bab ii presus asma
Post on 02-Feb-2016
253 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Asma merupakan suatu kelainan pada saluran napas yang diakibatkan oleh proses
inflamasi kronis yang melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis
tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menyebabkan
episode mengi (wheezing), apneu, sesak nafas dan batuk-batuk terutama pada malam hari
atau awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang
bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan terapi.3
Global Institute for Asthma (GINA) mendefinisikan asma adalah gangguan
inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan seperti, sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi kronik tersebut menyebabkan episode mengi
(wheezing) berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam
hari atau dini hari.3
Definisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah
mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul
secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas
fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya.5
Definisi asma yang saat ini umumnya disetujui oleh para ahli yaitu asma adalah
penyakit paru dengan karakteristik :
1. Obstruksi saluran napas yang reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien)
baik secara spontan maupun dengan pengobatan
2. Inflamasi saluran nafas kronik
3. Peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan
B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO(3,4,6)
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor genetik
a. Hiperreaktivitas jalan napas
Berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas yang melibatkan sel-sel inflamasi.
b. Atopi/ alergi bronkus
Adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten
dan beratnya asma. Beberapa laporan menunjukan bahwa sensitisasi alergi
terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama
kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma
c. Jenis kelamin
Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma
pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak
perempuan.
d. Ras/ etnik
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens asma dan
kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan
laut, susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dan
sebagainya)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
f. Ekspresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthmaj. Perubahan cuaca
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: 3,4,7
Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu
(anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap
rokok, infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen
dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk sari,
asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara dingin
dan kering, olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid
(rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal refluks).
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan faktor
lingkungan. Interaksi faktor genetik atau pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui
kemungkinan :
Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma
Baik faktor lingkungan maupun faktor pejamu atau genetik masing-masing
meningkatkan risiko asma
Disini faktor pejamu termasuk predisposisi yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopik), hiperreaktivitas bronkus, jenis
kelamin dan ras. Fenotip yang berkaitan dengan asma dikaitkan dengan ukuran subjektif
(gejala) dan objektif (hiperreaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya.
Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau predisposisi
asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu
allergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan
(virus), diet, status ekonomi dan besarnya keluarga. Alergen dan sensitisasi bahan
lingkungan kerja dipertimbangkan sebagai penyebab utama asma dengan pengertian
faktor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan
kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan
menetapnya gejala.
C. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) tahun 2003,
prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah
anak 4,2 juta) dan pada dewasa dengan usia diatas 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa
7,8 juta). Jumlah anak laki-laki yang mengalami asma 1,5 sampai 2 kali lebih sering
dibandingkan perempuan, tetapi setelah pubertas prevalensi asma pada laki-laki sama
dengan perempuan. World Health Association (WHO) memperkirakan terdapat sekitar
250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan National Center for
Health Statistics (NCHS) tahun 2000 terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per
100 ribu populasi.2
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka
kesakitan. Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal
itu tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10
penyebab kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema.7
D. PATOGENESIS3,7,8
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh
serangan batuk, wheezing (mengi) dan dispnea pada individu dengan jalan nafas yang
hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan
penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling
sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Beberapa orang dengan
gejala asma yang bermula dalam 2 dekade pertama kehidupan, lebih besar
kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (IgE) dan
memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik.
Asma merupakan suatu bentuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, alergen masuk ke
dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE yang terdiri dari 3 fase,
yaitu:
1. Fase Sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase Aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor yaitu waktu terjadinya respons yang kompleks sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil.
Gambar 1. Patofisiologi Asma
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan
molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+
dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik berperan sebagai Antigen Precenting
Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di
dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling
berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.
Pajanan pada dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat
oleh Fce-R pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan
ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu pelepasan mediator
farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil. Mediator-mediator tersebut
menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan
vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis.
Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu proses
inflamasi dengan proses remodeling sel epitel yang rusak akibat proses inflamasi.
Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula proses remodeling
terjadi. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori
melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinsai
antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks
Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi
berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan
proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses
yang penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel
otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah
vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul
termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada
pasien yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan
lamanya penyakit.
Gambar 2. Patogenesis Asma (Teori remodelling)
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama pada proses inflamasi
kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan
perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan
dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis
hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh
dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi
inhalasi kortikosteroid.
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi
bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus.Inhalasi alergen
akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin
juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan
mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa
sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
E. PATOFISIOLOGI ASMA4,7,8
Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi
mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase,
prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang
dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post
ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah
hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada
saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi
sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari
mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas
adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume
yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini
meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui
jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks
berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami
kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas
dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas.
Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik
Hiperaktivitas saluran respiratori
Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang menyebabkan
penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan
dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh
terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding
saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut.
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma,
dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction
Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga,
udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos
saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang
sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan
mediatornya.
Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan
ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan
otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien
asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan,
terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel
otot polos dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui hipotesis
pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas mengalami
kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir,
yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang
menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap
inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya edema adventsial dan
lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis.
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein
kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi,
sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan inflamasi ini
dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder terhadap
geometri saluran nafas.
Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas
hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran
nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan
bronkodilator(9).
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan
volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari
sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga
penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal dari mikrovaskularisasi
bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis(9).
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan
mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet yang
dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan
neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang
lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan
aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast, leukotrien,
histamin, produk neutrofil non-protease(9).
F. GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak
napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada
asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa
disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret
baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang
gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant ashtma.
Bila hal yang terkahir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan
sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma
tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor
pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas
ataupun perubahan cuaca.
G. DIAGNOSIS3,4,7
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan gejala
batuk dan/ atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/ atau atopi
pada pasien atau keluarga.
. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya
dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau yang lebih
lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak
badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang
diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara
yaitu didapatkannya.
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk
dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif, rasa berat di dada. Selain keluhan
batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang
timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul
tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada
serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada
serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-
putus saat mengucapkan kata-kata.
Riwayat penyakit atau gejala :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.
5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit
1. Riwayat keluarga (atopi).
2. Riwayat alergi/atopi.
3. Penyakit lain yang memberatkan.
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.
Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada
beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma
anak dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak
tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada
anak yang demikian, yang sudah dapat dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus)
sebagian besar akan terbukti adanya sifat-sifat asma.
Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat batuk
biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat mungkin
merupakan bentuk asma.
Pemeriksaan Fisik
o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang
tidak ditemukan kelainan fisik di luar serangan.
o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk
paroksismal, kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat
retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma
kronik bentuk toraks emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter
anteroposterior toraks bertambah.
o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah
posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas
melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar
juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus
banyak. Hal ini terjadi akibat hipersekresi lendir, udem dinding bronkus dan
konstriksi otot polos bronkus. Sehingga timbul gejala batuk, terdengar ronkhi
basah kasar dan mengi. ekspiratori yang lebih menonjol seperti fase ekspirasi
lebih panjang dibandingkan fse inspirasi dan dapat ditemukan suara nafas
wheezing
o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi
dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala
sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu
napas.
Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada AGD
dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia).
Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi
memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang
mencapai <70% nilai normal.
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eosinofil total dapat membantu
penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eosinofil total umum dijumpai
pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi
dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara
definitive dapat ditegakkan.
Pada pemerikasaan radiologi dapat menunjukan gambaran hiperaerasi, diameter
aneto-posterior bertambah, costae mendatar, sela antar costae yang melebar dan
diafragma tertekan ke bawah.
Uji kulit alergi dan imunologi dengan komponen alergi pada asma dapat
diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji kulit
adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan
prick test. Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan
penatalaksaannya.
Klasifikasi Derajat Penyakit Asma
Derajat Serangan Asma
ALUR DIAGNOSIS ASMA
Batuk dan/mengi
Tidak
Berhasil
Riwayat Penyakit
Pemeriksaan fisik
Uji Tuberkulin
Tidak jelas asma:
Timbul pada masa neonates Gagal tumbuh Infeksi kronik Muntah/tersedak Kelainan fokal paru Kelainan system
Jika ada fasilitas, periksa dengan peak flow meter atau spirometer
Pertimbangkan pemeriksaan:
Rontgen thorax dan sinus Uji fungsi paru Uji respons terhadap
bronkodilator Uji provokasi bronkus Uji imunologik Pemeriksaan motilitas Pemeriksaan refluks
gastroesofagus
Patut diduga asma:
Episodik Nokturnal Pasca aktivitas berat Riwayat atopi
pasien/keluarga
Berikan Bronkodilator
Diagnosis kerja: Asma
Tentukan derajat dan pencetusnya
Berikan obat asma: bila tidak berhasil nilai ulang diagnosis
dan ketaatan berobat
H. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.
Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis bronkus.
Tuberkulosis paru ditandai dengan batuk berdahak selama kurang lebih 2 minggu
disertai dengan keringat malam, demam dan penurunan BB.
Bronkitis kronik. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang
mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab
batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkarkan
dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien
berumur > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari,
lama-kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan
jasmani.pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor
pulmonal. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan tidak herediter.
Asma kardial. Dispnea paroksismal terutama malam hari dan biasanya didapatkan
tanda-tanda kelainan jantung.
I. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).
Tujuan :
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;
Mencegah eksaserbasi akut;
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
Menghindari efek samping obat;
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;
Mencegah kematian karena asma.
Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.
Pada dasarnya terapi asma dapat dinagi menjadi dua kelompok besar yaitu terapi
non-medikamentosa dan terapi medikamentosa.
Terapi Non-Medikamentosa
Terapi non-medikamentosa pada pasien asma terutama ke arah edukasi kepada
pasien dan atau keluarga pasien. Terapi non-medikamentosa sangat penting dan perlu
mendapat perhatian yang cukup demi menurunkan insidensi dan morbiditas asma.
Edukasi pasien asma dapat meliputi:
1) Meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga pasien mengenai asma secara
umum dan pola penyakit asma.
2) Meningkatkan pengetahuan pasien atau keluarga pasien dalam identifikasi faktor
penyebab gejala asma pada pasien, baik dalam hal kontrol terhadap alergen debu,
bulu binatang, asap rokok, atau penyebab lainnya.
3) Meningkatkan pola hidup sehat, terutama konsumsi makanan yang mengandung
gizi baik. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan imunitas seseorang yang
sudah terkena asma dan menurunkan morbiditas asma.
Tatalaksana Medikamentosa
Terapi medikamentosa meliputi terapi saat terjadinya serangan maupun
terapi untuk jangka panjang.
Tujuan tatalaksana saat serangan:
1. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
2. Mengurangi hipoksemia
3. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
4. Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.
Terapi medikamentosa pada pasien asma dapat dibagi dalam dua
kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).
Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang
timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini
tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat
pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini
digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran
nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun
sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan
yaitu 25 % setiap penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8
minggu.
Berat asma Medikasi pengontrol harian Alternatif / pilihan lain Alternatif lain
Asma intermiten Tidak perlu
Asma persisten ringan
Steroid inhalasi
(200-400_g BD/hari atau ekivalennya)
Teofilin lepas lambat kromolin
Leukotriene modifiers
Asma persisten sedang
Kombinasi inhalasi steroid (400-800_g BD/hari atau ekivalennya & LABA
Steroid inhalasi
(400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah teofilin lepas lambat atau steroid inhalasi (400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah LABA oral atau steroid inhalasi (400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers
Ditambah LABA oral atau ditambah teofilin lepas lambat
Asma persisten berat Kombinasi Inhalasi steroid (>800_g BD atau ekivalennya) dan LABA ditambah ≥ ditambah dibawah ini :
Teofilin lepas lambat
Leukotriene modifiers
Steroid oral
Prednisolon / metil prednisolon selang sehari 10 mg ditambah LABA oral, ditambah teofilin lepas lambat
Obat – obat Pereda (reliever)9
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada
anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan,
alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan
pankreas(10).
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan
ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas
yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan
klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya
pelepasan mediator sel mast
b. Epinefrin/adrenalin9
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2
agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α
sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi,
takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama
pada jantung dan sistem saraf pusat.
c. β2 agonis selektif9
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
1) Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
2) Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
3) Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
4) Dosis salbutamol nebulisasi: 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis
maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu
dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
5) Dosis terbutalin nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit,
efek puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian
inhalasi (inhaler/ nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena
pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan
napas. Efek samping berupa takikardi lebih sering terjadi.
1) Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1
mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
2) Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.
d. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi Methyl xanthine setara dengan β2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat
ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan
antikolinergik(12). Contoh obat golongan Methyl xanthine adalah teofilin dan
aminofilin.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methyl xanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal, atau parenteral. Pemberian teofilin
(intramuskular) IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang
lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan
absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Methyl
xanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air
susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolisme hati, sebagian besar
dieksresi bersama urin.
Dosis aminofilin intravena (IV) inisial bergantung kepada usia :
a. 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
b. 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
c. 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
d. > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang
lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.
e. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk
usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia di bawah 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek
sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik
inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.
f. Kortikosteroid10
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:
a. Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang
cukup lama.
b. Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid
hirupan sebagai kontroler.
c. Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk
mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam.
Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali
sehari.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat
ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain
di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vaskular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi
ke jaringan paru lebih baik. Dosis metilprednisolon intravena (IV) yang
dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Selain itu dapat digunakan
Hidrokortison intravena (IV) dengan dosis 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam.
Dexamethasone bolus intravena (IV) juga dapat digunakan dengan dosis 0,5 – 1
mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam.
Obat untuk Nebulisasi
No. Nama Generik Sediaan Dosis Nebulasi
1. β Agonis
Fenoterol
Salbutamol
Solution 0,1%
Nebule 2,5 mg
5-10 tetes
1 nebule
Terbutalin Respule 2,5 mg 1 respule
2. Antikolinergik
Ipatropium Bromida Solution 0,025% > 6 tahun: 8-20 tetes
< 6 tahun: 4-10 tetes
3. Steroid
Budesonide Respule
Sediaan Steroid untuk Serangan Asma
No. Nama Generik Sediaan Dosis
1. Steroid Oral
Prednisolon
Prednison
Triamsinolon
Tab 4 mg
Tab 5 mg
Tab 4 mg
1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam
1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam
1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam
2. Steroid Injeksi
Metilprednisolon
Hidrokortison
Deksametason
Betametason
Vial 500 mg
Vial 100 mg
Ampul 4 mg
Ampul 4 mg
30 mg/kgBB dalam 30 menit
4 mg/kgBB tiap 6 jam
0,5-1 mg/kgBB tiap 6-8 jam
0,05-0,1 mg/kgBB tiap 6 jam
Obat – obat Pengontrol (controller)10
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, teofilin, , dan long
acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal
dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam
pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi
pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-
gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di
rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya
down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400
ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak,
gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang
yang membandingkannya dengan steroid hirupan dan Leukotriene Receptor
Antagonist(LTRA). Keuntungan memakai Leukotriene Receptor Antagonist
(LTRA) adalah sebagai berikut :
a. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
b. Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
c. Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
d. Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari.,
penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat
montelukast ini belum ada di Indonesia;
e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming
growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis,
hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan
fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian inhalasi kortikosteroid 400 ug dengan tambahan LABA lebih baik
dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,
menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi inhalasi
kortikosteroid dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone
propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort).
Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini
mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid
yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan
glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi
ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan
lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh
karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap
diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
PENCEGAHAN
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:
Sehubungan dengan asal-usul tersebut, upaya pencegahan asma dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu:
1. Pencegahan primer
2. Pencegahan sekunder
3. Pencegahan tersier
J. KOMPLIKASI 1,3,4
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi
emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke
depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah,
gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik
dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat
terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama
dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia.
Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi
dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak ditolong dengan semestinya
dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagal jantung, bahkan kematian.
K. PROGNOSIS3
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di
pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik
ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul
pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah
diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi
persentase anak yang menderita penyakit yang berat relatif berat (6 –19%). Secara
keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21
tahun asmanya sudah menghilang.
top related