abortus habitualis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Tingkat kasus abortus di Indonesia tercatat yang tertinggi di Asia Tenggara
mencapai dua juta kasus dari jumlah kasus yang terjadi di Negara-negara ASEAN
sekitar 4,2 juta kasus per tahun (Depkes RI, Maret 2006). Sementara itu, 30% angka
kematian maternal yang terjadi di Indonesia dipicu oleh terjadinya abortus. Di seluruh
dunia, sekitar 19 juta kasus abortus tercatat setiap tahunnya, dan dari 4,5 juta kasus
diantaranya dinyatakan beresiko tinggi, selain itu, 13% dari seluruh kematian
maternal diperkirakan terjadi akibat komplikasi dari abortus, dan sebagai tambahan,
10 dari 1000 kasus abortus akan menyebabkan terjadinya efek samping jangka
panjang, termasuk infertilitas.
Suatu kehamilan dikatakan mengalami abortus bila kehamilan tersebut
terhenti atau gagal dipertahankan pada usia kehamilan kurang dari 22 minggu atau
berat badan janin kurang dari 500 gram.3
Abortus spontan berulang apabila terjadi abortus berturut-turut sebanyak 3
kali atau lebih pada umur kehamilan kurang dari 22 minggu. Beberapa penulis
menyebutnya dengan abortus habitualis. Abortus spontan berulang ini selalu menjadi
masalah di dunia praktek ilmu kebidanan karena seorang ibu yang sudah pernah
mengalami abortus yang berulang biasanya selalu panik dan berupaya agar tidak
terjadi abortus lagi untuk kehamilan berikutnya. Angka kejadiannya adalah 1 diantara
300 kehamilan. Masyarakat luas sebenarnya banyak tahu tentang pentingnya
pencegahan terjadinya abortus berulang ini tetapi sebagian besar mereka tidak dapat
memenuhi harapan tersebut, mengingat faktor yang berpengaruh sangat banyak. Pada
umumnya masyarakat baru terpikir untuk mencari penyebab atau berobat dengan
sungguh-sungguh setelah kejadian abortus dialami sebanyak 2 kali secara berurutan
atau usianya sudah menginjak 35 tahun serta pasangan tersebut sulit dalam upaya
untuk menjadi hamil. Secara epidemiologis pernah dilaporkan bahwa bila sudah
mengalami 4 kali abortus, maka resiko tidak punya anak mencapai 40 sampai 50 %.1
1
Etiologi abortus habitualis dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor
genetik, anatomi, endokrin, infeksi, imunologi serta faktor-faktor lain seperti
lingkungan , obat-obatan, dan penyakit kronik.3
Terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya abortus habitualis
ialah dengan mengetahui terlebih dahulu etiologinya untuk mengetahui tindakan apa
yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyebabnya.
Di dalam referat ini akan dibahas mengenai penyebab-penyebab terjadinya
abortus habitualis, diagnosis dan manajemen kelola terhadap abortus habitualis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ABORTUS
2.1.1. DEFINISI
Berakhirnya kehamilan sebelum anak dapat hidup di dunia luar
(viable). Definisi lain menyatakan bahwa abortus adalah berakhirnya
kehamilan sebelum usia kehamilan 22 minggu atau berat badan anak kurang
dari 500 gram.1,2. Pengeluaran janin diikuti dengan pengeluaran sebagian atau
seluruh plasenta dan selaput kehamilan.
Klasifikasi Abortus :
1. Menurut kejadiannya
2. Secara klinis
A. Abortus Menurut kejadiannya
1. Abortus spontan
abortus yang terjadi tanpa tindakan atau berlangsung dengan sendirinya.
2. Abortus provocatus
Abortus yang terjadi dengan sengaja.
A. Abortus provocatus therapeuticus / abortus provocatus artificialis
Pengakhiran kehamilan atas indikasi kehamilan yang dapat
membahayakan ibu maupun janin.
B. Abortus provocatus kriminalis
Pengakhiran kehamilan tanpa indikasi medis dan dilarang oleh
hukum.
3
B. Menurut klinis dibagi menjadi :
1. Abortus imminens (threatened abortion)
Merupakan ancaman terjadinya abortus yang ditandai dengan perdarahan
sedikit dari jalan lahir dan nyeri perut tidak ada atau ringan pada daerah
perut bawah atau terdapat fluksus sedikit dengan keadaan mulut rahim
masih tertutup. Besar rahim masih sesuai dengan umur kehamilan.
Kejadian ini dapat berlangsung antara 30 sampai 40 % dari seluruh
kehamilan.3,4
2. Abortus insipiens (inevitable abortion)
Abortus yang sedang berlangsung yang terjadi apabila telah ada
pembukaan serviks uterus tetapi jaringan uterus maupun jaringan plasenta
masih intrauterine, yang ditandai dengan perdarahan dari jalan lahir
disertai nyeri/kontraksi rahim.3,4
3. Abortus inkompletus (incomplete abortion)
Pengeluaran sebagian konsepsi sedangkan sisanya masih berada
intrauterin, jaringan yang biasa tertinggal adalah plasenta atau desidua.
Manifestasi klinis ditandai dengan adanya perdarahan dari jalan lahir
(biasanya banyak), nyeri /kontraksi rahim ada, dan bila perdarahan banyak
dapat terjadi syok. Pada pemeriksaan dalam, ostium uteri terbuka, teraba
sisa jaringan buah kehamilan.3,4
4. Abortus complete (complete abortion)
Pengeluaran seluruh jaringan konsepsi. Setelah keluarnya semua hasil
konsepsi, kontraksi rahim dan perdarahan mereda, serviks menutup, dan
rahim lebih kecil daripada periode yang ditunjukkan amenorea. Selain itu,
tidak lagi ada gejala kehamilan dan uji kehamilan menjadi negatif.4,5
4
5. Abortus febrilis
Abortus inkompletus atau abortus insipiens yang disertai infeksi.
Manifestasi klinis ditandai dengan adanya demam, lochia yang berbau
busuk, nyeri di atas simfisis atau di perut bawah, abdomen kembung atau
tegang sebagai tanda peritonitis. Pada pemeriksaan dalam, ostium uteri
umumnya terbuka, dan teraba sisa jaringan, rahim maupun adneksa nyeri
pada perabaan, dan fluksus berbau.4
6. Abortus tertunda (Missed abortion)
Janin yang telah mati sebelum usia 20 minggu, tertahan di dalam rahim
selama 2 bulan atau lebih setelah janin mati. Manifestasi klinis ditandai
dengan perdarahan yang bisa ada atau tidak, fundus uteri lebih kecil dari
umur kehamilan dan bunyi jantung janin tidak ada.4
7. Abortus habitualis (recurrent abortion)
Abortus yang berulang tiga kali berturut-turut atau lebih pada umur
kehamilan kurang dari 22 minggu.
Gambar 1. Abortus Imminens Gambar 2. Abortus Insipiens
Gambar 3. Abortus Incomplete Gambar 4. Missed Abortion
5
I.2. EPIDEMIOLOGI
Insidensi terjadinya abortus spontan sekitar 15 – 20 % dari seluruh kehamilan.
75 % dari seluruh abortus terjadi pada usia kehamilan sebelum 16 minggu. Dari
seluruh wanita 2 – 3 % pernah mengalami 2 kali abortus spontan, dan kurang dari
1 % wanita yang mengalami abortus habitualis. Insidensi abortus habitualis 3 %
sampai 5 % pasangan reproduktif.5
Secara epidemiologis pernah dilaporkan bahwa bila sudah mengalami 4 kali
abortus, maka resiko tidak punya anak mencapai 40 sampai 50 %.3
2.2. ABORTUS HABITUALIS
2.2.1. DEFINISI
Abortus habitualis adalah pengakhiran kehamilan secara spontan tiga kali
berturut-turut pada kehamilan kurang dari 22 minggu atau berat badan janin kurang
dari 500 gram.
2.2.2. PATOFISIOLOGI
Pada awal terjadinya abortus terjadi perdarahan pada desidua basalis sehingga
embrio lepas partial atau total, diikuti nekrosis jaringan sekitarnya. Kemudian
plasenta menjadi tidak berfungsi. Hasil konsepsi yang terlepas sebagian atau
seluruhnya akan menjadi benda asing dalam uterus. Hal ini yang menyebabkan uterus
berkontraksi untuk mengeluarkan isinya, diikuti dilatasi cervix dan pengeluaran
sebagian atau seluruh hasil konsepsi.2
Hasil konsepsi yang dikeluarkan dapat berupa blighted ovum (kantong
amnion berisi air ketuban tanpa janin), mola crueta (janin diliputi oleh lapisan bekuan
darah), Mola carnosa (bekuan darah telah diserap dan sisanya mengalami organisasi
sehingga tampak seperti daging), mola tuberose (amnion tampak berbenjol-benjol
akibat hematom antara lapisan amnion dan chorion).
6
2.2.3. ETIOLOGI
Secara skematis penyebab abortus yang berulang dapat dilihat pada tabel 2
Tabel 2. Prakiraan insidensi dari penyebab kejadian abortus spontan berulang
Etiologi Prakiraan insiden
Faktor Genetik
1. Kromosomal
2. Multifaktorial
5 %
Faktor Anatomik
1. Kongenital
a. “Incomplete Mullerian fusion or septum
rearsorbtion”
b. Paparan Diethylstillbestrol
c. Anomali arteria uterine
d. Inkompetentia serviks
2. Didapat/Akuisita
a. Inkompetentia serviks
b. Sinekhia
c. Leiomioma
d. Endometriosis, adenomiosis
12 %
Faktor Endokrin
a. Insufisiensi fase luteal termasuk kelainan “luteinizing
hormone”
b. Kelainan tiroid
c. Diabetes Mellitus
d. Kelainan androgen
e. Kelainan prolaktin
17 %
Faktor Infeksi
1. Bakteri
2. Virus
3. Parasit
4. Zoonotik
5. Fungus
5 %
7
Faktor Immunologi
1. Mekanisme Humoral
a. Antibodi Antiphospholipid
b. Antibodi antisperm
c. Antibodi Antitrofoblast
d. “Blocking antibody deficiency”
2. Mekanisme seluler
a. Respon imun seluler TH1 pada antigen reproduksi
(“embryo/trophoblast-toxic factors/cytokines”)
b. Sitokin TH2, “growth factor” dan defisiensi
onkogen
c. “Supressor cell and factor deficiency”
d. “ Major histocompatibility antigen expression”
50 %
Faktor-faktor lain
1. Lingkungan
2. Obat-obatan
3. Abnormalitas plasenta
Sirkumvalata
Marginal
4. Kelainan Medis
a. Faktor kelainan jantung
b. Faktor renal
c. Faktor hematologik
5. Faktor Pria
6. Koitus
7. Latihan
10 %
Sumber : Hill JA. Novak”s Gynecology Borek JS, Adashi EY, Hillard PA eds.
Baltimore, William & Wilkins. 1996, 964
8
2.2.3.1. FAKTOR GENETIK
Faktor genetik antara suami dan istri dapat menimbulkan gangguan
pertumbuhan janin atau embrio yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya
abortus. Aberasi kromosom janin dan adanya kelainan kromosom yang tumbuh pada
janin misalnya pada trisomi 16 atau trisomi 21 (sindroma Down) merupakan
penyebab terjadinya abortus. Pada kelainan monosomi X (45 X atau sindroma
Turner) juga dapat memberikan kegagalan janin yang berakhir dengan abortus.1,3
Analisis kromosom dilakukan untuk mendeteksi adanya pengaruh kelainan
kromosom pada wanita yang menderita abortus habitualis. Analisis kromosom
berasal dari leukosit darah tepi atau dari jaringan konseptus.1
1. Analisis Kromosom kedua Orang tua
Kelainan kromosom parental terdapat pada 3 – 6 % pasangan dengan abortus
berulang. Kejadian translokasi kromosom dan inversi sering menyebabkan abortus
berulang Pemeriksaan dapat dilakukan saat antenatal.1
2. Analisis Kromosom dari Produk Konsepsi
50 % kejadian abortus spontan terjadi abnormalitas sitogenetik. Dengan
adanya abnormalitas ini menyebabkan ketidakmampuan hasil konseptus untuk
bertahan dan tumbuh di dalam uterus.1
Penanganan
Pasangan yang mengalami abortus berulang perlu melakukan pemeriksaan
genetik yang bertujuan untuk mendapatkan konseling genetik. Abortus spontan yang
terjadi pada pasangan dengan karyotip yang normal, dianjurkan untuk mencoba hamil
kembali. Namun bila trisomi yang menyebabkan abortus berulang maka pasangan ini
sebaiknya mendapatkan konseling genetik. Untuk semua pasangan yang melakukan
konseling genetik harus melakukan amniosentesis atau pengambilan sampel dari
chorion dan villus untuk mencegah terjadinya abnormalitas kromosom janin. Bila
9
penyebabnya adalah karyotip parental dapat digunakan gamet donor dan biopsi
embrio, yaitu dengan inseminasi buatan dari sperma donor bila abnormalitas terjadi di
pihak pria atau dengan fertilisasi in vitro dari oocyt donor jika abnormalitas terjadi di
pihak wanita.2
Biopsi embrio dilakukan untuk diagnosis abnormalitas genetik preimplantasi,
yaitu dari embrio pada stadium 4 sampai 8 blastomer, bila hasil biopsi embrio normal
baru dilakukan transfer embrio.2
2.2.3.2. FAKTOR ANATOMI
Kelainan anatomi merupakan penyebab pertama dari abortus habitualis dan
terhitung 15 % dari keguguran berulang. Kelainan ini dapat kongenital maupun
akuisita (didapat). Defek yang terjadi termasuk kelainan anatomi, inkompetensi
serviks, leiomyoma submukosa, kelainan karena paparan diethylstilbestrol intra
uterine dan Asherman’s syndrome. Secara umum keguguran karena kelainan anatomi
terjadi pada trimester kedua.7 Terjadinya anomali pada arteri uterina perlu dicari
karena hal ini akan mengganggu peredaran darah ke daerah implantasi buah
kehamilan sehingga mudah abortus.3
2.2.3.2.1. Malformasi uterus kongenital
Malformasi uterus congenital yang sering didapat ialah kegagalan fusi duktus
Mulleri. Malformasi ini terjadi pada 0,1% populasi wanita. Dilaporkan 10% sampai
23% wanita yang mengalami abortus berulang karena anomali uterus, atau satu
diantara wanita yang mengalami abortus habitualis disebabkan karena anomali
uterus.1,8 Uterus unicornus dan bicornus masing-masing menyebabkan 1-3 kejadian
terjadinya abortus spontan karena kelainan anatomi, dan uterus septum sejumlah 60%
karena buah kehamilan yang terimplantasi disana akan mengalami gangguan dalam
perkembangannya.3,7
10
Gambar 5. Uterus normal
1. Uterus arcuatus 2. Uterus septum
3. Uterus bicornis 4. Uterus Didelphis
5. Uterus unicornus 6. Uterus bentuk T
Gambar 6. Malformasi uterus congenital
11
A. Mekanisme terjadinya abortus akibat anomali uterus
Beberapa teori dapat menjelaskan mekanisme terjadinya bortus akibat adanya
anomaly uterus.1
Menurut Strassmann,1996. Volume intraluminal pada uterus yang abnormal
berkurang, dan ketika telah mencapai batas peregangan uterus, kehamilan tidak dapat
tumbuh lebiih lanjut, sehingga terjadi inseminasi dengan abortus spontan atau lahir
prematur.8
Menurut Hunt dan Wallach, 1974. Vaskularisasi yang tidak adekuat dapat
memperburuk keadaan plasenta, yaitu bila insersi plasenta pada daerah septum atau
bagian medial dari tanduk uterus. Teori ini ditunjang oleh minimalnya perdarahan
yang terjadi saat dilakukan incise pada daerah septum.8
Menurut Blum, 1987. Adanya peningkatan iritabilitas dan kontraktilitas
uterus. Kemungkinan terjadi karena aktivitas serum cystine aminopeptidase, yang
dapat menyebabkan dilatasi dan penipisan serviks atau insufisiensi dan pelepasan
plasenta sehingga terjadi abortus atau persalinan prematur.8
Menurut Craig, 1973 dan Bennet, 1987. Adanya inkompetensi servikal pada
30% anomali uterus. Aborstus terjadi karena rupturnya membran amnion dan prolaps
melalui serviks sehingga terkontaminasi dengan bakteri di vagina dan sifat yang
asam.8
Teori-teori ini belum bisa dibuktikan kebenarannya saat ini, namun masing-
masing mekanisme ini dapat menyebabkan pengeluaran janin.8
B. Etiologi anomali uterus kongenital
Masing-masing ductus paramesonephric (Mullerian) dibentuk 5 sampai 6
minggu setelah konsepsi sebagai invaginasi dari epitel coelomic lateral menuju
kranial. Pembukaan duktus berlangsung sampai ostium abdominal dan ujung caudal
membentuk ujung yang solid diikuti dengan kanalisasi. Kedua ujung bersatu di
bagian tengah pada minggu ke 8 sampai 9. Akhirnya bersentuhan dengan sinus
urogenital. Kanalisasi berakhir pada minggu ke 10 sampai 11. Kemudian septum
12
medial diresorbsi sampai minggu ke 19 dan 20 menjadi bentuk uterus yang normal.
Anomali uterus kongenital dapat terjadi karena kegagalan berfusi, kanalisasi dan
resorbsi septum.8
Menurut Hammond, 1989. Jika anomali berhubungan dengan lingkungan luar,
hal ini terjadi antara minggu ke 8 sampai 19, yaitu saat berfusi dan kanalisasi. Dapat
terjadi karena zat teratogen yang tidak spesifik misalnya radiasi, demam, obat-obatan
dan infeksi.8
Anomali tractus genitalis bagian atas terjadi karena paparan DES intrauterin,
teori ini pertama kali dilaporkan oleh Kaufman, 1971. Enam puluh sembilan persen
wanita yang terpapar DES terjadi anomali uterus. DES akan menyebabkan hipoplasia
dan maldevelopment otot uterus. Beberapa bentuk anomali uterus antara lain uterus
yang berbentuk T dengan dilatasi bulbus pada segmen bawah serviks. 8,2
C. Diagnosis
Histerosalpingografi adalah pemeriksaan yang spesifik dan sensitif untuk
diagnosis anomali uterus, tetapi hanya terbatas untuk menggambarkan keadaan uterus
yang mempunyai hubungan dengan dunia luar. Sehingga untuk uterus yang
noncommunicating tidak dapat dibuktikan dengan pemeriksaan ini.8
Semua wanita yang mengalami abortus habitualis harus melakukan
pemeriksaan histerosalpingografi, termasuk wanita dengan riwayat kelahiran
prematur, kelainan letak janin dan retensio plasenta.8
Pemeriksaan laparoskopi dilakukan untuk menyempurnakan pemeriksaan
histerosalpingografi, dan sangat penting untuk membedakan antara uterus bicornis
dengan septum. Kedua anomali ini tampak sama dengan pemeriksaan HSG.
Pencitraan dengan ultrasound terutama dengan transduser transvaginal dapat
dilakukan saat wanita tidak hamil maupun sedang hamil. Saat ini pemeriksaan
ultrasonografi digunakan untuk skrining pasien dengan anomali uterus, tetapi harus
tetap dikonfirmasi dengan pemeriksaan HSG.
13
Gambar 7. Pemeriksaan HSG
Pencitraan endometrium sangat penting untuk penilaian yang tepat pada
rongga uterus. Pemeriksaan dilakukan selama fase luteal karena endometrium tampak
hiperechoic dan berlawanan dengan myometrium yang hipoechoic.8
Bila diidentifikasikan dua canalis servikalis yang terpisah diikuti dengan gema
endometrium sepanjang rongga uterus adalah gambaran uterus didelphys. Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih tepat dapat digunakan USG tiga dimensi.8
Kelebihan pemeriksaan dengan USG adalah dapat memeriksa ginjal secara
bersamaan. Anomali traktus urinarius sering disertai anomali uterus kecuali anomali
yang terjadi akibat diethylstilbestrol. Kelainan uterus yang sering disertai kelainan
ginjal adalah hipoplasia atau agenesis uterus dan uterus unicornus.8
Pemeriksaan yang lebih baik adalah dengan nuclear magnetic resonance
imaging. Metode ini dapat mendiagnosis masing-masing tipe anomali uterus.
Pemeriksaan fisik secara bimanual kadang-kadang dapat mendeteksi adanya
anomali ini. Terabanya dua cornu yang terpisah adalah uterus bicornis, dan fundus
yang luas diduga uterus septum.8
14
D. Penanganan
Pemilihan cara penanganan tergantung tipe anomali uterus, koreksi non
operatif atau operatif.
1. Reparasi tanpa operasi
Uterus unicornus
Pasien dengan uterus unicornus biasanya asimptomatik. Tidak ada teknik
operasi yang dapat mengoreksi anomali ini, karena tidak ada operasi yang dapat
menambah volume cavum uteri.
Uterus didelphys
Kelainan ini umumnya asimptomatis namun tidak jarang yang mengalami
dyspareunia karena adanya septum di vagina. Koreksi dengan cara operasi sulit
dilakukan sehingga tidak ada terapi operatif yang dapat dianjurkan
Uterus arcuatus
Tiga puluh enam persen anomali ini disertai dengan inkompetensi seviks.
Kelainan uterus ini merupakan variasi normal dari bentuk uterus sehingga tidak perlu
dilakukan reparasi secara operatif.
2. Reparasi dengan operasi
Uterus bicornis
Kelainan ini terjadi karena kegagalan bersatunya ductus mullerian pada
daerah fundus, tetapi bagian bawah uterus bersatu secara sempurna sehingga uterus
memiliki cervix yang tunggal.
Kejadian abortus lebih rendah dibanding dengan uterus septum. Kemungkinan
akibat aliran darah pada bagian tengah uterus bicornus lebih baik daripada uterus
septum.
Prosedur operasi untuk mengoreksi bentuk uterus ini pertama kali
diperkenalkan oleh Strassman 1908. Kelahiran hidup mencapai 91% kehamilan
setelah operasi.
15
Gambar 8. Teknik operasi Strassman8
Uterus septum
Anomali ini terjadi akibat kegagalan resorbsi dinding bagian tengah uterus.
Tetapi uterus tampak normal bila dilihat dari luar. Angka kejadian abortus pada
kelainan ini cukup tinggi karena berkurangnya volume cavum uteri dan aliran darah
pada daerah septum tidak adekuat. Beberapa teknik operasi dapat mengoreksi
kelainan ini.
a. Abdominal metroplasty
Jones dan Jones, 1953 memperkenalkan teknik operasi dengan cara
melakukan eksisi baji pada daerah septum uterus, dan penutupan uterus secara sagital.
Sebagian fundus uteri ikut terbuang sehingga kehilangan darah lebih banyak dan
dapat mengurangi volume cavum uteri. Maka teknik ini telah ditinggalkan.
16
Tompkins, 1962 memperkenalkan operasi dengan melakukan incisi sagital
pada daerah fundus ke arah anteroposterior melalui bagian tengah septum sampai
cavum uteri. Walaupun teknik operasi ini perdarahannya lebih sedikit, namum
dengan pemberian agen vasopressor misalnya vasopressin (Pitresin) dapat
mengontrol perdarahan sehingga lapang pandang operasi lebih jelas.
Untuk pencegahan terjadinya adhesi karena operasi maka dianjurkan untuk
melakukan teknik microsurgery secara hati-hati dan hemostasis diperhatikan, selain
itu diberikan terapi adjuvant atau dengan barier adhesi di sekeliling ligamentum. Bila
kehamilan telah mencapai aterm langsung dilakukan terminasi dengan section
sesarian untuk mencegah rupture uteri yang dapat terjadi selama persalinan.
Gambar 9. Teknik operasi Tompkins8
17
b. Teknik Hysteroscopic
Metode ini dilakukan dengan cara melihat septum dengan hysteroscoper yang
disertai dengan laparoscopic untuk pencegahan terjadinya rupture uteri. Dengan
menggunakan prinsip Tompkins metroplasty, septum di incisi dari apex sampai basis
dengan alat gunting hysteroscopy. Untuk hasil yang optimal, operasi dilakukan pada
awal fase luteal dari siklus menstruasi sehingga endometrium cukup tipis. Pemberian
estrogen yang terkonjugasi (Premarin) 2,5 mg dua kali sehari, selama 1 sampai 2
bulan, dilanjutkan dengan medroxyprogesterone acetate (Provera) 5 mg dua kali
sehari selama 10 hari setelah operasi dapat mempercepat penyembuhan. Setelah
dilakukan operasi dianjurkan untuk pemeriksaan HSG untuk memastikan cavum uteri
menjadi normal.
Gambar 10. Teknik Hysteroscopic
Teknik metroplasty dengan menggunakan hysteroscope sekarang menjadi
pilihan utama. Keuntungannya adalah mencegah tindakan operasi mayor abdomen,
pasien dapat segera pulang, waktu operasi yang lebih singkat sehingga mengurangi
morbiditas, dapat mencegah perlengketan daerah pelvis sehingga infertilitas dapat
dihindari serta kehamilan dapat diakhiri tanpa sectio cesarian.
18
2.2.3.2.2. Inkompetensi Serviks
Definisi serviks inkompeten adalah ketidakmampuan serviks untuk
mempertahankan kehamilan intrauterine sampai aterm. Insidensinya bervariasi dari 1
kejadian diantara 2000 persalinan sampai 1 di antara 32 persalinan.
A. Etiologi
Danforth menerangkan struktur serviks terutama terdiri dari jaringan kolagen
dengan hampir 10 sampai 15 % terdiri dari jaringan otot.
Pada serviks inkompeten terjadi kelemahan mekanisme spinchter, sehingga
bila terjadi peningkatan tekanan intra uteri karena kehamilan dapat menyebabkan
prolaps dan balloning membran ke dalam vagina, melalui serviks yang berdilatasi
tanpa disertai rasa mulas pada trimester kedua atau awal trimester ketiga kemudian
peristiwa ini diikuti oleh pecahnya ketuban dan selanjutnya ekspulsi janin immatur,
sehingga kemungkinan besar janin akan meninggal.1,8
1. Congenital Cervical Incompetence jarang terjadi hampir pada 2 %
pasien. Diduga karena adanya kelemahan daerah fibromuskular pada bagian atas
serviks. Biasanya menyertai anomali ductus mullerian dan lebih sering terjadi pada
wanita yang terpapar DES intrauterin.
2. Acquired Cervical Incompetence terutama terjadi pada pasien dengan
riwayat satu kali atau lebih abortus pada midsemester dan 2/3 nya pernah mengalami
dilatasi dan kuretase. Resiko meningkat pada abortus presipitatus secara berulang-
ulang, namun relatif menurun setelah tahun 1973 ditemukan laminaria untuk
menginduksi aborsi dan teknik yang lebih baik untuk dilatasi serviks. Dilatasi serviks
diameter lebih dari 12 mm signifikan meningkatkan angka prematuritas, batas paling
aman adalah 10 mm.
Konisasi, amputasi, kauterisaasi serviks berperan penting untuk terjadinya
inkompetensi serviks. Terjadinya abortus dan prematuritas setelah biopsi konisasi
19
menjadi lebih tinggi. Pada wanita nullipara berusia 21 sampai 25 tahun memiliki
resiko tertinggi karena banyaknya jaringan yang terbuang karena serviks yang relatif
kecil pada prosedur konisasi. Pada wanita dengan konisasi di atas 4 ml, angka
prematuritas 31,7 % dan abortus spontan pada trimester kedua 18,2 % dibanding
dengan konisasi kurang dari 4 ml adalah 3,2 % dan 6,5 %. Jika tinggi konisasi lebih
dari 2 cm angka abortus pada trimester kedua adalah 21,7 % dibandingkan dengan
tinggi kurang dari 2 cm adalah 12,3 %.
3. Inkompetensi serviks fisiologis terjadi pada wanita yang pertama kali
mengalami kehamilan ganda, namun berhasil dengan menggunakan cervical
cerclage.
B. Diagnosis
Gejala klasik adalah akut, tidak nyeri pada kehamilan trimester kedua yang
tidak berhubungan dengan perdarahan atau kontraksi uterus dan berulang. Tapi
beberapa pasien mengalami perdarahan dan kram abdominal. Beberapa diantaranya
memiliki riwayat prematur ruptur membran sebelum adanya kontraksi, atau adanya
penonjolan membran pada vagina.
Abortus midsemester terjadi pada usia kehamilan yang sama menandakan
adanya inkompetensi serviks. Pada pasien primigravida, dengan riwayat dilatasi dan
kuretase, konisasi biopsi merupakan satu potensi untuk terjadinya inkompetensi
serviks.
1. Wanita tidak hamil
Sejumlah metode telah dikemukakan untuk membuat diagnosis pada wanita
yang tidak hamil, yaitu biasanya melalui pemeriksaan untuk menemukan ostium
internum servisis yang berdilatasi lebih lebar daripada keadaan normal. Metode
tersebut termasuk pemeriksaan histerografi, teknik pull through dengan balon kateter
Foley yang digembungkan dan tindakan memasukkan tanpa adanya tahanan alat
20
dilator serviks dengan ukuran khusus ke dalam ostium internum servisis uteri ( Ansari
dan Reynolds, 1987). Jika Hegar dilator no 8 atau Pratt dilator no 15 atau 17 mudah
masuk pada serviks maka serviks adalah inkompeten.
Pemeriksaan histerosalpingografi penting untuk mengevaluasi canalis
servikalis. Spekulum vagina harus diangkat atau diputar 90o searah jarum jam
sehingga canalis servikalis berisi kontras yang terlihat jelas dan tidak terganggu oleh
radioopaq karena spekulum.
Canalis servikalis pada wanita dengan abortus habitual lebih besar dari wanita
normal ( 6,09 ± 0,98 mm vs 2,63 ± 0,27 mm ). Diameter isthmus servical pada
inkompetensi serviks lebih dari 6 mm.
Metode lain dengan cara memeriksa resistensi serviks dengan pressure decay
curve. Pertama dengan memasukkan dilator Hegar bila masuk ke dalam serviks tanpa
tahanan kemudian masukan balon pada canalis servicalis sampai di atas isthmus lalu
balon diisi dengan cairan fisiologis sampai tekanan 250 mmHg. Volume balon harus
konstan, tekanan decay curve direkam sampai angka asimptom tercapai. Tahanan
dilator lebih rendah pada wanita dengan inkompetensi serviks.
2. Wanita hamil
Pada wanita yang hamil dan memiliki riwayat inkompeten serviks atau
anomali uterus harus menjalani pemeriksaan serviks secara periodik, dinilai sejak
kehamilan 10 atau 12 minggu. Jika terjadi penipisan dan atau dilatasi serviks menjadi
indikasi untuk pemasangan cervical cerclage. Penderita juga harus diberitahu bila
merasakan tekanan dan mengganjal di daerah perut bawah, tekanan dan rasa penuh di
vagina, atau keluar cairan atau lendir adalah gejala dilatasi serviks yang progresif.
Pada pemeriksaan vagina rutin hanya setengah bagian serviks yang dapat
diraba oleh jari, sehingga interpretasi pemendekan serviks bersifat subjektif. Maka
pemeriksaan ultrasonografi menjadi gold standar sehingga terjadinya dilatasi serviks
dapat dideteksi sedini mungkin.
21
Panjang serviks pada wanita normal pada kehamilan trimester kedua adalah
2,5 sampai 6 cm. Pada inkompeten serviks panjang serviks kurang dari 2,5 cm.
Proses terjadinya dilatasi serviks berawal dari orificium uteri interna ke arah
bawah kemudian terjadi prolaps membran amnion ke dalam vagina.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan scanning abdomen naumn dengan
pemeriksaan vaginal ultrasonografi lebih menguntungkan karena pendataran serviks
tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan dengan ultrasonografi kandung kencing yang
penuh membuat pasien tidak nyaman dan dapat memberi tekanan pad auterus bagian
bawah sehingga pembukaan serviks menjadi meragukan. Sedangkan dengan scan
longitudinal bentuk normal Y dapat terlihat jelas, namun dilatasi serviks bentuk V
dan U tidak dapat dideteksi. Pemeriksaan scanning transvaginal lebih akurat untuk
melihat dilatasi serviks bagian proksimal.
Pemeriksaan ultrasonografi transvaginal lebih menguntungkan dibandingkan
dengan transabdominal karena uterus bagian bawah lebih mudah terlihat.
Scanning transvaginal lebih menguntungkan untuk memeriksa adanya
inkompetensi serviks yang dinamik, yaitu keadaan dimana tingkat dilatasi yang
bervariasi dan dapat berubah saat pemeriksaan dengan ultrasonografi. Sehingga
kompetensi serviks diperiksa dengan ultrasonografi transvaginal dengan cara tangan
pemeriksa menekan dinding abdomen. Kelemahan serviks akan lebih jelas terlihat
dengan metode ini.
C. Penanganan
Penanganan inkompetensi serviks yang nyata adalah dengan pembedahan.
Pencegahan dengan menggunakan cerclage paling sering digunakan pada pasien
dengan riwayat abortus pada trimester kedua atau persalinan prematur. Cerclage
merupakan prosedur elektif yang dilakukan pada kehamilan antara 13 sampai 15
minggu. Setelah operasi segera diberikan tokolitik dengan β-simpatomimetik untuk
mengurangi iritabilitas uterus. Dianjurkan untuk bed rest 24 jam selama 2 sampai 3
hari post operatif. Pemeriksaan ultrasonografi untuk melihat serviks dilakukan secara
22
periodik untuk memastikan efektifitas prosedur ini dan melihat kehamilan terus
berlanjut serta adanya kemungkinan anomali janin.
Kontraindikasi cervical cerclage ini adalah perdarahan uterus, ruptur
membran spontan, adanya kontraksi uterus, chorioamnionitis, dan dilatasi serviks
lebih dari 4 cm.9
1. Shirodkar Cerclage
Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Shirodkar, 1955. Dibuat incisi
transversal di bagian anterior cervicovaginal junction dan kandung kencing di dorong
ke atas setinggi orificium uteri interna. Kemudian di buat incisi vertikal di bagian
posterior pada cervicovaginal junction. Sebuah pita 5 mm diikat mengelilingi serviks
melalui incisi ini dan simpulnya diletakkan di posterior untuk menghindari erosi pada
kandung kencing. Incisi ini ditutup dengan jahitan benang yang diserap. Kemudian
ikatan ini dapat dibuka pada minggu ke 37 atau 38 bila akan dilakukan persalinan
pervaginam, namun bila pasien ini sangat menginginkan anak maka ikatannya
dibiarkan untuk melahirkan secara abdominal. Awalnya operasi ini menggunakan
fascial band tetapi bahan ini licin sehingga simpul mudah lepas, dapat menyebabkan
degenerasi myxoma karena sepsis, dan dapat menimbulkan jaringan parut.
2. McDonald Cerclage
Metode yang pertama kali diperkenalkan oleh McDonald, 1957 ini lebih
sederhana dan mudah dibandingkan dengan Shirodkar. Ini merupakan prosedur
tertutup yang berlawanan dengan metode Shirodkar. Dengan jahitan continous pada
batas mukosa vagina dan cara purse string pada serviks. Sebuah jahitan dibuat dari
dalam keluar pada 4 atau 5 tempat sekeliling serviks dengan bahan yang tidak dapat
diserap seperti Marseline dan simpulnya diletakkan di anterior. Pembuluh darah
lateral dapat dihindari, sehingga dapat mencegah iskemik serviks. Bagian posterior
serviks harus lebih diperhatikan karena pada daerah ini mudah terjadi pergeseran.
23
Jahitan dapat dilepas pada kehamilan 37 minggu bila akan dilakukan persalinan
pervaginam.
3. Daya Cerclage
Metode ini merupakan modifikasi cara McDonald dengan menggunakan 2
jahitan dan hasilnya lebih baik. Dengan anestesi spinal dilakukan cara McDonald
dengan menggunakan pita Mersilene yang lebar sejajar dengan kandung kencing pada
serviks, simpul diikat di anterior. Kemudian dipasang ikatan kedua pada 0,5 sampai 1
cm di bawah ikatan yang pertama. Sehingga tekanan yang makin tinggi pada
kehamilan disalurkan pada permukaan yang lebih lebar karena serviks di antara dua
jahitan terikat erat. Angka keberhasilannya 95 %. Jahitannya mudah dilepaskan pada
minggu 37 sampai 38 kehamilan.
Gambar 11. Inkompetensi Serviks
24
4. Transabdominal Cerclage
Metode ini dilakukan bila serviks pendek karena amputasi serviks, hipoplasia
atau kegagalan pemasangan cervical cerclage.
Gambar 12. Inkompetensi serviks dengan tiga cara penanganannya
D. Komplikasi
Komplikasi dari teknik dengan menggunakan cervical cerclage adalah infeksi
postoperatif, perdarahan , ruptur membran, ruptur uteri.
2.2.3.2.3. Perlengketan uterus, Synechia Uterine
Keadaan ini dikenal sebagai Asherman’s syndrome. Gejalanya berupa
gangguan menstruasi seperti hypomenorrhea, amenorrhea dan infertilitas serta
abortus berulang.
25
A. Etiologi
Faktor kelainan anatomi uterus yang didapat ini disebabkan karena kerusakan
endometrium yang luas akibat kuretase berulang pada waktu infeksi, missed abortion
atau post partum, sehingga tidak terjadi implantasi.8,10
Adhesi terjadi karena kuretase endometrium, 76 % karena kuretase post
abortus dan 22 % karena kuretase post partum. Keadaan ini terjadi karena sulitnya
mengontrol kedalaman saat melakukan kuretase pada wanita hamila karena uterus
lembek. Akibatnya lapisan basalis endometrium terlepas sehingga pertumbuhan
endometrium terhambat dan adanya proses kontraksi uterus post partum maka uterus
saling melekat.8,10
Kejadian adhesi uterus tergantung waktu melakukan kuretase, minggu kedua
sampai minggu keempat setelah persalinan mudah terjadi adhesi, naum dalam 48 jam
pertama post partum jarang menyebabkan perlengketan.
Penyebab lain terjadinya adhesi uterus adalah tuberkulosis uterus,
myomectomy, kuretase diagnostik dan setelah pemasangan kontrasepsi intrauterin.
B. Diagnosis
Bila terjadi adhesi total dapat menyebabkan amenorrhea. Gejalanya adlaah
amenorrhea yang mengalami siklus ovulasi, misalnya nyeri perut bawah, suhu basal
yang bifasik, meningkatnya serum progesteron dapat didiagnosis sebagai adhesi intra
uterin namun harus dilanjutkan dengan pemeriksaan HSG atau histeroskopi.
Pada histerosalpingography adanya perlengketan intrauterin tampak sebagai
filling defek berbentuk lakuna dengan berbagai macam ukuran, Filling defek sifatnya
ireguler, bersudut, berbatas tegas, opak homgen, persisten. Untuk diagnosis pasti
adhesi intrauterin adalah dengan histeroskopi.8,10
Dengan hysteroskopi dapat digunakan untuk diagnosis dan terapi, yaitu
dengan cara melepaskan perlengketan. Kemudian dengan pemasangan IUD dapat
mencegah berulangnya perlengketan. Dapat juga menggunakan estrogen dosis tinggi
selama 60 sampai 90 hari.8,10.
26
C. Penanganan
Empat tujuan utama dalam penanganan synechia uteri :
1. Melisiskan perlengketan
2. Mencegah perlengketan berulang
3. Merangsang proliferasi endometrium
4. Verifikasi cavum menjadi normal
1. Melisiskan perlengketan
Melisiskan dengan cara transcervikal yaitu secara diseksi tumpul saat
melakukan dilatasi dan kuretase atau diseksi tajam saat hysteroscopy.
Kekurangan metode ini adalah kita tidak dapat mengetahui apakah
perlengketan telah lisis atau belum.
Bila menggunakan histeroskopi kita dapat melepaskan perlengketan
dengan cara melihat secara langsung menggunakan gunting, rektoskop atau
laser. Perlengketan sifatnya avaskuler sehingga dapat digunakan gunting
histeroskop.
2. Mencegah perlengketan berulang
Metode yang telah berhasil adalah dengan meletakkan IUD atau foley
kateter di dalam cavum uteri yang dipasang selama beberapa hari sampai 2
minggu. Kekurangan IUD adalah dapat terjadi perlengketan disekitarnya
sehingga sulit untuk dilepaskan dan bila menggunakan foley kateter biasanya
lebih cepat keluar. Karena alasan ini lebih baik menggunakan foley kateter.
3. Merangsang proliferasi endometrium
Pemberian estrogen dapat merangsang regenerasi endometrium dan
mempercepat proses penyembuhan. Dosis pemberiannya 1,25 sampai 2,5
27
mg/hari selama 1 sampai 2 bulan. Biasanya dikombinasikan dengan
progestasional untuk merangsang withdrawal bleeding.
4. Verifikasi cavum menjadi normal
Histerosalpingografi lebih mudah dan praktis, namun kurang akurat
dan tidak tampak bila ada adhesi residual.
Pada kehamilan setelah pengobatan adhesi intra uteri merupakan resiko tinggi
untuk terjadinya persalinan prematur, abortus spontan dan plasenta acreta.
2.2.3.3. FAKTOR ENDOKRIN
Faktor endokrinologi dihubungkan dengan abortus berulang karena terjadinya
insufisiensi fase luteal dengan atau tanpa terjadinya hipersekresi hormon LH
(Luteinizing Hormon), Diabetes Mellitus atau kelainan kelenjar tiroid.
2.2.3.3.1. Insufisiensi Fase Luteal
Sebagaimana kita ketahui pada kehamilan muda, dengan terbentuknya corpus
luteum maka akan diproduksi hormon progesteron untuk mempertahankan
kehamilan. Bila terjadi gangguan produksi ini oleh corpus luteum maka dapat terjadi
abortus. Biasanya hal ini akan terjadi pada umur kehamilan kurang dari 10 minggu.
Teori lain menyebutkan bila terjadi sekresi LH yang abnormal maka akan
terjadi efek langsung pada pertumbuhan oocyte dimana selanjutnya akan terjadi
pematangan dini endometrium sehingga mudah terjadi abortus.3
2.2.3.3.2. Diabetes Mellitus
Pada Diabetes Mellitus maka penyebab abortus disebabkan oleh adanya
ganguan aliran darah di uterus terutama pada DM yang sudah lanjut, selain itu terjadi
kenaikan haemoglobin A1 yang dapat menyebabkan abortus spontan.3
28
2.2.3.3.3. Penyakit Thyroid
Penyakit thyroid sering terjadi pada wanita muda, diduga penyakit ini dapat
menyebabkan abortus berulang namun kejadiannya sangat jarang.8,10.
Kejadian hypotiroidea juga dapat berpengaruh dalam produksi hormon corpus
luteum sehingga dapat menimbulkan abortus. Adanya reaksi antibodi antitiroid juga
dapat menyebabkan abortus karena secara umum proses imunologi secara umum juga
terganggu. Kehamilan yang sebenarnya harus disertai kenaikan hormon tiroid dan
disini hal itu tidak terjadi.3
Informasi mengenai hipertyroid dapat menyebabkan abortus berulang sangat
sedikit, karena biasanya wanita dengan hipertiroid sulit untuk hamil.8
2.2.3.4. FAKTOR IMMUNOLOGI
Faktor imunologi sering dihubungkan dengan abortus ibu dan janin di dalam
uterus yang mungkin banyak dipengaruhi oleh faktor imunologi.
2.2.3.4.1.Antibodi Antiphospholipid
Antibodi antiphospholipid secara langsung mencegah pembentukan
phospholipid yang merupakan komponen utama membran sel yaitu penting untuk fusi
membran sel.
Mekanisme yang terjadi ialah antibodi antiphospholipid dapat menyebabkan
penambahan tromboxan dan pengurangan sintesis prostasiklin yang menyebabkan
penempelan trombosit pada pembuluh darah yang ada di plasenta. Dengan adanya
peristiwa ini maka karakteristik kelainan plasenta ialah terjadinya infark, solusio
plasenta dan perdarahan.3
Untuk penanganannya awalnya digunakan prednison 40 mg/hari dan aspirin
80 mg/hari namun saat ini dapat diatasi dengan pemberian heparin 7500 U secara sub
cutan tiap 12 jam pada trimester pertama atau aspirin 80 mg tiap hari. Kortikosteroid
sebaiknya tidak digunakan bersamaan dengan heparin karena efektifitasnya tidak
lebih baik.2
29
Untuk wanita yang berhasil hamil setelah terapi ini, harus diawasi secara ketat
pada masa antepartum.2
2.2.3.4.2. Disfungsi alloimune
Wanita yang menderita abortus habitualis dengan karyotipe normal ditemukan
adanya peningkatan sel natural killer di darahnya.8
Bila terdapat peningkatan sel natural killer pada wanita yang hamil, maka
kemungkinan wanita ini akan mengalami abortus berulang. Walaupun trofoblast pada
sisi maternal-fetal resisten terhadap lisis oleh sel sitotoksis T dan antibodi sitotoksis
sel, namun telah dihancurkan oleh sel natural killer yang diaktivasi oleh sitokin
seperti interleukin-2 yang menjadi limphokine-activated killer cell. Interaksi antara
makrofag dan sel natural killer juga berperan pada kegagalan kehamilan melalui
pelepasan γ-interferon dan tumor nekrosis-α.8
Pengaruh natural killer sel ditentukan dengan faktor lokal dan sistemik. Pada
uterus wanita yang mengalami abortus, ditemukan natural killer sel dengan
konsentrasi yang tinggi. Diduga aktivitas sitotoksik ini terjadi pada sisi implantasi.8
A. Mekanisme supresi alloimune
Beberapa mekanisme yang berhubungan dengan keberhasilan kehamilan.
1. Immunologic effect of progesteron
Kehamilan terjadi pada aktivasi progesteron reseptor pada permukaan sel T
CD8+. Progesteron menstimulasi sel T untuk mensekresi faktor 34-kDa yang
menekan aktifitas sitolitik dari sel natural killer. Sehingga bila terdapat defisiensi
progesteron maka supresi aktivitas sitolitik sel natural killer menjadi inadekuat,
sehingga terjadi kegagalan kehamilan.8
2. Immunotrophism
Immunotrophism adalah proses dimana sel T diaktifasi oleh trophoblast
plasenta untuk memproduksi sitokin yang merangsang pertumbuhan trophoblast.
30
Dengan cara ini terbentuk barier plasenta yang kuat untuk pertahanan terhadap lisis
oleh sel imun ibu.8
3. Sel T helper
Sel Th 1 menghasilkan aktivasi sel T untuk memproduksi sitokin abortogenik
seperti interleukin-1 dan γ-interferon. Sedangkan sel Th2 memproduksi interleukin-
3,-4, dan -10 yang membentuk formasi antibodi yang dapat menahan inflamasi dan
aktivasi sel natural killer. Pada kehamilan yang normal terdapat pergeseran pada Th2
dimana aktivitas abortogenik terhambat. Trophoblast dan plasenta wanita dengan
abortus berulang merangsang aktivitas sitokin Th1.8
4. Sel natural supresor
Pada desidua, kumpulan sel limfosit kecil dapat merangsang trophoblast untuk
menghasilkan faktor imunosupresor. Defisiensi sel supresor ini yang menyebabkan
terjadinya abortus.8
B. Penanganan
1. Intravenous Immune globulin (IVIg)
IVIg yang diberikan melalui infus menyebabkan supresi sel nuklear
setelah 7 hari pemberian terapi.8
2. Imunoterapi
Wanita yang mengalami abortus berulang yang tidak diketahui
penyebabnya, lebih banyak yang berhasil hamil bila diberikan imunoterapi
dengan monocyte allogenic dan IVIg dibandingkan yang tidak diberikan.8
2.2.3.5.FAKTOR INFEKSI
Faktor infeksi dapat menyebabkan abortus masih banyak kontroversial.
Infeksi traktus reproduksi oleh karena bakteri, virus, zooonotik dan jamur banyak
dibicarakan tetapi mikoplasma, ureaplasma chlamydia dan β-streptokokus banyak
31
dilaporkan cukup patogen untuk menyebabkan terjadinya kelainan pada vagina yang
dapat menyebabkan reaksi imunologi dan mudah terhadinya abortus. Pada
pengamatan lebih lanjut faktor ini dapat menganggu pertumbuhan janin, ketuban
pecah dini dan mengakibatkan terjadinya partus prematurus.3
A. Diagnosis
Untuk diagnosis pasti dilakukan kultur endometrium untuk mikroorganisme
yang sering menyebabkan abortus berulang.
B. Penanganan
Terapi antibiotik adalah pilihan utama untuk mengatasi terjadinya abortus
berulang akibat infeksi namun pengobatannya terutama tergantung etiologi infeksi.
Biasanya antibiotik diberikan untuk kedua pasangan.
2.2.3.6. FAKTOR-FAKTOR LAIN
Faktor-faktor lain yang dapat dikaitkan dengan abortus spontan berulang ialah
faktor lingkungan yang terkena keracunan logam berat dan terkontaminasinya
makanan dengan bahan pengawet dalam jangka panjang. Obat-obatan yang sering
disebut ialah golongan anti progestogen, antineoplastik, obat-obat anestesia inhalasi,
nikotin dan etanol, radiasi ion dan penyakit kronik dapat menyebabkan gangguan
peredaran darah uterus, Thrombositosis dengan trombosit >1 juta juga dapat
menyebabkan abortus spontan. Minum kopi bila jumlahnnya banyak melebihi 300
gran perhari dapat dihubungkan dengan kejadian abortus spontan. Kalauupun
bertahan hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Hubungan seksual
tidak disebutkan berkaitan dengan abortus tetapi sering dihubungkan dengan
terjadinya partus prematurus yang tentunya angka kematiannya dapat meningkat.3
32
2.2.4. MANAJEMEN KELOLA ABORTUS HABITUALIS
Bila kita menghadapi seorang ibu dengan riwayat abortus berulang maka kita
harus mempelajari kasus ini dengan baik dengan melakukan pendataan tentang
riwayat suami istri dan pemeriksaan fisik ibu baik secara anatomis maupun
laboratorik. Perhatikan apakah abortus terjadi pada trimester pertama atau trimester
ke dua.
Bila terjadi pada trimester pertama maka banyak faktor yang harus dicari
sesuai kemungkinan etiologi atau mekanisme terjadinya abortus berulang.
Bila tejadi pada trimester kedua maka faktor-faktor penyebab lebih cenderung
pada faktor anatomis terjadinya inkompetensi serviks dan adanya myoma uteri serta
infeksi yang berat pada uterus atau serviks. Langkah-langkah yang dapat kita ikuti
untuk mencari faktor-faktor yang potensial yang menyebabkan terjadinya abortus
spontan yang berulang ialah sebagai berikut :
Anamnesis
1. Kapan abortus terjadi. Apakah pada trimester pertama atau pada trimester
berikutnya adakah penyebab mekanis yang menonjol.
2. Adanya riwayat kontak dengan zat kimia atau obat-obatan
3. Infeksi ginekologi dan obstetri
4. Gambaran terjadinya ”antiphospholipid syndrome" (trombosis, autoimmune
phenomena)
5. Faktor genetika antara suami istri (kosanguinitas)
6. Riwayat keluarga yang pernah mengalami terjadinya abortus berulang dan
sindroma yang berkaitan dengan kejadian abortus spontan ataupun partus
prematurus yang kemudian meninggal.
7. Pemeriksaan diagnostik yang terkait dan pengobatan yang pernah didapat.
33
Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan fisik secara umum
Pemeriksaan fisik secara umum harus dilakukan untuk mencari gejala
penyakit metabolik.
2. Pemeriksaan ginekologi
Saat pemeriksaan daerah panggul dicari tanda-tanda infeksi, bentuk
dan ukuran uterus, trauma berulang.3
Pemeriksaan laboratorium
1. Karyotipe darah tepi kedua orang tua
2. Histerosalpingografi diikuti dengan histeroskopi atau laparoskopi bila ada
indikasi
3. Biopsi endometrium pada fase luteal
4. Pemeriksaan hormone TSH dan antibody anti tiroid
5. Antibodi antiphospholipid (kardiolipin, phosphatidylserine)
6. Lupus antikoagulan (“a partial thromboplastin time or Russel Viper Venom”)
7. Pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit
8. Kultur cairan serviks (mycoplasma, ureaplasma, Chlamidia) bila diperlukan.
Pengobatan
Setelah dilakukan investigasi maksimal, bila sudah terjadi konsepsi baru pada
ibu dengan riwayat abortus berulang maka kita perlu memberikan support psikologik
untuk mendapatkan pertumbuhan embrio intra uterin yang baik. Kenali kemungkinan
terjadinya anti phospholipids sindroma atau mencegah terjadinya infeksi intra uterin.
Pemeriksaan kadar β-HCG secara periodic pada awal kehamilan dapat
membantu pemantauan kelangsungan kehamilan sampai pemeriksaan USG dapat
dikerjakan. Gold standart untuk memonitoring kehamilan dini adalah pemeriksaan
USG, dikerjakan setiap dua minggu sampai kehamilan ini tidak mengalami kegagalan
(abortus). Pada keadaan embrio tidak terdapat gerakan jantung janin maka perlu
34
segera dilakukan evakuasi serta pemeriksaan kariotip jaringan hasil konsepsi
tersebut.3
Pemeriksaan serum α-fetoprotein perlu dilakukan pada usia kehamilan 16 – 18
minggu. Pemeriksaan kariotip dari buah kehamilan dapat dilakukan dengan
melakukan amniosintesis air ketuban untuk menilai bagus atau tidaknya buah
kehamilan.3
Bila belum terjadi kehamilan pengobatan dilakukan sesuai dengan hasil
investigasi yang ada. Pengobatan disini termasuk memperbaiki kualitas sel telur atau
spermatozoa, kelainan anatomi, kelainan endokrin, infeksi dan berbagai variasi hasil
pemeriksaan reaksi imunologi. Pengobatan pada penderita yang mengidap pecandu
obat perlu dilakukan juga. Konsultasi psikologi (counseling) juga akan sangat
membantu.3
Bila kehamilan kemudian berakhir dengan kegagalan lagi maka pengobatan
secara intensif harus dikerjakan secara bertahap baik perbaikan kromosom, anomali
antomi, kelainan endokrin, infeksi, faktor imunologi, anti phospholipid sindroma,
terapi imunoglobulin atau imunomodulator perlu diberikan secara berurutan. Hal ini
merupakan suatu pekerjaan besar dan memerlukan pengamatan yang memadai untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
35
Gambar 13. Skema pengelolaan abortus habitualis
(Sumber : http :// www.fertilitynetwork comarticles-miscarriage.htm)
First Trimester Second Trimester
X-ray uterus & tubes chromosome analysis Lupus Anticoagulant
(antibodies)Anticardiolipins
(antibodies)Evaluate lupus phaseDate follicle rupture
Positive Antibodies
Progesterone
Uterine Anomaly
Septum
Septoplasty
Abnormal X-ray
Abnormal Luteal Phase
Bicornuate
Unification Surgery(Metroplasty)
AbnormalKromosom
Donor egg/sperm
Scarring
Hysteroscopy
DelayedOvulation
OvulationInduction
X-ray uterus & tubes
Fibroids
Myomectomy
Incompetent Cerviks Fibroids
Cerclage Myomectomy
Detailed History and Physical
36
Heparin & Aspirin
Prognosis
Keberhasilan untuk terjadinya kehamilan normal setelah mengalami sbortus
berulang tergantung etiologi yang menyebabkan abortus. Berdasarkan survey
epidemiologi, kesempatan untuk terjadi abortus kembali setelah abortus pertama
adalah 22 %, 38 % setelah abortus kedua dan 73 % setelah tiga kali abortus.8
Prognosis untuk hamil kembali karena abnormalitas sitogenik adalah 20
sampai 80%. Wanita yang telah menjalani operasi untuk mengoreksi kelainan
anatomi uterus prognosisnya 60 sampai 90 % kasus dan lebih dari 90% wanita
berhasil hamil setelah mendapat terapi pada wanita dengan kelainan endoktrin.
Antara 70 sampai 90 % wanita yang menerima terapi untuk antiphospholipid antibodi
dapat hamil normal.
37
BAB III
KESIMPULAN
Abortus adalah komplikasi utama pada kehamilan. Abortus habitualis
merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus. Saat ini sudah ada
penanganan yang tepat dan aman untuk mengatasi abortus berulang. Sejak wanita
didiagnosis abortus habitualis maka wanita ini harus melakukan beberapa
pemeriksaan untuk mencegah terjadinya abortus kembali dan melahirkan janin yang
viabel. Pemeriksaan yang dilakukan termasuk genetik, anatomi, endokrinologi dan
faktor imunologi. Penanganannya tergantung etiologi masing-masing. Adanya
pemeriksaan ultrasonografi dapat membantu peninjauan janin dalam uterus.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Carolyn Coulam. Reccurent Spontaneous Abortion. In : Quilligan, Zuspan.
Current therapy In Obstetrics and Gynecology. 5th edition. New York : W.B.
Saunders, 2000; 349 – 354
2. Scott james. Early Prregnancy Loss. In : Danforth’s Obstetrics and
Gynecology. 8th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2000;
10 : 143 - 153
3. Bantuk Hadijanto Abortus spontan Berulang. Dalam : Ilmu kedokteran
fetomaternal, edisi perdana. Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2004; 326 - 334
4. Sofie R.Krisnadi. Kelainan Lama Kehamilan. Dalam : Obstetri Patologi Ilmu
Kesehatan Reproduksi, edisi 2. Jakarta : EGC, 2005; 1-9
5. Michael J. Bennet. Abortus . Dalam : Esensial obstetri dan Ginekologi, edisi
2. Jakarta : Hipokrates, 2001; 452 - 462
6. Garmel S. Early Pregnancy Risks. In : Current Obstetrics & Gynecologic
Diagnosis & Treatment. 9th edition. Boston : Mc Ggraw Hill, 2003; 14 : 276 –
278
7. Hill JA. Reccurent Spontaneous Early Pregnancy Loss. In : Jonathan Novak’s
Gynecology, 13th editin. Baltimore : Williams & Wilkins, 2002; 28 : 963 -
973
8. Daya salim. Habitual abortion. In : Copeland, Jarrel. Textbook of
Gynecology. 2nd edition. Philadelphia : W.B. Saunders company, 2000; 9 :
227 - 265
9. F.Gary Cunningham. Abortion. In : Williams Obstetrics, 22nd edition. United
States of America : Mc-Graw-Hill Companies, 2005; 231-241
10. Maternal and Fetal Medicine. In : Sciarra JJ Gynecology and Obstetrics. Vol
3. Revised edition. Philadelphia : Lippincott-Raven Publishers, 1995;69 : 10 -
23
39
11. Stirrat, wardle. Reccurent miscarriage. In : James D, Steer P, Weiner C, et al.
High Risk Pregnancy Management Options. Second edition. North
Yorkshire : W.B. Saunders, 2001; 7 : 91 – 107
12. Llewellyn, jones. Abortion. In : Findamentals of Obstetrics and Gynecology.
7th edition. London : Mosby, 2001 ; 12 : 105 - 112
13. www.emedicine.com/radio/topic738.htm
14. Rustam Mochtar. Sinopsis Obstetri. Edisi 2. Jakarta : EGC, 1998; 34 : 209 -
217
40
41