bab ii tinjauan pustaka a. maksilo fasialrepository.poltekkes-tjk.ac.id/235/3/6. bab ii.pdf ·...
Post on 10-Sep-2020
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Maksilo Fasial
1. Pengertian Maksilo Fasial
Maksilo fasial merupakan seni dan ilmu pengetahuan kedokteran gigi yang
meliputi rehabilitasi fungsi dan estetik akibat operasi (tumor, benjolan, kanker),
trauma (kecelakaan) ataupun bawaan lahir (congenital defect) (Mulyetty dan
Budiman, 2003:123).
Maksilo fasial merupakan ilmu prosthodonsia yang berhubungan dengan
perbaikan atau penggantian struktur wajah dengan protesa akibat operasi (tumor,
benjolan, kista), trauma (kecelakaan), ataupun cacat bawaan lahir (congenital
defect) (Carr BA, 2012:316).
Maksilo fasial adalah seni dan ilmu rekonstruksi fungsional atau kosmetik
dengan cara penggantian untuk daerah-daerah di rahang atas, rahang bawah, dan
wajah yang hilang atau cacat karena intervensi bedah, trauma, atau malformasi
perkembangan atau bawaan (Nallaswamy, 2003:684).
2. Kelainan Maksilo Fasial
Kelainan maksilo fasial adalah kelainan yang disebabkan oleh operasi
pengangkatan jaringan neoplasma pada leher dan muka, kelainan bawaan
(congenital) maupun akibat trauma, sehingga menimbulkan defek (cacat).
Kelainan tersebut turut menyebabkan terangkatnya jaringan lunak beserta jaringan
keras muka yang merupakan pendukung utama dan tidak dapat dilakukan
tindakan bedah rekonstruksi. Kehilangan dukungan tersebut mengakibatkan pipi,
bibir, dagu dan otot-otot lain berintraksi selama masa penyembuhan yang dapat
membuat cacat muka dan gangguan pada fungsi mastikasi, penelanan, bicara dan
lainnya (Himawan, 1998:35).
6
B. Defek Maksila
1. Pengertian Defek Maksila
Defek maksila adalah suatu kelainan berbentuk celah atau gerong pada
rahang atas yang disebabkan oleh bawaan sejak lahir, trauma akibat kecelakaan
atau tindakan operasi. Defek atau cacat maksila akan menyebabkan gangguan,
antara lain gangguan fungsi pengunyahan, penelanan dan fungsi bicara
(Nallaswamy, 2003:687). Defek maksila merupakan defek pada maksila yang
dikategorikan menjadi congenital defect (defek bawaan lahir) dan acquired defect
(defek karena tindakan operasi) (Handayani, 2015:120).
2. Macam-Macam Defek Maksila
Defek maksila dibedakan menjadi dua macam yaitu congenital defect dan
acquired defect (Handayani, 2015:120).
a. Congenital defect
Congenital defect atau defek bawaan lahir merupakan cacat yang terjadi
selama bayi masih dalam kandungan berupa defek kraniofasial. Cacat yang paling
sering terjadi adalah bibir sumbing dan celah langit-langit yang termasuk alveolus
premaxillary (Handayani, 2015:120).
Gambar 2.1
Congenital Defect
(sumber: https://www.cdc.gov/ncbddd/birthdefects/types.html)
b. Acquired defect
Acquired defect merupakan defek yang terjadi pada pasien neoplasma jinak
dan ganas, akibat trauma atau kecelakaan, perubahan patologis, terapi radiasi dan
intervensi bedah (Nallaswamy, 2003:689).
7
Gambar 2.2
Acquired Defect
(sumber: http://www.scielo.br/scielo)
3. Klasifikasi Defek Maksila
Mohamed Aramany mengklasifikasikan defek maksila berdasarkan luasnya
daerah defek menjadi enam kelas sebagai berikut: (Mohamad; dkk, 2012:90).
a. Kelas I
Defek unilateral maksila yang mengenai atau sampai batas midline dan gigi
yang tersisa terletak pada sisi lain. Kasus ini paling sering dijumpai pada pasca
hemimaxillectomy.
Gambar 2.3
Defek Rahang Atas Kelas I
(sumber: Onasis dan Syafrinani, 2015:99)
b. Kelas II
Defek unilateral hanya pada posterior dengan gigi yang tersisa pada anterior
dan posterior sisi lain.
8
Gambar 2.4
Defek Rahang Atas Kelas II
(sumber: Onasis dan Syafrinani, 2015:99)
c. Kelas III
Defek pada bagian tengah palatum dengan gigi yang tersisa pada kedua sisi.
Gambar 2.5
Defek Rahang Atas Kelas III
(sumber: Onasis dan Syafrinani, 2015:99)
d. Kelas IV
Defek bilateral maksila yang melewati midline dengan gigi yang tersisa
pada regio posterior salah satu sisi.
Gambar 2.6
Defek Rahang Atas Kelas IV
(sumber: Onasis dan Syafrinani, 2015:99)
9
e. Kelas V
Defek bilateral maksila pada regio posterior dengan gigi yang tersisa pada
regio anterior kedua sisi.
Gambar 2.7
Defek Rahang Atas Kelas V
(sumber: Onasis dan Syafrinani, 2015:99)
f. Kelas VI
Defek bilateral maksila pada regio anterior dengan gigi yang tersisa pada
regio posterior kedua sisi.
Gambar 2.8
Defek Rahang Atas Kelas VI
(sumber: Onasis dan Syafrinani, 2015:99)
C. Protesa Maksilo Fasial
1. Pengertian Protesa Maksilo Fasial
Protesa maksilo fasial merupakan protesa yang menutupi celah abnormal
pada rongga mulut ataupun rongga hidung untuk rehabilitasi fungsi dan estetik
dengan penggantian pada bagian yang rusak atau hilang menggunakan bahan
tiruan (artifisial) (Azhindra; dkk, 2012:30).
10
Protesa maksilo fasial adalah cabang ilmu prostodonsia yang berhubungan
dengan restorasi struktur wajah akibat adanya penyakit, tindakan bedah dan
kelainan bawaan dengan alat tiruan (Onasis dan Syafrinani, 2015:99).
Pembuatan protesa maksilo fasial bertujuan untuk mengembalikan fungsi
bicara dan mengunyah, membantu proses penyembuhan jaringan lunak serta
psikologis penderita. Protesa maksilo fasial harus dibuat segera setelah operasi
karena apabila terlambat akan terjadi kontraksi otot-otot wajah yang dapat
menyebabkan retensi berkurang (Mohamad; dkk, 2012:89).
2. Macam-Macam Protesa Maksilo Fasial
Protesa maksilo fasial terdiri dari dua macam yaitu protesa ekstra oral dan
intra oral (Onasis dan Syafrinani, 2015:99).
a. Protesa ekstra oral
Protesa ekstra oral adalah protesa yang merestorasi dan mengembalikan
bagian dari wajah ataupun struktur kepala yang hilang seperti mata, hidung dan
telinga (Onasis dan Syafrinani, 2015:99).
Gambar 2.9
Protesa Ekstra Oral
(sumber: https://www.elmundo.es/cronica.html)
b. Protesa intra oral
Potesa intra oral adalah protesa yang merestorasi dan menggantikan struktur
dalam rongga mulut seperti obturator pada celah palatum dan feeding plate pada
bayi (Onasis dan Syafrinani, 2015:99).
11
a b
Gambar 2.10
a. Palatal Lift b. Feeding Plate
(sumber: https://Palatal-lift-prosthesis dan https://Feeding-Plate-Obturator)
3. Obturator
a. Pengertian obturator
Obturator adalah protesa maksilo fasial yang digunakan untuk menutupi
defek, memelihara integritas komponen rongga mulut dan hidung akibat proses
perkembangan penyakit, kelainan bawaan (congenital), akibat trauma
(kecelakaan) maupun penyakit (tumor atau kanker) (Tenripada; dkk, 2012:150).
Obturator yaitu alat yang didesain untuk menutupi pembukaan atau defek pada
maksila seperti cleft palate atau pembuangan sebagian atau seluruh maksila
karena tumor (Handayani, 2015:120).
b. Fungsi obturator
Beberapa fungsi dari penggunaan obturator yaitu menggantikan bagian
mulut yang hilang, sebagai alat bantu makan, mempercepat proses penyembuhan,
membantu pembentukan kembali bentuk palatal atau soft palate. Selain itu juga
dapat memperbaiki fungsi bicara, estetik, posisi bibir, serta fungsi penelanan dan
pengunyahan (Handayani, 2015:121).
c. Tipe-tipe obturator
Protesa obturator terdiri dari tiga tipe berdasarkan tahap perawatannya
(Onasis dan Syafrinani, 2015:99).
1) Surgical obturator
Obturator bedah (surgical obturator) adalah protesa maksilo fasial yang
bersifat sementara, dibuat sebelum pembedahan dan diinsersikan selama atau
segera setelah pembedahan. Obturator ini berfungsi menggantikan tulang-tulang
12
alveolus yang hilang dan struktur palatum akibat pembedahan. Keuntungannya
dapat menahan tampon dengan stabil sehingga mempercepat penyembuhan
(Tenripada; dkk, 2012:151).
Gambar 2.11
Surgical Obturator
(sumber: Pardeep; dkk, 2017:356)
2) Interim obturator
Interim obturator atau delayed surgical obturator adalah protesa maksilo
fasial yang diinsersikan 1-4 minggu setelah pembedahan. Protesa ini digunakan
untuk menjaga estetika dan fungsi sampai protesa definitive selesai dibuat. Pada
awal proses penyembuhan harus dihindari beban oklusal untuk mencegah iritasi
pada area bekas pembedahan. Pasien dievaluasi setiap 10-14 hari selama 2-3
bulan untuk memperbaiki protesa karena kemungkinan akan mengalami
perubahan jaringan dari proses penyembuhan luka (Tenripada; dkk, 2012:151).
Gambar 2.12
Interim Obturator
(sumber: Tenripada; dkk, 2012:153)
3) Definitive obturator
Definitive obturator adalah protesa maksilo fasial yang menggantikan
seluruh defek, struktur lainnya termasuk gigi yang hilang akibat pembedahan.
13
Protesa ini diinsersikan setelah terjadi penyembuhan, biasanya 3-4 bulan setelah
pembedahan. Waktu dapat bervariasi tergantung ukuran defek, proses
penyembuhan, prognosis tumor, dan ada tidaknya gigi yang tersisa. Definitive
obturator harus mampu memberi dukungan retensi dan stabilisasi,
mengembalikan bentuk wajah setelah kehilangan sebagian tulang fasial
(Tenripada; dkk, 2012:151).
Gambar 2.13
Definitive Obturator
(sumber: https://symbiosisonlinepublishing.com)
d. Teknik pembuatan obturator
Pembuatan obturator bisa dilakukan dengan dua teknik yaitu one piece dan
two piece obturator (Handayani, 2015:121).
1) One piece obturator
One piece obturator terdiri dari satu bagian heat cured acrylic yang
melapisi shim, terbuat dari bahan soft cured acrylic menggunakan tiga stop dalam
daerah defek agar tidak berubah kedudukannya (Abadi, 2009:10). Keuntungan
dari teknik ini yaitu tidak terdapat garis perubahan warna pada protesa, daerah
undercut cukup tebal sesuai kebutuhan, lebih sederhana, pengerjaan cepat, tepat
dan akurat (Handayani, 2015:121).
Kerugian dari teknik one piece yaitu terasa berat saat dipakai karena
terdapat shim, dapat terjadi kebocoran shim sehingga cairan atau sisa makanan
masuk yang menyebabkan protesa semakin berat (Sridevi, 2014:146).
2) Two piece obturator
Two piece obturator terdiri dari dua bagian yaitu heat cured acrylic yang
terpisah dan disatukan dengan self cured acrylic menggunakan cuvet yang
14
terpisah. Bagian dasar dan bagian penutup obturator diproses dengan heat cured
acrylic (Chalina, 1972:139).
Teknik two piece mempunyai keuntungan yaitu ketebalan protesa dapat
dikontrol sehingga hasilnya lebih maksimal. Kerugiannya proses pembuatan lebih
lama dan resin akrilik dapat meresap ke bagian berongga dari obturator (Sridevi,
2014:146).
D. Definitive Obturator
1. Pengertian Definitive Obturator
Definitive obturator merupakan obturator permanen yang menggantikan
sebagian atau seluruh rahang dan gigi yang hilang akibat pembedahan atau
trauma. Definitive obturator dibuat ketika penyembuhan jaringan dan kontruksi
telah selesai 3-6 bulan setelah pembedahan tergantung pada besarnya defek dan
proses penyembuhan (Onasis dan Syafrinani, 2015:99-100).
2. Bagian-bagian Definitive Obturator
Protesa definitive obturator terdiri dari elemen gigi, basis dan cengkram.
a. Elemen gigi
Elemen gigi merupakan bagian dari protesa definitive obturator yang
berfungsi menggantikan gigi asli yang hilang. Pemilihan elemen gigi merupakan
tahap yang cukup sulit kecuali pada kasus dimana gigi asli masih ada sehingga
dapat dijadikan panduan.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan elemen gigi adalah
ukuran gigi (sesuai dengan gigi tetangganya), bentuk gigi (harmonis dengan
wajah dan jenis kelamin), warna gigi (disesuaikan dengan gigi yang masih ada)
(Gunadi; dkk, 1991:216).
b. Basis
Basis merupakan bagian obturator yang bersandar di atas tulang alveolar
menutupi jaringan lunak (Geovani, 2012:7). Basis obturator terbuat dari akrilik,
karena bahan ini disukai dalam pembuatan protesa untuk memulihkan cacat.
Bahan ini siap pakai dan mudah didapatkan, memiliki warna yang menyerupai
15
jaringan asli, terdiri dari heat cured acrylic, self cured acrylic, dan soft cured
acrylic (Nallaswamy, 2003:714).
1) Heat cured acrylic
Heat cured acrylic adalah bahan yang paling umum digunakan untuk basis
protesa, terdiri dari campuran monomer dan polimer yang mencapai polimerisasi
setelah dipanaskan dalam temperatur tertentu (Sundari; dkk, 2016:51).
Keuntungan dari bahan heat cured acrylic adalah estetik sangat baik karena
warnanya stabil dan translusen menyerupai jaringan gusi, harga relatif murah,
manipulasi dan pembuatannya mudah, tidak larut dan tidak aktif dalam cairan
mulut, mudah direparasi dan perubahan dimensinya kecil (Geovani, 2012:17).
Bahan resin akrilik heat cured acrylic juga memiliki kerugian yaitu
kekuatan terhadap benturan rendah, tidak tahan abrasi, dan konduktivitas termal
rendah (Geovani, 2012:18).
2) Self cured acrylic
Self cured acrylic dapat berpolimerisasi sendiri pada temperatur ruang atau
teraktivasi secara kimia. Self cured acrylic juga dapat berpolimerisasi dengan
penambahan aktivator atau katalisator tanpa menggunakan panas (Sundari; dkk,
2016:52).
Keuntungan dari bahan self cured acrylic adalah dapat memperbaiki
adaptasi terhadap jaringan lunak dibawahnya, mudah dilepas dari cuvet,
fleksibilitas lebih tinggi dibanding heat cured acrylic, dan distorsinya lebih
rendah (Geovani, 2012:19).
Bahan resin akrilik self cured acrylic juga memiliki kerugian yaitu cukup
mahal, warna kurang stabil, kekuatan kurang, adhesi dengan gigi kurang, dan
terkadang menyebabkan iritasi (Geovani, 2012:20).
3) Soft cured acrylic
Soft cured acrylic digunakan untuk memberikan lapisan lembut pada
obturator (Parker; dkk,1998:55). Sifat fisik dari bahan ini adalah penyerapan dan
kelarutan cairan minimal, dan menghambat pertumbuhan jamur. Sifat mekaniknya
adalah kemudahan dalam pemrosesan, finishing dan polishing (Pradnyani,
2017:11).
16
Keuntungan bahan soft cured acrylic yaitu bersifat elastis, nyaman bagi
pasien, serta mengurangi dampak traumatis pada residual ridge (Pradnyani,
2017:11).
Bahan resin akrilik soft cured acrylic juga memiliki kerugian yaitu daya
serap air yang tinggi, harganya cukup mahal, dan lebih mudah berubah bentuk
sehingga protesa cepat longgar (Azhindra; dkk, 2013:247).
c. Cengkram kawat
Cengkram kawat merupakan jenis cengkram yang lengan-lengannya terbuat
dari kawat jadi (wrought wire) dan dibentuk dengan cara membengkokkan
menggunakan tang cengkram (Gunadi; dkk, 1991:161).
Cengkram kawat yang biasa digunakan dalam pembuatan protesa definitive
obturator adalah cengkram C, Adam, arrow, continous dan cengkram
sirkumferential.
1) Cengkram C
Cengkram ini seperti cengkram setengah jackson dengan pangkal ditanam
pada basis (Gunadi; dkk, 1991:167).
Gambar 2.14
Cengkram C
(sumber: Gunadi; dkk, 1991:167)
2) Cengkram Adam
Cengkram ini merupakan cengkram penahan langsung (Gunadi; dkk,
1991:165).
17
Gambar 2.15
Cengkram Adam
(sumber: Gunadi; dkk, 1991:165)
3) Cengkram arrow (panah)
Berbentuk seperti anak panah yang ditempatkan pada interdental gigi,
biasanya pada gigi anak-anak dimana retensinya kurang. Oleh sebab itu cengkram
arrow dipakai untuk protesa sementara selama masa pertumbuhan (Gunadi; dkk,
1991:164).
Gambar 2.16
Cengkram Arrow
(sumber: Gunadi; dkk, 1991:165)
4) Cengkram continuos dengan eyelet
Pembuatan eyelet serupa dengan pembuatan arrow pada cengkram
arrowhead. Eyelet terletak tegak lurus di bawah titik kontak gigi, arah putaran
eyelet harus seragam, untuk retensi dapat di buat melengkung atau zigzag.
18
Gambar 2.17
Cengkram Continuos dengan Eyelet
(sumber: https://symbiosisonlinepublishing.com)
5) Cengkram sirkumferential
Cengkram sirkumferential terletak melingkar pada kontur terbesar gigi,
posisi harus rapat dengan gigi, koil dapat dibuat bulat atau zigzag.
Gambar 2.18
Cengkram Sirkumferential
(sumber: https://symbiosisonlinepublishing.com)
3. Teknik Penyusunan Gigi Normal pada Definitive Obturator
Pada penyusunan gigi anterior posterior rahang atas, permukaan labial
setiap gigi yang akan disusun ditarik porosnya. Gigi harus memenuhi syarat
inklinasi mesio distal dan antero posterior.
a. Gigi incisivus satu rahang atas
Gigi incisivus satu rahang atas diletakkan dengan inklinasi mesio distal
membentuk sudut 95o dengan bidang oklusal. Inklinasi antero posterior tepi incisal
sedikit masuk ke palatal untuk memberi dukungan pada bibir. Jika dilihat dari
bidang oklusal tepi insisal terletak di atas linggir rahang (Itjingningsih, 1991:88).
19
a b
Gambar 2.19
a. Inklinasi Mesio Distal b. Inklinasi Antero Posterior
(sumber: Itjingningsih, 1991:88)
b. Gigi incisivus dua rahang atas
Gigi incisivus dua rahang atas diletakkan dengan inklinasi mesio distal
membentuk sudut 80o dengan bidang oklusal. Tepi incisalnya 2 mm di atas bidang
oklusal. Untuk inklinasi antero posterior, bagian servikal condong lebih ke palatal
dan dilihat dari bidang oklusal tepi incisal terletak di atas linggir rahang
(Itjingningsih, 1991:90).
a b
Gambar 2.20
a. Inklinasi Mesio Distal b. Inklinasi Antero Posterior
(sumber: Itjingningsih, 1991:90-91)
c. Gigi caninus rahang atas
Gigi caninus rahang atas diletakkan dengan inklinasi mesio distal hampir
sama dengan gigi incisivus satu atas. Garis luar distal tegak lurus bidang oklusi
dan inklinasi antero posterior bagian servikal tampak lebih menonjol. Ujung cups
lebih ke palatal dan menyentuh bidang orientasi. Dilihat dari bidang oklusalnya
ujung cusp terletak di atas linggir rahang (Itjingningsih, 1991:92).
20
a b
Gambar 2.21
a. Inklinasi Mesio Distal b. Inklinasi Antero Posterior
(sumber: Itjingningsih, 1991:92)
d. Gigi premolar satu rahang atas
Gigi premolar satu rahang atas diletakkan dengan inklinasi mesio distal tegak
lurus bidang oklusi. Inklinasi antero posterior cusp bukal pada bidang oklusi dan
cusp palatal kira-kira 1 mm di atas bidang oklusi. Dilihat dari bidang oklusal
groove developmental sentral terletak di atas linggir rahang (Itjingningsih,
1991:107).
a b
Gambar 2.22
a. Inklinasi Mesio Distal b. Inklinasi Antero Posterior
(sumber: Itjingningsih, 1991:107-108)
e. Gigi premolar dua rahang atas
Gigi premolar dua rahang atas diletakkan dengan inklinasi mesio distal
tegak lurus bidang oklusal. Inklinasi antero posterior cusp bukal dan cusp palatal
terletak pada bidang oklusal. Dilihat dari bidang oklusal developmental groove
sentral terletak di atas linggir rahang (Itjingningsih, 1991:108).
21
a b
Gambar 2.23
a. Inklinasi Mesio Distal b. Inklinasi Antero Posterior
(sumber: Itjingningsih, 1991:108-109)
f. Gigi molar satu rahang atas
Gigi molar satu rahang atas diletakkan dengan inklinasi mesio distal
condong ke distal. Inklinasi antero posterior cusp-cuspnya terletak pada bidang
oblique dari kurva antero posterior yaitu cusp mesio palatal terletak pada bidang
oklusi, cusp mesio bukal dan disto palatal sama tinggi kira-kira 1 mm di atas
bidang oklusi dan cusp disto bukal kira-kira 2 mm di atas bidang oklusi. Dilihat
dari bidang oklusal cusp-cuspnya terletak pada kurva lateral yaitu permukaan
bukal gigi caninus, premolar satu, premolar dua, dan cusp mesio bukal gigi molar
satu rahang atas satu garis dengan permukaan fasial galangan gigit. permukaan
bukal gigi molar satu rahang atas membentuk sudut dengan permukaan fasial
galangan gigit kira-kira 6° ke palatal (Itjingningsih, 1991:110).
a b
Gambar 2.24
a. Inklinasi Mesio Distal b. Inklinasi Antero Posterior
(sumber: Itjingningsih, 1991:110)
g. Gigi molar dua rahang atas
Gigi molar dua rahang atas diletakkan dengan inklinasi mesio distal
condong ke distal dan inklinasi antero posterior cusp-cuspnya terletak pada bidang
22
oblique dari kurva antero posterior. Dilihat dari bidang oklusal permukaan bukal
gigi molar satu rahang atas terletak pada kurva leteral yaitu development groove
sentral gigi molar satu, molar dua rahang atas sejajar garis median (Itjingningsih,
1991:111).
a b
Gambar 2.25
a. Inklinasi Mesio Distal b. Inklinasi Antero Posterior
(sumber: Itjingningsih, 1991:112)
4. Retensi dan Stabilisasi pada Definitive Obturator
Obturator yang dibuat pada umumnya berat sehingga mempengaruhi retensi
dan stabilisasi. Retensi dan stabilisasi dapat dioptimalkan dengan mengurangi
beratnya obturator sehingga dapat berfungsi dengan nyaman selama pengunyahan,
penelanan dan berbicara (Stivie dan Dharmautama, 2015:11-12).
a. Retensi
Retensi adalah kemampuan protesa untuk melawan gaya-gaya pemindah
secara vertikal seperti aktivitas otot-otot pada saat bicara, mastikasi, tertawa,
gravitasi dan lainnya yang cenderung memindahkan protesa ke arah oklusal.
Untuk mendapatkan retensi, pemilihan jenis cengkram dan diameter dari
cengkram berpengaruh. Jika diameter cengkram lebih besar maka diperoleh
retensi yang lebih besar pula (Gunadi; dkk, 1991:156).
Retensi adalah kemampuan untuk menahan gaya-gaya yang cenderung
mengubah hubungan antara protesa dengan jaringan lunak mulut waktu istirahat.
Retensi berkenaan dengan perlekatan yang merupakan hubungan antara mukosa
dan protesa. Beberapa retensi yang bisa didapatkan adalah retensi anatomis dari
jaringan keras (sebagai basis) dan jaringan lunak (bersifat fleksibel). Retensi
mekanis diperoleh dari cengkram (panjang, diameter, bahan, kedalaman
23
undercut), dan adhesif (gaya tarik menarik antar molekul yang berbeda jenis)
(Azhindra; dkk, 2013:246-248).
b. Stabilisasi
Stabilisasi adalah kemampuan protesa untuk bertahan pada tempatnya
sewaktu mendapat tekanan atau fungsional agar tidak mudah terlepas (Azhindra;
dkk, 2013:246). Stabilisasi merupakan gaya untuk melawan pergerakan ke arah
horizontal. Dalam hal ini semua bagian cengkram berperan, kecuali bagian ujung
lengan retentif (Gunadi; dkk, 1991:157).
5. Prosedur Pembuatan Definitive Obturator
Untuk mendapatkan suatu protesa definitive obturator tahapan-tahapan
dalam pembuatannya adalah sebagai berikut:
a. Persiapan model
Model yang telah dicetak dirapikan dengan amplas atau trimer dan
dibersihkan dari nodul-nodul. Daerah undercut yang tidak menguntungkan
diblockout dengan gips. Selanjutnya transfer desain dari SPK ke model kerja dan
tidak boleh mengganggu mukosa bergerak dan tidak bergerak agar dapat
memperoleh retensi dan stabilisasi (Itjingningsih, 1991:45).
b. Pembuatan cengkram
Cengkram dibentuk dengan cara membengkokkan kawat dengan tang tiga
jari, tang borobudur, tang kombinasi, tang pipih dan lainnya untuk mendapatkan
dukungan retensi dan stabilisasi (Gunadi; dkk, 1991:161-162).
c. Pembuatan basis pola malam
Basis pola malam berguna sebagai dasar landasan protesa. Basis terbuat dari
base plate wax yang dilunakkan dengan lampu spiritus, lalu diletakkan di atas
model kerja dan sedikit ditekan (Itjingningsih, 1991:52).
d. Pembuatan bite rim
Bite rim berfungsi menggantikan kedudukan gigi untuk mendapatkan
hubungan rahang atas dan rahang bawah. Bite rim dibuat dari base plate wax yang
dilunakkan di atas lampu spiritus dan digulung membentuk silinder. Kemudian
24
dibentuk seperti tapal kuda dan letakkan di atas basis pola malam (Itjingningsih,
1991:57-58).
e. Penanaman model kerja pada okludator
Okludator adalah alat yang digunakan untuk menentukan oklusi dan meniru
gerakan oklusi sentris (hubungan maksimal dari gigi-gigi rahang atas dan rahang
bawah waktu mandibula dalam keadaan relasi sentris) (Itjingningsih, 1991:26).
Model kerja rahang atas dan rahang bawah ditanam pada okludator dengan bahan
plaster of paris, lalu rapikan agar memudahkan saat pengerjaannya. Pemasangan
okludator bertujuan untuk membantu proses penyusunan elemen gigi karena kita
dapat mengetahui oklusinya (Martanto, 1981:140).
f. Penyusunan elemen gigi tiruan
Penyusunan gigi disesuaikan dengan bentuk wajah dari pasien serta gigi
tetangga atau gigi antagonis yang masih ada. Penyusunan dapat dilakukan secara
bertahap yaitu gigi anterior atas terlebih dahulu, gigi anterior bawah, gigi
posterior atas, gigi molar satu bawah dan gigi posterior bawah lainnya dengan
memperhatikan inklinasi, overjet dan overbite (Itjingningsih, 1991:85).
g. Wax contouring
Wax contouring adalah membentuk dasar dari protesa malam sedemikian
rupa sehingga harmonis dengan otot-otot orofasial dan semirip mungkin dengan
anatomis gusi dan jaringan lunak mulut. Wax conturing dapat menggunakan
instrumen tangan seperti lecron dan pisau malam (Itjingningsih, 1991:135).
h. Flasking
Flasking ialah proses penanaman model beserta malam dalam suatu flask
atau cuvet untuk membuat mold space. Flasking mempunyai dua metode yaitu
pulling the casting dan holding the casting. Pada metode pulling the casting,
setelah boiling out gigi ikut pada flask bagian atas. Keuntungan teknik ini,
pengulasan separating medium dan metode packing acrylic mudah. Kerugiannya
sering terjadi peninggian gigitan.
Metode holding the casting yaitu permukaan labial gigi-geligi ditutup
plaster of paris sehingga setelah boiling out akan terlihat seperti gua kecil.
25
Keuntungannya, ketinggian gigitan dapat dicegah sedangkan kerugian teknik ini
untuk pengulasan separating medium sulit dikontrol (Itjingningsih, 1991:154).
i. Boiling out
Tujuan dilakukan prosedur boiling adalah menghilangkan wax dari model
yang telah ditanam dalam flask untuk mendapatkan mould space dengan cara
memasukkan flask ke dalam air mendidih selama 5-10 menit. Mould space harus
bener-bener bersih dan tidak terdapat sisa wax yang menempel maupun serpihan
dari gips yang tajam, lalu ulasi CMS (Clod Mould Seal) sampai merata
(Itjingningsih, 1991:154).
j. Pembuatan shim dan packing pertama
Defek dilapisi selapis tipis pola malam dan buat tiga lubang sebagai stop
agar tidak berubah kedudukannya pada flask atau cuvet bawah, lalu buat penutup
pada cuvet atas dengan selapis tipis pola malam. Selanjutnya lakukan packing
pertama.
Packing ialah proses percampuran antara monomer dan polimer resin
akrilik. Ada dua metode packing yaitu dry methode (cara mencampur monomer
dan polimer langsung di dalam mould space) dan wet methode (cara mencampur
monomer dan polimer diluar mould space, bila sudah mencapai dough stage baru
dimasukkan ke dalam mould space) (Itjingningsih, 1991:155).
Buat adonan self cured acrylic dengan wet methode, tunggu sampai dough
stage, letakkan di atas pola malam yang telah dibuat sebelumnya pada cuvet atas
maupun bawah kemudian dipres. Setelah kurang lebih 10 menit cuvet dibuka dan
pola malam yang ada dibuang, shim diperiksa apakah ada yang pecah atau bolong,
lalu rapikan (Hasanah, 2017:23).
k. Packing kedua
Siapkan adonan heat cured acrylic dengan wet methode, tunggu adonan
sampai dough stage, letakkan pada dasar defek cuvet bawah kurang lebih setebal
pola malam pada pembuatan shim. Selanjutnya letakkan shim di atas adonan heat
cured acrylic tersebut sambil sedikit ditekan, lalu tuang kembali sisa adonan heat
cured acrylic diatas shim. Lakukan dua kali pengepresan, yang pertama dengan
cellophane dan yang kedua tanpa cellophane (Hasanah, 2017:24).
26
l. Curing
Proses curing adalah polimerisasi antara monomer yang bereaksi dengan
polimernya bila dipanaskan atau ditambah zat kimia lainnya. Polimerisasi secara
thermis disebut dengan heat curing, dan secara khemis (zat kimia yang
ditambahkan dalam monomer) disebut cold/ self curing. Pemberian panas bisa
didapatkan secara water heat (air panas) (Itjingningsih, 1991:163).
m. Deflasking
Deflasking ialah melepaskan protesa dari flask atau cuvet dan bahan tanam
dengan tang gips, tetapi tidak boleh lepas dari model kerjanya supaya dapat
kembali persis seperti sebelum proses flasking, packing dan curing (Itjingningsih,
1991:164).
n. Finishing
Finishing merupakan penyempurnaan bentuk akhir protesa dengan
membuang sisa-sisa resin akrilik atau gips yang tertinggal menggunakan hanging
bur atau mikromotor dengan mata bur freezer, round bur, mandril amplas dan
lain-lain (Itjingningsih, 1991:183).
o. Polishing
Polishing adalah menghaluskan dan mengkilapkan protesa tanpa mengubah
konturnya. Menghaluskan protesa dapat menggunakan feltcone dan pumice yang
dicampur dengan air untuk menghilangkan guratan dan meratakan permukaan
protesa. Selanjutnya dipoles dengan white brush dan CaCo3 yang dicampur
dengan air sampai protesa licin dan mengkilap (Itjingningsih, 1991:187).
top related