abstrak-daftar pustaka.docx
TRANSCRIPT
ABSTRAK
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. melalui malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa arab. Namun Islam tidak
hanya berkembang di jazirah Arab. Sehingga bukan hanya orang Arab yang membaca
Al-Qur’an tersebut. Al-Qur’an tidak hanya wajib dibaca tetapi juga dikaji, difahami,
dan diamalkan. Oleh sebab itu tidak hanya cukup hanya membaca Al-Qur’an, tetapi
mentadaburinya agar kita mampu menyerap pesan-pesan Allah yang disampaikan
didalam Al-Qur’an. Bagi bangsa non-Arab menerjemahkan Al-Qur’an adalah pintu
untuk mentadaburi Al-Qur’an. Namun hal ini menjadi problem yang banyak
dibicarakan. Yaitu adanya pelarangan penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa lain.
Di Asia Tenggara, Al-Quran juga sudah pula diterjemahkan dalam bahasa
rumpun melayu seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Tak hanya itu,
penerjemahan Al-Quran juga dilakukan dalam rumpun lokal, seperti penerjemahan
kedalam bahasa sunda, madura, melayu, jawa dan yang lainnya.
Perkembangan tafsir di Indonesia amatlah lambat. Hal ini merupakan salah
satu penyebab dari Pelarangan penerjemahan Al-Qur’an di Indonesia. Terlebih
bangsa Indonesia mengenal huruf latin jauh setelah Islam masuk ke Nusantara.
Akibatnya tafsir-tafsir yang lahir di Indonesia adalah tafsir dengan bahasa melayu
yang menggunakan Arab pegon.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Jenis-Jenis Terjemah
Terjemah menurut etimologi mengandung empat makna yang terkait1 :
1. Menyampaikan berita kepada yang terhalang menerima berita
2. Menjelaskan maksud kalimat dengan cara menggunakan bahasa aslinya
3. Menjelaskan maksud dari suatu kalimat dengan perantaraan bahasa lainnya
4. Alih bahasa, yaitu pengalihan makna atau amanat dari bahasa tertentu ke
bahasa lainnya.
Secara ternimologi, terjemah adalah ungkapan makna dari bahasa
tertentu ke bahsa lain sesuai dengan maksud yang terkandung dalam bahsa
tertentu tersebut2.
Ada dua macam jenis Terjemah. Terjemah hatfiyah dan Terjemah
Maknawiyah.
1. Terjemah Harfiyah
Terjemah harfiyah ialah pengalihan bahasa yang dilakukan sesuai
urut-urutan kata basa sumber. Menurut Az- Zarqani, terjemah seperti ini tidak
ubahnya dengan kegiatan mencari padanan kata.terjemah seperti ini disebut
dengan terjamahan Lafdziah
2. Terjemah Maknawiyah
Ialah alih bahasa tanpa terikat dengan urut- urutan kata atau susunan
kalimat bahasa sumber. Yaitu mengutamakan ketepatan makna dan maksud
1 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Quran, (Jogjakarta: Tiara Wahana 2001), h. 572 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Quran, h. 60
secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan susunan kata atau
kalimat3
B. Sejarah Penerjemahan Al-Qur’an di Indonesia
Penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu telah dilakukan
sejak pertengahan abad ke-17 M. Adalah Abdul Ra'uf Fansuri, seorang ulama
dari Singkel (sekarang masuk wilayah Aceh) yang pertama kali
menerjemahkan Alquran secara lengkap di bumi Nusantara.
Meski terjemahannya boleh disebut kurang sempurna dari ditinjauan
ilmu bahasa Indonesia modern, Abdul Ra'uf Fansuri bisa dikatakan sebagai
tokoh perintis penerjemahan Alquran berbahasa Indonesia. Setelah munculnya
terjemahan Alquran karya Abdul Ra'uf Fansuri, hampir tak ditemukan lagi
terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia hingga abad ke-19 M.
Abdur Ra’uf menimba di Arab Saudi sejak 1640. Ia kembali ke Tanah
Air pada 1661. Ulama terkemuka itu lalu menerjemahkan Alquran ke dalam
bahasa Melayu dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid. Tafsir Alquran pertama di
Nusantara itu disambut umat Islam yang bersemangat mempelajari dan
memahami isi ajaran Alquran.
Selain di Indonesia, tafsir tersebut juga digunakan oleh umat Islam di
Singapura dan Malaysia. Tafsir itu pernah diterbitkan di Singapura, Penang,
Bombay, Istanbul (Matba’ah al-usmaniah, 1302 H/ 1884 M dan 1324 H/ 1906
M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), serta Makkah (al-Amiriah).
Sedikitnya ada dua pendapat besar mengenai tafsir yang ditulis Abdul
Ra’uf itu. Pertama, orientalis asal Belanda, Snouck Hurgronje menganggap
bahwa terjemah tersebut lebih mirip sebagai terjemahan tafsir al-Baidaiwi.
Rinkes, murid Hurgronje, menambahkan bahwa selain sebagai terjemahan
tafsir al-Baidawi, karya ulama asal Aceh itu juga mencakup terjemahan tafsir
Jalalain. 3 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Quran, h. 61
Kedua, Riddel dan Harun memastikan bahwa Tarjuman Al-Mustafid
adalah terjemahan tafsir Jalalain, hanya pada bagian tertentu saja tafsir
tersebut memanfaatkan tafsir al-Baidaiwi dan tafsir al-Khanzin. Abdul Ra’uf,
menurut kedua ahli itu, cenderung memilih tafsir Jalalain. Secara emosional,
Singkel memiliki runtutan sanad itu dapat ditelusuri melalui gurunya, baik al-
Qusyasyi maupun atau al-Kurani.
Menurut Azyumardi Azra, Abdul Ra’uf menulis terjemahan Alquran
ke dalam bahasa Melayu dalam perlindungan dan fasilitas penguasaan Aceh,
ketika itu. Ia sangat yakin, karya besar itu ditulis di Aceh. Tarjuman Mustafid
karya Abdul Ra’uf merupakan salah satu petunjuk besar dalam sejarah
keilmuan Islam, khususnya tafsir di tanah Melayu.
Penerjemahan generasi kedua di Indonesia muncul pada pertengahan
tahun 60-an. Baru di awal abad ke-20 M, sejumlah karya-karya terjemahan
Alquran lengkap dengan tafsirnya dibuat. Di antara karya-karya tersebut
adalah Al-Furqan oleh A Hassan dari Bandung (1928), Tafsir Hidayatur
Rahman oleh KH Munawar Chalil, Tafsir Qur'an Indonesia oleh Mahmud
Yunus (1935), Tafsir Al-Qur’an oleh H Zainuddin Hamid cs (1959), Tafsir
Al-Qur’anil Hakim oleh HM Kasim Bakry cs (1960).
Munculnya terjemah atau tafsir lengkap, menandai lahirnya generasi
ketiga pada tahun 70-an. tafsir generasi ini biasanya memberi pengantar
metodologis serta indeks yang akan lebih memperluas wacana masing-
masing. tafsir An-Nur/Al-Bayan (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1966), Tafsir Al-
Azhar (Hamka, 1973), Tafsir Al-Quranul Karim (Halim Hasan cs, 1955)
dianggap mewakili generasi ketiga.
Kendati karya-karya terjemahan Alquran berbahasa Indonesia masih
terbilang sedikit, namun pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian
besar terhadap terjemahan Alquran ini. Hal ini terbukti bahwa penerjemahan
Alquran masuk dalam Pola I Pembangunan Semesta Berencana, sesuai
dengan keputusan MPR.
Untuk melaksanakan program ini Kementerian Agama pada masa itu
telah membentuk sebuah lembaga Yayasan Penyelenggara Penterjemah /
Penafsir Alquran yang diketuai oleh Prof RHA Soenarjo SH, mantan Rektor
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, waktu itu. Tim ini beranggotakan para
ulama dan para sarjana Islam yang mempunyai keahlian dalam bidangnya
masing-masing.4
C. Problematika Penerjemahan Al-Qur’an
“ Menerjemahkan Alquran selalu menjadi sebuah problematika dan
isu yang sulit dalam teologi Islam. Karena Muslim menghormati Alquran
sebagai mukjizat dan tak bisa ditiru. Terlebih, kata-kata dalam Alquran
memiliki berbagai arti tergantung pada konteks, sehingga untuk membuat
sebuah terjemahan yang akurat amatlah sulit.” Menurut Afnan Fatani (2006)
dalam "Translation and the Qur'an" yang dikutip oleh Nidia Zuraya pada
sebuah artikel di media elektronik Republika.
Ziyadul Ul Haq dalam bukunya Psikologi Qurani, mengatakan bahwa:
menerjemahkan Alquran bukanlah usaha untuk menduplikasi atau mengganti
teks Alquran yang asli. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan
manusia tidak sama dengan Alquran itu sendiri. Keaslian dan kemurnian
Alquran dijaga oleh tangan Ilahi. ‘’Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.’’
(QS Al-Hijr [15]:9). Usaha manusia dalam menterjemahkan bahasa ilahiyah
sangat tergantung pada kapasitas manusia itu sendiri.5
Para ulama Islam tidak pernah menganjurkan upaya penerjemahan Al-
Qur’an. Bahakan sebagian mereka melarang dan mengharamkannya. Inilah
4 Nidia Zuraya, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/17/m2mmqq-jejak-penerjemahan-alquran-di-indonesia , diakses 17 April 2012, jam 20:56 WIB.5 Nidia Zuraya, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/17/m2m933-melacak-sejarah-penerjemahan-alquran, diakses 17 April 2012, jam 16:01WIB.
yang menjelaskan mengapa terjemahkan Al-Qur’an dilakukan pertama kali
orang-orang non-Muslim, khususnya di Eropa, dan bukan oleh orang-orang
Islam. Namun, memasuki zaman modern, upaya penerjemahan Al-Qur’an
tidak bisa lagi di bending. Seperti dijelaskan dengan sangat bagus oleh
M.Ayoub, upaya penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa non-Arab pada mulanya
sebuah kebutuhan untuk membendung missionaris Kristen. Kaum muslimin
do Negara-negara no n-Arab merasa kesulitan berinteraksi langsung dengan
kitab suci mereka, sementara para missionaris secara gencar menyebarluaskan
kitab suci dengan bahasa lokal dimana kaum Muslim tinggal. Untuk
menandingi misionaris, para ulama akhirnya memperbolehkan penerjemahan
Al-Qur’an.6
Alasan para ulama tidak pernah menganjuran upaya penerjemahan Al-
Qur’an adalah…………………………..
Kendati demikian, upaya penerjemahan Al-Qur’an selalu dikontrol
secara ketat. Negara selalu mengambil peran dalam melakukan
“penerjemahan resmi”, sementara upaya-upaya penerjemahan individual tidak
pernah digalakan, dan kalau perlu dilarang. Kasus terjemahan al-quer’an ke
dalam bahasa inggris oleh Rashad Khalifa (The Qur’an: The Final Scripture)
dan kedalam bahsa Indonesia oleh H.B. Jassin (Al-Qur’an berwajah puisi)
adalah contoh betapa penerjemahan Al-Qur’an secara individual bisa
membahayakan pelakunya. Diatas ini semua, perlu digaris bawahi bahwa para
ulama Islam hampir sepakat bahwa terjemahan Al-Qur’an sesungguhnya
bukanlah Al-Qur’an. Al-Qur’an itu, menurut mereka, untrestable, tidak bisa
diterjemahkan. Pesannya jelas bahwa Al-Qur’an dalam bahasa arab adalah
sesuatu yang agung, yang suci, yang tak terwakili oleh bahasa non-Arab. 7
Di Indonesia terjemahan Al-Quran telah menjadi bagian dari isu tabu
dan sensitif bagi kaum muslim. R.A kartini (1879-1904) dalam suratnya
6 Ulil Abshar Abdalla dkk, Metodologi Studi Al-Quran (Jakarta: Gramedia, 2009), h.26-277 Ulil Abshar Abdalla dkk, Metodologi Studi Al-Quran, h.28
tanggal 6 November 1899 sempat mengeluhkan tentang “terlalu sucinya” Al-
Quran pada masanya untuk diterjemahkan kedalam bahasa apapun. Sekitar
1909, Sayyid Uthman, seorang mufti polemis Batavia yang dekat dengan
kolonial Belanda secara terbuka menyebarkan pamflet untuk merespon usulan
terjemah berbahasa Jawa. Sekitar tahun 1925, msalh terjemah juga muncul
dalam fatwa Rasyid Ridha di majalah Al- Manar Mesir terkait perkataan
Basyuni Imran dari Sambas Kalimantan Barat mengenai upaya H.O.S
Tjokroaminato yang menerjemahkan The Holy Al-Quran karya Muhammad
Ali , ulama Ahmadiyah kealam bahasa melayu Indonesia. Di Priangan,
Ahmad Sanusu juga pernah memicu perdebatan tentang masalah terkait
penolakan ulama Pakauman terhadap karangannya berupa Tafsir berbahasa
Melayu “Tamsjijjatoel Moeslimin” tahun 1934. Berbagai kasus tersebut
menunjukkan bahwa pada masa dahulu terjemah umumnya masih dianggap
tabu oleh ulama Indonesia, setidaknya hingga paruh Abad ke-20. Penolakan
ulama atas terjemah didasarkan bahwa terjemah dianggap sesuatu yang
mustahl karena tidak bisa menggantikan Bahasa Arab Al-Quran . bisa
dipahami bawa kemudian terjemah non-Arab dihukumi Haram.8
Contoh mufasir di Indonesia yang menerjemahkan Al-Qur’an ke
bahasa melayu dan tulisan Arab pegon adalah H. Ahmad Sanusi yang
menyajikan tafsir dengan dua bahasa yakni bahasa arab yang didampingi arab
latin dengan tafsirnya Tamsiyatul Muslim. Hal ini menuai banyak kritik dari
kalangan yang berbeda. Karena pada saat itu penerjemahan Al-Qur’an dengan
penulisan arab latin dianggap menyimpang ajaran Rosululloh SAW.
H. Mansoer dan H. Oesman yang menyatakan bahwa tafsir hasil karya
beliau tak lebih dari sebuah kebohongan belaka. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa beliau menulis Al-Qur’an dengan huruf latin. Kenyataan ini,
akhirnya akan memecah belah umat muslim, sebagai tindakan prefentif, kedua
8 Jajang A Rohmana. Sejarah Tafsir Al-Quran ditatar Sunda, (Bandung: Mujahid Press, 2014), h.71
ulam tersebut, mengharamkan penulisan Al-Qur’an dengan menggunakan
bahasa Hindie (Latin).
Sebab itu H. Ahmad Sanusi menjelaskan dengan beberapa uraian
berikut ini:
1. Penulisan Qur’an dengan huruf latin bukanlah tindak kesewenangan beliau
secara individu, tetapi sudah merupaka ijma dari para ulama. Selain itu,
penulisan Al-Qur’an dengan tulisan latin, tidak merubah dzat, lafadz, kalimah
ataupun hakikat ayat yang ditulis.
2. Penulisan sahabat, Tabi’in dan ulama pada kurun abad pertama sampai
disusunnya tafsir ini dengan memakai bahasa arab, tidak bisa dijadikan alasan
untuk menolak penulisan Al-Qur’an dengan huruf latin. Karena Islam telah
menetapkan, apapun pekerjaan yang telah dilakukan oleh sahabat, tabiit dan
tabi’in itu tidaklah wajib. Bahakan Ibnu Hazim berkata: “perbuatan-perbuatan
Nabi itu bukanlah wajib dan bukanlah fardu, kecuali ia mengandung perintah-
perintah dari Allah.”
3. Sesuatu yang wajib itu seyogyanya didukung oleh ayat Al-Qur’an ataupun
hadits, sedang perkara yang diharamklan harus pula memiliki bukti
pengharamnya dari Al-Qur’an ataupun hadits, selain itu perkara-perkara yang
tidak ada perintah ataupun larangannya dari Qur’an atau haidits, maka itu
namanya masqut ‘an-hu/ ‘afiyah.9
Penulisan Qur’an dengan huruf latin bukanlah tindak kesewenangan,
tetapi sudah merupaka ijma dari para ulama. Selain itu, penulisan Al-Qur’an
dengan tulisan latin, tidak merubah dzat, lafadz, kalimah ataupun hakikat ayat
yang ditulis.
D. Pengaruh Pelarangan Penerjemahan Al-Qur’an pada Perkembangan
Tafsir di Indonesia9 Rosihon Anwar, Kumpulan Makalah Sejarah Tafsir Indonesia
Akibat dari adanya pelarangan penerjemahan Al-Qur’an ini sangat
dirasakan pada perkembangan tafsir di Indonesia. Karena adanya pelarangan
penerjemahan maka tidak banyak ulama Islam di Indonesia yang berani
menafsirkan Al-Qur’an dengan bahasa melayu Karena alasan melanggar titah
Nabu dan pada akhirnya dianggap menyesatkan. Sebab itu perkembangan
tafsir di Indonesia sangatlah lambat. Bisa dirsakan jarak dari masuknya Islam
ke Indonesia dengan produk tafsir Indonesia. Islam masuk ke Indonesia pada
abad ke-13, sedangkan produk tafsir baru ada pada abad ke- 19/20-an. Contoh
produk tafsir berbahasa melayu di abad ke-19 adalah Tarjuman al-
Mustafid karya Syeikh Abdurrauf as-Sinkili yang di terbitkan di Istanbul.
Adanya serapan dari bahasa Arab ke dalam bahsa Indonesia
merupakan pengaruh dari hal tersebut. Banyak kata bhas Arab didalam Al-
Qur’an yang tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia karena
kedalaman maknanya. Hari ini beberapa mufasir memakai pendekatan
semantic untuk memahami makan dari kata tersebut.
E. Hukum Menerjemahkan Maknawi dan Fatwa Larangan Terjemah
Harfiyah Al-Qur’an
Dalam menetapkan hukum menerjemahkan Al- Qur’an, ada empat
konotasi yang muncul dari kata “ Menerjemahkan Al- Qur’an”, yakni :
1. Hukum menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian menyebarluaskan
ayat-ayatnya ( tabligu alfazihi )
2. Hukum menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian menafsirkannya
dalam bahasa sumber ( tafsiratuhu bilugatihi al- arabiah ).
3. Hukum menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian menafsirkannya
dalam bahasa penerima ( tafsiratuhu bilugah ajnabiah).
4. Hukum menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian alih bahasa ( naqluhu
ila lugah ukhra ).
5. Pembahasan dalam penelitian ini terbatas pada nomor tiga dan empat, dengan
alasan nomor satu merupakan bagian dari pengumpulan dan pembukuan ayat-
ayat Al- Qur’an, sedangkan nomor dua bagian dari penafsiran.
6. Menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian menafsirkan nya dalam bahasa
penerima
7. Menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian menafsirkan nya dalam bahasa
penerima, atau dengan kata lain menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan menggunakan bahasa selain bahasa sumber, hukumnya sama dengan
hukum menafsirkan Al- Qur’an dalam bahasa sumber bagi orang yang mampu
memahami bahasa sumber, yakni wajib, setidak- tidaknya sunat.10 dalil yang
dipergunakan untuk mendukung pernyataan ini ialah dalil tentang
menafsirkan Al- Qur’an dalam bahasa sumber bagi orang yang mampu
memahami bahasa sumber tersebut, yakni :
اليهم ل نز سما للنا لتبين كر لذ ا اليك لنا نز ا 11 و
“ Kami turunkan kepadamu Al- Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka ( perintah-perintah,
larangan-larangan, aturan- aturan, dan lain-lain yang terdapat di dalam
AlQur’an)”.
Dalil ini berlaku dengan alasan bahwa menafsirkan Al- Qur’an dengan
memakai bahasa yang dipahami oleh penerima sama dengan menafsirkannya dalam
bahasa sumber buat orang yang memahaminya. Jadi, bukan semata-mata alih bahasa
Al- Qur’an.
8. Menerjemahkan Al- Qur’an dengan pengertian alih bahasa
10 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Quran, (Jogjakarta: Tiara Wahana 2001), h. 5711 Q.S. 16: 144
Secara ringkas menerjemahkan Al- Qur’an disini dapat didefinisikan: Alih
bahasa Al- Qur’an dari bahasa Arab ke bahasa lain. Secara lebih panjang dapat
didefinisikan: Mengungkapkan makna dan maksud ayat- ayat Al-Qur’an dengan
bahasa lain
Apabila bentuk terjemahannya sesuai dengan urutan kata dan kalimat bahasa
sumber, terjemahannya disebut terjemahan harfiah, atau musawiah. Kalau tidak,
disebut terjemahan tafsiriah atau maknawiah.
Realisasi penerjemahan Al- Qur’an dengan pengertian seperti pada nomor
dua, mustahil menurut hukum adat dan hukum syar’i. Artinya, secara adat
pelaksanaan model terjemahan seperti ini tidak mungkin, dan secara syari’ah ( hukum
Islam) mencobanya juga sudah haram.
Farid Wajdi, menunjukkan bahwa menerjemahkan makna atau maani Al-
Quran itu diizinkan. Terjemahan Al-Quran secar sederhana tidak merepresentasikan
kata-kata manusia (kalam Annas), karena sekalipun idak mengandung kalam Allah
secra harfiyah, kandungan terjemahan terdiri dari makna kata-kata Tuhan.12
Adapun fatwa ulama’ Saudi yang diketuai Syaikh Bin Baz tentang keharaman
penerjemahan Al-Qur’an secara harfiyah adalah sebagai berikut:
Menerjemahkan Al-Qur’an atau beberapa ayat, untuk menjelaskan yang
dimaksud Al-Qur’an secara utuh, tidak mungkin. Oleh karena itu, menerjemahkan
Al-Qur’an atau beberapa ayat secara harfiyah tidak boleh, sebab hal ini dapat
menyebabkan pengertian yang salah, dan penyimpangan dari maksud sebenarnya.
Seseorang menerjemahkan suatu ayat atau lebih yang dipahaminya, dan
menjelaskan hukum serta tuntunan Al-Qur’an yang dipahaminya dalam bahasa
Inggris, Prancis atau Persia, untuk menyebarkan pengertian Al-Qur’an yang
dipahaminya, dan mengajak manusia kepada Al-Qur’an. Hal demikian dibolehkan, 12 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran,(Jakarta: Pustaka Alfabet,2005), h. 399
sebagaimana orang menafsirkan Al-Qur’an atau beberapa ayat yang dipahaminya
dalam bahasa Arab. Akan tetapi yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai:
ahli tafsir Al-Qur’an, mampu menjelaskan aspek hukum dan tuntunan Al-Qur’an
secara cermat dengan pemahaman yang diperolehnya dari Al-Qur’an.
Maka siapa saja yang tidak memenuhi persyaratan ini, atau tidak memiliki
kemampuan untuk menjelaskan maksud Al-Qur’an, baik dalam bahasa Arab atau Non
Arab secara cermat, maka dia tidak boleh melakukan usaha ini. Karena dikhawatirkan
merubah makna Al-Qur’an dari maksud yang sebenarnya, sehingga yang semula
maksudnya baik menjadi tidak baik. Dan keinginannya yang semula baik menjadi
buruk.
Fatwa tersebut ditambahkan pada Kamis 5 Jumadilakhir 1425 H. bertepatan
dengan 22 Juli 2004 M. dengan pihak pemberi fatwa: Fatwa Komite Tetap Riset
Ilmiah dan Fatwa. Diterbitkan disitus resmi penerbitan Al-Qur’an di Madinah al-
Munawwaroh (http://www.qurancomplex.org/.
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla, Ulil Abshar dkk, Metodologi Studi Al-Quran (Jakarta: Gramedia,
2009).
Anwar , Rosihon, Kumpulan Makalah Sejarah Tafsir Indonesia.
Lubis, Ismail, Salsifikasi Terjemahan Al-Quran, (Jogjakarta: Tiara Wahana
2001)
Rohmana, Jajang A. Sejarah Tafsir Al-Quran ditatar Sunda, (Bandung:
Mujahid Press, 2014).
Zuraya, Nidia,
http://www.republika.co.id/berita/dunia-Islam/khazanah/12/04/17/m2mmqq-jejak-
penerjemahan-alquran-di-indonesia.
Zuraya, Nidia,
http://www.republika.co.id/berita/dunia-Islam/khazanah/12/04/17/m2m933-melacak-
sejarah-penerjemahan-alquran.
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran,(Jakarta: Pustaka
Alfabet,2005).