bab iv hasil penelitian dan...
Post on 01-May-2019
401 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini, penulis menyajikan data hasil penelitian dan
triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran yang
dialami oleh perempuan di kota Salatiga. Analisis data dan pembahasan
dilakukan terpisah antara subyek satu dengan yang lainnya karena kedua
subyek memiliki latar belakang keluarga yang berbeda sehingga analisis
perlu dilakukan kasus per kasus.
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian ini, peneliti mengacu pada konsep
pra-penelitian menurut Bogdan (dalam Moleong, 2006) yaitu meliputi:
a) Penyusunan rancangan penelitian
Tahap ini meliputi, penyusunan bab 1 hingga bab 3 yang
mencakup latar belakang, landasan teori, metode penelitian,
kemudian mempersiapkan alat pengumpul data berupa penuntun
wawancara (interview guide).
b) Pemilihan lokasi penelitian
Lokasi penelitian yang telah ditetapkan oleh peneliti dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu sehingga pengambilan data
yang dimaksud dilaksanakan di kota Salatiga sesuai dengan tempat
domisili subyek penelitian. Dengan demikian, peneliti segera
menyusun alokasi waktu serta menghubungi subyek dan informan
dalam penelitian ini.
c) Memilih dan memanfaatkan informan
Dalam hal ini informan pertama adalah subyek penelitian
yang berjumlah 2 orang. Subyek dipilih berdasarkan tujuan
penelitian, yakni perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam
pacaran (KDP). Kedua subyek merupakan mahasiswi dari salah satu
universitas di Jawa Tengah yang berusia 24 tahun. Pemilihan subyek
ditetapkan dari kesediaan subyek untuk diwawancarai terkai
kekerasan yang dialaminya.
d) Mengurus perijinan
Perijinan dilakukan peneliti dengan cara informal, artinya
tidak memerlukan surat ijin dari fakultas, dikarenakan subyek
merasa tidak membutuhkan surat tersebut.
e) Tahap penjajakan dan penilaian lapangan
Tahap ini dilakukan melalui perbincangan santai dengan
subyek tanpa alat rekam untuk membangun rapport dan kepercayaan
subyek terhadap peneliti. Tahap ini dilakukan di kediaman masing-
masing subyek selama 3 kali hingga subyek merasa nyaman dan siap
untuk melakukan wawancara dengan peneliti. Interview awal ini
tidak menggunakan alat perekam. Peneliti mengajak subyek bercerita
dengan santai dan diselingi dengan percakapan-percakapan yang
ringan. Berikut ini adalah tujuan dari masing-masing interview awal
dengan subyek:
1. Interview awal - 1
Interview awal 1 dilakukan peneliti untuk mendapatkan
gambaran umum tentang subyek saat ini. Peneliti memposisikan
diri sebagai teman subyek yang dapat mendengarkan setiap cerita
subyek. Pada interview awal - 1 ini, subyek menceritakan tentang
kebiasaan dan rutinitas yang dijalaninya setiap hari.
2. Interview awal - 2
Interview awal - 2 dilakukan peneliti sebagai tindak lanjut
dari interview awal-1. Pada tahap ini, peneliti mulai menggali
informasi tentang keluarga dan tempat subyek dibesarkan, kesan
yang diberikan subyek terhadap setiap anggota dalam keluarga
dan lingkungan pergaulan subyek selama dibesarkan sepanjang
hidup.
3. Interview awal - 3
Interview awal - 3 dilakukan peneliti sebagai tindak lanjut
dari interview awal - 2. Peneliti mulai menggali informasi yang
lebih bersifat pribadi, yakni terkait dengan relasi pacaran subyek
dengan pacar yang menjadi pelaku kekerasan.
f) Persiapan perlengkapan
Penelitian dilakukan dengan menyediakan alat-alat yang
dibutuhkan dalam proses pengambilan data mencakup in-depth
interview guide, alat perekam, alat tulis, dan notes.
g) Mengetahui persoalan etika
Penelitian dengan memberitahukan maksud dan tujuan
penelitian secara terbuka kepada calon subyek, hal ini telah
dilakukan peneliti di awal pertemuan dengan kedua subyek.
2. Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data melalui wawancara dilakukan sebanyak dua
kali terhadap subyek pertama dan subyek kedua. Pelaksanaan
wawancara terhadap seluruh subyek dimulai pada bulan Maret 2016 -
Mei 2016. Kedua subyek merupakan teman peneliti yang diketahui
telah mengalami kekerasan berulang kali baik secara fisik, psikis,
verbal dan seksual selama berpacaran bertahun-tahun dengan
pasangannya. Penggalian informasi dalam penelitian ini bersifat sangat
pribadi dan sensitif, oleh sebab itu peneliti dengan perlahan
membangun kepercayaan kedua subyek agar mempercayakan
kerahasiaan informasi kepada peneliti. Selain itu, penggunaan alat
rekam selama wawancara berlangsung juga sesuai dengan perijinan
dan kesepakatan dengan kedua subyek.
Penggalian informasi dilakukan di kediaman masing-masing
subyek. Pada subyek pertama, peneliti mendatangi kos tempat subyek
berdomisili di Salatiga, sedangkan untuk subyek kedua, peneliti
mendatangi subyek di Solo, tempat subyek mengasingkan diri dari
lingkungan yang dianggap menekannya. Untuk selanjutnya, subyek
pertama akan disebut dengan Sari, sedangkan subyek kedua disebut
dengan Dinda. Berikut ini ialah jadwal pelaksanaan interview dengan
Sari dan Dinda:
SARI DINDA
Interview 1 26 Maret 2016 9 April 2016
Interview 2 5 April 2016 23 April 2016
Interview 3 25 April 2016 11 Mei 2016
Tabel 4.1 Jadwal Interview Subyek
Setelah peneliti mendapatkan informasi yang diperlukan
melalui tiga kali wawancara dengan subyek, peneliti mulai membuat
verbatim atau transkrip wawancara, tabel analisa transkrip wawancara,
dan analisa serta pembahasan kasus secara lengkap dalam bentuk print
out. Di samping itu, peneliti juga mencari data sekunder melalui
orang-orang terdekat subyek sebagai berikut:
SARI DINDA
Informan 1 Teman kos A Teman dekat
Informan 2 Teman kos B Pacar
Informan 3 Ibu Ayah Tabel 4.2 Sumber data sekunder
B. Hasil Penelitian
Setelah peneliti mendapatkan data-data empiris melalui proses
wawancara mendalam, kemudian peneliti mulai menganalisis data-data
tersebut sehingga menjadi suatu pemahaman yang utuh tentang kedua
subyek. Pada sub-bab ini, peneliti membahas analisis subyek satu per satu
dengan rinci.
1. Analisis Deskriptif Subyek Pertama (Sari)
a) Identitas Diri Sari
Nama : Sari (bukan nama sebenarnya)
Usia : 24 tahun
Kota Asal : Solo
Kota Domisili : Salatiga
Pendidikan Terakhir : Sekolah Menengah Atas (SMA)
Pendidikan Berjalan : Strata 1 Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga
Jurusan : Ekonomi Manajemen dan Bisnis
Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan
Urutan Kelahiran
:
:
Belum Menikah
Anak ke-2 dari 2 bersaudara
b) Hasil Observasi
Peneliti melakukan observasi yang sifatnya menambah
keterangan data yang diperoleh dari interview. Sepanjang proses
interview, peneliti mengamati perilaku Sari yang menunjukkan rasa
malu ketika membicarakan mengenai aktivitas seksual yang
dilakukan bersama pacarnya. Rasa malu ini dilihat dari wajah Sari
yang ditundukkan, volume suara yang mengecil, dan gestur tubuh
yang menghindar saat menjelaskan tentang aktivitas seksualnya.
Tidak ada perubahan lain yang signifikan ketika membahas tentang
sang pacar, termasuk hal-hal yang terkait kekerasan yang
dialaminya, Sari dapat menceritakannya dengan nada yang santai
dan diiringi tawa sesekali. Kemudian, ekspresi marah ditunjukkan
Sari ketika membahas tentang perselingkuhan yang dilakukan
ayahnya. Volume suara Sari menjadi keras dan memberi penekanan
pada kata-kata seperti ‘selingkuh’, ‘wanita idaman lain’, ‘kawin
lagi’.
c) Latar Belakang Sari
Sari merupakan anak dari perkawinan darah Medan yang
dilahirkan 24 tahun yang lalu. Meskipun kedua orang tua berasal
dari Medan, namun Sari dan keluarga tidak tinggal menetap di
Medan. Mereka memutuskan untuk berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain. Dari Medan, Sari melalui masa SD hingga SMP
Sari di kota Bandung, Jawa Barat. Lalu, ketika ia beranjak ke
bangku sekolah berikutnya, ia pindah ke Solo, Jawa Tengah hingga
ia menempuh jalur pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi
Swasta di Salatiga dan mengambil jurusan Ekonomi dengan
konsentrasi di bidang Manajemen Bisnis. Sari dan keluarga selalu
tinggal dalam satu atap hingga Sari memutuskan untuk berkuliah di
luar kota Solo dan membuat dirinya harus berada dalam situasi
berjarak dengan orang tua untuk pertama kalinya. Oleh karena jarak
kota Solo dan Salatiga dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 2
jam perjalanan, Sari menyempatkan diri untuk pulang ke Solo di
setiap akhir minggu. Kebiasaan ini dilakukan hingga kurang lebih ia
menduduki semester 4 di perkuliahannya.
Bungsu dari dua bersaudara ini selalu mendapatkan
perhatian khusus dari ayah, ibu, dan kakaknya karena ia satu-
satunya anak perempuan dan kedua orang tua menganggap Sari
perlu pengawasan yang ekstra ketat agar ia tidak terjerumus dalam
pergaulan yang tidak sehat. Latar belakang kepercayaan Kristen
yang begitu kuat dipegang teguh oleh sang ibu, membuat ibu justru
cenderung over-protective dengan setiap tindakan dan Sari. Sari
cenderung dibatasi dalam memilih pergaulan dengan teman sebaya,
baju yang dikenakan, dan aktivitas rutin yang dijalani. Hal ini
membuat Sari tumbuh menjadi pribadi yang sangat bergantung pada
keputusan orang tua dan sulit untuk mengambil keputusan dalam
situasi mendesak.
Keadaan ekonomi keluarga Sari dapat dikatakan fluktuatif.
Keluarga Sari pernah berada dalam situasi berlebihan dari segi
materi dan finansial, yakni masa ketika Sari dan keluarganya
menetap beberapa waktu di Bandung. Pada masa itu, Sari dapat
bersekolah di salah satu sekolah swasta yang bergengsi dan segala
kebutuhannya terpenuhi, bahkan berlebihan. Setiap permintaan Sari
selalu dikabulkan dan membentuk dirinya menjadi pribadi yang
suka memberi. Semasa SMP, Sari memiliki banyak sekali teman
karena Sari dikenal sangat murah hati dan mudah memberi barang-
barang pada teman-temannya yang membutuhkan. Namun
demikian, tidak semua teman yang ditolongnya bersikap baik
terhadap Sari. Beberapa diantaranya justru menyalahgunakan
kebaikan dan kelebihan materi yang dimiliki Sari. Setiap uang yang
dipinjam oleh teman-temannya tidak pernah dikembalikan dan Sari
justru disingkarkan dari pergaulan ketika keluarganya mengalami
krisis ekonomi yang cukup drastis.
Krisis ekonomi yang dialami keluarga Sari diakibatkan oleh
kondisi ayahnya yang saat itu memiliki perempuan idaman lain dan
menghasilkan keturunan dari perempuan tersebut. Sebagian besar
uang dari penghasilan ayahnya dialihkan pada perempuan itu
beserta anaknya. Semenjak itu, keluarga Sari menjadi tidak
harmonis dan penuh dengan konflik serta kekerasan yang terjadi
antara ayah dan ibu. Kekerasan di dalam rumah terus berangsur
terjadi selama sang ayah menjalin hubungan dengan perempuan
tersebut. Oleh sebab itu, sang ibu memaksa keluarga untuk pindah
ke Jawa Tengah dan menetapkan Solo sebagai tempat tinggal
berikutnya. Ibu berencana membawa kedua anak bersamanya. Hal
tersebut membuat sang ayah menceraikan perempuan tersebut dan
ikut bersama keluarga untuk pindah ke Solo. Sari pun melanjutkan
pendidikannya di Solo semasa SMA, dan berkuliah di Salatiga sejak
tahun 2007. Hingga 2016 ini, Sari belum menuntaskan pendidikan
tingginya dan berungkali berencana untuk meninggalkan
perkuliahannya karena merasa tidak mampu untuk mengerjakan
tugas akhir.
d) Analisis Kasus Sari
1. Gambaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Sari-Doni
a) Identifikasi Jenis Kekerasan
Sari berkenalan dengan Doni, pacarnya hingga saat ini,
melalui game online yang sering dimainkannya. Mereka menjalin
pertemanan kurang lebih satu tahun, saling melihat satu dengan
yang lain melalui foto-foto yang diunggah ke jejaring sosial
Facebook, bertukar pesan melalui Short Messenger Service
(SMS), dan menelepon satu dengan yang lain. Keduanya merasa
memiliki kecocokan dan menjalani hubungan yang semakin
dekat. Selama satu tahun Sari dan Doni saling mengenal satu
dengan yang lain, keduanya memutuskan untuk bertemu dan
bersepakat untuk menjadi pacar. Selisih usia keduanya ialah 4,5
tahun lebih tua Doni dibandingkan Sari. Pada awal masa pacaran,
Doni menunjukkan sikap yang perhatian dan sangat penyayang.
Hal ini membuat Sari merasa begitu nyaman menjalani hubungan
pacaran dengan Doni. Sari yang berdomisili di kota Salatiga pun
tidak merasa berat dijalani karena Doni yang tinggal di Semarang
selalu menghampirinya setiap akhir pekan.
Masa pacaran Sari dan Doni kini tengah memasuki usia 4
tahun. Namun, memasuki usia 2 tahun pacaran, Doni mulai
menunjukkan sifat aslinya yang kasar dengan dirinya. Meskipun
Sari pernah mengalami pengalaman yang menyenangkan pada
awal pacaran, namun setelah menjalaninya beberapa waktu, Sari
mulai mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan
bersama Doni. Setelah beberapa waktu pacaran, Sari merasa
bahwa yang ditunjukkan pada awal kenalan hingga pendekatan
dengan Doni bukan merupakan sifat asli dari Doni. Sifat asli
pasangannya ialah sifat yang kasar dan seringkali melukai
dirinya.
“Wah.. saya bisa katakan masa-masa awal saya pacaran itu
sangat berbanding terbalik. Jadi sangat drastis kalo ibaratnya
statistik itu indah sekali... dan lalu menjadi yah.. malapetaka
ya..”
“Mungkin emmm... parahnya aja ya.. sebenernya itu kan proses.
Maksudnya sedikit demi sedikit, sedikit demi sedikit mulai ya
ada satu dua satu dua yang tadinya awalnya seperti ini kok jadi
kaya gini.. kok aslinya kaya gini ya.. tapi yang bener-bener saya
rasakan ini saya udah nggak kenal lagi nih.. kayaknya bukan
seperti yang saya pikirkan...”
Kekerasan baik secara verbal maupun fisik dan seksual kerap
terjadi pada hubungan Sari dan Doni yang berusia 3 tahun.
Kekerasan dimulai sejak usia pacaran memasuki usia 2 tahun.
Kekerasan yang dialami Sari mencakup kekerasan fisik, verbal,
dan seksual. Kekerasan seksual merupakan kekerasan pertama
yang ditunjukkan oleh Doni dengan mengajak Sari melakukan
sexual intercourse dengan landasan cinta dan ingin memiliki
seutuhnya. Penolakan yang dilontarkan Sari tidak dihiraukan
oleh Doni dan hal tersebut membuat Sari melakukannya dengan
keterpaksaan. Kekerasan fisik dialami Sari ketika Doni sedang
berada dalam masalah atau terlibat pertengkaran dengan Sari.
Doni seringkali menggunakan kata-kata kasar seperti ‘anjing’,
‘bangsat’, ‘babi’, dan lainnya yang melukai hati Sari. Dalam
beberapa pertengkaran, Doni juga melemparkan barang-barang
yang ada di kamar kos Sari, seperti buku, piring, meja laptop,
dan lainnya. Perlakuan kasar tersebut terus berulang dan
membuat Sari terkadang ingin mengakhiri hubungan tersebut.
Namun, setiap kali Sari ingin memutuskan Doni, Doni selalu
mengatakan kepada Sari bahwa tidak akan ada lagi laki-laki yang
ingin bersama dirinya karena ia sudah tidak perawan lagi dan
menjadi ‘bekas’ Doni. Selain itu, Doni juga melunturkan konsep
diri Sari dengan mengatakan bahwa Sari itu tidak cantik,
berkelakuan buruk, dan hanya Doni yang dapat menerima
dirinya. Perkataan-perkataan seperti itu membuat Sari takut
untuk memutuskan Doni dan memilih untuk terus melanjutkan
hubungan tersebut. Kata ‘putus’ hanya diungkapkan Sari maupun
Doni ketika mereka sedang bertengkar dan cenderung
menggunakan emosi sesaat. Ketika pertengkaran telah selesai,
Sari dan Doni akan saling merindukan dan kembali bersama lagi.
Namun, setelah itu kekerasan tetap terjadi.
“Ya.. Bisa dibilang gini.. Eee saya waktu berpacaran sama dia,
saya tidak hanya kata-kata, mendapatkan kata-kata yang
berintonasi nada tinggi ya, tapi saya malah mendapatkan kasar
atau kata-kata yang tidak pantas yang kotor gitu.. misalnya ya
mbak tau lah.. kebun binatang, terus udah gitu makian misalnya
kata-kata bajingan lah apa lah pokoknya makian seperti itu atau
bahkan mungkin dia tidak melakukan percakapan dengan kata-
kata yang kasar, tapi dia melakukan tindakan di depan saya yang
membuat saya sedikit terancam seperti membanting barang,
merusak barang, atau hp-nya dibanting ya sering beberapa kali
kalo emosi sama saya hp dibanting sampe rusak beberapa kali,
terus dia pernah mukul pintu atau emm apa... tembok.. di depan
saya.. sampe berdarah tangannya. Lalu kalo sedang di atas motor,
dia sedang mengendarai motor, emm dia juga pernah istilahnya
emm apa sih namanya.. kalo dia ada jengkel sama, trus dia
ngendarain motornya ugal-ugalan kaya dikencengin gitu seolah-
olah kayak nantang bahaya gitukan seperti itu..”
“Itu yang pernah saya alami, saya pernah ditampar, saya pernah
ditendang, saya pernah emmm... dicekik juga, ya semacam
kekerasan yang apa yaa... bentuk fisik yang bener-bener itu
kekerasan gitu.. nggak cuma sekedar kesenggol atau apa, memang
secara sengaja..”
“Aduh… Gimana ya.. Nggak etis lah bahasnya kan.. Pokoknya
intinya ya begitu dulu awal-awalnya ya semi-semi diperkosa gitu
rasanya… Karena dia maksa, saya udah nggak mau.. Takut sama
mama kan kalo ketauan.. Dulu aja ampe saya trauma…Padahal itu
kan nggak ngapai-ngapain”
Sangat jauh berbeda dengan masa di awal pacaran, Doni
yang dikenal sangat penyayang, mulai bersikap over-protective
dan posesif terhadap Sari. Doni melarang Sari untuk bergaul dan
bepergian dengan teman laki-laki, meskipun untuk mengerjakan
tugas kelompok dalam mata kuliah tertentu. Tidak hanya teman
laki-laki, Sari juga diminta untuk membatasi pergaulan dengan
teman perempuannya. Doni selalu mengingatkan Sari untuk tidak
terlalu akrab dan percaya terhadap teman perempuannya dengan
menggeneralisasikan pengalaman pertemanan Sari sebelumnya.
Doni meyakinkan Sari untuk terus mempercayainya dan
menjadikannya satu-satunya orang yang dapat dipercaya oleh
Sari. Kekerasan tersebut dialami oleh Sari tanpa Sari mengetahui
dengan jelas alasan atau konflik yang menyebabkan kekerasan itu
dilakukan Doni terhadap dirinya. Menurut Sari, sikap Doni yang
posesif adalah salah satu alasan yang sering dijadikan konflik
oleh Doni. Kecemburuan, sikap posesif, dan over protective
Doni yang berlebihan berimplikasi pada sempitnya pergaulan
Sari di lingkungan sosial. Hal ini turut membuat Sari sangat
bergantung pada kehadiran Doni disisinya.
“Saya sendiri bingung sampe sekarang ya, maksudnya kadang hal-
hal yang menurut saya itu tidak masalah menurut pandangan
orang umum pun misalnya saya tanyain kalo saya begini tuh salah
atau ngga gitu, dimata saya dan dimata orang-orang yang saya
tanyakan itu sebenarnya bukan sesuatu harusnya dipermasalahkan
misalnya seperti itu tapi bagi dia itu masalah begitu. Misalnya nih
saya lagi kerja kelompok, saya kerja kelompok saya ga mungkin
dong saya nolak misalnya kalo dosennya sudah menentukan ini
ada cowoknya gitu kan.. padahal bukan saya yang milih gitu kan,
misalnya dia merasa kamu ga boleh sekelompok yang ada
cowonya, kamu harusnya sama cewe semua. Tapi kalo misalnya
kita mau ngerjain kelompok emm yang dimana itu sudah diatur
gitu kan, ya kita tidak bisa dong maksudnya ngubah sembarangan
dan lagi tuhu posisinya saya mengerjakan tugas kelompok, saya
bukan jalan-jalan, saya bukan hangout atau acara-acara bebas
yang seperti itu.. dan dia marah misalnya, dia itu jengkel karena
saya tetep pergi untuk kerja kelompok, dia bilang kerjain sendiri
aja, tapi kan tetap ga mungkin saya kerjakan semua sendiri, ada
kalanya saya memang membutuhkan bantuan orang lain. Sedikit
posesif yang berlebihan lah seperti itu..”
Kekerasan berulang yang dialami Sari terus-menerus dalam
kurun waktu kurang lebih 2 tahun membuat Sari merasa terbiasa
dengan rasa sakit yang dirasakannya. Sari mulai bisa beradaptasi
dengan situasi yang menyakitkan tersebut. Namun demikian, Sari
masih merasa dirinya terancam, takut dan tidak nyaman karena
Doni bisa ‘kumat’ sewaktu-waktu.
“Emm.. sebenernya lebih banyak itu... emm terlalu banyak
mungkin ya (tertawa kecil), saya jadi tidak bisa emm apa ya
gimana ya.. sepertinya segala sesuatunya jadi kasar dia, seperti
jadi sesuatu yang biasa, dari ngomong pun udah udah kasar terus,
dari cara ngomong nggak ada lemah lembutnya gitu.. dari intonasi
dari apa, terus dari tindakan juga.. ya seperti itulah..”
“Jadi banyak hal-hal yang ekstrim yang dia lakukan untuk
membuat kita tuh rasanya takut atau apa.. terancam gitu.. Kaya
ngelemparin barang… Itu membuat saya terancam juga,
maksudnya emm walaupun itu tidak mengarah kepada saya, tapi
saya merasa itu satu tindakan yang sudah kasar ya.”
Melalui klasifikasi yang dikemukakan oleh Murray (2007)
terkait jenis kekerasan, dapat diidentifikasi jenis-jenis kekerasan
yang diterima Sari dalam relasi pacarannya dengan Doni sebagai
berikut:
Kekerasan Verbal Name Calling (‘gendut’, ‘jelek’, ‘anjing’, ‘bangsat’,
‘babi’)
Monopolizing Time (tidak ada waktu bermain dengan
teman-teman)
Making feel insecure (dengan menggunakan kata
‘bekas pakai’, ‘nggak laku lagi’)
Blaming (melimpahkan kesalahan, menuduh)
Manipulation (meyakinkan korban bahwa sang pacar
yang terbaik)
Making threats (diancam akan ditinggalkan)
Interrogating (pencemburu, posesif, suka mengatur)
Breaking items (melempar piring, memukul tembok
dan lemari, memecahkan gelas)
Kekerasan Seksual Pemaksaan untuk melakukan sexual intercourse
dengan janji akan dinikahi di kemudian hari dan
sebagai bukti cinta di antara keduanya.
Kekerasan Fisik Ditampar, ditendang, dicekik
Tabel 4.3 Identifikasi Kekerasan Relasi Sari-Doni
b) Jerat Lingkaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Sari-Doni
Kekerasan yang kerap terjadi dalam relasi intim Sari dan
Doni membentuk suatu pola tarik menarik dan terhubung erat
seperti lingkaran. Selama kurang lebih dua tahun Sari berada
dalam lingkaran kekerasan yang terus berputar seperti siklus yang
rutin. Pertimbangan untuk meneruskan atau mengakhiri hubungan
tersebut juga tidak jarang terlintas dalam pikiran Sari. Sari berpikir
untuk mengakhiri hubungannya dengan Doni setiap kali Doni
melakukan kekerasan terhadap dirinya. Tidak hanya itu, Sari
bahkan degan lugas mengutarakan hal tersebut kepada Doni
sebagai ultimatum agar Doni berhenti melakukan kekerasan.
Keputusan untuk berpisah juga berulang kali dilontarkan baik dari
Sari maupun Doni. Namun, keputusan itu disadari oleh kedua
pihak hanya bentuk pelampiasan dari emosi sesaat. Sari dan Doni
akan saling mencari dan menghubungi satu dengan yang lain
ketika ada rasa rindu yang mengingatkan keduanya akan kenangan
mereka. Ketika mereka memutuskan untuk kembali, tindak
kekerasan akan terulang lagi. Seperti lingkaran kekerasan yang
digambarkan oleh Walker (1979), lingkaran kekerasan pun terus
mengikat kedua Sari dan Doni sebagai berikut:
Gambar 4.1 Lingkaran Kekerasan Relasi Sari-Doni
Pada kasus relasi Sari dan Doni, kekerasan terus berlanjut
menjadi sebuah siklus yang tak terputus karena relasi yang
terjalin diantara keduanya cenderung bersifat tertutup, dalam
artian tidak ada orang lain yang dilibatkan dalam relasi tersebut.
Rutinitas yang dilalui Sari dan Doni setiap kali mereka bertemu
lebih banyak dihabiskan di kos Sari yang terbilang sangat sepi.
Kos tempat Sari berdomisili di Salatiga hanya terdiri dari 4
kamar, satu kamar ialah milik empunya kos, 3 kamar lain
disewakan ke penghuni kos, salah satunya Sari. Situasi kos Sari
dari pagi hingga malam hari sangat sepi karena pemilik kos
POWER & CONTROL
DENIAL
1. TENSION BUILDING- DONI
2. BATTERING - DONI Melempar barang, mendorong, memaki,
mengintimidasi, melecehkan
3. CONTRITION STAGE -
DONI
Meminta maaf, mohon ampun,
Berjanji akan
berubah,
Cemburu dengan
teman laki-laki Sari,
waktu Sari terbagi
dengan tugas kuliah,
Sari tidak menuruti
keinginannya
Pergi ke gereja, meyakinkan Sari
bahwa Doni adalah laki-laki terbaik untuknya, mengingatkan Sari akan
janji mereka tentang pernikahan
RESPONS SARI: Menutup wajah dari lemparan barang, menangis, memberikan ultimatum, mengancam akan meninggalkan Doni.
RESPONS SARI: Membela diri,
mengutarakan alasan, memberikan
penjelasan yang logis RESPONS SARI: Memaafkan, sepakat untuk kembali mempercayai, merasa senang dan penuh
harapan.
bekerja setiap hari, sedangkan 2 orang teman kos lainnya lebih
sering menghabiskan waktu di kampus. Situasi kos yang sepi itu
tak jarang membuat Doni berani untuk melampiaskan
kemarahannya jika sedang bekonflik dengan Sari.
Selain itu, tidak ada teman atau kerabat Sari maupun Doni
yang mengetahui tentang tindak kekerasan yang kerap terjadi
dalam relasi mereka. Sikap Doni yang cenderung posesif
membuat Sari terus menerus dijauhi oleh teman-temannya dan
menjauhkan Sari dari pergaulan dan komunitas manapun.
Doktrinasi Doni tentang pertemanan yang buruk juga
meyakinkan Sari bahwa dirinya tidak memerlukan teman untuk
berbagi pengalaman atau cerita. Bagi Sari, kehadiran Doni sudah
cukup untuk mengisi hari-harinya. Relasi yang tertutup dan jauh
dari jangkauan orang-orang di sekitar ini turut membuat
lingkaran kekerasan dalam relasi pacaran Sari dan Doni terus
berlanjut dan menguat dari waktu ke waktu.
a) Kebertahanan Sari dalam Lingkaran Kekerasan
Kekerasan yang dialami Sari dalam relasinya dengan Doni
selama bertahun-tahun lamanya tidak melunturkan keinginan
Sari untuk tetap mempertahankan relasi pacarannya dengan
Doni. Ada beberapa hal yang ditelaah penulis terkait kehendak
Sari untuk tetap bertahan dalam relasi yang menyakitkan
baginya, yakni:
1. Adanya rasa mencintai dan dicintai
Salah satu alasan kuat yang membuat Sari terus
bertahan dalam relasi pacaran dengan Doni ialah rasa cinta
yang begitu besar yang dimilikinya terhadap Doni. Ada
keyakinan yang dipegang oleh Sari bahwa perasaan cinta
terhadap Doni jauh lebih besar daripada perasaan sakit karena
menerima perlakuan yang kasar dari Doni, sehingga Sari
tidak mampu untuk memutuskan hubungan dengannya. Sari
beranggapan bahwa kerelaannya untuk disakiti merupakan
bentuk pengorbanan yang dapat ia lakukan untuk Doni dan
juga sebagai upaya mengerti keadaan Doni yang sedang
mengalami konflik.
“Aduh gimana ya.. Saya tuh merasa saya sayang banget sama
dia.. Jadi saya rasa tuh kalo saya putus dengan dia tuh saya
yang nggak kuat sendiri gitu, saya yang kehilangan, saya yang
kangen, saya yang sedih... gitu kan yang galau. Pernah sih
mencoba untuk ya... coba break lah mungkin ya lebih ke
menenangkan pikiran dan lain sebagainya, tapi rasa sayang
saya sama dia lebih besar daripada rasa sakit yang apa ya... ya
saya sakit waktu saya dikasarin, tapi saya lebih sakit waktu
saya nggak ada dia..”
Melalui pernyataan tersebut, sangat terlihat pula bahwa
Sari meyakini bahwa sumber kekuatannya berasal dari Doni
sehingga ia merasa tidak memiliki kekuatan untuk menjalani
hari tanpa Doni. Ada indikasi ketidaknyamanan yang
ditunjukkan Sari ketika berada dalam situasi terpisah dengan
Doni. Hal ini membuat Sari lebih memilih untuk tetap
menjaga agar relasi tersebut terus berlanjut. Selain itu, Sari
mempercayai kata-kata Doni yang menyatakan bahwa ia
mencintainya. Namun, tidak terlihat bahwa Sari benar-benar
merasakan cinta dari Doni.
“Ya cinta lah mbak.. Emmm… Ya dia sih bilangnya cinta..
Katanya dia nggak pernah seserius ini sama cewe.. Nggak
pernah sampe mikir nikah juga. Tapi ya mungkin bener sih,
soalnya kita sempet putus berkali-kali, tetep dia pasti baliknya
ke saya lagi ke saya lagi.. Gatau ya tapi kenapa dia jahat sama
saya, kadang saya mikir dia tuh nggak cinta sama saya”.
Keraguan Sari dalam merasakan cinta Doni
menunjukkan bahwa Sari merasa kebingungan dalam
mengidentifikasi dan memahami konsep cinta. Keyakinan
Sari bahwa Doni mencintainya hanya ditegakkan dengan
kehendak Doni yang terus mendekatkan diri padanya dan
menginginkan relasi tersebut berlanjut ke pernikahan.
2. Adanya kecemasan tentang ‘mitos keperawanan’
Alasan lain yang membuat Sari bertahan ialah karena
Sari merasa kecemasan setiap kali ia memikirkan ancaman
dari pasangan bahwa tidak akan ada pria lain yang
menerimanya karena Sari telah memiliki hubungan yang
‘jauh’ dengan Doni. Ada keyakinan terkait stereotip gender
yang dianut Sari tentang perilaku seksual. Sari menganggap
bahwa seorang perempuan yang belum menikah namun
sudah tidak perawan, tidak berharga lagi di mata laki-laki
karena dianggap tidak dapat menjaga kekudusan tubuhnya.
Sedangkan, menurut Sari, laki-laki akan lebih mudah
mendapatkan pasangan lagi meskipun ia sudah tidak perjaka
karena tidak ada jejak yang membekas pada tubuh laki-laki
tersebut. Oleh sebab itu, Sari merasa bahwa Doni ialah satu-
satunya laki-laki yang harus menjadi suaminya karena ia
telah memberikan keperawanannya kepada Doni.
“Soalnya gini lah mbak, saya kan sudah jauh pacarannya
gitu kan, saya juga ditekan sama dia.. misalnya, kamu tuh
sama saya sudah sejauh ini.. siapa yang mau sama kamu
kalo misalnya saya tinggal? Gitu.. Kalo yang namanya cewe
kan istilahnya kan sekali seumur hidup kan ya mbak ya..
Kalo misalnya cowok kan ya nggak masalah mau berkali-
kali kek dia mah nggak ada bekasnya gitu kan.. Tapi kalo
kita kan belum tentu. Nah itu yang saya pikirkan juga, saya
sudah sejauh itu jadi saya kalo mau lepas dari dia saya
merasa saya rugi juga mbak”.
Kecemasan ini muncul karena intimidasi dari Doni
yang terus-menerus meyakini dirinya bahwa Sari tidak akan
mendapatkan laki-laki lain yang mau menerimanya jika ia
melepaskan Doni. Sari merasa dirinya sudah tidak berharga
lagi sebagai perempuan karena ia merasa gagal menjaga
kekudusan tubuhnya. Melalui pernyataan Sari, dapat dilihat
bahwa ada indikasi rasa tidak aman yang dialami Sari jika ia
mengakhiri hubungannya dengan Doni terkait dengan isu
penerimaan oleh pasangan berikutnya terhadap dirinya yang
sudah tidak perawan. Konsep diri Sari juga menjadi negatif
karena intimidasi yang terus dilakukan Doni. Hal ini
membuat Sari tidak pernah yakin untuk meninggalkan
lingkaran kekerasan yang terus berulang dalam relasinya
dengan Doni.
3. Adanya rasa nyaman dalam menjalani relasi
Alasan lain yang menjadi pertimbangan Sari untuk
bertahan dalam relasi tersebut ialah karena Sari merasakan
kenyamanan ketika bersama dengan Doni selama 4 tahun ini.
Doni merupakan sosok yang dapat mengisi kekosongan
dalam hati dan keseharian Sari. Hampir dalam semua
kebutuhan, mulai dari kebutuhan finansial (pemberian uang
untuk makan sehari-hari dan belanja), kebutuhan fisik
(kebutuhan untuk disentuh), kebutuhan untuk dicintai.
“Susah mba cari yang lain mah.. Apa ya.. Udah nyaman
banget saya sama dia.. Sekarang dia perhatian banget
orangnya kan, care gitu lho sama hal-hal kecil aja care,
saya makan apa, ada uang nggak, mau belanja apa.. Ya
untungnya dia udah kerja juga..”
Meskipun setelah dua tahun relasi tersebut berjalan dan
Doni mulai menunjukkan perilaku kekerasan terhadap Sari,
namun Sari masih dapat merasakan kenyamanan jika Doni
berada di dekatnya. Namun demikian, ada indikasi kuat yang
menunjukkan bahwa kenyamanan yang dirasakan Sari dipicu
oleh rasa bergantung pada pemenuhan kebutuhan yang
selama ini diberikan oleh Doni.
4. Adanya harapan akan perubahan sikap Doni
Menerima perlakuan kekerasan dari Doni hamper setiap
waktu, tidak mengurungkan harapan Sari untuk menunggu
Doni berubah menjadi sosok laki-laki yang lebih baik. Sari
memiliki keyakinan bahwa setiap manusia bisa berubah dan
Sari yakin Doni cepat atau lambat akan berubah menjadi baik
kembali seperti Doni yang dikenalinya ketika pertama kali
mereka bertemu. Sari menganggap bahwa jika di tahun-tahun
pertama relasi pacaran mereka, Doni bisa memperlakukannya
dengan sangat baik, maka ada kemungkinan Doni dapat
menjadi baik kembali. Keyakinan ini terus member kekuatan
bagi Sari untuk mempertahankan relasinya dengan Doni.
“Itu bukan hanya pikiran ya, itu harapan yang setiap
harinya gitu.. saya berharap dia bisa kembali seperti
dulu.. dimana dia tidak kasar seperti itu. Karena saya
sempet merasakan dia yang baik gitu.. walaupun itu
mungkin hanya sandiwara gitu untuk memenangkan
hati saya. Ya.. saya nggak tau sampe kapan ya tapi saya
percaya suatu saat dia akan berubah begitu”.
“Iya, ini nih kasarannya takdir yang saya harus jalani
mbak..”
Sari memiliki keyakinan bahwa keadaan yang dijalani
sekarang bersama pasangan adalah sebuah takdir yang harus
dihadapi dengan sabar dan ikhlas. Melalui pernyataan ini,
dapat dilihat pula bahwa Sari merasa tidak berdaya untuk
keluar dari situasi yang mengancam dan membuatnya
terluka. Sari menunjukkan sikap pasrah terhadap apapun
yang dilakukan Doni terhadap dirinya dan menyerahkan
seluruh kendali dalam relasi tersebut seutuhnya di tangan
Doni.
2. Gambaran Kelekatan Sari dan Orang Tua
Lingkaran kekerasan yang menjerat Sari dalam relasi pacaran
dengan Doni yang menempatkan dirinya sebagai korban bertahun-
tahun lamanya membuat penulis perlu mengaji lebih dalam
mengenai relasi lekat antara Sari dan kedua orangtuanya di masa
lampau hingga kini. Telaah ini penting untuk mendapatkan
pemahaman mengenai ikatan emosi yang terjalin antara Sari dengan
orang tua sebagai figur lekat pertama dalam kehidupannya, karena
aktif atau tidaknya ikatan emosi yang terjalin di awal-awal masa
kehidupan tersebut terekam dalam memori jangka panjang dan
menghasilkan pola lekat yang serupa dengan relasi Sari dengan
siapapun di rentang kehidupan berikutnya. Namun, sebelum penulis
menggambarkan pola kelekatan antara Sari dengan kedua
orangtuanya, penulis menggambarkan terlebih dahulu relasi yang
terjalin antara ayah dan ibu Sari dalam rumah tangga dan peran
keduanya sebagai suami-istri.
a) Gambaran Relasi Ayah-Ibu Sari
Sari tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang tidak
harmonis atau dapat dikatakan ‘broken home’ sejak ia berusia
kurang lebih 5 tahun atau ketika Sari masih menginjak Taman
Kanak-Kanak (TK). Pada usia tersebut, Sari seringkali
menyaksikan pertengkaran yang berupa adu mulut hingga
kekerasan yang dilakukan oleh ayah terhadap ibunya. Sari
seringkali melihat ibunya dipukul, dimaki-maki, dan diancam
dengan menggunakan pisau oleh sang ayah. Bagi Sari yang
ketika itu masih berusia 5 tahun, pengalaman menyaksikan
kekerasan dalam rumah tangga ayah dan ibunya merupakan
kenangan yang menyakitkan baginya, namun ia tidak dapat
melakukan apapun untuk menolong ibunya karena ia masih
terlalu kecil sehingga Sari hanya menyimpan dan memendam
kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan hingga ia kini dewasa.
Selain itu, sang ayah juga berselingkuh dengan perempuan
lain hingga akhirnya menikah dan memiliki anak dari perempuan
tersebut. Relasi ayah dan ibu semakin memburuk ketika sang
ayah menikah lagi. Kekerasan yang diterima ibu semakin
memburuk, namun ibu tidak melakukan pembelaan diri ataupun
melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwenang. Sang
ibu tetap setia dan mencintai ayahnya meskipun sang ayah telah
mengkhianatinya. Sang ibu meyakini bahwa ayah Sari yang ia
nikahi puluhan tahun silam ialah sosok yang sangat baik, namun
ia telah berubah drastis ketika bertemu dengan perempuan lain.
Meskipun Sari tidak pernah mengalami kekerasan langsung dari
sang ayah terhadap dirinya, namun sang ayah memberikan
pemahaman yang negatif tentang figur laki-laki di mata Sari
karena ia telah berlaku tidak setia dan tidak bertanggung jawab
pada istrinya.
b) Gambaran Relasi Lekat Sari-Orang Tua
Kelekatan yang terjalin antara Sari dan kedua orangtuanya
dapat dilihat dari ada atau tidaknya perilaku lekat yang ditunjukkan
oleh Sari maupun kedua orangtuanya. Relasi lekat ini berlaku dua
arah, yakni dari Sari sebagai anak yang mencari figur lekat sebagai
basis aman dirinya dan orang tua sebagai figur lekat yang berperan
penting dalam pembentukan konsep ‘aman’ tentang dunia dan
lingkungan di sekitar Sari. Pada dasarnya, perilaku lekat memiliki
tiga komponen dasar yang diungkapkan oleh Bowlby (1982).
Penulis mencoba menggambarkan perilaku lekat dengan
menggunakan perspektif kelekatan Bowlby, namun tidak menutup
kemungkinan munculnya hal baru yang ditemukan penulis dalam
proses penggalian data dengan Sari.
1. Proximity Maintenance (Mencari Kedekatan)
Proximity maintenance mencakup perilaku anak yang
terus mencari kedekatan dengan figur lekat dan memelihara
kedekatan tersebut. Perilaku ini dapat diamati pula melalui protes
yang ditunjukkan anak ketika berada dalam situasi terpisah dari
orang tua.
a) Sari-Ayah:
Relasi Sari dengan sang ayah dapat terbilang jauh atau
tidak intim secara fisik maupun emosional sejak kecil hingga
Sari beranjak dewasa. Kedekatan fisik dan emosional tidak
pernah terjalin dengan sang ayah, melainkan kebutuhan
finansial yang mendekatkan dirinya dengan ayah. Dengan
kata lain, Sari menjadi terbuka dengan ayah terkait dengan
kebutuhannya akan biaya-biaya yang harus dipenuhinya,
bukan tentang hal-hal yang mencakup pikiran dan
perasaannya terhadap sesuatu. Tidak ada upaya untuk
mencari kedekatan dan membina relasi lekat dengan sang
ayah karena Sari merasa ayah telah mengecewakan dirinya
dengan perilaku kekerasan yang dilakukan terhadap ibunya,
juga karena penelantaran yang dilakukan ayah terhadap
keluarga dengan keputusannya menikah lagi dengan
perempuan lain.
“Yah.. Kalo sama papa sih paling minta duit aja… Itu juga dulu
pas jaman masih kaya..”
“Nggak.. Nggak ada itu dipeluk apa dicium sama papa..
Dingin.. Ya nggak akrab sih sama papa mah.. Cuma ya itu
urusan bayar-bayaran kuliah aja, sama uang makan baru
ngehubungin papa..”
“Ya kalo dulu mah yaaa… Pas kecil masih lumayan sering lah
diajakin belanja kan ke mall, beli baju-baju baru gitu kan.. Itu
juga diem-diem dari mama… Itu yaa.. Apa ya.. Dulu banget
lah.. Jaman bokap sehat! Hahaha… Pas dia udah ada istri lagi
ya ngomong aja males..”
Sari menutup diri dari berbagai percakapan atau diskusi
dengan sang ayah ketika ayah menikah lagi dan memiliki
anak dari istri kedua. Penilaian Sari terhadap sang ayah
sangat buruk dan hal itu membuat Sari juga tidak pernah
melibatkan ayah dalam pengambilan keputusan yang
dibuatnya. Bagi Sari, ayah adalah sosok yang tidak dapat ia
percayai karena sang ayah telah mengkhianati ibunya.
Penolakan dan sikap menghindar yang ditunjukkan Sari
kepada ayahnya sekaligus menunjukkan kekecewaan dan
luka yang amat besar dirasakan Sari sehingga
kepercayaannya terhadap sang ayah pun hilang seketika saat
mengetahui sang ayah berlaku kasar terhadap ibunya dan
menikah serta memiliki anak lagi.
“Nggak… nggak ngomong.. Taunya kan juga dari si mama
cerita kalo si papa teh kawin lagi…”
“Yah boro-boro curhat, Mbak… Ngomong aja nggak pernah
lagi kalo di rumah… Rasanya teh sakit ati gimana gitu kalo
keinget kasarnya papa ke si mama..”
“Ya.. Jadi kalo ketemu di rumah yaudah lewat aja gitu… Ini
gegara si papa sakit aja jadi saya juga jadi sering balik Solo..
Itu juga disuruh mama, ceunah kesian si papa sakit parah,
terus anak perempuannya nggak pulang-pulang”.
“Kalo dulu sih pas kecil ya kadang nanya papa ada.. Kalo
misalnya tuh ya pas mau beli baju.. ‘Pa, bagus nggak baju
yang ini?’ Gitu.. Itu juga jarang.. Kalo sekarang kan saya udah
segede gini yaa… Nggak pernah sama sekali tanya-tanya lagi
soal apapun yaa Mbak.. Gatau rasanya kaya asing aja.. Bener
deh asing.. Ya meskipun sekarang papa udah balik sama
keluarga ya cuma kok saya yang malah jadi kayak nggak kenal
papa lagi.. Beda Mbak soalnya…”
Sari mengungkapkan bahwa dirinya dan sang ayah
tidak pernah bercerita tentang hal-hal yang mendalam terkait
dengan pikiran dan perasaan atau rencana-rencana jangka
pendek maupun panjang. Perkembangan Sari pada masa
remaja hingga dewasa juga hilang dari pengamatan sang ayah
karena ayah terlalu fokus pada pernikahan dan keluarga
barunya. Seluruh perhatian ayah diberikan pada keluarga
barunya sehingga Sari dan keluarga terbengkalai. Hal
tersebut menyebabkan Sari merasa sangat jauh dengan
keberadaan ayah sehingga ketika sang ayah kembali pada
keluarga, Sari masih merasakan canggung dan sakit hati yang
mendalam pada perlakuan ayah terhadap keluarga, terkhusus
kepada ibunya. Sari berpikir bahwa ia tidak berdaya untuk
menolong ibunya dari perlakuan kasar sang ayah. Ketika Sari
berada dalam situasi terpisah dengan sang ayah pun Sari
tidak merasakan ada sesuatu yang hilang. Hal itu membuat
Sari tidak berkeinginan untuk menjalin komunikasi dengan
sang ayah via telepon atau Short Messenger Service (SMS)
ketika mereka berada dalam situasi yang berjauhan.
“Tentang perasaan saya gitu? Emmm… Nggak ya.. Nggak
bisa berkutik saya juga.. Bisa apa coba.. Anak bawang kan
saya mah, Mbak….”
“Bukannya gimana yah Mbak.. Bukannya emmm.. Bukan
nggak maapin… Cuman canggung aja.. Terus keinget gitu
tindak tanduk dia kepada ibu saya itu jauh lebih menyakitkan..
daripada ibu saya disiksa mungkin lebih baik saya yang
dipukul daripada ibu saya yang dibikin begitu..”
“…Apa.. Pas awal kuliah? Nggak sih.. Nggak nyari.. nggak
kangen juga.. Ya biasa-biasa aja lah, lah kalo ketemu aja
nggak ngobrol, apalagi di telfon, Mbak.. “
b) Sari-Ibu:
Sari memiliki kedekatan yang lebih erat kepada ibu
daripada kepada ayah karena ayah jarang pulang ke rumah dan
Sari melihat ayah menyiksa ibu, membuat ibu menangis.
Kedekatan yang dimiliki Sari dengan ibunya mencakup
kedekatan emosional dan kedekatan fisik. Sari merasa
sangat menyayangi ibunya dan ia merasa tidak bisa berada
dalam situasi yang terpisah dari ibunya. Pengalaman pertama
Sari berpisah dengan ibunya ialah ketika Sari memutuskan
berkuliah di luar kota. Hal tersebut membuat Sari setiap
malam harus tetap berkomunikasi dengan sang ibu melalui
telepon atau Short Messenger Service (SMS). Bahkan, Sari
kerap menangis ketika merasa rindu dengan ibunya, namun
hanya bisa mendengarkan suaranya melalui telepon.
“Wah.. kalo sama mama sih saya baper banget deh mba..
Mama saya telfon saya tiap malem aja saya bisa nangis, saking
kangennya, terus sedih kalo pas mama bilang lagi nggak ada
uang atau belum bayar listrik lah apa lah, nggak bisa bayar
kuliah saya lah. Rasanya saya mending berhenti kuliah aja biar
langsung kerja bantuin mama saya. Kalo keadaannya mama
saya yang sakit kayak papa saya, saya rela deh mba biar saya
aja yang gantiin sakitnya asal jangan mama saya yang sakit”.
Rasa sayang Sari kepada selalu diungkapkan secara terbuka
dalam bentuk kata-kata, perhatian, dan pengertian. Ada
keinginan untuk melindungi ibu dari hal-hal buruk yang dapat
menimpanya. Sari pun mencari ibu ketika ia membutuhkan
pertolongan atau sekedar berbagi cerita tentang pengalamannya
sehari-hari. Namun demikian, meskipun Sari tergolong dekat
dengan ibunya, Sari tidak menunjukkan keterbukaan
kepada ibunya. Ia memilih untuk tidak menceritakan
persoalan yang bersifat pribadi kepada ibunya agar tidak
menjadi masalah.
“No…. Nggak semua bisa diceritain mbak.. Apalagi soal
pacar-pacaran.. Hehh mending diem aja deh daripada
ntar diocehin males.. Paling kalo soal kuliah ya terbuka.
Ini kan saya juga terhambat banget ya mbak skripsi
nggak kelar-kelar. Sampe bayar orang buat ngerjain juga
malah kabur orangnya, ketipu 3 juta saya. Kaya gitu-gitu
saya nggak bilang sama mama saya.. Ya saya cuma mau
mama taunya saya baek-baek aja lah disini…”
Melalui pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa Sari
berupaya untuk membuat sang ibu tenang dengan mengetahui
dirinya baik-baik saja. Sari menampilkan diri yang baik dan
patuh di hadapan ibunya. Tidak semua aturan yang diberikan
oleh ibu diikutinya. Dalam hal berpacaran, ia menyembunyi-
kannya dari kedua orangtuanya. Hal ini disebabkan karena
sosok ibu dalam pandangan Sari merupakan sosok yang
over-protective. Sejak kecil, ibu mengambil semua keputusan
dalam hidup Sari, mulai dari hal kecil hingga hal besar. Sari
tidak diijinkan untuk main bersama teman-temannya sepulang
sekolah, harus memakai baju yang ‘cantik’ menurut ibunya,
tidak boleh datang ke acara ulang tahun teman-temannya.
Kemanapun Sari pergi selalu diantar jemput oleh ibunya. Sari
hanya boleh mengikuti acara gereja dengan pendampingan
ibunya. Hal itu dialami hingga Sari duduk di bangku SMA.
Sang ibu memiliki pandangan bahwa kegiatan yang bersifat
positif dan baik bagi anaknya ialah kegiatan-kegiatan yang
mengandung unsur kerohanian. Sari menganggap bahwa
dirinya sulit sekali mendapatkan ijin dari sang ibu jika ia
menemukan hal baru yang menarik untuk dilakukan.
Kekhawatiran sang ibu yang berlebihan membuat Sari
membatasi ruang gerak untuk eksplorasi. Ia memilih untuk
menjadi pasif dan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan di
kampus. Banyak larangan yang diberikan oleh sang ibu demi
kebaikan Sari, dan Sari merasa tidak keberatan dengan hal itu
karena Sari meyakini bahwa aturan tersebut dibuat untuk
kebaikan Sari.
“Saya anak baik.. anak manis dan penurut. Ya itu sih yang
diketahui sama papa mama saya..”
“Mereka taunya ya saya ikutin, tapi pada kenyataannya saya
banyak mangkir juga (tertawa).. Ya itu tadi.. Saya kan dilarang
pacaran, tapi saya bolak-balik pacaran backstreet gitu.. Itu sih
yang menurut saya paling nakal”
“Ya… Misal kegiatan di gereja, ikut retreat, latihan nyanyi
atau nari di gereja. Di luar itu sih bakal diinterogasi dulu
kegiatannya kayak gimana, sama siapa, waktunya kapan,
macem-macem lah..”
2. Safe Haven (Menjadi Tempat Perlindungan)
Salah satu perilaku lekat lainnya yang dapat ditelaah dari
relasi Sari dan kedua orang tua ialah perilaku safe haven. Safe
haven merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh figur lekat
sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak yang mencari
kedekatan dengannya. Respons tersebut dalam berbentuk
pemberian rasa nyaman, kehangatan, ketenangan, atau jaminan
akan keselamatan pada waktu dibutuhkan.
a) Ayah-Sari:
Ayah tidak berperan dalam pemenuhan kebutuhan
emosional maupun fisik bagi Sari sejak kecil. Sosok ayah
dikenal pekerja keras yang selalu memenuhi kebutuhan rumah
tangga dan merupakan satu-satunya pencari nafkah di dalam
rumah. Ada masa dalam kehidupan Sari dimana sang ayah
masih memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Ayah bukan
sosok yang menunda untuk menyenangkan anaknya dan ia
tidak ingin melihat anaknya menginginkan sesuatu hingga
memohon. Ayah Sari cenderung royal dalam memberikan
sesuatu kepada anaknya.
“Ayah saya dari saya kecil tuh nggak bisa ngelihat saya
ngerengek kalo mau sesuatu. Misal kan saya diajak jalan-
jalan gitu, terus ada barang yang saya mau beli, kayak baju
gitu, pasti ayah langsung belikan. Dulu tapi itu jaman saya
masih kaya.. Cuma ayah kadang diem-diem kasih saya jangan
sampai mama saya tau. Ayah tuh kalo beliin baju saya nggak
sembarangan dulu, brand bagus, mahal-mahal… Jaman dulu
saya SD aja dibeliin celana harganya 300.000. Jaman dulu lho
itu, mbak…”
Melalui pernyataan di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan
Sari yang dipenuhi oleh sang ayah hanya kebutuhan finansial.
Sari tidak mendapatkan kehangatan atau rasa nyaman dari sang
ayah karena Sari sangat jarang menerima sentuhan fisik
dari ayah seperti dipeluk, digendong, dicium, dan lainnya. Hal
ini juga menyebabkan Sari seringkali merasa canggung dengan
sang ayah dan merasa jauh dengan ayah. Selain itu, ayah
menunjukkan inkonsistensi dalam hal pemenuhan
kebutuhan finansial Sari setelah sang ayah menikah lagi. Hal
ini kerap menimbulkan kecemasan bagi Sari untuk membiayai
hidupnya sendiri. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa sosok
ayah bukan tempat Sari mencari perlindungan ketika Sari
berada dalam situasi yang sulit dan menekan dirinya.
b) Ibu-Sari:
Berbanding terbalik dengan sang ayah, ibu Sari lebih
memenuhi kebutuhan fisik dan emosional Sari. Sang ibu
cenderung hangat dan mudah mengungkapkan rasa sayangnya
melalui kata-kata maupun sentuhan fisik seperti pelukan atau
ciuman. Bagi Sari, sejak kecil sang ibu merupakan sosok yang
dapat diandalkan karena ibu selalu hadir dalam setiap Sari
membutuhkan pertolongan. Perhatian sang ibu kepada Sari
juga membuat Sari merasa disayang oleh ibunya. Ibunya selalu
berusaha memperhatikan Sari mulai dari hal-hal kecil, seperti
kegiatan Sari, kebutuhan makan, kebutuhan bercerita.
“Ya… Lengket kalo sama mama sih.. Sampe dibilang tuh.. apa..
anak mamih… Hahaha.. Ya emang anaknya mamih kan, cuek aja
saya sih.. Romantis saya mah kalo sama mama… Ya pelukan,
dicium.. Mama jauh lebih hangat lah dari papa..“
Namun, ibu Sari tidak dapat memenuhi kebutuhan Sari
dalam hal finansial karena sang ibu tidak bekerja dan hanya
mengandalkan uang dari ayah Sari yang cenderung tidak stabil
penghasilannya. Terlebih, ketika sang ayah telah sakit kanker,
Sari tidak lagi dibiayai oleh ayah maupun ibunya. Hal itu
membuat Sari setiap harinya merasa cemas dan sangat sedih
hanya kareana ia memikirkan kelanjutan hidupnya. Konsentrasi
Sari terhadap perkuliahan juga menjadi terpecah dan Sari
kebingungan untuk membayar uang kuliah, uang makan, uang
kos atau uang fotocopy dan lainnya.
“Harus.. harus banget.. Mama perhatian banget, selalu nelfon,
tanya udah makan belom, makan apa, kegiatannya apa… Tapi ya
cuma bisa tanya aja.. Kalo soal duit mama nggak bisa bantu
soalnya.. Mama kan nggak kerja kaya papa, papa juga sekarang
sakit udah nggak kerja.. Mama akhirnya kerja pabrikan, sekali
dateng Cuma dibayar 20 rebu.. Itu buat pengobatan papa.. Jadi
yah… Yah… Gini deh saya.. Bingung juga besok makan apaan… ”
3. Secure Base (Menjadi Basis Aman)
Perilaku lekat lain yang dimunculkan oleh orang tua sebagai
figur lekat sebagai tanda kelekatan yang terjalin ialah dengan
tersedia atau tidak tersedianya orang tua sebagai basis aman bagi
Sari untuk eksplorasi. Figur lekat yang peka melihat dunia dari
sudut pandang anak dan memperlakukan anak dengan
pemahaman yang mendalam, pemberian kebutuhan dan kasih
sayang. Selain itu, figur lekat juga menunjukkan respons
menerima anak secara utuh.
a) Ayah-Sari:
Melalui pengalaman bersama ayah dari kecil hingga
dewasa ini, Sari menunjukkan bahwa sosok ayah tidak dapat
dijadikan basis aman oleh Sari. Selain karena relasi
keduanya tidak dekat, Sari juga merasa tidak aman dengan
keberadaan ayah karena Sari telah menanamkan persepsi
negatif tentang figur ayah yang erat dengan kekerasan
terhadap perempuan. Meskipun kekerasan tersebut tidak
ditujukan kepada dirinya, namun hal tersebut tetap membuat
Sari merasa tidak aman karena ia dapat menyaksikan ibunya
dilukai oleh sang ayah kapanpun.
“Iya saya ini merasa ayah saya ini negatif walau pada akhirnya
dia kembali dan saya sudah berdamai, sudah memaafkan, ayah
saya juga sudah baik, tapi ya sedikit banyak apa yang dialami
ibu saya sangat berpengaruh dalam em.. cara saya menilai
lawan jenis.. dalam saya juga dasar-dasar pertimbangan saya
memilih pasangan.. Ya gatau juga ya.. Liat ntar deh sambil
jalan aja..”
Melalui pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa Sari
menjadikan ayah sebagai tolak ukur penetapan standar
dalam pemilihan pasangan di kemudian hari. Ada indikasi
rasa cemas dan kebingungan yang ditunjukkan Sari tentang
kriteria pasangan yang ideal karena Sari tidak dapat melihat
figur laki-laki baik dari ayahnya.
b) Ibu-Sari:
Meskipun Sari memiliki kedekatan dengan ibunya,
namun Sari juga tidak nampak menjadikan ibu sebagai
basis aman bagi dirinya. Ibu dianggap sebagai sosok yang
over-protective. Namun sikap tersebut diinterpretasikan oleh
Sari sebagai wujud rasa sayang yang berlebihan sehingga sang
ibu tidak ingin anaknya mendapatkan kesulitan. Hal ini
menunjukkan bahwa sang ibu sebenarnya membatasi ruang
eksplorasi Sari, yang dinyatakan oleh Bowlby bahwa hal ini
memicu pandangan bahwa dunia tidak aman untuk
dieksplorasi. Sikap ibu yang over-protective membuat Sari
tertekan, dan merasa tidak dapat menjadi diri sendiri. Sari
memiliki keinginan untuk memberontak dan bebas. Hal ini
juga membuat Sari menutupi atau menyembunyikan diri yang
sebenarnya dan berharap agar dapat secepatnya lepas dari
pengawasan ibunya.
“Itu mengajarkan saya untuk tidak terbuka sebenarnya. Tidak
bisa menjadi diri sendiri, apa yang kita mau kita nggak bisa ya
kan, kita tertekan.. Ada rasa ingin memberontak, ingin bebas,
ingin seperti orang yang lain.. Kaya ‘aduh temen aku enak
banget masa-masa muda, masa-masa remaja itu kan masa yang
paling happy.. ya kan bisa menikmati jalan-jalan lah sama
temen, nonton sama temen, hangout gimana lah party sama
temen.. itu nggak saya alami. Makanya saya sedikit merasa
gimana sih caranya secepetnya saya tuh bisa lepas gitu..”
Dapat disimpulkan, pola kelekatan yang terjalin antara Sari
dan kedua orangtuanya tergolong dalam jenis ambivalent-insecure
attachment. Hal ini dapat dilihat dari pola perilaku lekat yang tidak
konsisten ditunjukkan oleh orang tua sebagai figur lekat maupun
Sari. Pemenuhan kebutuhan yang inkonsisten dari kedua orang tua
terhadap Sari baik dari segi emosional, fisik, maupun finansial turut
memicu munculnya kecemasan yang berkelanjutan untuk
menjalankan hidupnya. Selain itu, inkonsistensi emosi juga
ditunjukkan oleh Sari terhadap ibunya. Di satu waktu, Sari merasa
sangat menyayangi ibunya dan rela berkorban demi kebahagiaan
ibunya, namun di sisi lain Sari merasa sangat terkekang dan tidak
suka dengan cara ibu memperlakukannya seperti anak kecil. Pola
lekat yang insecure ini membuat Sari tumbuh dengan kebingungan.
Sari tidak pernah yakin apakah ekspresi kecemasan atau stress yang
dirasakannya perlu untuk ditunjukkan. Ada hambatan dari pola
perilaku lekat dan perlindungan yang konsisten oleh orang tua
sehingga muncul perasaan pada Sari bahwa mengeksplorasi dunia
dan lingkungan sekitar bukanlah pilihan yang tepat. Hal ini
berdampak pada rendahnya keinginan Sari untuk mengeksplorasi
hal-hal baru dan sempitnya cara pandang Sari terhadap sesuatu.
3. Dinamika Pola Kelekatan Sari dengan Orang Tua dan
Kebertahanan Sari dalam Lingkaran Kekerasan
Setelah mendapatkan gambaran tentang pola kelekatan Sari
dengan orang tua sejak kecil hingga dewasa dan juga melihat alasan
di balik kebertahanan Sari dalam lingkaran kekerasan, penulis
melihat fenomena ini sebagai satu rangkaian pola sebab-akibat yang
berkesinambungan. Bowlby (1983) mengemukakan bahwa pola
kelekatan yang terjalin antara anak dan orang tua sebagai figur lekat
membentuk internal working models dalam persepsi anak sepanjang
hidup terkait respons emosional dan pertimbangan-pertimbangan
yang dibuatnya. Untuk dapat melihat dialektika antara keduanya,
penulis menguraikan terlebih dahulu tentang karakteristik serupa
yang dimiliki oleh ayah dan ibu Sari dengan Doni.
AYAH SARI-DONI IBU SARI-DONI
Ayah Sari dan Doni memiliki
karakteristik yang serupa, yakni
keduanya melakukan tindak kekerasan
terhadap perempuan. Sang ayah
melakukan kekerasan pada ibunya,
sedangkan Doni melakukan kekerasan
terhadap dirinya. Respons yang
ditunjukkan Sari kepada Doni dalam
situasi kekerasan yang dialaminya juga
Ibu Sari sebagai figur lekat memiliki
karakteristik dengan Doni, yakni sifat
yang over-protective terhadap Sari. Ibu
sejak kecil melarang Sari untuk
bermain bersama teman-temannya,
bahkan dilarang untuk hadir di acara
ulang tahun temannya. Hal kecil seperti
pemilihan baju yang hendak dikenakan
pun diatur oleh sang ibu. Sari meyakini
serupa dengan respons ibu menanggapi
kekerasan oleh sang ayah, yakni diam,
tidak ada perlawanan, dan berharap
bahwa suatu hari pasangannya pasti
berubah. Melihat sang ibu mengalami
kekerasan dari ayahnya juga hanya
membuat Sari diam, meskipun Sari
merasa sangat sedih dan ada keinginan
untuk menggantikan posisi ibunya.
Kemiripan lainnya ialah sosok kedua
laki-laki ini merupakan sosok yang
dapat memenuhi kebutuhan finan-
sialnya.
Interpretasi:
1.Ayah memberikan model pencetakan
(imprint) yang buruk tentang konsep
laki-laki yang baik sehingga Sari
tidak mendapatkan pemahaman yang
benar tentang pemilihan pasangan.
2. Ada rasa bersalah terhadap figur ibu
karena Sari tidak berdaya menolong
ibu ketika mengalami kekerasan.
Rasa bersalah ini termanifestasi
dalam bentuk penerimaan diri
sebagai korban kekerasan.
3.Adanya internalisasi terhadap
konsep stereotip gender dalam
persepsi Sari yang meletakkan
perempuan sebagai pihak yang tidak
berdaya untuk keluar dari lingkaran
kekerasan.
bahwa hal tersebut dilakukan ibunya
demi kebaikan dirinya. Sifat tersebut
juga ditunjukkan Doni terhadap Sari.
Doni melarang Sari untuk bermain
dengan teman-teman kuliahnya, dan
tidak boleh satu kelompok dengan
teman laki-laki dalam mengerjakan
tugas kuliah. Sari juga diminta untuk
membatasi pergaulannya. Situasi
terpisah yang dimunculkan antara relasi
Sari dengan ibu maupun Doni membuat
Sari merasakan kesedihan yang
mendalam dan terbawa dalam perasaan
kehilangan.
Interpretasi: 1.Ibu membentuk konsep ‘aman’
dengan perlunya proteksi atau
perlindungan yang berlebihan.
Proteksi berlebih yang juga diberikan
Doni dapat diterima dengan mudah
oleh Sari sebagai wujud dari cinta dan
perhatian.
2.Sari tidak pernah mendapatkan
kesempatan untuk eksplorasi. Tidak
ada dukungan eksternal dari para
figur lekat bagi Sari untuk dapat
mengeksplor lingkungan sekitar.
3.Adanya kecemasan dan sikap depresif
dalam merespons situasi terpisah
dengan figur lekat sehingga Sari terus
mencari cara untuk mendekatkan diri
dengan figur lekat.
Tabel 4.4 Karakteristik Figur Lekat Sari
Dapat dilihat, Doni memiliki kemiripan karakteristik dengan
ayah dan ibu Sari, mulai dari perlakuan yang diberikan terhadap
Sari hingga respons Sari menghadapi perlakuan tersebut. Hal ini
mengindikasikan bahwa relasi lekat yang dijalin oleh Sari dengan
kedua orangtuanya di masa lampau hingga saat ini turut membentuk
persepsi Sari tentang proses membangun dan mempertahankan
relasi dengan Doni. Keserupaan ciri yang dimiliki oleh Doni
dengan kedua orangtuanya membuat Sari merasa nyaman berada
dalam relasi pacaran dengan Doni karena melalui relasi tersebut,
Sari mendapatkan representasi kehadiran orang tua didekatnya.
Dengan kata lain, Sari membentuk proses pembiasaan dengan
perlakuan orang tua, khususnya ibu terhadap dirinya dan
menjadikannya ‘standar basis aman’ yang harus dimilikinya,
meskipun sebenarnya sikap over-protective dan kekangan yang
diberikan oleh itu justru berdampak buruk bagi optimalisasi
perkembangan kognisi dan afeksi Sari. Sari menjadi cemas jika
berhadapan dengan situasi baru karena Sari tidak pernah
mendapatkan kesempatan untuk eksplorasi dan membentuk
pemahaman subjektif bahwa dunia adalah tempat yang aman untuk
bereksplorasi dan mengembangkan diri. Hal ini menyebabkan Sari
sulit untuk mengambil keputusan-keputusan penting untuk kebaikan
dirinya sendiri karena ‘rasa aman’ hanya dapat dirasakan Sari ketika
berada dalam proteksi dan perlindungan ketat dari ibu dan Doni
sebagai figur lekat, bukan melalui proses eksplorasi.
Kesulitan dalam pengambilan keputusan membuat Sari juga
rentan terhadap kegagalan untuk menghadapi situasi yang sulit,
seperti persoalan perkuliahan, pertemanan, dan percintaan. Sari juga
menjadi mudah tertekan jika menghadapi situasi terpisah dengan
ibu maupun Doni. Hal ini disebabkan karena Sari menganggap ibu
dan Doni ialah basis aman yang melindunginya dari berbagai
ancaman. Namun, penulis melihat bahwa ‘rasa aman’ yang
dirasakan Sari ketika berada dengan figur lekat merupakan bentuk
dari rasa ketergantungan yang berlebihan terhadap figur lekat
karena jika ditelaah lebih mendalam, tidak ada basis aman (secure
base) bagi Sari untuk eksplorasi dan menjadi diri sendiri. Kesedihan
mendalam dan sikap depresif yang ditunjukkan Sari sebagai respons
menghadapi perpisahan merupakan indikasi kuat bahwa Sari
tumbuh menjadi individu yang insecure sehingga Sari merasakan
kecemasan untuk keluar dari relasi pacaran yang mengandung unsur
kekerasan didalamnya.
Oleh karena sejak kecil Sari tidak pernah diberi kesempatan
untuk melakukan eksplorasi, proses adaptasi dan kemampuan
mengelola konflik internal (terkait pikiran dan perasaan) maupun
eksternal (relasi dengan orang lain dan lingkungan sekitar) juga
menjadi tumpul. Ketumpulan ini berimplikasi pada kegagalan untuk
mengatasi situasi sulit yang menekan dan menyakitkan. Situasi
keterpisahan dengan Doni sebagai figur lekat pengganti juga
menimbulkan kecemasan yang mendalam pada diri Sari meskipun
Sari menyadari bahwa relasinya dengan Doni yang mengandung
kekerasan tidak baik untuk diteruskan. Kecemasan terhadap
perpisahan ini tidak dapat dikelola dengan baik oleh Sari sehingga
lebih mudah bagi Sari untuk merasionalisasikan kecemasan tersebut
menjadi bentuk pengorbanannya dalam mencintai Doni.
Disimpulkan bahwa pola kelekatan Sari dengan ibu sebagai figur
lekat pertama membuat Sari tumbuh menjadi individu yang
insecure dan tidak berdaya untuk keluar dari jerat lingkaran
kekerasan yang dialaminya dengan Doni.
e) Pembahasan Kasus Sari
Melalui paparan jerat lingkaran kekerasna yang dialami Sari dan
pola kelekatan yang terjalin antara Sari dengan kedua orang tua dari
masa anak hingga remaja, berikut ialah rincian dinamika pola kelekatan
Sari dengan orang tua dan pacar:
KOMPONEN KELEKATAN Proximity
Maintenance
Ada (mengarah kepada ibu)
Pencarian kedekatan beserta upaya menjaga relasi hanya
ditunjukkan Sari kepada figur ibu. Tidak ada upaya untuk
mendekatkan diri kepada figur ayah karena ayah
dianggap sebagai figur yang tidak baik.
Safe Haven Ada (diberikan oleh ibu)
Figur ibu merupakan tempat perlindungan bagi Sari
ketika ia berada dalam situasi yang mengancam. Ibu
memberikan kehangatan melalui kontak fisik seperti
pelukan, ciuman, dan dukungan kepada Sari untuk
melalui situasi sulit yang dihadapinya. Sebaliknya, figur
ayah tidak dapat dijadikan tempat perlindungan bagi Sari
karena Sari merasa tidak aman dengan kekerasan yang
dilakukan ayah terhadap ibunya.
Secure Base Tidak ada
Kedua figur lekat tidak dapat dijadikan basis aman untuk
Sari mengeksplorasi dunianya. Figur ibu yang over-
protective cenderung membatasi ruang gerak Sari. Hal ini
berdampak pada kurangnya kemampuan Sari untuk
menghadapi situasi sulit dan mengambil keputu-san
tertentu.
Pola Kelekatan Ambivalent-insecure
INFORMASI PENDUKUNG Kebutuhan yang tidak
terpenuhi oleh ayah
Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional
Kebutuhan yang tidak
terpenuhi oleh ibu
Kebutuhan finansial
Kebutuhan yang
dipenuhi pacar
Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional, kebutuhan finan-
sial
Riwayat
Kekerasan dalam
Keluarga
Sari tidak mengalami secara langsung, melainkan berlaku
sebagai pengamat perilaku kekerasan yang dilakukan
ayah terhadap ibunya.
Riwayat kekerasan
dalam Pacaran
Sari mengalami kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan
kekerasan seksual dari Doni.
Tabel 4.5 Kerangka Pola Lekat dan Kebutuhan Sari
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap Sari
yang memilih untuk bertahan dalam relasi pacaran yang mengandung
jerat lingkaran kekerasan didalamnya, maka penulis memiliki beberapa
temuan terkait dengan kebertahanan Sari yang terjerat dalam lingkaran
kekerasan di dalam relasi pacaran:
Temuan 1: Kebertahanan sebagai Korban Kekerasan Merupakan
Manifestasi Kecemasan dari Pola Lekat Ambivalent-Insecure
dengan Orang Tua
Ketidaktersediaan basis aman yang konsisten bagi Sari untuk
eksplorasi dan memahami bahwa dunia adalah tempat yang aman untuk
dieksplorasi memunculkan kecemasan yang berlebihan terhadap situasi
terpisah dengan orang tua sebagai figur lekat dari masa anak hingga
remaja. Kecemasan tersebut beralih dari orang tua sebagai figur lekat
pertama ke pacar sebagai figur lekat di masa dewasa seiring dengan
beralihnya perilaku lekat secara berangsur. Inkonsistensi dari
pengadaan basis aman ini berimplikasi pada kurangnya minat untuk
keluar dari situasi yang telah dianggap nyaman, meskipun tidak aman.
Terbatasnya ruang eksplorasi yang diberikan kepada Sari juga turut
berimplikasi pada kurangnya kemampuan untuk mengatasi kecemasan
atas situasi perpisahan dengan pacar yang dijadikan sebagai figur lekat.
Hal ini dijelaskan oleh Bowlby (1973) bahwa ketika relasi dengan
orang yang dicintai terancam perpisahan, emosi yang muncul ialah
kecemasan dan juga kemarahan. Sebagai respons atas risiko kehilangan,
kecemasan dan kemarahan ini berlangsung bergantian. Ketika pasangan
mulai terlihat menjauh, pemanggilan memori atas kejadian-kejadian
positif yang membuat individu mencintai dan peduli terhadap pasangan
tersebut dapat memulihkan situasi berjarak yang terjadi. Akibat dari
insekuritas yang dimunculkan dari pola lekat dengan orang tua,
kecemasan terhadap perpisahan ini tidak dapat diregulasi dengan baik
oleh Sari sehingga ia memilih untuk bertahan dalam relasi yang
merugikan.
Temuan 2: Mitos Keperawanan Berimplikasi pada Konsep
Keberhargaan Diri
Pada kasus Sari, ditemukan bahwa ideologi tentang keperawanan
turut membuat Sari menjeratkan diri dalam lingkaran kekerasan.
Konstuksi nilai yang ditanamkan oleh ibu tentang pentingnya menjaga
‘kekudusan’ kepada Sari sejak ia kecil menyebabkan hilangnya rasa
berharga atas diri sendiri karena hubungan sexual intercourse yang
dilakukannya dengan pacar. Ada indikasi rasa bersalah dan rasa malu
mendalam yang dirasakan oleh Sari dan berdampak pada terbentuknya
persepsi tentang konsep diri yang negatif. Hal ini diperkuat dengan
intimidasi pacar terkait dengan keberhargaan seorang perempuan yang
diletakkan pada keperawanan. Ideologi tentang keperawanan menjadi
hal yang sangat mencemaskan bagi Sari sehingga itu menjadi alasan
kuat Sari bertahan dalam relasi tersebut. Ideologi tentang keperawanan
merupakan bentuk konstruksi nilai-nilai sosial yang ditanamkan oleh
ibu sehingga membentuk persepsi atau keyakinan-keyakinan yang
dipegang teguh oleh Sari. Ketika keyakinan akan pentingnya
keperawanan tersebut tidak berjalan sesuai dengan pengalaman yang
dijalani, konsep keberhargaan diri turut menurun drastis.
Temuan 3: Adanya Dorongan Pemenuhan Kebutuhan Kontak
Fisik dan Emosional sebagai Implikasi dari Ketiadaan Kontak-
Kontak Tersebut dengan Figur Lekat Pertama Laki-Laki
Selain itu, ‘kekosongan’ yang dialami Sari akan kebutuhan fisik
seperti sentuhan juga turut berkontribusi terhadap kebertahanan
keduanya dalam relasi pacaran. Ketiadaan sentuhan dari orang tua –
khususnya ayah sebagai figur lekat yang belainan gender – sejak kecil,
membuat Sari merasa asing dengan rasa nyaman yang dimunculkan
dari sentuhan itu sendiri sehingga ketika sang pacar memberikan
kepadanya, rasa nyaman yang tidak pernah dirasakan sebelumnya
menjadi sebuah ketergantungan yang sulit untuk dilepaskan. Persepsi
yang buruk tentang figur ayah sebagai figur lekat laki-laki pertama
dalam kehidupan Sari pun turut membentuk ekspektasi yang tinggi
tentang karakteristik laki-laki ideal bagi Sari. Namun demikian,
keserupaan karakteristik yang dimunculkan oleh Doni dan ayah Sari
yang cenderung melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan
nampaknya menjadi cetakan (imprint) yang dipelajari secara tidak sadar
dan menjadi proses penerimaan berulang.
Temuan 4: Adanya Proses Habituasi yang Terbentuk dari Relasi
dengan Figur Lekat Pertama Perempuan
Pada situasi yang menuntut korban untuk menentukan
kebertahanan dalam relasi kekerasan yang dialami oleh korban, relasi
lekat dengan ibu sebagai figur lekat pertama perempuan memiliki
implikasi yang kuat dalam membentuk proses pembiasaan (habituasi)
dalam merespons stimulus tertentu. Proses habituasi ini dialami Sari
dengan relasinya bersama Doni yang bersifat over-protective terhadap
dirinya. Perlakuan Doni tersebut sama dengan perlakuan ibu Sari yang
juga over-protective sejak Sari kecil hingga dewasa sehingga Sari
merasa bahwa perilaku over-protective merupakan hal yang lazim
dilakukan oleh orang yang mencintai dirinya.
Temuan 5: Adanya Proses Pembelajaran Sosial Melalui Latar
Belakang Keluarga ‘Broken Home’
Latar belakang keluarga memiliki peran krusial dalam
membentuk pengalaman belajar Sari tentang konsep keluarga. Keluarga
yang ‘broken’ dan tindak kekerasan dari ayah kepada ibu yang terus
diamatinya perlahan dan dikuatkan oleh tindak kekerasan yang
dilakukan pacar terhadap dirinya turut membentuk skema tentang relasi
interpersonal dengan lawan jenis. Bandura (1977) menjelaskan tentang
observational learning yang dapat terbentuk dari proses modeling
(meniru figur yang dijadikan panutan). Dalam kondisi Sari yang sejak
kecil terbiasa melihat tindak kekerasan terjadi terhadap ibunya, dan
respons ibu Sari yang diam ketika menerima perlakuan tersebut,
membuat Sari belajar bahwa ketika ia mengalami kekerasan serupa dari
sang pacar, ia juga meniru respons yang ditampilkan ibu kepada
ayahnya. Ibu menjadi model pembelajaran bagi Sari dalam mengatasi
situasi serupa. Hal ini yang juga membuat Sari bertahan dalam
relasinya dengan Doni.
2. Analisis Deskriptif Subyek Kedua (Dinda)
a) Identitas Diri Dinda
Nama : Dinda (bukan nama sebenarnya)
Usia : 25 tahun
Kota Asal : Lampung
Kota Domisili : Solo
Pendidikan Terakhir : Sekolah Menengah Atas (SMA)
Pendidikan Berjalan : Strata 1 Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga
Jurusan : Psikologi
Agama : Katolik
Status Perkawinan
Urutan Kelahiran
:
:
Belum Menikah
Anak ke-2 dari 3 bersaudara
b) Hasil Observasi
Observasi juga dilakukan peneliti terhadap Dinda selama
proses interview dilangsungkan. Dinda cenderung menjawab setiap
pertanyaan yang diajukan peneliti dengan emosi yang stabil dan
nada suara yang tenang. Dinda tampak menjadikan pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan sebagai refleksi bagi dirinya, khususnya
ketika menanggapi pertanyaan terkait kenangan masa kecil bersama
kedua orangtuanya. Hal ini terlihat dari jawaban Dinda yang
seketika terpenggal-penggal dan memberi pertanyaan refleksi pada
dirinya sendiri. Gejolak emosi Dinda hanya terlihat ketika
menjawab pertanyaan seputar perselingkuhan pacarnya. Dinda
menunjukkan perubahan respons emosional yang drastis, seperti
kening yang dikernyitkan, pipi yang memerah, nada suara yang
meninggi dan memekik, tangan yang dikepal serta gestur jari yang
menunjuk-nunjuk ketika menyebutkan nama-nama perempuan yang
menjadi selingkuhan pacarnya.
c) Latar Belakang Dinda
Dinda merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak
pertamanya perempuan dan adiknya ialah seorang laki-laki. Jarak
usia Dinda dengan kakak perempuannya sekitar 3 tahun dan 2 tahun
selisih usia dirinya dengan adik laki-laki. Dinda dibesarkan dalam
keluarga Katolik, namun ritual keagamaan jarang dilakukan
bersama-sama dengan keluarga. Dinda lahir dan besar di Lampung
bersama keluarganya. Sejak kecil, Dinda beserta dua saudaranya
dirawat oleh masing-masing satu baby sitter. Hal ini dikarenakan
ayah dan ibu seringkali meninggalkan anak-anaknya di rumah ketika
sedang sibuk bekerja di luar rumah. Situasi tersebut berlangsung
hingga Dinda berusia kurang lebih 8 tahun. Peran pendampingan
orang tua dalam urusan sekolah, ibadah, dan kursus tertentu juga
digantikan oleh baby sitter masing-masing anak. Ayah dan ibu
Dinda tidak pernah hadir dalam acara-acara sekolah karena
kesibukannya mencari uang untuk keluarga.
Kegigihan ayah dan ibu dalam mengumpulkan uang di setiap
waktunya membuat Dinda dan keluarga memiliki status ekonomi
yang jauh di atas rata-rata. Untuk menggantikan waktu yang hilang
dengan anak-anak, ayah dan ibu Dinda selalu mengajak Dinda
beserta saudara-saudaranya dan para baby sitter-nya untuk berlibur
ke Jakarta di setiap akhir pekan. Selain itu, makan malam juga
merupakan waktu yang tepat bagi Dinda dapat berkumpul dengan
keluarganya lengkap. Namun demikian, hal tersebut tidak cukup
bagi Dinda untuk membuka diri terhadap orangtuanya dan sangat
sulit bagi Dinda untuk melakukan kontak fisik dengan orang tua.
Dinda lebih dekat dan nyaman menceritakan apapun dengan baby
sitter yang mengasuhnya dari kecil. Kedekatan dengan baby sitter
ini berlangsung hingga Dinda SMP.
Seiring berjalannya waktu, Dinda tumbuh menjadi anak yang
berani, tegar, mandiri dan mencintai kebebasan. Dinda dapat
melakukan semuanya sendiri dan juga mengambil keputusan sendiri
tanpa bantuan orangtuanya. Dinda dapat bergaul dengan teman-
teman yang ia kehendaki. Kepenuhannya dalam hal finansial
membuatnya dapat melakukan dan membeli apa saja yang ia
inginkan. Namun demikian, konsep keluarga dalam diri Dinda
cenderung samar-samar karena ia merasa tidak memiliki kedekatan
yang intim dengan keluarganya, terkhusus dengan sang ibu dan
kakak pertamanya. Relasi Dinda dengan sang kakak cenderung
buruk. Dinda terus mengalami konflik dengan sanga kakak sejak
kecil hingga ia duduk di bangku SMP. Sang kakak seringkali mem-
bully Dinda dengan ejekan ‘anak pungut’ hingga membuat Dinda
yang kala itu berusia 5 tahun kabur dari rumah. Rumah yang ‘dingin’
membuat Dinda memutuskan untuk menempuh pendidikan tinggi di
salah satu universitas di Salatiga agar ia jauh dari keluarganya. Ia
mengambil jurusan Psikologi tahun 2006 dan menamatkan gelar
kesarjaannya tahun 2013.
d) Analisis Kasus Dinda
1. Gambaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Dinda-Rendi
a) Identifikasi Jenis Kekerasan
Dinda telah menjalani relasi pacaran dengan Rendi selama
kurang lebih 5 tahun. Dinda dan Rendi berkenalan di kampus.
Mereka belajar di satu fakultas yang sama, namun selisih 2
angkatan. Dinda 2 angkatan lebih awal dibandingkan Rendi.
Namun jika dilihat dari usia, Dinda 3 tahun lebih tua daripada
Rendi. Pada awalnya, Dinda tidak tertarik kepada Rendi secara
fisik. Mereka saling mengenal sebagai teman main sehingga
terbiasa menghabiskan waktu luang bersama. Rendi yang juga
berasal dari kota yang sama dengannya juga membuatnya merasa
cocok untuk berteman dengannya. Kedekatan mereka di awal
juga dikarenakan teman-teman Rendi meminta Dinda untuk
memantau dan memberikan nasihat tentang perkuliahan Rendi
yang seringkali absen hingga melebihi batas.
Dinda memutuskan untuk menjalin hubungan pacaran
karena beberapa alasan, yakni adanya rasa nyaman dan terbiasa
melakukan kegiatan bersama-sama dan adanya rasa kasihan
dengan Rendi karena Rendi terlihat lemah dan tidak dapat meng-
handle dirinya sendiri. Tidak ada komitmen berpacaran yang
disepakati oleh Dinda dan Rendi. Keduanya terbiasa bersama-
sama hingga muncul rasa memiliki dan mengikat satu dengan
lain. Namun seiring berjalannya relasi pacaran diantara mereka,
Dinda menemukan bahwa Rendi seringkali berselingkuh. Rendi
berselingkuh dengan mantannya dan seorang perempuan lain
dalam teman perkumpulan-nya.
“Ooo.. ya ada. Emm.. Dia suka selingkuh. Kalo menyakiti hati,
itu, dia suka selingkuh. Terus, ada hal yang, ada hal yang waktu
pas dia awal ngajak pacaran juga, saya ngomong sama dia, emm
“Bener apa enggak?” Karena ketika kita pacaran dan kita
temenan itu akan beda. Ketika, ketika saya sudah, ketika dia jadi
pacar saya akan beda ketika saya jadi temennya dia. Kalo saya
jadi temennya dia, lu mau ngapain juga gua ga akan peduli, nah
tapi kalo udah jadi pacar, saya, saya ngomong pasti akan ada hal-
hal, kebutuhan-kebutuhan yang lebih. Dia bilang, yaudah gak
papa, gini-gini, bla-bla-blablabla.. Tapi ternyata, emm.. Dia
mungkin nyakitin-nya lebih ke, sebenernya nyakitinnya tuh
bukan dia yang nyakitin sih, lingkungannya dia sih, yang mulai
agak aneh”.
Dinda membangun keyakinan dan membuat rasionalisasi
bahwa Rendi menjadi individu yang seperti itu karena teman-
teman yang ada di lingkungannya. Bagi Dinda, teman-teman
Rendi membawa pengaruh yang buruk bagi perilaku Rendi.
Selain itu, Dinda menganggap bahwa dalam setiap
perselingkuhan yang terjadi antara Rendi dan perempuan-
perempuan yang lain, kesalahan dilimpahkan pada sang
selingkuhan yang terus mengajak Rendi bertemu berulang kali.
Dinda menganggap bahwa Sinta, mantan Rendi, adalah kunci
permasalahan dari perilaku Rendi yang sering bolos kuliah dan
berselingkuh dari dirinya. Selama lima tahun berpacaran dengan
Rendi, Dinda mengaku bahwa dirinya sudah 4 kali diselingkuhi
oleh Rendi. Sepengetahuan Dinda, 2 kali Rendi selingkuh
dengan Sinta dan 2 kali lainnya Rendi selingkuh dengan Becca,
teman perempuan sekumpulannya.
“Bolaaaak-balikkk. Ada kali empat kali saya diginiin… Yang
ketauan itu juga kan… Diem-diem dia ke Jogja lah nyamper si
Sinta, lha itu kan temen-temennya pada bilang sama gue.. Terus,
nemu si Becca pagi-pagi dikosannya baru bangun tidur masih
pake tanktop-an gitu… Ngapain lagi coba..”
Menurut penuturan Dinda, Rendi berselingkuh setiap kali ia
mengalami konflik dan bertengkar hebat dengan Dinda. Dapat
dilihat, Rendi cenderung melarikan diri dari masalah yang
sedang dihadapi. Adanya ketidaksiapan dan ketidakmatangan
dari Rendi untuk menjalani sebuah komitmen berpacaran. Selain
kekerasan emosional yang dialami oleh Dinda, Rendi juga
seringkali menyakiti Dinda dengan kata-kata yang kasar seperti
‘anjing’, ‘babi’, ‘bego’. Namun, Dinda merasa bahwa itu adalah
hal yang biasa dilakukan kepada teman-temannya juga. Jadi,
Dinda tidak terlalu memasukkannya ke dalam hati.
“Yah.. Apa.. Kapan sih? ‘Bego’ itu sih mah biasa, Teh!
Sepergaulannya emang kalo ngomong begitu modelnya. Ke saya
juga gitu.. Cuma saya sih biasa aja ya.. Eh tergantung deh.. Kalo
lagi badmood biasa jadi saya ributin”
Rendi cenderung menyakiti Dinda ketika Dinda dianggap
mengangkat isu tertentu yang membuat mereka bertengkar.
Perilaku selingkuh berulang kali yang dilakukan Rendi bertujuan
untuk membuat Dinda jera dan tidak mencari malasah
dengannya. Dinda pun cenderung menyalahkan dirinya setiap
kali Rendi menyakiti dirinya. Ia berpikir bahwa Rendi
melakukan kekerasan tersebut karena ada yang salah dengan
perilaku Dinda. Oleh sebab itu, Dinda selalu memaafkan dan
memaklumi perilaku Rendi yang menyakiti dirinya.
“Menurutnya kalo pas kita lagi berantem, dia bakal langsung cari
cewek laen, biar saya sadar biar saya kapok gitu biasanya…
Bilangnya dia, itu pelajaran karena gue cari masalah mulu sama
dia…”
“Hal yang saya pikir adalah.. Mungkin ada kelakuan saya yang
salah yang saya gak tau. Walaupun saya gak tau itu apa”.
Selain itu, Rendi juga menunjukkan perilaku agresinya
ketika sedang bertengkar dengan Dinda melalui perusakan
barang-barang yang ada disekitarnya, misalnya membanting hand
phone, memukul pintu. Kekerasan tersebut dilakukan Rendi
dalam keadaan mabuk karena Rendi seringkali minum alkohol
bersama teman-temannya sehingga Rendi selalu meminta Dinda
untuk memakluminya jika ia menyakiti Dinda saat ia sedang
dalam keadaan mabuk. Oleh karena Dinda pun terkadang juga
ikut dalam acara minum bersama dengan teman-teman Rendi,
maka Dinda pun mencoba mengerti bahwa efek yang muncul
pada masing-masing orang yang berada di bawah pengaruh
alkohol berbeda satu dengan lainnya. Karena itu, Dinda selalu
memaafkan Rendi dan terus menjalani relasi tersebut.
“Dia alesannya gini pasti… ‘Ya kan gua lagi mabok.. Orang
mabok lo reken.. Mana juga gua sadar, Din! Maklumin aja sih
lo kaya nggak pernah mabok aja..’ Ya gitu.. Selalu gitu excuse-
nya dia.. Saya juga mau complain juga nggak nyampe mulu”
Relasi Dinda dan Rendi yang telah berlangsung selama 5
tahun tidak seutuhnya langgeng. Keduanya seringkali menghadapi
situasi ‘putus nyambung’ dalam menjalani relasi mereka. Dinda
beberapa kali memutuskan Rendi karena Rendi telah berselingkuh
darinya. Namun, ketika Dinda mengetahui bahwa Rendi telah
berhubungan intim (sexual intercourse) dengan Sinta maupun
Becca, Dinda terus mengurungkan niat untuk meninggalkan
Rendi. Hal ini disebabkan karena Dinda merasa cemburu, marah,
dan tidak terima Rendi melakukan hubungan intim dengan
perempuan lain ketika Dinda telah memberikan keperawanannya
untuk Rendi di tahun-tahun pertama mereka berpacaran. Tidak
ada perubahan yang signifikan ketika awal-awal melakukan
hubungan intim. Dinda tidak merasa mengalami ketergantungan
untuk melakukan hubungan intim pada awal masa pacaran.
Perubahan baik dari segi emosional dan sikap terhadap Rendi baru
muncul setelah tahun ketiga pacaran, tepatnya setelah pacar
didapati selingkuh dari dirinya. Dinda baru merasakan bahwa
hubungan intim telah berubah menjadi suatu kebutuhan biologis
baginya ketika ia sempat putus dari Rendi. Dinda menyadari
bahwa yang dapat melengkapi kebutuhan biologis tersebut hanya
Rendi, sehingga ia terus kembali padanya.
“Waktu pas di awal sih, enggak ya, maksudnya masih yang..
Masih yang biasa aja, dan saya, saya juga tidak merasa saya
ketergantungan dia karena emm, sexual intercouse-nya itu. Pas
di awal malah enggak”
“Setelah, emm, setelah tiga tahun pacaran, malah setelah dia
selingkuhin gitu malah baru itu..”
“He’eh. Karena.. Sexual intercouse saya sama dia. Jadi pas
begitu saya putus sama dia kan saya udah nggak, kan saya udah
gak melakukan sexual intercouse lagi, dan disana saya baru tau
ternyata, setelah kamu pernah mengalami itu, itu akan menjadi
suatu kebutuhan. Dan saya gak mudah untuk ngelakuin itu sama
orang. Jadi saya jadi merasa saya butuh dia ya karena itu.”
Sexual intercourse terus dilakukan oleh Dinda dan Rendi
meskipun Dinda mengetahui bahwa Rendi juga melakukan hal
serupa dengan beberapa perempuan lain. Namun, Dinda lebih
tidak menghiraukan itu selama Rendi juga memenuhi kebutuhan
biologisnya tersebut. Dinda merasa bahwa ia perlu ‘melayani’
kebutuhan biologis Rendi lebih dari sebelumnya agar Rendi tidak
‘bermain’ lagi dengan perempuan lain. Namun, hal itu tidak
membuat Rendi berhenti mengkhianati Dinda. Kini, Dinda sedang
hamil 7 bulan dan Rendi tidak dapat diketahui keberadaannya.
Pernah ada niat baik untuk menikahi Dinda di awal kehamilan
sekitar usia kandungan Dinda 3 bulan, namun sang pacar berubah
pikiran. Sang pacar sempat memintanya untuk menggugurkan
kandungan, namun Dinda menolak. Sang pacar memberikan
syarat untuk menikah ialah Dinda harus pindah agama, Dinda pun
menolak dan memilih untuk menjadi single mother. Melalui
klasifikasi yang dikemukakan oleh Murray (2007) terkait jenis
kekerasan, dapat diidentifikasi jenis kekerasan yang dialami Dinda
ialah sebagai berikut:
Kekerasan Verbal Name Calling (‘bego’, ‘anjing’, ‘babi’)
Blaming (melimpahkan kesalahan, menuduh)
Making threats (mengancam akan ‘balikan’ dengan
mantan)
Interrogating (pencemburu, posesif, suka mengatur)
Breaking items (melempar hand phone, memukul atau
membanting pintu, melempar botol)
Kekerasan Emosional Diselingkuhi berulang kali, dibohongi.
Kekerasan Seksual Meninggalkan Dinda dalam keadaan hamil,
permintaan untuk menggugurkan kandungan.
Tabel 4.6 Identifikasi Kekerasan Relasi Dinda-Rendi
b) Jerat Lingkaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Dinda-
Rendi
Selama lima tahun Dinda berada dalam lingkaran kekerasan
yang terus berputar seperti siklus yang rutin, namun Dinda tidak
menyadarinya. Menurut Dinda, konflik seperti yang dialami Dinda
akan terjadi pada semua pasangan. Meskipun demikian,
pertimbangan untuk meneruskan atau mengakhiri hubungan
tersebut juga tidak jarang terlintas dalam pikiran Dinda. Dinda
berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Rendi setiap kali
Rendi berselingkuh dari dirinya. Perselingkuhan berulang
sebenarnya bukanlah hal yang dapat ditolerir oleh Dinda, namun
rasa cinta Dinda kepada Rendi lebih besar sehingga Dinda
memutuskan untuk terus memaafkan Rendi. Sekitar 4 atau 5 kali
Dinda memutuskan Rendi karena tidak kuat tersakiti oleh
ketidaksetiaan Rendi, namun Rendi terus kembali padanya dengan
berbagai alasan. Mengacu pada lingkaran kekerasan Walker
(1979), kekerasan yang dialami Dinda dalam relasinya dengan
Rendi dapat digambarkan sebagai berikut:
POWER & CONTROL
DENIAL
1. TENSION BUILDING- RENDI
2. BATTERING - RENDI Memaki, merusak barang, pergi dari
Dinda, minum alkohol dengan teman,
tidur dengan perempuan lain
3. CONTRITION STAGE -
RENDI
Mencari Dinda,
meminta maaf, mengajak
nongkrong,
Minum alkohol,
mencari-cari kesalahan
Dinda, tidur dengan
perempuan lain
Membawakan makanan atau snack,
membelikan barang, ‘melayani’
kebutuhan biologis Dinda
RESPONS DINDA: Menangis, mengejar Rendi, mencoba mengajak bicara baik-baik
RESPONS DINDA: Marah, menyalahkan
diri sendiri, mengalah,
mengadu argumen
Gambar 4.2 Lingkaran Kekerasan Relasi Dinda-Rendi
Pada kasus Dinda dan Rendi, lingkaran kekerasan terus
berlanjut karena keduanya telah merasa nyaman dengan
keberadaan satu sama lain. Relasi Dinda dan Rendi bukanlah
relasi yang tertutup. Mereka memiliki lingkungan pergaulan yang
luas dan seringkali mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan
lingkungan. Namun, ada beberapa hal yang membuat kekerasan
terus berulang. Pertama, baik Dinda maupun Rendi tidak
menyadari bahwa mereka berada dalam jerat lingkaran
kekerasan. Dinda meyakini bahwa setiap relasi percintaan
memiliki pengorbanannya masing-masing. Rendi pun merasa
bahwa yang dilakukan terhadap Dinda merupakan hal yang biasa
terjadi dalam setiap relasi berpasangan. Perselingkuhan yang
dilakukan Rendi juga dianggap ganjaran atas kesalahan yang
dilakukan Dinda. Hal tersebut dilakukan Rendi untuk membuat
Dinda jera dan tidak mengulangi kesalahannya lagi. Rendi sangat
mengetahui bahwa Dinda sangat pencemburu dan akan jera jika
melihat Rendi meninggalkannya bersama perempuan lain.
Menurut Rendi, setiap pasangan juga tentu pernah memberi
ganjaran kepada pasangannya, dan inilah cara yang diambil
Rendi.
Kedua, relasi Dinda dan Rendi bersifat transaksional,
dalam artian keduanya saling melengkapi kebutuhan masing-
masing. Dinda yang sejak kecil merasakan kesepian dan
kekosongan mendalam tentang figur yang dapat
memperhatikannya menjadi terisi dengan kehadiran Rendi yang
sangat perhatian pada dirinya dan membuatnya begitu nyaman.
RESPONS DINDA: Membuat kesepakatan baru, menyambut ajakan sexual intercourse
Kehadiran Rendi menjadi dasar pemuasan kebutuhan Dinda baik
dari sisi emosional dan fisik yang membuat Dinda sangat
bergantung dengan sosok Rendi. Di sisi lain, sosok Dinda juga
melengkapi sisi kekanak-kanakan yang dimiliki oleh Rendi. Usia
Dinda yang 3 tahun lebih tua dari Rendi dan keterpisahan Rendi
dari sang ibu (sosok lekatnya) membuat Rendi merasa diasuh
oleh Dinda.
c) Kebertahanan Dinda dalam Lingkaran Kekerasan
Kekerasan yang dialami Dinda dalam relasinya dengan
Rendi selama 5 tahun lamanya tidak melunturkan keinginan
Dinda untuk tetap mempertahankan relasi pacarannya dengan
Rendi. Ada beberapa hal yang ditelaah penulis terkait kehendak
Dinda untuk tetap bertahan dalam relasi yang menyakitkan
baginya, yakni:
1. Adanya rasa mencintai
Dinda merasa ia mencintai Rendi dan hal tersebut mampu
membuatnya rela berkorban dan merasakan sakit hati karena
diselingkuhi berulang kali. Dinda merasa dirinya telah terbiasa
dengan perlakuan Rendi dan Dinda berusaha untuk menerima
Rendi apa adanya beserta dengan kelebihan dan
kekurangannya. Dinda meyakini bahwa setiap manusia pasti
memiliki kekurangan dan sebagai pasangan, Dinda berusaha
untuk menerima kekurangan Rendi. Meskipun merasa tidak
terima dan menyesal, namun Dinda tetap memilih untuk
bertahan dan kembali dalam hubungan.
“Ya saya sayang banget sama dia, tapi untuk ngarepin da
kayanya udah nggak lah.. Nyesel juga saya… Kenapa ini
harus terjadi harusnya terakhir putus itu yaudah saya
move on aja..”
Melalui pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa Dinda
tidak memiliki cukup keteguhan hati untuk mengakhiri
hubungannya dengan Rendi sehingga Dinda lebih memilih
untuk mengabaikan konflik yang terjadi dan terus-menerus
luluh kembali dengan rayuan Rendi. Penyesalan Dinda baru
sungguh-sungguh dirasakannya ketika ia mendapatinya
dirinya hamil dan Rendi pergi meninggalkannya.
2. Adanya ketergantungan atas pemenuhan kebutuhan
biologis
Dinda merasa sangat sulit untuk melepaskan Rendi
karena Dinda merasa ia telah ketergantungan untuk
melakukan sexual intercourse bersama dengan Rendi. Dinda
merasa bahwa ia tidak akan pernah bisa lagi melakukan hal
tersebut dengan laki-laki lain karena Dinda pertama kali
melakukannya kepada Rendi. Dinda mengakui bahwa dirinya
ialah sosok yang setia sehingga tidak mudah tertarik lagi
dengan laki-laki lain.
“Jadi pas begitu saya putus sama dia kan saya udah nggak, kan
saya udah gak melakukan sexual intercouse lagi, dan disana
saya baru tau ternyata, setelah kamu pernah mengalami itu, itu
akan menjadi suatu kebutuhan. Dan saya gak mudah untuk
ngelakuin itu sama orang. Jadi saya jadi merasa saya butuh dia
ya karena itu..”
Dorongan untuk melakukan sexual intercourse dengan
Rendi terus dirasa oleh Dinda sebagai suatu adiksi yang
mengikatnya dalam relasi berpacaran dengan Rendi. Hal itu
juga yang menyebabkan Dinda masih menerima Rendi
meskipun Rendi juga berselingkuh dan melakukan sexual
intercourse dengan Devi maupun Becca.
3. Adanya rasa nyaman karena terbiasa bersama
Menurut Dinda, ia mempertahankan Rendi bukan karena
tidak ada lelaki lain yang lebih baik dari Rendi. Dinda menyadari
bahwa pasti sangat banyak laki-laki di luar yang lebih baik dari
Rendi, namun Dinda merasa sulit untuk membuka hati bagi laki-laki
karena Dinda merasa sudah nyaman dengan Rendi. Kenyamanan
yang dirasakan oleh Dinda disebabkan karena Dinda merasa sudah
terlalu terbiasa bersama-sama dengan Rendi. Selama 5 tahun Dinda
selalu menghabiskan waktu dengan Rendi, makan, tidur, kuliah,
bermain, jalan-jalan, belanja kebutuhan, dan lainnya. Rendi pun
menjadi teman cerita bagi Dinda yang sangat baik dan sabar
mendengarkan setiap keluh kesah Dinda. Sentuhan fisik yang
menguatkan dukungan terhadap Dinda melalui pelukan, ciuman,
usapan, juga terus membuat Dinda nyaman dengan Rendi.
Keterikatan inilah yang membuat Dinda merasa bahwa dirinya
sudah membentuk kebiasaan harus ditemani oleh Rendi sehingga
jika tidak Rendi dalam hidupnya, Dinda akan merasa sangat
kehilangan dan kesepian. Perasaan inilah yang juga menuntun
Dinda untuk mentolerir seluruh kesalahan Rendi dan
memaafkannya berulang kali
“Bikin nyamannya itu yang emm… itu kali yah yang bikin
saya juga susah lepas dari dia.. Nyaman gatau nyaman apa
kebiasa sama-sama ya.. Ya pokoknya gitu…”
“Mungkin karna kebiasaan bareng. Karena kebiasaan bareng
itu jadi kita jadiii biasa bareng, dan kebetulan kita sama-
sama dari luar Jawa, dia lebih nyaman”.
“Apa ya.. Perhatian dan penyayang dia sih.. Orangnya
hangat kalo ke saya sih.. Kalo lagi bener, supportive banget..
Kalo saya cerita tuh sabar dengerin, kasih saran.. Dan
anehnya kalo dia yang nyaranin, saya bisa dengerin.. Kan
saya juga itungannya keras kepala ya Mbak! Hhehe…
Nyaman juga tuh kalo udah mulai affectionate gitu dianya..
Misalnya kaya meluk apa nyium. Kalo pas lagi sedih saya
bisa langsung lega gitu rasanya..”
Dinda merasa bahwa dirinya sangat bodoh den gan
mempertaruhkan perasaannya terus disakiti dan kini masa
depan diri dan anak yang sedang dikandungnya juga menjadi
terancam. Keinginan Dinda untuk meninggalkan Rendi
berulang kali kini harus ditiadakan karena Dinda akan terus
berurusan dengan Rendi dan keluarganya terkait kehidupan
sang anak. Namun demikian, Dinda merasa siap untuk
menghadapi berbagai kesulitan yang muncul jika ia menjadi
seorang single parent kelak.
2. Gambaran Kelekatan Dinda dan Orang Tua
Lingkaran kekerasan yang menjerat Dinda dalam relasi
pacaran dengan Rendi yang menempatkan dirinya sebagai korban
lima tahun lamanya hingga Dinda kini tengah hamil, perlu dikaji
lebih dalam mengenai relasi lekat antara Dinda dan kedua
orangtuanya di masa lampau hingga kini. Telaah ini penting untuk
mendapatkan pemahaman mengenai ikatan emosi yang terjalin
antara Dinda dengan orang tua sebagai figur lekat pertama dalam
kehidupannya, karena aktif atau tidaknya ikatan emosi yang terjalin
di awal-awal masa kehidupan tersebut terekam dalam memori
jangka panjang dan menghasilkan pola lekat yang serupa dengan
relasi Dinda dengan siapapun di rentang kehidupan berikutnya.
Namun, sebelum penulis menggambarkan pola kelekatan antara
Dinda dengan kedua orangtua, penulis menggambarkan terlebih
dahulu relasi yang terjalin antara ayah dan ibu Sari dalam rumah
tangga dan peran keduanya sebagai suami-istri.
a) Gambaran Relasi Ayah-Ibu Dinda
Dinda lahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dalam
keluarga yang memiliki status ekonomi menengah ke atas.
Setiap minggu Dinda beserta keluarganya dan pengasuh selalu
menyempatkan diri untuk berlibur ke Jakarta. Selain di
Lampung, mereka memiliki rumah di Jakarta. Orang tua Dinda
juga mampu membayar 3 orang baby sitter sekaligus untuk
mengasuh ketiga anaknya sehingga masing-masing anak
mendapatkan satu baby sitter pribadi. Ayah maupun ibu Dinda
merupakan tipe pekerja keras dan hal tersebut berimplikasi pada
kegiatan keduanya yang sangat sibuk dan minimnya waktu yang
diberikan terhadap anak-anak. Ayah maupun ibu pergi kerja dari
pagi dan pulang sangat malam sehingga tidak ada waktu
bercerita tentang keseharian diantara anggota keluarga. Mereka
juga jarang sekali makan bersama di meja makan, semua anggota
keluarga makan sendiri-sendiri.
Dalam penilaian Dinda, relasi antara ayah dan ibunya
dapat dikatakan harmonis. Dinda tidak pernah melihat ayah
dan ibunya bertengkar hebat. Setiap pertengkaran yang pernah
terjadi hanya disebabkan oleh hal-hal kecil saja dan dapat segera
diatasi dengan cepat sehingga tidak memberikan dampak buruk
yang berkepan-jangan bagi keluarga. Namun demikian,
meskipun kedua orang tua Dinda tergolong harmonis, baik ayah
maupun ibu tidak pernah menunjukkan kasih sayang diantara
mereka di depan anak-anaknya. Keduanya cenderung kaku dan
dingin satu dengan yang lain. Menurut penuturan Dinda, tipe
ayah dan ibunya memang seperti itu. Jadi, anak-anak tidak
terbiasa melihat baik ayah atau ibunya saling memeluk atau
memberikan ciuman. Dinginnya relasi ayah dan ibu juga
dirasakan oleh anak-anaknya.
b) Gambaran Relasi Lekat Dinda-Orang Tua
Kelekatan yang terjalin antara Dinda dan kedua
orangtuanya dapat dilihat dari ada atau tidaknya perilaku lekat yang
ditunjukkan oleh Dinda maupun kedua orangtuanya. Relasi lekat ini
berlaku dua arah, yakni dari Dinda sebagai anak yang mencari figur
lekat sebagai basis aman dirinya dan orang tua sebagai figur lekat
yang berperan penting dalam pembentukan konsep ‘aman’ tentang
dunia dan lingkungan di sekitar Sari. Pada dasarnya, perilaku lekat
memiliki tiga komponen dasar yang diungkapkan oleh Bowlby
(1982), yakni ada proximity maintenance (pencarian kedekatan),
safe haven (menjadi tempat berlindung), secure base (menjadi basis
aman). Penulis mencoba menggambarkan perilaku lekat dengan
menggunakan perspektif kelekatan Bowlby, namun tidak menutup
kemungkinan munculnya hal baru yang ditemukan penulis dalam
proses penggalian data dengan Dinda.
1. Proximity Maintenance (Mencari Kedekatan)
Proximity maintenance mencakup perilaku anak yang
terus mencari kedekatan dengan figur lekat dan memelihara
kedekatan tersebut. Perilaku ini dapat diamati pula melalui protes
yang ditunjukkan anak ketika berada dalam situasi terpisah dari
orang tua.
a) Dinda-Ayah:
Di mata Dinda, sosok ayah adalah tipe penyayang dan
berhati lembut, namun cenderung kaku dan sulit untuk
mengekspresikan rasa sayang melalui sentuhan fisik
seperti memeluk atau mencium. Oleh karena kesibukan ayah
yang sangat padat, Dinda tidak memiliki banyak waktu untuk
dihabiskan dengan sang ayah. Kedekatan yang terjalin dengan
sang ayah juga hanya seputar kedekatan dalam perihal
finansial. Dinda tidak pernah mendapatkan kesulitan jika
hendak meminta ayahnya untuk membelikan sesuatu
untuknya. Ayah juga selalu berusaha untuk memenuhi seluruh
kebutuhan dan keinginan anak-anaknya.
“Emm.. Penyayang! Emm.. Dia typical seorang ayah yang
penyayang, jadi memang dia sayang sama anak-anaknya dan..
Tapi kaku jadi dia memang bukan orang yang typical yang bisa
meluk gitu susah, nyium juga nggak”
“Kalau dicium sih kita kan selalu pamit gitu kan salim, cium
tangan gitu. tapi kalau dicium dalam hal-hal yang ada hal apa
gitu dicium enggak. Tapi penyayang-penyayang gitu, dan dia
familly man banget. Dia selalu stay dirumah untuk keluarganya,
terus dia berusaha apa yang anaknya mau dikasih, jadi kadang
kalau dia abis marah-marah gitu, selesai marah-marah kita..
karena anak-anak suka pura-pura sedih, pura-pura nangis..
Nanti sama dia yang, dia ajak kita kemana untuk dibeliin apa”
Melalui pernyataan Dinda, ia beserta saudara-saudara
dapat melakukan manipulasi perasaan sedih ketika dimarahi
sang ayah untuk mendapatkan kompensasi atas kemarahan
ayahnya itu. Dinda menyadari bahwa sang ayah berhati
lembut dan tidak tega jika melihat anaknya sedih atau
menangis. Hal tersebut digunakan oleh Dinda untuk
mendapatkan rasa bersalah ayahnya sehingga ayah menebus
kemarahannya dengan membelikan barang-barang yang
diinginkan Dinda. Tidak ada upaya yang ditunjukkan oleh
Dinda untuk mendekatkan diri dengan sang ayah sejak ia
masih kecil. Dinda tidak pernah menceritakan pengalamannya
di sekolah, hubungannya dengan saudaranya, dengan teman-
temannya karena Dinda merasa ayahnya sudah terlalu sibuk
dengan pekerjaannya dan tidak memiliki waktu untuknya.
Ketika Dinda sedang merasa sedih atau berada dalam situasi
sulit, Dinda hanya dapat bercerita dengan baby sitter
pribadinya, itu pun hanya untuk melegakan perasaannya saja.
“Saya lebih sering ngobrol sama pembantu saya dibanding
orang tua. Biasa sih enggak memberikan sesuatu juga sih
pembantu ini, cuma memang kadang kalau saya bisa komplain
gitu ya udah, dan saya bukan typical orang yang.. Saya suka
menceritakan hal-hal apa gitu, enggak. jadi emang ya udah saya
pendem sendiri saja”.
Oleh karena tidak pernah terjalinnya kedekatan fisik dan
emosional dengan sang ayah, Dinda merasa dalam situasi
yang berjarak jauh dengan sang ayah pun Dinda tidak
merasakan kehilangan karena kebutuhan yang selama ini
dicukupi oleh sang ayah ialah kebutuhan finansial, sehingga
dalam jarak jauh pun sang Dinda masih mendapatkannya
melalui transaksi transfer antar rekening. Ketika Dinda mulai
berkuliah di Salatiga, yang berada cukup jauh dengan
kediaman orang tua di Lampung, Dinda sama sekali tidak
merasa kehilangan sosok ayah. Bahkan, Dinda
mengungkapkan bahwa ia lupa bagaimana caranya untuk
merindukan ayahnya karena ketika masih berada dalam situasi
dekat, relasi Dinda dan sang ayah cenderung dingin.
“Biasa aja sih.. Apa ya.. Emmm.. Karena dari dulu juga
serumah kan kita itu ya emm apa ya.. jarang juga sih ada kontak
emosional.. jadi pas jauh ya biasa aja..”
“Saya enggak tahu, dulu saya kangen apa enggak ya, saya
enggak tahu deh saya lupa deh”
Meskipun demikian, Dinda masih dapat mengingat satu
momen masa kecil yang membuatnya sangat bahagia ketika
berada dekat ayahnya. Kenangan tersebut terus teringat
dengan jelas hingga Dinda telah dewasa. Dinda mengingat
dirinya masih berusia 2 tahun ketika ia yang masih mengantuk
karena bangun tidur diajak jalan-jalan dan digendong oleh
sang ayah. Dinda bahkan masih dapat mengingat pakaian apa
yang ia kenakan waktu itu.
“Emm... Ada satu kenangan yang saya inget banget itu mungkin
usia saya baru dua tahun, pokoknya saya inget benget. Jadi itu
tuh saya lagi pergi sama orang tua saya jalan-jalan gitu di mall
di supermarket. Terus saya digen-dong gitu, itu saya masih kecil
masih dua tahunan gitu, saya digendong gitu sama papa.. Terus
saya masih pake baju sweater pake piyama, piyama-piyama
batita gitu, apa celana panjang, ya itu sih kayaknya... kenangan
itu saja yang tersisa”
Kenangan ini sangat sederhana, namun sangat diingat
oleh Dinda hingga saat ini meskipun pada waktu itu ia masih
berusia 2 tahun. Dapat dilihat bahwa momen ketika sang ayah
menunjukkan rasa sayangnya melalui tindakan yang
melibatkan kontak fisik seperti menggendong, merupakan
pengalaman penting yang bermakna bagi Dinda. Dapat
teramati bahwa Dinda tidak menunjukkan upaya untuk
mendekatkan diri dan tidak menunjukkan protes atas
situasi perpisahan dengan sang ayah.
b) Dinda-Ibu:
Ibu di mata Dinda adalah sosok yang dominan dan keras.
Sama dengan halnya sang ayah, ibu juga bukan tipe orang
yang dapat mengekspresikan rasa sayangnya dengan sentuhan
fisik. Tidak pernah ada kedekatan fisik dan emosional
yang terjalin antara Dinda dan ibunya. Pengajarannya
terhadap Dinda tentang menjadi sosok yang kuat, tidak lemah,
dan tidak boleh menangis terus mempengaruhi hidup Dinda
hingga saat ini. Dinda sangat jarang menangis karena baginya
menangis adalah hal yang tabu. Selain itu, sosok ibu lebih
memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan rumah
tangga dan cenderung lebih ditakuti daripada sosok ayah.
“Dominan! Terus keras. Orangnya keras tapi juga sama dia juga
bukan typical orang yang bisa menunjukan hal-hal yang
emosional gitu dan dia selalu bilang.. Saya inget ada satu
kalimat dia yang bikin saya.. even sampai sekarang pun untuk
nangis di depan dia itu kayaknya tabu. Karena dia pernah
ngomong "Ngapain nangis anak mama itu enggak ada yang
lemah, enggak boleh nangis, karena nangis itu tidak
menyelesaikan masalah" Jadi typical mama saya begitu, keras
orangnya dominan. Jadi apapun yang terjadi di keluarga ya, dia
yang ambil andil”.
Dinda merasa bahwa sang ibu tidak pernah hadir secara
emosional maupun dukungan tentang kehidupan Dinda.
Bahkan, Dinda tidak dapat mengingat kenangan manis yang
pernah dilalui bersama ibunya. Hanya ada pengalaman pahit
yang membekas dalam pikiran Dinda terkait relasi dirinya
dengan sang ibu. Pengalaman pahit yang diingat oleh Dinda
ketika ia masih kecil ialah pengalaman saat ia di-bully oleh
kakak dan adiknya. Pada saat ia di-bully, sang ibu turut serta
memojokkan dan menyalahinya. Pengalaman tersebut
mengikis kepercayaan Dinda terhadap ibunya dan membuat
Dinda enggan menceritakan apapun kepada kedua
orangtuanya.
“Ada.. Ada!! Ada hal yang bikin saya enggak, kenapa saya
enggak pernah ngomong apapun dengan mama papa saya,
karena... dulu waktu di-bully nih sama kakak, sama adek saya,
kalau saya ngomong gitu ya.. Mereka akan kompakan untuk
nyalahin saya, dibikin saya yang salah gitu, jadi saya
memutuskan untuk “Enggak usah deh, engak usah cerita" gitu.
Selain itu, Dinda juga mengalami kekerasan verbal
dari ibunya sejak kecil yang sangat melukai perasaannya.
Dinda mengingat salah satu contohnya pada waktu ia saat itu
masih duduk di bangku SMP, sang ibu seringkali mengatakan
kepada Dinda bahwa Dinda sangat menjengkelkan dan selalu
membuatnya ingin marah atau memukulnya. Perkataan seperti
itu didengar langsung oleh Dinda dan saudara-saudaranya dan
membuat Dinda semakin di-bully oleh kedua saudaranya.
Selain kekerasan verbal yang diterima Dinda dari sang ibu,
Dinda juga mengalami kekerasan fisik dari adik kandungnya
dalam bentuk tamparan. Dalam situasi pertengkaran antar
saudara, Dinda selalu menjadi pihak yang disalahkan oleh
sang ibu. Hal tersebut membuat Dinda hingga dewasa menjadi
individu yang takut untuk mengambil langkah tertentu dan
kurang terbuka terhadap teguran.
“Kayaknya dulu pernah, kayaknya SMP deh, itu saya pernah
berantem apa gitu sama mama saya, terus mama saya pernah
ngomong “Eh...kamu selalu menjengkelin mama, dari dulu tuh
rasanya pengen marah aja gitu kalau enggak marah mukul”
“He'em.. Dulu tuh waktu jaman kecil saya `pernah ditampar
dengan adek saya.. Dari kecil saya sering main-main gitu cuma
gara-gara apa gitu saya lupa, cuma gara-gara bangun.. bangun
tidur kan kita mau pergi atau gimana gitu, terus saya ngomong
ke mama saya juga tetap saya juga yang disalahin, jadi mungkin
karena itu kali ya? Karena saya selalu... selalu jadi... saya kalau
salah jadi saya, ya udahlah diem, dan saya juga jadi takut untuk
teguran. Saya takut salah! Jadinya.. Saya sekarang juga jadi
mau ngelakuin apa-apa takut jadinya”.
Dinda sendiri mengakui bahwa sejak saat itu Dinda
merasa semua yang dilakukannya adalah kesalahan dan ia
menjadi takut untuk melakukan sesuatu. Bahkan, pada usia 5
tahun, Dinda telah mengalami tekanan dari keluarga yang
membuatnya kabur meninggalkan rumah. Hal ini
menunjukkan bahwa sejak kecil Dinda telah membentuk ide
untuk menghindar dari situasi yang membuatnya merasa
terancam. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Dinda merasa
kedua orangtua menolak dan tidak memihak dirinya yang
membuat dirinya merasakan kesendirian. Dinda merasa sedih
atas perlakuan yang diterimanya dan membuat ia meragukan
dirinya sendiri. Namun, Dinda cenderung mengabaikan atau
merepresi perasaan tersebut.
Melalui penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa Dinda
tidak menunjukkan perilaku mencari kedekatan dengan ayah
maupun ibunya. Dinda tidak menunjukkan upaya untuk berada
dalam situasi yang dekat dengan keduanya dan tidak
menunjukkan protes dalam bentuk keberatan maupun
kesedihan atas situasi terpisah dari kedua orang tua. Dinda
lebih berupaya untuk menjadi mandiri sejak kecil dan
berusaha untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya
sendiri.
2. Safe Haven (Menjadi Tempat Perlindungan)
Salah satu perilaku lekat lainnya yang dapat ditelaah dari
relasi Sari dan kedua orang tua ialah perilaku safe haven. Safe
haven merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh figur lekat
sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak yang mencari
kedekatan dengannya. Respons tersebut dalam berbentuk
pemberian rasa nyaman, kehangatan, ketenangan, atau jaminan
akan keselamatan pada waktu dibutuhkan.
a) Ayah-Dinda:
Ayah tidak berperan dalam pemenuhan kebutuhan
emosional maupun fisik bagi Dinda sejak kecil. Jarang dan
hampir tidak pernah Dinda mendapatkan sentuhan fisik dari
sang ayah baik berupa pelukan atau ciuman. Sosok ayah
dikenal pekerja keras dan lebih banyak menghabiskan
waktunya di luar rumah. Kehadiran ayah dalam kehidupan
Dinda berfungsi sebagai dasar pemenuhan kebutuhan
finansial bagi Dinda, misalnya dalam pembayaran uang
sekolah, uang jajan, uang makan, pembelian barang-barang
yang diinginkan serta dibutuhkan.
“Ya itu tadi mbak.. Keberadaannya buat saya tuh ya mungkin
ya kalo bisa dibilang kasarannya ya urusan finansial aja.. Haah..
Untuk masalah emosional sih nggak..”
Tidak ada dukungan secara fisik maupun emosi untuk
segala sesuatu yang Dinda lakukan, baik dari hal pendidikan,
kegiatan-kegiatan lain di luar sekolah. Ayah tidak hadir dalam
menemani Dinda menjalani aktivitasnya sejak kecil karena
Dinda sudah ditemani oleh baby sitter-nya, bahkan untuk antar-
jemput sekolah, ke gereja, kebutuhan makan, ayah tidak hadir
dalam momen-momen penting yang Dinda lalui. Ayah
cenderung memberi kebebasan pada Dinda untuk melakukan
apapun yang Dinda inginkan tanpa peraturan ketat yang harus
dipenuhi. Hal tersebut diterapkan dari Dinda kecil hingga besar.
“Nggak sih, mereka itungannya malah ngebebasin yaa.. Apa
nggak peduli ya (tertawa) Nggak tau deh mbak..”
“Kapan ya? Kalo pas kecil dulu sih nggak ya.. Sama pembantu
semua saya minta tolongnya, karena ya itu, pada sibuk kerja
semua papa mama..”
Kebebasan yang diberikan kepada Dinda tidak jarang
membuat Dinda justru merasa diabaikan atau tidak dipedulikan
oleh sang ayah. Terlebih, sosok ayah juga tidak pernah tersedia
ketika Dinda membutuhkan pertolongan saat menghadapi
situasi yang dianggapnya mencemaskan atau mengancam.
b) Ibu-Dinda:
Berbanding terbalik dengan sang ayah, ibu tidak berperan
dalam pemenuhan kebutuhan emosional maupun fisik,
melainkan hanya kebutuhan finansial bagi Dinda sejak
kecil. Ibu lebih banyak melukai perasaan Dinda dengan
kekerasan verbal yang diucapkan dan penolakan terhadap
kedekatan yang terjalin diantara mereka. Ibu menunjukkan
ketidaknyamanan dan pengabaian sesekali Dinda mencoba
untuk mendekatkan diri kepadanya pada waktu Dinda kecil.
Hal ini disebabkan karena ibunya lebih menyayangi adiknya
dan membuat Dinda merasa terpinggirkan. Bahkan, ketika
Dinda menangis pun sang ibu tidak menunjukkan upaya untuk
menenangkan atau membuatnya merasa nyaman kembali. Ibu
justru membentak Dinda untuk berhenti menangis karena
menangis merupakan simbol kelemahan. Doktrin sang ibu
bahwa perempuan harus mandiri dan tidak lemah membuatnya
terbentuk menjadi individu yang kuat dan cenderung
mengabaikan perasaan sedih.
“Saya enggak pernah untuk menceritakan masalah-masalah
saya waktu itu pada keluarga saya, apapun itu, karena balik lagi
karena mama ngajarinnya untuk mandiri harus bisa apa-apa
sendiri, enggak boleh lemah. Rasanya lemah banget sih, kalau
hal kayak gini bikin sedih tuh kok.. Malu-maluin banget
sih.."Gini doang" gitu..”
Relasi Dinda dan kedua orangtuanya tidak menunjukkan
bahwa kedua orang tua adalah tempat yang aman untuk
berlindung. Hal ini teramati dari perilaku Dinda yang justru
memendam dan menutup diri untuk bercerita kepada ayah dan
ibunya karena Dinda tidak ingin mendapatkan pelabelan ‘anak
yang lemah’ oleh orang tuanya. Selain itu, Dinda juga tidak
terlihat menjadikan ayah atau ibunya sumber pertolongan
pertama yang perlu dicari ketika ia menghadapi situasi sulit.
3. Secure Base (Menjadi Basis Aman)
Perilaku lekat lain yang dimunculkan oleh orang tua sebagai
figur lekat sebagai tanda kelekatan yang terjalin ialah dengan
tersedia atau tidak tersedianya orang tua sebagai basis aman bagi
Sari untuk eksplorasi. Figur lekat yang peka melihat dunia dari
sudut pandang anak dan memperlakukan anak dengan
pemahaman yang mendalam, pemberian kebutuhan dan kasih
sayang. Selain itu, figur lekat juga menunjukkan respons
menerima anak secara utuh.
a) Ayah-Dinda:
Melalui pengalaman bersama ayah dari kecil hingga
dewasa ini, Dinda menunjukkan bahwa sosok ayah tidak
dapat dijadikan basis aman oleh Sari. Meskipun ayah
memberikan Dinda kebebasan yang seluas-luasnya untuk
mengeksplorasi dunianya, namun Dinda tidak dapat
menemukan sosok ayah sebagai basis aman yang dapat ia
datangi ketika ia menemukan kegagalan dalam eksplorasi
karena sang ayah lebih sibuk memperhatikan dengan
pekerjaannya daripada berada di samping Dinda dan
memperhatikannya.
“Nggak lah nggak ada ribet-ribet. Bebas lah pokoknya, resiko
ditanggung sendiri yang penting mah..”
Melalui pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa Sari sejak
kecil hingga dewasa telah dibentuk menjadi sosok yang
bertanggung jawab pada kekebasan yang diberikan oleh sang
ayah.
d) Ibu-Dinda:
Relasi Dinda dengan ibunya sejak kecil juga tidak
menunjukkan bahwa sang ibu merupakan basis aman
untuk Dinda eksplorasi. Perlakuan ibu yang selalu
menyalahkan dan menuduh Dinda sebagai ‘biang masalah’
membuat Dinda menjadi selalu takut untuk melangkah dan
membuat keputusan tertentu. Namun demikian, ada perubahan
sikap yang ditunjukkan Dinda dalam hal menyampaikan
kekecewaan atau kemarahan kepada ibunya. Pada waktu kecil,
Dinda terbiasa diam jika menemukan tindakan ibu yang tidak
sesuai dengan harapannya. Namun, ketika Dinda dewasa, ia
cenderung menunjukkan sikap yang berani untuk menegur
jika ibunya salah dan ia tidak merasa sungkan untuk
mengutarakan pendapatnya.
“Kalo dulu emm… Ya dulu itu kalo saya kecil saya biasanya
Cuma diem karena ya kan itu ya… Mama juga pasti nyalahin..
Tapi kalo udah gede kaya sekarang ya beda.. Saya kalo nggak
suka ya tinggal ngomong, gentian saya yang sering ngomelin
papa mama kalo mereka lupa minum obat lah ato mama lagi
cerewet lah, trus kalo urusan apotik teledor.. Udah lebih kaya
omongan dewasa sih sekarang saya kalo sekarang…”
Dapat disimpulkan, pola kelekatan yang terjalin antara
Dinda dan kedua orangtuanya tergolong dalam jenis avoidant-
insecure attachment. Hal ini dapat dilihat melalui sikap
penghindaran yang dilakukan oleh Dinda terhadap kedua
orangtuanya sebagai bentuk. strategi ‘pemberontakan’ bagi kedua
orang tua yang tidak mendukung terjalinnya kontak afeksi dan tidak
menunjukkan simpati maupun rasa nyaman. Sebagaimana dikatakan
bahwa anak yang tergolong dalam avoidant attachment jarang
menangis ketika dikondisikan terpisah dari figur lekat dan
menghindari kontak ketika figur lekat kembali, begitupun halnya
Dinda terhadap kedua orangtuanya. Dinda tidak menunjukkan
protes terhadap situasi terpisah dari orangtuanya.
3. Dinamika Pola Kelekatan Dinda dengan Orang Tua dan
Kebertahanan Dinda dalam Lingkaran Kekerasan
Berdasarkan data empiris yang diperoleh, penulis melihat
fenomena ini sebagai satu rangkaian pola sebab-akibat
berkesinambungan yang terjadi pada relasi Sari dengan ayah dan
ibu serta Sari dengan pacar. Bowlby (1983) mengemukakan bahwa
pola kelekatan yang terjalin antara anak dan orang tua sebagai figur
lekat membentuk internal working models dalam persepsi anak
sepanjang hidup terkait respons emosional dan pertimbangan-
pertimbangan yang dibuatnya. Untuk dapat melihat dialektika
antara keduanya, penulis menguraikan terlebih dahulu tentang
karakteristik serupa yang dimiliki oleh ayah dan ibu Dinda dengan
Rendi.
AYAH DINDA-RENDI IBU DINDA-RENDI
Ayah Dinda dan Rendi memiliki
karakteristik yang serupa, yakni
keduanya merupakan figur yang
penyayang dan selalu sigap memenuhi
kebutuhan Dinda. Meskipun sang ayah
tidak dapat mengungkapkan perasaan
sayangnya dengan sentuhan fisik,
namun Dinda dapat melihat bahwa
setiap kerja keras dan kesungguhan
ayahnya dalam bekerja merupakan
bentuk dari kasih sayangnya terhadap
keluarga. Rendi pun menunjukkan hal
yang serupa. Meskipun Rendi
berselingkuh, namun Dinda merasakan
bahwa Rendi ialah sosok yang
penyayang dan selalu ada menemani
hari-hari Dinda. Terlebih, Rendi dapat
menunjukkan kasih sayangnya melalui
sentuhan fisik yang selama ini tidak
diperolehnya dari ayah.
Interpretasi:
1. Dinda mencari sosok laki-laki sesuai
dengan figur ayah yang penyayang
dan sigap dalam menanggapi
kebutuhannya.
2. Ada indikasi pemenuhan kebutuhan
kontak fisik yang diberikan oleh
Rendi.
3. Rasa nyaman yang dicari Dinda dari
relasinya dari Rendi merupakan
bentuk substitusi dari kebutuhan
Ibu Dinda dan Rendi memiliki
karakteristik yang serupa, yakni
keduanya selalu melimpahkan
kesalahan pada Dinda dan menuduh
bahwa Dinda yang menyebabkan
munculnya konflik tertentu dalam
relasi tersebut atau relasi dengan
orang lain. Sejak kecil, ibu yang
terlihat tidak menyayangi Dinda
selalu menyalahkan Dinda atas setiap
pertengkaran Dinda dengan
saudaranya. Tidak ada pembelaan
yang didapatkan oleh Dinda dari sang
ibu. Begitupun dengan Rendi yang
selalu menyalahkan Dinda untuk
setiap perselingkuhan yang
dilakukan-nya dengan perempuan-
perempuan lain. Dinda selalu merasa
setiap perbuatannya ialah kesalahan.
Interpretasi:
1. Ada indikasi rasa inferior yang
dirasakan oleh Dinda karena sejak
kecil Dinda selalu disalahkan oleh
sang ibu, dan rasa inferior tersebut
diperuncing dengan perlakuan
Rendi terhadap dirinya.
2. Adanya proses pembiasaan dari
rasa inferior, sehingga Dinda tidak
lagi merasa itu hal yang buruk dan
mengganggu baginya.
akan rasa nyaman yang hilang dari
relasinya dengan sang ayah.
Tabel 4.7 Karakteristik Figur Lekat Dinda
Dapat dilihat, Rendi memiliki kemiripan karakteristik dengan
ayah dan ibu Dinda, mulai dari perlakuan yang diberikan terhadap
Dinda hingga respons Dinda menghadapi perlakuan tersebut. Hal
ini mengindikasikan bahwa relasi lekat yang dijalin oleh Dinda
dengan kedua orangtuanya di masa lampau hingga saat ini turut
membentuk persepsi Dinda tentang proses membangun dan
mempertahankan relasi dengan Rendi. Tanpa disadari, Dinda
beradaptasi dengan sangat baik terhadap pengabaian yang
diterimanya sejak kecil, khususnya ibu yang membentuk rasa
bersalah dan membuat Dinda merasa inferior dan tidak beguna
dengan apapun yang dikerjakannya. Hal tersebut berimplikasi pada
kerelaan Dinda yang terus disalahkan oleh Rendi atas
perselingkuhan yang berulang kali dilakukannya. Intimidasi
semacam itu seharusnya membuat Dinda merasa terluka, namun
oleh karena indtimidasi tersebut telah diterima Dinda sejak kecil
dari ibunya, Dinda merasa itu merupakan hal yang biasa dan Dinda
telah beradaptasi dengan baik menghadapi intimidasi tersebut.
Maka dari itu, Dinda membentuk persepsi bahwa Rendi dapat
berselingkuh dari dirinya memang bersumber dari kesalahannya
yang sering membuat keributan kecil, yang kurang cantik, kurang
menarik, dan lainnya.
Tidak adanya basis aman yang diberikan oleh kedua orangtua
Dinda membuat Dinda eksplorasi secara mandiri tentang dirinya
dan kebutuhannya. Tidak adanya pendekatan emosional yang
pernah terjalin antara Dinda dan kedua orang tua juga membuat
Dinda terus mencari kekosongan tersebut hingga Dinda bertemu
dengan Rendi. Rendi merupakan sosok yang dapat mengisi
kekosongan Dinda dalam hal sentuhan fisik dan emosi. Hal ini
terlihat dari kenangan paling bahagia yang dapat diingat Dinda ialah
suatu kali ketika ayahnya menggendong dirinya yang baru bangun
tidur. Kenyamanan dan rasa bahagia sangat dirasakan Dinda hanya
di satu waktu itu karena sang ayah tidak pernah menggendong atau
menyentuhnya lagi setelah itu. Pertemuannya dengan Rendi yang
dapat dengan mudah menunjukkan rasa sayangnya melalui
sentuhan-sentuhan fisik membuat Dinda sangat nyaman dan
bahagia, sama seperti yang dirasakan Dinda ketika sang ayah dulu
menggendongnya. Melalui hal ini dapat dilihat bahwa Dinda
mencari sosok pengganti ayah yang dapat dijadikannya basis aman
untuk eksplorasi.
Kebutuhan Dinda akan sentuhan fisik menjadi salah satu
alasan kebertahanan Dinda dengan Rendi meskipun dirinya harus
berulang kali sakit hati karena dikhianati. Hal ini mengindikasikan
bahwa ketiadaan dukungan melalui sentuhan fisik dan emosi dari
kedua orangtua membuat Dinda menjadi rentan terhadap segala
bentuk sentuhan fisik dan pendekatan emosi yang diberikan oleh
Rendi. Sebagaimana diketahui bahwa ikatan emosi sepanjang hidup
dapat dimulai melalui kontak fisik dan rasa aman yang diberikan
oleh figur lekat pertama, Dinda pun merasakan bahwa ikatan
emosinya terikat terlampau dalam kepada Rendi sehingga ia merasa
sangat nyaman bertahan dalam relasi yang menyakitkan. Maka dari
itu, dapat disimpulkan bahwa pola kelekatan Dinda dengan orang
tua membuat Dinda tumbuh menjadi individu yang insecure dan
menjadikan Rendi sebagai satu-satunya pemuas kebutuhan fisik dan
emosional Dinda sehingga sangat sulit bagi Dinda untuk keluar dari
jerat lingkaran kekerasan yang dialaminya dengan Rendi.
e. Pembahasan Kasus Dinda
Melalui penjabaran kasus kekerasan yang dialami oleh Sari dan
Dinda dalam relasi berpacaran, dapat dipahami bahwa kebertahanan
Sari maupun Dinda dalam relasi yang mengandung kekerasan
didalamnya memiliki keterkaitan dengan pola lekat yang terjalin
dengan orang tua di masa lampau, baik itu sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan yang terabaikan, maupun pengulangan kebutuhan yang telah
terpenuhi.
Berikut ini digambarkan tentang perbandingan kedua kasus Sari
dan Dinda yang dikaji oleh penulis:
KOMPONEN KELEKATAN
Proximity
Maintenance
Tidak ada
Tidak ada perilaku Dinda yang menunjukkan upaya
pencarian kedekatan dengan kedua figur lekat karena baik
ayah dan ibu terlalu sibuk bekerja sehingga Dinda banyak
menghabiskan waktu dengan baby sitter.
Safe Haven Tidak ada
Figur ayah dan ibu tidak dapat dijadikan tempat
perlindungan yang aman bagi Dinda setiap kali Dinda
menghadapi situasi yang membuatnya merasa tertekan.
Tidak ada pembelaan atau dukungan yang diberikan kedua
orang tua kepada Dinda saat Dinda mengalami konflik
dengan kedua saudaranya.
Secure Base Tidak ada
Kedua figur lekat tidak dapat dijadikan basis aman bagi
Dinda untuk eksplorasi. Ketia-daan figur lekat dalam
waktu yang lama membuat Dinda merasa tidak lagi
memerlukan figur lekat di dekatnya.
Pola Kelekatan Avoidant-insecure
INFORMASI PENDUKUNG Kebutuhan yang
tidak terpenuhi oleh
ayah
Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional
Kebutuhan yang
tidak terpenuhi oleh
ibu
Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional
Kebutuhan yang
dipenuhi pacar
Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional
Riwayat
Kekerasan dalam
Keluarga
Dinda mengalami kekerasan langsung dari ibunya berupa
kekerasan verbal dan emosional.
Riwayat Kekerasan
dalam Pacaran
Dinda mengalami kekerasan verbal, kekerasan emosional,
dan kekerasan seksual dari Rendi.
Tabel 4.8 Kerangka Pola Lekat dan Kebutuhan Dinda
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap dua
orang korban yang memilih untuk bertahan dalam relasi pacaran yang
mengandung jerat lingkaran kekerasan didalamnya, maka penulis
memiliki beberapa temuan terkait dengan kebertahanan korban yang
terjerat dalam lingkaran kekerasan di dalam relasi pacaran.
Temuan 1: Pola Kelekatan Avoidant-Insecure dengan Orang Tua
Merupakan Dasar Kebertahanan Korban Kekerasan
Pola lekat yang dimiliki Dinda terhadap orangtuanya tergolong
insecure-avoidant. Poin penting yang melekat dalam pola lekat
insecure ini terletak pada ketidaktersediaan basis aman bagi keduanya
untuk eksplorasi dan memahami bahwa dunia adalah tempat yang aman
untuk dieksplorasi. Ketiadaan basis aman ini berimplikasi pada
kurangnya minat untuk keluar dari situasi yang telah dianggap nyaman,
meskipun tidak aman. Selain itu, kurangnya kemampuan bagi Dinda
untuk mengatasi kecemasan atas situasi perpisahan dengan pacar yang
dijadikan sebagai figur lekat. Hal ini dijelaskan oleh Bowlby (1973)
bahwa ketika relasi dengan orang yang dicintai terancam perpisahan,
emosi yang muncul ialah kecemasan dan juga kemarahan. Sebagai
respons atas risiko kehilangan, kecemasan dan kemarahan ini
berlangsung bergantian. Ketika pasangan mulai terlihat menjauh,
pemanggilan memori atas kejadian-kejadian positif yang membuat
individu mencintai dan peduli terhadap pasangan tersebut dapat
memulihkan situasi berjarak yang terjadi. Akibat dari insekuritas yang
dimunculkan dari pola lekat dengan orang tua, kecemasan terhadap
perpisahan ini tidak dapat diregulasi dengan baik oleh Dinda sehingga
keduanya memilih untuk bertahan dalam relasi yang merugikan.
Temuan 2: Adanya Dorongan Pemenuhan Kebutuhan Kontak
Fisik dan Emosional sebagai Implikasi dari Ketiadaan Kontak-
Kontak Tersebut dengan Figur Lekat Pertama Laki-Laki
Selain itu, ‘kekosongan’ yang dialami Dinda akan kebutuhan
fisik seperti sentuhan juga turut berkontribusi terhadap kebertahanan
keduanya dalam relasi pacaran. Sari dan Dinda keduanya pertama kali
disentuh oleh pacarnya hingga melakukan hubungan sexual intercourse.
Ketiadaan sentuhan dari orang tua – khususnya ayah sebagai figur lekat
yang belainan gender – sejak kecil, membuat Dinda merasa asing
dengan rasa nyaman yang dimunculkan dari sentuhan itu sendiri
sehingga sang pacar memberikannya kepada mereka, rasa nyaman yang
mereka tidak pernah rasakan sebelumnya menjadi sebuah
ketergantungan yang sulit untuk dilepaskan, khususnya bagi Dinda
yang sama sekali tidak pernah mengalami sentuhan kasih sayang dari
ayah dan ibunya. ‘Kekosongan’ afeksi juga dirasakan oleh Dinda
karena Dinda tidak pernah mendengar ayah atau ibunya menyatakan
rasa sayang terhadap dirinya. Hal ini menyebabkan seluruh kata-kata
dan tindakan penuh afeksi yang ditunjukkan oleh Rendi membuat
Dinda merasa ‘kekosongan’ yang dirasakannya sejak kecil telah terisi
dengan sosok Rendi. Maka dari itu, Dinda bertahan diselingkuhi
berulang kali oleh Rendi selama Rendi masih dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya tersebut.
Temuan 3: Adanya Proses Habituasi yang Terbentuk dari Relasi
dengan Figur Lekat Pertama Perempuan
Pada situasi yang menuntut korban untuk menentukan
kebertahanan dalam relasi kekerasan yang dialami oleh korban, relasi
lekat dengan ibu sebagai figur lekat pertama perempuan memiliki
implikasi yang kuat dalam membentuk proses pembiasaan (habituasi)
dalam merespons stimulus tertentu. Proses habituasi ini dialami Dinda
dengan peilaku yang menunjukkan bahwa dirinya menjadi terbiasa
dengan posisi ‘yang bersalah’ atas perilaku negatif Rendi yang gemar
berselingkuh sama halnya dengan Dinda yang selalu berada di posisi
‘yang bersalah’ atas kemarahan ibunya di masa lampau. model perilaku
yang telah terbentuk dan relatif menetap. Proses pembiasaan ini yang
disebut dengan istilah “working models” atau “internal
representations” tentang diri dan pasangan, yang merupakan komponen
sentral dari kepribadian yang mengatur tentang aspek kesadaran dan
ketidaksadaran tentang pengaturan dan pemaknaan informasi terkait
dengan kelekatan, pengalaman kelekatan, dan perasaan (Main, Kaplan
& Casidy, 1985). Representasi internal tersebut: 1) berisi tentang model
dari konsep diri terkait layak atau tidak layak individu mendapatkan
cinta atau perhatian; 2) menghasilkan ekspektasi yang tidak disadari
tentang konsekuensi dari kelekatan masa lampau; 3) menyediakan pola
dalam membangun relasi sosial di masa mendatang.
top related