anesthesia regional
Post on 26-Jan-2016
240 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi
- Lapisan jaringan punggung
Lapisan jaringan punggung terdiri dari beberapa lapisan ligament. Dari kulit sampai ke
ruang subarachnoid ;
Kulit subkutis ligamentum supraspinosum ligamentum interspinosum
ligamentum flavum ruang epidural duramater ruang subarachnoid
- Medulla spinalis dikelilingi liquor serebrospinal dan berada dalam kanalis spinalis.
Berakhir pada L1 pada dewasa, L2 pada anak, dan L3 pada bayi
- Perdarahan medulla spinalis oleh arteri spinalis anterior dan posteri
Gambar 1. Anatomi lapisan jaringan punggung
2.2 Definisi
Anesthesia regional adalah penggunaan obat analgetika lokal untun menghambat
hantaran saraf sensorik sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh dapat diblok untuk
2
sementara atau bersifat reversible. Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya,
dan penderita tetap sadar. (3)
2.3 Klasifikasi
Menurut teknik, anesthesia regional dibagi menjadi beberapa macam ;
1. Infiltrasi lokal
Penyuntikan obat analgetik lokal langsung diarahkan ke tempat lesi, luka maupun tempat
yang ingin dilakukan insisi
2. Blok lapangan (field block)
Infiltrasi di sekitar lapangan operasi atau sekitar lesi
3. Blok saraf (nerve block)
Penyuntikan obat analgetik lokal langsung ke saraf utama atau plexus saraf, yang
dibedakan menjadi ;
Blok sentral (blok neuroaksial), yang meliputi blok spinal, epidural dan kaudal
Blok perifer (blok saraf), yang meliputi blok pleksus brakhialis, aksiler, analgesia
regional intravena dan lain-lain.(4)
2.4 Persiapan preoperative
Persiapan perioperative dari pasien meliputi informed consent, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang dan pemberian premedikasi
a) Informed consent, penting didapati persetujuan dan pemahaman pasien akan prosedur
yang akan dilakukan karena merupakan tindakan invasif
b) Pemeriksaan fisik, yang dilakukan secara keseluruhan apakah terdapat kelainan disekitar
tempat tusukan yang dapat meninmbulkan kesulitan, kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien yang gemuk dan sulit teraba tonjolan processus spinosus.
c) Pemeriksaan penunjang, seperti kadar hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time)
dan PTT (partial thromboplastine time) untuk meminimalisasi komplikasi
3
2.5 Monitoring selama anesthesia regional
Pengawasan fungsi vital pasien (tensi, nadi,pernapasan) secara berkala ;
Nadi
(x/min)
Tekanan
darah
(mmHg)
Pernapasan
(x/min)
Balita
Pra-sekolah
Dewasa
160
120
100
80
90
100
40
30
20
Tabel 1. Monitoring tanda vital
Memperhatikan tempat-tempat yang tertekan (pressure points), harus diberi alas yang
lunak
Infus harus selalu dipasang untuk memberi obat darurat atau cairan secara cepat
2.6 Obat analgetik lokal
Struktur obat analgetik lokal dibagi menjadi 3 bagian, aromatic portion, intermediate
chain dan amine group. Aromatic portion bersifat lipofilik yang menyebabkan terjadinya difusi
antar membran saraf dan berhubungan dengan potensi obat. Intermediate chain yang
menghubungkan antara aromatic portion dan amine group berupa ester atau amide dan
digunakan untuk mengklasifikasikan obat analgetik lokal. Bagian amine group bersifat hidrofilik
Gambar 2. Struktur obat analgetika lokal
4
Obat analgetik lokal yang dipakai dalam anesthesia regional dikenal dengan 2 macam
1) Golongan ester
Obat dengan golongan ester dimetabolisme melalui proses hidrolisis, yang dependen terhadap
enzim pseudokolinesterase. Beberapa pasien memiliki defek genetik pada struktur enzim ini dan
menyulitkan proses metabolisme analgetik golongan ester. Akibatnya terjadi toksisitas obat,
disebabkan oleh kadar obat yang meningkat di sirkulasi. Proses metabolism golongan obat ini
juga menghasilkan produk sampingan berupa PABA, yang dapat menghambat kerja sulfonamide
dan berupa allergen.
2) Golongan amide
Analgetik golongan amide dimetabolisme oleh enzim mikrosomal (sitokrom P-450 3A4)
yang berada dihepar. Gangguan pada hepar dan penurunan aliran darah ke hepar dapat
mengganggun proses metabolisme dan menyebabkan tingginya kadar obat disirkulasi, dan
menimbulkan toksisitas secara tidak langsung. Obat-obatan lain yang dapat menghambat kerja
enzim sitokrom P450 3A4 antara lain itraconazol, ketoconazol, erithromisin, claritromisin,
siklosporin, amprenavir, indinavir, nelfinavir, ritonavir (HIV protease inhibitors), diltiazem,
mibefradil (calcium channel blockers), and nefazodone
Gambar 3. Analgetik lokal golongan ester dan amide
5
Beberapa hal yang perlu dilihat dalam absorpsi analgetik lokal ;
Absorpsi melewati mukosa, namun tidak dapat melewati kulit yang utuh, untuk
itu diperlukan suntukan ke jaringan subkutis
Obat vasokonstriktor yang ditambahkan dapat memperlambat absorbsi sistemik
dan memperpanjang masa kerja sera mempertinggi dosis maksimum. Penggunaan
vasokonstriktor hanya pada daerah tanpa end artery, umumnya menggunakan
adrenalin 1:200.000
Kecepatan detoksifikasi bergantung pada enzim darah ataupun hati
2.6.1 Komplikasi
Komplikasi obat analgetik lokal dibagi menjad lokal dan sistemik ;
a) Komplikasi lokal
Terjadi komplikasi lokal berupa rasa tidak nyama, nyeri, ekimosis, hematoma,
laserasi saraf. Rasa tidak nyaman dapat dipengaruhi oleh beberapa factor seperti
penusukan jarum, iritasi jaringan karena obat, dan distensi jaringan akibat
infiltrasi obat. Iritasi jaringan yang disebabkan oleh analgetik berhubungan
dengan asiditas obat yang menyebabkan rasa nyeri. Penambahan epinefrin dapat
menurunkan ph dan meningkatkan asiditas (pH 3.5-4.50). Untuk meminimalisir
dapat diberikan sodium bikarbonat untuk mencapat ph jaringan (7.3-7.4). Selain
itu rasa tidak nyaman oleh karena distensi jaringan akibat infiltrasi dipengaruhi
oleh kecepatan injeksi dan volumenya. Untuk meminimalisir nyeri, infiltrasi
diakukan perlahan. Pembentukan ekimosis disebabkan oleh perforasi dari
pembuluh darah kulit, terutama pada bagian dengan vasularitas tinggi (membrane
mukosa, genitalia, kepala). Hal ini lebih hebat pada pasien dengan gangguan
pembekuan darah ataupun pasien yang mengkonsumsi pengencer darah
(anticoagulants). Hematoma memerlukan drainase dengan jarum 18 G, diikutin
dengan balutan tekan.(5)
Infeksi akibat kelalaian tindakan asepis dan antisepsis.
Laserasi saraf, biasanya terjadi pada saat infiltrasi obat dan lebih sering pada blok
regional. Tanda klinis berupa paresthesia, sensasi tajam, dan nyeri berlebih saat
6
insersi jarum. Jika terjadi gejala klinis tersebut, jarum harus ditarik perlahan 1-2
mm sampai gejala hilang atau mereda.jarum tidak boleh di pindahkan kea rah
lateral ataupun dimasukan ke foramen. Maneuver tersebut dapat meningkatkan
resiko laserasi.
Iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor pada daerah
dengan end artery.
b) Komplikasi sistemik
Toksisitas analgetik lokal, dapat disebabkan oleh pemberian dosis berlebih,
gangguan metabolisme obat, dan pemberian vasokostriktor (epinefrin) yang dapat
menurunkan absorpsi sistemik analgetik.toksisitas sistemik menyebabkan
tingginya kadar analgetik di sirkulasi dan dapat menyebabkan komplikasi system
saraf pusat dan kardiovaskular. Tanda toksisitas meliputi, tinnitus, rasa melayang,
baal, diplopia, metallic taste di lidah, mual, muntah,bicara
kacau,tremor,nystagmus,halusinasi,depresi napas. Jika timbul tanda toksisitas
maka hal utama adalah mencegah hipoksia dan asidosis, kaarena hal ini dapat
meningkatkan efek toksisitas lebih lanjut. Kadar karbondioksida yang tinggi
didarah dapat menyebabkan protein pengangkut analgetik menurun dan
menyebabkan kadar obat disirkulasi meningkat.
Penanggulangan reaksi toksik :
o Menjamin oksigenasi adekuat dan pernapasan buatan dengan oksigen
o Tremor atau kejang diatas dengan dosis kecil “short acting barbiturate”
(diazepam (valium) 5-10 mg intravena)
o Depresi sirkulasi dengan pemberian vasopressor secara bolis dilanjutkan
dengan drip dalam infus (efedrin 2.5 - 10 mg intravena)
2.7 Analgesia spinal
Analgesia spinal (anesthesia lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan apabila dilakukan
penyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnid di antara vertebra L2-L3, L3-L4 atau L4-
L5. Dengan indikasi, pembedahan bagian tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah, yaitu ekstremits
bawah, panggul, sekiar rectum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, abdomen bawah,
7
bedah abdomen atas dan bedah pediatric yang dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan.
Didapati kontraindikasi analgesia spinal sebagai berikut ;
Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relative
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hypovolemia berat, syok
Koagulopati atau mendapat terapi
antikoagulan
Tekanan intracranial tinggi
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman/tanpa didampingi
konsultan anesthesia
Infeksi sistemk (sepsis, bacteremia)
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hypovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
Tabel 2. Kontraindikasi analgesia spinal
2.7.1 Teknik analgesia spinal
1) Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi decubitus lateral. Beri bantal kepala dan
buat pasien membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah diraba. Posisi
alternative lain adalah duduk.
2) Cari perpotongan garis krista iliaka dengan tulang punggung L4-L5. Tentukan tempat
tusukan, L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Tusukan diatas L1-L2 beresiko trauma medulla
spinalis.
3) Sterilkan tempat tuukan dengan betadine atau alcohol
4) Beri anestetik lokal pada tempat tusukan
5) Menyuntikkan jarum lumbal nomor 22 (atau lebih halus, 23,25, atau 26. Jika lebih kecil
27,29 gunakan introducer atau jarum suntik biasa semprit 10 cc) di bidan median atau
paramedian dengan arah 10-30 derajat bidang horizontal kearah kranial. Jarum lumbal
akan menembus beberapa ligament, yang terakhir adalah duramater-subarachnoid.
Setelah stilet dicabut cairan liquor serebrospinal akan keluar. Selanjutnya suntikkan obat
analgetik lokal perlahan (0.5 ml/detik) diselingi sedikit aspirasi, untuk memastikan posisi
jarum tetap baik.
8
6) Jika liquor serebrospinal tidak keluar namun diyakini posisi benar, putar arah jarum 90
derajat
7) Analgesia kontinyu dapat di pasang kateter
8) Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal (bedah hemorrhoid) dengan
anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ±6cm.
2.7.2 Anestetik lokal untuk analgesia spinal
Berat jenis liquor serebrospinal adalah 1.003-1.008. jika berat jenis anestetik lokal lebih besar
dari berat jenis liquor serebrospinal disebut hiperbarik, sama disebut isobaric dan lebih rendah disebut
hipobarik.. Yang sering dipakai ialah hiperbarik dengan campuran dekstrosa
Anestetik lokal Berat
Jenis
Sifat Dosis Dosis
max.
Durasi
(jam)
Lidocaine (Xylocaine,
Lignocaine)
2% plain
5% dexstrose
7.5%
1.006
1.033
Isobarik
Hiperbarik
20-100 mg (2-5ml)
20-50 mg (1-2ml) 150 mg 1 ½
Bupivacaine
(Marcaine)
0.5% dalam
aqua
0.5% dalam
dextrose 8.25%
1.005
1.027
Isobaric
Hiperbarik
5-20 mg (1-4ml)
5-15 mg (1-3 ml) 20 mg 2 - 3
Tabel 3. Obat analgesik lokal untuk analgesia spinal
9
2.7.3 Komplikasi analgesia spinal
1) Komplikasi dini
Gangguan sirkulasi
Efek vasodilatasi akibat blok saraf simpatis menyebabkan hipotensi.
Semakin tinggi blok, semakin berat hipotensi yang terjadi. Hal ini dapat dicegah
dengan pemberian cairan yang adekuat. Cairan kristalloid (NaCl, ringer laktatk
dsb) secara cepat sebanyak 10-15 ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah
penyuntikan analgesia spinal. Bila dengan cairan masih didapati hipotensi, dapat
diberikan vasopressor (ephedrine) secara intravena sebanyak 10 mg yang dapat
diulang 3-4 menit sampai tercapai tekanan darah yang dikehendaki (sebaiknya
penurunan tidak lebih dari 10-15 mmHg dari tekanan darah awal).
Bradikardia dapat terjadi bila aliran balik vena berkurang ataupun karena
blockade simpatis T1-T4. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian sulfas atropine
1/8-1/4 mg intravena. (0.02-0.03 mg/kgBB i.v)
Komplikasi respirasi
o Apnea dapat disebabkan oleh blok spinal yang terlalu tinggi atau hipotensi
berat dan iskemia medulla. Tanda tanda pernapasan inadekuat ; kesulitan
bicara, batuk kering yang persisten dan sesak napas harus segera ditangani
dengan oksigen dan napas buatan.
Komplikasi gastrointestinal
o Nausea dan muntah dikarenakan hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebih, pemakaian obat narkotik
Post Lumbal Puncture Headache
PLPH disebabkan karena adanya kebocoran liquor serebrospinal saat insersi
jarum analgesia spinal. Gejala nyeri kepala dengan ciri khas (6) ;
o Terasa berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak atau duduk
dan berkurang dengan berbaring
o Mulai terasa 24-48 jam setelah pungsi lumbal
o Biasanya terjadi pada wanita muda
10
o Gejala lain sepert ; kekakuan leher, nausea, muntah, hilang pendengaran,
tinnitus, vertigo, paresthesia dan gangguan visual.
Dengan menggunakan jarum yang lebih halus (nomor 23 atau 25), posisi
jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater dan hidrasi yang adekuat
minimum atau infus 3 L sehari selama 3 hari dapat mencegah PLPH. PLPH dapat
diatasi dengan memposisikan pasien untuk berbaring terlentang minimal 24 jam,
berikat hidrasi yang adekuat dan hindari mengejan untuk menghindari tekanan
intracranial yang meningkat. Apabila tidak berkurang dengan cara-cara tersebut
dapat dilakukan epidural blood patch, yaitu menyuntikkan darah pasien 5-10 ml
ke dalam ruang epidural
Retention urinae
Blok spinal mengganggu fungsi reflex autonomic, yang menyebabkan retensi
urin, umumnya hanya berlangsung selama 24 jam
2.8 Analgesia epidural
Analgesia epidural adalah blokade saraf dengan menempatkan obat diruang epidural yang
berada di antara ligamentum flavum dan duramater. Obat anestetik diruang epidural bekerja
langsung terhadap akar saraf spinal (lateral). Namun onset anestesia epidural lebih lambat
dibandingkan dengan anestesia spinal dan kualitas blokade sensorik-motorik didapati lebih
lemah. Indikasi anesthesia epidural, yaitu ;
Pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah
Tatalaksana nyeri saat persalinan
Penurunan tekanan darah saat pembedahan agar meminimalisir perdarahan
Tambahan anestesia umum ringan karena penyakit tertentu
2.8.1 Teknik analgesia epidural
1) Posisi pasien sama seperti analgesia spinal
2) Tusukan pada ketinggia L3-L4 dengan jarak ruang epidural yang terlebar
3) a. Teknik hilangnya resistensi :
11
Menggunakan semprit yang diisi udara atau NaCl ±3 ml. setelah pemberian anestetik
lokal, jarum epidural di tusuk sedalam 1-2 cm.lalu semprit didorong perlahan secara
terputus-putus (intermitten) sambal mendorong jarum sampai terasa sensasi menembus
jaringan keras (ligamentum flavum) disusul dengan hilangnya resistensi.
b. Teknik tetes tergantung (hanging drop)
Sama seperti teknik hilangnya resistensi, namu saat spuit berisi NaCl disuntikkan sampai
terlihat adanya tetes NaCl yang menggantung, dengan mendorong jarum epidural
perlahan sampai terdapat sensasi menembus jaringan keras yang disusul oleh tersedotnya
tetes NaCl keruang epidural
4) Uji dosis
Dilakukan setelah jarum diyakini masuk keruang epidural, dengan memasukan anestetik
lokal 3ml yang sudah dicampur dengan adrenalin 1:200.0000
- Tidak ada efek setelah beberapa menit ( kemungkinan besar letak jarum
benar)
- Terjadi blokade spinal ( obat masuk ke ruang subarachnoid / terlalu dalam)
- Peningkatan laju nadi 20-30% (obat masuk vena epidural)
5) Penyuntikkan, dilakukan setelah jarum berada di ruang epidural,secara bertahap 3-5
menit sebanyak 3-5 ml sampai dosis total untuk menghindari peningkatan tekanan
intracranial, nyeri kepala dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.
6) Uji keberhasilan, dilakukan dengan skala bromage untuk blok motoric, dan uji tusuk jarum untuk
blok sensorik
Melipat lutut Melipat jari
Blok tidak ada
Blok parsial
Blok hamper lengkap
Blok lengkap
++
+
-
-
++
++
+
-
Tabel 4. Skala Bromage
12
Obat Konsentrasi Durasi (jam) Dosis max.
Procaine
Lidocaine
Mepivacaine
Tetracaine
Bupivacaine
Etidocaine
1-2%
1-2%
1-2%
0.1-0.25 %
0.5-0.75%
0.5-1%
1
1 ½
1-2
2-3
3 ½ - 5
4-6
1.000 mg
500 mg
500 mg
75 mg
22 mg
300 mg
Tabel 5. Dosis anestetik epidural (single dose) (7)
2.9 Analgesia kaudal
Analgesia kaudal yaitu memasukkan obat keruang kaudal melalui hiatus sakralis, yang
adalah perpanjangan dari ruang epidural. Dindikasikan untuk pembedahan sekitar perineum,
anorectal (hemorrhoid, fistula perianal)
2.9.1 Teknik Analgesia Kaudal
1) Posisi pasien dhiatus sakralisapat telungkup dengan simfisis diganjal (tungkai dn
kepala lebih rendah dari bokong) atau lateral decubitus
2) Jarum kaudal dapat menggunakan venocath atau abbocath 22 G untuk pasien dewasa
3) Pada dewasa biasanya digunakan volum 12-15 ml (1-2ml/segmen)
4) Identifikasi hiatus sakralis, mencari kornu sakralis kanan dan kiri dan spina iliaka
superior posterior. Perpotongan antara ketiganya disebut hiatus sakralis
5) Setelah sepsis antisepsis pada hiatus sakralis, jarum ditusukkan 90 derajat terhadap
kulit. Setelah masuk kanalis sakralis, diubah menjadi 45-60 derajat dan jarum
didorong 1-2 cm. Setelah itu disuntikkan 5ml NaCl agak cepat sambal meraba kulit
untuk menguji apakah cairan masuk dengan benari di kanalis kaudalis.
13
Gambar 4. Hiatus sakralis dan posisi jarum pada analgesia kaudalungkai
2.10 Analgesia regional intravena
Analgesia regional intravena (Bier Block) dikerjakan untuk bedah dengan durasi singkat
(±45 menit) pada lengan atau tungkai dewasa.
1) Pemasangan venocath pada kedua dorsum pedis. Sisi yang di bedah untuk
memasukkan obat anestetik lokal, sisi yang berlawanan untuk cairan
2) Eksanguinasi, atau pengurangan darah. Dilakukan dengan menaikkan lengan dan
memeras lengan secara manual atau dengan perban elastik ( Eshmark bandage) dari
distal ke proksimal.
3) Pemasangan manset ganda pada lengan atas (proksimal dan distal) dan manset
proksimal dikembangan sampai dengan 100 mmHg diatas tekanan sistolik terlebih
dahulu (mencegah darah masuk ke lengan). Perban elastik dilepaskan
4) Suntikkan lidokain atau prilokain 0.5% 0.6 ml/kgBB melalui kateter dorsum manus
atau di dorsum pedis dengan dosis 1-1.2 ml/kgBB. Analgesia dapat tercapai 5-15
menit setelah suntikan.
5) Setelah 20-30 menit bila pasien merasa tidak nyaman, tekanan manset dapat
diturunkan (kembangkan manet distal dan kempiskan manset proksimal)
6) Setelah pembedahan selesai, deflasi manset dilakukan bertahap (buka tutup selang
beberapa menit)
14
2.11 Adjuvan pada anesthesia regional
a) Opioid
Terdapat efek sinergis antara opioid spinal dan anestetik lokal. Kedua agen ini
dikombinasikan karena memiliki cara kerja analgesic yang berbeda dan kemampuan dalam
blockade nyeri pada 2 tempat yang berbeda. Opioid menyebabkan analgesia dengan berikatan
secara spesifik dan mengaktivasi reseptor opiat di substansia gelationosa korda spinalis..
Sementara anestetik lokal menyebabkan analgesia dengan cara blockade transmisi impuls pada
akar saraf dan ganglia basalis. Opioid yang bersifat lipofilik absorbsinya bersifat bifasik. Porsi
inisial akan terdistribusi secara cepat kedalam sirkulasi darah dan mencapai bagian supraspinal,
sementara sisanya akan terdistribusi ke jaringan lemak di ruang epidural dan diabsorpsi kembali
ke sirkulasi darah lebih lambat, dalam beberapa jam. Disebut sinergistik karena, anestetik lokal
memberi efek analgesia pada tingkat spinal, bersamaan dengan opioid yang secara sistemik
diabsorpsi dan memberikan efek analgesia tambahan pada tingkat supraspinal. (8)
Gambar 5. Regimen opioid analgesia
b) Non-opioid adjuvant
Epinephrine, memiliki mekanisme mengurangi clearance obat dari ruang epidural dengan
efek vasokontriksi pada pembuluh darah. Penambahan vasokonstriktor menyebabkan
15
penurunan konsentrasi plasma dari anestetik lokal, efek tersebut membutuhkan dosis
anestetik lokal yang lebih tinggi. Short acting anesthetic (li adrenedocaine, procaine)
menunjukkan prolong yang baik terhadap penambahan 1:200.000 epinephrine
dibandingkan dengan long acting anesthetic (ropivacaine). Efek lain adalah
meningkatkan kecepatan onset blok regional dan kedalaman blok. Dosis epinephrine,
bolus 0.05-1 µg/kgBB i.v
Clonidine, menghambat impuls nosiseptif dengan aktivasi reseptor α2 adrenergik di
dorsal spinal cord. Selain itu clonidine juga meningkatkan efek blokade sensorik dan
motoric dari anestetik lokal, dengan menghambat konduksi serat C dan A-delta via
peningkatan sodium. Efek vasokonstriktor juga didapati, dengan menurunkan vascular
uptake dari anestetik lokal. 15 µg clonidine dengan bupivacaine saat anesthesia spinal-
epidural menghasilkan efek analgesia yang lebih lama dibandingan dengan pemberian
bupivacaine saja. Prolong ini terjadi selama 30 min dan efek analgesia setelah post
operatif selama 120 menit tanpa adverse events
16
BAB III
KESIMPULAN
Anestesi regional adalah mengeliminasi sensasi pada region tubuh. Anestesia regional
memblokade transmisi impuls pada saraf perifer maupun saraf medulla spinalis. Anestesi
regional dibagi menjadi infiltrasi lokal, blok lapangan (field block) dan blok saraf (nerve block)
yang dibagi menjadi blok sentral (blok spinal, epirdural, kaudal) dan blok perifer (blok pleksus
brakhialis, aksiler, analgesia regional intravena dengan teknis masing-masing.
Informed consent, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang penting pada persiaap
pre anestesi untuk mencegah komplikasi yang kemungkinan ada. Monitoring selama peri
anestesi juga sama pentingnya dalam menjaga stabilitasi pasien selama dalam efek analagesia.
Obat-obatan analgetika lokal dapat berupa golongan ester atau amida, penggunaan obat-obatan
ini dapat murni atau dengan adjuvant yang bersifat enchancer.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Alindas F. Regional Anesthesia [Internet]. 2015 [cited 2015 Sept 20]. Available
from :
194.27.141.99/dosya-depoders-notari/fatis-altindas/Regional_Anestheia.pdf
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2nd Ed.
Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2001.
3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2nd Ed.
Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2010.
4. Gymrek R, Elston DM. Local and Regional Anesthesia [Internet]. 2015 [Updated
2015 Jul 7; Cited 2015 Sept 20]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1831870-overview#a6.
5. Christiansson L. Update on adjuvants in regional anesthesia. Periodicum
Biologorum. 2009 March 3; 3(2): 161-170.
6. Boom CE, Sudaryadi, Bisri T. Kaidah, Rumus, Dosis Obat dan Skoring dalam
Anestesiologi. 1st Ed. Bandung: Bagian/SMF Anestesiologi & Perawatan Intensif
Fakultas Kedokteran Univeristas Padjajaan/ RSUP dr. Hasan Sadikin.;1997.
7. Picard J, Meek T. Complications of regional anesthesia. Journal of The
Association of Anesthetist of Great Britain and Ireland. 2010; 65(1): 105-115
18
top related