abortus habitualis

61
BAB I PENDAHULUAN Tingkat kasus abortus di Indonesia tercatat yang tertinggi di Asia Tenggara mencapai dua juta kasus dari jumlah kasus yang terjadi di Negara-negara ASEAN sekitar 4,2 juta kasus per tahun (Depkes RI, Maret 2006). Sementara itu, 30% angka kematian maternal yang terjadi di Indonesia dipicu oleh terjadinya abortus. Di seluruh dunia, sekitar 19 juta kasus abortus tercatat setiap tahunnya, dan dari 4,5 juta kasus diantaranya dinyatakan beresiko tinggi, selain itu, 13% dari seluruh kematian maternal diperkirakan terjadi akibat komplikasi dari abortus, dan sebagai tambahan, 10 dari 1000 kasus abortus akan menyebabkan terjadinya efek samping jangka panjang, termasuk infertilitas. Suatu kehamilan dikatakan mengalami abortus bila kehamilan tersebut terhenti atau gagal dipertahankan pada usia kehamilan kurang dari 22 minggu atau berat badan janin kurang dari 500 gram. 3 Abortus spontan berulang apabila terjadi abortus berturut-turut sebanyak 3 kali atau lebih pada umur kehamilan kurang dari 22 minggu. Beberapa penulis menyebutnya dengan abortus habitualis. Abortus spontan 1

Upload: hiro-salomo-mangape

Post on 29-Nov-2015

215 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Abortus habitualis

BAB I

PENDAHULUAN

Tingkat kasus abortus di Indonesia tercatat yang tertinggi di Asia Tenggara

mencapai dua juta kasus dari jumlah kasus yang terjadi di Negara-negara ASEAN

sekitar 4,2 juta kasus per tahun (Depkes RI, Maret 2006). Sementara itu, 30% angka

kematian maternal yang terjadi di Indonesia dipicu oleh terjadinya abortus. Di seluruh

dunia, sekitar 19 juta kasus abortus tercatat setiap tahunnya, dan dari 4,5 juta kasus

diantaranya dinyatakan beresiko tinggi, selain itu, 13% dari seluruh kematian

maternal diperkirakan terjadi akibat komplikasi dari abortus, dan sebagai tambahan,

10 dari 1000 kasus abortus akan menyebabkan terjadinya efek samping jangka

panjang, termasuk infertilitas.

Suatu kehamilan dikatakan mengalami abortus bila kehamilan tersebut

terhenti atau gagal dipertahankan pada usia kehamilan kurang dari 22 minggu atau

berat badan janin kurang dari 500 gram.3

Abortus spontan berulang apabila terjadi abortus berturut-turut sebanyak 3

kali atau lebih pada umur kehamilan kurang dari 22 minggu. Beberapa penulis

menyebutnya dengan abortus habitualis. Abortus spontan berulang ini selalu menjadi

masalah di dunia praktek ilmu kebidanan karena seorang ibu yang sudah pernah

mengalami abortus yang berulang biasanya selalu panik dan berupaya agar tidak

terjadi abortus lagi untuk kehamilan berikutnya. Angka kejadiannya adalah 1 diantara

300 kehamilan. Masyarakat luas sebenarnya banyak tahu tentang pentingnya

pencegahan terjadinya abortus berulang ini tetapi sebagian besar mereka tidak dapat

memenuhi harapan tersebut, mengingat faktor yang berpengaruh sangat banyak. Pada

umumnya masyarakat baru terpikir untuk mencari penyebab atau berobat dengan

sungguh-sungguh setelah kejadian abortus dialami sebanyak 2 kali secara berurutan

atau usianya sudah menginjak 35 tahun serta pasangan tersebut sulit dalam upaya

untuk menjadi hamil. Secara epidemiologis pernah dilaporkan bahwa bila sudah

mengalami 4 kali abortus, maka resiko tidak punya anak mencapai 40 sampai 50 %.1

1

Page 2: Abortus habitualis

Etiologi abortus habitualis dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor

genetik, anatomi, endokrin, infeksi, imunologi serta faktor-faktor lain seperti

lingkungan , obat-obatan, dan penyakit kronik.3

Terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya abortus habitualis

ialah dengan mengetahui terlebih dahulu etiologinya untuk mengetahui tindakan apa

yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyebabnya.

Di dalam referat ini akan dibahas mengenai penyebab-penyebab terjadinya

abortus habitualis, diagnosis dan manajemen kelola terhadap abortus habitualis.

2

Page 3: Abortus habitualis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ABORTUS

2.1.1. DEFINISI

Berakhirnya kehamilan sebelum anak dapat hidup di dunia luar

(viable). Definisi lain menyatakan bahwa abortus adalah berakhirnya

kehamilan sebelum usia kehamilan 22 minggu atau berat badan anak kurang

dari 500 gram.1,2. Pengeluaran janin diikuti dengan pengeluaran sebagian atau

seluruh plasenta dan selaput kehamilan.

Klasifikasi Abortus :

1. Menurut kejadiannya

2. Secara klinis

A. Abortus Menurut kejadiannya

1. Abortus spontan

abortus yang terjadi tanpa tindakan atau berlangsung dengan sendirinya.

2. Abortus provocatus

Abortus yang terjadi dengan sengaja.

A. Abortus provocatus therapeuticus / abortus provocatus artificialis

Pengakhiran kehamilan atas indikasi kehamilan yang dapat

membahayakan ibu maupun janin.

B. Abortus provocatus kriminalis

Pengakhiran kehamilan tanpa indikasi medis dan dilarang oleh

hukum.

3

Page 4: Abortus habitualis

B. Menurut klinis dibagi menjadi :

1. Abortus imminens (threatened abortion)

Merupakan ancaman terjadinya abortus yang ditandai dengan perdarahan

sedikit dari jalan lahir dan nyeri perut tidak ada atau ringan pada daerah

perut bawah atau terdapat fluksus sedikit dengan keadaan mulut rahim

masih tertutup. Besar rahim masih sesuai dengan umur kehamilan.

Kejadian ini dapat berlangsung antara 30 sampai 40 % dari seluruh

kehamilan.3,4

2. Abortus insipiens (inevitable abortion)

Abortus yang sedang berlangsung yang terjadi apabila telah ada

pembukaan serviks uterus tetapi jaringan uterus maupun jaringan plasenta

masih intrauterine, yang ditandai dengan perdarahan dari jalan lahir

disertai nyeri/kontraksi rahim.3,4

3. Abortus inkompletus (incomplete abortion)

Pengeluaran sebagian konsepsi sedangkan sisanya masih berada

intrauterin, jaringan yang biasa tertinggal adalah plasenta atau desidua.

Manifestasi klinis ditandai dengan adanya perdarahan dari jalan lahir

(biasanya banyak), nyeri /kontraksi rahim ada, dan bila perdarahan banyak

dapat terjadi syok. Pada pemeriksaan dalam, ostium uteri terbuka, teraba

sisa jaringan buah kehamilan.3,4

4. Abortus complete (complete abortion)

Pengeluaran seluruh jaringan konsepsi. Setelah keluarnya semua hasil

konsepsi, kontraksi rahim dan perdarahan mereda, serviks menutup, dan

rahim lebih kecil daripada periode yang ditunjukkan amenorea. Selain itu,

tidak lagi ada gejala kehamilan dan uji kehamilan menjadi negatif.4,5

4

Page 5: Abortus habitualis

5. Abortus febrilis

Abortus inkompletus atau abortus insipiens yang disertai infeksi.

Manifestasi klinis ditandai dengan adanya demam, lochia yang berbau

busuk, nyeri di atas simfisis atau di perut bawah, abdomen kembung atau

tegang sebagai tanda peritonitis. Pada pemeriksaan dalam, ostium uteri

umumnya terbuka, dan teraba sisa jaringan, rahim maupun adneksa nyeri

pada perabaan, dan fluksus berbau.4

6. Abortus tertunda (Missed abortion)

Janin yang telah mati sebelum usia 20 minggu, tertahan di dalam rahim

selama 2 bulan atau lebih setelah janin mati. Manifestasi klinis ditandai

dengan perdarahan yang bisa ada atau tidak, fundus uteri lebih kecil dari

umur kehamilan dan bunyi jantung janin tidak ada.4

7. Abortus habitualis (recurrent abortion)

Abortus yang berulang tiga kali berturut-turut atau lebih pada umur

kehamilan kurang dari 22 minggu.

Gambar 1. Abortus Imminens Gambar 2. Abortus Insipiens

Gambar 3. Abortus Incomplete Gambar 4. Missed Abortion

5

Page 6: Abortus habitualis

I.2. EPIDEMIOLOGI

Insidensi terjadinya abortus spontan sekitar 15 – 20 % dari seluruh kehamilan.

75 % dari seluruh abortus terjadi pada usia kehamilan sebelum 16 minggu. Dari

seluruh wanita 2 – 3 % pernah mengalami 2 kali abortus spontan, dan kurang dari

1 % wanita yang mengalami abortus habitualis. Insidensi abortus habitualis 3 %

sampai 5 % pasangan reproduktif.5

Secara epidemiologis pernah dilaporkan bahwa bila sudah mengalami 4 kali

abortus, maka resiko tidak punya anak mencapai 40 sampai 50 %.3

2.2. ABORTUS HABITUALIS

2.2.1. DEFINISI

Abortus habitualis adalah pengakhiran kehamilan secara spontan tiga kali

berturut-turut pada kehamilan kurang dari 22 minggu atau berat badan janin kurang

dari 500 gram.

2.2.2. PATOFISIOLOGI

Pada awal terjadinya abortus terjadi perdarahan pada desidua basalis sehingga

embrio lepas partial atau total, diikuti nekrosis jaringan sekitarnya. Kemudian

plasenta menjadi tidak berfungsi. Hasil konsepsi yang terlepas sebagian atau

seluruhnya akan menjadi benda asing dalam uterus. Hal ini yang menyebabkan uterus

berkontraksi untuk mengeluarkan isinya, diikuti dilatasi cervix dan pengeluaran

sebagian atau seluruh hasil konsepsi.2

Hasil konsepsi yang dikeluarkan dapat berupa blighted ovum (kantong

amnion berisi air ketuban tanpa janin), mola crueta (janin diliputi oleh lapisan bekuan

darah), Mola carnosa (bekuan darah telah diserap dan sisanya mengalami organisasi

sehingga tampak seperti daging), mola tuberose (amnion tampak berbenjol-benjol

akibat hematom antara lapisan amnion dan chorion).

6

Page 7: Abortus habitualis

2.2.3. ETIOLOGI

Secara skematis penyebab abortus yang berulang dapat dilihat pada tabel 2

Tabel 2. Prakiraan insidensi dari penyebab kejadian abortus spontan berulang

Etiologi Prakiraan insiden

Faktor Genetik

1. Kromosomal

2. Multifaktorial

5 %

Faktor Anatomik

1. Kongenital

a. “Incomplete Mullerian fusion or septum

rearsorbtion”

b. Paparan Diethylstillbestrol

c. Anomali arteria uterine

d. Inkompetentia serviks

2. Didapat/Akuisita

a. Inkompetentia serviks

b. Sinekhia

c. Leiomioma

d. Endometriosis, adenomiosis

12 %

Faktor Endokrin

a. Insufisiensi fase luteal termasuk kelainan “luteinizing

hormone”

b. Kelainan tiroid

c. Diabetes Mellitus

d. Kelainan androgen

e. Kelainan prolaktin

17 %

Faktor Infeksi

1. Bakteri

2. Virus

3. Parasit

4. Zoonotik

5. Fungus

5 %

7

Page 8: Abortus habitualis

Faktor Immunologi

1. Mekanisme Humoral

a. Antibodi Antiphospholipid

b. Antibodi antisperm

c. Antibodi Antitrofoblast

d. “Blocking antibody deficiency”

2. Mekanisme seluler

a. Respon imun seluler TH1 pada antigen reproduksi

(“embryo/trophoblast-toxic factors/cytokines”)

b. Sitokin TH2, “growth factor” dan defisiensi

onkogen

c. “Supressor cell and factor deficiency”

d. “ Major histocompatibility antigen expression”

50 %

Faktor-faktor lain

1. Lingkungan

2. Obat-obatan

3. Abnormalitas plasenta

Sirkumvalata

Marginal

4. Kelainan Medis

a. Faktor kelainan jantung

b. Faktor renal

c. Faktor hematologik

5. Faktor Pria

6. Koitus

7. Latihan

10 %

Sumber : Hill JA. Novak”s Gynecology Borek JS, Adashi EY, Hillard PA eds.

Baltimore, William & Wilkins. 1996, 964

8

Page 9: Abortus habitualis

2.2.3.1. FAKTOR GENETIK

Faktor genetik antara suami dan istri dapat menimbulkan gangguan

pertumbuhan janin atau embrio yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya

abortus. Aberasi kromosom janin dan adanya kelainan kromosom yang tumbuh pada

janin misalnya pada trisomi 16 atau trisomi 21 (sindroma Down) merupakan

penyebab terjadinya abortus. Pada kelainan monosomi X (45 X atau sindroma

Turner) juga dapat memberikan kegagalan janin yang berakhir dengan abortus.1,3

Analisis kromosom dilakukan untuk mendeteksi adanya pengaruh kelainan

kromosom pada wanita yang menderita abortus habitualis. Analisis kromosom

berasal dari leukosit darah tepi atau dari jaringan konseptus.1

1. Analisis Kromosom kedua Orang tua

Kelainan kromosom parental terdapat pada 3 – 6 % pasangan dengan abortus

berulang. Kejadian translokasi kromosom dan inversi sering menyebabkan abortus

berulang Pemeriksaan dapat dilakukan saat antenatal.1

2. Analisis Kromosom dari Produk Konsepsi

50 % kejadian abortus spontan terjadi abnormalitas sitogenetik. Dengan

adanya abnormalitas ini menyebabkan ketidakmampuan hasil konseptus untuk

bertahan dan tumbuh di dalam uterus.1

Penanganan

Pasangan yang mengalami abortus berulang perlu melakukan pemeriksaan

genetik yang bertujuan untuk mendapatkan konseling genetik. Abortus spontan yang

terjadi pada pasangan dengan karyotip yang normal, dianjurkan untuk mencoba hamil

kembali. Namun bila trisomi yang menyebabkan abortus berulang maka pasangan ini

sebaiknya mendapatkan konseling genetik. Untuk semua pasangan yang melakukan

konseling genetik harus melakukan amniosentesis atau pengambilan sampel dari

chorion dan villus untuk mencegah terjadinya abnormalitas kromosom janin. Bila

9

Page 10: Abortus habitualis

penyebabnya adalah karyotip parental dapat digunakan gamet donor dan biopsi

embrio, yaitu dengan inseminasi buatan dari sperma donor bila abnormalitas terjadi di

pihak pria atau dengan fertilisasi in vitro dari oocyt donor jika abnormalitas terjadi di

pihak wanita.2

Biopsi embrio dilakukan untuk diagnosis abnormalitas genetik preimplantasi,

yaitu dari embrio pada stadium 4 sampai 8 blastomer, bila hasil biopsi embrio normal

baru dilakukan transfer embrio.2

2.2.3.2. FAKTOR ANATOMI

Kelainan anatomi merupakan penyebab pertama dari abortus habitualis dan

terhitung 15 % dari keguguran berulang. Kelainan ini dapat kongenital maupun

akuisita (didapat). Defek yang terjadi termasuk kelainan anatomi, inkompetensi

serviks, leiomyoma submukosa, kelainan karena paparan diethylstilbestrol intra

uterine dan Asherman’s syndrome. Secara umum keguguran karena kelainan anatomi

terjadi pada trimester kedua.7 Terjadinya anomali pada arteri uterina perlu dicari

karena hal ini akan mengganggu peredaran darah ke daerah implantasi buah

kehamilan sehingga mudah abortus.3

2.2.3.2.1. Malformasi uterus kongenital

Malformasi uterus congenital yang sering didapat ialah kegagalan fusi duktus

Mulleri. Malformasi ini terjadi pada 0,1% populasi wanita. Dilaporkan 10% sampai

23% wanita yang mengalami abortus berulang karena anomali uterus, atau satu

diantara wanita yang mengalami abortus habitualis disebabkan karena anomali

uterus.1,8 Uterus unicornus dan bicornus masing-masing menyebabkan 1-3 kejadian

terjadinya abortus spontan karena kelainan anatomi, dan uterus septum sejumlah 60%

karena buah kehamilan yang terimplantasi disana akan mengalami gangguan dalam

perkembangannya.3,7

10

Page 11: Abortus habitualis

Gambar 5. Uterus normal

1. Uterus arcuatus 2. Uterus septum

3. Uterus bicornis 4. Uterus Didelphis

5. Uterus unicornus 6. Uterus bentuk T

Gambar 6. Malformasi uterus congenital

11

Page 12: Abortus habitualis

A. Mekanisme terjadinya abortus akibat anomali uterus

Beberapa teori dapat menjelaskan mekanisme terjadinya bortus akibat adanya

anomaly uterus.1

Menurut Strassmann,1996. Volume intraluminal pada uterus yang abnormal

berkurang, dan ketika telah mencapai batas peregangan uterus, kehamilan tidak dapat

tumbuh lebiih lanjut, sehingga terjadi inseminasi dengan abortus spontan atau lahir

prematur.8

Menurut Hunt dan Wallach, 1974. Vaskularisasi yang tidak adekuat dapat

memperburuk keadaan plasenta, yaitu bila insersi plasenta pada daerah septum atau

bagian medial dari tanduk uterus. Teori ini ditunjang oleh minimalnya perdarahan

yang terjadi saat dilakukan incise pada daerah septum.8

Menurut Blum, 1987. Adanya peningkatan iritabilitas dan kontraktilitas

uterus. Kemungkinan terjadi karena aktivitas serum cystine aminopeptidase, yang

dapat menyebabkan dilatasi dan penipisan serviks atau insufisiensi dan pelepasan

plasenta sehingga terjadi abortus atau persalinan prematur.8

Menurut Craig, 1973 dan Bennet, 1987. Adanya inkompetensi servikal pada

30% anomali uterus. Aborstus terjadi karena rupturnya membran amnion dan prolaps

melalui serviks sehingga terkontaminasi dengan bakteri di vagina dan sifat yang

asam.8

Teori-teori ini belum bisa dibuktikan kebenarannya saat ini, namun masing-

masing mekanisme ini dapat menyebabkan pengeluaran janin.8

B. Etiologi anomali uterus kongenital

Masing-masing ductus paramesonephric (Mullerian) dibentuk 5 sampai 6

minggu setelah konsepsi sebagai invaginasi dari epitel coelomic lateral menuju

kranial. Pembukaan duktus berlangsung sampai ostium abdominal dan ujung caudal

membentuk ujung yang solid diikuti dengan kanalisasi. Kedua ujung bersatu di

bagian tengah pada minggu ke 8 sampai 9. Akhirnya bersentuhan dengan sinus

urogenital. Kanalisasi berakhir pada minggu ke 10 sampai 11. Kemudian septum

12

Page 13: Abortus habitualis

medial diresorbsi sampai minggu ke 19 dan 20 menjadi bentuk uterus yang normal.

Anomali uterus kongenital dapat terjadi karena kegagalan berfusi, kanalisasi dan

resorbsi septum.8

Menurut Hammond, 1989. Jika anomali berhubungan dengan lingkungan luar,

hal ini terjadi antara minggu ke 8 sampai 19, yaitu saat berfusi dan kanalisasi. Dapat

terjadi karena zat teratogen yang tidak spesifik misalnya radiasi, demam, obat-obatan

dan infeksi.8

Anomali tractus genitalis bagian atas terjadi karena paparan DES intrauterin,

teori ini pertama kali dilaporkan oleh Kaufman, 1971. Enam puluh sembilan persen

wanita yang terpapar DES terjadi anomali uterus. DES akan menyebabkan hipoplasia

dan maldevelopment otot uterus. Beberapa bentuk anomali uterus antara lain uterus

yang berbentuk T dengan dilatasi bulbus pada segmen bawah serviks. 8,2

C. Diagnosis

Histerosalpingografi adalah pemeriksaan yang spesifik dan sensitif untuk

diagnosis anomali uterus, tetapi hanya terbatas untuk menggambarkan keadaan uterus

yang mempunyai hubungan dengan dunia luar. Sehingga untuk uterus yang

noncommunicating tidak dapat dibuktikan dengan pemeriksaan ini.8

Semua wanita yang mengalami abortus habitualis harus melakukan

pemeriksaan histerosalpingografi, termasuk wanita dengan riwayat kelahiran

prematur, kelainan letak janin dan retensio plasenta.8

Pemeriksaan laparoskopi dilakukan untuk menyempurnakan pemeriksaan

histerosalpingografi, dan sangat penting untuk membedakan antara uterus bicornis

dengan septum. Kedua anomali ini tampak sama dengan pemeriksaan HSG.

Pencitraan dengan ultrasound terutama dengan transduser transvaginal dapat

dilakukan saat wanita tidak hamil maupun sedang hamil. Saat ini pemeriksaan

ultrasonografi digunakan untuk skrining pasien dengan anomali uterus, tetapi harus

tetap dikonfirmasi dengan pemeriksaan HSG.

13

Page 14: Abortus habitualis

Gambar 7. Pemeriksaan HSG

Pencitraan endometrium sangat penting untuk penilaian yang tepat pada

rongga uterus. Pemeriksaan dilakukan selama fase luteal karena endometrium tampak

hiperechoic dan berlawanan dengan myometrium yang hipoechoic.8

Bila diidentifikasikan dua canalis servikalis yang terpisah diikuti dengan gema

endometrium sepanjang rongga uterus adalah gambaran uterus didelphys. Untuk

mendapatkan gambaran yang lebih tepat dapat digunakan USG tiga dimensi.8

Kelebihan pemeriksaan dengan USG adalah dapat memeriksa ginjal secara

bersamaan. Anomali traktus urinarius sering disertai anomali uterus kecuali anomali

yang terjadi akibat diethylstilbestrol. Kelainan uterus yang sering disertai kelainan

ginjal adalah hipoplasia atau agenesis uterus dan uterus unicornus.8

Pemeriksaan yang lebih baik adalah dengan nuclear magnetic resonance

imaging. Metode ini dapat mendiagnosis masing-masing tipe anomali uterus.

Pemeriksaan fisik secara bimanual kadang-kadang dapat mendeteksi adanya

anomali ini. Terabanya dua cornu yang terpisah adalah uterus bicornis, dan fundus

yang luas diduga uterus septum.8

14

Page 15: Abortus habitualis

D. Penanganan

Pemilihan cara penanganan tergantung tipe anomali uterus, koreksi non

operatif atau operatif.

1. Reparasi tanpa operasi

Uterus unicornus

Pasien dengan uterus unicornus biasanya asimptomatik. Tidak ada teknik

operasi yang dapat mengoreksi anomali ini, karena tidak ada operasi yang dapat

menambah volume cavum uteri.

Uterus didelphys

Kelainan ini umumnya asimptomatis namun tidak jarang yang mengalami

dyspareunia karena adanya septum di vagina. Koreksi dengan cara operasi sulit

dilakukan sehingga tidak ada terapi operatif yang dapat dianjurkan

Uterus arcuatus

Tiga puluh enam persen anomali ini disertai dengan inkompetensi seviks.

Kelainan uterus ini merupakan variasi normal dari bentuk uterus sehingga tidak perlu

dilakukan reparasi secara operatif.

2. Reparasi dengan operasi

Uterus bicornis

Kelainan ini terjadi karena kegagalan bersatunya ductus mullerian pada

daerah fundus, tetapi bagian bawah uterus bersatu secara sempurna sehingga uterus

memiliki cervix yang tunggal.

Kejadian abortus lebih rendah dibanding dengan uterus septum. Kemungkinan

akibat aliran darah pada bagian tengah uterus bicornus lebih baik daripada uterus

septum.

Prosedur operasi untuk mengoreksi bentuk uterus ini pertama kali

diperkenalkan oleh Strassman 1908. Kelahiran hidup mencapai 91% kehamilan

setelah operasi.

15

Page 16: Abortus habitualis

Gambar 8. Teknik operasi Strassman8

Uterus septum

Anomali ini terjadi akibat kegagalan resorbsi dinding bagian tengah uterus.

Tetapi uterus tampak normal bila dilihat dari luar. Angka kejadian abortus pada

kelainan ini cukup tinggi karena berkurangnya volume cavum uteri dan aliran darah

pada daerah septum tidak adekuat. Beberapa teknik operasi dapat mengoreksi

kelainan ini.

a. Abdominal metroplasty

Jones dan Jones, 1953 memperkenalkan teknik operasi dengan cara

melakukan eksisi baji pada daerah septum uterus, dan penutupan uterus secara sagital.

Sebagian fundus uteri ikut terbuang sehingga kehilangan darah lebih banyak dan

dapat mengurangi volume cavum uteri. Maka teknik ini telah ditinggalkan.

16

Page 17: Abortus habitualis

Tompkins, 1962 memperkenalkan operasi dengan melakukan incisi sagital

pada daerah fundus ke arah anteroposterior melalui bagian tengah septum sampai

cavum uteri. Walaupun teknik operasi ini perdarahannya lebih sedikit, namum

dengan pemberian agen vasopressor misalnya vasopressin (Pitresin) dapat

mengontrol perdarahan sehingga lapang pandang operasi lebih jelas.

Untuk pencegahan terjadinya adhesi karena operasi maka dianjurkan untuk

melakukan teknik microsurgery secara hati-hati dan hemostasis diperhatikan, selain

itu diberikan terapi adjuvant atau dengan barier adhesi di sekeliling ligamentum. Bila

kehamilan telah mencapai aterm langsung dilakukan terminasi dengan section

sesarian untuk mencegah rupture uteri yang dapat terjadi selama persalinan.

Gambar 9. Teknik operasi Tompkins8

17

Page 18: Abortus habitualis

b. Teknik Hysteroscopic

Metode ini dilakukan dengan cara melihat septum dengan hysteroscoper yang

disertai dengan laparoscopic untuk pencegahan terjadinya rupture uteri. Dengan

menggunakan prinsip Tompkins metroplasty, septum di incisi dari apex sampai basis

dengan alat gunting hysteroscopy. Untuk hasil yang optimal, operasi dilakukan pada

awal fase luteal dari siklus menstruasi sehingga endometrium cukup tipis. Pemberian

estrogen yang terkonjugasi (Premarin) 2,5 mg dua kali sehari, selama 1 sampai 2

bulan, dilanjutkan dengan medroxyprogesterone acetate (Provera) 5 mg dua kali

sehari selama 10 hari setelah operasi dapat mempercepat penyembuhan. Setelah

dilakukan operasi dianjurkan untuk pemeriksaan HSG untuk memastikan cavum uteri

menjadi normal.

Gambar 10. Teknik Hysteroscopic

Teknik metroplasty dengan menggunakan hysteroscope sekarang menjadi

pilihan utama. Keuntungannya adalah mencegah tindakan operasi mayor abdomen,

pasien dapat segera pulang, waktu operasi yang lebih singkat sehingga mengurangi

morbiditas, dapat mencegah perlengketan daerah pelvis sehingga infertilitas dapat

dihindari serta kehamilan dapat diakhiri tanpa sectio cesarian.

18

Page 19: Abortus habitualis

2.2.3.2.2. Inkompetensi Serviks

Definisi serviks inkompeten adalah ketidakmampuan serviks untuk

mempertahankan kehamilan intrauterine sampai aterm. Insidensinya bervariasi dari 1

kejadian diantara 2000 persalinan sampai 1 di antara 32 persalinan.

A. Etiologi

Danforth menerangkan struktur serviks terutama terdiri dari jaringan kolagen

dengan hampir 10 sampai 15 % terdiri dari jaringan otot.

Pada serviks inkompeten terjadi kelemahan mekanisme spinchter, sehingga

bila terjadi peningkatan tekanan intra uteri karena kehamilan dapat menyebabkan

prolaps dan balloning membran ke dalam vagina, melalui serviks yang berdilatasi

tanpa disertai rasa mulas pada trimester kedua atau awal trimester ketiga kemudian

peristiwa ini diikuti oleh pecahnya ketuban dan selanjutnya ekspulsi janin immatur,

sehingga kemungkinan besar janin akan meninggal.1,8

1. Congenital Cervical Incompetence jarang terjadi hampir pada 2 %

pasien. Diduga karena adanya kelemahan daerah fibromuskular pada bagian atas

serviks. Biasanya menyertai anomali ductus mullerian dan lebih sering terjadi pada

wanita yang terpapar DES intrauterin.

2. Acquired Cervical Incompetence terutama terjadi pada pasien dengan

riwayat satu kali atau lebih abortus pada midsemester dan 2/3 nya pernah mengalami

dilatasi dan kuretase. Resiko meningkat pada abortus presipitatus secara berulang-

ulang, namun relatif menurun setelah tahun 1973 ditemukan laminaria untuk

menginduksi aborsi dan teknik yang lebih baik untuk dilatasi serviks. Dilatasi serviks

diameter lebih dari 12 mm signifikan meningkatkan angka prematuritas, batas paling

aman adalah 10 mm.

Konisasi, amputasi, kauterisaasi serviks berperan penting untuk terjadinya

inkompetensi serviks. Terjadinya abortus dan prematuritas setelah biopsi konisasi

19

Page 20: Abortus habitualis

menjadi lebih tinggi. Pada wanita nullipara berusia 21 sampai 25 tahun memiliki

resiko tertinggi karena banyaknya jaringan yang terbuang karena serviks yang relatif

kecil pada prosedur konisasi. Pada wanita dengan konisasi di atas 4 ml, angka

prematuritas 31,7 % dan abortus spontan pada trimester kedua 18,2 % dibanding

dengan konisasi kurang dari 4 ml adalah 3,2 % dan 6,5 %. Jika tinggi konisasi lebih

dari 2 cm angka abortus pada trimester kedua adalah 21,7 % dibandingkan dengan

tinggi kurang dari 2 cm adalah 12,3 %.

3. Inkompetensi serviks fisiologis terjadi pada wanita yang pertama kali

mengalami kehamilan ganda, namun berhasil dengan menggunakan cervical

cerclage.

B. Diagnosis

Gejala klasik adalah akut, tidak nyeri pada kehamilan trimester kedua yang

tidak berhubungan dengan perdarahan atau kontraksi uterus dan berulang. Tapi

beberapa pasien mengalami perdarahan dan kram abdominal. Beberapa diantaranya

memiliki riwayat prematur ruptur membran sebelum adanya kontraksi, atau adanya

penonjolan membran pada vagina.

Abortus midsemester terjadi pada usia kehamilan yang sama menandakan

adanya inkompetensi serviks. Pada pasien primigravida, dengan riwayat dilatasi dan

kuretase, konisasi biopsi merupakan satu potensi untuk terjadinya inkompetensi

serviks.

1. Wanita tidak hamil

Sejumlah metode telah dikemukakan untuk membuat diagnosis pada wanita

yang tidak hamil, yaitu biasanya melalui pemeriksaan untuk menemukan ostium

internum servisis yang berdilatasi lebih lebar daripada keadaan normal. Metode

tersebut termasuk pemeriksaan histerografi, teknik pull through dengan balon kateter

Foley yang digembungkan dan tindakan memasukkan tanpa adanya tahanan alat

20

Page 21: Abortus habitualis

dilator serviks dengan ukuran khusus ke dalam ostium internum servisis uteri ( Ansari

dan Reynolds, 1987). Jika Hegar dilator no 8 atau Pratt dilator no 15 atau 17 mudah

masuk pada serviks maka serviks adalah inkompeten.

Pemeriksaan histerosalpingografi penting untuk mengevaluasi canalis

servikalis. Spekulum vagina harus diangkat atau diputar 90o searah jarum jam

sehingga canalis servikalis berisi kontras yang terlihat jelas dan tidak terganggu oleh

radioopaq karena spekulum.

Canalis servikalis pada wanita dengan abortus habitual lebih besar dari wanita

normal ( 6,09 ± 0,98 mm vs 2,63 ± 0,27 mm ). Diameter isthmus servical pada

inkompetensi serviks lebih dari 6 mm.

Metode lain dengan cara memeriksa resistensi serviks dengan pressure decay

curve. Pertama dengan memasukkan dilator Hegar bila masuk ke dalam serviks tanpa

tahanan kemudian masukan balon pada canalis servicalis sampai di atas isthmus lalu

balon diisi dengan cairan fisiologis sampai tekanan 250 mmHg. Volume balon harus

konstan, tekanan decay curve direkam sampai angka asimptom tercapai. Tahanan

dilator lebih rendah pada wanita dengan inkompetensi serviks.

2. Wanita hamil

Pada wanita yang hamil dan memiliki riwayat inkompeten serviks atau

anomali uterus harus menjalani pemeriksaan serviks secara periodik, dinilai sejak

kehamilan 10 atau 12 minggu. Jika terjadi penipisan dan atau dilatasi serviks menjadi

indikasi untuk pemasangan cervical cerclage. Penderita juga harus diberitahu bila

merasakan tekanan dan mengganjal di daerah perut bawah, tekanan dan rasa penuh di

vagina, atau keluar cairan atau lendir adalah gejala dilatasi serviks yang progresif.

Pada pemeriksaan vagina rutin hanya setengah bagian serviks yang dapat

diraba oleh jari, sehingga interpretasi pemendekan serviks bersifat subjektif. Maka

pemeriksaan ultrasonografi menjadi gold standar sehingga terjadinya dilatasi serviks

dapat dideteksi sedini mungkin.

21

Page 22: Abortus habitualis

Panjang serviks pada wanita normal pada kehamilan trimester kedua adalah

2,5 sampai 6 cm. Pada inkompeten serviks panjang serviks kurang dari 2,5 cm.

Proses terjadinya dilatasi serviks berawal dari orificium uteri interna ke arah

bawah kemudian terjadi prolaps membran amnion ke dalam vagina.

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan scanning abdomen naumn dengan

pemeriksaan vaginal ultrasonografi lebih menguntungkan karena pendataran serviks

tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan dengan ultrasonografi kandung kencing yang

penuh membuat pasien tidak nyaman dan dapat memberi tekanan pad auterus bagian

bawah sehingga pembukaan serviks menjadi meragukan. Sedangkan dengan scan

longitudinal bentuk normal Y dapat terlihat jelas, namun dilatasi serviks bentuk V

dan U tidak dapat dideteksi. Pemeriksaan scanning transvaginal lebih akurat untuk

melihat dilatasi serviks bagian proksimal.

Pemeriksaan ultrasonografi transvaginal lebih menguntungkan dibandingkan

dengan transabdominal karena uterus bagian bawah lebih mudah terlihat.

Scanning transvaginal lebih menguntungkan untuk memeriksa adanya

inkompetensi serviks yang dinamik, yaitu keadaan dimana tingkat dilatasi yang

bervariasi dan dapat berubah saat pemeriksaan dengan ultrasonografi. Sehingga

kompetensi serviks diperiksa dengan ultrasonografi transvaginal dengan cara tangan

pemeriksa menekan dinding abdomen. Kelemahan serviks akan lebih jelas terlihat

dengan metode ini.

C. Penanganan

Penanganan inkompetensi serviks yang nyata adalah dengan pembedahan.

Pencegahan dengan menggunakan cerclage paling sering digunakan pada pasien

dengan riwayat abortus pada trimester kedua atau persalinan prematur. Cerclage

merupakan prosedur elektif yang dilakukan pada kehamilan antara 13 sampai 15

minggu. Setelah operasi segera diberikan tokolitik dengan β-simpatomimetik untuk

mengurangi iritabilitas uterus. Dianjurkan untuk bed rest 24 jam selama 2 sampai 3

hari post operatif. Pemeriksaan ultrasonografi untuk melihat serviks dilakukan secara

22

Page 23: Abortus habitualis

periodik untuk memastikan efektifitas prosedur ini dan melihat kehamilan terus

berlanjut serta adanya kemungkinan anomali janin.

Kontraindikasi cervical cerclage ini adalah perdarahan uterus, ruptur

membran spontan, adanya kontraksi uterus, chorioamnionitis, dan dilatasi serviks

lebih dari 4 cm.9

1. Shirodkar Cerclage

Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Shirodkar, 1955. Dibuat incisi

transversal di bagian anterior cervicovaginal junction dan kandung kencing di dorong

ke atas setinggi orificium uteri interna. Kemudian di buat incisi vertikal di bagian

posterior pada cervicovaginal junction. Sebuah pita 5 mm diikat mengelilingi serviks

melalui incisi ini dan simpulnya diletakkan di posterior untuk menghindari erosi pada

kandung kencing. Incisi ini ditutup dengan jahitan benang yang diserap. Kemudian

ikatan ini dapat dibuka pada minggu ke 37 atau 38 bila akan dilakukan persalinan

pervaginam, namun bila pasien ini sangat menginginkan anak maka ikatannya

dibiarkan untuk melahirkan secara abdominal. Awalnya operasi ini menggunakan

fascial band tetapi bahan ini licin sehingga simpul mudah lepas, dapat menyebabkan

degenerasi myxoma karena sepsis, dan dapat menimbulkan jaringan parut.

2. McDonald Cerclage

Metode yang pertama kali diperkenalkan oleh McDonald, 1957 ini lebih

sederhana dan mudah dibandingkan dengan Shirodkar. Ini merupakan prosedur

tertutup yang berlawanan dengan metode Shirodkar. Dengan jahitan continous pada

batas mukosa vagina dan cara purse string pada serviks. Sebuah jahitan dibuat dari

dalam keluar pada 4 atau 5 tempat sekeliling serviks dengan bahan yang tidak dapat

diserap seperti Marseline dan simpulnya diletakkan di anterior. Pembuluh darah

lateral dapat dihindari, sehingga dapat mencegah iskemik serviks. Bagian posterior

serviks harus lebih diperhatikan karena pada daerah ini mudah terjadi pergeseran.

23

Page 24: Abortus habitualis

Jahitan dapat dilepas pada kehamilan 37 minggu bila akan dilakukan persalinan

pervaginam.

3. Daya Cerclage

Metode ini merupakan modifikasi cara McDonald dengan menggunakan 2

jahitan dan hasilnya lebih baik. Dengan anestesi spinal dilakukan cara McDonald

dengan menggunakan pita Mersilene yang lebar sejajar dengan kandung kencing pada

serviks, simpul diikat di anterior. Kemudian dipasang ikatan kedua pada 0,5 sampai 1

cm di bawah ikatan yang pertama. Sehingga tekanan yang makin tinggi pada

kehamilan disalurkan pada permukaan yang lebih lebar karena serviks di antara dua

jahitan terikat erat. Angka keberhasilannya 95 %. Jahitannya mudah dilepaskan pada

minggu 37 sampai 38 kehamilan.

Gambar 11. Inkompetensi Serviks

24

Page 25: Abortus habitualis

4. Transabdominal Cerclage

Metode ini dilakukan bila serviks pendek karena amputasi serviks, hipoplasia

atau kegagalan pemasangan cervical cerclage.

Gambar 12. Inkompetensi serviks dengan tiga cara penanganannya

D. Komplikasi

Komplikasi dari teknik dengan menggunakan cervical cerclage adalah infeksi

postoperatif, perdarahan , ruptur membran, ruptur uteri.

2.2.3.2.3. Perlengketan uterus, Synechia Uterine

Keadaan ini dikenal sebagai Asherman’s syndrome. Gejalanya berupa

gangguan menstruasi seperti hypomenorrhea, amenorrhea dan infertilitas serta

abortus berulang.

25

Page 26: Abortus habitualis

A. Etiologi

Faktor kelainan anatomi uterus yang didapat ini disebabkan karena kerusakan

endometrium yang luas akibat kuretase berulang pada waktu infeksi, missed abortion

atau post partum, sehingga tidak terjadi implantasi.8,10

Adhesi terjadi karena kuretase endometrium, 76 % karena kuretase post

abortus dan 22 % karena kuretase post partum. Keadaan ini terjadi karena sulitnya

mengontrol kedalaman saat melakukan kuretase pada wanita hamila karena uterus

lembek. Akibatnya lapisan basalis endometrium terlepas sehingga pertumbuhan

endometrium terhambat dan adanya proses kontraksi uterus post partum maka uterus

saling melekat.8,10

Kejadian adhesi uterus tergantung waktu melakukan kuretase, minggu kedua

sampai minggu keempat setelah persalinan mudah terjadi adhesi, naum dalam 48 jam

pertama post partum jarang menyebabkan perlengketan.

Penyebab lain terjadinya adhesi uterus adalah tuberkulosis uterus,

myomectomy, kuretase diagnostik dan setelah pemasangan kontrasepsi intrauterin.

B. Diagnosis

Bila terjadi adhesi total dapat menyebabkan amenorrhea. Gejalanya adlaah

amenorrhea yang mengalami siklus ovulasi, misalnya nyeri perut bawah, suhu basal

yang bifasik, meningkatnya serum progesteron dapat didiagnosis sebagai adhesi intra

uterin namun harus dilanjutkan dengan pemeriksaan HSG atau histeroskopi.

Pada histerosalpingography adanya perlengketan intrauterin tampak sebagai

filling defek berbentuk lakuna dengan berbagai macam ukuran, Filling defek sifatnya

ireguler, bersudut, berbatas tegas, opak homgen, persisten. Untuk diagnosis pasti

adhesi intrauterin adalah dengan histeroskopi.8,10

Dengan hysteroskopi dapat digunakan untuk diagnosis dan terapi, yaitu

dengan cara melepaskan perlengketan. Kemudian dengan pemasangan IUD dapat

mencegah berulangnya perlengketan. Dapat juga menggunakan estrogen dosis tinggi

selama 60 sampai 90 hari.8,10.

26

Page 27: Abortus habitualis

C. Penanganan

Empat tujuan utama dalam penanganan synechia uteri :

1. Melisiskan perlengketan

2. Mencegah perlengketan berulang

3. Merangsang proliferasi endometrium

4. Verifikasi cavum menjadi normal

1. Melisiskan perlengketan

Melisiskan dengan cara transcervikal yaitu secara diseksi tumpul saat

melakukan dilatasi dan kuretase atau diseksi tajam saat hysteroscopy.

Kekurangan metode ini adalah kita tidak dapat mengetahui apakah

perlengketan telah lisis atau belum.

Bila menggunakan histeroskopi kita dapat melepaskan perlengketan

dengan cara melihat secara langsung menggunakan gunting, rektoskop atau

laser. Perlengketan sifatnya avaskuler sehingga dapat digunakan gunting

histeroskop.

2. Mencegah perlengketan berulang

Metode yang telah berhasil adalah dengan meletakkan IUD atau foley

kateter di dalam cavum uteri yang dipasang selama beberapa hari sampai 2

minggu. Kekurangan IUD adalah dapat terjadi perlengketan disekitarnya

sehingga sulit untuk dilepaskan dan bila menggunakan foley kateter biasanya

lebih cepat keluar. Karena alasan ini lebih baik menggunakan foley kateter.

3. Merangsang proliferasi endometrium

Pemberian estrogen dapat merangsang regenerasi endometrium dan

mempercepat proses penyembuhan. Dosis pemberiannya 1,25 sampai 2,5

27

Page 28: Abortus habitualis

mg/hari selama 1 sampai 2 bulan. Biasanya dikombinasikan dengan

progestasional untuk merangsang withdrawal bleeding.

4. Verifikasi cavum menjadi normal

Histerosalpingografi lebih mudah dan praktis, namun kurang akurat

dan tidak tampak bila ada adhesi residual.

Pada kehamilan setelah pengobatan adhesi intra uteri merupakan resiko tinggi

untuk terjadinya persalinan prematur, abortus spontan dan plasenta acreta.

2.2.3.3. FAKTOR ENDOKRIN

Faktor endokrinologi dihubungkan dengan abortus berulang karena terjadinya

insufisiensi fase luteal dengan atau tanpa terjadinya hipersekresi hormon LH

(Luteinizing Hormon), Diabetes Mellitus atau kelainan kelenjar tiroid.

2.2.3.3.1. Insufisiensi Fase Luteal

Sebagaimana kita ketahui pada kehamilan muda, dengan terbentuknya corpus

luteum maka akan diproduksi hormon progesteron untuk mempertahankan

kehamilan. Bila terjadi gangguan produksi ini oleh corpus luteum maka dapat terjadi

abortus. Biasanya hal ini akan terjadi pada umur kehamilan kurang dari 10 minggu.

Teori lain menyebutkan bila terjadi sekresi LH yang abnormal maka akan

terjadi efek langsung pada pertumbuhan oocyte dimana selanjutnya akan terjadi

pematangan dini endometrium sehingga mudah terjadi abortus.3

2.2.3.3.2. Diabetes Mellitus

Pada Diabetes Mellitus maka penyebab abortus disebabkan oleh adanya

ganguan aliran darah di uterus terutama pada DM yang sudah lanjut, selain itu terjadi

kenaikan haemoglobin A1 yang dapat menyebabkan abortus spontan.3

28

Page 29: Abortus habitualis

2.2.3.3.3. Penyakit Thyroid

Penyakit thyroid sering terjadi pada wanita muda, diduga penyakit ini dapat

menyebabkan abortus berulang namun kejadiannya sangat jarang.8,10.

Kejadian hypotiroidea juga dapat berpengaruh dalam produksi hormon corpus

luteum sehingga dapat menimbulkan abortus. Adanya reaksi antibodi antitiroid juga

dapat menyebabkan abortus karena secara umum proses imunologi secara umum juga

terganggu. Kehamilan yang sebenarnya harus disertai kenaikan hormon tiroid dan

disini hal itu tidak terjadi.3

Informasi mengenai hipertyroid dapat menyebabkan abortus berulang sangat

sedikit, karena biasanya wanita dengan hipertiroid sulit untuk hamil.8

2.2.3.4. FAKTOR IMMUNOLOGI

Faktor imunologi sering dihubungkan dengan abortus ibu dan janin di dalam

uterus yang mungkin banyak dipengaruhi oleh faktor imunologi.

2.2.3.4.1.Antibodi Antiphospholipid

Antibodi antiphospholipid secara langsung mencegah pembentukan

phospholipid yang merupakan komponen utama membran sel yaitu penting untuk fusi

membran sel.

Mekanisme yang terjadi ialah antibodi antiphospholipid dapat menyebabkan

penambahan tromboxan dan pengurangan sintesis prostasiklin yang menyebabkan

penempelan trombosit pada pembuluh darah yang ada di plasenta. Dengan adanya

peristiwa ini maka karakteristik kelainan plasenta ialah terjadinya infark, solusio

plasenta dan perdarahan.3

Untuk penanganannya awalnya digunakan prednison 40 mg/hari dan aspirin

80 mg/hari namun saat ini dapat diatasi dengan pemberian heparin 7500 U secara sub

cutan tiap 12 jam pada trimester pertama atau aspirin 80 mg tiap hari. Kortikosteroid

sebaiknya tidak digunakan bersamaan dengan heparin karena efektifitasnya tidak

lebih baik.2

29

Page 30: Abortus habitualis

Untuk wanita yang berhasil hamil setelah terapi ini, harus diawasi secara ketat

pada masa antepartum.2

2.2.3.4.2. Disfungsi alloimune

Wanita yang menderita abortus habitualis dengan karyotipe normal ditemukan

adanya peningkatan sel natural killer di darahnya.8

Bila terdapat peningkatan sel natural killer pada wanita yang hamil, maka

kemungkinan wanita ini akan mengalami abortus berulang. Walaupun trofoblast pada

sisi maternal-fetal resisten terhadap lisis oleh sel sitotoksis T dan antibodi sitotoksis

sel, namun telah dihancurkan oleh sel natural killer yang diaktivasi oleh sitokin

seperti interleukin-2 yang menjadi limphokine-activated killer cell. Interaksi antara

makrofag dan sel natural killer juga berperan pada kegagalan kehamilan melalui

pelepasan γ-interferon dan tumor nekrosis-α.8

Pengaruh natural killer sel ditentukan dengan faktor lokal dan sistemik. Pada

uterus wanita yang mengalami abortus, ditemukan natural killer sel dengan

konsentrasi yang tinggi. Diduga aktivitas sitotoksik ini terjadi pada sisi implantasi.8

A. Mekanisme supresi alloimune

Beberapa mekanisme yang berhubungan dengan keberhasilan kehamilan.

1. Immunologic effect of progesteron

Kehamilan terjadi pada aktivasi progesteron reseptor pada permukaan sel T

CD8+. Progesteron menstimulasi sel T untuk mensekresi faktor 34-kDa yang

menekan aktifitas sitolitik dari sel natural killer. Sehingga bila terdapat defisiensi

progesteron maka supresi aktivitas sitolitik sel natural killer menjadi inadekuat,

sehingga terjadi kegagalan kehamilan.8

2. Immunotrophism

Immunotrophism adalah proses dimana sel T diaktifasi oleh trophoblast

plasenta untuk memproduksi sitokin yang merangsang pertumbuhan trophoblast.

30

Page 31: Abortus habitualis

Dengan cara ini terbentuk barier plasenta yang kuat untuk pertahanan terhadap lisis

oleh sel imun ibu.8

3. Sel T helper

Sel Th 1 menghasilkan aktivasi sel T untuk memproduksi sitokin abortogenik

seperti interleukin-1 dan γ-interferon. Sedangkan sel Th2 memproduksi interleukin-

3,-4, dan -10 yang membentuk formasi antibodi yang dapat menahan inflamasi dan

aktivasi sel natural killer. Pada kehamilan yang normal terdapat pergeseran pada Th2

dimana aktivitas abortogenik terhambat. Trophoblast dan plasenta wanita dengan

abortus berulang merangsang aktivitas sitokin Th1.8

4. Sel natural supresor

Pada desidua, kumpulan sel limfosit kecil dapat merangsang trophoblast untuk

menghasilkan faktor imunosupresor. Defisiensi sel supresor ini yang menyebabkan

terjadinya abortus.8

B. Penanganan

1. Intravenous Immune globulin (IVIg)

IVIg yang diberikan melalui infus menyebabkan supresi sel nuklear

setelah 7 hari pemberian terapi.8

2. Imunoterapi

Wanita yang mengalami abortus berulang yang tidak diketahui

penyebabnya, lebih banyak yang berhasil hamil bila diberikan imunoterapi

dengan monocyte allogenic dan IVIg dibandingkan yang tidak diberikan.8

2.2.3.5.FAKTOR INFEKSI

Faktor infeksi dapat menyebabkan abortus masih banyak kontroversial.

Infeksi traktus reproduksi oleh karena bakteri, virus, zooonotik dan jamur banyak

dibicarakan tetapi mikoplasma, ureaplasma chlamydia dan β-streptokokus banyak

31

Page 32: Abortus habitualis

dilaporkan cukup patogen untuk menyebabkan terjadinya kelainan pada vagina yang

dapat menyebabkan reaksi imunologi dan mudah terhadinya abortus. Pada

pengamatan lebih lanjut faktor ini dapat menganggu pertumbuhan janin, ketuban

pecah dini dan mengakibatkan terjadinya partus prematurus.3

A. Diagnosis

Untuk diagnosis pasti dilakukan kultur endometrium untuk mikroorganisme

yang sering menyebabkan abortus berulang.

B. Penanganan

Terapi antibiotik adalah pilihan utama untuk mengatasi terjadinya abortus

berulang akibat infeksi namun pengobatannya terutama tergantung etiologi infeksi.

Biasanya antibiotik diberikan untuk kedua pasangan.

2.2.3.6. FAKTOR-FAKTOR LAIN

Faktor-faktor lain yang dapat dikaitkan dengan abortus spontan berulang ialah

faktor lingkungan yang terkena keracunan logam berat dan terkontaminasinya

makanan dengan bahan pengawet dalam jangka panjang. Obat-obatan yang sering

disebut ialah golongan anti progestogen, antineoplastik, obat-obat anestesia inhalasi,

nikotin dan etanol, radiasi ion dan penyakit kronik dapat menyebabkan gangguan

peredaran darah uterus, Thrombositosis dengan trombosit >1 juta juga dapat

menyebabkan abortus spontan. Minum kopi bila jumlahnnya banyak melebihi 300

gran perhari dapat dihubungkan dengan kejadian abortus spontan. Kalauupun

bertahan hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Hubungan seksual

tidak disebutkan berkaitan dengan abortus tetapi sering dihubungkan dengan

terjadinya partus prematurus yang tentunya angka kematiannya dapat meningkat.3

32

Page 33: Abortus habitualis

2.2.4. MANAJEMEN KELOLA ABORTUS HABITUALIS

Bila kita menghadapi seorang ibu dengan riwayat abortus berulang maka kita

harus mempelajari kasus ini dengan baik dengan melakukan pendataan tentang

riwayat suami istri dan pemeriksaan fisik ibu baik secara anatomis maupun

laboratorik. Perhatikan apakah abortus terjadi pada trimester pertama atau trimester

ke dua.

Bila terjadi pada trimester pertama maka banyak faktor yang harus dicari

sesuai kemungkinan etiologi atau mekanisme terjadinya abortus berulang.

Bila tejadi pada trimester kedua maka faktor-faktor penyebab lebih cenderung

pada faktor anatomis terjadinya inkompetensi serviks dan adanya myoma uteri serta

infeksi yang berat pada uterus atau serviks. Langkah-langkah yang dapat kita ikuti

untuk mencari faktor-faktor yang potensial yang menyebabkan terjadinya abortus

spontan yang berulang ialah sebagai berikut :

Anamnesis

1. Kapan abortus terjadi. Apakah pada trimester pertama atau pada trimester

berikutnya adakah penyebab mekanis yang menonjol.

2. Adanya riwayat kontak dengan zat kimia atau obat-obatan

3. Infeksi ginekologi dan obstetri

4. Gambaran terjadinya ”antiphospholipid syndrome" (trombosis, autoimmune

phenomena)

5. Faktor genetika antara suami istri (kosanguinitas)

6. Riwayat keluarga yang pernah mengalami terjadinya abortus berulang dan

sindroma yang berkaitan dengan kejadian abortus spontan ataupun partus

prematurus yang kemudian meninggal.

7. Pemeriksaan diagnostik yang terkait dan pengobatan yang pernah didapat.

33

Page 34: Abortus habitualis

Pemeriksaan fisik

1. Pemeriksaan fisik secara umum

Pemeriksaan fisik secara umum harus dilakukan untuk mencari gejala

penyakit metabolik.

2. Pemeriksaan ginekologi

Saat pemeriksaan daerah panggul dicari tanda-tanda infeksi, bentuk

dan ukuran uterus, trauma berulang.3

Pemeriksaan laboratorium

1. Karyotipe darah tepi kedua orang tua

2. Histerosalpingografi diikuti dengan histeroskopi atau laparoskopi bila ada

indikasi

3. Biopsi endometrium pada fase luteal

4. Pemeriksaan hormone TSH dan antibody anti tiroid

5. Antibodi antiphospholipid (kardiolipin, phosphatidylserine)

6. Lupus antikoagulan (“a partial thromboplastin time or Russel Viper Venom”)

7. Pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit

8. Kultur cairan serviks (mycoplasma, ureaplasma, Chlamidia) bila diperlukan.

Pengobatan

Setelah dilakukan investigasi maksimal, bila sudah terjadi konsepsi baru pada

ibu dengan riwayat abortus berulang maka kita perlu memberikan support psikologik

untuk mendapatkan pertumbuhan embrio intra uterin yang baik. Kenali kemungkinan

terjadinya anti phospholipids sindroma atau mencegah terjadinya infeksi intra uterin.

Pemeriksaan kadar β-HCG secara periodic pada awal kehamilan dapat

membantu pemantauan kelangsungan kehamilan sampai pemeriksaan USG dapat

dikerjakan. Gold standart untuk memonitoring kehamilan dini adalah pemeriksaan

USG, dikerjakan setiap dua minggu sampai kehamilan ini tidak mengalami kegagalan

(abortus). Pada keadaan embrio tidak terdapat gerakan jantung janin maka perlu

34

Page 35: Abortus habitualis

segera dilakukan evakuasi serta pemeriksaan kariotip jaringan hasil konsepsi

tersebut.3

Pemeriksaan serum α-fetoprotein perlu dilakukan pada usia kehamilan 16 – 18

minggu. Pemeriksaan kariotip dari buah kehamilan dapat dilakukan dengan

melakukan amniosintesis air ketuban untuk menilai bagus atau tidaknya buah

kehamilan.3

Bila belum terjadi kehamilan pengobatan dilakukan sesuai dengan hasil

investigasi yang ada. Pengobatan disini termasuk memperbaiki kualitas sel telur atau

spermatozoa, kelainan anatomi, kelainan endokrin, infeksi dan berbagai variasi hasil

pemeriksaan reaksi imunologi. Pengobatan pada penderita yang mengidap pecandu

obat perlu dilakukan juga. Konsultasi psikologi (counseling) juga akan sangat

membantu.3

Bila kehamilan kemudian berakhir dengan kegagalan lagi maka pengobatan

secara intensif harus dikerjakan secara bertahap baik perbaikan kromosom, anomali

antomi, kelainan endokrin, infeksi, faktor imunologi, anti phospholipid sindroma,

terapi imunoglobulin atau imunomodulator perlu diberikan secara berurutan. Hal ini

merupakan suatu pekerjaan besar dan memerlukan pengamatan yang memadai untuk

mendapatkan hasil yang maksimal.

35

Page 36: Abortus habitualis

Gambar 13. Skema pengelolaan abortus habitualis

(Sumber : http :// www.fertilitynetwork comarticles-miscarriage.htm)

First Trimester Second Trimester

X-ray uterus & tubes chromosome analysis Lupus Anticoagulant

(antibodies)Anticardiolipins

(antibodies)Evaluate lupus phaseDate follicle rupture

Positive Antibodies

Progesterone

Uterine Anomaly

Septum

Septoplasty

Abnormal X-ray

Abnormal Luteal Phase

Bicornuate

Unification Surgery(Metroplasty)

AbnormalKromosom

Donor egg/sperm

Scarring

Hysteroscopy

DelayedOvulation

OvulationInduction

X-ray uterus & tubes

Fibroids

Myomectomy

Incompetent Cerviks Fibroids

Cerclage Myomectomy

Detailed History and Physical

36

Heparin & Aspirin

Page 37: Abortus habitualis

Prognosis

Keberhasilan untuk terjadinya kehamilan normal setelah mengalami sbortus

berulang tergantung etiologi yang menyebabkan abortus. Berdasarkan survey

epidemiologi, kesempatan untuk terjadi abortus kembali setelah abortus pertama

adalah 22 %, 38 % setelah abortus kedua dan 73 % setelah tiga kali abortus.8

Prognosis untuk hamil kembali karena abnormalitas sitogenik adalah 20

sampai 80%. Wanita yang telah menjalani operasi untuk mengoreksi kelainan

anatomi uterus prognosisnya 60 sampai 90 % kasus dan lebih dari 90% wanita

berhasil hamil setelah mendapat terapi pada wanita dengan kelainan endoktrin.

Antara 70 sampai 90 % wanita yang menerima terapi untuk antiphospholipid antibodi

dapat hamil normal.

37

Page 38: Abortus habitualis

BAB III

KESIMPULAN

Abortus adalah komplikasi utama pada kehamilan. Abortus habitualis

merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus. Saat ini sudah ada

penanganan yang tepat dan aman untuk mengatasi abortus berulang. Sejak wanita

didiagnosis abortus habitualis maka wanita ini harus melakukan beberapa

pemeriksaan untuk mencegah terjadinya abortus kembali dan melahirkan janin yang

viabel. Pemeriksaan yang dilakukan termasuk genetik, anatomi, endokrinologi dan

faktor imunologi. Penanganannya tergantung etiologi masing-masing. Adanya

pemeriksaan ultrasonografi dapat membantu peninjauan janin dalam uterus.

38

Page 39: Abortus habitualis

DAFTAR PUSTAKA

1. Carolyn Coulam. Reccurent Spontaneous Abortion. In : Quilligan, Zuspan.

Current therapy In Obstetrics and Gynecology. 5th edition. New York : W.B.

Saunders, 2000; 349 – 354

2. Scott james. Early Prregnancy Loss. In : Danforth’s Obstetrics and

Gynecology. 8th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2000;

10 : 143 - 153

3. Bantuk Hadijanto Abortus spontan Berulang. Dalam : Ilmu kedokteran

fetomaternal, edisi perdana. Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2004; 326 - 334

4. Sofie R.Krisnadi. Kelainan Lama Kehamilan. Dalam : Obstetri Patologi Ilmu

Kesehatan Reproduksi, edisi 2. Jakarta : EGC, 2005; 1-9

5. Michael J. Bennet. Abortus . Dalam : Esensial obstetri dan Ginekologi, edisi

2. Jakarta : Hipokrates, 2001; 452 - 462

6. Garmel S. Early Pregnancy Risks. In : Current Obstetrics & Gynecologic

Diagnosis & Treatment. 9th edition. Boston : Mc Ggraw Hill, 2003; 14 : 276 –

278

7. Hill JA. Reccurent Spontaneous Early Pregnancy Loss. In : Jonathan Novak’s

Gynecology, 13th editin. Baltimore : Williams & Wilkins, 2002; 28 : 963 -

973

8. Daya salim. Habitual abortion. In : Copeland, Jarrel. Textbook of

Gynecology. 2nd edition. Philadelphia : W.B. Saunders company, 2000; 9 :

227 - 265

9. F.Gary Cunningham. Abortion. In : Williams Obstetrics, 22nd edition. United

States of America : Mc-Graw-Hill Companies, 2005; 231-241

10. Maternal and Fetal Medicine. In : Sciarra JJ Gynecology and Obstetrics. Vol

3. Revised edition. Philadelphia : Lippincott-Raven Publishers, 1995;69 : 10 -

23

39

Page 40: Abortus habitualis

11. Stirrat, wardle. Reccurent miscarriage. In : James D, Steer P, Weiner C, et al.

High Risk Pregnancy Management Options. Second edition. North

Yorkshire : W.B. Saunders, 2001; 7 : 91 – 107

12. Llewellyn, jones. Abortion. In : Findamentals of Obstetrics and Gynecology.

7th edition. London : Mosby, 2001 ; 12 : 105 - 112

13. www.emedicine.com/radio/topic738.htm

14. Rustam Mochtar. Sinopsis Obstetri. Edisi 2. Jakarta : EGC, 1998; 34 : 209 -

217

40

Page 41: Abortus habitualis

41