alam dalam fenomena pembangunan dunia tasdiyanto klh jateng

4
Alam Dalam Fenomena Pembangunan Dunia 1 Tasdyanto R 2 Alam Sebagai Sumberdaya Landasan Negara Indonesia menempatkan alam sebagai sumberdaya.. Hal tersebut jelas juga tersirat dalam UUD 1945 bahwa “Sumberdaya Alam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Menempatkan alam sebagai sumberdaya berarti telah menempatkan alam sebagai barang ekonomi, yang perlu dibudidayakan. Pada hakekatnya istilah sumberdaya lebih lekat dengan pandangan-pandangan ekonomi ketimbang ekologi. UU 23/97 mendefinisikan sumberdaya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumberdaya manusia, sumberdaya alam, baik hayati maupun non hayati, dan sumberdaya buatan (UU23/97). Dalam hal ini dikenal bahwa selain sumberdaya alam terdapat pula sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Kritik yang sering dilontarkan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia adalah: “Sumberdaya alam dikuasai oleh Negara asing dan dipergunakan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat tetangga.” Panglima Pembangunan Bangsa-bangsa di dunia secara formal perduli terhadap lingkungan hidup sejak diadakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Conference on Human Environment) yang diselenggarakan di Stockholm pada tanggal 5-16 Juni 1972. Walaupun demikian, konsep pembangunan yang sustainable development, baru dicetuskan pada tahun 1987 dalam laporan 1 Makalah singkat disampaikan dalam bedah Buku Escaping The Resource Curse. Yogyakarta 11 Desember 2008 2 Bekerja di Kementrian Negara Lingkungan Hidup, dan Ketua Lembaga Kebudayaan dan Lingkungan Hidup.

Upload: feriawan-agung-nugroho

Post on 08-Jun-2015

280 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Makalah dari Pak Tasdyanto, KLH Jateng di Yogyakarta dalam acara Bedah Buku Escaping the Resource Curse yang diselenggarakan: IDEA, MAP UGM, Samdhana dan RWI di LPP Convention Center, Kamis 11 Des 2008

TRANSCRIPT

Page 1: Alam Dalam Fenomena Pembangunan Dunia Tasdiyanto KLH Jateng

Alam Dalam Fenomena Pembangunan Dunia1

Tasdyanto R2

Alam Sebagai Sumberdaya

Landasan Negara Indonesia menempatkan alam sebagai sumberdaya.. Hal tersebut jelas juga tersirat dalam UUD 1945 bahwa “Sumberdaya Alam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Menempatkan alam sebagai sumberdaya berarti telah menempatkan alam sebagai barang ekonomi, yang perlu dibudidayakan. Pada hakekatnya istilah sumberdaya lebih lekat dengan pandangan-pandangan ekonomi ketimbang ekologi.

UU 23/97 mendefinisikan sumberdaya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumberdaya manusia, sumberdaya alam, baik hayati maupun non hayati, dan sumberdaya buatan (UU23/97). Dalam hal ini dikenal bahwa selain sumberdaya alam terdapat pula sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.

Kritik yang sering dilontarkan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia adalah: “Sumberdaya alam dikuasai oleh Negara asing dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetangga.”

Panglima Pembangunan

Bangsa-bangsa di dunia secara formal perduli terhadap lingkungan hidup sejak diadakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Conference on Human Environment) yang diselenggarakan di Stockholm pada tanggal 5-16 Juni 1972.

Walaupun demikian, konsep pembangunan yang sustainable development, baru dicetuskan pada tahun 1987 dalam laporan World Commission on Environmental and Development (WCED) yang diberi judul “Our Common Future”. WCED ini diketuai oleh Nyonya Gro Harlem Bruntland dari Norwegia.

Sebagai sebuah konsep, Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) menekankan pembangunan yang ramah lingkungan, dengan memperhatikan asas keadilan inter dan antar generasi. Sehingga muncul slogan “Alam adalah titipan anak cucu.”

Dalam prakteknya, Sustainable Development (SD) sulit dilaksanakan, terutama di Indonesia. Selain dukungan terhadap konsep ini, kritik pun bermunculan, sebagai konsep yang terlalu umum, tidak berarti apa-apa, sehingga mudah dibawa ke mana-mana (Mitchel, 2000). Sebagai konsep pembangunan yang beretika antroposentris (Keraf, 2002). Karena SD sangat terkait dengan kondisi ekonomi, maka hanya bisa diterapkan di Negara yang sudah mapan.

1 Makalah singkat disampaikan dalam bedah Buku Escaping The Resource Curse. Yogyakarta 11

Desember 20082 Bekerja di Kementrian Negara Lingkungan Hidup, dan Ketua Lembaga Kebudayaan dan Lingkungan

Hidup.

Page 2: Alam Dalam Fenomena Pembangunan Dunia Tasdiyanto KLH Jateng

Masyarakat awam pernah menanyakan, “Kapan anak cucu, titip ke kita?”. Kalau merupakan hak waris untuk anak cucu, berarti wajar jika pada suatu saat lingkungan hidup ini rusak dan sumberdaya alam habis. Sebab fenomena warisan di budaya Indonesia akan memberikan harta yang semakin sedikit.”

Negara Maju atau Negara Berkembang

Kita sering menyalahkan negara manju sebagai perusak lingkungan hidup dan pengkonsumsi sumberdaya alam yang boros. Hal ini terbukti dengan riset yang menunjukkan bahwa Carbon terbesar di dunia diproduksi oleh negara-negara maju terutama USA dan China (Witoelar, 2008)

Fakta lain menunjukkan akar persoalan lingkungan tidak hanya menyangkut population pressures tetapi lebih pada pola produksi dan konsumsi yang boros dan tidak ramah lingkungan. Masyarakat di negara maju di Amerika dan Eropa, mengkonsumsi air, energi dan kertas 10 – 12 kali lebih besar dari Indonesia. Apabila seluruh penduduk dunia yang sebesar 6 milyard pola produksi dan konsumsinya ingin seperti produksi dan konsumsi di negara-negara maju, kita butuh tiga (3) planet bumi (William Rees, 1999)

Demikian juga, monopolisasi penguasaan dan pemanfaatan SDA ini, pada akhirnya menimbulkan persoalan rights to environment dan environmental injustice. Jutaan penduduk miskin di dunia tidak mempunyai akses terhadap SDA karena SDA tersebut sudah dikuasai oleh mereka yang berkuasa dan mempunyai kapital. Sekitar 80 % penduduk dunia hanya menguasai dan memanfaatkan 20% SDA di dunia. Di manakah letak keadilannya? Bagaimana hal ini dapat terjadi dan apakah hal ini akan terus terjadi? Jelas bahwa dalam situasi ini mereka yang mampu, berkuasa, dan menguasai SDA akan cenderung mempertahankan status quo- disinilah letak kebuntuan persoalan lingkungan (Setiawan, 2007).

Tapi di sisi lain, negara maju juga menuduh bahwa negara-negara berkembang juga turut berkontribusi besar dalam perusakan SDA dan lingkungan hidup. Lahan pertanian, peternakan, sampah, transportasi yang semrawut sangat besar menghasilkan GRK seperti CO2, Methan, Dinitrogen Oksida dll. Bahkan dimunculkan mitos bahwa sumber perusakan dan kehancuran SDA adalah kemiskinan.

Kenyataannya, ilmu pengetahuan kita (terutama di bidang lingkungan hidup) masih berkiblat ke negara-negara manu tersebut (barat). Studi banding pejabat banyak dilakukan di negara-negara maju. Bagaimana terjadi?Bukankah kebudayaan di sana, mulai paradigma ilmu pengetahuan, industrialisasi, dan gaya hidup materialis-hedonis menjadi faktor utama penyebab kerusakan lingkungan hidup dan SDA?? Apakah tidak lebih baik kita merekomendasikan (keragaman) kebudayaan (lokal di) Indonesia, yang sejak zaman dahulu telah dikenal harmoni dengan alam!

Alam Dalam Pandangan Kebudayaan Indonesia (Jawa)

Kebudayaan Jawa menempatkan alam sebagai jagad besar (makrokosmos) dan diri manusia sebagai jagad kecil (mikrokosmos). Pemaknaan ini sangat mendalam, dengan mencerminkan alam sebagai diri kita sendiri. Sehingga wajar dalam kebudayaan Jawa melahirkan etika lingkungan tertinggi, yakni Planeter Altruisme (=rasa empati

Page 3: Alam Dalam Fenomena Pembangunan Dunia Tasdiyanto KLH Jateng

terhadap planet/ dunia/ alam sekitar). Etika ini melampaui kedalaman biocentrisme atau bahkan ecocentrisme.

Dalam pandangan ini emlahirkan konsep pemimpin yang bukan yanya pemimpin untuk menusia, tetapi untuk seluruh jagad raya. Diperkaya dengan kebudayaan Islam-Jawa yang mendomonasi Indonesia, maka dimensi keillahiyan juga melekat pada konsep pemimpin di Jawa. Konsep kepemimpinan Jawa tersebut terlihat pada Raja Mataram sebagai identitas kebudayaan Jawa (yang masih eksis sampai sekarang), Yakni Sri Sultan Hamengku Buwono, yang berngelar “Senopati ing Alogo Abdurrahman Sayyidin Panotogomo Khalifatullah.”

Falsafah yang terbangun dalam kebudayaan jawa ini juga sangat luhur, yakni Hamemayu Hayuning Bawana (HHB) yan gberarti mempercantik dan memperindah bumi. Menurut Soemarwoto (2007) falsafah ini jelas-jelas telah mengintegrasikan lingkungan hidup dalam pembangunan, jauh-jauh hari sebelum Sustainable Development dicetuskan pada tahun 1987 dalam laporan Our Common Future. Apabila dielaborasi dan disesuaikan dengan konteks kekinian, HHB dapat menjadi konsep pembangunan yang lebih baik daripada Sustainable Development(SD). Tiga dimensi kehidupan menjadi kunggulan falsafah ini, yakni hubungan manusia-manusia, manusia-alam dan manusia- Sang Pencipta. Dimensi ketiga ini tidak dimiliki SD.

Perlukah Reformasi Kebudayaan demi Kehidupan!Mengamati perkembangan kebudayaan di dunia, terutama di Indonesia, perlu segera dilakukan reformasi (kontekstualisasi istilah revitalisasi, identifikasi, atau pembangunan kebudayaan). Elemen kebudayaan, mulai dari ilmu pengetahuan dan teknologi, pranata sosial dan ekonomi perlu diintervensi dengan nilai-nilai yang pro alam/lingkungan hidup. Tanpa lingkungan hidup yang baik, kehidupan umat manusia mustahil dapat lebih baik!