bab ii tinjauan pustaka 2.1 tinjauan teoritis 2.1.1 teori...
Post on 06-Sep-2019
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan merupakan rating yang diturunkan dari teori ekonomi
neoklasik Adam Smith dalam Hadiprajitno (2013). Smith (1776) menjelaskan
bahwa manajer perusahaan yang bukan pemilik sepenuhnya perusahaan, tidak
dapat diharapkan berkinerja baik sesuai tujuan pemilik lainnya. Hubungan
keagenan merupakan hubungan antara dua pihak dimana salah satu pihak menjadi
agent dan pihak yang lain bertindak sebagai principal (Hendriksen dan Van
Breda, 2000). Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), teori agensi adalah
hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Teori keagenan memiliki
asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya
sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent.
Eisenhard (1989) dikutip dalam Isnanta (2008) menggunakan tiga asumsi
sifat dasar manusia guna menjelaskan tentang teori keagenan yaitu:
1. Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interst)
2. Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang
(bounded rationality)
Universitas Sumatera Utara
13
3. Manusia selalu menghindari resiko (risk averse).
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer sebagai manusia
kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic, yaitu
mengutamakan kepentingan pribadinya. Teori keagenan menunjukkan bahwa
perusahaan dapat dilihat sebagai suatu hubungan kontrak (loosely defined) antara
pemegang sumber daya. Suatu hubungan kagenan muncul ketika satu atau lebih
individu, yang disebut pelaku (principals), mempekerjakan satu atau lebih
individu lain, yang disebut agent, untuk melakukan layanan tertentu dan
kemudian mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada agent.
Dijelaskan dalam Jensen dan Meckling (1976), Weston dan Brigham (1994),
bahwa masalah keagenan dapat terjadi dalam 2 bentuk hubungan, yaitu hubungan
antara pemegang saham dan manajer ; dan hubungan antara pemegang saham dan
kreditor.
Hubungan ini tidak selalu harmonis, sehingga teori keagenan akan selalu
berkaitan dengan konflik agency atau konflik kepentingan antara agen dan pelaku.
Hal ini memiliki implikasi untuk tata kelola perusahaan dan etika bisnis. Ketika
keagenan terjadi cenderung menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yaitu
biaya yang dikeluarkan dalam rangka untuk mempertahankan hubungan keagenan
yang efektif (misalnya, menawarkan bonus kinerja manajemen untuk mendorong
manajer bertindak untuk kepentingan pemegang saham). Oleh karena itu, teori
keagenan telah muncul sebagai model yang dominan dalam literatur ekonomi
keuangan, dan secara luas dibahas dalam konteks etika bisnis. Biaya keagenan
didefinisikan sebagai biaya yang ditanggung oleh pemegang saham untuk
Universitas Sumatera Utara
14
mendorong manajer dalam memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham
daripada berperilaku mementingkan diri sendiri. Gagasan biaya agen mungkin
dihubungkan dengan makalah Jensen dan Meckling (1976) di Journal of Finance,
yang menyarankan bahwa tingkat utang perusahaan dan tingkat manajemen
ekuitas baik dipengaruhi oleh keinginan untuk mengendalikan biaya kantor. Ada
tiga jenis utama dari biaya agen:
1. Pengeluaran untuk memantau kegiatan manajerial, seperti biaya audit.
2. Pengeluaran untuk struktur organisasi dengan cara yang membatasi perilaku
manajerial yang tidak diinginkan, seperti menunjuk anggota luar dewan
direksi atau restrukturisasi bisnis perusahaan unit dan hirarki manajemen.
3. Biaya kesempatan yang dapat terjadi ketika pemegang saham-dikenakan
pembatasan, seperti persyaratan untuk suara pemegang saham pada
permasalahan tertentu, membatasi kemampuan manajer untuk mengambil
tindakan yang meningkatkan kekayaan pemegang saham.
Dengan tidak adanya upaya pemegang saham untuk mengubah perilaku
manajerial, biasanya akan ada kehilangan sebagian kekayaan pemegang saham
karena tindakan manajerial tidak pantas. Di sisi lain, biaya agen akan berlebihan
jika pemegang saham berusaha untuk memastikan bahwa setiap tindakan
manajerial sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu, jumlah
optimal biaya agen yang harus ditanggung oleh pemegang saham ditentukan
dalam "konteks biaya biaya-manfaat agen” harus ditingkatkan selama setiap dolar
Universitas Sumatera Utara
15
yang dihabiskan meningkatkan hasil setidaknya kenaikan dolar dalam kekayaan
pemegang saham.
Prinsipal menginginkan return yang besar dan cepat atas investasi mereka
dan menilai prestasi manajer berdasarkan kemampuannya untuk memperbesar
laba yang akan dialokasikan pada pembagian dividen. Untuk memenuhi tuntutan
prinsipal dan mendapat insentif yang tinggi, manajer akan memainkan beberapa
kondisi perusahaan sedemikian rupa agar seolah-olah target tercapai bila tidak ada
pengawasan yang memadai dalam kinerja manajer.
2.1.2 Manajemen Laba
Manajemen laba adalah hal yang sangat kontroversial di dunia akuntan.
Pernyataan umum mengenai apakah manajemen laba baik atau buruk sulit dibuat.
Kebanyakan bergantung pada langkah-langkah yang dilakukan dan motivasi yang
mendasari dilakukannya manajemen laba (Mulford dan Comiskey, 2010).
Manajemen laba sekilas tampak berhubungan dengan tingkat perolehan laba atau
prestasi usaha suatu organisasi. Hal ini terjadi karena ukuran laba sering dijadikan
ukuran keberhasilan manajemen memimpin perusahaan dan suatu hal yang lazim
bahwa besar kecilnya bonus yang akan diterima manajer bergantung pada besar
kecilnya laba yang mampu dihasilkan perusahaan tersebut (Gumanti, 2000).
Dalam kamus akuntansi, Earnings Management disebut dalam berbagai istilah :
seperti “window dressing” atau “lipstick accounting” untuk menciptakan laporan
keuangan lebih cantik. Ada istilah cooked book atau income smoothing untuk
mengatur laba dengan menu yang diinginkan sponsor. Semua istilah tersebut
Universitas Sumatera Utara
16
berkonotasi negative karena ingin menciptakan laba yang disortif inflatif tidak
sesuai dengan kenyataan. Akhirnya akuntansi dituduh tidak memberikan
informasi yang akurat dan reliable lagi bahkan dinilai menjadi “fuzzy numbers”
atau angka yang membingungkan dalam Harahap (2011). Scott (2003),
mendefinisikan earnings management sebagai ”the choice by a manager of
accounting policies so as to achieve some specific objective” yang kurang lebih
memiliki arti : pilihan yang dilakukan oleh manajer dalam menentukan kebijakan
akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan tertentu.
Berbicara mengenai manajemen laba tidak terlepas dari Teori Akuntansi
Positif dan Teori Keagenan. Belkaoui (2007) mengemukakan bahwa, teori
akuntansi positif didasarkan pada adanya dalil bahwa manajer, pemegang saham,
dan aparat pengatur/politisi adalah rasional dan bahwa mereka berusaha
memaksimalkan kegunaan mereka yang secara langsung berhubungan dengan
kompensasi mereka dan kesejahteraan mereka pula. Pilihan atas suatu kebijakan
akuntansi oleh beberapa kelompok tersebut bergantung pada perbandingan relatif
biaya dan manfaat dari prosedur-prosedur akuntansi alternatif dengan cara
demikian untuk memaksimalkan keuntungan mereka.
Astika (2000) menjelaskan terjadinya manajemen laba lewat Teori
Akuntansi Positif dan Teori Keagenan ditinjau dari sisi teori akuntansi positif,
manajemen laba yang dilakukan eksekutif dapat dijelaskan melalui teori kontrak.
Proses kontrak tersebut menghasilkan hubungan keagenan. Hubungan keagenan
muncul ketika principal mengontrak pihak lain (agent) untuk melakukan suatu
tindakan yang diinginkan oleh principal. Dengan kontrak tersebut principal
Universitas Sumatera Utara
17
mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Ternyata
hubungan tersebut konflik karena, baik principal maupun agen, keduanya
merupakan pihak yang mempunyai sifat, yaitu memaksimumkan kesejahteraannya
(utility maximiser). Oleh sebab itu, tidak ada alasan yang dapat digunakan untuk
menempatkan keyakinan bahwa agen akan selalu bertindak untuk kepentingan
principal. Masalah keagenen muncul karena perilaku oportunis agen. Agen
cenderung memaksimumkan setiap peluang yang ada untuk memaksimumkan
kesejahteraannya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan principal. Scott
(2000) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua:
1. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk
memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak
utang, dan political costs (opportunistic earnings management).
2. Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient
contracting (efficient earnings management), dimana manajemen laba
memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan
perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk
keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian,
manajer dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen
laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan
pertumbuhan laba sepanjang waktu.
Menurut Scott (2003) beberapa motivasi yang mendorong manajemen
melakukan manajemen laba, antara lain sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
18
1. Motivasi bonus, yaitu manajer akan berusaha mengatur laba bersih agar dapat
memaksimalkan bonusnya.
2. Motivasi kontrak, berkaitan dengan utang jangka panjang, yaitu manajer
menaikkan laba bersih untuk mengurangi kemungkinan perusahaan
mengalami technical default.
3. Motivasi politik, aspek politis ini tidak dapat dilepaskan dari perusahaan,
khususnya perusahaan besar dan industri strategis karena aktivitasnya
melibatkan hajat hidup orang banyak.
4. Motivasi pajak, pajak merupakan salah satu alasan utama perusahaan
mengurangi laba bersih yang dilaporkan.
5. Pergantian CEO (Chief Executive Officer), banyak motivasi yang timbul
berkaitan dengan CEO, seperti CEO yang mendekati masa pensiun akan
meningkatkan bonusnya, CEO yang kurang berhasil memperbaiki kinerjanya
untuk menghindari pemecatannya, CEO baru untuk menunjukkan kesalahan
dari CEO sebelumnya.
6. Penawaran saham perdana (IPO), manajer perusahaan yang going public
melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas
sahamnya dengan harapan mendapatkan respon pasar yang positif terhadap
peramalan laba sebagai sinyal dari nilai perusahaan.
7. Motivasi pasar modal, misalnya untuk mengungkapkan informasi privat yang
dimiliki perusahaan kepada investor dan kreditor.
Universitas Sumatera Utara
19
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen laba
2.1.3.1 Good Corporate Governance
Good Corporate Governance merupakan suatu sistem yang bertujuan
untuk melindungi para investor dari perilaku oportunistik pengelola perusahaan.
Good Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang
dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk
menjalankan usahanya secara baik, sesuai dengan hak dan kewajiban masing-
masing pihak dalam rangka meningkatkan kesejahteraan semua pihak
(Khomsiyah, 2005) dalam BEI. Forum for Corporate Governance in Indonesia
(FCGI) dalam Toha (2007) mendeskripsikan corporate governance sebagai
seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
pengelola perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang
kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka. Sementara Pemerintah Indonesia dalam hal ini Menteri
BUMN dalam Toha (2007), mengartikan “Good Corporate Governance”, ialah
suatu suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan
nilai pemegang saham dalam jangka panjang dan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholders lainnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan nilai-nilai etika.
Penerapan good corporate governance principples adalah penting dan
strategis bagi pembinaan ekonomi nasional, tetapi proses untuk
Universitas Sumatera Utara
20
menginternalisasikan prinsip-prinsip tersebut kedalam tubuh atau struktur
organisasi memerlukan waktu yang tidak pendek dan melalui proses yang tidak
sederhana (Toha, 2007). Menurut Burhanuddin Abdullah dalam Toha (2007),
menyatakan bahwa secara filosofis yang dapat mendorong pengarahan bagi
terciptanya governance yang bersih, berwibawa dan efektif ialah:
1. Melalui iklim pasar displin yang kuat, baik sesama pelaku yang ada pada peer
group tertentu, atau pun karena ada public atau social control yang concern
dan mampu memberikan tekanan agar sebuah lembaga senantiasa weel-
governed.
2. Governance berjalan baik karena ada law-enforcement, baik pada skala
institusi maupun nasional, yang mampu memberikan kepastian bahwa hukum
akan berlaku efektif apabila terjadi penyimpangan.
Menurut Wibowo dan Tangkilisan (2004), tujuan yang ingin dicapai
perusahaan dalam penerapan corporate governance antara lain:
1. Memaksimalkan nilai perusahaan agar perusahaan memiliki daya saing yang
kuat untuk mendukung iklim investasi.
2. Mendorong pengelolaan perusahaan secara profesional, transparan, dan
efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian
komisaris, direksi, dan RUPS.
Universitas Sumatera Utara
21
3. Mendorong pemegang saham, anggota komisaris, dan direksi dalam membuat
keputusan dan menjalankan tindakan yang dilandasi nilai moral yang tinggi
dan kepatuhan terhadap UU atau ketentuan yang berlaku.
4. Kesadaran adanya tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pihak-pihak
yang berkepentingan.
Setiap Bank harus memastikan bahwa asas Good Corporate Governance
diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di seluruh jajaran bank. Asas Good
Corporate Governance yang harus dipastikan pelaksanaanya meliputi
transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, indepedensi serta kewajaran dan
kesetaraan. Asas Good Corporate Governance diperlukan untuk mencapai
kesinambungan usaha (sustainability) bank dengan memperhatikan kepentingan
pemegang saham, nasabah serta pemangku kepentingan lainnya.( Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2012) :
1. Transparansi
Transparansi (transparency) mengandung unsur pengungkapan
(disclosure) dan penyediaan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat,
dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan dan
masyarakat. Transparansi diperlukan agar bank menjalankan bisnis secara
objektif, profesional, dan melindungi kepentingan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
22
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan fungsi dalam
organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya. Bank sebagai lembaga dan
pejabat yang memiliki kewenangan harus dapat mempertanggungjawabkan
kinerjanya secara transparan dan akuntabel. Untuk itu bank harus dikelola secara
sehat, terukur dan professional dengan memperhatikan kepentingan pemegang
saham, nasabah, dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan
prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3. Responsibilitas
Responsibilitas mengandung unsur kepatuhan terhadap peraturan
perundang‐undangan dan ketentuan internal bank serta tanggung jawab bank
terhadap masyarakat dan lingkungan. Responsibilitas diperlukan agar dapat
menjamin terpeliharanya kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan
mendapat pengakuan sebagai warga korporasi yang baik atau dikenal dengan
good corporate citizen.
4. Independensi
Independensi mengandung unsur kemandirian dari dominasi pihak lain
dan objektifitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Dalam hubungan
dengan asas independensi (independency), bank harus dikelola secara independen
agar masing‐masing organ perusahaan beserta seluruh jajaran dibawahnya tidak
saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun yang dapat
Universitas Sumatera Utara
23
mempengaruhi obyektivitas dan profesionalisme dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya.
5. Kewajaran dan kesetaraan
Kewajaran dan kesetaraan (fairness) mengandung unsur perlakuan yang
adil dan kesempatan yang sama sesuai dengan proporsinya. Dalam melaksanakan
kegiatannya, bank harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang
saham, konsumen dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran
dan kesetaraan dari masing‐masing pihak yang bersangkutan.
Seperti yang sudah diketahui diatas, ada tiga indikator good corporate
governance yang akan diangkat dalam penelitian ini. Indikator mekanisme good
corporate governance tersebut dalam penelitian ini adalah ukuran dewan
komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan kepemilikan institusional.
a. Ukuran dewan komisaris
Jensen (1993), Lipton dan Lorsch (1992) dalam Beiner et al. (2003)
merupakan yang pertama menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris
merupakan bagian dari mekanisme corporate governance. Hal ini diperkuat oleh
pendapat Allen dan Gale (2000) dalam Beiner et al (2003) yang menegaskan
bahwa dewan komisaris merupakan mekanisme governance yang penting. Mereka
juga menyarankan bahwa dewan komisaris yang ukurannya besar kurang efektif
dari pada dewan yang ukurannya kecil. Ukuran dewan komisaris berpengaruh
terhadap efektif tidaknya pengawasan kinerja manajemen. Menurut Jansen (1993),
Universitas Sumatera Utara
24
ukuran dewan komisaris yang relatif kecil dapat membantu meningkatkan kinerja
mereka dalam memonitor manajer. Ukuran dewan komisaris yang terlalu besar
(dalam hal ini Jansen menyebutkan lebih dari tujuh orang) tidak dapat berfungsi
secara optimal dan akan lebih mudah dikontrol oleh manajer, terutama karena
dewan komisaris sendiri disibukkan oleh masalah koordinasi. Jika manajer dapat
mengontrol dewan komisaris serta adanya asimetris informasi maka akan leluasa
bagi manajer melakukan manajemen laba.
b. Proporsi dewan komisaris independen
Komite Nasional Kebijakan Governance (2004) mengungkapkan,
“Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi
dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham
pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata
-mata demi kepentingan perusahaan.”
Proporsi dewan komisaris independen diukur dengan menggunakan
indikator persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan
dari seluruh ukuran anggota dewan komisaris perusahaan. Dalam rangka
penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance),
BEI dalam Surat Edaran BEI No. SE-008/BEJ/12-2001 mewajibkan perusahaaan
tercatat wajib memiliki komisaris independen dan komite audit.
c. Kepemilikan Institusional
Universitas Sumatera Utara
25
Dan yang ketiga dari variable mekanisme good corporate governance
ialah kepemilikan institusional. Kepemilikan Institusional adalah persentase
saham yang dimiliki oleh institusi dari keseluruhan saham perusahaan yang
beredar. Kepemilikan institusional menurut Chen & Steiner (1999), akan
mengurangi masalah keagenan karena pemegang saham institusional akan
membantu mengawasi perusahaan sehingga manajemen tidak akan bertindak
merugikan pemegang saham. Adanya kepemilikan oleh investor institusional akan
mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja
manajemen, karena kepemilikan saham mewakili suatu sumber kekuasaan yang
dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap kinerja manajemen.
Di Indonesia, kepemilikan saham institusional terbagi menjadi kepemilikan
institusional eksternal dan kepemikan institusional internal (Mahadwarta, 2004).
Kepemilikan saham eksternal adalah kepemilikan oleh lembaga investasi seperti
dana pensiun, asuransi, reksadana, dan perusahaan investasi lainnya, dan menjadi
bagian dari kepemilikan saham oleh publik. Kepemilikan institusional internal
adalah kepemilikan saham oleh institusi bisnis seperti perseroan terbatas (PT).
Jenis kepemilikan institusional dalam penelitian ini adalah kepemilikan publik.
2.1.3.2 Profitabilitas/Rentabilitas
Profitabilitas ialah kemampuan perusahaan menghasilkan laba melalui
semua kemampuan dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal,
jumlah karyawan, jumlah cabang dan sebagainya (Harahap, 1997). Rasio yang
menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba disebut juga
operating ratio. Salah satu jenis ratio yang dikemukakan dalam rasio profitabilitas
Universitas Sumatera Utara
26
adalah Return on Aset. Return on Aset adalah rasio yang menunjukkan berapa
besar laba bersih yang diperoleh perusahaan bila diukur dari nilai aktiva.
Profit (laba) yang disajikan pada laporan keuangan digunakan sebagai
indikator kinerja pihak manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan. Laba
berfungsi dalam mengukur efektifitas bersih dari suatu operasi bisnis. Kinerja
suatu entitas bisnis dapat dilihat melalui tingkat perolehan laba. Kinerja tersebut
tercermin melalui profitabilitas perusahaan. Profitabilitas mencerminkan
kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan (Sudarmadji dan Sularto,
2007). Return on asset adalah rasio keuntungan bersih pajak yang juga berarti
suatu ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian dari asset yang
dimiliki perusahaan (Bambang, 1997). Return On Asset yang positif menunjukkan
bahwa dari total aktiva yang dipergunakan untuk operasi perusahaan mampu
memberikan laba bagi perusahaan, sebaliknya jika Return on asset negatif
menunjukkan bahwa total aktiva yang digunakan tidak memberikan
keuntungan/rugi.
2.1.4 Bank
Asal dari kata bank adalah dari bahasa Italia yaitu banca yang berarti
tempat penukaran uang. Secara umum pengertian bank adalah sebuah lembaga
intermediasi keuangan yang umumnya didirikan dengan kewenangan untuk
menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau
yang dikenal sebagai bank note. Sedangkan pengertian bank menurut Undang-
Universitas Sumatera Utara
27
undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November
1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak dalam (tulisan wordpress.com, 3
Oktober 2013). Dari pengertian bank menurut Undang-undang Negara Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan
meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana, menyalurkan dana, dan
memberikan jasa bank lainnya. Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana
merupakan kegiatan pokok bank sedangkan memberikan jasa bank lainnya hanya
kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun dana, berupa mengumpulkan dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito. Biasanya
sambil diberikan balas jasa yang menarik seperti, bunga dan hadiah sebagai
rangsangan bagi masyarakat agar lebih senang menabung. Kegiatan menyalurkan
dana, berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan jasa-jasa
perbankan lainnya diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan utama
tersebut.
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank seringkali menghadapi
risiko, seperti risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, maupun risiko reputasi
(Komite Nasional Corporate Governance, 2004). Dunia perbankan memiliki
peraturan yang rumit dalam kegiatannya dibandingkan dengan industri lainnya.
Sebagai contoh, bank harus memenuhi giro wajib minimum yang ditetapkan BI.
Universitas Sumatera Utara
28
Peraturan-peraturan tersebut ditetapkan pada dasarnya adalah untuk melindungi
kepentingan rakyat selaku penyimpan dana.
2.2 Tinjauan Peneliti Terdahulu
Penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen laba
sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Murhadi (2009) pada seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia selama tahun pengamatan 2005-2007 menunjukkan bahwa Good
Corporate Governance berpengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba
yang dilakukan oleh perusahaan, tapi dari ke lima indikator Good Corporate
Governance hanya Dualitas CEO dan Pemegang saham pengendali yang
memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Simamora (2011) juga
melakukan penelitian yang sama, tetapi fukus terhadap industry perbankan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama pengamatan periode tahun 2006-2010
yang menunjukkan bahwa mekanisme Good Corporate Governance tidak
memberi pengaruh signifikan terhadap dilakukannya tindakan manajemen laba,
ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, komite audit
secara parsial tidak mempunyai pengaruh terhadap dilakukannya tindakan
manajemen laba, hanya kepemilikan institusional yang mempunyai pengaruh.
Isnanta (2007) dalam peneletiannya terdapa perbnakan yang terdaftar di BEJ
menunjukkan bahwa Good Corporate Governance tersebut tidak berpengaruh
terhadap manajemen laba. Aprianti (2012) melakukan penelitian yang sama
Universitas Sumatera Utara
29
halnya pada perusahaan perbankan yang terdafatar di Bursa Efek Indonesia
selama pengamatan periode tahun 2009-2011, menunjukkan bahwa Good
Corporate Governance yang diproksikan kedalam leverage, kepemilikan
instutisional berpengaruh secara parsial terhadap manajeman laba dan , proporsi
dewan komisaris independen dan komite audit tidak berpengaruh secara parsial
terhadap manajemen laba.
Dari penelitian-penelitian di atas semuanya bertentangan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ujiyantho dan Pramuka (2006) yang
menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional dan jumlah dewan komisaris
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba; kepemilikan
manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba; proporsi
dewan komisaris independen berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen
laba.
Sementara penelitian dari faktor Return On Asset, Ariyanti (2010) yang
melakukan penelitian terhadap bank umum yang ada di Indonesia, menyimpulkan
bahwa bahwa rasio-rasio keuangan bank (terutama LDR) mampu memprediksi
perubahan Laba, tetapi CAR, NIM, ROA, NPL, BOPO tidak berpengaruh
signifikan positif terhadap variabel perubahan laba. Sama seperti penelitian yang
dilakukan oleh Amertha (2012) mendapat kesimpulan kinerja perusahaan yang
diproksikan dengan ROA (Return on Assets) berpengaruh positif yang berarti
pihak manajemen melakukan tindakan manajemen laba. Namun bertentangan
dengan Harefa (2011) menyimpulkan bahwa CAR, BO/PO, ROA bernilai negatif
dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan laba.
Universitas Sumatera Utara
30
Berdasarkan uraian di atas dibuat ikhtisar pada tabel 2.1 yang menyajikan
hasil penelitian-penelitian tentang Manajemen Laba.
Tabel 2.1
Ikhtisar Tinjauan Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti
Judul Variabel Penelitian
Teknik Analisis
Hasil Penelitian
1 Werner R. Murhadi (2009)
Good Corporate Governance and Earnings Management Practices: An Indonesian Cases
Variabel Independen : Good Corporate Governance Variabel Dependen : Manajemen Laba
Generalized Methods of Moments
GCG berpengaruh signifikan terhadap praktik EM dilakukan oleh perusahaan, Tapi dari ke lima indikator GCG hanya Dualitas CEO dan Pemegang saham pengendali memiliki pengaruh yang signifikan
2 Nurleni Simamora (2011)
Analisa Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Variabel Independen : Kepemilikan Institusional, Ukuran Dewan Komisaris, Proporsi Dewan Komisaris, Komite Audit
Variabel Dependen : Manajemen Laba
Metode Analisis Persamaan Regresi Berganda.
Mekanisme GCG tidak memberi pengaruh signifikan terhadap dilakukannya tindakan manajemen laba, Ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, komite audit secara parsial tidak mempunyai pengaruh terhadap dilakukannya tindakan manajemen laba Hanya kepemilikan institusional yang mempunyai pengaruh
Universitas Sumatera Utara
31
Lanjutan tabel 2.1
No Nama Peneliti
Judul Variabel Penelitian
Teknik Penelitian
Hasil Penelitian
3 Rudi Isnanta (2007)
Pengaruh Good Corporate Governance dan Struktur Kepemilikan terhadap Manajemen Laba dan Kinerja Perusahaan Manufaktur di BEJ
Manajemen Laba, struktur perusahaan dan kinerja perusahaan.
Metode Analisis Linear Berganda
Good Corporate Governance tersebut tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, tetapi berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
4 Fauziah Aprianti (2012)
Analisis Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Variabel Independen: Leverage Kepemilikan Institusional Proporsi Dewan Komisaris Independen Komite Audit Variabel Dependen : Manajemen laba
Metode Analisis Regresi Berganda
Good corporate governance yang diproksikan kedalam leverage, kepemilikan instutisional berpengaruh secara parsial terhadap manajeman laba dan , proporsi dewan komisaris independen dan komite audit tidak berpengaruh secara parsial terhadap manajeman laba
5 Muh. Arief Ujiyantho dan Bambang Agus Pramuka (2006)
Mekanisme Corporate Governance, Manajamen Laba dan Kinerja Keuangan
Variabel Independen: Kepemilikan Institusional Proporsi Dewan Komisaris Independen Kepemilikan Manajerial Variabel Dependen : Manajemen
Metode Analisis regresi berganda
Kepemilikan institusional, jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba; Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba; Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh positif
Universitas Sumatera Utara
32
Lanjutan tabel 2.1
No Judul Nama Peneliti Variabel Penelitian
Teknik Penelitian
Hasil Penelitian
laba Kinerja Keuangan
signifikan terhadap manajemen laba; Manajemen laba (discretionary accruals) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja keuangan (cash flow return on assets)
6 Lilis Erna Ariyanti (2010)
Analisis Pengaruh CAR, NIM, LDR, NPL, BOPO, ROA dan Kualitas Aktiva Produktif Terhadap Perubahan Laba pada Bank Umum di Indonesia
Variabel Independen : CAR, NIM, LDR, NPL, BOPO, ROA dan Kualitas Aktiva Produktif Variabel Dependen : Perubahan Laba
Metode Analisis Regresi Berganda dengan Persamaan kuadrat terkecil (ordinary least square – OLS)
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa rasio-rasio keuangan bank (terutama LDR) mampu memprediksi perubahan Laba, tetapi CAR, NIM, ROA, NPL, BOPO tidak berpengaruh signifikan positif terhadap variabel perubahan laba.
7 Sherly P.S Harefa (2011)
Analisis Pengaruh Kinerja Bank dan Efisiensi Operasional terhadap Pertumbuhan Laba pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia
Variabel Independen : CAR, ROA, LDR, LAR, BOPO Variabel Dependen : Perubahan Laba
Metode Analisis Linear Berganda
CAR, BO/PO, ROA Bernilai negatif dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan laba LAR, bernilai negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan laba LDR, berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan laba pada bank.
Universitas Sumatera Utara
33
Lanjutan tabel 2.1
Sumber : Lampiran 1
2.3 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual menurut Sekaran (1996) adalah suatu model
konseptual yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-
faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu.
Kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
No Nama Peneliti
Judul Variabel Penelitian
Teknik Penelitian
Hasil Penelitian
8 Indra Satya Prasavita Amertha (2012)
Pengaruh Return On Asset Pada Praktik Manajemen Laba Dengan Moderasi Corporate Governance
Variabel Independen : ROA (Return On Asset) Variabel Dependen : Manajemen Laba
Moderat Regressi on Analysis (MRA)
Penelitian ini menemukan bahwa kinerja perusahaan yang diproksikan dengan ROA (Return on Assets) berpengaruh positif yang berarti pihak manajemen melakukan tindakan manajemen laba.
Ukuran Dewan Komisaris (X1)
Good Coorporate Governance (GCG)
Proporsi Dewan Komisaris Independen (X2)
Kepemilikan Institusional (X3)
Return on Asset (X4)
Manajemen Laba
(Y)
H2
H1
H3
H4 Profitabilitas
Universitas Sumatera Utara
34
Ukuran dewan komisaris berarti jumlah dewan komisaris yang ada dalam
suatu perusahaan. Jumlah dewan komisaris yang terlalu besar akan mengurangi
efektivitas pengawasan terhadap kinerja manajemen. Komite Nasional Kebijakan
Governance (2004) mengemukakan, “Komisaris independen adalah anggota
dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan
komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan
bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk
bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan.”
Proporsi dewan komisaris independen diukur dengan menggunakan
indikator persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan
dari seluruh ukuran anggota dewan komisaris perusahaan. Keberadaan komisaris
independen dalam perusahaan akan mengurangi tindakan manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan oleh Nikmah dan Suranta (2005) menunjukkan
bahwa institusional selaku pemilik perusahaan memiliki insentif untuk membatasi
perilaku manajemen laba yang dilakukan manajer atas investasi yang telah
dilakukannya, sehingga kepemilikan institusional yang lebih besar mampu
melakukan mekanisme monitoring atas tindakan pengelolaan yang dilakukan oleh
manajer perusahaan.
Profit (laba) yang disajikan pada laporan keuangan digunakan sebagai
indikator kinerja pihak manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan. Laba
berfungsi dalam mengukur efektifitas bersih dari suatu operasi bisnis. Kinerja
suatu entitas bisnis dapat dilihat melalui tingkat perolehan laba. Kinerja tersebut
Universitas Sumatera Utara
35
tercermin melalui profitabilitas perusahaan. Profitabilitas mencerminkan
kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan (Sudarmadji dan Sularto,
2007). Return on asset adalah rasio keuntungan bersih pajak yang juga berarti
suatu ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian dari asset yang
dimiliki perusahaan (Bambang, 1997). Return On Asset yang positif menunjukkan
bahwa dari total aktiva yang dipergunakan untuk operasi perusahaan mampu
memberikan laba bagi perusahaan, sebaliknya jika Return on asset negatif
menunjukkan bahwa total aktiva yang digunakan tidak memberikan
keuntungan/rugi.
2.4 Hipotesis Penelitian
Menurut Sekaran (1996) Hipotesis adalah hubungan logis yang menduga
antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan untuk
diuji. Hubungan menduga berdasarkan jaringan asosiasi dalam kerangka teoritis
yang dirumuskan untuk studi penelitian. Hipotesis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
H1 : Ukuran dewan komisarisberpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
H2 : Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap
manajemen laba.
H3 : Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap manajemen
laba.
Universitas Sumatera Utara
top related