleh cendawan dan terganggunya
proses fotosintesis pada daun karena permukaan daun ditutupi oleh miselium
cendawan (Retnowati, 1988).
Beberapa pengalaman dan pengamatan di lapang menunjukkan keunggulan
A. mangium dari beberapa species lainnya baik dari segi tumbuhan, kemudahan
penanganan di persemaian, produksi kayu, dan lainnya (Siregar, 1992).
2.2. Rhizobium
2.2.1. Karakteristik Rhizobium
Berdasarkan taksonominya, Rhizobium termasuk dalam divisi Protophyta,
kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, grup α proteobacteria, famili
Rhizobiaceae, dan genus Rhizobium. Klasifikasi Rhizobium didasarkan kepada
pengelompokkan inokulasi silang (cross inoculation). Kelompok inokulasi silang
adalah kelompok leguminosa dengan satu species Rhizobium membentuk bintil
dengan semua leguminosa dalam kelompok tersebut (Anonim, 2010c). Menurut
Gordon et al. (2001), kelompok bakteri tanah yang bersimbiosis dengan tanaman
legum terdiri dari 5 genus yaitu Rhizobium, Mesorhizobium, Allorhizobium,
Bradyrhizobium, dan Azorhizobium.
Akan tetapi menurut Brockwell et al. (2005), kelompok bakteri tanah yang
membentuk bintil akar (rhizobia) dan bersimbiosis dengan tanaman legum yang
dapat memfiksasi N setidaknya ada 6 genus yang termasuk dalam Rhizobiaceae:
Rhizobium, Bradyrhizobium, Sinorhizobium, Mesorhizobium, Allorhizobium, dan
6
Azorhizobium. Selain itu Ngom et al. (2004), mengemukakan bahwa belakangan
ini ada bakteri selain rhizobium yang dapat diisolasi dari bintil akar tanaman A.
mangium, bakteri yang diisolasi termasuk dalam kelompok Ochrobactrum.
Prinsip pengelompokkan inokulasi silang didasarkan pada kemampuan suatu
isolat Rhizobium untuk membentuk bintil pada genus-genus yang terbatas dari
species legum yang satu sama lain berkerabat dekat. Rhizobium hidup bebas
dalam tanah dan dalam daerah perakaran tumbuh-tumbuhan legum maupun bukan
legum. Walaupun demikian, bakteri Rhizobium hanya dapat bersimbiosis dengan
tumbuh-tumbuhan legum dengan menginfeksi akarnya dan membentuk bintil akar
di dalamnya (Subba Rao, 1994).
Menurut Somasegaran dan Hoben (1985) berdasarkan sifat-sifat
pertumbuhannya Rhizobium dibagi menjadi 2 kelompok. Grup I memiliki ciri
antara lain menghasilkan asam dalam media manitol ekstrak khamir (YEMA)
yang mengandung bromtimol biru (BTB), membentuk kekeruhan yang jelas pada
medium cair 2-3 hari inkubasi, waktu ganda 2-4 jam, bentuk sel seperti tongkat
sampai pleomorf, bergerak dengan menggunakan flagella (peritricus) dan tumbuh
baik pada glukosa, manitol dan sukrosa sebagai sumber karbon. Karakteristik grup
II yaitu tumbuh lambat, menghasilkan basa dalam media YEMA yang
mengandung BTB, mempunyai waktu ganda 6-7 jam, bergerak dengan satu
flagella pada kutub ataupun subpolar dan tumbuh baik dalam medium yang
mengandung pentosa.
Koloni Rhizobium dalam media YEMA berbentuk bundar dan cembung,
tepian licin, konsistensi lengket dan berlendir serta dapat mencapai diameter
koloni 2-4 mm dengan masa inkubasi 3-5 hari. Rhizobium mempunyai morfologi
sel berbentuk batang berukuran 0.5-0.9 x 0.2-3.0 µm, penataan sel dapat tunggal
atau berpasangan, bersifat gram negatif dan tidak berspora. Sel bakteri tersebut
mengandung poli β-hidroksi butirat yang berfungsi sebagai cadangan makanan
dalam sel. Bakteri ini hidup secara aerobik dan heterotropik dengan
memanfaatkan beberapa macam karbohidrat seperti manitol, glukosa, dan fruktosa
sebagai sumber karbon (Subba Rao, 1994; Somasegaran dan Hoben, 1985).
Hal yang serupa juga dipaparkan dalam penelitian DeVries et al. (1980) dan Bao
Ling et al. (2007), yang menyatakan bahwa koloni rhizobium yang telah
7
ditumbuhkan pada media YEMA yang diinkubasi pada temperatur 29.40
C selama
2 hari akan memiliki penampilan lengket dan berlendir. Morfologi dari koloni
mempunyai bentuk bulat, koloni akan berwarna putih selama pertumbuhan
berumur 3-4 hari dan akan mulai berubah warna menjadi agak kekuningan setelah
hari ke-4. Koloni berdiameter antara 5-7 mm. pH dari medium untuk tumbuhnya
isolat rhizobia akan mengalami penurunan pH dari pH 7 menjadi pH 6, hal ini
menunjukkan bahwa rhizobium mempunyai karakteristik mengeluarkan asam
selama pertumbuhannya.
2.2.2. Pembentukan Bintil Akar
Tanaman legum tidak semuanya dapat membentuk bintil pada akarnya.
Sekitar 10-12% tanaman legum telah diuji berkaitan dengan pembentukkan bintil
akar (nodulasi), diketahui bahwa 10% mimosoideae, 65% caesalpinodeae dan 6%
papilionoideae tidak memiliki bintil pada akarnya (Subba Rao, 1994). Menurut
Imas et al. (1989), bahwa tidak semua bakteri bintil akar mampu menginfeksi
tanaman pepolongan. Di samping itu galur bakteri yang infektif belum tentu
efektif, jadi adanya bintil tidak menjamin pepolongan dapat memanfaatkan N2.
Faktor gejala pengenalan khusus antara galur Rhizobium dengan inangnya
yang homolog dilakukan oleh lektin tanaman (protein) yang secara spesifik
berkaitan dengan reseptor karbohidrat pada sel Rhizobium. Hal ini terbukti bahwa
reseptor-reseptor ikatan-ikatan khusus lektin semanggi dan lektin kedelai dengan
Rhizobium merupakan polisakarida dari kapsul bakteri (Subba Rao, 1994).
Menurut Subba Rao (1994) dan Gordon et al. (2001), terbentuknya bintil
akar diawali oleh peningkatan jumlah Rhizobium di sekitar akar yang distimulasi
oleh senyawa triptopan dan senyawa lain hasil ekskresi akar. Triptopan digunakan
Rhizobium dan diubah menjadi Asam Indol Asetat (IAA) dengan bantuan substrat
asam-2-ketoglurat dan asam glutamat. IAA inilah yang mempengaruhi
penggulungan dan deformasi rambut akar “tongkat gembala” yang merupakan
langkah awal Rhizobium untuk masuk ke dalamnya. Melalui bulu-bulu akar,
Rhizobium membentuk benang-benang infeksi dan masuk sel korteks yang
dipandu oleh nukleus.
8
Bentuk dan ukuran bintil akar sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah dan
karakteristik dari interaksi antara strain Rhizobium dengan varietas tanaman
sehingga bintil akar tanaman legum akan memiliki bentuk dan ukuran yang
berbeda-beda. Bintil dapat berbentuk bola, silindris, datar, dan sering bundar atau
dengan cabang seperti karang atau dapat juga memiliki bentuk tidak beraturan.
Menurut Madigan et al. (2000) gen yang berperan dalam pembentukkan
bintil akar oleh Rhizobium disebut dengan gen nod. Gen nod yang berperan dalam
menginduksi terjadinya pembengkokan akar rambut dan pembelahan sel tanaman
adalah gen nod ABC yang disebut sebagai faktor Nods.
Di dalam bintil akar, bakteri akan membentuk struktur yang menggembung
serta dapat mengikat nitrogen dari udara yang dikenal dengan nama bakteroid.
Bintil akar yang aktif menambat nitrogen umumnya besar dan berwarna merah
muda yang dikarenakan oleh leghemoglobin (Alexander,1978; Graham, 1998).
Berdasarkan penelitian Bull dan Rice (1991) dikemukakan bahwa tanaman
legum tidak selalu sama merespon rhizobia yang akan menginfeksi akar. Karena
tanaman legum mengenali dan memilih rhizobia manakah yang lebih
menguntungkan bagi tanaman tersebut saat rhizobia mulai memasuki akar.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses nodulasi. Salah
satunya adalah salinitas. Seperti yang dipaparkan oleh Hashem et al. (1998)
bahwa “cekaman salinitas” dapat menurunkan efisiensi dari simbiosis antara
rhizobium dengan tanaman legum, yang berakibat menurunkan pertumbuhan
tanaman dan menghambat proses fotosintesis dengan menurunkan kelangsungan
hidup dan proliferasi rhizobia baik yang terdapat dalam tanah maupun yang
berada di rhizosfer. Selain itu juga dengan cara menghambat proses awal
simbiosis seperti kemotaksi dan kolonisasi rambut akar, sehingga secara langsung
akan menganggu fungsi bintil akar. Hal ini juga diperkuat oleh Singh et al. (2008)
yang juga mengatakan bahwa “cekaman salinitas” yang tinggi secara signifikan
dapat menurunkan fiksasi nitrogen dan proses nodulasi pada tanaman legum.
9
2.2.3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Bintil Akar
Temperatur dan Cahaya
Temperatur dan cahaya dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, bintil
akar dan penambatan N. Pengaruh suhu terhadap tanaman legum bervariasi
tergantung kepada jenis legumnya. Sistem simbiotik lebih sensitif terhadap suhu
dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman. Pada suhu yang rendah (<10oC)
proses pembelahan sel dari bakteri pada rizosfer akan terhambat sehingga
menyebabkan terhambatnya proses infeksi dan menurunnya berat bintil,
sedangkan pada suhu >24 o
C merangsang infeksi rambut akar oleh Rhizobium.
Rentang temperatur yang paling menguntungkan untuk pembentukan jaringan
bakteroid di dalam bintil adalah 20-30 oC (Subba Rao, 1994).
Kelembaban Tanah
Kelembaban tanah sangat berperan dalam pembentukan bintil akar.
Permasalahan utama stress kelembaban yaitu kekeringan dan jenuh air. Menurut
Gibson et al. (1982), terjadi penurunan infeksi akar dan nodulasi seiring dengan
penurunan kelembaban tanah (kekeringan), bahkan tidak terbentuk bintil akar
pada tanah yang mengalami kekeringan. Hal ini disebabkan oleh kegagalan proses
infeksi rambut akar. Keadaan yang demikian juga dapat menekan proses fiksasi
nitrogen dan menurunkan fotosintesis. Defisiensi kelembaban tanah sangat
mempengaruhi fiksasi N2 sebab pembentukan bintil awal, perkembangan bintil
dan aktifitas nitrogenase lebih sensitif terhadap stress kelembaban tanah daripada
sistem metabolisme akar dan pucuk secara umum. Stress yang ringan hanya
menurunkan jumlah bintil sedangkan stress sedang dan berat menurunkan baik
jumlah maupun ukuran bintil akar tanaman.
Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh berupa asam indol asetat (IAA) dan giberelin telah
dapat dideteksi dalam bintil akar. Bintil akar mengandung lebih banyak IAA
daripada perakaran yang bersebelahan dengannya. Beberapa zat tumbuh
merangsang pembentukan bintil sedangkan yang lainnya menghambat, tergantung
pada konsentrasi zat kimia yang digunakan.
10
Kemasaman Tanah
Kemasaman tanah berpengaruh terhadap perkembangan akar tanaman dan
ketersediaan hara tanah. Pada pH yang rendah, beberapa jenis legum tidak dapat
berkembang walaupun Rhizobium cukup toleran, sehingga proses pembentukan
bintil terhambat. Jumlah dan ukuran bintil mungkin dipengaruhi oleh reaksi
substrat tempat tumbuh legum. Kondisi masam dan defisiensi kalsium
berpengaruh langsung terhadap pembentukan simbiosis (Gibson et al., 1982).
Faktor Biologi
Faktor biologi dapat menjadi faktor pembatas seperti persaingan antara
bakteri pengikat N, serangan nematoda maupun bakteri parasit lainnya.
Rhizobium juga memiliki musuh alami dapat menurunkan populasi Rhizobium
dalam tanah.
Biasanya legum sangat hemat dalam penggunaan nitrogen tanah sehingga
suatu tanaman berkadar protein tinggi dapat diperoleh atau dipanen tanpa terlalu
banyak menguras N dari tanah. Sehingga legum dapat dikatakan sebagai penabung
N dan ini merupakan aksioma kesuburan tanah yang penting (Soepardi, 1983).
Faktor ekologis
Penggunaan pestisida merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengendalikan hama dan penyakit tanaman dan beberapa senyawa kimia ini
mungkin mempengaruhi proses mikrobiologis dalam tanah. Tetapi dengan dosis
yang direkomendasikan pestisida tidak mempengaruhi nodulasi. Sebaliknya,
herbisida mempengaruhi proses pembentukan bintil dan fiksasi nitrogen pada
legum. Pada percobaan menunjukkan bahwa penggunaan Dalapon dapat
mengurangi pembentukkan bintil dan cenderung mengurangi efisiensi fiksasi
nitrogen. Hal ini terlihat dari autoradiograf herbisida ditranslokasikan dengan
cepat dan dapat dideteksi dalam daun dan bintil (Subba Rao, 1994).
Ketersediaan Hara Lainnya
Ketersediaan fosfor (P) merupakan faktor penting dalam pembentukkan
bintil dan pertumbuhan tanaman terutama pada tanah-tanah masam. Kandungan P
dalam bintil 2-3 kali lebih besar daripada kandungan P pada akar (Gibson et al.,
11
1982). Menurut Zahran (1999) bahwa aplikasi KH2PO4 25 ppm di tanah-tanah
masam meningkatkan dengan signifikan persentase pembentukkan bintil pada
Trifolium subterraneum yang diinokulasikan Rhizobium leguminosarum bv.
Trifolii. Hal yang sama, pembentukkan bintil dan fiksasi N2 (aktivitas
nitrogenase) pada Trifolium vesiculosum akan meningkat secara signifikan setelah
ditambahkan P (100 ppm) dan K (300 ppm) sedangkan aktivitas nitrogenase
meningkat dua kali pada saat konsentrasi P dinaikkan menjadi 400 ppm.
Kandungan N dalam tanah (khususnya dalam bentuk NO3-) dapat
menghambat proses nodulasi dan fiksasi N2 oleh bakteri rhizobia yang
bersimbiosis dengan tanaman legum. Selain itu Molibdenum merupakan unsur
mikro yang sangat esensial untuk semua tanaman dan sangat dibutuhkan untuk
pembentukkan bintil akar dan fungsi enzim kompleks nitrogenase dari bakteri
rhizobia. Tanah yang kekurangan Mo akan menurunkan populasi rhizobia
sehingga tanaman yang terinfeksi tidak ternodulasi efektif (Somasegaran dan
Hoben, 1994).
Interaksi Mikroorganisme
Setiap inokulasi strain Rhizobium ke media tanah akan mengalami beberapa
kendala untuk mencapai keberhasilan nodulasi akar. Menurut Chowdury (1976)
ada tiga kendala utama yaitu : (1) rhizobia tidak berhasil bertahan hidup di daerah
rhizosfer maupun membentuk bintil akar tanaman inang. (2) Inokulan Rhizobium
berhasil bertahan hidup di daerah rhizosfer dan menghasilkan bintil akar yang
baik tetapi gagal bertahan hidup di media tanah sekitarnya. (3) Inokulan
Rhizobium gagal bersaing dengan rhizobia asli untuk membentuk bintil akar.
Indikasi kemampuan kompetitif dan daya efektivitas strain rhizobia
tergantung dari karakter strain itu sendiri, namun tanaman inang lebih menyeleksi
beberapa strain yang terbaik dari campuran populasi strain efektif dan strain tidak
efektif (Robinson, 1968).
Ada beberapa jenis fungi terutama Penicillium dan Aspergillus bersifat
antagonis terhadap R. trifoli atau R. lupini. Fungi tersebut membentuk koloni pada
tanah atau daerah sekitar rhizosfer yang mengakibatkan berkurangnya daya
simbiosis yaitu berkurangnya pembentukkan bintil, leghaemoglobin bintil,
kandungan nitrogen dan pertumbuhan tanaman inang (Robinson, 1968).
12
Pengaruh Sterilisasi terhadap Kandungan Unsur Hara
Hasil penelitian Toharisman (1989), menunjukkan bahwa sterilisasi dengan
autoklaf lebih efektif dalam membunuh bakteri dan fungi dibandingkan dengan
pemberian fumigasi (Basamid, Phostoxim, Nuvantop dan Kloroform). Pengaruh
intensitas sterilisasi autoklaf akan meningkatkan pH dan kelarutan Fe, Mn, dan Zn
serta cenderung menurunkan Cu. Perubahan kelarutan unsur mikro tersebut relatif
lebih kecil pada tanah yang tidak dikapur kecuali Mn. Pada tanah yang tidak
dikapur, kenaikan intensitas sterilisasi autoklaf menurunkan tinggi tanaman, bobot
kering akar dan bobot kering bagian tanaman kedelai dan jagung. Namun
penurunan ketiga peubah tersebut tidak terjadi pada tanah yang dikapur.
Pemberian kapur sebelum sterilisasi dapat mengurangi pengaruh buruk autoklaf
terutama menurunkan keracunan Mn.
2.3. Nitrogen
Nitrogen (N) merupakan salah satu unsur hara esensial yang dibutuhkan
bagi pertumbuhan tanaman, sehingga bila kekurangan unsur tersebut
menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal. Nitrogen diserap oleh
tanaman dalam bentuk bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3
-). Kebutuhan
nitrogen tanaman diperoleh dari beberapa sumber di antaranya dari pupuk dan
secara alami melalui proses simbiosis antara tanaman dengan organisme tanah.
Menurut Sanchez (1976) nitrogen merupakan unsur hara penentu produksi atau
sebagai faktor pembatas utama produksi. Nitrogen merupakan salah satu unsur
pupuk yang diperlukan dalam jumlah paling banyak namun keberadaannya dalam
tanah sangat mobil sehingga mudah hilang dari tanah melalui pencucian maupun
menguap ke udara.
Pemberian nitrogen yang berlebihan dapat menyebabkan pertumbuhan
vegetatif tanaman sangat hebat dan warna daun menjadi hijau tua. Kelebihan N
dapat memperpanjang umur tanaman akan tetapi memperlambat proses
kematangan karena tidak seimbang dengan unsur lain seperti P, K, dan S.
Sedangkan kekurangan unsur nitrogen dapat mengakibatkan tanaman mengalami
gejala defisiensi yang ditunjukkan oleh klorosis (menguning) pada daun, yang
dimulai dari daun tertua. Kekurangan unsur nitrogen juga menyebabkan tanaman
13
kerdil, daun yang lebih tua atau seluruh tanaman berwarna hijau kekuningan, daun
yang masih muda berukuran sempit, pendek, tegak, dan berwarna hijau
kekuningan.
Unsur N yang ditemukan dalam tanah secara umum dapat dibagi menjadi
dua bagian besar, yaitu bentuk N-organik dan N-inorganik. Bentuk N-organik
meliputi asam amino atau protein asam amino bebas, gula amino, dan senyawa
kompleks yaitu amonium yang berasosiasi dengan lignin dan polimer-polimernya.
Bentuk N-inorganik terdapat dalam bentuk amonium (NH4+), nitrat (NO3
-), nitrit
(NO2-), oksida nitrous (N2O), oksida nitrit (NO), dan gas N2 akibat perombakan
mikrobia. Gas N2O dan N2 adalah bentuk yang hilang dari tanah sebagai akibat
dari proses denitrifikasi (Leiwakabessy et al., 2003).
Menurut hasil penelitian Imelda et al. (2006), simbiosis antara A. mangium
dan rhizobium dapat efektif meningkatkan pertumbuhan tanaman di tiga bulan
pertama saat persemaian tanpa pengaplikasian pupuk N. Namun hal ini harus
didukung tersedianya unsur hara makro lain seperti P dan K dalam tanah. Di mana
nitrogen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dapat difiksasi dari udara
bebas oleh tanaman yang dinokulasi.
Fiksasi N2 menjadi ammonium secara biologis menyediakan sekitar 65% N
di biosfer. Sebagian besar ammonium berasal dari simbiosis antara tanaman
legum dengan rhizobia, yang diinisiasi dari tanaman inang diinfeksi oleh bakteri
rhizobia sehingga terjadi pembentukkan bintil akar. Di dalam bintil akar, rhizobia
berperan dalam fiksasi N2 bebas, di mana kebutuhan karbon (C) dan energinya
rhizobia mengambil dari tanaman dalam bentuk asam dikarboksilat. Sebaliknya
tanaman inang memperoleh ammonium dari rhizobia. Hubungan ini merupakan
simbiosis mutualisme antara tanaman inang dengan bakteri rhizobia (Lodwig et
al., 2003).