abortus habitualis - isi
Post on 04-Aug-2015
661 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini abortus masih merupakan masalah kontroversi di masyarakat
Indonesia, Namun terlepas dari kontorversi tersebut, abortus merupakan
masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan
kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan
melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia. Namun sebenarnya
abortus juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam
bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis. Akan tetapi, kematian ibu yang
disebabkan komplikasi abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian,
tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi karena hingga
saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat.
Prevalensi dari abortus habitualis diperkirakan terjadi pada 1-3%
kehamilan. Faktor umur dan keberhasilan kehamilan sebelumnya merupakan
faktor independen yang dapat mempengaruhi terjadinya abortus habitualis,
dimana angka kejadian abortus akan meningkat seiring dengan pertambahan
usia ibu. Untuk ibu muda yang belum pernah mengalami abortus maka
kemungkinan resiko abortus hanya 5%. Resikonya meningkat sekitar 30% pada
wanita yang pernah mengalami abortus 3 kali atau lebih dengan anak yang
hidup sebelumnya, dan meningkat sampai 50% jika sebelumnya belum
memiliki anak yang lahir hidup.2
Angka lahir mati di Amerika Serikat 9 – 10 per 1000 kelahiran hidup. Bila
mungkin, adalah penting menetapkan sebab kematian janin. Sama pentingnya
adalah melindungi kesehatan psikososial ibu dan keluarganya.10
Seorang wanita dikatakan menderita abortus habitualis apabila ia
mengalami abortus berturut-turut 3 kali atau lebih. Wanita tersebut umumnya
tidak sulit hamil, akan tetapi kehamilannya tidak dapat bertahan terus sehingga
wanita yang bersangkutan tidak dapat melahirkan anak yang hidup. Keadaan
tersebut dapat digolongkan sebagai infertilitas atau sterilitas.1,2
11
Terdapat berbagai penyebab abortus yakni: gangguan hormonal dan
nutrisi, kekacauan autoimun, penyakit infeksi, kelainan genetik dan anatomik
di uterus, laserasi uterus yang luas serta mioma uteri. Di samping hal tersebut
ada beberapa penyebab abortus yang belum diketahui penyebabnya. Sekarang
ini makin dikenal antiphospholipid syndrome (APS), yaitu kekacauan
autoimun yang menyebabkan abortus habitualis karena trombosis vaskularisasi
plasenta.1,2
B. Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk mempelajari segala sesuatu yang
berhubungan dengan abotus habitualis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Abortus Habitualis
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan, sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.12
Istilah abortus habitualis digunakan kalau seorang wanita mengalami tiga
kali atau lebih abortus spontan yang terjadi berturut-turut.4 Sedangkan
pengertian abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi
medis maupun mekanis.10
B. Etiologi Abortus Habitualis
Penyebab abortus habitualis lebih dari satu (multipel) dan sering terdapat
lebih dari satu faktor yang terlibat.4 Penyebab abortus berulang yang diketahui
yakni:5
1) Kelainan zygote: kelainan genetik (kromosomal) pada suami atau istri
Agar bisa terjadi kehamilan, dan kehamilan itu dapat berlangsung terus
dengan selamat, perlu adanya penyatuan antara spermatozoon yang normal
dengan ovum yang normal pula. Kelainan genetik pada suami atau isteri
dapat menjadi sebab kelainan pada zigot dengan akibat terjadinya abortus.
Dapat dikatakan bahwa kelainan kromosomal yang dapat memegang
peranan dalam abortus berturut-turut, jarang terdapat. Dalam hubungan ini
dianjurkan untuk menetapkan kariotipe pasangan suami isteri, apabila
terjadi sedikit-sedikitnya abortus berturut-turut 3 kali, atau janin yang
dilahirkan menderita cacat.11
2) Gangguan hormonal
Pada wanita dengan abortus habitualis, ditemukan bahwa fungsi glandula
tiroidea kurang sempurna. Hubungan peningkatan antibodi antitiroid dengan
abortus berulang masih diperdebatkan karena beberapa penelitian
menunjukkan hasil yang berlawanan. Luteal phase deficiency (LPD) adalah
33
gangguan fase luteal. Gangguan ini bisa menyebabkan disfungsi tuba
dengan akibat transpor ovum terlalu cepat, mobilitas uterus yang berlebihan,
dan kesukaran nidasi karena endometrium tidak dipersiapkan dengan baik.
Penderita dengan LPD mempunyai karakteristik siklus haid yang pendek,
interval post ovulatoar kurang dari 14 hari dan infertil sekunder dengan
recurrent early losses.5
3) Gangguan nutrisi
Berbagai penyakit seperti anemia berat, penyakit menahun dan lain-lain
dapat mempengaruhi gizi ibu sehingga mengganggu persediaan berbagai zat
makanan untuk janin yang sedang tumbuh.5
4) Penyakit infeksi
Infeksi Toksoplasma, virus Rubela, Cytomegalo dan herpes merupakan
penyakit infeksi parasit dan virus yang selalu dicurigai sebagai penyebab
abortus melalui mekanisme terjadinya plasentitis. Mycoplasma, Lysteria dan
Chlamydia juga merupakan agen yang infeksius dan dapat menyebabkan
abortus habitualis.5
5) Autoimmune disorder
Penyakit pembuluh darah kolagen lupus eritematosus sistemik (SLE)
dapat menyebabkan abortus, kemungkinan disebabkan oleh adanya
gangguan aliran darah. APS dikenal juga dengan nama Hughes syndrome
merupakan penyakit autoimun yang pada dekade akhir ini makin dikenal
sebagai salah satu penyebab abortus berulang. Tipe APS ada dua, yakni
”primer” bila tidak disertai dengan penyakit pokok yang mendasari dan
”sekunder” bila APS ini berhubungan dengan adanya SLE, penyakit
autoimun lain, infeksi dan neoplasma.5
6) Kelainan pada serviks dan uterus
Abortus juga dapat disebabkan oleh kelainan anatomik bawaan, laserasi
uterus yang luas, serviks inkompeten yang membuka tanpa rasa nyeri,
sehingga ketuban menonjol dan pecah. Di mioma uteri submukus terjadi
gangguan implantasi ovum yang dibuahi atau gangguan pertumbuhan dalam
kavum uteri.5
4
Kelainan bawaan dapat menjadi sebab abortus habitualis, antara lain
hipoplasia uteri, uterus subseptus, uterus bikornis, dan sebagainya. Akan
tetapi pada kelainan bawaan seperti uterus bikornis, sebagian besar
kehamilan dapat berlangsung terus dengan baik. Walaupun pada abortus
habitualis perlu diselidiki histerosalpingografi, apakah ada kelainan bawaan,
perlu diperiksa pula apakah tidak ada sebab lain dari abortus habitualis,
sebelum mnganggap kelainan bawaan uterus tersebut sebagai sebabnya.11
7) Faktor Psikologis
Dibuktikan bahwa ada hubungan antara abortus berulang dan keadaan
mental, akan tetapi masih belum jelas penyebabnya. Yang peka terhadap
terjadinya abortus ialah wanita yang belum matang secara emosional, dan
sangat mengkhawatirkan risiko kehamilan, begitu pula wanita yang sehari-
hari bergaul dalam dunia pria dan menganggap kehamilan suatu beban yang
berat.11
C. Patofisiologi Abortus Habitualis
Kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin yang
kemudian diikuti dengan perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu terjadi
perubahan-perubahan nekrotik pada daerah implantasi, infiltrasi sel-sel
peradangan akut, dan akhirnya perdarahan per vaginam.10
Patofisiologi terjadinya keguguran mulai dari terlepasnya sebagian atau
seluruh jaringan plasenta, yang menyebabkan perdarahan sehingga janin
kekurangan nutrisi dan O2. Bagian yang terlepas dianggap benda asing,
sehingga rahim berusaha untuk mengeluarkan dengan kontraksi.6
Pengeluaran tersebut dapat terjadi spontan seluruhnya atau sebagian masih
tertinggal, yang menyebabkan berbagai penyulit. Oleh karena itu, keguguran
memberikan gejala umum sakit perut karena kontraksi rahim, terjadi
perdarahan, dan disertai pengeluaran seluruh atau sebagian hasil konsepsi. 6
Bentuk perdarahan bervariasi diantaranya: 6
- Sedikit-sedikit dan berlangsung lama
- Sekaligus dalam jumlah yang besar dapat disertai gumpalan
5
- Akibat perdarahan tidak menimbulkan gangguan apapun, dapat
menimbulkan syok, nadi meningkat, tekanan darah turun, tamak anemis dan
daerah ujung (akral) dingin
Bentuk pengeluaran hasil konsepsi bervariasi:
- Umur hamil di bawah 14 minggu dimana plasenta belum terbentuk
sempurna dikeluarkan seluruh atau sebagian hasil konsepsi.
- Di atas 16 minggu, dengan pembentukan plasenta sempurna dapat didahului
dengan ketuban pecah diikuti pengeluaran hasil konsepsi, dan dilanjutkan
dengan pengeluaran plasenta, berdasarkan proses persalinannya dahulu
disebutkan persalinan immaturus.
- Hasil konsepsi tidak dikeluarkan lebih dari 6 minggu, sehingga terjadi
ancaman baru dalam bentuk gangguan pembekuan darah.
Berbagai bentuk perubahan hasil konsepsi yang tidak dikeluarkan dapat
terjadi: 6
- Mola kruenta adalah telur yang dibungkus oleh darah kental. Mola kruenta
terbentuk kalau abortus terjadi lambat laun hingga darah sempat membeku
antara desidua dan korion. Kalau darah beku ini sudah seperti daging
disebut juga mola karnosa10
- Mola tuberosa: amnion berbenjol-benjol, karena terjadi hematoma antara
amnion dan korion
- Fetus kompresus: janin mengalami mummifikasi, terjadi penyerapan
kalsium, dan tertekan sampai gepeng
- Fetus papiraseus: kompresi fetus berlangsung terus, terjadi penipisan
laksana kertas.
- Blighted ovum : hasil konsepsi yang dikeluarkan tidak mengandung janin.
Hanya benda kecil yang tidak berbentuk
- Missed abortion : hasil konsepsi yang tidak dikeluarkan lebih dari 6
minggu.
Bila keguguran pada umur hamil lebih tua dan tidak segera dikeluarkan,
dapat terjadi maserasi dengan ciri kulit mengelupas, tulang kepala berimpitan,
dan perut membesar karena asites atau pembentukan gas. 6
6
D. Gambaran Klinis
Riwayat perdarahan per vaginam merupakan keluhan yang paling sering
diungkapkan. Nyeri perut juga seringkali menyertai kondisi ini.7
Gejala klasik yang biasanya menyertai setiap tipe abortus adalah kontraksi
uterus, perdarahan uterus, dilatasi servix, dan presentasi atau ekspulsi seluruh
atau sebagian hasil konsepsi.3
Dugaan keguguran diperlukan beberapa kriteria sebagai berikut: 6
- Terdapat keterlambatan datang bulan
- Terjadi perdarahan
- Disertai sakit perut
- Dapat diikuti oleh pengeluaran hasil konsepsi
- Pemeriksaan hasil tes kehamilan dapat masih positif atau sudah negatif
Tanda-tanda vital harus diukur untuk menyingkirkan ketidakstabilan
hemodinamik. Pemeriksaan panggul bermanfaat untuk memperkirakan usia
gestasi. Pemeriksaan spekulum harus dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan penyebab lokal perdarahan per vaginam dan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab lokal perdarahan per vaginam dan
untuk menyingkirkan kemungkinan dikeluarkannya produk konsepsi.7
Hasil pemeriksaan fisik terhadap penderita bervariasi: 6
1) Pemeriksaan fisik bervariasi tergantung jumlah perdarahan.
2) Pemeriksaan fundus uteri:
- Tinggi dan besarnya tetap dan sesuai dengan umur kehamilan
- Tinggi dan besarnya sudah mengecil
- Fundus uteri tidak teraba di atas simfisis.
3) Pemeriksaan dalam:
- Serviks uteri masih tertutup
- Servix sudah terbuka dan teraba ketuban dan hasil konsepsi dalam kavum
uteri atau pada kanalis servikalis
- Besarnya rahim (uterus) sudah mengecil
- Konsistensinya lunak
7
Selain anamnesis rutin dan pemeriksaan fisik, hal-hal berikut penting
dilakukan:
1. Siapkan silsilah tiga generasi kedua pasangan dan lengkapi riwayat
reproduksi menyeluruh (termasuk informasi patologis dan kariotipe dari
abortus sebelumnya).
2. Lakukan pemeriksaan kariotipe kedua orangtua.
3. Kerjakan histerosalfingogram, histereskopi atau laparoskopi untuk
menyingkirkan diagnosis kelainan anatomis saluran reproduksi.
4. Lakukan pemeriksaan laboratorium untuk T3, T4, TSH, skrining kelainan
glukosa (1 atau 2 jam setelah makan), SMA dan antibodi antinuklear atau
antibodi DNA rantai ganda.
5. Rencanakan pemeriksaan skrining imunoligis untuk edua orangtua. Dewasa
ini meliputi pencitraan HLA-A, HLA-B dan transferin C. konsultasi
imunolgis juga mungkin berguna.
6. Kerjakan biopsi endometrium dalam fase luteal atau dapatkan kadar
progesteron serum untuk menilai korpus luteum atau lakukan keduanya.
7. Lakukan skrinning terhadap adanya infeksi serviks atau jaringan
endometrium dengan biakan Listeria monositogenes, Klamidia,
Mikoplasma, U. Urealitikum, Neisseria gonorrheae, sitomegalovirus, herpes
simpleks dan titer serum untuk Treponema pallidum, Brusela abortus dan
Toksoplasma gondii.1
Terapi harus dipandu oleh pemeriksaan diagnostik :
1. Kesalahan genetik. Prtimbangkan inseminasi buatan dengan donor atau
fertilisasi in vitro dengan donor sel telur atau sperma
2. Kelainan anatomis sistem reproduksi. Kerjakan operasi uterus (misal,
prosedur Jones, Tompkins, Strassman, Miomektomi), pemasangan cincin
servix (abdominal atau vaginal) atau rekonstruksi servix.
3. Kelainan hormonal. Jika terjadi defisiensi hormon, berikan tiroid,
progesteron, klomifen sitrat.
4. Infeksi. Berikan antibiotika yang tepat.
8
5. Faktor imunologis. Nilai kebutuhan pemberian limfosit ayah yang perifikasi
untuk mengatasi antibodi penghambat (hanya dikerjakan di pusat kesehatan
yang secara teratur menggunakan terapi ini)
6. Obat kelainan sistemik dengan tepat menggunakan terapi spesifik untuk
penyakit.6
Pemeriksaan kuantitatif gonadotropin korionik manusia (HCG) serum,
hitung darah lengkap, dan penentuan golongan darah harus dilakukan.7
Secara klinis abortus dibedakan menjadi :
o Abortus insipiens
Inevitable abortion, abortus sedang berlangsung. 10
Abortus insipiens didiagnosis apabila pada wanita hamil ditemukan
perdarahan banyak, kadang-kadang keluar gumpalan darah yang disertai
nyeri karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya dilatasi servix
sehingga jari pemeriksa dapat masuk dan ketuban dapat teraba. Kadang-
kadang perdarahan dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan jaringan
yang tertinggal dapat menyebabkan infeksi sehingga evakuasi harus
segera dilakukan. 10
Janin biasanya sudah mati dan memerahankan kehamilan pada
keadaan ini merupakan indikasi kontra.10
Dasar Diagnosis : 10
1. Anamnesis—perdarahan dari jalan lahir disertai nyeri atau
kontraksi rahim.
2. Pemeriksaan dalam—Ostium terbuka, buah kehamilan masih
dalam rahim, dan ketuban utuh (mungkin menonjol).
Pengelolaan : 10
1. Evakuasi
2. Uterotonik pascaevakuasi
3. Antibiotik selama 3 hari
o Abortus inkomplit10
Abortus inkomplit didiagnosis apabila sebagian dari hasil konsepsi
telah lahir atau teraba pada vagina, tetapi sebagian tertinggal (biasanya
9
jaringan plasenta). Perdarahan biasanya terus berlangsung, banyak, dan
membahayakan ibu. Sering servix tetap terbuka karena masih ada benda
di dalam rahim yang dianggap sebagai benda asing (corpus alienum).
Oleh karena itu, uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan
mengadakan kontraksi sehingga ibu merasakan nyeri, namun tidak
sehebat pada abortus insipiens. 10
Pada beberapa kasus perdarahan tidak banyak dan bila dibiarkan
servix akan menutup kembali. 10
Dasar diagnosis : 10
1. Anamnesis—perdarahan dari jalan lahir (biasanya banyak), nyeri
atau kontraksi rahim ada, dan bila perdarahan banyak dapat terjadi
syok.
2. Pemeriksaan dalam—ostium uteri terbuka, teraba sisa jaringan
buah kehamilan
Pengelolaan : 10
1. Perbaiki keadaan umum: bila ada syok,atasi syok, bila Hb<8 gr%,
transfusi.
2. Evakuasi: digital, kuretasi
3. Uterotonik
4. Antibiotik selama 3 hari
o Abortus kompletus
Kalau telur lahir dengan lengkap, abortus disebut komplit. Pada
keadaan ini kuretase tidak perlu dilkakukan. 10
Pada setiap abortus penting untuk selalu memeriksa jaringan yang
dilahirkan apakah komplit atau tidak dan untuk membedakan dengan
kelainan trofoblas (molahidatidosa). 10
Pada abortus komplitus, perdarhan segera berkurang setelah isi rahim
dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti
sama sekali karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan
epitelisasi telah selesai. Servix juga dengan segera menutup kembali.
10
Kalau 10 hari setelah abortus masih ada perdarahan juga, abortus
inkomplit atau endometritis pascaabortus harus dipikirkan. 10
E. Penatalaksanaan Abortus Habitualis
Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh
karena itu, penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum,
pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan
koitus dan olah raga. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin, hormon
tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis. Risiko
perdarahan pervaginam yang hebat maka perlu diperhatikan adanya tanda-
tanda syok dan hemodinamik yang tidak stabil serta tanda-tanda vital. Jika
pasien hipotensi, diberikan secara intravena-bolus salin normal (NS) untuk
stabilisasi hemodinamik, memberikan oksigen, dan mengirim jaringan yang
ada, ke rumah sakit untuk diperiksa.
Pada serviks inkompeten, apabila penderita telah hamil maka operasi
untuk menguatkan ostium uteri internum sebaiknya dilakukan pada kehamilan
12 minggu. Dasar operasi ialah memperkuat jaringan serviks yang lemah
dengan melingkari daerah ostium uteri internum dengan benang sutra atau
dakron yang tebal. Bila terjadi gejala dan tanda abortus insipien, maka benang
harus segera diputuskan, agar pengeluaran janin tidak terhalang.
Tindakan untuk mengatasi inkompetensi serviks yaitu dengan penjahitan
mulut rahim yang dikenal dengan teknik Shirodkar Suture atau dikenal juga
dengan cervical cerclage atau pengikatan mulut lahir. Cara ini bisa
menghindari ancaman janin lahir prematur. Faktor keberhasilannya hingga 85 -
90 persen. Tindakan ini biasanya dilakukan sebelum kehamilan mencapai usia
20 minggu dengan mengikat mulut rahim agar tertutup kembali sampai masa
kehamilan berakhir dan janin siap untuk dilahirkan .Tindakan pengikatan mulut
rahim dilakukan dengan pembiusan lokal dan menggunakan benang
berdiameter 0,5 cm, yang bersifat tidak dapat diserap oleh tubuh. Jahitan ini
akan dilepas pada saat kehamilan mencapai usia 36-37 minggu, atau saat bayi
sudah siap dilahirkan. Agar tindakan pengikatan berfungsi optimal. Pasien
11
tidak boleh berhubungan seksual dengan pasangan selama 1-2 minggu sampai
ikatan cukup stabil. Pengikatan ini umumnya akan dibuka setelah kehamilan
mencapai 37 minggu, kehamilan cukup bulan sekitar 7 bulan, atau bila ada
tanda-tanda melahirkan.
F. Komplikasi
1. Perdarahan
Penyebab kematian kedua yang paling penting adalah perdarahan. Perdarahan
dapat disebabkan oleh abortus yang tidak lengkap atau cedera organ panggul
atau usus. Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa
hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian biasanya
disebabkan oleh tidak tersedianya darah atau fasilitas transfusi rumah sakit
serta keterlambatan pertolongan yang diberikan.
2. Infeksi
Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang
merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu
staphylococci, streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma,
Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis,
sedangkan pada vagina ada lactobacili,streptococci, staphylococci, Gram
negatif enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur.
Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada desidua. Pada
abortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke perimetrium,
tuba, parametrium, dan peritonium. Organisme-organisme yang paling sering
mengakibatkan infeksi paska abortus adalah E.coli, Streptococcus non
hemolitikus, Streptococci anaerob, Staphylococcus aureus, Streptococcus
hemolitikus, dan Clostridium perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai
adalah Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus dan Clostridium tetani.
Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena dapat membentuk
gas.
3. Sepsis
12
4. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan
karena infeksi berat’
G. Prognosis Abortus Habitualis
Wanita yang mengalami peristiwa abortus habitualis, umumnya tidak
mendapat kesulitan untuk menjadi hamil, akan tetapi kehamilannya tidak dapat
berlangsung terus dan terhenti sebelum waktunya, biasanya pada trimester
pertama tetapi kadang-kadang pada kehamilan yang lebih tua.11
Selain pada kasus antibodi antifosfolipid dan servix inkompeten, “angka
kesembuhan” setelah tiga kali abortus berturut-turut berkisar antara 70 dan 85
%, apapun terapinya. Yaitu, angka kematian janin akan lebih tinggi,
dibandingkan dengan kehamilan secara umum. Bahkan, Warburton dan Fraser
(1964) bahkan kemungkinan abortus rekuren adalah 25 – 30% berapapun
jumlah abortus sebelumnya. Poland dkk, (1977) mencatat bahwa apabila
seorang wanita pernah melahirkan bayi hidup, risiko untuk setiap abortus
rekuren adalah 30%. Namun, apabila wanita belum pernah melhairkan bayi
hidup dan pernah mengalami paling sedikit satu kali abortus spontan, risiko
abortus adalah 46%. Wanita dengan abortus spontan tiga kali atau lebih
berisiko lebih besar mengalami pelahiran preterm, plasenta previa, presentasi
bokong, dan malformasi janin pada kehamilan berikutnya (Thom dkk, 1992).2
13
BAB III
KESIMPULAN
1. Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi tiga kali atau lebih abortus
spontan yang terjadi berturut-turut.
2. Etiologi dari abotus habitualis adalah kelainan zigot, gangguan hormonal,
ganguan nutrisi, penyakit infeksi, autoimun disorder, kelainan servik dan
uterus, dan faktor psikologis.
3. Patofisiologi terjadinya abortus mulai dari terlepasnya sebagian atau seluruh
jaringan plasenta, yang menyebabkan perdarahan sehingga janin kekurangan
nutrisi dan O2. Bagian yang terlepas dianggap benda asing, sehingga rahim
berusaha untuk mengeluarkan dengan kontraksi.
4. Gambaran klinis abortus habitualis adalah kontraksi uterus, perdarahan
uterus, dilatasi servix, dan presentasi atau ekspulsi seluruh atau sebagian hasil
konsepsi
5. Komplikasi dari abortus habitualis adalah perdarahan, infeksi, sepsis dan
syok,
6. Prognosis abortus habitualis lebih berisiko lebih besar mengalami pelahiran
preterm, plasenta previa, presentasi bokong, dan malformasi janin pada
kehamilan berikutnya
1414
Daftar Pustaka
1. Benson, R.C., 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Ed. 9. Jakarta :
EGC
2. Cunningham, F.G, 2005. Obstetri Williams. Ed. 21. Vol. 2. Jakarta : EGC
3. Dorland W.A.N., 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta :
EGC pp. 1776
4. Farrer, H., 1999. Perawatan Maternitas. Ed. 2. Jakarta : EGC
5. Kalalo, L.P, Darmadi, S., Dachlan, E.G., 2006. Laporan Kasus : Abortus
Habitualis pada Antiphospholipid Syndrome. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laborator. Vol. 12(2) : 82-87
6. Manuaba, I.B.G., 1998. Ilmu Kebidanan, penyakit kandungan dan Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
7. Norwitz, E.R., Schorge, J.O, 2008. At a Glance Obstetri dan Ginekologi.
Jakarta: Penerbit Erlangga
8. Rayburn, W.F., 2001. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : Widya Medika
9. Rustam, M., 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi.
Ed. 2. Jilid 1. Jakarta : EGC
10. Sastrawinata, S., Martaadisoebrata, D., Wirakusumah, F.F., 2005. Ilmu
Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi. Ed. 2. Jakarta : EGC
11. Wiknjosastro, H., Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., 2009. Ilmu
Kandungan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
12. Wiknjosastro, H., Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., 2009. Ilmu Kebidanan.
Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
15
top related