desa pakraman - unud

28
41 BAB II KERANGKA TEORITIS PARTISIPASI DESA PAKRAMAN DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 2.1. Teori Di dalam disertasi ini, dijelaskan relevansi teori yang digunakan untuk membedah permasalahan yang diajukan. Berkenaan dengan relevansi teori dimaksud adalah: 2.1.1. Teori Negara Hukum Teori negara hukum yang digunakan dalam disertasi ini adalah teori negara hukum dari Brian Z. Tamanaha. Di dalam teori negara hukum ini didasarkan pada dua (2) pendekatan yang digunakan dalam mengkaji negara hukum yaitu pendekatan formal dan pendekatan substantive 1 . Lebih lanjut gambaran teori negara hukum Tamanaha disajikan dalam bentuk gambar berikut: Gambar 2 ALTERNATIVE RULE OF LAW FORMULATIONS 2 Thinner------------------------> to-------------------------Thicker FORMAL 1. Rule-by-law 2. Formal Legality 3. Democracy + Legality VERSIONS : - law as instrument - general, prospective, - consent determines of government clear, certain. content of law action SUBSTANTIVE 4. Individual 5. Right of Dignity 6. Social Welfare VERSIONS Rights and/or Justice - property, contract - substantive, equality privacy welfare, preservation autonomy community Berdasarkan pada gambar di atas, dapat dipahami bahwa konsep negara hukum versi formal dimulai dari konsep rule by law yaitu hukum dimaknai sebagai instrumen tindakan pemerintah. Selanjutnya berkembang dalam bentuk formal legality yang mengartikan bahwa konsep hukum diartikan sebagai norma yang umum, jelas, prespektif dan pasti. Selanjutnya 1 Brian Z Tamanaha, 2004, On The Rule Of Law,Cambridge University Press, New York, h.91. 2 Brian Z Tamanaha, 2004, On The Rule…, Ibid.

Upload: others

Post on 05-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DESA PAKRAMAN - UNUD

41

BAB II

KERANGKA TEORITIS PARTISIPASI DESA PAKRAMAN

DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

2.1. Teori

Di dalam disertasi ini, dijelaskan relevansi teori yang digunakan untuk membedah

permasalahan yang diajukan. Berkenaan dengan relevansi teori dimaksud adalah:

2.1.1. Teori Negara Hukum

Teori negara hukum yang digunakan dalam disertasi ini adalah teori negara hukum dari

Brian Z. Tamanaha. Di dalam teori negara hukum ini didasarkan pada dua (2) pendekatan yang

digunakan dalam mengkaji negara hukum yaitu pendekatan formal dan pendekatan substantive1.

Lebih lanjut gambaran teori negara hukum Tamanaha disajikan dalam bentuk gambar berikut:

Gambar 2

ALTERNATIVE RULE OF LAW FORMULATIONS2

Thinner------------------------> to-------------------------Thicker

FORMAL 1. Rule-by-law 2. Formal Legality 3. Democracy + Legality

VERSIONS : - law as instrument - general, prospective, - consent determines

of government clear, certain. content of law

action

SUBSTANTIVE 4. Individual 5. Right of Dignity 6. Social Welfare

VERSIONS Rights and/or Justice

- property, contract - substantive, equality

privacy welfare, preservation

autonomy community

Berdasarkan pada gambar di atas, dapat dipahami bahwa konsep negara hukum versi

formal dimulai dari konsep rule by law yaitu hukum dimaknai sebagai instrumen tindakan

pemerintah. Selanjutnya berkembang dalam bentuk formal legality yang mengartikan bahwa

konsep hukum diartikan sebagai norma yang umum, jelas, prespektif dan pasti. Selanjutnya

1 Brian Z Tamanaha, 2004, On The Rule Of Law,Cambridge University Press, New York, h.91.

2 Brian Z Tamanaha, 2004, On The Rule…, Ibid.

Page 2: DESA PAKRAMAN - UNUD

42

Tamanaha menyatakan bahwa perkembangan terakhir dari konsep negara hukum versi formal

adalah democracy and legality yang diartikan sebagai kesepakatanlah yang menentukan suatu

substansi hukum. Dalam konteks ini, Yance Arizona3 menyatakan bahwa konsep formal dari

negara hukum ditujukan untuk pengumuman hukum oleh pihak yang berwenang mengenai

kejelasan norma yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan.

Selanjutnya dalam konsep negara hukum substantif dapat dimaknai bahwa perkembangan

negara hukum mulai dari hak-hak individu, selanjutnya perkembangan tersebut mengarah pada

prinsip hak-hak atas kebebasan pribadi dan keadilan (dignity) serta berkembang menjadi konsep

social welfare yang mengandung prinsip-prinsip persamaan, kesejahteraan serta kelangsungan

kehidupan komunitas. Dalam pemahaman konsep negara hukum substantif menekankan pada

hak-hak dasar dijadikan fondasi untuk membedakan mana hukum yang memenuhi hak-hak dasar

dan mana hukum yang mengabaikan hak-hak dasar termasuk pengabaian hak-hak dasar sebuah

komunitas yang termarginalkan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep formal negara

hukum menekankan pada kelayakan sumber hukum dan bentuk legalitasnya, sedangkan konsep

substantif negara hukum fokus pada isi dari norma hukum tersebut.

Sepaham dengan Tamanaha, Adriaan Bedner4 juga mengembangkan pendekatan alternative

negara hukum. Ada 3 (tiga) katagori pendekatan alternatif yaitu :

1. Elemen prosedural (pemerintahan dengan hukum, tindakan negara harus tunduk pada

hukum, legalitas formal, demokrasi).

3 Yance Arizona, 2010, Negara Hukum Bernurani :Gagasan Satjipto Rahardjo tentang Negara Hukum

Indonesia, Kertas Kerja Epistema No. 04/2010, Jakarta: Epistema Institute (http://epistema.or.id/publikasi/working-

paper/81-Negara-hukum-bernurani.html), diakses terakhir 10 juni 2015, h.8

4 Adriaan Bedner, 2011, “Suatu pendekatan elementer terhadap Negara hukum”, dalam Myrna A. Safitri,

Awaludin Marwan, dan Yance Arizona (editor), Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif Urgensi dan Kritik,

Epistema Institute Huma Jakarta, h. 152-159.

Page 3: DESA PAKRAMAN - UNUD

43

2. Elemen substantive (subordinasi semua hukum dan interpretasinya terhadap prinsip-prinsip

fundamental dari keadilan, perlindungan HAM dan kebebasan perorangan, pemajuan hak

asasi sosial, perlindungan hak kelompok).

3. Elemen mekanisme kontrol/lembaga pengawal negara hukum (lembaga peradilan yang

independen, lembaga lain yang memiliki tanggungjawab dalam menjaga dan melindungi

elemen-elemen negara hukum).

Pemahaman teori negara hukum dan relevansinya dengan partisipasi masyarakat, maka

tampak keterkaitannya dengan versi formal teori negara hukum yaitu demokrasi-legality yang

dapat dimaknai bahwa dalam pembentukan hukum memerlukan aspek demokratis. Aspek

demokratis tercermin dalam partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum. Selanjutnya

partisipasi masyarakat tercermin juga dalam versi substantif teori negara hukum. Hal ini terdapat

dalam tingkatan ke tiga versi substantif yaitu social welfare, menjamin kesejahteraan sosial,

persamaan yang sifatnya substantif, jaminan kesejahteraan dan terjaganya dan kelangsungan

komunitas.

Berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum, tampaknya social

welfare ini merupakan aspek yang harus dipenuhi dalam suatu proses pembentukan hukum,

megingat setiap masyarakat harus terjamin kesejahteraan, persamaannya dalam pengambilan

keputusan dan terjaminnya kelangsungan kelompoknya atau komunitasnya. Dalam hal ini dapat

dipahami bahwa social welfare ini merupakan sarana dalam menjamin terjaganya dan

kelangsungan hidup desa pakraman, khususnya perlindungan terhadap hak desa pakraman untuk

berparisipasi dalam pembentukan hukum.

Partisipasi masyarakat dalam unsur negara hukum Adriaan Bedner, tercermin dalam elemen

substantif yang fokus pada perlindungan hak kelompok. Dalam perlindungan hak kelompok dan

Page 4: DESA PAKRAMAN - UNUD

44

dikaitkan dengan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda, maka tampak elemen

substantif Adriaan Bedner memberi ruang terpenuhinya hak partisipasi desa pakraman dalam

pembentukan Perda. Dasar argumen Adriaan Bedner terkait dengan pentingnya perlindungan hak

kelompok yaitu hak kelompok dapat menjadi senjata yang ampuh dalam melawan negara apabila

negara melakukan pelanggaran atas hak-hak warga negara atau hak kelompok yang

mengakibatkan ketidakadilan bagi kelompok atau komunitas.5

Sejalan dengan teori negara hukum dari Tamanaha, Franz Magnis Suseno menyatakan

bahwa negara hukum adalah kekuasaan negara yang harus dijalankan atas dasar hukum yang

baik dan adil.6 Dengan demikian di dalam negara hukum tercakup 4 (empat) tuntutan dasar,

yaitu pertama tuntutan kepastian hukum yang merupakan kebutuhan langsung masyarakat;

kedua tuntutan bahwa hukum berlaku sama bagi warga negara; ketiga, demokratis yaitu dalam

proses pembentukan hukum harus mengikutsertakan dan mendapat persetujuan rakyat; dan

keempat tuntutan akal budi yaitu menjunjung tinggi martabat manusia dan masyarakat.7

Keempat tuntutan dasar tampaknya sesuai dengan pemahaman negara hukum sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pemahaman Pasal 1 ayat (3) UUD NRI

Tahun 1945 negara hukum yang merujuk pada rechtsstaat.8 dan the rule of law.

9 Menurut Munir

5 Adriaan Bedner, 2011, “ Suatu pendekatan …”,Ibid, h.168

. 6 Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik:Pinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT Gramedia,

Jakarta, h. 295. 7 http://www.kompasiana.com., diakses pada tanggal 21 April 2017.

8Konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband,

Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi

Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of

Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebut dengan istilah „rechtsstaat‟ mencakup 4 elemen

penting, yaitu:1. Perlindungan hak asasi manusia. 2. Pembagian kekuasaan. 3. Pemerintahan berdasarkan undang-

undang. 4.Peradilan tata usaha Negara. Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap

Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1.Supremacy of Law. 2. Equality before

the law. 3.Due Process of Law, Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”,

http://www.docudesk.com, diakses tanggal 15 Mei 2016, h. 2.

Page 5: DESA PAKRAMAN - UNUD

45

Fuadi menegaskan konsep negara hukum merupakan suatu ketatanegaraan yang diatur

berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu Konstitusi,

dimana semua orang dalam negara baik yang diperintah maupun yang memerintah harus tunduk

pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang

yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional, tanpa memandang

perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, daerah dan kepercayaan dan kewenangan pemerintah

dibatasi berdasarkan sutu prinsip distribusi kekuasaan sehingga pemerintah tidak bertindak

sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat, karena rakyat diberikan peran sesuai

dengan kemampuan dan peranannya secara demokratis.10

Sehingga tampak jelas keterkaitan

anatara negara hukum dengan demokrasi sebagaimana di tegaskan Magnis Soseno bahwa

demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti sesungguhnya. Demokrasi

merupakan cara paling aman untuk mempertahankan control atas negara hukum.11

Berdasarkan pemahaman teori negara hukum sebagaimana di uraikan di atas, keterkaitan

dengan partisipasi masyarakat dalam pebentukan Perda ditempatkan pada : pertama, bahwa

partisipasi masyarakat dalam pembentukan Perda, dilihat dari aspek formal negara hukum

mengarah pada sumber hukum dan bentuk pengaturan partisipasi masyarakat tersebut untuk

tercapainya keadilan formal. Kedua, keterkaitan partisipasi masyarakat dengan pendekatan

substantif negara hukum, yang mengarah pada perlindungan hak kelompok yang mengarah pada

keadilan substansi yaitu masyarakat sebagai komunitas yang memiliki hak untuk berpartisipasi

9 Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2016, Politik Pluralisme Hukum: Arah Pengakuan Kesatuan Masyarakat

Hukum Adat Dengan Peraturan Daerah, dalam Ida Ayu Arniti (editor), Percetakan Bali, Denpasar, h. 207.

10

Munir Fuady, 2011, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), Refika Aditama Bandung, h. 3.

11

Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum …, op.cit., h. 193..

Page 6: DESA PAKRAMAN - UNUD

46

dan diakui secara legal formal serta desa pakraman berhak berpatisipasi dalam pembentukan

Perda.

Berdasarkan keterkaitan teori negara hukum dengan partisipasi masyarakat, perlu

diformulasikan substansi yang jelas dalam Peraturan Perundang-undangan terkait dengan

partisipasi masyarakat khususnya partisipasi desa pakraman, apakah itu difinisi konsep, tata

cara dan implikasinya (apakah partisipasi masyarakat tersebut diakomodir sehingga menjadi

bahan pertimbangan bagi para pembentuk hukum). Perlunya pengaturan partisipasi masyarakat

secara jelas terkait dengan tata cara partsisipasi dalam Peraturan Perundang-undangan

berimplikasi pada aspek kepastian hukum dan aspek keadilan partisipasi desa pakraman dalam

pembentukan Perda. Dengan demikian maka relevansi teori negara hukum Tamanaha terkait

partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda adalah untuk menganalisis landasan

perlunya pengaturan partisipasi desa pakraman, penafsiran Pemerintah Daerah dan masyarakat

terhadap partisipasi desa pakraman dan model partisipasi desa pakraman yang ideal dalam

pembentukan Perda. Penggunaan teori negara hukum Tamanaha berujung pada tercapainya

keadilan formal dan keadilan substantif terkait dengan partisipasi desa pakraman dalam

pembentukan Perda.

2.1.2. Teori Pluralisme Hukum

Pluralisme hukum yang menunjukan kondisi adanya lebih dari satu sistem atau institusi

hukum yang secara bersama-sama dalam berbagai aktifitas dan hubungan12

. Gambaran kondisi

hukum seperti ini sangat kental dengan keberadaan hukum di Indonesia. Salah satu hukum yang

12 Franz dan Keebet Von Benda Beckmann,2001, Jaminan Sosial, umber Daya Alam dan Kompleksitas

Hukum, dalam Franz von benda Beckman, Keebet Von Benda Beckmann, Juliette Koning (editor), Sumber Daya

Alam dan Jaminan Sosial, Pustaka Pelajar, h.29

Page 7: DESA PAKRAMAN - UNUD

47

berlaku adalah hukum adat, dimana di dalamnya ada desa pakraman sebagai kesatuannya.

Mengacu teori Griffiths bahwa adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena social “

by legal pluralism’I mean the presence in a social field of more than one legal order”.13

Selanjutnya Griffiiths membedakan pluralisme hukum menjadi dua yaitu weak legal pluralism

dan strong legal pluralism . Pluralisme hukum yang lemah adalah bentuk lain dari sentralisme

hukum karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum tetapi hukum negara tetap

dipandang sebagai superior, sementara hukum-hukum yang lain disatukan dalam hirarki di

bawah hukum negara. Pluralisme hukum yang lemah juga disebut dengan pluralisme hukum

negara. Pluralisme hukum yang kuat memandang semua sistem hukum yang ada dipandang

sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hirarki yang menunjukkan sistem hukum

yang satu lebih tinggi dari yang lain.14

Semnetara pandangan Sally Falk Moore dengan teorinya

the semi-autonomous social field yang menyatakan ”Law is the self regulation of a semi-

autonomous social field”15

. Teori semi-autonomous social field dipahami bahwa sistem hukum

yang satu berada di lingkungan atau lingkaran sistem hukum lain yang lebih besar (sistem hukum

adat berada dalam lingkaran sistem hukum negara).

Selanjutnya Werner Menski dengan konsep segitiga pluralisme (triangle pluralist)

menegaskan bahwa ada tiga (3) unsur utama yaitu unsur masyarakat, unsur negara dan unsur

nilai dan etika yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dalam konteks praktek hukum

13

John Griffiths, 1986, “What is Legal Pluralism?”, Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, number

24, 1986, ISSN 0732-9113, h. 1

14

Sulistyowati Irianto, 2003, “Pluralisme Hukum Dan Masyarakat Saat Krisis”, dalam E.K.M. Masinambow

(editor), Hukum Dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70

Prof. Dr. T.O.Ihromi, Yayasan Obor Indonesia, h.66-67.

15

Sally Falk Moore, 1978, “Law and Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate

Subject of Study”, dalam Law as Process An Anthropological Approach, Routledge & Kean Paul, London, Boston,

Melbourne an Henley, h. 54. Lihat juga Sally Falk Moore, 2001, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial

Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat”, dalam T.O. Ihromi (editor), Antropologi Hukum Sebuah

Bunga Rampai,Yayasan Obor Indonesia,h. 150.

Page 8: DESA PAKRAMAN - UNUD

48

tiga (3) unsur utama segitiga pluralisme tersebut saling berinteraksi dan bernegosiasi antara

hukum masyarakat, hukum Negara dan hukum agama. Masing-masing tipe hukum tersebut

bersifat pluralistik. Sebagaimana ditegaskan Menski, pada tipe hukum masyarakat ada norma

hukum asli tanpa dipengaruhi hukum lain, di sisi lain aturan yang ada dalam masyarakat

mendapat pengaruh dari hukum Negara dan hukum agama. Dalam tipe hukum Negara juga

berlaku hal yang sama. Selanjutnya tipe hukum agama murni lahir dari input-input moral,etika

dan agama sendiri, namun disi lain sebagaian besar eksistensi dan bentuknya berasal dari hukum

Negara dan input-input sosial.16

Berdasarkan pada pemahaman segitiga pluralisme hukum Menski, maka tidak bisa

mengabaikan begitu saja fenomena hukum yang tidak kasat mata (nilai, etika) yang melekat

dalam peraturan-peraturan resmi maupun tidak resmi. Bentuk peraturan-peraturan yang

dipengaruhi oleh nilai dan norma sosial hanya dapat dianalisis dengan sadar-pluralistis17

sebagaimana diungkap Menski. Berdasarkan pemahaman teori pluralisme hukum dan dikaitkan

dengan partisipasi masyarakat, tampak ada dasar bahwa pluralisme hukum menjadi landasan

desa pakraman untuk berpartisipasi dalam pembentukan Perda.

2.1.3. Teori Pembentukan Legislasi

Teori pembentukan legislasi yang digunakan yaitu teori dari Jan Michiel Otto, Suzan

Stoter dan Julia Arnscheidt. Jan Michiel Otto, Suzan Stoter dan Julia Arnscheidt

mengklasifikasikan 5 (lima) tahapan dalam pembentukan legislasi 18

yaitu:

16

Werner Menski, 2015, Perbandingan Hukum Dalam Konteks Global Sistem Eropa, Asia Dan Afrika:

Comparative Law In A Global Context, Nusamedia, Bandung, h. 816-819.

17

Werner Menski, 2015, Perbandingan …, Ibid, h. 813.

18

J.M. Otto at.al, 2008, “Using Legislative Theory to Improve Law and Development Projects” dalam

Lawmaking For Development Explorations Into The Theory And Practice Of International Legislative Projects,

Leiden University Press, h. 70. Lihat juga J.M. Otto at.al., 2012, “Penggunaan Teori Pembentukan Legislasi Dalam

Page 9: DESA PAKRAMAN - UNUD

49

1. An evaluation of the effectiveness of the existing law before under- taking steps to

improve upon it.

2. The development of an understanding of why laws are effective or ineffective.

3. An analysis of problems in need of regulation.

4. An analysis of the lawmaking process.

5. An analysis of the feasibility of a legislative .

Dalam konteks pembentukan Perda dapat dipahami, bahwa pentahapan yang harus dilakukan

adalah :

1. Evaluasi terhadap efektivitas legislasi yang ada, sebelum dilakukan upaya untuk

memperbaiki atau mengganti legislasi yang ada. Dalam tahapan evaluasi ini, sebelum

mengganti peraturan, perlu dilakukan upaya untuk memahami terlebih dahulu terkait

dengan legislasi yang sudah ada dan selanjutnya menelaah apakah substansi yanga ada di

dalamnya konsisten, serta apakah ketentuan tersebut memiliki relevansi untuk

memajukan kepentingan masyarakat (desa pakraman).

2. Upaya untuk memahami mengapa hukum efektif atau tidak efektif. Dalam konteks ini

untuk mengetahui suatu peraturan hukum efektif ataupun tidak efektif dapat dilakukan

dengan memperhatikan kenyataan bahwa keberhasilan atau kegagalan perturan hukum

dipengaruhi berbagai faktor institusional dan kepentingan kelompok.

3. Analisis permasalahan yang hendak diatur melalui perangkat legislasi.

Dalam menganalisis ada 4 langkah yang digunakan yaitu :

1. Identifikasi masalah sosial.

2. Menganalisis dan menjelaskan masalah sosial.

3. Mengajukan usulan pemecahan masalah dengan didukung bukti-bukti termasuk

mengajukan rancangan peraturan baru.

Rangka Perbaikan Kualitas Hukum Dan Proyek-proyek Pembangunan” dalam Adriaan W. Bedner, Sulistyowati

Irianto, Jan Michiel Otto, Theresia Dyah Wirastri (editor), Kajian Sosiolegal, Pustaka Larasan, Denpasar, h.199.

Page 10: DESA PAKRAMAN - UNUD

50

4. Membangun mekanisme pengawasan dan evaluasi implementasi dalam rancangan

peraturan baru.

4. Analisis proses pembentukan legislasi yang melibatkan partisipasi masyarakat.

Dalam konteks ini, setiap usulan penyelesaian masalah yaitu berupa rancangan peraturan

baru harus senantiasa membuka ruang seluas-luasnya untuk partisipasi masyarakat. Hal

ini dikarenakan kondisi masyarakat dan tata nilai yang heterogen, sehingga memerlukan

pengembangan terhadap bentuk atau model legislasi baru.

5. Analisis terhadap kelayakan pembentukan legislasi.

Dalam menganalisis kelayakan pembentukan legislasi, didasarkan pada teori-teori dan

realitas social mengenai dinamika masyarakat.

Berdasarkan pemahaman teori pembentukan legislasi di atas, dapat dipahami bahwa

suatu pembentukan legislasi tidak hanya dilihat sebagai kegiatan yang steril dan otonom

melainkan suatu pembentukan legislasi memiliki asal-usul sosial, tujuan sosial mengalami

intervensi sosial serta mempunyai dampak sosial.19

Teori pembentukan legislasi yang menempatkan pada 5 (lima) tahapan, maka

keterkaitannya dengan partisipasi masyarakat adalah terletak pada tahapan ke empat. Pada tahap

ke empat ini, menempatkan partisipasi masyarakat yang terlibat dalam proses pembentukan

hukum. Dalam proses pembentukan hukum ini, dibuka ruang partisipasi seluas-luasnya untuk

masyarakat dan dapat memberikan masukan, saran dalam proses pembentukan legislasi. Dalam

konteks partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda, nampaknya berkaitan erat dengan

tahapan ke empat teori pembentukan legislasi.

19

Satjipto Rahardjo, 2010, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Genta Publishing,

Yogyakarta, h.137.

Page 11: DESA PAKRAMAN - UNUD

51

Berdasarkan pada teori pembentukan legislasi di atas, maka relevansi terhadap

partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda ditempatkan pada bahwa teori pembentukan

legislasi memberi landasan partisipasi desa pakraman pembentukan Perda, selanjutnya teori

pembentukan legislasi ditempatkan juga untuk menganalisis landasan perlunya pengaturan

partisipasi desa pakraman dan menemukan model ideal partisipasi desa pakraman dalam

pembentukan Perda.

2.1.4. Teori Partisipasi

Di dalam membahas partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda, teori yang

penting dijadikan pisau analisis adalah teori partisipasi dari Sherry Arnstein. Teori partisipasi

Sherry Arnstein mengungkapkan ada 8 (delapan) tingkatan atau tangga partisipasi. Dalam AIP

Journal, Sherry Arnstein20

mengagambarkan tingkatan partisipasi masyarakat sebagai berikut:

Gambar 3

Derajat Partisipasi

Merujuk tingkatan partisipasi masyarakat dalam teori Sherry Arnstein, Sirajudin , Didik

Sukirno dan Winardi21

memaparkan bahwa :

20

Sherry R. Arnstein, 1969, A Ladder of Citizen Participation,"JAIP, Vol. 35, No. 4, July 1969, pp. 216-224.

21

Sirajuddin at.al, 2011, Hukum Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi dan Keterbukaan Informasi, Setara

Press, Malang, h.173.

8 Citizen control

7 Delegated power

6 Partnership

5 Placation

4 Consultation

3 Informing

2 Therapy

1 Manipulation

Degree of Citizen

Power

Degree of Tokenism

Nonparticipation

Page 12: DESA PAKRAMAN - UNUD

52

Matrik 11

Tangga partisipasi masyarakat dalam teori Sherry Arnstein

Tingkatan

Uraian

8 Kontrol warga negara (citizen control), pada tahap ini partisipasi sudah

mencapai tataran dimana publik berwenang memutus, melaksanakan dan

mengawasi pengelolaan sumber daya.

7 Delegasi kewenangan (delegate power), disini kewenangan masyarakat lebih

besar dari pada paenyelenggara negara dalam merumuskan kebijakan.

6 Kemitraan (partnership), dalam hal ini ada keseimbangan kekuatan relatif

antara masyarakat dan pemegang kekuasaan untuk merencanakan dan

mengambil keputusan bersama-sama. Dalam tingkatan ini mengakui eksistensi

hak masyarakat untuk ikut serta dalam pembentukan Undang-undang dalam

konteks ini (kebijakan daerah

5 Peredaman (Placation), merupakan partisipasi semu, dalam arti rakyat sudah

memiliki pengaruh terhadap kebijakan tapi bila akhirnya terjadi voting

pengambilan keputusan akan tampak sejatinya keputusan ada ditangan negara,

sedangkan kontrol dari rakyat tidak menentukan.

4 Konsultasi (consultation), pada tingkat ini rakyat di dengar pendapatnya lalu

disimpulkan, masyarakat telah berpartisipasi dalam pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, dan lembaga Negara sudah memenuhi kewajiban dalam

konteks melibatkan rakyat.

3 Penginformasian (Informing), dapat dipahami masyarakat sekedar diberi tahu

akan adanya Peraturan Perundang-undangan, tidak peduli apakah masyarakat

pahamterhadap informasi tersebut, apalagi memberikan pilihan untuk

melakukan negosiasi atas kebiajakan tersebut.

2 Terapi (Therapy), dapat dipahami bahwa masyarakat korban kebijakan

dianjurkan mengadu kepada pihak yang berwenang namun tidak jelas

pengaduan dan tidak ditindak lanjuti.

1 Manipulasi (Manipulation), dapat dipahami bahwa lembaga negara melakukan

pembinaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat untuk seolah-olah

berpartisipasi padahal sejatinya yang terjadi adalah kooptasi dan represi

penguasa.

Memhami teori tangga partisipasi dari Sherry Arnstein, dapat dipahami bahwa ada tiga

pengelompokan besar partisipasi masyarakat yaitu tingkat kekuasaan masyarakat, tingkat

partisipasi semu dan tingkat tidak ada partisipasi. Selanjutnya David Wilcok22

menegaskan The

22 David Wilcok, 1994, “Community Participation And Empowerment: Putting Theory in to Practice”,

Published by the Joseph Rowntree Foundation The Homestead, 40 Water End York YO3 6L ISSN 0958-3084.

Page 13: DESA PAKRAMAN - UNUD

53

guide proposes a five-rung ladder of participation which relates to the stance an organisation

promoting participation may take:

Information: merely telling people what is planned.

Consultation: offering some options, listening to feedback, but not allowing new ideas.

Deciding together: encouraging additional options and ideas, and providing

opportunities for joint decision making.

Acting together: not only do different interests decide together on what is best, they form

a partnership to carry it out.

Supporting independent community interests: local groups or organisations are offered

funds, advice or other support to develop their own agendas within guidelines.

diadaptasi dari 8 (delapan) derajat Partisipasi Sherry Arnstein, David Wilcok

mengkategorikan partisipasi masyarakat menjadi 5 (lima) level yaitu :

Informasi : dapat dipahami hanya memberitahu orang-orang apa yang direncanakan.

Konsultasi : menawarkan beberapa pilihan, mendengarkan masukan, tetapi tidak

memungkinkan mengadopsi ide-ide baru.

Memutuskan bersama-sama : dapat dipahami bahwa mendorong opsi tambahan dan ide-

ide, dan menyediakan kesempatan untuk pengambilan keputusan bersama .

Bertindak bersama-sama : memutuskan secara bersama-sama untuk kepentingan yang

terbaik masyarakat. Dengan demikian perlu membentuk kemitraan untuk

melaksanakannya.

Mendukung kepentingan masyarakat yang mandiri : hal ini dapat dipahami bahwa

penting untuk mendukung kepentingan kelompok atau organisasi lokal untuk dapat

mengembangkan program mereka. Sebagai contoh menawarkan dana untuk

mengembangkan dan melaksanakan program yang telah diagendakan.

Lebih lanjut, Wilcok juga menyatakan bahwa pelaksanaan partisipasi masyarakat akan

sangat tergantung pada kepentingan yang hendak di capai. Dalam konteks ini, bahwa untuk

pengambilan suatu keputusan atau kebijakan hukum yang berdampak langsung pada kehidupan

Page 14: DESA PAKRAMAN - UNUD

54

masyarakat luas, maka dipandang perlu untuk melibatkan masyarakat secara penuh. Demikian

juga dalam memahami partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda, bahwa desa

pakraman perlu dilibatkan secara penuh dan atas kesadarannya untuk berpartisipasi dalam

pembentukan Perda. Oleh karena itu Perda yang dibentuk atas kesadaran partisipasi desa

pakraman dapat berlaku efektif dan dirasakan berkeadilan oleh desa pakraman.

Berdasarkan pada pemahaman teori partisipasi, maka teori partisipasi sangat relevan untuk

pembahasan lebih lanjut terkait penafsiran Pemerintah Daerah dan masyarakat terhadap

partisipasi desa pakraman dan dengan mendasarkan pada teori partisipasi dapat menganalisis

model ideal partisipasi desa pakraman dalam pembentukan daerah.

2.2. Konsep

Kejelasan konsep sangat diperlukan dalam menganalisis partisipasi desa pakraman dalam

pembentukan Perda. Gustav Radbruch membedakan konsep hukum menjadi dua (2) yaitu konsep

yuridis relevan (legally relevant consept) dan konsep hukum asli (genuine legal concepts).

Konsep yuridik relevan merupakan konsep yang merupakan komponen aturan hukum,

khususnya konsep yang digunakan untuk memaparkan situasi fakta dalam kaitannya dengan

ketentuan undang-undang yang dijelaskan denga interpretasi. Konsep hukum asli (genuine legal

concepts) merupakan konsep konstruktif dan sistematis yang digunakan untuk memahami sebuah

aturan hukum.23

Berdasarkan pemahaman konsep hukum Gustav Radbruch, untuk mendapatkan

pemahaman konsep yang berkaitan dengan disertasi ini dilakukan dengan penelususran dalam

Peraturan Perundang-undangan dan doktrin. Konsep yang relevan yang digunakan dalam

disertasi ini sebagai berikut:

2.2.1. Konsep Partisipasi Masyarakat

23

Bernard Arief Sidharta, 2013, Ilmu Hukum Indonesia Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik Yang

Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 68. Lihat Mohamad Koesnoe, 2010,

Dasar dan Metode Ilmu Hukum Positif, Airlangga University Press, Surabaya, h. 37.

Page 15: DESA PAKRAMAN - UNUD

55

Di dalam pemahaman partisipasi masyarakat, tidak terlepas dari pemahaman demokrasi.

Jazim Hamidi tegas menyatakan bahwa wujud demokrasi adalah partisipasi. Dengan demikian

untuk dapat memahami partisipasi masyarakat secara jelas, perlu dipahami konsep demokrasi

terlebih dahulu.

Secara umum demokrasi diartikan pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat.24

Mukthie

Fadjar25

menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan

hukum, negara yang demokratis, berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan berkeadilan

sosial. Dengan demikian konsep demokrasi dipahami sebagai pola pemerintahan dimana

kekuasaan untuk memerintah berasal dari rakyat atau pola pemerintahan yang mengikutsertakan

secara aktif semua anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan. Partisipasi aktif dari

masyarakat sebenarnya merupakan modal utama dalam keberhasilan pelakasanaan pemerintahan.

Prinsip demokrasi juga dapat dilihat dalam alinea ke empat Pembukaan UUD NRI Tahun

1945 secara tegas menyebutkan “...yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik

Indoneisa yang berkedaulatan rakyat...”. Pernyataan ini dipahami bahwa seleuruh rakyat sebagai

pemilik kedaulatan rakyat. Prinsip kedaulatan rakyat juga dituangkan dalam Pasal 1 ayat (2)

UUD NRI Tahun 1945. Menarik menyimak komentar Jimly Asshiddiqie yang mengaskan bahwa

dalam Pasal 1 UUD NRI Tahun 1945 terdapat dua (2) prinsip yang saling berkaitan satu dengan

yang lain yaitu prinsip demokrasi yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2), dan prinsip negara hukum

yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (3).26

Keterkaitan ini menunjukan bahwa ada satu rangkaian

24

Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum …, op.cit., h. 174.

25

A. Mukthie Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang Jawa Timur, h. 85.

26

Jimly Asshiddiqie,2009, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Sinar Grafika, Jakarta, h. 12.

Page 16: DESA PAKRAMAN - UNUD

56

pemikiran yaitu demokrasi berdasarkan atas hukum dan di sisi lain hukum harus bersifat

demokrasi.

Di dalam perkembangan demokrasi, ada dua model yaitu demokrasi langsung dan

demokrasi tidak langsung.27

Demokrasi langsung dimaknai sebagai rakyat secara langsung

bertindak sebagai legislatif (dalam konteks ini rakyat ikut terlibat dalam pengambilan

keputusan), sedangkan demokrasi tidak langsung merupakan demokrasi yang dijalankan melalui

wakil rakyat atau demokrasi perwakilan. Selanjutnya, David Held mengembangkan menjadi 10

(sepuluh) model demokrasi yaitu :

1. Classical Democracy : rakyat berpartisipasi langsung dalam pelakasanaan fungsi legislative

dan yudisial.

2. Protective Democracy: masyarakat membutuhkan perlindungan dari pemimpin dan dari

warga lainnya. Tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan

pemimpin, melindungi sistem hukum dari pelanggar hukum.

3. Radical Model of Developmental Democracy : masyarakat menikmati persamaan politik dan

ekonomi, tidak ada orang yang menjadi bawahan orang lain. Legislative dan eksekutif

dipilih secara langsung.

4. Developmental Democracy: politik diperlukan untuk melindungi kepentingan individu dan

kemajuan kelompok yang terpelajar yang membangun masyarakat.

5. Direct Democracy and the End of Politics: negara diselenggarakan untuk mencapai

kebebasan semua warga negara. Urusan publik diatur dan dilaksanakan oleh masyarakat

termasuk memilih dan memberhentikan pegawai.

6. Competitive Elitist Democracy: antara masyarakat dengan kelompok saling berkompetisi

untuk memperoleh kekuasaan dan kepentinganya. Ciri utama dari model ini adalah

pemerintahan parlementer dengan eksekutif yang kuat atau pemerintahan presidensiil

dengan lemabaga legislative sebagai pengawas, adanya dominasi partai politik.

7. Pluralist Democracy: demokrasi dalam masyarakat yang beragam yang memiliki tujuan,

budaya dengan kekuatan masing-masing serta berupaya untuk mendapatkan sesuatu untuk

kelompoknya.

8. Legal Democracy: demokrasi ini menggambarkan negara berdasarkan atas konstitusi dan

berdasarkan atas hukum. Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintah

berdasarkan atas hukum.

9. Participatory Democracy: demokrasi ini menggambarkan adanya kesamaan hak masyarakat

untuk berpartisipasi langsung dalam pembangunan. Demokrasi ini juga menggambarkan

masyarakat berkeadilan dengan membuka ruang akses bagi masyarakat untuk berpartisipasi

dalam pembengunan.

27

Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi..., op.cit., h. 16.

Page 17: DESA PAKRAMAN - UNUD

57

10. Democracy Autonomy: masyarakat menikmati hak yang setara dan otonomi bagi kehidupan

individu yaitu menjamin hak dan kewajiban yang sama.28

Selanjutnya Richard A Posner membagi menjadi 2 (dua) model demokrasi yaitu 1) model

demokrasi deliberatif (deliberative democracy) dan demokrasi elit (elite democracy).29

Demokrasi deliberatif merupakan konsep demokrasi yang ideal yang memberi perhatian terhadap

partisipasi masyarakat dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat keseluruhan. Demokrasi

elit dipahami sebagai konsep demokrasi yang secara pragmatis sebagai kompetisi perebutan

kekuasaan oleh elit politik untukmendapatkan dukungan massa.

Berdasarkan konsep dan model demokrasi di atas, tampaknya partisipatory democracy

(demokrasi partisipasi) merupakan model demokrasi yang digunakan dalam pembahasan

disertasi ini. Demokrasi partisipasi memberi peluang dan akses terbuka partisipasi masyarakat

dalam pengambilan keputusan (pembentukan Perda). Sejalan dengan model demokrasi

partisipatif, menarik disimak mengenai demokrasi deliberatif dari Jurgen Habermas. Prinsip

demokrasi deliberatif menempatkan hukum sebagai perekat integrasi sosial yang mensyaratkan

penempatan manusia sebagai objek pengaturan hukum (mempunyai kedudukan yang setara)

maupun sebagai subjek yang membentuk hukum.30

Oleh sebab itu harus ada partisipasi

masyarakat dalam membentuk hukum melalui sarana dan jejaring komunikasi publik. Demokrasi

deliberatif menekankan adanya unsur partisipasi masyarakat dan kesetaraan setiap anggota

28

Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi..., Ibid., h. 17-20., lihat juga Munir Fuady, 2010, Konsep ..., op.cit, h.7-

9.

29

Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi..., Ibid.

30

Munir Fuady, 2010, Konsep Negara …, op.cit.,h.151.

Page 18: DESA PAKRAMAN - UNUD

58

masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.31

Dengan demikian

ada keterkaitan yang erat antara demokrasi partisipatif dengan demokrasi deliberatif.

Demokrasi deliberatif dimaknai sebagai partisipasi masyarakat dalam pengambilan

keputusan dilakukan secara transparan, sehingga dibutuhkan ruang-ruang publik untuk

memudahkan masyarakat dalam mengakses, mengkritisi bahkan diskursus terkait dengan

substansi produk hukum (Perda) yang dibentuk. Model demokrasi partisipasi yang mengarah

pada demokrasi deliberatif pada intinya mmberi peluang dan akses terbuka partisipasi

masyarakat.

Partisipasi masyarakat dapat dipahami keterlibatan masyarakat ataupun keikutsertaan

masyarakat. Selanjutnya konsep partisipasi dapat ditelusuri dari berbagai pendapat para ahli,

yaitu Samuael P Huntington dan Joan Nelson memberikan pendapat mengenai partisipasi politik

adalah kegiatan warga negara sipil (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan

keputusan oleh pemerintah.32

Kelompok belajar Partisipasi Bank Dunia merumuskan partsisipasi

sebagai suatu proses melalui steakholder mempengaruhi dan ikut berbagi (share) kontrol

atas/terhadap prakarsa dan keputusan serta sumber daya pembangunan yang mempengaruhi

mereka.33

Herbert Mc Closky menyatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan

sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengammbil bagian dalam proses

pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan

31

F Budi Hardiman, 2009, Demokrasi Deliberatif Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori

Diskursus Jurgen Habermas, Kanisius Yogyakarta, h. 128.

32

Lihat Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, 1994, Partisipasi Politik di Negara Berkembangan, Jakarta,

Renika Cipta, lihat juga Sijaruddin, Didik Sukrino dan Winardi, 2011, Hukum Pelayanan publik …,op.cit., h.171.

33

I Gusti Ngurah Wairocana, 2005, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dan Implementasinya Di

Dalam Penyelenggaraan Pemeritahan Daerah Di Bali, Disertasi pada Progam Studi Ilmu Pada Program

Pascasarjana Universitas Airlangga, h.66.

Page 19: DESA PAKRAMAN - UNUD

59

kebijakan umum.34

Norman H Nie dan Sidney Verba menyatakan bahwa partisipasi politik

adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk

mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau tindakan-tindakan lain yang diambil oleh

mereka.35

Lebih lanjut, Jazim Hamidi membagi konsep partisipasi menjadi :

Partisipasi sebagai kebijakan yaitu memandang partisipasi sebagai prosedur konsultasi para

pembuat kebijakan kepada masyarakat sebagai subjek Perda.

Partisipasi sebagai strategi yaitu memandang bahwa partisipasi sebagai salah satu strategi

untuk mendapatkan dukungan masyarakat demi kredibilitas kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah.

Partisipasi sebagai alat komunikasi yaitu melihat partisipasi sebagai alat komunikasi bagi

pemerintah (sebagai pelayan rakyat) untuk mengetahui keinginan rakyat.

Partisipasi sebagai penyelesaian sengketa yaitu partisipasi sebagai alat penyelesaian

sengketa dan toleransi atas ketidak percayaan dan kerancuan yang ada dalam masyarakat.36

Selanjutnya Ann Seidman dkk juga menyatakan perlunya partisipasi masyarakat dalam

pembentukan perundang-undangan yaitu stakeholders (pihak mempunyai kepentingan) memiliki

kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik, dan mengambil bagian

dalam pembuatan keputusan.37

34

Marhaendra Wija Atmaja, 2004, “Partisipasi Publik Dalam Perumusan Kebijakan Daerah”, Makalah

Raound Table Discussion “ Partisipasi Publik Dalam Lembaga Legislatif Hasil Pemilu 2004” diselenggarakan oleh

The International Republican Institute (IRI), Denpasar, hal.5.

35

Marhaendra Wija Atmaja, 2004, “Partisipasi …, Ibid.

36

Jazim Hamidi at.al, 2008, Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Perstasi Pustaka Publiher,Jakarta,

h 48.

37

Ann Seidman at.al, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang

Demokratis : Sebuah Panduan untuk Pembuatan Rancangan Undang-Undang, diterjemahkan oleh Yohanes

Usfunan at.al, Edisi kedua, Proyek ELIPS Departemen Kehakinam dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.,

h.8.

Page 20: DESA PAKRAMAN - UNUD

60

Difinisi konsep partisipasi dapat dilihat dalam Peraturan Perundang-undangan yaitu terdapat

dalam Pasal 1 angka 41 UU 23/2014 yang menentukan bahwa partisipasi masyarakat merupakan

peran serta masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan kepentingannya dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Konsep partisipasi juga diatur dalam Pasal 70 UU

32/2009 yang menentukan peran masyarakat adalah masyarakat memiliki hak dan kesempatan

yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup. Dalam Pasal 5 PP 68/2010 ditentukan peran masyarakat merupakan partisipasi

aktif masyarakat di dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian

pemanfaatan ruang. Berdasarkan difinisi konsep partisipasi dalam Peraturan Perundang-

undangan di atas, dipahami bahwa partisipasi masyarakat merupakan peran masyarakat dan

peranserta masyarakat. Pemahaman difinisi peran dan peranserta masyarakat adalah berbeda.

Perbedaan tersebut dilihat dalam konsep peran dirtikan sebagai pemain utama (actor utama),

sedangkan peran serta diartikan sebagai ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan38

.

Berdasarkan pemahaman konsep partisipasi di atas, bahwa konsep partisipasi yang

digunakan dalam disertasi ini adalah partisipasi masyarakat yang dapat dimaknai bahwa

partisipasi masyarakat merupakan peran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan

(pembentukan Perda).

John Cohen and Norman Uphoff 39

menyatakan The main kinds of participation that

warrant major concern are: (1) participation in decision-making; (2) participation in

implementation; (3) participation in benefits; and (4) participation in evaluation. Memahami

38

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke Tiga, Balai

Pustaka Jakarta.

39

John Cohen and Norman Uphoff, 1980, “Participation's Place In Rural Development: Seeking Clarity

Through Specificity” World Development, Volume 8, Issue 3, Pages 213-235.

Page 21: DESA PAKRAMAN - UNUD

61

jenis-jenis partisipasi masyarakat di atas dapat dijelaskan: Pertama participation in decision

making merupakan bentuk keikutsertaan masyarakat dalam memberi saran dan kritik tentang

proses pembuatan keputusan atau kebijakan pemerintah; Kedua, participation in implementation

yaitu masyarakat terlibat dalam mengimplementasi keputusan atau kebijakan pemerintah. Ketiga,

participation in benefit, masyarakat turut menikmati hasil atau manfaat dari implementasi

keputusan atau kebijakan pemerintah dan keempat, participation in evaluation, adalah

kontribusi masyarakat dalam mengevaluasi keputusan atau kebijakan pemerintah. Memahami

pemikiran John Cohen and Norman Uphoff , maka posisi partispasi desa pakraman dalam

penelitian ini terletak participation in decision-making yaitu berpartisipasi dalam memberikan

masukan, saran dan kritik dalam pembentukan Perda. Dalam konteks disertasi ini dipahami

konsep partisipasi adalah peran masyarakat dalam proses pembentukan Perda.

2.2.2. Konsep Masyarakat Sebagai KMHA

Difinisi konsep masyarakat dilihat dalam pandangan David C. Korten menyatakan

masyarakat adalah The term community popularly implies a group of people with common

interests.40

Soerjono Soekanto menyebut bahwa masyarakat merupakan terjemahan society,

yang berarti jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas (sebuah komunitas yang

interdependen/saling tergantung satu sama lainnya).41

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa

masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama sebagai

suatu community atau society. 42

Selanjutnya difinisi konsep masyarakat dapat dilihat dalam

Pasal 96 ayat (3) UU 12/2011 yang menentukan bahwa masyarakat adalah orang perseorangan

40

David C. Korten, 1998, “Introduction ..., loc.cit.

41

Nur Rohim Yunus, 2013, “Menciptakan..., loc.cit..

42

Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Acara ..., loc.cit.

Page 22: DESA PAKRAMAN - UNUD

62

atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan

Perundang-undangan. Selanjutnya untuk menegaskan difinisi konsep masyarakat dapat dilihat

dalam penjelasan Pasal 96 ayat (3) menentukan yang termasuk dalam kelompok orang antara

lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan

masyarakat adat. Dalam Pasal 1 angka 8 PP 68/2010 juga menentukan bahwa masyarakat adalah

orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau

pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penataan ruang. Berdasarkan pemahaman di

atas, difinisi konsep yang di bangun dalam disertasi ini adalah bahwa KMHA merupakan

masyarakat. Pemahaman KMHA sebagai masyarakat dalam konteks pembentukan Perda adalah

bahwa KMHA berhak untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan Perda sebagaimana diatur

dalam Peraturan Perundang-undangan.

Pemahaman KMHA sebagai masyarakat dalam konteks disertasi ini adalah desa

pakraman. Berdasarkan putusan Makamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian

UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku terhadap UUD

NRI Tahun 1945 yang menetapkan klasifikasi dan kriteria KMHA. Desa pakraman sebagai

KMHA memenuhi kreteria sebagaimana ditetapkan putusan Makamah Konstitusi Nomor

31/PUU-V/2007 yaitu 1) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-

feeling group); 2) adanya pranata pemerintahan adat; 3) adanya harta kekayaan atau benda-benda

adat; 4) adanya perangkat norma hukum adat dan 5) adanya wilayah tertentu.

Kriteria desa pakraman sebagai KMHA dapat dilihat dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3

Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi

Bali Nomor 3 TTahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3

Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Secara singkat dapat cermati unsur-unsur desa pakraman

Page 23: DESA PAKRAMAN - UNUD

63

adalah 1) desa pakraman merupakan kesatuan masyarakat yang dapat dimaknai adanya

masyarakat yang memiliki perasaan kelompok; 2) adanya unsur khayangan tiga (Pura Desa,

Pura Puseh dan Pura Dalem) dapat dimaknai sebagai harta kekayaan atau benda-benda adat; 3)

perangkat hukum adat dapat dimaknai sebagai awig-awig desa pakraman; 4) mempunyai

wilayah tertentu.

Berdasarkan pemahaman kriteria KMHA dalam putusan Makamah Konstitusi Nomor

31/PUU-V/2007dan pemahaman difinisi konsep desa pakraman dalam Perda Perda Provinsi Bali

Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah

Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali

Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman, dalam disertasi ini desa pakraman telah

memenuhi kriteria sebagai KMHA dan masyarakat. Dengan demikian pemahaman yang

dibangun adalah desa pakraman termasuk masyarakat.

2.2.3. Konsep Peraturan Daerah

Merujuk pemahaman konsep hukum dari Gustav Radbruch, di dalam penelusuran konsep

Perda dimulai dari konsep yuridik relevan yang mencari konsep Perda di dalam Peraturan

Perundang-undangan. Di dalam Pasal 1 angka 25 UU 23/2014 bahwa Perda merupakan Perda

Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Pasal 1 angka 7 UU 12/2011 menegaskan bahwa Perda

Provinsi merupakan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan

persetujuan bersama Gubernur. Demikian juga dalam Pasal 1 angka 8 yang menegaskan bahwa

Perda Kabupaten/Kota merupakan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD

Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Difinisi konsep Perda juga diatur

dalam Pasal 1 angka 4 Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 tentang yang menentukan bahwa

Page 24: DESA PAKRAMAN - UNUD

64

Perda merupakan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan

berdama Kepala Daerah.

Berkaitan dengan keberadaan Perda, dapat ditelusuri dalam Pasal 7 UU 12/2011 yang

dengan tegas menentukan bahwa Perda termasuk dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan.

Difinisi konsep Peraturan Perundang-undangan ditentukan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU

12/2011 yaitu Peraturan Perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat norma

hukum dan mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau

pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-

undangan. Dalam pemahaman ini, Perda merupakan peraturan tertulis dan berlaku umum serta

dibentuk oleh lembaga yang berwenang.

Kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Perda didasarkan pada Pasal 18

ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 yang menentukan bahwa Pemerintah Daerah berhak menetapkan

Peraturan Daerah dan peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Pemahaman melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan menunjukan dianutnya asas

desentralisasi. Makna desentralisasi dipahami sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan

dari pusat kepada daerah dimana kewenangan yang bersifat otonom dalam arti kewenangan

untuk melaksanakan pemerintahannya.43

Kewenangan Pemerintah Daerah yang bersifat otonom

berkaitan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 yang menetukan bahwa

Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang

oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pasal 18 ayat (5) UUD NRI

Tahun 1945 dimaknai bahwa Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan mengatur semua

urusan pemerintahan, termasuk dalam kewenangan untuk membentuk Perda. Selain itu,

43

Jazim Hamidi, 2011, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah Menggagas Peraturan Daerah Yang

Responsif dan Berkesinambungan, Prestasi Pustaka Publisher, 18.

Page 25: DESA PAKRAMAN - UNUD

65

pemahaman otonomi dimaknai daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk

memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang

bertujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat.44

Dengan demikian fungsi Perda dapat di

artikan untuk penyelenggaraan desentralisasi yang berupa pembentukan Perda dalam rangka

pelaksanaan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Menarik menyimak pandangan Jimly Asshiddiqie yang menunjukan bahwa Perda adalah

salah satu bentuk pelaksana undang-undang. Pada dasarnya sumber kewenangan ditentukan oleh

pembentuk UU, namun dalam hal tertentu Perda dapat mengatur sendiri hal-hal meskipun tidak

didelegasikan secara eksplisit kewenangannya oleh UU tetapi dianggap perlu diatur oleh daerah

untuk melaksanakan otonomi daerah yangs seluas-luasnya.45

Hal ini dipahami bahwa Perda yang

merupakan salah satu bentuk Peraturan Perundang-undangan yang di satu sisi dipahami Perda

melaksanakan ketentuan UU dan di sisi lain Perda melaksanakan ketentuan UUD secara

langsung serta penjabaran lebih lanjut dari ketentuan peraturan yang lebih tinggi seperti PP dan

Perpres.

Di dalam memahami difinisi konsep Perda, perlu juga dijelaskan mengenai materi

muatan Perda. Materi muatan Perda diatur dalam ketentuan Pasal 14 UU 12/2011 yang pada

intinya ditegaskan bahwa materi muatan Perda berupa penyelenggaraan otonomi daerah dan

tugas pembantuan, menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut dari

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi muatan Perda juga diatur dalam Pasal

236 ayat (3) UU 23/2014 yang menentukan bahwa materi muatan Perda memuat

penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan, penjabaran lebih lanjut ketentuan Peraturan

Perundang-undangan serta dalam ayat (4) diatur materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan

44

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2016, Politik Pluralisme..., op.cit., h. 236. 45

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2016, Politik Pluralisme..., Ibid.,h. 266.

Page 26: DESA PAKRAMAN - UNUD

66

Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan pemahaman materi muatan Perda dalam kerangka

pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya memberi arah pembentukan Perda yang memuat

substansi keanekaragaman daerah. Keanekaragaman daerah salah satunya adalah keberadaan

KMHA yang senyatanya ada di setiap daerah, yang mempunyai kekhasan yang harus diakui dan

dilindungi. Dalam hal ini Pemerintah Provinsi Bali mengambil sikap membentuk Perda Nomor 3

Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.

Pemahaman konsep Perda termasuk pemahaman prinsip dasar pembentukan Perda.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU 12/2011 yang menegaskan Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan adalah mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,

pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Dengan demikian dipahami bahwa

dalam setiap tahapan proses pembentukan Perda selalu dilingkupi prinsip dasar pembentukan

Perda. Berdasarkan Pasal 5 dan 6 UU 12/2011 jelas diatur prinsip dasar proses pembentukan dan

prinsip dasar mengenai materi muatan Perda. Prinsip dasar dalam Pasal 5 UU 12/2011

menentukan asas-asas dalam proses pembentukan Perda yang meliputi : kejelasan tujuan,

kelembagaan dan pejabat pebentukan yang tepat, kesesuaian antara jenis, hirarki dan materi

muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan; dan

keterbukaan. Menarik untuk dipahami prinsip keterbukaan yang dalam konteks ini dipahami

prinsip keterbukaan dimulai dari tahap perencanaan, penyususnan, pembahasan, pengesahan atau

penetapan dan pengundangan. Prinsip keterbukaan dalam pembentukan Perda dimaknai adanya

partisipasi masyarakat seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan

Perda. Selanjutnya prinsip dasar dalam menentukan materi muatan Perda sebagaimana diatur

dalam Pasal 6 UU 12/2011 yaitu asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan,

kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan

Page 27: DESA PAKRAMAN - UNUD

67

pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan asas kesimbangan, keserasian dan

keselarasan. Pada ayat (2) disebutkan bahwa prinsip lain yang terkait dengan prinsip dasar materi

muatan adalah asas yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Berdasarkan pemahaman konsep Perda sebagaimana telah dijelaskan, nampaknya memberi arah

untuk membantu dalam pemahaman secara komprehensif terkait dengan partisipasi desa

pakraman dalam pembentukan Perda.

1.1.Kerangka Berfikir

Berdasarkan kerangka teori dan konsep di atas yang secara rinci menjelaskan relevansi

teori terhadap permasalahan yang di bahas, maka untuk lebih mudah memahami teori tersebut

selanjutnya dituangkan dalam bentuk kerangka berfikir. Model kerangka berfikir sebagai

berikut:

Page 28: DESA PAKRAMAN - UNUD

68

Teori Negara

Hukum (Tamanaha)

Formal dan

substantif

Gambar 4: Kerangka Berfikir Disertasi

dis

Latar Belakang

Konstitusi

Pasal 18 B ayat (2)

Pasal 27 ayat (1)

Pasal 28 C ayat (2)

Pasal 28 D ayat (3)

Pasal28 E ayat (2) dan

ayat (3)

Pasal 28 H ayat (2)

Pasal 28 I ayat (3)

Undang-Undang

U 23/2014 dan UU 12/2011.

PP 68/2010

Perpres 87/2014

Permendagri 56/2014

Perda Prov,kab/Kota

RUU PPMA

R. Permenkumham

Problem norma

1. Problem yuridis Ada ketidakjelasan

norma.

2. Preblem sosiologis

Adanya pengabaian hak

desa pakraman dalam berpartisipasi.

3. Problem Filosofis: Tidak ada keadilan bagi

desa pakraman untuk

berpartisipasi dalam pembentukan Perda.

Adanya ketegangan Filsafat positivisme

hukum yang cenderung mematikan partisipasi

desa pakraman dan

filsafat sociological jurisprudence yang

nenungkinkan

partisipasi desa pakraman..

4. Problem teoritik Mengabaikan ilmu

sosial dalam kajian

pembentukan Perda.

Adanya ketegangan

sentralisme hukum dan pluralisme hukum

5. Problem Politik Hukum tidak ada politik hukum

terkait tata cara

partisipasi masyarakat dalam UU 23/2014 dan

UU 12/2011 yang

berakibat pengabaian hak partisipasi desa

pakraman dalam

pembentukan Perda.

Apakah yang menjadi

landasan

perlunya pengaturan

partisipasi desa

pakraman dalam pembentukan

Perda?

Metode penelitian

Jenis Penelitian

hukum

Mentode pendekatan :

a. Pendekatan konseptual

b. Pendekatan

Peraturan Perundang-

undangan.

c. Pendekatan filsafat.

d. Pendekatan

sejarah e. Pendekatan

sosiolegal.

Sumber data

primer: data

hukum dan data lapangan.

Sumber data

sekunder : bahan hukum

primer,

sekunder dan tersier.

Teknik pengumpulan

data yaitu studi

dokumen dan studi lapangan.

Teknik analisa

Hermeneutika hukum.

Teori Pluralisme

Hukum (hk negara mengakui

kemajemukan

hukum)

Bagimanakah Pemerintah

Daerah dan

masyarakat menafsirkan

partisipasi desa

pakraman selama ini dalam

proses

pembentukan Perda?

T eori Pembentukan

Legislasi Jan

Michiel Otto, Suzan Stoter dan

Julia Arnscheidt

Bagaimanakah

model partisipasi desa

pakraman yang

ideal dalam pembentukan

Perda?

T eori Partisipasi : (elemen ke 6 dan

ke 4) yaitu

kemitraan dan konsultasi

Hasil dan Pembahasan

Simpulan Rekomendasi Temuan