bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i.pdftentang perubahan peraturan daerah nomor 3 tahun...

40
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Majelis Desa Pakraman (MDP) terbentuk pada tahun 2004 sebagai pelaksanaan amanat Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu alasan dibentuknya MDP adalah untuk dapat menyelesaikan kasus-kasus adat yang terjadi dan sebagai wadah tunggal Desa Pakraman di Bali yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan kasus-kasus adat di Bali. Sebelum adanya MDP, Desa Pakraman telah memiliki sejarah yang sangat tua. Keberadaan Desa Pakraman sudah disebutkan pada beberapa prasasti Bali Kuno seperti Prasasti Buahan (saka 947) di bawah Raja Sri Dharmawangsa Wardhana, Prasasti Bebetin (saka 896), Prasasti Sembiran bertahun Saka 987. 1 Pada jaman kerajaan (sebelum 1908), Raja menjadi satu-satunya institusi di luar Desa Pakraman yang mengatur tatanan kehidupan Desa Pakraman. Raja dapat berbuat apa saja terhadap Desa Pakraman yang ada di wilayah kekuasaannya termasuk menjual rakyatnya sebagai budak dan menghibahkan beberapa desa 1 I Gusti Ngurah Oka, 1999, Dasar Historie dan Filosofis serta Tantangan Kedepan Keberadaan Desa Adat di Bali. MPLA Provinsi Bali, Denpasar, hal. 2.

Upload: lamduong

Post on 07-Jul-2019

232 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Majelis Desa Pakraman (MDP) terbentuk pada tahun 2004 sebagai

pelaksanaan amanat Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa

Pakraman sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003

Tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa

Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu alasan

dibentuknya MDP adalah untuk dapat menyelesaikan kasus-kasus adat yang

terjadi dan sebagai wadah tunggal Desa Pakraman di Bali yang diharapkan dapat

membantu menyelesaikan kasus-kasus adat di Bali.

Sebelum adanya MDP, Desa Pakraman telah memiliki sejarah yang sangat

tua. Keberadaan Desa Pakraman sudah disebutkan pada beberapa prasasti Bali

Kuno seperti Prasasti Buahan (saka 947) di bawah Raja Sri Dharmawangsa

Wardhana, Prasasti Bebetin (saka 896), Prasasti Sembiran bertahun Saka 987.1

Pada jaman kerajaan (sebelum 1908), Raja menjadi satu-satunya institusi di luar

Desa Pakraman yang mengatur tatanan kehidupan Desa Pakraman. Raja dapat

berbuat apa saja terhadap Desa Pakraman yang ada di wilayah kekuasaannya

termasuk menjual rakyatnya sebagai budak dan menghibahkan beberapa desa

1 I Gusti Ngurah Oka, 1999, Dasar Historie dan Filosofis serta Tantangan Kedepan

Keberadaan Desa Adat di Bali. MPLA Provinsi Bali, Denpasar, hal. 2.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

2

berikut penduduk kepada seseorang.2 Kemudian, setelah masuknya pemerintahan

Kolonial Belanda, diadakanlah desa administrasi yang baru, yang diformat sesuai

dengan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan desa lama yang

tradisional tetap dibiarkan dengan tatanan aslinya.

Untuk memberikan pembedaan yang tegas, maka desa3 yang berbeda fungsi

dan tugasnya tersebut diberi nama masing-masing desa adat (yang sekarang

dikenal dengan Desa Pakraman) dan desa dinas atau desa administratif. Desa baru

bentukan pemerintah kolonial Belanda inilah yang sampai sekarang dikenal

dengan sebutan “desa dinas”.4

Permasalahan-permasalahan adat yang muncul di Desa Pakraman

diselesaikan oleh perangkat pimpinan (prajuru) Desa Pakraman, melalui

mekanisme internal, sesuai situasi dan kondisi objektif Desa Pakraman setempat,

berdasarkan asas desa mawacara atau Desa Dresta. Desa mawacara atau Desa

Dresta artinya bahwa tiap-tiap Desa Pakraman di Bali mempunyai adat kebiasaan

atau awig-awig dan Pararem sendiri untuk mengatur kehidupan di desanya, sesuai

dengan situasi dan kondisi objektif masing-masing Desa Pakraman.

Desa Pakraman memiliki hak otonom yang kuat. Berdasarkan Perda Desa

Pakraman, Desa Pakraman merupakan satu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

(KMHA) di Bali yang memiliki hak-hak tradisional. Secara kontitusional, hak-hak

2 Wayan P. Windia, 2010, Peran Stategis MDP Bali Dalam Menjawab Tantangan

Bali Masa Depan, Makalah disajikan dalam upacara pembukaan Pasamuhan Agung III

MDP Bali, yang dilaksanakan pada hari Jumat, 15 Oktober 2010, bertempat di

Wiswasabha, kantor gubernur Bali , hal. 2.

3 Kata desa itu sendiri berasal dari bahasa sanskerta yang bermakna tempat atau

petunjuk (I Gusti Ngurah Ok, loc.cit)

4 Wayan P. Windia, loc.cit

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

3

tradisional Desa Pakraman sebagai satu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di

Bali diakui dan dihormati oleh Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 B

ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Salah satu hak tradisional

Desa Pakraman adalah membuat awig-awig, di samping menyelenggarakan

pemerintahan sendiri, serta menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang

terjadi di wilayahnya, baik yang berupa sengketa ataupun pelanggaran adat.5

Awig-awig Desa Pakraman ini mempunyai kekuatan berlaku menurut hukum

karena awig-awig itu ada dan dipentingkan oleh masyarakat yang bersangkutan

terutama dari segi faedahnya yaitu dirasakan dapat memberikan ketentraman dan

keadilan (gezag Authority) bukan berdasarkan Macht Power (diturunkan ke bawah

oleh penguasa sebagai hal yang dipaksakan).6

Dalam perkembangannya kemudian Desa Pakraman memiliki beberapa

masalah yang tidak semua dapat diselesaikan secara internal Desa Pakraman.

Permasalahan adat dan agama Hindu yang tidak berhasil diselesaikan oleh prajuru

Desa Pakraman, akan dimintakan penyelesaian (katunasang pematut) kepada

pihak berwenang (sang rumawos). Pada jaman kerajaan yang dimaksud sang

rumawos adalah raja, pada jaman penjajahan belanda adalah Penguasa Belanda,

dan pada jaman kemerdekaan adalah Pemerintah Republik Indonesia. Desa

Pakraman tugasnya melaksanakan (ngamargiang) apa yang telah diputuskan,

terlepas apakah keputusan yang diberikan mencerminkan rasa keadilan

5 I Ketut Wirta Griadhi, 1994. Karakteristik dari Otonomi Desa Adat Suatu Kajian Teoritis,

Makalah dalam Seminar Desa Adat dalam Pembangunan Daerah Bali. Lustrum VI dan HUT XXX

Fak Hukum Unud, hal. 10-12.

6 I Ketut Artadi, 2009. Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya. Penerbit Pustaka Bali

Post Denpasar, hal. 80.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

4

masyarakat ataukah tidak.7 Untuk itulah diperlukan suatu keputusan MUDP untuk

menyelesaikan perkara adat tersebut. Permasalahan berupa perkara adat tidak

cukup apabila dihadapi satu Desa Pakraman dengan semangat desa mawacara,

melainkan harus dihadapi dengan cara dan semangat yang kebersamaan oleh

seluruh Desa Pakraman di Bali (Bali mawacara).8

Wujud nyata kebersamaan tersebut mulai tampak setelah terbentuknya

Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali pada tahun 2004 sebagai amanat dalam

Perda Desa Pakraman, sebagai satu-satunya organisasi tempat berhimpunnya

Desa Pakraman yang ada di Bali yang didasari adanya kekuatan yang dimiliki

oleh Desa Pakraman berupa sudah adanya jaringan kerjasama antar Desa

Pakraman yang terwadahi dalam satu organisasi yakni MDP Bali.

Berdasarkan Pasal 14 Perda Desa Pakraman, Majelis Desa Pakraman (MDP)

yeng berkedudukan di ibu kota propinsi disebut Majelis Utama Desa Pakraman

(MUDP) yang merupakan MDP yang memiliki tingkat tertinggi diatas Majelis

Madya Desa Pakraman (MMDP) yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota,

dan Majelis Alit Desa Pakraman (MADP), berkedudukan di ibu kota kecamatan.

Tugas dan wewenang MDP diatur dalam Pasal 16 dan Ayat (1) Ayat (2)

Perda Desa Pakraman. Khusus untuk masalah penyelesaian kasus-kasus adat

Kewenangan MUDP terdapat dalam Pasal 16 Ayat (2) Angka (2) yang

menegaskan bahwa MDP Bali mempunyai wewenang “Sebagai penengah dalam

kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan pada tingkat desa”.

7 Ibid

8 Wayan P. Windia, op.cit, hal. 8.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

5

Oleh karena itu secara emplisit, kewenangan yang dimiliki oleh MDP, yang

salah satunya adalah memiliki kewenangan sebagai penengah dalam kasus-kasus

adat yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat desa, maka MDP dapat

mengambil peranan sebagai penengah dalam konflik yang ada. Namun ternyata

kemudian, MDP tidak hanya menjadi penengah saja, tetapi juga sebagai pemutus

dalam perkara adat. Perkara adat yang bukan termasuk dalam perkara perdata

maupun pidana, namun termasuk perkara adat murni kemudian disebut dengan

Wicara, sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Majelis Utama Desa

Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Dan Petunjuk Teknis oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali.

Berdasarkan catatan yang dimiliki Wayan P. Windia, di Bali pada tahun 1999

sampai dengan 2005 telah terjadi 112 kasus konlik adat.9 Konflik antar tersebut

berkembang dari waktu ke waktu. Terdapat beberapa kasus yang terdapat di Bali

yang melibatkan Desa Pakraman, antara lain ;

Tabel 1

KASUS-KASUS YANG MELIBATKAN DESA PAKRAMAN DI BALI

NO NAMA WAKTU

KEJADIAN

POSISI KASUS JENIS

PELANGGARAN

TINDAKAN

PENEGAK

HUKUM

1 Lemukih Tahun 2010 dari sengketa tanah

adat seluas

sembilan puluh tiga

hektar, dengan

adanya aturan

landreform, dimana

kepemilikan tanah

dibatasi, tanah desa

Pembakaran rumah

Penyiksaan warga

pendukung sertifikat

Pengusiran warga

yang pro pemilik

sertifikat

Sweeping warga

Merusak fasilitas

Menangkap

pelaku

pembakaran dan

penyiksaan

9 Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat Dan Digugat , Udayana

University Press, Denpasar, hal. 30.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

6

lemukih dibatasi

maksimal tiga

puluh hektar.

sisanya enam puluh

enam hektar,

dimohon oleh

penggarap tanah,

sehingga keluar

sertifikat hak milik.

hal ini tidak

diterima oleh

masyarakat adat

yang juga

mengklaim bahwa

tanah tersebut

adalah milik

mereka.

umum

2 Perebutan

kuburan di

Gianyar

setelah di desa

keramas Gianyar.

Kasus pemagaran

kuburan kembali

terjadi di Gianyar.

Kali ini, Tempek

gria Tegallinggah,

bedulu, Gianyar.

ang diduga

memanfaatkan pura

yang juga diempon

kelompok tepekan

gria Tegallinggah,

yang terkesan

diulur-ulur,

penyelesainya.

Sebelumnya,

Tempekan gria

tegallanggih, tidak

terima dengan

sikap yang

dilakukan oleh

kelompok

petandakan, buruan

dengan melakukan

pemekaran Desa

Pakraman baru

yakni Desa

Pakraman

ketandan

Pengusiran

Perusakan fasilitas

umum

Penyiksaan

Sempat

menangkap

pelaku kemudian

dilepaskan lagi.

3 Tapal

Batas

2008-2010 sengketa tapal

batas kedua desa

beberapa kali

menimbulkan

perbuatan anarkis.

Sejumlah warga

Macang

melaporkan,

Penyiksaan

Pengusiran

Perusakan fasilitas

umum

pembakaran

Tidak melakukan

tindakan apapun

terhadap

siapapun

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

7

rumahnya dirusak

karena dilempari

batu dan ada yang

dibakar. Balai

pesandekan pura

dan bak sumber air

juga dibakar dan

dirusak. Kebun

salak dan tanaman

lain dibabat,

buahnya ada yang

dijarah.

4 Tajen Sekarang Tajen melanggar

pasal 303 tetapi

sering kali tajen

diadakan oleh

masyarakat adat.

Perjudian Penangkapan

oknum pejudi

terus dilakukan

tetapi judi

sambung ayan

tetap marak

5 Desa Adat

Pakraman

Budaga

Vs Desa

Adat

Kemoning

Sudah ada

Keputusan

dari MUDP

Perebutan Nama

Pura Dalem Dan

Prajapati kemudian

berimbas pada

tapal batas

pengerusakan dan

Kekerasan

Saling Lapr di

Kepolisan

Kepolisian

menangkap

pelaku

peperangan

Dari : Diambil Berbagai Sumber oleh Peneliti

Di antara kasus tersebut terdapat kasus yang sudah menjadi perkara dan

diselesaikan secara diputus oleh MDP seperti sengkata Semita-Mulung (Gianyar)

yang merupakan sengketa pemekaran Desa Pakraman antara Desa Pakraman

dengan banjar yang ingin memisahkan diri berdasarkan Surat Keputusan (SK)

Nomor 003/ktps/MDP/BALI/IV/2007, tertanggal 11 April 2007 tentang

Pemekaran Banjar Mulung menjadi Desa Pakraman Mulung.10

Tamblingan vs

Munduk juga sama karena sebelum mekar, Desa Pakraman Tamblingan pada

awalnya adalah banjar bagian dari Desa Pakraman Munduk; yang sengketanya

diputus berdasarkan SK Nomor 005 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Desa

Pakraman Tamblingan. Namun ternyata SK tersebut tidak dipatuhi oleh Desa

10

Sumber : www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id, diunduh

pada tanggal 1 Juni 2013.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

8

Pakraman Munduk.11

Sengketa Pura Dalem Kemoning, yang akhirnya menjadi

wicara dan telah diputus oleh MUDP dengan Keputusan MUDP Nomor

001/SP/MUDP/I/2012.

Penyelesaian Wicara tidak hanya diselesaikan secara mediasi, namun juga

melalui penyelesaian berupa peradilan oleh MUDP yang hasilnya adalah sebuah

keputusan dari MUDP. Wicara yang pernah diputus melalui peradilan oleh

MUDP adalah Wicara Pura Dalem Kemoning yang terjadi antar Pangempon pura.

dimana dalam 1 Pura terdapat 4 (empat) Tempek, 2 (dua) Tempek tergabung dalam

Desa Pakraman Kemoning, satu Tempek di Desa Pakraman Budaga, dan satu

Tempek lagi merupakan bagian dari beberapa banjar di Desa Pakraman

Semarapura. Terjadinya sengketa dan akhirnya menjadi sebuah perkara adat yang

ditangani MDP melalui peradilan, sehingga akhirnya MUDP Bali membuat suatu

keputusan untuk mengakhiri perkara adat tersebut. Perkara adat itu sendiri oleh

MDP disebut dengan istilah Wicara, sebagaimana disebutkan dalam Keputusan

Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011

Tentang Petunjuk Pelaksanaan Dan Petunjuk Teknis oleh Majelis Desa Pakraman

(MDP) Bali.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, Keputusan MUDP tersebut ternyata

memiliki kontroversi dari aspek yurisdis dan sosiologis. Dalam aspek yuridis,

dalam realita MUDP sudah menyelesaikan Wicara dengan cara memutus bukan

menengahi atau melakukan mediasi, sementara dalam aturan hukum yang

tersedia, MUDP hanya berwenang menengahi sengketa adat atau Wicara saja

11

Sumber : www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id, Diunduh

Pada Tanggal 1 Juni 2013.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

9

bukan untuk memutus, itupun terbatas pada sengketa sebagaimana tercantum

dalam Pasal 16 Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman terkait

dengan kewenangan MDP.

Aspek sosiologis, keabsahan Keputusan MUDP mengandalkan legitimasi

berupa penerimaan para pihak. Dalam realita yang ada beberapa Keputusan

MUDP mendapat perlawanan (penolakan) dari salah satu pihak, seperti pada

kasus Pura Dalem dan Pura Prajapati Kemoning-Budaga yang dapat dilakukan

dan diselesaikan setelah adanya campur tangan pemerintah.

Untuk dapat mengetahui apakah menyelesaikan perkara adat melalui MUDP

Bali efektif, maka hal ini menarik untuk diteliti sebagai karya ilmiah dalam bentuk

Tesis dengan judul : Penyelesaian Wicara Melalui Peradilan Majelis Utama

Desa Pakraman Provinsi Bali (Study Kasus Pura Dalem Dan Pura Prajapati

Kemoning-Budaga)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapatlah dikemukakan

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah dasar kewenangan MUDP dalam menyelesaikan Wicara melalui

Peradilan?

2. Bagaimana proses penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh MUDP?

3. Bagaimana efektivitas penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh

MUDP?

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

10

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas, maka ruang lingkup

penulisan tentang penyelesaian Wicara melalui MUDP akan dibatasi pada hal-hal

sebagai berikut :

1. Tentang dasar kewenangan MUDP Bali yaitu apa dasar hukum

penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh MUDP.

2. Tentang proses penyelesaian Wicara yaitu yang akan membahas tentang

asas dan norma hukum berkenaan dengan penyelesaian Wicara, proses

penyelesaian perkara adat melalui peradilan oleh MUDP Bali .

3. Tentang efektifitas penyelesaian Wicara melalui peradilan MUDP Bali

yaitu sikap Desa Pakraman dan pihak yang berperkara terhadap

penyelesaian perkara adat melalui peradilan oleh MUDP, persepsi Desa

Pakraman dan pihak yang pernah berperkara terhadap Keputusan MUDP.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam proposal tesis ini dibedakan menjadi tujuan umum

dan tujuan khusus. Adapun penjelasan masing-masing tujuan dimaksud adalah :

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami tentang

aspek hukum Penyelesaian Wicara baik yang bersumber dari hukum adat

maupun ketentuan peraturan perundang-undangan dalam rangka

mewujudkan ketertiban, keamanan dan kedamaian wilayah Bali, khususnya

wilayah Desa Pakraman.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

11

2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui, mandalami dan menganalisa dasar kewenangan

MUDP dalam menyelesaikan Wicara melalui peradilan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa proses penyelesaian Wicara melalui

peradilan oleh MUDP.

3. Untuk mengetahui menganalisa efektifitas penyelesaian Wicara melalui

peradilan oleh MUDP.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun

manfaat teoritis dan manfaat praktis tersebut adalah :

1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan Ilmu

Hukum pada umumnya dan hukum adat pada khususnya, utamanya yang

berkaitan dengan penyelesaian Wicara.

2. Manfaat praktis, dimana hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi kepada Pemerintah, Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, dan

Aparat Keamanan dalam mengambil kebijakan guna penyelesaian Wicara

yang melibatkan Desa Pakraman atau kelompok adat, dan kepada

masyarakat adat khususnya Krama Desa Pakraman dalam menyelesaikan

Wicara serta kepada diri sendiri dalam rangka meningkatkan wawasan

tentang keterkaitan keputusan MUDP dengan penyelesaian Wicara.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

12

1.6 Orisinalitas Penelitian

Untuk mencegah plaganisme, maka berikut disajikan beberapa penelitian

yang pernah dilakukan terkait dengan permasalahan penyelesaian Wicara;

1.6.1 Judul : Peranan Kepala Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat

Melalui Mediasi (Studi Analisis Terhadap Penyelesaian Sengketa

Tanah – Tanah Ulayat Di Kecamatan Soa Kabupaten Ngada –

Flores – Nusa Tenggara Timur)

Peneliti : Maria D. Muga, SH

Dari : Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana

Universitas Diponegoro Semarang 2008

Deskripsi Penelitian : Peranan Kepala Adat yaitu Mosalaki sangat berperan

terhadap penyelesaian sengketa tanah-tanah ulayat karena Kepala Adat dianggap

sebagai hakim perdamaian antara masyarakat dalam menyelesaiakan sengketa

tanah ulayat dan tempat bersandarnya anggota masyarakat adat untuk

menyelesaikan masalahnya. Penelitian ini sangat berbeda dengan konsep

penelitian Penyeleselaian Wicara melalui MUDP, karena disamping penelitiannya

tidak dilakukan di Bali, juga tidak meneliti tentang MUDP.

1.6.2 Judul : Penyelesaian Pelanggaran Adat Di Kecamatan Busungbiu

Kabupaten Buleleng Menurut Hukum Adat Bali

Peneliti : Nyoman Roy Mahendra Putra

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

13

Dari : Program Magister Kenotariatan Univeritas Diponegoro Semarang

2009

Deskripsi Penelitian : Jenis-jenis perbuatan yang dapat digolongkan ke dalam

pelanggaran adat menurut hukum adat Bali adalah pencurian benda-benda suci,

pembunuhan dan penganiayaan di tempat suci atau pura, pengrusakan tempat suci,

pelanggaran kesusilaaan di pura, lokika sanggraha, smandel sanggrama, gamia

gemana, salah karma, drati karma, melarikan istri orang, wakpurusia,

pembongkaran kuburan, menguburkan mayat dan membakar simbol orang

meninggal di pekarangan rumah, menguburkan mayat/jenasah pada hari raya,

memasuki pura pada saat kesebalan karena kematian atau wanita sedang datang

bulan, mengembala binatang piaraan di pekarangan pura, pematang sawah yang

berisi tanaman dan perkebunan warga, mengeluarkan kata kotor di pura serta

melakukan sumpah cor tanpa ijin prajuru desa. Kesimpulan lainnya adalah

Pelaksanaan penyelesaian pelanggaran adat di Kecamatan Busungbiu, Kabupaten

Buleleng menurut hukum adat Bali adalah pelanggaran adat yang tidak

merupakan tindakan kriminal yang diatur dalam KUHP diselesaikan pertama-

tama di tingkat Prajuru Banjar Adat, dan apabila tidak berhasil diselesaikan maka

dilanjutkan penyelesaiannya melalui paruman warga banjar adat dan jika hal ini

juga tidak berhasil diteruskan ke Prajuru Desa Adat Sepang dan jika hal ini juga

tidak berhasil akan diserahkan kepada pemerintah guna memperoleh keputusan.

Namun selama ini segala pelanggaran adat yang terjadi di Banjar Adat

diselesaikan secara baik di tingkat Prajuru Banjar Adat. Penelitian ini tidak

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

14

mengkaji penyelesaiannya sampai pada MUDP tapi hanya sebatas intern Desa

Pakraman.

1.6.3 Judul : Peranan Kerapatan Adat Nagari (Kan) Dalam Proses Penyelesaian

Sengketa Tanah Ulayat Di Kecamatan Kuranji Kota Padang

Peneliti : Defto Yuzastra

Dari : Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana

Universitas Diponegoro 2010

Deskripsi penelitian : Bentuk-bentuk sengketa tanah ulayat dalam masyarakat

hukum adat di Minangkabau, disebabkan oleh pembagian warisan, proses jual

beli, dan sewa menyewa. Peranan KAN Pauh IX Kuranji, adalah sebagai

penengah atas setiap sengketa berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 13

Tahun 1983, sengketa-sengketa mana terkait dengan pengakuan atas Kesatuan

masyarakat hukum adat khususnya di wilayah Kuranji. Penyelesaian atas

permasalahan dapat dilakukan dengan cara mengefektifkan peranan KAN Pauh IX

serta penegasan kewenangan KAN melalui peraturan-peraturan pelaksana dari

peraturan daerah. Perbedaan dengan Penelitian Penyelesaian Perkara Adat melalui

MUDP adalah selain penelitiannya tidak dlakukan di Bali, juga penyelesaian

perkara tersebut tidak melalui MUDP.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

15

1.7 Landasan Teori Dan Kerangka Berpikir

1.7.1 Landasan Teori

Yang dimaksudkan dengan Landasan Teori pada penelitian penyelesaian

Perkara Adat melalui MUDP adalah Teori-teori dan Konsep-konsep. Berikut ini

akan disampaikan penjelasan tentang teori, yang diawali dengan penjelasan

beberapa teori, beberapa konsep yang dipergunakan dalam penulisan ini.

1.7.1.1 Teori

Teori yang akan dipergunakan untuk menganalisa permasalahan yang

dihadapi dalam penelitian Penyelesaian Perkara Adat melaui MUDP, adalah

sebanyak 3 (tiga) teori. Adapun teori-teori tersebut adalah :

1.7.1.1.1 Teori Kewenangan

Pencetusnya teori ini adalah J.G. Brouwer. Inti teorinya adalah Kewenangan

yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan

nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi

oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun

mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi

(UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang

kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan

apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat

bertindak atas nama pemberi mandat.

J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang

diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga

Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

16

adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya.

Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan

kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang

berkompeten.

Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi

dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga

delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji

kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak

terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator)

memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat

keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.

Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi.

Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak

demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan

harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga

kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian,

pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber

kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan

dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan

cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi)

pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

17

guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat

dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.12

Teori kewenangan ini dipergunakan untuk mengkaji permasalahan yang

pertama yaitu mengkaji dasar kewenangan yang di dapat oleh MUDP Bali dalam

menyelesaikan wicara.

1.7.1.1.2 Teori Semi Autonomous Social Field

Pencetus teori ini adalah Sally Falk Moore. Inti teorinya adalah

setiap kelompok sosial (social field) mempunyai kapasitas dalam

menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation)

dengan disertai kekuatan-kekuatan memaksa dalam pentaatannya.13

Dalam Pluralisme Hukum (Legal Pluralism) keberadaan sistem

hukum yang hidup seperti hukum agama, hukum kebiasaan dan juga

aturan-aturan lokal yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat adalah

hukum. Pluralisme hukum didefinisikan sebagai suatu situasi dimana dua

atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang

kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau

lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial.14

12

F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan

Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.

219. 13

Sally Falk Moore, 1983, Law and Social Change : The Semi-Autonomous Social Field as

an Appropriate Subject of Study, Law as a process, an Anthropological approach, Routledge and

Kegan Paul, London, hal. 78.

14

I Nyoman Nurjaya, 2009. Perkembangan Tema Kajian, Metodologi, dan Model

Penggunaannya untuk memahami Fenomena Hukum di Indonesia. http://editorssiojo85.

wordpress.com, hal. 8.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

18

Kemajemukan sistem hukum yang dimiliki oleh masing-masing

kelompok sosial, yang secara nyata melekat dalam kehidupan masyarakat

adat adalah merupakan fakta, sehingga berbagai sistem hukum itu adalah

eksis pada lingkungannya serta dapat berlaku bebas di luar ketentuan

Negara atau dapat berlaku dan bekerja secara berdampingan dengan sistem

hukum lain.15

Konsep legal pluralism ini telah memberikan tempat dan pengakuan

(recognition) terhadap keanekaragaman hukum. Cakupan pengakuan

tersebut meliputi pengakuan terhadap tertib hukum di dalam lingkup

Negara sampai dengan konsep-konsep hukum, yang validasinya tidak

selalu mengharuskan adanya pengakuan hukum dari Negara.16

Kegunaan Teori semi-Autonomous Social Field adalah sebagai

instrumen dalam menganalisa permasalahan penelitian yang pertama dan

kedua yaitu dasar kewenangan MUDP dalam penyelesaian perkara adat,

mengingat MUDP adalah wadah tunggal Desa Pakraman sebagai

kelompok sosial yang dapat mengatur rumah tangganya sendiri dan

tentang proses pelaksanaan penyelesaian perkara adat melalui MUDP,

yang memiliki mekanisme penyelesaian perkara adat tersendiri tata cara

penyelesaian perkara adat melaui MUDP.

15

Sulistyowati Irianto, 2008. Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan

Konsekuensi Metodologisnya. http://roysal.blogspot.com, hal. 5.

16

Johannes Johny Koynja, 2009. Hukum dan Pendekatan Teori Sosial. http:/Johny

Koynja.blogspot.com, hal. 4.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

19

1.7.1.1.3 Ajaran Mengenai Penanganan Perkara Adat dari Moh. Koesnoe.

Menurut Moh. Koesnoe, ada dua cara dalam menangani perkara adat yaitu

dengan cara menyelesaikan dan memutus. Ajaran pokok dari Koesnoe ini dapat

digunakan oleh para Hakim Adat atau MUDP untuk mengidentifikasi dan

menjelaskan mengenai bentuk penyelesaian perkara-perkara adat. Ajaran

menyelesaikan berpendapat bahwa segala persoalan yang menyangkut

kepentingan bersama hendaknya dipecahkan bersama-sama secara musyawarah

mufakat oleh anggota-anggotannya atas dasar kebulatan kehendak bersama.

Musyawarah ditujukan untuk mencari Mufakat yang menurut alur dan patut.

Dalam hal ini, bukan soal “menang-kalah” dari salah satu pihak, melainkan

kembalinya keadaan keseimbangan yang terganggu sehingga masing-masing

pihak dapat hidup bersama kembali dalam kehidupan secara tenang, tentram dan

sejahtera.

Ajaran memutus berpandangan bahwa tidak semua perkara adat dapat

diselesaikan, terutama segi-segi yang membahayakan kehidupan bersama begitu

berat, sehingga perlu adanya langkah-langkah yang bersifat tegas dan jelas. Dalam

hal ini, pengambilan keputusan tidak boleh secara sewenang-wenang, akan tetapi

harus mengutamakan asas musyawarah-mufakat, keputusan yang di ambil harus

dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan YME, dengan

menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan

keadilan. Ajaran memutus lebih menitik beratkan pada pertimbangan-

pertimbangan akal sehat dan apa yang sebenarnya.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

20

Kedua ajaran itu menekankan pentingnya faktor teknik, pikiran dan

perasaan. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang hakim dalam urusan adat

dituntut persyaratan yang dimiliki mengenai teknik-teknik menyelesaikan perkara,

kehalusan perasaan dan penghayatan kesusilaan dan dasar-dasar hidup

bermasyarakat, sehingga jawaban yang diberikan dapat memuaskan para pihak

dan masyarakat secara menyeluruh.17

Ajaran menyelesaikan dan memutus tersebut di atas, digunakan oleh Hakim

Perdamaian Adat dalam mengadili perkara-perkara adat menggunakan 3 (tiga)

asas yaitu asas rukun, patut dan laras. Asas rukun yaitu suatu asas yang isinya

suatu pandangan dan sikap orang menghadapi hidup bersama dalam lingkungan

dengan sesamanya untuk mencapai suasana hidup bersama yang aman, tentram

dan sejahtera. Asas patut merupakan asas yang menekankan perhatian kepada cara

bagaimana bersikap, berbuat, bertindak dan berprilaku dengan lebih

mengedepankan etika dan rasa malu. Asas laras adalah asas yang berkaitan

dengan pola prilaku masyarakat yang lebih mengutamakan adanya keseimbangan

dan keselarasan antara dunia lahiriah dan dunia batiniah, dengan demikian

keharmonisan hidup masyarakat dapat tercapai. Prinsip-prinsip tersebut di atas

merupakan prinsip operasional yang melembaga di dalam struktur sosial

masyarakat adat.

Ajaran dari Koesno ini dipergunakan untuk membantu teori semi

autonomous social field dalam menjawab permasalahan kedua yaitu

penyelesaiaan wicara melalui peradilan oleh MUDP Provinsi Bali.

17

Moh. Koesno, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya,

Airlangga University Press, hal, 49.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

21

1.7.1.1.4 Teori Sistem Hukum

Pencetusnya Teori Sistem Hukum adalah Lawrence M. Friedman. Inti

teorinya adalah untuk dapat bekerja secara efektif, hukum sebagai suatu sistem

harus memenuhi 3 (tiga) elemen pokok, yaitu (a) Struktur sistem hukum

(structure of system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang

(legislatif), instusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan dengan

strukturnya, badan kopolisian Negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak

hukum harus dapat berfungsi sebagai efektif (b) Substansi sistem hukum

(substance of legal system) yang berupa norma-norma hukum, peraturan-peraturan

hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem

hukum dapat menjalankan fungsi dengan baik, dan (c) Budaya hukum masyarakat

(legal culture) seperti nilai-nilai harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang

terwujub dalam prilaku masyarakat dalam mempersiapkan hukum harus dapat

dipenuhi oleh sistem hukum.

Setiap masyarakat memliki struktur dan subtansi hukum sendiri yang

menentukan apakah subtansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya

malah dilanggar adalah ditentukan oleh sikap dan prilaku sosial masyarakatnya,

dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak

sangat tertgantung pada kebiasaan-kebiasaan (customs), kultur (culture) tradisi-

tradisi (tradition), dan norma- norma informal (informal norms) yang diciptakan

dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang yang besangkutan.18

18

Lawrence M. Friedman, 1984, The Legal system A Sosial Science Perspective (Judul

Terjemahan Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial), terjemahan M. Khozim. Penerbit Nusa Media

Bandung, hal. 5-7.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

22

Melalui kajian komponen struktur hukum, subtansi hukum dan kultur

hukum sebagai suatu sistem hukum bekerja dalam masyarakat, atau bagaimana

suatu sistem-sistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi

dalam suatu bidang kehidupan sosial (sosial field) tertentu. Kultur hukum menjadi

bagian dari kekuatan sosial yang menentukan efektif atau tidaknya hukum dalam

kehidupan masyarakat. Kultur hukum menjadi motor penggerak dan memberi

masukan-masukan kepada struktur dan subtansi hukum dalam memperkuat sistem

hukum.

Teori Hukum sebagai suatu sistem dapat dipergunakan untuk mengkaji

komponen struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum sebagai suatu

sistem sehingga nantinya dapat menjawab permasalahan ketiga yaitu apakah

dalam penyelesaian perkara adat melalui MUDP dapat bekerja secara efektif atau

tidak.

1.7.1.2 Konsep

Konsep yang akan dipergunakan untuk membantu didalam memberikan

penjelasan terhadap beberapa permasalahan Penelitian Penyelesaian Wicara

melalui Peradilan Oleh MUDP di Bali, yaitu :

1.7.1.2.1 Konsep Penyelesaian Wicara

Wicara atau Perkara Adat adalah perkara adat yang muncul karena sengketa

adat atau pelanggaran norma hukum adat Bali, baik tertulis maupun tidak tertulis

(catur dresta) yang dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu, yang tidak termasuk

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

23

sengketa perdata dan/atau pelanggaran hukum menurut Hukum negara.19

Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkara berarti pelanggaran (kejahatan,

perselisihan, dsb) yang ada sangkut pautnya dengan hukum atau yang diadili oleh

pengadilan.20

Sedangkan adat itu sendiri berarti aturan yang lazim dituruti atau

dilakukan sejak dahulu kala.21

Oleh karena itu, perkara adat adalah perkara adat

murni yang bukan termasuk perkara perdata atau pelanggaran hukum negara.

Selanjutnya Ketut Wirta Griadi menyatakan untuk sengketa adat jelas pula

menunjukkan eksistensinya sebagai bentuk suatu perselisihan yang terjadi antara

dua subjek hukum, disebabkan karena adanya benturan kepentingan yang

dilandasi oleh pandangan atau pendirian yang berbeda. Suatu ciri khas yang

melekat pada sengketa adat adalah adanya suatu obyek sengketa yang

menyangkut kepentingan adat, terutama yang berhubungan dengan kepentingan

kelompok.22

Maka memperhatikan pernyataan Ketut Wirta Griadi tersebut, jelas

bahwa perkara adat merupakan sebuah proses penyelesaian yang bertujuan untuk

menyelesaikan sengketa adat atau benturan atas kepentingan adat. Dalam hal

sengketa tidak bisa diselesaikan dan pada akhirnya perlu sebuah penyelesaian

maka sengketa tersebut berubah menjadi perkara yang ada pada akhirnya

memerlukan sebuah keputusan.

19

Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP

Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Dan Petunjuk Teknis oleh Majelis Desa

Pakraman (MDP) Bali

20

WJS. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ke-3, yang diolah

kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 877.

21

Ibid, hal. 7.

22

I Ketut Wirta Griadi, 1990, Beberapa Catatan Tentang Sengketa Adat Di Bali, dalam

majalah ilmiah Kerta Pratika Nomor 50/Maret 1990, hal. 26.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

24

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Penyelesaian berarti proses, cara,

perbuatan pemberesan atau pemecahan.23

Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa

dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok utama yakni yang pertama dilakukan

oleh salah satu pihak, kedua dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa saja,

dan yang ketiga melibatkan pihak ketiga. Bentuk penyelesaian sengketa lainnya

yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa adalah negosiasi. Penyelesaian

sengketa model ini disebut penyelesaian diadik untuk menghasilkan suatu

keputusan atau kesepakatan tanpa campur tangan atau bantuan pihak ketiga.

Biasanya penyelesaian model ini tidak berdasarkan peraturan yang ada melainkan

berdasarkan aturan yang mereka buat sendiri.

Sedangkan penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga meliputi

penyelesaian yang berbentuk ajudikasi, arbitrase, dan mediasi. Bentuk-bentuk

penyelesaian sengketa ini mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya

adalah bentuk penyelesaian ini bersifat triadic karena melibatkan pihak ketiga,

sedangkan perbedaannya adalah ajudikasi merupakan penyelesaian yang

dilakukan oleh pihak ketiga yang mempunyai wewenang untuk campur tangan,

dan ia dapat melaksanakan keputusan yang telah ditentukan tanpa memperhatikan

apa yang menjadi kehendak para pihak. Berbeda dengan ajudikasi, arbitrase

merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan pihak ketiga dan keputusannya

disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan mediasi adalah bentuk

penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga untuk membantu pihak-pihak yang

bersangkutan untuk mencapai persetujuan.

23

http://kamusbahasaindonesia.org/penyelesaian#ixzz20niIJHrf, dinduh tanggal 16 Juli

2012, jam 23.55 Wita.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

25

1.7.1.2.2 Konsep Peradilan

Peradilan dalam istilah bahasa inggris disebut dengan judiciary, sedangkan

dalam bahasa belanda disebut rechspraak dalam bahasa Belanda yang maksudnya

adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan

hukum dan keadilan. Sedangkan menurut Cik Hasan Bisri, Peradilan merupakan

salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup masyarakat dalam penegakkan

hukum dan keadilan, yang mengacu kepada hukum yang berlaku.24

Secara hukum tertulis, berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) Undang-Undang

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jo. Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman, di Indonesia dikenal 4 (empat) lingkungan

lembaga Peradilan; yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer

Dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun kemudian dalam hal Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat (KMHA) dikenal dengan penyelesaian perkara melalui

mekanisme persidangan dalam penegakan hukum adat yang berlaku.

Seiring dengan diakuinya KMHA, sebagaimana Pasal 18 B Ayat 2 UUD

NRI 1945 Jo. Pasal 2 Ayat (9), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah, bahkan untuk di Bali dalam Pasal 16 dan Ayat (1) Ayat (2)

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003. Khusus untuk masalah penyelesaian

kasus-kasus adat Kewenangan MUDP terdapat dalam Pasal 16 Ayat (2) Angka (2)

yang menegaskan bahwa “Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak

dapat di selesaikan pada tingkat desa”, maka masih diberikan ruang dalam

24

Cik Hasan Bisri, 1997, Peradilan Agama di Indonesia , Rajawali Pers, Jakarta,

hal. 96.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

26

mengadili sengketa adat atau pelanggaran hukum adat yang bukan termasuk

perkara perdata atau pelanggaran hukum nasional melalui Peradilan di luar empat

lingkungan peradilan yang terdapat dalam Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009,

termasuk dalam hal ini adalah peradilan adat.

Peradilan adat merupakan peradilan untuk mengadili perkara adat. Menurut

Hilman Hadikusuma bahwa peradilan adat (adatrechtspraak) yaitu suatu

peradilan diluar pengadilan negara yang berdasarkan hukum adat atau kebiasaan

setempat yang sifatnya sederhana, yang hingga saat ini masih hidup dalam

masyarakat adat.25

Hilman Hadikusuma juga berpendapat bahwa Peradilan adat

adalah peradilan rakyat di pedesaan yang menyelesaikan perkara adat secara

damai.26

Hal ini menunjukkan bahwa Peradilan Adat sebuah lembaga adat yang

merupakan lembaga asli untuk menegakkan hukum adat.

Perkara adat murni yang diadili di peradilan adat adalah perkara yang tidak

termasuk dalam perkara nasional seperti perdata dan pidana. Perkara adat yang

dimaksud adalah meliputi perselisihan, sengketa dan pelanggaran adat.

Selanjutnya dengan dikeluarkannya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun

1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan,

Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, maka peradilan Pribumi dan peradilan

Swapraja secara berangsur-angsur dihapuskan kecuali “Peradilan Desa” tetap

dapat menyelesaikan perkara perselisihan adat secara damai. Dalam Pasal 1 ayat

25

Hilman Hadikusuma, (a), 1994, Peradilan Adat Dalam Masyarakat Yang

Sedang Membangun, Edisi khusus “Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia”,

Dalam HUT ke-30 Fakultas Hukum Univrsitas Udayana dan Lustrum VI tanggal 1

September, Denpasar, hal. 211.

26

Ibid, hal. 216.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

27

(3) Undang-undang tersebut menyatakan bahwa ketentuan yang disebut dalam

ayat pertama tidak sedikitpun mengurangi hak kekuasaan yang selama ini

diberikan kepada Hakim Perdamaian Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a

RO.27

1.7.1.2.3 Konsep Majelis Utama Desa Pakraman

Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) merupakan Majelis Desa

Pakraman yang berkedudukan di Ibukota Provinsi Bali sebagai mana diatur dalam

Pasal 14 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman.

Majelis Desa Pakraman atau singkat dengan MDP adalah merupakan organisasi

yang bersifat religius. Majelis Desa Pakraman (MDP) adalah lembaga adat yang

terdapat di Bali yang diatur dalam Bab IX Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun

2001. Dalam Pasal 14 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001

disebutkan :

Majelis Desa Pakraman terdiri dari:

1. Majelis Utama untuk Propinsi berkedudukan di ibu kota Propinsi;

2. Majelis Madya untuk kabupaten/kota berkedudukan di

kabupaten/kota

3. Majelis Desa untuk kecmatan berkedudukan di ibu kota

kecamatan selanjutnya.

Adapun visi dari MDP adalah terwujudnya persatuan Desa Pakraman yang

harmoni dan terjaganya adat dan sosial budaya Bali yang dilandasi Agama Hindu.

Visi MDP tersebut selaras dengan tugas dan wewenang MDP yang tercantum

dalam Pasal 16 Perda Nomor 3 Tahun 2001 :

27

Hilman Hadikusuma, (a), op.cit, hal. 216.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

28

Adapun MDP mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut;

Tugas MDP adalah

1. Mewujudkan kesukertan tata Agama Hindu

2. Mewujudkan persatuan dan kesatuan Desa Pakraman

3. Menciptakan kesukertan jagad Bali

4. Mengayomi adat istiadat Bali

5. Meningkatkan kualitas karma Desa Pakraman

6. Melestarikan Lingkungan dan tanah Bali

MDP mempunyai wewenang

1. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-

masalah adat dan agama untuk kepentingan Desa Pakraman.

2. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan

pada tingkat desa

3. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan,

kabupaten/kota di propinsi Bali

Atas tugas dan wewenang tersebut MDP diharapkan selalu dapat

melestarikan atau melakukan upaya untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai

Adat Budaya masyarakat Bali terutama nilai Etika, Moral, dan Peradaban yang

merupakan inti adat istiadat dan tradisi masyarakat Bali agar keberadaannya tetap

terjaga dan berlanjut.

1.7.1 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir yang penulis bangun berdasarkan teori dan konsep yang

telah ada adalah menjawab permasalahan dengan menggunakan teori dan konsep

yang ada kemudian penulis upayakan menyingkronisasikannya dengan data-data

yang didapatkan di lapangan.

Penelitian Penyelesaian wicara melalui peradilan oleh MUDP Provinsi Bali,

dilatarbelakangi adanya perbedaan antara peraturan dan fakta yang terjadi di

lapangan (das sollen dan das sein), sehingga penelitian ini akan mengkaji

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

29

memperhatikan ketentuan hukumnya yang kemudian dibandingkan dengan

kenyataan di lapangan. Setelah latar belakang tersebut dikaji barulah dapat ditarik

permasalahan. Dalam penelitian ini akan dikaji 3 (tiga) permasalahan yaitu :

mengenai dasar kewenangan MUDP dalam menyelesaikan wicara melalui

peradilan, Proses penyelesaian wicara melalui peradilan oleh MUDP dan

efektivitas penyelesaian wicara melalui peradilan oleh MUDP.

Permasalahan pertama dikaji dengan Teori Kewenangan dari J.G. Brouwer

dan Teori Semi Autonomous Social field dari Sally Folke Moore, sedangkan

permasalahan kedua akan dikaji dengan Ajaran Penanganan Dari Moh. Koesnoe

mengenai ajaran menyelesaikan dan memutus, sedangkan permasalahan ketiga

akan dikaji berdasarkan Teori Sistem Hukum dari L.M Friedman. Teori-Teori

tersebut dalam mengkaji permasalahan yang ada akan dibantu dengan 3 (tiga)

konsep, yaitu konsep wicara, konsep peradilan dan konsep Majelis Utama Desa

Pakraman.

Permasalahan dikaji dan dibahas dalam beberapa BAB yang didalamnya

juga dikaji sub bahasan satu persatu yang tidak terlepas dari teori dan konsep yang

dipergunakan. Yang pada akhirnya jawaban atas pertanyaan tersebut kemudian

tertuang dalam kesimpulan tesis.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

30

Kerangka Berpikir yang dibangun dapat dijelaskan dengan Bagan berikut :

Kerangka Berpikir Penelitian Penyelesaian Perkara Adat

Melalui MUDP Provinsi Bali

Keterangan kerangka berpikir:

= Garis yang menandakan hubungan serta pengaruh antara satu

variabel dengan variabel yang lainnya.

-------- = Garis yang menandakan hubungan serta pengaruh variable dengan

variable yang lain secara tidak langsung

KETENTUAN HUKUM

TENTANG PENYELESAIAN WICARA MELALUI

MUDP

DASAR KEWENANGAN

MUDP DALAM

MENYELESAIKAN

PERKARA ADAT

PROSES

PENYELESAIAN

PERKARA ADAT

MELALUI MUDP

EFEKTIVITAS

PENYELESAIAN

PERKARA ADAT

MELALUI MUDP

KESIMPULAN

Teori

Kewenangan

Teori Semi

Automous

Social Filed

Ajaran

Koesnoe

Tentang

menyelesaikan

dan memutus

Teori Sistem

Hukum

Konsep Penyelesaian

Wicara

Konsep MUDP Konsep Peradilan

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

31

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian hukum ada 2 (dua) yaitu Jenis Penelitian Normatif dan Jenis

Penelitian Empiris. Jenis penelitian ini adalah penelitian ilmu hukum dengan

aspek empiris, (penelitian hukum empiris). Penelitian hukum empiris beranjak

dari adanya kesenjangan antara (das Sollen and das Sein) yaitu kesenjangan antara

teori dengan dunia realita.28

Penelitian tesis ini sesuai permasalahannya yaitu

penyelesaian Wicara melalui Peradilan oleh MUDP di Bali adalah tergolong

dalam penelitian empiris karena penelitian ini disamping mengidentifikasikan tata

cara penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh MUDP tentang Desa Pakraman,

juga meneliti tentang efektifitas Keputusan MUDP. Penelitian hukum empiris

yaitu penelitian tentang fakta-fakta sosial tentang berlakunya hukum di tengah-

tengah masyarakat.29

Penelitian hukum empiris ini disebut pula dengan penelitian hukum

sosiologis (socio legal research), yang dalam pelaksanaannya memanfaatkan

metode ilmu-ilmu sosial.30

yaitu penelitian yang bertujuan untuk melukiskan

sesuatu hal di daerah tertentu pada saat tertentu. Soetandyo Wignjosoebroto

28

Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2008,

Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi

Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana , Denpasar, hal. 32-

33.

29

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum , Madar Maju,

Bandung, hal. 135.

30

Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,

Jakarta, hal. 1.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

32

sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono menyatakan aspek penelitian

hukum empiris juga disebut sebagai non-doctrinal research atau socio-legal

research.31

1.8.2 Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum dapat dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu yang

bersifat explorative (menjelajah), descriptive analytic (melukiskan dan

menganalisa) dan explanatory (menjelaskan).32

Penelitian tesis ini

menggambarkan serta mengkaji fakta-fakta terkait dengan penyelesaian perkara

adat melalui peradilan oleh MUDP di Bali yang menggunakan penelitian lapangan

yang didukung atau dilengkapi dengan penelitian kepustakaan yang berhubungan

dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga menghasilkan gabungan

antara teori dan praktek lapangan.

Pelaksanaan penelitian ini yang menggabungkan teori dan praktek lapangan

dikatakan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif analitis (descriptive analytic).

Penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, tentang keadaan atau

gejala-gejala lainnya. Penelitian Deskriptif merupakan suatu penelitian yang

menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan cara pengumpulan data,

menyusun, mengklasifikasi, menganalisa dan menginterpretasikan data dalam

rangka diperoleh hasil.

31

Bambang Sunggono, 2003, Metodelogi Penelitian Hukum , CV. Rajawali Pers,

Jakarta, hal. 4.

32

Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,

Mandar Maju, Bandung, hal. 10.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

33

1.8.3 Jenis Pendekatan

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan untuk

mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang

dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan masalah merupakan proses

pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan

sehingga tercapai tujuan penelitian.33

Dengan demikian tipe pendekatan prilaku yang dapat digunakan adalah :

pendekatan perilaku yudisial (judisal behavioral approach), pendekatan prilaku

non-yudisial (nonjudisal behavioral approach), dan pendekatan prilaku gabungan

(combined behavioral approach). Oleh karena itu penelitian ini akan mengukur

efektifitas penyelesaian Wicara melalui MUDP, maka pendekatan masalah yang

dapat digunakan adalah pendekatan prilaku (behavioral approach).34

1.8.4 Lokasi Penelitian

Dalam rangka memperoleh data pada penulisan ini, penulis melakukan

penelitian dengan metode purposive sampling, yaitu sampel yang diambil hanya

yang sudah ditentukan dan sesuai dengan tujuan penelitian.35

Lokasi penelitian

sudah peneliti tentukan dengan kriteria sebagai berikut : Lembaga pembuat

keputusan yaitu Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali yang memiliki

Keputusan dan sebagai Lembaga Peradilan dalam menyelesaikan perkara adat

33

Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Penerbit PT. Citra

Aditya Bhakti, Bandung, hal. 165.

34

Ibid

35

Ibid

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

34

atau Wicara. Berdasarkan kriteria tersebut di atas maka penulis berketetapan

untuk melakukan penelitian di Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi

Bali.

1.8.5 Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data dalam penelitian ini sangat terkaitkan dengan subtansi

hukum penelitian. Subtansi hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

peraturan perundang-undangan dan peraturan hukum adat Bali yang terkait

dengan pokok pembahasan.36

Jadi jenis data dan sumber data dalam penelitian ini

tidak terlepas dari permasalahan yang nantinya akan dibahas.

a. Jenis data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Jenis Data primer dan

Jenis data Sekunder. Data Primer yaitu data yang langsung diperoleh dari

masyarakat atau hasil penelitian lapangan (field research), sedangkan dan jenis

data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan (library

research). Data sekunder berupa bahan-bahan hukum, baik bahan primer maupun

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.37

b. Sumber data

Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung di lokasi

penelitian yaitu sumber dari pihak yang mengalami langsung berupa wawancara

36

Lawrence M.Friedman, (b), 1969, On Legal Developmant, dalam “Rutgers Law

Review” Vol.24, hal. 28.

37

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 14-15.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

35

dengan pihak terkait seperti Bandesa MUDP Bali, dan Krama Desa Pakraman

Kemoning serta Desa Pakraman Budaga.

Sedangkan sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari

pihak kedua atau data yang ditulis oleh pihak lain berupa kepustakaan baik berupa

bahan-bahan hukum maupun non-hukum. Bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum

primer, yaitu bahan-bahan buku yang sifatnya mengikat (hukum positif) dalam

bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan subjek penelitian.38

Bahan hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif artinya

memiliki otoritas, terutama berupa peraturan perundang-undangan. Peraturan

perundang-undangan yang dikaji dalam penelitian ini antara lain :

1. Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

2. Pasal 2 Butir 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah;

3. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa

Pakraman sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi

Bali No.3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah

Provinsi Bali No, 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.

4. Pasal 9 dan Pasal 13 Anggaran Dasar Majelis Desa Pakraman Bali

Tahun 2004;

38

Amiruddin Dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode penelitian Hukum, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal. 118.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

36

5. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Nomor 050/Kep/Psm-1/MDP

Bali/III/2006 tentang Hasil-hasil Pesamuhan Agung I MDP Bali;

6. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor :

01/Kep/Psm-2/MDP Bali/X/2007 tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung

II MDP Bali.

7. Keputusan Paruman Agung Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi

Bali Nomor : 06/KEP/PRM-A/MUDP/BALI/V/2009 tentang

Pengesahan Personalia Prajuru Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi

Bali Masa Bakti tahun 2009-2015.

8. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor :

01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung

III MDP Bali.

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan

tentang bahan hukum primer,39

seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil

penelitian, hasil dari kalangan hukum, hasil Pasamuhan Agung Majelis Desa

Pakraman, Keputusan-keputusan MUDP dan seterusnya. Bahan hukum sekunder

dapat berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan berupa dokumen-

dokumen resmi, seperti buku, artikel, hasil penelitian. sedangkan untuk bahan

hukum tersier yang dipergunakan berupa kamus.

39

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normative, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal. 13.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

37

1.8.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dimaksudkan sebagai suatu cara untuk

memperoleh data dalam penelitian. Menurut Sutrisno Hadi, baik buruknya hasil

penelitian (research) tergantung pada teknik pengumpulan datanya atau untuk

memperoleh data yang relevan, akurat dan reliable, pekerjaan penelitian

menggunakan teknik-teknik, alat-alat serta kegiatan-kegiatan yang dapat

diandalkan.40

Hal tersebut berangkat dari pada pandangan Nawawi, yang

menyatakan dalam pengumpulan data diperlukan alat instrument yang tepat agar

data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkan

secara lengkap.41

Dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini, untuk

mengumpulkan data primer dan data sekunder, ada dua kegiatan utama yang akan

dilakukan dalam pelaksanaan penelitian ini, yaitu kegiatan studi lapangan dalam

rangka memperoleh data primer dan studi kepustakaan dalam rangka memperoleh

data sekunder. Nasution mengatakan kajian kepustakaan bermanfaat untuk

melakukan penelusuran dan penelaahan referensi.42

Data primer dikumpulkan dari sumber pertama yaitu responden melalui

wawancara, seperti wawancara dengan Bandesa MUDP, prajuru Desa Pakraman,

dan Warga Desa Pakraman. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh

dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan

40

Sutrisno Hadi, op.cit, hal. 25.

41

Nawawi Hadari dan Martini Hadari, 1992, Instrument Penelitian Bidang Sosial ,

Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 69.

42

S. Nasution, 2003, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Bumi Aksara, Jakarta,

hal. 113.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

38

serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Pedoman

wawancara sebelumnya disiapkan dan berisi pertanyaan yang dapat

dikembangkan di lapangan. Catatan di lapangan dengan sistem kartu berupa

catatan hasil wawancara dan identitas informan dan responden . Sebagai alat

dalam pengumpulan data primer dan data sekunder selain peneliti sendiri, juga

digunakan alat bantu yang oleh Moleong disebut sebagai catatan lapangan (field

notes) catatan lapangan tersebut memuat ringkasan-ringkasan informasi yang

berhasil dijaring.43

Pedoman wawancara nantinya diperlukan untuk mencegah yang mungkin

akan timbul, seperti yang dikemukakan Usman dan Akbar bahwa dalam

wawancara dapat terjadi : error of recognition, jika pewawancara gagal

memproduksi ingatannya kembali; error of omission, jika wawancara melewatkan

pertanyaan yang seharusnya ditanyakan; error of addition, jika pewawancara

melebih-lebihkan jawaban informan; dan error of traspotion, jika pewawancara

tidak mampu mereproduksi urutan jawaban dari informan.44

1.8.7 Teknik Penentuan Informan dan Responden

Pengambilan sampel untuk tahap pertama dilakukan dengan teknik

purposive sampling maksudnya adalah menentukan sampel dengan berbagai

pertimbangan atau alasan. Alasan yang pertama adalah responden haruslah dari

MUDP dan Bandesa dari desa adat budaga dan desa adat kemoning adalah karena

43

Lexy J. Moleong, 1994, Metodologi Penelitian Kualitatif , PT. Remaja

Rosadakarya, Bandung, hal. 153.

44

Usman, Husaini, Purnomo Setiady dan Akbar, 2003, Metode Penelitian Sosial, PT. Bumi

Aksara, Jakarta, hal. 59.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

39

informan dan responden dari MUDP dan Bandesa tersebut adalah responden

kunci penelitian yang mengetahui adanya penyelesaian Wicara melalui MUDP,

kemudian untuk informan selanjutnya akan ditentukan melalui rekomendasi dari

responden kunci sebelumnya sampai pada memperoleh data yang diinginkan atau

informasi yang diterima sudah tidak dapat dikembangkan lagi.

1.8.8 Teknik Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul kemudian diolah. Menurut Miles dan Huberman,

dalam analisis kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara

bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.45

Namun

dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengkoreksi apakah data yang

terkumpul cukup lengkap, sudah benar dan sudah relevan/sesuai dengan

masalah.

b. Penandaan Data (coding), yaitu memberikan catatan atau tanda yang

menyatakan jenis sumber data.

c. Klarifikasi Data (clarification), yaitu menyusun ulang data secara

teratur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami

d. Sistematisasi data (systematizing), yaitu menempatkan data menurut

kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

45

Miles B Maatew & Machel Huberman, 1992, Aanalisa Data Kualitatif , PT.

Rosdakarya, Bandung, hal. 15.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfTentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu

40

1.8.9 Teknik Analisis data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Analisis data

kualitatif adalah cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yaitu

apa yang dinyatakan oleh para responden baik secara tertulis maupun lisan diteliti

dan dipelajari secara utuh. Pengertian analisis disini, dimaksudkan sebagai suatu

penjelasan dan penginterpretasian hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan

bagaimana tata cara Penyelesaian Wicara melalui MUDP. Berdasarkan hasil

analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan induktif, yaitu cara

berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-

fakta yang bersifat khusus.46

1.8.10 Teknik Penyajian

Seluruh hasil penelitian kemudian disajikan secara deskriptif analitis, yaitu

dengan memaparkan secara rinci dan lengkap segala persoalan dengan masalah

yang diteliti, menguraikan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan

permasalahan yang diteliti, kemudian ditarik kesimpulan untuk menjawab

permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

46

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia

Press, Jakarta, hal. 112.