acara 3 _kel 3
DESCRIPTION
laporan praktikumTRANSCRIPT
ACARA III
UJI KERUSAKAN MINYAK
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk
menjaga kesehatan tubuh manusia. Selain itu lemak dan minyak juga
merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat
dan protein. Lemak dan minyak terdapat pada hampir semua bahan pangan
dengan kandungan yang berbeda-beda.
Selama penyimpanan, minyak dan lemak mengalami perubahan
fisiko-kimia yang dapat disebabkan oleh proses hidrolisis maupun
oksidasi. Proses hidrolisis terutama terjadi pada minyak atau lemak yang
banyak mengandung asam lemak jenuh. Proses oksidasi terjadi pada
minyak atau lemak yang mengandung ikatan rangkap.
Kerusakan yang umum pada minyak dan lemak adalah ketengikan
yang dapat terjadi karena reaksi oksidasi atmosfir. Reaksi oksidasi
atmosfir terjadi antara oksigen peroksida-peroksida yang bersifat labil
dimana peroksida-peroksida kemudian mengalami isomerasi,
dekomposisi, atau bereaksi dengan air membentuk aldehid, keton, dan
asam yang mempunyai berat molekul rendah. Ketengikan juga dapat
terjadi karena aktifitas enzim maupun mikroba. Minyak yang telah lama
disimpan perlu diketahui tingkat kerusakannya yang dapat dinyatakan
sebagai angka peroksida, angka FFA, dan bilangan TBA. Dengan
melakukan uji kerusakan minyak, maka dapat diketahui apakah minyak
dan lemak yang telah melalui proses penyimpanan masih aman atau tidak
untuk dikonsumsi manusia.
2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara III “Uji Kerusakan Minyak” adalah
sebagai berikut :
a. Mengetahui angka peroksida pada berbagai sampel minyak lemak.
b. Mengetahui asam lemak bebas (FFA) pada berbagai sampel minyak
lemak.
c. Mengetahui bilangan TBA pada berbagai sampel minyak lemak.
d. Melakukan uji akrolein pada berbagai sampel minyak lemak.
B. Tinjauan Pustaka
Minyak dan lemak nabati adalah campuran biologis yang berasal dari
tumbuhan yang terdiri dari campuran ester yang berasal dari gliserol dengan
rantai asam lemak. Baik fisik dan karakteristik kimia minyak dan lemak
sangat dipengaruhi oleh jenis dan proporsi asam lemak pada triasilgliserol
tersebut. Asam lemak dapat diklasifikasikan dalam kelas-kelas seperti asam
lemak jenuh, tak jenuh tunggal (MUFA) dan tak jenuh jamak (PUFA). Di sisi
lain, asam lemak tak jenuh diklasifikasikan ke dalam kelompok yang dikenal
sebagai omega, dimana ω-9 dianggap tidak penting bagi manusia, dan ω-3 dan
ω-6 sebagai asam lemak esensial karena ini tidak dapat disintesis oleh
mamalia; Oleh karena itu, mereka diperoleh dari asupan makanan. Asam
lemak dominan yang terkandung dalam minyak dan lemak nabati adalah
senyawa jenuh dan tak jenuh dengan rantai alifatik lurus (Kostik, 2012).
Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk
menjaga kesehatan tubuh manusia. Selain itu lemak dan minyak juga
merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat
dan protein. Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 kkal,
sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram. Lemak
dan minyak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan
yang berbeda-beda (Winarno, 2002).
Kerusakan yang umum pada minyak dan lemak adalah ketengikan yang
dapat terjadi karena reaksi oksidasi atmosfir. Reaksi oksidasi atmosfir terjadi
antara oksigen peroksida-peroksida yang bersifat labil dimana peroksida-
peroksida kemudian mengalami isomerasi, dekomposisi, atau bereaksi dengan
air membentuk aldehid, keton, dan asam yang mempunyai berat molekul
rendah. Ketengikan juga dapat terjadi karena aktifitas enzim maupun mikroba.
Untuk menguji tingkat ketengikan minyak dan lemak, bahan yang dibutuhkan
adalah minyak dan lemak yang telah disimpan lama (Muchtadi, 2010).
Faktor penentu minyak atau lemak antara lain adalah angka asam,
angka asam lemak bebas, angka peroksida, angka TBA, dan kadar air.
Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi
dan hidrolitik, baik enzimatik, maupun non enzimatik. Diantara kerusakan
minyak yang mungkin terjadi ternyata kerusakan karena autooksidasi yang
paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil yang diakibatkan oksidasi
lemak antara lain peroksida, asam lemak, aldehid, dan keton. Bau tengik atau
ransid terutama disebabkan oleh aldehid dan keton. Untuk mengetahui tingkat
kerusakan minyak dapat dinyatakan sebagai angka peroksida atau angka asam
thiobarbiturat (Sudarmadji, 2010).
Nama lain dari asam thiobarbiturat adalah 4,6-Dihidroksi-2
mercaptopirimidin dan 2-mercapto-asam barbiturat. TBA mempunyai rumus
kimia C4H4O2N2S dengan berat molekul 144,15. Sifat fisika dan kimia dari
TBA termasuk padatan berwarna kuning terang, larut dalam air, dan titik
leburnya 2350C (455 F). Bilangan TBA merupakan salah satu parameter untuk
menentukan ketengikan thiobarbiturat dengan malonaldehida yang merupakan
hasil dekomposisi peroksida (Pomeranz and Clifton, 1994 dalam Mualiffah,
2009).
Malonaldehid yang direaksikan dengan TBA akan terbentuk kromogen
MDA TBA yang berwarna merah. Intensitas warna merah sesuai dengan
jumlah malonaldehid yang terkandung dalam minyak. Semakin besar jumlah
malonaldehid maka warna yang terbentuk akan semakin merah. Intensitas
warna merah inilah yang diserap oleh alat spektrofotometer dengan panjang
gelombang 528 nm, yang akan menentukan kadar TBA atau menunjukkan
derajat ketengikan dalam minyak (Sudarmadji, 2010). Angka TBA dapat
diketahui dengan rumus sebagai berikut:
Angka TBA = x besarnya absorbansi pada ᵡ 528 nm x 7,8.
Makin besar angka TBA, maka semakin tengik suatu minyak. Uji TBA
memiliki kelemahan, yaitu TBA tidak stabil dan terurai dalam kondisi yang
panas dan tinggi asam, terutama bila ada peroksida. Produk uraian ini dapat
menyerap pada gelombang yang sama dengan TBA (Ketaren, 1986 dalam
Suhairi, 2011).
Bilangan peroksida menunjukkan telah terjadinya suatu reaksi oksidasi
pada minyak. Bilangan peroksida dapat digunakan sebagai petunjun adanya
kerusakan oksidatif pada minyak atau lemak, dimana peroksida merupakan
produk pertama dari reaksi autooksidasi. Pada awal reaksi oksidasi asam
lemak akan mengikat oksigen dari udara (induksi) yang diikuti dengan
pembentukan peroksida (Meyer, 1960).
Angka peroksida menunjukkan banyaknya kandungan peroksida di
dalam minyak akibat proses oksidasi dan polimerisasi. Asam lemak bebas
menunjukkan sejumlah asam lemak bebas yang dikandung oleh minyak yang
rusak, terutama karena peristiwa oksidasi dan hidrolisis (Sudarmadji, 2010).
Prinsip penentuan bilangan peroksida adalah bahwa bilangan peroksida
biasanya didasarkan pada pengukuran sejumlah iod yang dibebaskan dari
Kalium Iodida melalui reaksi oksidasi oleh peroksida pada suhu ruang di
dalam medium asetat/kloroform (Muchtadi, 2010). Penelitian yang dilakukan
oleh Aisyah dkk menunjukkan bahwa analisis peroksida dan FFA minyak
goreng bekas sebesar 6,8 meq/kg dan 0,35%. Sedangkan menurut spesifikasi
SNI dalam penelitian tersebut angka peroksida maksimal 2 meq/kg dan angka
FFA sebesar 0,35%. Hal tersebut membuktikan mutu minyak goreng bekas
sudah tidak berada di bawah standar (Aisyah dkk, 2010).
Kerusakan lemak yang utama adalah timbul bau dan rasa tengik yang
disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan proses autooksidasi radikal
asam lemak tak jenuh dalam lemak. Mekanisme autooksidasi dimulai dengan
pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida, dan
hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam
porifirin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil, dan enzim-enzim
lipoksigenase. Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak
tak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak
sedap tersebut disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil
pemecahan hidroperoksida (Winarno, 2004).
Penggunaan suhu tinggi selama penggorengan memacu terjadinya
oksidasi minyak. Setiap peningkatan suhu 10oC laju kecepatan oksidasi
meningkat dua kali lipat. Kecepatan oksidasi lemak akan bertambah dengan
kenaikan suhu dan berkurang pada suhu rendah. Kecepatan akumulasi
peroksida selama proses aerasi minyak pada suhu 100 – 115oC dua kali lebih
besar dibanding pada suhu 10 oC (Ketaren, 1986). Bahan pangan dinyatakan
tengik apabila mengandung angka peroksida lebih dari 10 meq/kg (Astuti,
2008).
Salah satu faktor penentu kualitas lemak atau minyak adalah angka
asam, angka asam menunjukkan banyaknya asam lemak bebas yang terdapat
dalam suatu lemak atau minyak. Angka asam dinyatakan sebagai jumlah
miligram NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang
terrdapat dalam satu gram lemak atau minyak. Dalam reaksi hidrolisis, lemak
dan minyak akan diubah menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol.
Reaksi hidrolisis mengakibatkan kerusakan lemak dan minyak. Ini terjadi
karena terdapat terdapat sejumlah air dalam lemak dan minyak tersebut
(Herlina dan Ginting, 2002).
Asam lemak bebas merupakan hasil perombakan yang terjadi pada
asam lemak yang disebabkan adanya reaksi kompleks pada minyak. Semakin
tinggi kandungan asam lemak bebas pada minyak menandakan semakin
menurunnya mutu dari minyak goreng tersebut. Reaksi hidrolisa yang terjadi
pada minyak akan mengakibatkan kerusakan minyak karena terdapat
sejumlah air dalam minyak tersebut dan menyebabkan terbentuknya asam
lemak bebas dan beberapa gliserol (Muchtadi, 2009).
Hidrolisa minyak dan lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas
yang dapat mempengaruhi cita-rasa dan bau dari pada bahan itu. Hidrolisa
dapat disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau minyak atau karena
kegiatan enzim (Buckle dkk., 2010). Kadar air terbentuk dalam minyak
merupakan salah satu parameter untuk menentukan tingkat kemurnian
minyak dan berhubungan dengan kekuatan daya simpannya, sifat goreng, bau
dan rasa. Kadar air sangat menentukan kualitas dari minyak yang dihasilkan.
Kadar air berperan dalam proses oksidasi maupun hidrolisis minyak yang
akhirnya dapat menyebabkan ketengikan. Semakin tinggi kadar air, minyak
semakin cepat tengik (Mualifah, 2009).
Asam lemak bebas terbentuk karena proses oksidasi dan hidrolisis
enzim selama pengolahan dan penyimpanan. Kemudian asam lemak bebas ini
membentuk lagi asam lemak trans dan radikal bebas. Jika kita mengkonsumsi
makanan yang mengandung kadar asam lemak bebas yang cukup tinggi maka
akan berakibat kepada menaikkan kadar LDL dan menurunkan kadar HDL
darah, mengurangi kemampuan tubuh mengendalikan gula darah karena dapat
mengurangi respons terhadap hormon insulin. Konsumsi asam lemak trans
5gr/hr saja dapat menaikkan resiko penyakit jantung hingga 25% hanya
dalam beberapa tahun saja. Dan akibat radikal bebas juga bisa menyebabkan
penyakit lever, jantung koroner, kolesterol, dan lain-lain (Hildayani, 2013).
Terjadinya kenaikan kadar asam lemak bebas juga disebabkan oleh
lamanya penyimpanan. Selama penyimpanan, minyak dan lemak mengalami
perubahan fisiko-kimia yang dapat disebabkan oleh proses hidrolisis maupun
oksidasi. Penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida pada minyak lalu membentuk
gliserol dan asam lemak bebas (Sutiah dkk, 2008).
Dalam uji akrolein terjadi dehidrasi gliserol dalam bentuk bebas atau
dalam lemak/ minyak menghasilkan aldehid akrilat atau akrolein. Gliserol
ialah suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon. Jadi tiap
atom karbon mempunyai gugus –OH. Satu molekul gliserol dapat mengikat
satu, dua, atau tiga molekul asam lemak dalam bentuk ester, yang disebut
monigliserida, digliserida, atau trigliserida. Apabila gliserol dicampur dengan
KHSO4 dan dipanaskan hati-hati, akan timbul bau yang tajam khas seperti bau
lemak yang terbakar yang disebabkan oleh terbentuknya akrialdehida atau
akrolein. Oleh karena timbulnya bau yang tajam itu, akrolein mudah diketahui
dan reaksi ini telah dijadikan reaksi untuk menentukan adanya gliserol atau
senyawa yang mengandung gliserol seperti lemak dan minyak. Bila lemak dan
minyak dicampur dengan KHSO4 dan dipanaskan hati-hati juga akan terjadi
akrolein (Poedjiadi, 2009).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya akrolein atau
akrilamida adalah adanya sumber nitrogen (khususnya gugus amina dan asam
amino) dan kondisi yang sesuai (seperti pemanasan dan pembakaran) (Sirait,
2011). Berikut hipotesis terbentuknya akrilamida dari lipid:
C. Metode Penelitian
1. Alat
a. Neraca analitik
b. Erlenmeyer
c. Alumunium foil
d. Pipet volume
e. Pipet tetes
f. Gelas ukur
g. Buret
h. Penjepit
i. Gelas beaker
j. Labu destilat
k. Alat destilasi
l. Tabung reaksi
m. Kompor listrik
n. Spektrofotometer
o. Bunsen
2. Bahan
a. Minyak kelapa
b. Lemak ayam
c. Lemak sapi
d. Minyak kemiri
e. Minyak kacang
j. Na2S2O3 0,1 N
k. Alkohol netral
l. Phenolphtalein (PP)
m. NaOH 0,1 N
n. HCl 4 M
f. Minyak wijen
g. Larutan asam asetat khloroform
h. Larutan KI jenuh
i. Aquades
o. Pereaksi TBA
p. Gliserol
q. Kalium bisulfat
r. Larutan pati 1%
3. Cara Kerja
a. Penentuan Angka Peroksida
5 gram sampel
Dimasukkan dalam Erlenmeyer tertutup
30 ml Larutan asam asetat-khloroform
(3:2)
Digoyangkan sampai semua bahan larut
Ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh
Didiamkan selama 1 menit
Ditambahkan 30 ml aquades
Ditambahkan 0,5 ml larutan pati 1%
Dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N
bahan
Ditimbang 20 gram dalam erlenmeyer50 ml alkohol netral panas dan 3
tetes PP
Dititrasi dengan NaOH 0,1 N
b. Penentuan Asam Lemak Bebas (FFA)
c. Penentuan Bilangan TBA
10 gram bahan
Dimasukkan dalam labu destilasi97,5 ml aquades dan 2,5 ml HCl 4
M
Destilat
Dilakukan proses destilasi dengan pemanasan tinggi
Dimasukkan dalam tabung reaksi tertutup
5 ml pereaksi TBA
Dicampur merata
Dipanaskan selama 30 menit dalam air mendidih
Setelah tabung reaksi dingin, diukur absorbansinya ᵡ 528 nm
3 tetes gliserol
3 tetes minyak
Dimasukkan dalam tabung reaksiKalium bisulfat 1 ml
Dipanaskan secara hati-hati
Dicium baunya dan dibandingkan
d. Tes Akrolein
D. Hasil dan Pembahasan
Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada
golongan lipid, yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut
dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter,
kloroform, benzena dan hidrokarbon lainnya. Selama penyimpanan, minyak
dan lemak mengalami perubahan fisiko-kimia yang dapat disebabkan oleh
proses hidrolisis maupun oksidasi. Proses hidrolisis akibat adanya air terutama
terjadi pada minyak atau lemak yang banyak mengandung asam lemak jenuh.
Lemak hewani atau nabati yang masih berada dalam jaringan biasanya
mengandung enzim lipase yang dapat menghidrolisa lemak, mengakibatkan
kerusakan enzimatis. Lemak juga bisa mengalami kerusakan mikrobiologis.
Mikrobia yang menyerang bahan pangan berlemak biasanya termasuk tipe
mikroba non pathologi, tapi umumnya dapat merusak lemak dengan
menghasilkan cita rasa tidak enak, di samping menimbulkan perubahan warna
(discoloration). Contoh mikroba penyebab kerusakan lemak dari jenis bakteri
yaitu Staphylococcus aureus, S. Pyogenes, Bacillus pyocyaneus, B.
Tuberculosis, Pseudomonas, serta dari jenis jamur/fungi yaitu Aspergilus,
Penicillium, Mucor, Rhizopus, Monilia, Oidium, Cladosporium. Kerusakan
yang umum pada minyak dan lemak adalah ketengikan yang dapat terjadi
karena reaksi oksidasi atmosfir. Reaksi oksidasi atmosfir terjadi antara oksigen
peroksida-peroksida yang bersifat labil dimana peroksida-peroksida kemudian
mengalami isomerasi, dekomposisi, atau bereaksi dengan air membentuk
aldehid, keton, dan asam yang mempunyai berat molekul rendah. Ketengikan
juga dapat terjadi karena aktifitas enzim maupun mikroba. Untuk menguji
tingkat ketengikan minyak dan lemak, bahan yang dibutuhkan adalah minyak
dan lemak yang telah disimpan lama (Muchtadi, 2010).
Tabel 3.1 Angka Peroksida Lemak dan Minyak
Kel Minyak ml Na2S2O3 Angka peroksida
1Zaitun 13,5 270
Jelantah 15,2 304
2Jagung 16,9 338VCO 3,5 70
3Wijen 21 420Kelapa 25 500
Sumber : Laporan Sementara
Bilangan peroksida didefiniskan sebagai jumlah meq peroksida dalam
setiap 1000 g (1 kg) minyak atau lemak. Bilangan peroksida ini berguna untuk
menunjukan tingkat kerusakan lemak atau minyak. Sudarmadji (2010),
menyatakan bahwa angka peroksida menunjukkan banyaknya kandungan
peroksida di dalam minyak akibat proses oksidasi dan polimerisasi. Asam
lemak bebas menunjukkan sejumlah asam lemak bebas yang dikandung oleh
minyak yang rusak, terutama karena peristiwa oksidasi dan hidrolisis. Menurut
Muchtadi (2010), prinsip penentuan bilangan peroksida adalah bahwa bilangan
peroksida biasanya didasarkan pada pengukuran sejumlah iod yang dibebaskan
dari Kalium Iodida melalui reaksi oksidasi oleh peroksida pada suhu ruang di
dalam medium asetat/kloroform.
Pada praktikum ini bertujuan untuk menentukan besarnya nilai bilangan
peroksida dari sampel minyak zaitun, minyak jelantah, minyak jagung, VCO,
minyak wijen, dan minyak kelapa. Semua sampel minyak yang digunakan pada
uji peroksida adalah minyak yang telah disimpan di dalam lemari es selama
satu tahun. Sampel minyak sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer
yang sebelumnya telah diselimuti dengan aluminium foil. Erlenmeyer harus
ditutup agar menciptakan kondisi gelap dan tertutup, tidak terkena paparan
cahaya dan udara dari luar. Kemudian sampel ditambah dengan 30 ml pelarut
(60% asam asetat glacial + 40% kloroform), dikocok sampai larut. Selanjutnya
ditambah 0,5 ml larutan KI jenuh, didiamkan selama 2 menit sambil digoyang
agar dapat bereaksi secara merata. Lalu ditambahkan 30 ml aquadest dan
ditambahkan 10 tetes amilum. Penambahan amilum berfungsi sebagai
indikator. Ketika sejumlah iod yang telah dibebaskan dari kalium iodida
melalui reaksi oksidasi oleh peroksida maka iod yang bebas tersebut akan
mengikat amilum dan menghasilkan warna biru. Setelah ditetesi indikator
amilum, kemudian sampel minyak dititrasi dengan larutan Na2S2O3 (Natrium
thiosulfat) 0,01 N. Menurut Muchtadi (2010), apabila sejumlah sampel minyak
yang ditambahkan iod berlebih, kelebihan iod dititrasi dengan natrium tiosulfat
sehingga iod yang diabsorpsi oleh minyak dapat diketahui jumlahnya.
Selanjutnya diamati berapa ml Na-tiosulfat yang digunakan untuk titrasi hingga
berubah warna, dan dihitung miliekivalen peroksida dari masing-masing
sampel.
Pereaksi yang digunakan dalam pengujian bilangan peroksida antara
lain kloroform, asam asetat, KI, Na2S2O3, serta indikator amilum. Fungsi dari
pereaksi tersebut yaitu :
1. Kloroform digunakan untuk melarutkan minyak sehingga larut dengan
sempurna dan bisa diproses selanjutnya.
2. Asam asetat digunakan untuk menghidrolisis asam lemak dari minyak.
Asam lemak ini yang kemudian diukur jumlah peroksida yang terkandung
di dalamnya.
3. KI digunakan sebagai pereaksi perantara karena titrasi yang dilakukan yaitu
titrasi tidak langsung (indirect titration). Peroksida yang pecah pada minyak
akan mengeluarkan oksigen. Oksigen yang terlepas akan mengoksidasi KI
dan menghasilkan I2 yang setara dengan jumlah oksigen pada sampel.
4. Na2S2O3 digunakan untuk mentitrasi I2 sehingga bisa ditentukan jumlah
bilangan peroksida pada sampel minyak.
5. Amilum digunakan sebagai indikator. Mekanismenya adalah iod yang
dibebaskan akan masuk ke dalam struktur amilum sehingga menimbulkan
warna biru. Titrasi dihentikan jika warna larutan menjadi tidak berwarna
karena I2 telah habis tertirasi. Reaksi yang terjadi adalah :
RCOO- + KI RCO- + H2O + I2 + K+
I2 + Na2S2O3 NaI + Na2S2O3 (Ketaren, 1986).
Berdasarkan hasil praktikum yang disajikan di Tabel 3.1 dapat
diketahui bahwa sampel yang memiliki angka peroksida terbesar yaitu minyak
kelapa, dan yang terkecil adalah minyak VCO. Pada hasil praktikum, sampel
minyak kelapa menunjukkan angka peroksida 500 meq/kg. Menurut SNI 01-
2902-1992, syarat mutu angka peroksida minyak kelapa yaitu maksimal
sebesar 5,0 mg oksigen/100 gram sampel (Hidayati, 2008). Menurut Astuti
(2008), bahan pangan dinyatakan tengik apabila mengandung angka peroksida
lebih dari 10 meq/kg. Hasil praktikum menunjukkan penyimpangan yaitu
seluruh sampel minyak yang diuji memiliki angka peroksida yang sangat
tinggi. Terjadinya beberapa penyimpangan ini dipengaruhi oleh kesalahan yang
terjadi saat praktikum antara lain menggunakan erlenmeyer yang kurang rapat
tertutupi oleh aluminium foil sehingga sampel minyak dapat kontak dengan
udara dan cahaya yang merupakan katalisator terjadinya reaksi oksidasi pada
lipida, serta kesalahan prosedur misalnya kesalahan dalam penimbangan,
pembacaan pipet ukur, terlalu banyak titran dan lain sebagainya yang juga
dapat menyebabkan data hasil pengujian menjadi kurang valid.
Angka peroksida tinggi menandakan lemak atau minyak sudah
mengalami oksidasi. Semakin tinggi angka peroksida maka semakin tinggi pula
tingkat kerusakan minyak atau semakin rendah kualitasnya. Namun pada angka
yang lebih rendah tidak selalu menunjukkan angka peroksida yang masih dini.
Peroksida merupakan senyawa yang tidak stabil dan mudah terdegradasi
menjadi bentuk lainnya. Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju
pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju
degradasinya menjadi senyawa lain seperti aldehida, keton, hidrokarbon, ester
(Hidayati dan Puspawati, 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya
angka peroksida pada minyak yaitu besarnya derajat ketidakjenuhan minyak
dan lemak, tingginya suhu penggorengan dan penyimpanan minyak, adanya
air, adanya cahaya dan katalis logam, serta banyaknya oksigen di dalam bahan
yang mengandung lemak.
Tabel 3.2 FFA Lemak dan Minyak
Sampel Kel BahanPerlakuan kerusakan
ml NaOH
% FFAAngka asam
Minyak baru
1 Kelapa (basah) - 1 0,1 0,28Kelapa (kering) - 1,2 0,12 0,336
2 Kemiri - 77 9,856 21,5846Lemak ayam - 1,4 0,1974 0,3938
3 Kacang tanah - 1,9 0,2679 0,5331Lemak sapi - 0,5 0,064 0,1402
Minyak rusak
1 Zaitun Wadah terbuka, tempat gelap
4,25 0,5993 1,3125Minyak jelantah 36,25 4,64 10,1616
2 Kelapa Wadah tertutup, tempat terang
1,6 0,16 0,128Kemiri 18,5 2,368 5,1859
3 Kelapa Tambah 5% air, dipanaskan
2,2 0,2816 0,7885Kemiri 1,4 0,1974 0,3928
Sumber : Laporan Sementara
Salah satu parameter kerusakan minyak adalah angka FFA dan angka
asam yang berhubungan dengan kandungan asam lemak bebas dalam lemak
atau minyak. Asam lemak bebas (Free Fatty Acid / FFA) adalah asam lemak
yang bebas tidak terikat sebagai trigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan oleh
proses hidrolisis dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral. Hasil
reaksi hidrolisa minyak sawit adalah gliserol dan asam lemak bebas. Reaksi ini
akan dipercepat dengan adanya faktor-faktor panas, air, keasaman, dan katalis
(enzim). Semakin lama reaksi ini berlangsung, maka semakin banyak kadar
asam lemak bebas yang terbentuk. Menurut Herlina dan Ginting (2002), angka
asam menunjukkan banyaknya asam lemak bebas yang terdapat dalam suatu
lemak atau minyak. Angka asam dinyatakan sebagai jumlah miligram NaOH
yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terrdapat dalam
satu gram lemak atau minyak. Semakin besar angka FFA dan angka asam
menunjukkan turunnya kualitas minyak akibat kerusakan.
Pada praktikum pengujian angka FFA dan angka asam ini digunakan
dua jenis sampel minyak, yaitu minyak baru dan minyak rusak. Sampel minyak
baru yang digunakan yaitu minyak kelapa (basah dan kering), minyak kemiri,
lemak ayam, minyak kacang tanah, dan lemak sapi. Sedangkan sampel minyak
rusak antara lain minyak zaitun dan minyak jelantah dengan perlakuan wadah
terbuka di tempat gelap, minyak kelapa dan minyak kemiri dengan perlakuan
wadah tertutup di tempat terang, serta minyak kelapa dan minyak kemiri yang
ditambah 5% air lalu dipanaskan.
Sampel minyak atau lemak yang digunakan untuk analisis FFA harus
dalam keadaan cair agar mudah bereaksi dengan pelarut. Sampel minyak
ditimbang sebanyak 20 gram ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 50 ml
alkohol netral yang panas dan 3 tetes phenolphtalein (PP) sebagai indikator.
Alkohol merupakan zat pelarut organik yang sering digunakan untuk
melarutkan lemak dalam proses analisa lemak. Fungsi penambahan alkohol
adalah untuk melarutkan lemak atau minyak dalam sampel agar dapat bereaksi
dengan basa alkali. Alkohol dalam kondisi panas dan netral akan lebih baik
melarutkan sampel yang juga nonpolar. Dalam memanaskan alkohol, dilakukan
pemanas air karena titik didih alkohol lebih rendah daripada air. Selanjutnya
dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N yang telah distandardisasi. NaOH
digunakan untuk menetralisasi campuran minyak dan alkohol. Titik akhir titrasi
dicapai ketika larutan berubah warna menjadi merah jambu dan tidak hilang
selama 30 detik
Asam lemak yang dominan pada minyak kelapa adalah laurat. Pada
minyak kemiri, minyak jelantah dan lemak sapi adalah palmitat. Sedangkan
pada minyak kacang tanah, minyak zaitun dan lemak ayam adalah oleat. Jenis
asam lemak yang dominan pada masing-masing sampel perlu diketahui untuk
menentukan berat molekul asam lemak tersebut yang diperlukan dalam
menghitung %FFA sampel dan menentukan faktor konversi untuk menbubah
%FFA menjadi bentuk angka asam atau sebaliknya. Faktor koreksi ditentukan
dengan membagi berat molekul KOH dengan berat molekul asam lemak
dominan pada minyak yang diuji. Dimana faktor koreksi untuk oleat adalah
1,99; palmitat adalah 2,19; laurat adalah 2,80 dan linoleat adalah 2,01.
Berdasarkan Tabel 3.2, pada sampel jenis minyak baru yang memiliki
kadar asam lemak bebas tertinggi adalah minyak kemiri (9,856% FFA dan
angka asam 21,5846) serta yang terendah adalah lemak sapi (0,064% FFA dan
angka asam 0,1402). Pada sampel jenis minyak rusak yang memiliki kadar
asam lemak bebas tertinggi adalah minyak jelantah (4,64% FFA dan angka
asam 10,1616) serta yang terendah yaitu minyak kelapa dengan perlakuan
wadah tertutup pada tempat terang (0,16% FFA dan angka asam 0,128).
Minyak jelantah memiliki kadar asam lemak bebas yang tinggi akibat
pemanasan suhu tinggi yang berulang-ulang dan adanya air menyebabkan
minyak mengalami hidrolisis menghasilkan asam lemak bebas.
Hasil yang diperoleh dari praktikum menunjukkan adanya
penyimpangan, yaitu kadar FFA minyak kemiri baru yang sangat tinggi dan
FFA lemak sapi yang rendah. Kedua jenis lemak ini mengandung asam lemak
dominan yaitu palmitat, namun minyak kemiri berbentuk cair pada suhu ruang
sedangkan lemak sapi berbentuk padat. Hal ini dikarenakan lemak sapi juga
banyak mengandung asam lemak jenuh seperti stearat yang menyebabkan
kenaikan titik lelehnya sehingga berbentuk padat pada suhu ruang. Sedangkan
minyak kemiri juga mengandung asam lemak tak jenuh. Dengan komponen
asam lemak dominan yang sama, seharusnya kadar FFA kedua sampel ini tidak
terlalu berbeda signifikan. Namun hasilnya menunjukkan demikian. Terjadinya
beberapa penyimpangan ini dipengaruhi oleh beberapa kesalahan prosedur
praktikum misalnya menggunakan alkohol yang kurang panas, kesalahan
dalam penimbangan sampel, terlalu banyak titran dan lain sebagainya yang
juga dapat menyebabkan validitas data hasil pengujian menjadi berkurang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya angka FFA dan angka asam
suatu minyak adalah lama penyimpanan, reaksi hidrolisis yang dipercepat oleh
pemanasan, adanya air, keasaman, paparan udara, cahaya, dan perombakan
oleh enzim lipase. Asam lemak bebas terbentuk karena proses oksidasi dan
hidrolisis enzim selama pengolahan dan penyimpanan. Kemudian asam lemak
bebas ini membentuk lagi asam lemak trans dan radikal bebas. Semakin tinggi
FFA dan angka asam maka semakin banyak minyak yang telah terhidrolisis
menjadi asam lemak bebas. Dengan demikian, kualitas minyak atau lemak
menjadi turun akibat kerusakan.
Tabel 3.3 Nilai TBA Lemak dan Minyak
Sampel Kel BahanPerlakuan kerusakan
Absorbansi TBA
Minyak baru
1 Kelapa (basah) - 0,209 0,4891Kelapa (kering) - 0,127 0,2972
2 Kemiri - 1,936 4,5302Lemak ayam - 0,737 1,7246
3 Kacang tanah - 0,214 0,5008Lemak sapi - 0,745 1,7433
Minyak rusak
1 Kelapa Wadah terbuka, tempat gelap
0,345 0,8073Kemiri 3,068 7,1791
2 Kelapa Wadah tertutup, tempat terang
0,084 0,1966Kemiri 0,446 1,0436
3 Kelapa Tambah 5% air, Dipanaskan
0,063 0,1474Kemiri 2,834 6,6316
Sumber : Laporan Sementara
Nama lain dari asam thiobarbiturat adalah 4,6-Dihidroksi-2
mercaptopirimidin dan 2-mercapto-asam barbiturat. TBA mempunyai rumus
kimia C4H4O2N2S dengan berat molekul 144,15. Sifat fisika dan kimia dari
TBA termasuk padatan berwarna kuning terang, larut dalam air, dan titik
leburnya 2350C (455 F). Bilangan TBA merupakan salah satu parameter untuk
menentukan ketengikan thiobarbiturat dengan malonaldehida yang merupakan
hasil dekomposisi peroksida (Pomeranz and Clifton, 1994 dalam Mualifah,
2009). Senyawa malonaldehida sangat menentukan kerusakan minyak.
Semakin besar kadar malonaldehid dalam minyak, maka semakin tinggi nilai
TBA. Jika nilai TBA tinggi, maka kualitas minyak semakin turun atau
semakin tinggi kadar ketengikannya, hal ini disebabkan lemak yang tengik
mengandung aldehid dan kebanyakan sebagai malonaldehid.
Prinsip uji TBA adalah malonaldehid yang direaksikan dengan TBA
akan terbentuk kromogen MDA TBA yang berwarna merah. Intensitas warna
merah sesuai dengan jumlah malonaldehid yang terkandung dalam minyak.
Semakin besar jumlah malonaldehid maka warna yang terbentuk akan
semakin merah. Intensitas warna merah inilah yang diserap oleh alat
spektrofotometer dengan panjang gelombang 528 nm, yang akan menentukan
kadar TBA atau menunjukkan derajat ketengikan dalam minyak (Sudarmadji,
2003 dalam Paramitha, 2012). Reaksi pembentukan kromagen MDA TBA
dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Reaksi Pembentukan kromagen MDA TBA
Dalam pengujian TBA ditambahkan HCl pada labu destilasi yang sudah
berisi sampel minyak dan aquades. Tujuan penambahan HCl untuk
menurunkan pH, sehingga suasana menjadi asam. Proses destilasi pada
pengujian TBA untuk mengetahui banyaknya malonaldehid. Melonaldehid
kemudian direaksikan dengan thiobarbiturat dan dilakukan proses pemanasan
sehingga terbentuk kompleks berwarna merah. Intensitas warna merah sesuai
dengan jumlah malonaldehid dan absorbansi dapat ditentukan dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm (Sudarmadji, 2010).
Besarnya angka TBA dinyatakan sebagai mg malonaldehid per kg
sampel. Menurut Sudarmadji (2010), angka TBA dapat diketahui dengan
rumus sebagai berikut:
Angka TBA = x besarnya absorbansi pada ᵡ 528 nm x 7,8.
Nilai absorbansi berbanding lurus dengan nilai TBA, semakin kecil nilai
absorbansi, semakin rendah angka TBA. Semakin besar absorbansi, maka
semakin besar pula angka TBA nya. Makin besar angka TBA, maka semakin
tengik suatu minyak.
Berdasarkan Tabel 3.3, dapat diketahui bilangan TBA berbagai macam
sampel minyak dan lemak. Minyak kelapa (basah) memiliki bilangan TBA
sebesar 0,4891. Minyak kelapa (kering) memiliki bilangan TBA sebesar
0,2972. Minyak kemiri, lemak ayam, minyak kacang, dan lemak sapi
mempunyai bilangan TBA secara berurutan sebesar 4,5302; 1,7246; 0,5008
dan 1,7433. Bilangan TBA pada minyak kelapa dan minyak kemiri yang
disimpan dalam wadah terbuka dan tempat yang gelap sebesar 0,8073 dan
7,1791. Bilangan TBA pada minyak kelapa dan minyak kemiri yang disimpan
dalam wadah tertutup dan tempat yang terang sebesar 0,1966 dan 1,0436.
Sedangkan bilangan TBA pada minyak kelapa dan minyak kemiri yang
ditambah dengan 5% air dan dipanaskan sebesar 0,1474 dan 6,6316.
Bilangan TBA pada minyak kelapa yang disimpan pada tempat gelap
dengan wadah terbuka menunjukkan bilangan TBA yang lebih tinggi
dibanding minyak kelapa baru. Hal ini sesuai teori, karena minyak baru belum
mengalami ketengikan, sehingga absorbansi yang dihasilkan lebih rendah dan
bilangan TBA nya kecil. Pada minyak kelapa yang disimpan dengan wadah
tertutup di tempat terang dan minyak kelapa yang ditambah 5% air dan
dipanaskan, bilangan TBA nya lebih rendah dibanding minyak kelapa baru.
Hal ini menyimpang dari teori. Penyimpangan kemungkinan disebabkan
karena proses penyimpanan minyak kelapa belum terlalu lama, belum
terbentuk senyawa malonaldehid yang menyebabkan ketengikan, sehingga
absorbansinya masih rendah dan bilangan TBA nya lebih kecil. Selain itu,
dimungkinkan karena suhu pemanasan yang digunakan tidak terlalu tinggi,
sehingga belum terjadi dekomposisi peroksida menjadi senyawa
malonaldehid.
Minyak kemiri yang disimpan pada tempat yang gelap dengan wadah
terbuka dan yang ditambah 5% air kemudian dipanaskan memiliki bilangan
TBA yang lebih tinggi dibanding minyak kemiri baru. Hal ini sesuai dengan
teori. Minyak yang telah rusak akan menunjukkan bilangan TBA yang tinggi.
Penyimpangan terjadi pada minyak kemiri yang disimpan di wadah tertutup
dan tempat terang. Bilangan TBA yang dihasilkan lebih rendah dibanding
minyak kemiri baru.
Bilangan TBA dari lemak hewani seperti lemak ayam dan lemak sapi
lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati seperti minyak kelapa dan
kacang tanah. Hal ini mungkin dikarenakan lemak hewani dalam kondisi
ruang berbentuk padat sedangkan minyak nabati berbentuk cair. Untuk
melakukan uji TBA ini lemak hewani dilakukan pemanasan dahulu supaya
menjadi cair. Diketahui bahwa TBA tidak stabil dan terurai dalam kondisi
yang panas dan tinggi asam, terutama bila ada peroksida. Produk uraian ini
dapat menyerap pada gelombang yang sama dengan TBA (Ketaren, 1986
dalam Suhairi, 2011). Sehingga menghasilkan nilai absorbansi yang tinggi dan
mempengaruhi bilangan TBA pada lemak hewani.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya TBA pada suatu minyak
yaitu tingginya derajat ketidakjenuhan minyak, angka peroksida, suhu
pemanasan dan penyimpanan, serta sumber minyak yang digunakan. Angka
peroksida yang terbentuk tinggi, akan menyebabkan MDA yang terbentuk
tinggi, sehingga semakin tinggi nilai TBA nya. Sumber minyak yang
digunakan juga akan mempengaruhi besarnya nilai TBA, karena sumber
minyak yang berbeda pastinya kandungan asam lemak dalam minyak tersebut
juga berbeda sehingga akan mempengaruhi besar bilangan TBA nya.
Tabel 3.4. Uji AkroleinKelompok Sampel Keterangan
1
Minyak Kelapa Basah Kurang menyengat dibandingkan dengan gliserol
Minyak Kelapa Kering Kurang menyengat dibandingkan dengan gliserol
Minyak Kelapa Rusak (wadah terbuka, tempat gelap)
Kurang menyengat dibandingkan dengan gliserol
Minyak Kemiri Rusak (wadah terbuka, tempat gelap)
Kurang menyengat dibandingkan dengan gliserol
2
Lemak Ayam Lebih menyengat dibandingkan dengan gliserol
Minyak Kemiri Kurang menyengat dibandingkan dengan gliserol
Minyak Kelapa Rusak (wadah tertutup, tempat terbuka)
Kurang menyengat dibandingkan dengan gliserol
Minyak Kemiri (wadah tertutup, tempat terbuka)
Kurang menyengat dibandingkan dengan gliserol
3
Lemak Sapi Lebih menyengat dibandingkan dengan gliserol
Minyak Kacang Kurang menyengat dibandingkan dengan gliserol
Minyak Kelapa Rusak (ditambah 5% aquades, dipanaskan)
Kurang menyengat dibandingkan dengan gliserol
Minyak Kemiri (ditambah 5% aquades, dipanaskan)
Kurang menyengat dibandingkan dengan gliserol
Sumber : Laporan sementara
Tes akrolein bertujuan untuk mengetahui apakah lemak atau minyak
sudah mengalami hidrolisis. Hidrolisis merupakan salah satu kerusakan
minyak yang disebabkan oleh air. Dalam uji ini terjadi dehidrasi gliserol
dalam bentuk bebas atau dalam lemak/ minyak menghasilkan aldehid akrilat
atau akrolein. Uji akrolein digunakan untuk menguji keberadaan gliserin atau
lemak. Ketika lemak dipanaskan setelah ditambahkan agen pendehidrasi
(KHSO4) yang akan menarik air, maka bagian gliserol akan terdehidrasi ke
dalam bentuk aldehid tidak jenuh atau dikenal sebagai akrolein
(CH2=CHCHO) yang memiliki bau seperti lemak terbakar dan ditandai
dengan asap putih.
Dalam pengujiannya, tes akrolein ini terdiri dari beberapa langkah
pengujian. Langkah pertama dengan mempersiapkan alat dan bahan yang
digunakan yakni 2 tabung reaksi kering. Kedua tabung ini nantinya akan
digunakan dalam pengujian sebagai wadah sampel dan senyawa pereaksinya.
Tabung pertama diisi 3 tetes gliserol dan tabung kedua diisi 3 tetes minyak
sampel yang akan diuji. Kemudian ditambahkan kalium bisulfat sebanyak 1
ml ke dalam kedua tabung tersebut. Penambahan kalium bisulfat ke dalam
tabung reaksi adalah sebagai pereaksi yang akan mengubah trigliserida
menjadi asam lemak dan gliserol yang nantinya memberikan bau karakteristik
berupa bau tengik dengan bantuan pemanasan. Selanjutnya dipanaskan secara
hati-hati, hal ini untuk mempercepat hidrasi gliserol membentuk aldehid tidak
jenuh atau yang disebut akrolein. terakhir dicium bau yang terjadi,
dibandingkan mana yang lebih merangsang/tajam.
Gliserol ialah suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom
karbon. Jadi tiap atom karbon mempunyai gugus –OH. Satu molekul gliserol
dapat mengikat satu, dua, atau tiga molekul asam lemak dalam bentuk ester,
yang disebut monigliserida, digliserida, atau trigliserida (Poedjiadi, 2009).
Gliserol merupakan cairan yang tidak berwarna, tidak berbau dan merupakan
cairan kental yang memiliki rasa manis. Gliserol larut baik dalam air dan
tidak larut dalam eter. Fungsi gliserol dalam percobaan ini adalah sebagai
hasil pemecahan lemak pada suhu tinggi yang juga merupakan komponen
pokok pembentukan akrolein. Menurut Poedjiadi (2009) Apabila gliserol
dicampur dengan KHSO4 dan dipanaskan hati-hati, akan timbul bau yang
tajam khas seperti bau lemak yang terbakar yang disebabkan oleh
terbentuknya akrialdehida atau akrolein. Oleh karena timbulnya bau yang
tajam itu, akrolein mudah diketahui dan reaksi ini telah dijadikan reaksi untuk
menentukan adanya gliserol atau senyawa yang mengandung gliserol seperti
lemak dan minyak. Bila lemak dan minyak dicampur dengan KHSO4 dan
dipanaskan hati-hati juga akan terjadi akrolein.
Menurut Sirait (2011), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
terbentuknya akrolein atau akrilamida adalah adanya sumber nitrogen
(khususnya gugus amina dan asam amino) dan kondisi yang sesuai (seperti
pemanasan dan pembakaran). Berikut hipotesis terbentuknya akrilamida dari
lipid:
Berdasarkan hasil praktikum dari keduabelas sampel yang digunakan
sebagian besar menghasilkan bau yang tidak lebih menyengat dibandingkan
dengan gliserol, sampel-sampel tersebut antara lain minyak kelapa basah,
minyak kelapa kering, minyak kelapa rusak (wadah terbuka, tempat gelap),
minyak kemiri rusak (wadah terbuka, tempat gelap), minyak kemiri, minyak
kelapa rusak (wadah tertutup, tempat terbuka), minyak kemiri (wadah
tertutup, tempat terbuka), minyak kacang, minyak kelapa rusak (ditambah 5%
aquades, dipanaskan), minyak kemiri (ditambah 5% aquades, dipanaskan).
Dari kesepuluh sampel tersebut rata-rata berbentuk minyak dan berasal dari
minyak nabati, struktur dari minyak kelapa umumnya memiliki rantai karbon
yang panjang dan tidak beraturan. Selain itu, jika minyak kelapa kopra
dibiarkan pada suhu yang lembab maupun pada suhu kamar akan
menyebabkan lepasnya asam lemak pada strukturnya sehingga mudah
menguap dan menghasilkan bau tengik pada minyak tersebut. Bau yang tidak
lebih tengik dibandingkan gliserol berarti menggambarkan bahwa dari
kesepuluh sampel minyak tersebut belum mengalami banyak kerusakan
hidrolisis, sehingga kandungan gliserolnya pun rendah. Hasil ini berbeda
dengan kedua sampel lainnya yakni sampel minyak yang berasal dari lemak
hewani yakni lemak ayam dan lemak sapi, kedua sampel ini menimbulkan
bau yang lebih menyengat dibandingkan dengan gliserol. Hasil ini
menunjukkan bahwa minyak dari lemak ayam dan sapi banyak mengandung
gliserol atau sudah banyak mengalami kerusakan hidrolisis.
D. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum Acara III “Uji Kerusakan Minyak” dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Parameter kerusakan minyak yaitu angka peroksida, angka FFA, angka
asam, angka TBA, dan akrolein.
2. Angka peroksida pada sampel dari tertinggi hingga terndah yaitu minyak
kelapa (500 meq/kg), minyak wijen (420 meq/kg), minyak jagung (338
meq/kg), minyak jelantah (304 meq/kg), minyak zaitun (270 meq/kg), dan
minyak VCO (70 meq/kg).
3. Sampel minyak baru yang memiliki %FFA tertinggi hingga terendah
adalah minyak kemiri (9,856%), minyak kacang tanah (0,2679%), lemak
ayam (0,1974%), minyak kelapa kering (0,12%), minyak kelapa basah
(0,1% FFA), serta lemak sapi (0,064% FFA).
4. Sampel minyak baru yang memiliki angka asam tertinggi hingga terendah
adalah minyak kemiri (21,5846), minyak kacang tanah (0,5331), lemak
ayam (0,3938), minyak kelapa kering (0,336), minyak kelapa basah (0,28),
serta lemak sapi (0,1402).
5. Sampel minyak rusak yang memiliki %FFA tertinggi hingga terendah
adalah minyak jelantah (4,64%), minyak kemiri (2,368%), minyak zaitun
(0,5993%), minyak kelapa dengan perlakuan ditambah air 5% dipanaskan
(0,2816%), minyak kemiri (0,1974%), serta minyak kelapa dengan
perlakuan wadah tertutup pada tempat terang (0,16%).
6. Sampel minyak rusak yang memiliki angka asam tertinggi hingga terendah
adalah minyak jelantah (10,1616), minyak kemiri (5,1859), minyak zaitun
(1,3125), minyak kelapa dengan perlakuan ditambah air 5% dipanaskan
(0,7885), minyak kemiri (0,3928), serta minyak kelapa dengan perlakuan
wadah tertutup pada tempat terang (0,128).
7. Sampel minyak baru yang memiliki angka TBA tertinggi hingga terendah
yaitu minyak kemiri (4,5302), lemak sapi (1,7433), lemak ayam (1,7246),
minyak kacang tanah (0,5008), minyak kelapa basah (0,4891), minyak
kelapa kering (0,2972).
8. Sampel minyak rusak yang memiliki angka TBA tertinggi hingga terendah
yaitu minyak kemiri dengan perlakuan wadah terbuka di tempat gelap
(7,1791), minyak kemiri dengan perlakuan tambah air 5% dipanaskan
(6,6316), minyak kemiri dengan perlakuan wadah tertutup tempat terang
(1,0436), minyak kelapa dengan perlakuan wadah terbuka di tempat gelap
(0,8073), minyak kelapa dengan perlakuan wadah tertutup tempat terang
(0,1966), minyak kelapa dengan perlakuan tambah air 5% dipanaskan
(0,1474).
9. Sampel minyak kelapa basah, minyak kelapa kering, minyak kelapa rusak
(wadah terbuka, tempat gelap), minyak kemiri rusak (wadah terbuka,
tempat gelap), minyak kemiri, minyak kelapa rusak (wadah tertutup,
tempat terbuka), minyak kemiri (wadah tertutup, tempat terbuka), minyak
kacang, minyak kelapa rusak (ditambah 5% aquades, dipanaskan), minyak
kemiri (ditambah 5% aquades, dipanaskan), menghasilkan bau yang tidak
lebih menyengat dibandingkan gliserol.
10. Sampel minyak lemak sapi dan ayam menghasilkan bau yang lebih
menyengat dibandingkan gliserol.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Siti, dkk. 2010. Penurunan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas (FFA) pada Proses Bleaching Minyak Goreng Bekas oleh Karbon Aktif Polong Buah Kelor (Moringa Oliefera. Lamk) dengan Aktivasi NaCl. Jurnal Alchemy Vol 1 No 2.
Astuti, Endang Puji. 2008. Pengaruh Penambahan Berbagai Tingkat Vitamin C Sebagai Antioksidan Dan Lama Simpan Terhadap Ketengikan Bungkil Kacang Tanah. Universitas Brawijaya Malang.
Herlina, Netti dan Ginting, M. Hendra S. 2002. Lemak dan Minyak. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara.
Hidayati, Nur, dan Puspawati. 2011. Angka Peroksida Pada Minyak Kelapa Hasil Olahan Tradisional Dan Hasil Olahan Dengan Penambahan Buah Nanas Muda. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Setia Budi Surakarta
Hildayani, T. 2013. Kandungan Zat Gizi Makro Dan Pengaruh Bumbu Terhadap Asam Lemak Bebas Per Porsi Coto Makassar. Universitas Hasanuddin.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press,
Kostik, Vesna, Shaban Memeti, and Biljana Bauer. 2012. Fatty Acid Composition of Edible Oils and Fats. Journal of Hygienic Engineering and Design.
Meyer, L.H, 1960. Food Chemistry. Reinhold Publisher Co. New York.
Mualifah, S. 2009. Penentuan Angka Asam Thiobarbiturat dan Angka Peroksida pada Minyak Goreng Bekas Hasil Pemurnian dengan KArbon Aktif dari Biji Kelor. Skripsi. Universitas Islam Negeri. Malang.
Muchtadi, D. 2009. Pengantar Ilmu Gizi, Bandung, CV. Alfabeta.
Muchtadi, T.R., Sugiyono, Ayustaningwarno, F. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta. Bandung.
Paramitha, A. R. A. 2012. Studi Kualitas Minyak Makanan Gorengan pada Penggunaan Minyak Goreng Berulang. Skripsi. Ilmu dan Teknologi Pertanian. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Sirait, SM., dkk. 2011. Analisis Akrilamida Dalam Minyak Goreng Bekas Pakai Secara Kromatografi Cari Kinerja Tinggi. Repository Universitas Sumatera Utara.
Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi. 2010. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Sutiah, K., Sofjan Firdausi dan Budi W.S. 2008. Studi Kualitas Minyak Goreng Dengan Parameter Viskositas Dan Indeks Bias. Berkala Fisika, 11, 53-58.
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
LAMPIRAN
1. Penentuan Angka Peroksida
a. Minyak wijen = 21 x 0,1 x 1000 = 420 meq/kg
5
b. Minyak kelapa = 25 x 0,1 x 1000 = 500 meq/kg
5
2. Penentuan Asam Lemak Bebas (FFA)
a. Minyak kacang tanah (oleat)
%FFA = 1,9 x 0,1 x 282 x 100% = 0,2679%
20 x 1000
Angka asam = 1,99 x 0,2679 = 0,5331
b. Lemak sapi (palmitat)
%FFA = 0,5 x 0,1 x 256 x 100% = 0,064%
20 x 1000
Angka asam = 2,19 x 0,064 = 0,1402
c. Minyak kelapa (laurat)
%FFA = 2,2 x 0,1 x 200 x 100% = 0,22%
20 x 1000
Angka asam = 2,8 x 0,22 = 0,616
d. Minyak kemiri (palmitat)
%FFA = 1,4 x 0,1 x 256 x 100% = 0,1792%
20 x 1000
Angka asam = 2,19 x 0,1792 = 0,3924
3. Penentuan Bilangan TBA
Angka TBA = x besarnya absorbansi pada ᵡ 528 nm x 7,8.
a. Minyak kelapa (basah) = 3/10 x 0,209 x 7,8 = 0,4891
b. Minyak kelapa (kering) = 3/10 x 0,127 x 7,8 = 0,2972
c. Minyak kemiri = 3/10 x 1,936 x 7,8 = 4,5302
d. Lemak ayam = 3/10 x 0,737 x 7,8 = 1,7246
e. Minyak kacang = 3/10 x 0,214 x 7,8 = 0,5008
f. Lemak sapi = 3/10 x 0,745 x 7,8 = 1,7433
g. Minyak kelapa (wadah terbuka, tempat gelap)=3/10 x 0,345 x 7,8 = 0,8073
h. Minyak kemiri (wadah terbuka, tempat gelap)=3/10 x 3,068 x 7,8 = 7,1791
i. Minyak kelapa (wadah tertutup, tempat terang)=3/10 x 0,084 x 7,8=0,1966
j. Minyak kemiri (wadah tertutup, tempat terang)=3/10 x 0,446 x 7,8=1,0436
k. Minyak kelapa (+5% air, dipanaskan) = 3/10 x 0,063 x 7,8 = 0,1474
l. Minyak kemiri (+5% air, dipanaskan) = 3/10 x 2,834 x 7,8 = 6,6316
DOKUMENTASI
Uji Peroksida minyak wijen Uji peroksida minyak kelapa
Uji FFA minyak kemiri
Uji TBA minyak kacang dan lemak sapi
Sebelum titrasi Sesudah titrasi
Sebelum titrasi Sesudah titrasi