bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i.pdftentang perubahan peraturan daerah nomor 3 tahun...
Post on 07-Jul-2019
232 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Majelis Desa Pakraman (MDP) terbentuk pada tahun 2004 sebagai
pelaksanaan amanat Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa
Pakraman sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003
Tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa
Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu alasan
dibentuknya MDP adalah untuk dapat menyelesaikan kasus-kasus adat yang
terjadi dan sebagai wadah tunggal Desa Pakraman di Bali yang diharapkan dapat
membantu menyelesaikan kasus-kasus adat di Bali.
Sebelum adanya MDP, Desa Pakraman telah memiliki sejarah yang sangat
tua. Keberadaan Desa Pakraman sudah disebutkan pada beberapa prasasti Bali
Kuno seperti Prasasti Buahan (saka 947) di bawah Raja Sri Dharmawangsa
Wardhana, Prasasti Bebetin (saka 896), Prasasti Sembiran bertahun Saka 987.1
Pada jaman kerajaan (sebelum 1908), Raja menjadi satu-satunya institusi di luar
Desa Pakraman yang mengatur tatanan kehidupan Desa Pakraman. Raja dapat
berbuat apa saja terhadap Desa Pakraman yang ada di wilayah kekuasaannya
termasuk menjual rakyatnya sebagai budak dan menghibahkan beberapa desa
1 I Gusti Ngurah Oka, 1999, Dasar Historie dan Filosofis serta Tantangan Kedepan
Keberadaan Desa Adat di Bali. MPLA Provinsi Bali, Denpasar, hal. 2.
2
berikut penduduk kepada seseorang.2 Kemudian, setelah masuknya pemerintahan
Kolonial Belanda, diadakanlah desa administrasi yang baru, yang diformat sesuai
dengan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan desa lama yang
tradisional tetap dibiarkan dengan tatanan aslinya.
Untuk memberikan pembedaan yang tegas, maka desa3 yang berbeda fungsi
dan tugasnya tersebut diberi nama masing-masing desa adat (yang sekarang
dikenal dengan Desa Pakraman) dan desa dinas atau desa administratif. Desa baru
bentukan pemerintah kolonial Belanda inilah yang sampai sekarang dikenal
dengan sebutan “desa dinas”.4
Permasalahan-permasalahan adat yang muncul di Desa Pakraman
diselesaikan oleh perangkat pimpinan (prajuru) Desa Pakraman, melalui
mekanisme internal, sesuai situasi dan kondisi objektif Desa Pakraman setempat,
berdasarkan asas desa mawacara atau Desa Dresta. Desa mawacara atau Desa
Dresta artinya bahwa tiap-tiap Desa Pakraman di Bali mempunyai adat kebiasaan
atau awig-awig dan Pararem sendiri untuk mengatur kehidupan di desanya, sesuai
dengan situasi dan kondisi objektif masing-masing Desa Pakraman.
Desa Pakraman memiliki hak otonom yang kuat. Berdasarkan Perda Desa
Pakraman, Desa Pakraman merupakan satu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
(KMHA) di Bali yang memiliki hak-hak tradisional. Secara kontitusional, hak-hak
2 Wayan P. Windia, 2010, Peran Stategis MDP Bali Dalam Menjawab Tantangan
Bali Masa Depan, Makalah disajikan dalam upacara pembukaan Pasamuhan Agung III
MDP Bali, yang dilaksanakan pada hari Jumat, 15 Oktober 2010, bertempat di
Wiswasabha, kantor gubernur Bali , hal. 2.
3 Kata desa itu sendiri berasal dari bahasa sanskerta yang bermakna tempat atau
petunjuk (I Gusti Ngurah Ok, loc.cit)
4 Wayan P. Windia, loc.cit
3
tradisional Desa Pakraman sebagai satu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di
Bali diakui dan dihormati oleh Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 B
ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Salah satu hak tradisional
Desa Pakraman adalah membuat awig-awig, di samping menyelenggarakan
pemerintahan sendiri, serta menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang
terjadi di wilayahnya, baik yang berupa sengketa ataupun pelanggaran adat.5
Awig-awig Desa Pakraman ini mempunyai kekuatan berlaku menurut hukum
karena awig-awig itu ada dan dipentingkan oleh masyarakat yang bersangkutan
terutama dari segi faedahnya yaitu dirasakan dapat memberikan ketentraman dan
keadilan (gezag Authority) bukan berdasarkan Macht Power (diturunkan ke bawah
oleh penguasa sebagai hal yang dipaksakan).6
Dalam perkembangannya kemudian Desa Pakraman memiliki beberapa
masalah yang tidak semua dapat diselesaikan secara internal Desa Pakraman.
Permasalahan adat dan agama Hindu yang tidak berhasil diselesaikan oleh prajuru
Desa Pakraman, akan dimintakan penyelesaian (katunasang pematut) kepada
pihak berwenang (sang rumawos). Pada jaman kerajaan yang dimaksud sang
rumawos adalah raja, pada jaman penjajahan belanda adalah Penguasa Belanda,
dan pada jaman kemerdekaan adalah Pemerintah Republik Indonesia. Desa
Pakraman tugasnya melaksanakan (ngamargiang) apa yang telah diputuskan,
terlepas apakah keputusan yang diberikan mencerminkan rasa keadilan
5 I Ketut Wirta Griadhi, 1994. Karakteristik dari Otonomi Desa Adat Suatu Kajian Teoritis,
Makalah dalam Seminar Desa Adat dalam Pembangunan Daerah Bali. Lustrum VI dan HUT XXX
Fak Hukum Unud, hal. 10-12.
6 I Ketut Artadi, 2009. Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya. Penerbit Pustaka Bali
Post Denpasar, hal. 80.
4
masyarakat ataukah tidak.7 Untuk itulah diperlukan suatu keputusan MUDP untuk
menyelesaikan perkara adat tersebut. Permasalahan berupa perkara adat tidak
cukup apabila dihadapi satu Desa Pakraman dengan semangat desa mawacara,
melainkan harus dihadapi dengan cara dan semangat yang kebersamaan oleh
seluruh Desa Pakraman di Bali (Bali mawacara).8
Wujud nyata kebersamaan tersebut mulai tampak setelah terbentuknya
Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali pada tahun 2004 sebagai amanat dalam
Perda Desa Pakraman, sebagai satu-satunya organisasi tempat berhimpunnya
Desa Pakraman yang ada di Bali yang didasari adanya kekuatan yang dimiliki
oleh Desa Pakraman berupa sudah adanya jaringan kerjasama antar Desa
Pakraman yang terwadahi dalam satu organisasi yakni MDP Bali.
Berdasarkan Pasal 14 Perda Desa Pakraman, Majelis Desa Pakraman (MDP)
yeng berkedudukan di ibu kota propinsi disebut Majelis Utama Desa Pakraman
(MUDP) yang merupakan MDP yang memiliki tingkat tertinggi diatas Majelis
Madya Desa Pakraman (MMDP) yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota,
dan Majelis Alit Desa Pakraman (MADP), berkedudukan di ibu kota kecamatan.
Tugas dan wewenang MDP diatur dalam Pasal 16 dan Ayat (1) Ayat (2)
Perda Desa Pakraman. Khusus untuk masalah penyelesaian kasus-kasus adat
Kewenangan MUDP terdapat dalam Pasal 16 Ayat (2) Angka (2) yang
menegaskan bahwa MDP Bali mempunyai wewenang “Sebagai penengah dalam
kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan pada tingkat desa”.
7 Ibid
8 Wayan P. Windia, op.cit, hal. 8.
5
Oleh karena itu secara emplisit, kewenangan yang dimiliki oleh MDP, yang
salah satunya adalah memiliki kewenangan sebagai penengah dalam kasus-kasus
adat yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat desa, maka MDP dapat
mengambil peranan sebagai penengah dalam konflik yang ada. Namun ternyata
kemudian, MDP tidak hanya menjadi penengah saja, tetapi juga sebagai pemutus
dalam perkara adat. Perkara adat yang bukan termasuk dalam perkara perdata
maupun pidana, namun termasuk perkara adat murni kemudian disebut dengan
Wicara, sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Majelis Utama Desa
Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Dan Petunjuk Teknis oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali.
Berdasarkan catatan yang dimiliki Wayan P. Windia, di Bali pada tahun 1999
sampai dengan 2005 telah terjadi 112 kasus konlik adat.9 Konflik antar tersebut
berkembang dari waktu ke waktu. Terdapat beberapa kasus yang terdapat di Bali
yang melibatkan Desa Pakraman, antara lain ;
Tabel 1
KASUS-KASUS YANG MELIBATKAN DESA PAKRAMAN DI BALI
NO NAMA WAKTU
KEJADIAN
POSISI KASUS JENIS
PELANGGARAN
TINDAKAN
PENEGAK
HUKUM
1 Lemukih Tahun 2010 dari sengketa tanah
adat seluas
sembilan puluh tiga
hektar, dengan
adanya aturan
landreform, dimana
kepemilikan tanah
dibatasi, tanah desa
Pembakaran rumah
Penyiksaan warga
pendukung sertifikat
Pengusiran warga
yang pro pemilik
sertifikat
Sweeping warga
Merusak fasilitas
Menangkap
pelaku
pembakaran dan
penyiksaan
9 Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat Dan Digugat , Udayana
University Press, Denpasar, hal. 30.
6
lemukih dibatasi
maksimal tiga
puluh hektar.
sisanya enam puluh
enam hektar,
dimohon oleh
penggarap tanah,
sehingga keluar
sertifikat hak milik.
hal ini tidak
diterima oleh
masyarakat adat
yang juga
mengklaim bahwa
tanah tersebut
adalah milik
mereka.
umum
2 Perebutan
kuburan di
Gianyar
setelah di desa
keramas Gianyar.
Kasus pemagaran
kuburan kembali
terjadi di Gianyar.
Kali ini, Tempek
gria Tegallinggah,
bedulu, Gianyar.
ang diduga
memanfaatkan pura
yang juga diempon
kelompok tepekan
gria Tegallinggah,
yang terkesan
diulur-ulur,
penyelesainya.
Sebelumnya,
Tempekan gria
tegallanggih, tidak
terima dengan
sikap yang
dilakukan oleh
kelompok
petandakan, buruan
dengan melakukan
pemekaran Desa
Pakraman baru
yakni Desa
Pakraman
ketandan
Pengusiran
Perusakan fasilitas
umum
Penyiksaan
Sempat
menangkap
pelaku kemudian
dilepaskan lagi.
3 Tapal
Batas
2008-2010 sengketa tapal
batas kedua desa
beberapa kali
menimbulkan
perbuatan anarkis.
Sejumlah warga
Macang
melaporkan,
Penyiksaan
Pengusiran
Perusakan fasilitas
umum
pembakaran
Tidak melakukan
tindakan apapun
terhadap
siapapun
7
rumahnya dirusak
karena dilempari
batu dan ada yang
dibakar. Balai
pesandekan pura
dan bak sumber air
juga dibakar dan
dirusak. Kebun
salak dan tanaman
lain dibabat,
buahnya ada yang
dijarah.
4 Tajen Sekarang Tajen melanggar
pasal 303 tetapi
sering kali tajen
diadakan oleh
masyarakat adat.
Perjudian Penangkapan
oknum pejudi
terus dilakukan
tetapi judi
sambung ayan
tetap marak
5 Desa Adat
Pakraman
Budaga
Vs Desa
Adat
Kemoning
Sudah ada
Keputusan
dari MUDP
Perebutan Nama
Pura Dalem Dan
Prajapati kemudian
berimbas pada
tapal batas
pengerusakan dan
Kekerasan
Saling Lapr di
Kepolisan
Kepolisian
menangkap
pelaku
peperangan
Dari : Diambil Berbagai Sumber oleh Peneliti
Di antara kasus tersebut terdapat kasus yang sudah menjadi perkara dan
diselesaikan secara diputus oleh MDP seperti sengkata Semita-Mulung (Gianyar)
yang merupakan sengketa pemekaran Desa Pakraman antara Desa Pakraman
dengan banjar yang ingin memisahkan diri berdasarkan Surat Keputusan (SK)
Nomor 003/ktps/MDP/BALI/IV/2007, tertanggal 11 April 2007 tentang
Pemekaran Banjar Mulung menjadi Desa Pakraman Mulung.10
Tamblingan vs
Munduk juga sama karena sebelum mekar, Desa Pakraman Tamblingan pada
awalnya adalah banjar bagian dari Desa Pakraman Munduk; yang sengketanya
diputus berdasarkan SK Nomor 005 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Desa
Pakraman Tamblingan. Namun ternyata SK tersebut tidak dipatuhi oleh Desa
10
Sumber : www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id, diunduh
pada tanggal 1 Juni 2013.
8
Pakraman Munduk.11
Sengketa Pura Dalem Kemoning, yang akhirnya menjadi
wicara dan telah diputus oleh MUDP dengan Keputusan MUDP Nomor
001/SP/MUDP/I/2012.
Penyelesaian Wicara tidak hanya diselesaikan secara mediasi, namun juga
melalui penyelesaian berupa peradilan oleh MUDP yang hasilnya adalah sebuah
keputusan dari MUDP. Wicara yang pernah diputus melalui peradilan oleh
MUDP adalah Wicara Pura Dalem Kemoning yang terjadi antar Pangempon pura.
dimana dalam 1 Pura terdapat 4 (empat) Tempek, 2 (dua) Tempek tergabung dalam
Desa Pakraman Kemoning, satu Tempek di Desa Pakraman Budaga, dan satu
Tempek lagi merupakan bagian dari beberapa banjar di Desa Pakraman
Semarapura. Terjadinya sengketa dan akhirnya menjadi sebuah perkara adat yang
ditangani MDP melalui peradilan, sehingga akhirnya MUDP Bali membuat suatu
keputusan untuk mengakhiri perkara adat tersebut. Perkara adat itu sendiri oleh
MDP disebut dengan istilah Wicara, sebagaimana disebutkan dalam Keputusan
Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Dan Petunjuk Teknis oleh Majelis Desa Pakraman
(MDP) Bali.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Keputusan MUDP tersebut ternyata
memiliki kontroversi dari aspek yurisdis dan sosiologis. Dalam aspek yuridis,
dalam realita MUDP sudah menyelesaikan Wicara dengan cara memutus bukan
menengahi atau melakukan mediasi, sementara dalam aturan hukum yang
tersedia, MUDP hanya berwenang menengahi sengketa adat atau Wicara saja
11
Sumber : www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id, Diunduh
Pada Tanggal 1 Juni 2013.
9
bukan untuk memutus, itupun terbatas pada sengketa sebagaimana tercantum
dalam Pasal 16 Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman terkait
dengan kewenangan MDP.
Aspek sosiologis, keabsahan Keputusan MUDP mengandalkan legitimasi
berupa penerimaan para pihak. Dalam realita yang ada beberapa Keputusan
MUDP mendapat perlawanan (penolakan) dari salah satu pihak, seperti pada
kasus Pura Dalem dan Pura Prajapati Kemoning-Budaga yang dapat dilakukan
dan diselesaikan setelah adanya campur tangan pemerintah.
Untuk dapat mengetahui apakah menyelesaikan perkara adat melalui MUDP
Bali efektif, maka hal ini menarik untuk diteliti sebagai karya ilmiah dalam bentuk
Tesis dengan judul : Penyelesaian Wicara Melalui Peradilan Majelis Utama
Desa Pakraman Provinsi Bali (Study Kasus Pura Dalem Dan Pura Prajapati
Kemoning-Budaga)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapatlah dikemukakan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah dasar kewenangan MUDP dalam menyelesaikan Wicara melalui
Peradilan?
2. Bagaimana proses penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh MUDP?
3. Bagaimana efektivitas penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh
MUDP?
10
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas, maka ruang lingkup
penulisan tentang penyelesaian Wicara melalui MUDP akan dibatasi pada hal-hal
sebagai berikut :
1. Tentang dasar kewenangan MUDP Bali yaitu apa dasar hukum
penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh MUDP.
2. Tentang proses penyelesaian Wicara yaitu yang akan membahas tentang
asas dan norma hukum berkenaan dengan penyelesaian Wicara, proses
penyelesaian perkara adat melalui peradilan oleh MUDP Bali .
3. Tentang efektifitas penyelesaian Wicara melalui peradilan MUDP Bali
yaitu sikap Desa Pakraman dan pihak yang berperkara terhadap
penyelesaian perkara adat melalui peradilan oleh MUDP, persepsi Desa
Pakraman dan pihak yang pernah berperkara terhadap Keputusan MUDP.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam proposal tesis ini dibedakan menjadi tujuan umum
dan tujuan khusus. Adapun penjelasan masing-masing tujuan dimaksud adalah :
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami tentang
aspek hukum Penyelesaian Wicara baik yang bersumber dari hukum adat
maupun ketentuan peraturan perundang-undangan dalam rangka
mewujudkan ketertiban, keamanan dan kedamaian wilayah Bali, khususnya
wilayah Desa Pakraman.
11
2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui, mandalami dan menganalisa dasar kewenangan
MUDP dalam menyelesaikan Wicara melalui peradilan.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa proses penyelesaian Wicara melalui
peradilan oleh MUDP.
3. Untuk mengetahui menganalisa efektifitas penyelesaian Wicara melalui
peradilan oleh MUDP.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun
manfaat teoritis dan manfaat praktis tersebut adalah :
1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan Ilmu
Hukum pada umumnya dan hukum adat pada khususnya, utamanya yang
berkaitan dengan penyelesaian Wicara.
2. Manfaat praktis, dimana hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi kepada Pemerintah, Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, dan
Aparat Keamanan dalam mengambil kebijakan guna penyelesaian Wicara
yang melibatkan Desa Pakraman atau kelompok adat, dan kepada
masyarakat adat khususnya Krama Desa Pakraman dalam menyelesaikan
Wicara serta kepada diri sendiri dalam rangka meningkatkan wawasan
tentang keterkaitan keputusan MUDP dengan penyelesaian Wicara.
12
1.6 Orisinalitas Penelitian
Untuk mencegah plaganisme, maka berikut disajikan beberapa penelitian
yang pernah dilakukan terkait dengan permasalahan penyelesaian Wicara;
1.6.1 Judul : Peranan Kepala Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat
Melalui Mediasi (Studi Analisis Terhadap Penyelesaian Sengketa
Tanah – Tanah Ulayat Di Kecamatan Soa Kabupaten Ngada –
Flores – Nusa Tenggara Timur)
Peneliti : Maria D. Muga, SH
Dari : Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang 2008
Deskripsi Penelitian : Peranan Kepala Adat yaitu Mosalaki sangat berperan
terhadap penyelesaian sengketa tanah-tanah ulayat karena Kepala Adat dianggap
sebagai hakim perdamaian antara masyarakat dalam menyelesaiakan sengketa
tanah ulayat dan tempat bersandarnya anggota masyarakat adat untuk
menyelesaikan masalahnya. Penelitian ini sangat berbeda dengan konsep
penelitian Penyeleselaian Wicara melalui MUDP, karena disamping penelitiannya
tidak dilakukan di Bali, juga tidak meneliti tentang MUDP.
1.6.2 Judul : Penyelesaian Pelanggaran Adat Di Kecamatan Busungbiu
Kabupaten Buleleng Menurut Hukum Adat Bali
Peneliti : Nyoman Roy Mahendra Putra
13
Dari : Program Magister Kenotariatan Univeritas Diponegoro Semarang
2009
Deskripsi Penelitian : Jenis-jenis perbuatan yang dapat digolongkan ke dalam
pelanggaran adat menurut hukum adat Bali adalah pencurian benda-benda suci,
pembunuhan dan penganiayaan di tempat suci atau pura, pengrusakan tempat suci,
pelanggaran kesusilaaan di pura, lokika sanggraha, smandel sanggrama, gamia
gemana, salah karma, drati karma, melarikan istri orang, wakpurusia,
pembongkaran kuburan, menguburkan mayat dan membakar simbol orang
meninggal di pekarangan rumah, menguburkan mayat/jenasah pada hari raya,
memasuki pura pada saat kesebalan karena kematian atau wanita sedang datang
bulan, mengembala binatang piaraan di pekarangan pura, pematang sawah yang
berisi tanaman dan perkebunan warga, mengeluarkan kata kotor di pura serta
melakukan sumpah cor tanpa ijin prajuru desa. Kesimpulan lainnya adalah
Pelaksanaan penyelesaian pelanggaran adat di Kecamatan Busungbiu, Kabupaten
Buleleng menurut hukum adat Bali adalah pelanggaran adat yang tidak
merupakan tindakan kriminal yang diatur dalam KUHP diselesaikan pertama-
tama di tingkat Prajuru Banjar Adat, dan apabila tidak berhasil diselesaikan maka
dilanjutkan penyelesaiannya melalui paruman warga banjar adat dan jika hal ini
juga tidak berhasil diteruskan ke Prajuru Desa Adat Sepang dan jika hal ini juga
tidak berhasil akan diserahkan kepada pemerintah guna memperoleh keputusan.
Namun selama ini segala pelanggaran adat yang terjadi di Banjar Adat
diselesaikan secara baik di tingkat Prajuru Banjar Adat. Penelitian ini tidak
14
mengkaji penyelesaiannya sampai pada MUDP tapi hanya sebatas intern Desa
Pakraman.
1.6.3 Judul : Peranan Kerapatan Adat Nagari (Kan) Dalam Proses Penyelesaian
Sengketa Tanah Ulayat Di Kecamatan Kuranji Kota Padang
Peneliti : Defto Yuzastra
Dari : Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro 2010
Deskripsi penelitian : Bentuk-bentuk sengketa tanah ulayat dalam masyarakat
hukum adat di Minangkabau, disebabkan oleh pembagian warisan, proses jual
beli, dan sewa menyewa. Peranan KAN Pauh IX Kuranji, adalah sebagai
penengah atas setiap sengketa berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 13
Tahun 1983, sengketa-sengketa mana terkait dengan pengakuan atas Kesatuan
masyarakat hukum adat khususnya di wilayah Kuranji. Penyelesaian atas
permasalahan dapat dilakukan dengan cara mengefektifkan peranan KAN Pauh IX
serta penegasan kewenangan KAN melalui peraturan-peraturan pelaksana dari
peraturan daerah. Perbedaan dengan Penelitian Penyelesaian Perkara Adat melalui
MUDP adalah selain penelitiannya tidak dlakukan di Bali, juga penyelesaian
perkara tersebut tidak melalui MUDP.
15
1.7 Landasan Teori Dan Kerangka Berpikir
1.7.1 Landasan Teori
Yang dimaksudkan dengan Landasan Teori pada penelitian penyelesaian
Perkara Adat melalui MUDP adalah Teori-teori dan Konsep-konsep. Berikut ini
akan disampaikan penjelasan tentang teori, yang diawali dengan penjelasan
beberapa teori, beberapa konsep yang dipergunakan dalam penulisan ini.
1.7.1.1 Teori
Teori yang akan dipergunakan untuk menganalisa permasalahan yang
dihadapi dalam penelitian Penyelesaian Perkara Adat melaui MUDP, adalah
sebanyak 3 (tiga) teori. Adapun teori-teori tersebut adalah :
1.7.1.1.1 Teori Kewenangan
Pencetusnya teori ini adalah J.G. Brouwer. Inti teorinya adalah Kewenangan
yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan
nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi
oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun
mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi
(UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang
kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan
apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat
bertindak atas nama pemberi mandat.
J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang
diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga
Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini
16
adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya.
Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan
kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang
berkompeten.
Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi
dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga
delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji
kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak
terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator)
memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat
keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi.
Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak
demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan
harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga
kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian,
pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber
kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan
dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan
cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi)
pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif
17
guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat
dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.12
Teori kewenangan ini dipergunakan untuk mengkaji permasalahan yang
pertama yaitu mengkaji dasar kewenangan yang di dapat oleh MUDP Bali dalam
menyelesaikan wicara.
1.7.1.1.2 Teori Semi Autonomous Social Field
Pencetus teori ini adalah Sally Falk Moore. Inti teorinya adalah
setiap kelompok sosial (social field) mempunyai kapasitas dalam
menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation)
dengan disertai kekuatan-kekuatan memaksa dalam pentaatannya.13
Dalam Pluralisme Hukum (Legal Pluralism) keberadaan sistem
hukum yang hidup seperti hukum agama, hukum kebiasaan dan juga
aturan-aturan lokal yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat adalah
hukum. Pluralisme hukum didefinisikan sebagai suatu situasi dimana dua
atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang
kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau
lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial.14
12
F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
219. 13
Sally Falk Moore, 1983, Law and Social Change : The Semi-Autonomous Social Field as
an Appropriate Subject of Study, Law as a process, an Anthropological approach, Routledge and
Kegan Paul, London, hal. 78.
14
I Nyoman Nurjaya, 2009. Perkembangan Tema Kajian, Metodologi, dan Model
Penggunaannya untuk memahami Fenomena Hukum di Indonesia. http://editorssiojo85.
wordpress.com, hal. 8.
18
Kemajemukan sistem hukum yang dimiliki oleh masing-masing
kelompok sosial, yang secara nyata melekat dalam kehidupan masyarakat
adat adalah merupakan fakta, sehingga berbagai sistem hukum itu adalah
eksis pada lingkungannya serta dapat berlaku bebas di luar ketentuan
Negara atau dapat berlaku dan bekerja secara berdampingan dengan sistem
hukum lain.15
Konsep legal pluralism ini telah memberikan tempat dan pengakuan
(recognition) terhadap keanekaragaman hukum. Cakupan pengakuan
tersebut meliputi pengakuan terhadap tertib hukum di dalam lingkup
Negara sampai dengan konsep-konsep hukum, yang validasinya tidak
selalu mengharuskan adanya pengakuan hukum dari Negara.16
Kegunaan Teori semi-Autonomous Social Field adalah sebagai
instrumen dalam menganalisa permasalahan penelitian yang pertama dan
kedua yaitu dasar kewenangan MUDP dalam penyelesaian perkara adat,
mengingat MUDP adalah wadah tunggal Desa Pakraman sebagai
kelompok sosial yang dapat mengatur rumah tangganya sendiri dan
tentang proses pelaksanaan penyelesaian perkara adat melalui MUDP,
yang memiliki mekanisme penyelesaian perkara adat tersendiri tata cara
penyelesaian perkara adat melaui MUDP.
15
Sulistyowati Irianto, 2008. Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan
Konsekuensi Metodologisnya. http://roysal.blogspot.com, hal. 5.
16
Johannes Johny Koynja, 2009. Hukum dan Pendekatan Teori Sosial. http:/Johny
Koynja.blogspot.com, hal. 4.
19
1.7.1.1.3 Ajaran Mengenai Penanganan Perkara Adat dari Moh. Koesnoe.
Menurut Moh. Koesnoe, ada dua cara dalam menangani perkara adat yaitu
dengan cara menyelesaikan dan memutus. Ajaran pokok dari Koesnoe ini dapat
digunakan oleh para Hakim Adat atau MUDP untuk mengidentifikasi dan
menjelaskan mengenai bentuk penyelesaian perkara-perkara adat. Ajaran
menyelesaikan berpendapat bahwa segala persoalan yang menyangkut
kepentingan bersama hendaknya dipecahkan bersama-sama secara musyawarah
mufakat oleh anggota-anggotannya atas dasar kebulatan kehendak bersama.
Musyawarah ditujukan untuk mencari Mufakat yang menurut alur dan patut.
Dalam hal ini, bukan soal “menang-kalah” dari salah satu pihak, melainkan
kembalinya keadaan keseimbangan yang terganggu sehingga masing-masing
pihak dapat hidup bersama kembali dalam kehidupan secara tenang, tentram dan
sejahtera.
Ajaran memutus berpandangan bahwa tidak semua perkara adat dapat
diselesaikan, terutama segi-segi yang membahayakan kehidupan bersama begitu
berat, sehingga perlu adanya langkah-langkah yang bersifat tegas dan jelas. Dalam
hal ini, pengambilan keputusan tidak boleh secara sewenang-wenang, akan tetapi
harus mengutamakan asas musyawarah-mufakat, keputusan yang di ambil harus
dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan YME, dengan
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan
keadilan. Ajaran memutus lebih menitik beratkan pada pertimbangan-
pertimbangan akal sehat dan apa yang sebenarnya.
20
Kedua ajaran itu menekankan pentingnya faktor teknik, pikiran dan
perasaan. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang hakim dalam urusan adat
dituntut persyaratan yang dimiliki mengenai teknik-teknik menyelesaikan perkara,
kehalusan perasaan dan penghayatan kesusilaan dan dasar-dasar hidup
bermasyarakat, sehingga jawaban yang diberikan dapat memuaskan para pihak
dan masyarakat secara menyeluruh.17
Ajaran menyelesaikan dan memutus tersebut di atas, digunakan oleh Hakim
Perdamaian Adat dalam mengadili perkara-perkara adat menggunakan 3 (tiga)
asas yaitu asas rukun, patut dan laras. Asas rukun yaitu suatu asas yang isinya
suatu pandangan dan sikap orang menghadapi hidup bersama dalam lingkungan
dengan sesamanya untuk mencapai suasana hidup bersama yang aman, tentram
dan sejahtera. Asas patut merupakan asas yang menekankan perhatian kepada cara
bagaimana bersikap, berbuat, bertindak dan berprilaku dengan lebih
mengedepankan etika dan rasa malu. Asas laras adalah asas yang berkaitan
dengan pola prilaku masyarakat yang lebih mengutamakan adanya keseimbangan
dan keselarasan antara dunia lahiriah dan dunia batiniah, dengan demikian
keharmonisan hidup masyarakat dapat tercapai. Prinsip-prinsip tersebut di atas
merupakan prinsip operasional yang melembaga di dalam struktur sosial
masyarakat adat.
Ajaran dari Koesno ini dipergunakan untuk membantu teori semi
autonomous social field dalam menjawab permasalahan kedua yaitu
penyelesaiaan wicara melalui peradilan oleh MUDP Provinsi Bali.
17
Moh. Koesno, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya,
Airlangga University Press, hal, 49.
21
1.7.1.1.4 Teori Sistem Hukum
Pencetusnya Teori Sistem Hukum adalah Lawrence M. Friedman. Inti
teorinya adalah untuk dapat bekerja secara efektif, hukum sebagai suatu sistem
harus memenuhi 3 (tiga) elemen pokok, yaitu (a) Struktur sistem hukum
(structure of system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang
(legislatif), instusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan dengan
strukturnya, badan kopolisian Negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak
hukum harus dapat berfungsi sebagai efektif (b) Substansi sistem hukum
(substance of legal system) yang berupa norma-norma hukum, peraturan-peraturan
hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem
hukum dapat menjalankan fungsi dengan baik, dan (c) Budaya hukum masyarakat
(legal culture) seperti nilai-nilai harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang
terwujub dalam prilaku masyarakat dalam mempersiapkan hukum harus dapat
dipenuhi oleh sistem hukum.
Setiap masyarakat memliki struktur dan subtansi hukum sendiri yang
menentukan apakah subtansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya
malah dilanggar adalah ditentukan oleh sikap dan prilaku sosial masyarakatnya,
dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak
sangat tertgantung pada kebiasaan-kebiasaan (customs), kultur (culture) tradisi-
tradisi (tradition), dan norma- norma informal (informal norms) yang diciptakan
dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang yang besangkutan.18
18
Lawrence M. Friedman, 1984, The Legal system A Sosial Science Perspective (Judul
Terjemahan Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial), terjemahan M. Khozim. Penerbit Nusa Media
Bandung, hal. 5-7.
22
Melalui kajian komponen struktur hukum, subtansi hukum dan kultur
hukum sebagai suatu sistem hukum bekerja dalam masyarakat, atau bagaimana
suatu sistem-sistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi
dalam suatu bidang kehidupan sosial (sosial field) tertentu. Kultur hukum menjadi
bagian dari kekuatan sosial yang menentukan efektif atau tidaknya hukum dalam
kehidupan masyarakat. Kultur hukum menjadi motor penggerak dan memberi
masukan-masukan kepada struktur dan subtansi hukum dalam memperkuat sistem
hukum.
Teori Hukum sebagai suatu sistem dapat dipergunakan untuk mengkaji
komponen struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum sebagai suatu
sistem sehingga nantinya dapat menjawab permasalahan ketiga yaitu apakah
dalam penyelesaian perkara adat melalui MUDP dapat bekerja secara efektif atau
tidak.
1.7.1.2 Konsep
Konsep yang akan dipergunakan untuk membantu didalam memberikan
penjelasan terhadap beberapa permasalahan Penelitian Penyelesaian Wicara
melalui Peradilan Oleh MUDP di Bali, yaitu :
1.7.1.2.1 Konsep Penyelesaian Wicara
Wicara atau Perkara Adat adalah perkara adat yang muncul karena sengketa
adat atau pelanggaran norma hukum adat Bali, baik tertulis maupun tidak tertulis
(catur dresta) yang dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu, yang tidak termasuk
23
sengketa perdata dan/atau pelanggaran hukum menurut Hukum negara.19
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkara berarti pelanggaran (kejahatan,
perselisihan, dsb) yang ada sangkut pautnya dengan hukum atau yang diadili oleh
pengadilan.20
Sedangkan adat itu sendiri berarti aturan yang lazim dituruti atau
dilakukan sejak dahulu kala.21
Oleh karena itu, perkara adat adalah perkara adat
murni yang bukan termasuk perkara perdata atau pelanggaran hukum negara.
Selanjutnya Ketut Wirta Griadi menyatakan untuk sengketa adat jelas pula
menunjukkan eksistensinya sebagai bentuk suatu perselisihan yang terjadi antara
dua subjek hukum, disebabkan karena adanya benturan kepentingan yang
dilandasi oleh pandangan atau pendirian yang berbeda. Suatu ciri khas yang
melekat pada sengketa adat adalah adanya suatu obyek sengketa yang
menyangkut kepentingan adat, terutama yang berhubungan dengan kepentingan
kelompok.22
Maka memperhatikan pernyataan Ketut Wirta Griadi tersebut, jelas
bahwa perkara adat merupakan sebuah proses penyelesaian yang bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa adat atau benturan atas kepentingan adat. Dalam hal
sengketa tidak bisa diselesaikan dan pada akhirnya perlu sebuah penyelesaian
maka sengketa tersebut berubah menjadi perkara yang ada pada akhirnya
memerlukan sebuah keputusan.
19
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP
Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Dan Petunjuk Teknis oleh Majelis Desa
Pakraman (MDP) Bali
20
WJS. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ke-3, yang diolah
kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 877.
21
Ibid, hal. 7.
22
I Ketut Wirta Griadi, 1990, Beberapa Catatan Tentang Sengketa Adat Di Bali, dalam
majalah ilmiah Kerta Pratika Nomor 50/Maret 1990, hal. 26.
24
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Penyelesaian berarti proses, cara,
perbuatan pemberesan atau pemecahan.23
Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa
dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok utama yakni yang pertama dilakukan
oleh salah satu pihak, kedua dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa saja,
dan yang ketiga melibatkan pihak ketiga. Bentuk penyelesaian sengketa lainnya
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa adalah negosiasi. Penyelesaian
sengketa model ini disebut penyelesaian diadik untuk menghasilkan suatu
keputusan atau kesepakatan tanpa campur tangan atau bantuan pihak ketiga.
Biasanya penyelesaian model ini tidak berdasarkan peraturan yang ada melainkan
berdasarkan aturan yang mereka buat sendiri.
Sedangkan penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga meliputi
penyelesaian yang berbentuk ajudikasi, arbitrase, dan mediasi. Bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa ini mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya
adalah bentuk penyelesaian ini bersifat triadic karena melibatkan pihak ketiga,
sedangkan perbedaannya adalah ajudikasi merupakan penyelesaian yang
dilakukan oleh pihak ketiga yang mempunyai wewenang untuk campur tangan,
dan ia dapat melaksanakan keputusan yang telah ditentukan tanpa memperhatikan
apa yang menjadi kehendak para pihak. Berbeda dengan ajudikasi, arbitrase
merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan pihak ketiga dan keputusannya
disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan mediasi adalah bentuk
penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga untuk membantu pihak-pihak yang
bersangkutan untuk mencapai persetujuan.
23
http://kamusbahasaindonesia.org/penyelesaian#ixzz20niIJHrf, dinduh tanggal 16 Juli
2012, jam 23.55 Wita.
25
1.7.1.2.2 Konsep Peradilan
Peradilan dalam istilah bahasa inggris disebut dengan judiciary, sedangkan
dalam bahasa belanda disebut rechspraak dalam bahasa Belanda yang maksudnya
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan
hukum dan keadilan. Sedangkan menurut Cik Hasan Bisri, Peradilan merupakan
salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup masyarakat dalam penegakkan
hukum dan keadilan, yang mengacu kepada hukum yang berlaku.24
Secara hukum tertulis, berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jo. Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, di Indonesia dikenal 4 (empat) lingkungan
lembaga Peradilan; yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer
Dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun kemudian dalam hal Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat (KMHA) dikenal dengan penyelesaian perkara melalui
mekanisme persidangan dalam penegakan hukum adat yang berlaku.
Seiring dengan diakuinya KMHA, sebagaimana Pasal 18 B Ayat 2 UUD
NRI 1945 Jo. Pasal 2 Ayat (9), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, bahkan untuk di Bali dalam Pasal 16 dan Ayat (1) Ayat (2)
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003. Khusus untuk masalah penyelesaian
kasus-kasus adat Kewenangan MUDP terdapat dalam Pasal 16 Ayat (2) Angka (2)
yang menegaskan bahwa “Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak
dapat di selesaikan pada tingkat desa”, maka masih diberikan ruang dalam
24
Cik Hasan Bisri, 1997, Peradilan Agama di Indonesia , Rajawali Pers, Jakarta,
hal. 96.
26
mengadili sengketa adat atau pelanggaran hukum adat yang bukan termasuk
perkara perdata atau pelanggaran hukum nasional melalui Peradilan di luar empat
lingkungan peradilan yang terdapat dalam Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009,
termasuk dalam hal ini adalah peradilan adat.
Peradilan adat merupakan peradilan untuk mengadili perkara adat. Menurut
Hilman Hadikusuma bahwa peradilan adat (adatrechtspraak) yaitu suatu
peradilan diluar pengadilan negara yang berdasarkan hukum adat atau kebiasaan
setempat yang sifatnya sederhana, yang hingga saat ini masih hidup dalam
masyarakat adat.25
Hilman Hadikusuma juga berpendapat bahwa Peradilan adat
adalah peradilan rakyat di pedesaan yang menyelesaikan perkara adat secara
damai.26
Hal ini menunjukkan bahwa Peradilan Adat sebuah lembaga adat yang
merupakan lembaga asli untuk menegakkan hukum adat.
Perkara adat murni yang diadili di peradilan adat adalah perkara yang tidak
termasuk dalam perkara nasional seperti perdata dan pidana. Perkara adat yang
dimaksud adalah meliputi perselisihan, sengketa dan pelanggaran adat.
Selanjutnya dengan dikeluarkannya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun
1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan,
Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, maka peradilan Pribumi dan peradilan
Swapraja secara berangsur-angsur dihapuskan kecuali “Peradilan Desa” tetap
dapat menyelesaikan perkara perselisihan adat secara damai. Dalam Pasal 1 ayat
25
Hilman Hadikusuma, (a), 1994, Peradilan Adat Dalam Masyarakat Yang
Sedang Membangun, Edisi khusus “Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia”,
Dalam HUT ke-30 Fakultas Hukum Univrsitas Udayana dan Lustrum VI tanggal 1
September, Denpasar, hal. 211.
26
Ibid, hal. 216.
27
(3) Undang-undang tersebut menyatakan bahwa ketentuan yang disebut dalam
ayat pertama tidak sedikitpun mengurangi hak kekuasaan yang selama ini
diberikan kepada Hakim Perdamaian Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a
RO.27
1.7.1.2.3 Konsep Majelis Utama Desa Pakraman
Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) merupakan Majelis Desa
Pakraman yang berkedudukan di Ibukota Provinsi Bali sebagai mana diatur dalam
Pasal 14 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman.
Majelis Desa Pakraman atau singkat dengan MDP adalah merupakan organisasi
yang bersifat religius. Majelis Desa Pakraman (MDP) adalah lembaga adat yang
terdapat di Bali yang diatur dalam Bab IX Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2001. Dalam Pasal 14 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001
disebutkan :
Majelis Desa Pakraman terdiri dari:
1. Majelis Utama untuk Propinsi berkedudukan di ibu kota Propinsi;
2. Majelis Madya untuk kabupaten/kota berkedudukan di
kabupaten/kota
3. Majelis Desa untuk kecmatan berkedudukan di ibu kota
kecamatan selanjutnya.
Adapun visi dari MDP adalah terwujudnya persatuan Desa Pakraman yang
harmoni dan terjaganya adat dan sosial budaya Bali yang dilandasi Agama Hindu.
Visi MDP tersebut selaras dengan tugas dan wewenang MDP yang tercantum
dalam Pasal 16 Perda Nomor 3 Tahun 2001 :
27
Hilman Hadikusuma, (a), op.cit, hal. 216.
28
Adapun MDP mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut;
Tugas MDP adalah
1. Mewujudkan kesukertan tata Agama Hindu
2. Mewujudkan persatuan dan kesatuan Desa Pakraman
3. Menciptakan kesukertan jagad Bali
4. Mengayomi adat istiadat Bali
5. Meningkatkan kualitas karma Desa Pakraman
6. Melestarikan Lingkungan dan tanah Bali
MDP mempunyai wewenang
1. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-
masalah adat dan agama untuk kepentingan Desa Pakraman.
2. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan
pada tingkat desa
3. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan,
kabupaten/kota di propinsi Bali
Atas tugas dan wewenang tersebut MDP diharapkan selalu dapat
melestarikan atau melakukan upaya untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai
Adat Budaya masyarakat Bali terutama nilai Etika, Moral, dan Peradaban yang
merupakan inti adat istiadat dan tradisi masyarakat Bali agar keberadaannya tetap
terjaga dan berlanjut.
1.7.1 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir yang penulis bangun berdasarkan teori dan konsep yang
telah ada adalah menjawab permasalahan dengan menggunakan teori dan konsep
yang ada kemudian penulis upayakan menyingkronisasikannya dengan data-data
yang didapatkan di lapangan.
Penelitian Penyelesaian wicara melalui peradilan oleh MUDP Provinsi Bali,
dilatarbelakangi adanya perbedaan antara peraturan dan fakta yang terjadi di
lapangan (das sollen dan das sein), sehingga penelitian ini akan mengkaji
29
memperhatikan ketentuan hukumnya yang kemudian dibandingkan dengan
kenyataan di lapangan. Setelah latar belakang tersebut dikaji barulah dapat ditarik
permasalahan. Dalam penelitian ini akan dikaji 3 (tiga) permasalahan yaitu :
mengenai dasar kewenangan MUDP dalam menyelesaikan wicara melalui
peradilan, Proses penyelesaian wicara melalui peradilan oleh MUDP dan
efektivitas penyelesaian wicara melalui peradilan oleh MUDP.
Permasalahan pertama dikaji dengan Teori Kewenangan dari J.G. Brouwer
dan Teori Semi Autonomous Social field dari Sally Folke Moore, sedangkan
permasalahan kedua akan dikaji dengan Ajaran Penanganan Dari Moh. Koesnoe
mengenai ajaran menyelesaikan dan memutus, sedangkan permasalahan ketiga
akan dikaji berdasarkan Teori Sistem Hukum dari L.M Friedman. Teori-Teori
tersebut dalam mengkaji permasalahan yang ada akan dibantu dengan 3 (tiga)
konsep, yaitu konsep wicara, konsep peradilan dan konsep Majelis Utama Desa
Pakraman.
Permasalahan dikaji dan dibahas dalam beberapa BAB yang didalamnya
juga dikaji sub bahasan satu persatu yang tidak terlepas dari teori dan konsep yang
dipergunakan. Yang pada akhirnya jawaban atas pertanyaan tersebut kemudian
tertuang dalam kesimpulan tesis.
30
Kerangka Berpikir yang dibangun dapat dijelaskan dengan Bagan berikut :
Kerangka Berpikir Penelitian Penyelesaian Perkara Adat
Melalui MUDP Provinsi Bali
Keterangan kerangka berpikir:
= Garis yang menandakan hubungan serta pengaruh antara satu
variabel dengan variabel yang lainnya.
-------- = Garis yang menandakan hubungan serta pengaruh variable dengan
variable yang lain secara tidak langsung
KETENTUAN HUKUM
TENTANG PENYELESAIAN WICARA MELALUI
MUDP
DASAR KEWENANGAN
MUDP DALAM
MENYELESAIKAN
PERKARA ADAT
PROSES
PENYELESAIAN
PERKARA ADAT
MELALUI MUDP
EFEKTIVITAS
PENYELESAIAN
PERKARA ADAT
MELALUI MUDP
KESIMPULAN
Teori
Kewenangan
Teori Semi
Automous
Social Filed
Ajaran
Koesnoe
Tentang
menyelesaikan
dan memutus
Teori Sistem
Hukum
Konsep Penyelesaian
Wicara
Konsep MUDP Konsep Peradilan
31
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis Penelitian hukum ada 2 (dua) yaitu Jenis Penelitian Normatif dan Jenis
Penelitian Empiris. Jenis penelitian ini adalah penelitian ilmu hukum dengan
aspek empiris, (penelitian hukum empiris). Penelitian hukum empiris beranjak
dari adanya kesenjangan antara (das Sollen and das Sein) yaitu kesenjangan antara
teori dengan dunia realita.28
Penelitian tesis ini sesuai permasalahannya yaitu
penyelesaian Wicara melalui Peradilan oleh MUDP di Bali adalah tergolong
dalam penelitian empiris karena penelitian ini disamping mengidentifikasikan tata
cara penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh MUDP tentang Desa Pakraman,
juga meneliti tentang efektifitas Keputusan MUDP. Penelitian hukum empiris
yaitu penelitian tentang fakta-fakta sosial tentang berlakunya hukum di tengah-
tengah masyarakat.29
Penelitian hukum empiris ini disebut pula dengan penelitian hukum
sosiologis (socio legal research), yang dalam pelaksanaannya memanfaatkan
metode ilmu-ilmu sosial.30
yaitu penelitian yang bertujuan untuk melukiskan
sesuatu hal di daerah tertentu pada saat tertentu. Soetandyo Wignjosoebroto
28
Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2008,
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana , Denpasar, hal. 32-
33.
29
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum , Madar Maju,
Bandung, hal. 135.
30
Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal. 1.
32
sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono menyatakan aspek penelitian
hukum empiris juga disebut sebagai non-doctrinal research atau socio-legal
research.31
1.8.2 Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum dapat dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu yang
bersifat explorative (menjelajah), descriptive analytic (melukiskan dan
menganalisa) dan explanatory (menjelaskan).32
Penelitian tesis ini
menggambarkan serta mengkaji fakta-fakta terkait dengan penyelesaian perkara
adat melalui peradilan oleh MUDP di Bali yang menggunakan penelitian lapangan
yang didukung atau dilengkapi dengan penelitian kepustakaan yang berhubungan
dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga menghasilkan gabungan
antara teori dan praktek lapangan.
Pelaksanaan penelitian ini yang menggabungkan teori dan praktek lapangan
dikatakan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif analitis (descriptive analytic).
Penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, tentang keadaan atau
gejala-gejala lainnya. Penelitian Deskriptif merupakan suatu penelitian yang
menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan cara pengumpulan data,
menyusun, mengklasifikasi, menganalisa dan menginterpretasikan data dalam
rangka diperoleh hasil.
31
Bambang Sunggono, 2003, Metodelogi Penelitian Hukum , CV. Rajawali Pers,
Jakarta, hal. 4.
32
Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, hal. 10.
33
1.8.3 Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan untuk
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang
dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan masalah merupakan proses
pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan
sehingga tercapai tujuan penelitian.33
Dengan demikian tipe pendekatan prilaku yang dapat digunakan adalah :
pendekatan perilaku yudisial (judisal behavioral approach), pendekatan prilaku
non-yudisial (nonjudisal behavioral approach), dan pendekatan prilaku gabungan
(combined behavioral approach). Oleh karena itu penelitian ini akan mengukur
efektifitas penyelesaian Wicara melalui MUDP, maka pendekatan masalah yang
dapat digunakan adalah pendekatan prilaku (behavioral approach).34
1.8.4 Lokasi Penelitian
Dalam rangka memperoleh data pada penulisan ini, penulis melakukan
penelitian dengan metode purposive sampling, yaitu sampel yang diambil hanya
yang sudah ditentukan dan sesuai dengan tujuan penelitian.35
Lokasi penelitian
sudah peneliti tentukan dengan kriteria sebagai berikut : Lembaga pembuat
keputusan yaitu Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali yang memiliki
Keputusan dan sebagai Lembaga Peradilan dalam menyelesaikan perkara adat
33
Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Penerbit PT. Citra
Aditya Bhakti, Bandung, hal. 165.
34
Ibid
35
Ibid
34
atau Wicara. Berdasarkan kriteria tersebut di atas maka penulis berketetapan
untuk melakukan penelitian di Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi
Bali.
1.8.5 Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data dalam penelitian ini sangat terkaitkan dengan subtansi
hukum penelitian. Subtansi hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
peraturan perundang-undangan dan peraturan hukum adat Bali yang terkait
dengan pokok pembahasan.36
Jadi jenis data dan sumber data dalam penelitian ini
tidak terlepas dari permasalahan yang nantinya akan dibahas.
a. Jenis data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Jenis Data primer dan
Jenis data Sekunder. Data Primer yaitu data yang langsung diperoleh dari
masyarakat atau hasil penelitian lapangan (field research), sedangkan dan jenis
data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan (library
research). Data sekunder berupa bahan-bahan hukum, baik bahan primer maupun
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.37
b. Sumber data
Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung di lokasi
penelitian yaitu sumber dari pihak yang mengalami langsung berupa wawancara
36
Lawrence M.Friedman, (b), 1969, On Legal Developmant, dalam “Rutgers Law
Review” Vol.24, hal. 28.
37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 14-15.
35
dengan pihak terkait seperti Bandesa MUDP Bali, dan Krama Desa Pakraman
Kemoning serta Desa Pakraman Budaga.
Sedangkan sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari
pihak kedua atau data yang ditulis oleh pihak lain berupa kepustakaan baik berupa
bahan-bahan hukum maupun non-hukum. Bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum
primer, yaitu bahan-bahan buku yang sifatnya mengikat (hukum positif) dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan subjek penelitian.38
Bahan hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif artinya
memiliki otoritas, terutama berupa peraturan perundang-undangan. Peraturan
perundang-undangan yang dikaji dalam penelitian ini antara lain :
1. Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Pasal 2 Butir 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah;
3. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi
Bali No.3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah
Provinsi Bali No, 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
4. Pasal 9 dan Pasal 13 Anggaran Dasar Majelis Desa Pakraman Bali
Tahun 2004;
38
Amiruddin Dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 118.
36
5. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Nomor 050/Kep/Psm-1/MDP
Bali/III/2006 tentang Hasil-hasil Pesamuhan Agung I MDP Bali;
6. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor :
01/Kep/Psm-2/MDP Bali/X/2007 tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung
II MDP Bali.
7. Keputusan Paruman Agung Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi
Bali Nomor : 06/KEP/PRM-A/MUDP/BALI/V/2009 tentang
Pengesahan Personalia Prajuru Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi
Bali Masa Bakti tahun 2009-2015.
8. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor :
01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung
III MDP Bali.
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan
tentang bahan hukum primer,39
seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasil dari kalangan hukum, hasil Pasamuhan Agung Majelis Desa
Pakraman, Keputusan-keputusan MUDP dan seterusnya. Bahan hukum sekunder
dapat berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan berupa dokumen-
dokumen resmi, seperti buku, artikel, hasil penelitian. sedangkan untuk bahan
hukum tersier yang dipergunakan berupa kamus.
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normative, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 13.
37
1.8.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dimaksudkan sebagai suatu cara untuk
memperoleh data dalam penelitian. Menurut Sutrisno Hadi, baik buruknya hasil
penelitian (research) tergantung pada teknik pengumpulan datanya atau untuk
memperoleh data yang relevan, akurat dan reliable, pekerjaan penelitian
menggunakan teknik-teknik, alat-alat serta kegiatan-kegiatan yang dapat
diandalkan.40
Hal tersebut berangkat dari pada pandangan Nawawi, yang
menyatakan dalam pengumpulan data diperlukan alat instrument yang tepat agar
data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkan
secara lengkap.41
Dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini, untuk
mengumpulkan data primer dan data sekunder, ada dua kegiatan utama yang akan
dilakukan dalam pelaksanaan penelitian ini, yaitu kegiatan studi lapangan dalam
rangka memperoleh data primer dan studi kepustakaan dalam rangka memperoleh
data sekunder. Nasution mengatakan kajian kepustakaan bermanfaat untuk
melakukan penelusuran dan penelaahan referensi.42
Data primer dikumpulkan dari sumber pertama yaitu responden melalui
wawancara, seperti wawancara dengan Bandesa MUDP, prajuru Desa Pakraman,
dan Warga Desa Pakraman. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh
dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan
40
Sutrisno Hadi, op.cit, hal. 25.
41
Nawawi Hadari dan Martini Hadari, 1992, Instrument Penelitian Bidang Sosial ,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 69.
42
S. Nasution, 2003, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Bumi Aksara, Jakarta,
hal. 113.
38
serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Pedoman
wawancara sebelumnya disiapkan dan berisi pertanyaan yang dapat
dikembangkan di lapangan. Catatan di lapangan dengan sistem kartu berupa
catatan hasil wawancara dan identitas informan dan responden . Sebagai alat
dalam pengumpulan data primer dan data sekunder selain peneliti sendiri, juga
digunakan alat bantu yang oleh Moleong disebut sebagai catatan lapangan (field
notes) catatan lapangan tersebut memuat ringkasan-ringkasan informasi yang
berhasil dijaring.43
Pedoman wawancara nantinya diperlukan untuk mencegah yang mungkin
akan timbul, seperti yang dikemukakan Usman dan Akbar bahwa dalam
wawancara dapat terjadi : error of recognition, jika pewawancara gagal
memproduksi ingatannya kembali; error of omission, jika wawancara melewatkan
pertanyaan yang seharusnya ditanyakan; error of addition, jika pewawancara
melebih-lebihkan jawaban informan; dan error of traspotion, jika pewawancara
tidak mampu mereproduksi urutan jawaban dari informan.44
1.8.7 Teknik Penentuan Informan dan Responden
Pengambilan sampel untuk tahap pertama dilakukan dengan teknik
purposive sampling maksudnya adalah menentukan sampel dengan berbagai
pertimbangan atau alasan. Alasan yang pertama adalah responden haruslah dari
MUDP dan Bandesa dari desa adat budaga dan desa adat kemoning adalah karena
43
Lexy J. Moleong, 1994, Metodologi Penelitian Kualitatif , PT. Remaja
Rosadakarya, Bandung, hal. 153.
44
Usman, Husaini, Purnomo Setiady dan Akbar, 2003, Metode Penelitian Sosial, PT. Bumi
Aksara, Jakarta, hal. 59.
39
informan dan responden dari MUDP dan Bandesa tersebut adalah responden
kunci penelitian yang mengetahui adanya penyelesaian Wicara melalui MUDP,
kemudian untuk informan selanjutnya akan ditentukan melalui rekomendasi dari
responden kunci sebelumnya sampai pada memperoleh data yang diinginkan atau
informasi yang diterima sudah tidak dapat dikembangkan lagi.
1.8.8 Teknik Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul kemudian diolah. Menurut Miles dan Huberman,
dalam analisis kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.45
Namun
dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengkoreksi apakah data yang
terkumpul cukup lengkap, sudah benar dan sudah relevan/sesuai dengan
masalah.
b. Penandaan Data (coding), yaitu memberikan catatan atau tanda yang
menyatakan jenis sumber data.
c. Klarifikasi Data (clarification), yaitu menyusun ulang data secara
teratur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami
d. Sistematisasi data (systematizing), yaitu menempatkan data menurut
kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.
45
Miles B Maatew & Machel Huberman, 1992, Aanalisa Data Kualitatif , PT.
Rosdakarya, Bandung, hal. 15.
40
1.8.9 Teknik Analisis data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Analisis data
kualitatif adalah cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yaitu
apa yang dinyatakan oleh para responden baik secara tertulis maupun lisan diteliti
dan dipelajari secara utuh. Pengertian analisis disini, dimaksudkan sebagai suatu
penjelasan dan penginterpretasian hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan
bagaimana tata cara Penyelesaian Wicara melalui MUDP. Berdasarkan hasil
analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan induktif, yaitu cara
berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-
fakta yang bersifat khusus.46
1.8.10 Teknik Penyajian
Seluruh hasil penelitian kemudian disajikan secara deskriptif analitis, yaitu
dengan memaparkan secara rinci dan lengkap segala persoalan dengan masalah
yang diteliti, menguraikan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan
permasalahan yang diteliti, kemudian ditarik kesimpulan untuk menjawab
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
46
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia
Press, Jakarta, hal. 112.
top related