chevron ekuador
Post on 08-Dec-2015
24 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Seorang hakim Amerika Serikat memerintahkan Chevron untuk tidak membayar ganti rugi
yang diputuskan pengadilan Ekuador. Hakim Lewis Kaplan menyatakan, persidangan di
Ekuador dilakukan dengan penuh penyimpangan, sehingga melanggar asas keadilan.
Kata Lewis Kaplan, para pengacara yang menggugat Chevron itu ''bertindak korup,
menyodorkan bukti palsu, dan membantu saksi menulis laporan demi memperkuat gugatan.''
Bagi Chevron, vonis di kandang ini merupakan kemenangan besar dalam kasusnya melawan
gugatan yang dilayangkan penduduk asli Ekuador. Para warga itu tinggal di kawasan Lago
Agrio, wilayah timur Ekuador, di area Oriente. Ini merupakan daerah yang dikenal kaya
minyak.
Para penduduk asli itu menuntut kompensasi atas polusi udara dan pencemaran lingkungan
hidup yang dilakukan oleh perusahaan minyak Texaco, selama 1970-1990.
Texaco dibeli Chevron pada 2001. Perusahaan awal ini dituduh membuang limbah pemboran
minyak secara sembarangan, membuat kerusakan hutan, terganggunya kesehatan warga, serta
membengkaknya kematian akibat kanker.
Chevron diputuskan bersalah. Tetapi, raksasa minyak dari Amerika Serikat itu menyatakan
tidak bisa bertanggungjawab. Alasannya, pengadilan Ekuador yang korup mewarnai vonis
terhadap Chevron itu.
Dalam kasus ini, penduduk asli diwakili oleh Steven Donziger, pengacara lulusan Fakultas
Hukum Universitas Harvard, yang pernah bekerja sebagai wartawan. Kata Kaplan, Donziger
berbuat curang. Ia diam-diam membayar ahli yang disuruh membuat laporan independen
mengenai dampak lingkungan akibat pemboran minyak oleh Chevron. Tujuannya agar para
ahli itu menyatakan bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan akibat Texaco.
Bahkan, kata Kaplan, Donziger dan timnya menulis surat kepada hakim, siap membayar US$
500.000 bila dimenangkan. ''Kalau ada kasus yang penuh rekayasa kecurangan, ya inilah,'''
kata Kaplan.
Chevron menyambut dengan suka cita keputusan hakim Amerika ini. ''Ini kemenangan bagi
Chevron dan pemegang saham kami,'' tulisnya dalam siaran pers. Kemenangan ini, tulis
Chevron, menunjukkan bahwa peradilan Ekuador terhadap Chevron penuh kejahatan.
Namun, ini belum final. Donziger akan mengajukan banding. ''Keputusan ini betul-betul
melukai hati siapapun yang peduli terhadap kemandirian hukum. Pengadilan ini menunjuk
dirinya sendiri dan memberi dirinya sendiri dengan kekuasaan luar biasa, seolah-olah bisa
masuk ke negara orang lain,'' kata Deepak Gupta, yang akan mewakili Donziger di banding
ini.
Han Shan, yang mewakili penduduk asli, mengatakan ia akan terus-menerus menekan
Chevron, di negara mana pun perusahaan ini beroperasi. ''Di Ekuador asetnya tak begitu
banyak. Di negara lain, melimpah. Kami akan menggunakan jaringan kami di seluruh dunia
untuk menekan Chevron,'' kata Han Shan.
Kehadiran korporasi asing itu hanya membawa malapetaka. Tidak percaya? Mari melihat
kejadian yang menimpa rakyat Ekuador, khususnya yang tinggal di kawasan hutan Amazon.
Dari tahun 1964 hingga 1992, perusahaan
minyak asal Amerika Serikat membuang 18,5 milyar galon bahan beracun ke lubang-lubang
tanah, rawa-rawa, sungai-sungai yang berada di kawasan hutan Amazon.
Banyak ahli lingkungan menyebut polusi minyak terburuk di dunia ini. Bahkan, ada yang
menyebut ini kejadian kedua terburuk, setelah Chernobyl, dalam sejarah umat manusia.
Perusahaan itu adalah Texaco. Perusahaan AS itu mengebor 399 ladang minyak di daerah
seluas 1 juta hektar. Texaco mengeksplorasi 1,500 barrel minyak mentah dan keuntungan 30
milyar USD.
Sebaliknya, ia juga meninggalkan bahan beracun yang mengancam keselamatan 30.000 orang
yang menghuni kawasan hutan hujan Amazon. Masyarakat adat menganggap kerusakan yang
ditimbulkan oleh Texaco lebih buruk dari tumpahan minyak di teluk Meksiko. Perusahaan itu
juga membakar gas alam ke udara tanpa kontrol.
Banyak ahli yang menuding, Texaco tidak menggunakan standar umum perusahaan minyak
ketika melepaskan bahan beracun ke dalam tanah. Namun, justru dengan pengabaian itu,
Texaco menghemat 1,5 milyar hingga 4,5 milyar USD dari biaya operasinya.
Tahun 2002, Chevron mengambil alih Texaco, termasuk kerusakan parah yang
diwariskannya. Inilah yang mendorong kelompok masyarakat adat, pada tahun 2003, untuk
melancarkan gugatan kepada korporasi asal AS ini.
Namun, perjuangan masyarakat adat itu tidak gampang. Mereka bernaung dalam sebuah
Koalisi untuk untuk mempertahankan Amazon. Para penggugat ini sering mendapat ancaman
pembunuhan. Akhirnya, Organisasi Negara Amerika (OAS) pernah meminta pemerintah
Ekuador agar memberikan perlindungan terhadap para penggugat.
Namun, ancaman bukanlah hal yang baru. Pada tahun 1981, demi menjaga kepentingan
bisnisnya di Ekuador, AS terlibat dalam pembunuhan Presiden progressif Ekuador Jaime
Roldos dalam sebuah kecelakaan pesawat. Jaime Roldos berusaha mengambil alih Texaco
untuk memulihkan kedaulatan negerinya.
Pada Februari 2011, pengadilan negeri di kota Lago Agrio, Ekuador, memerintahkan
Texaco/Chevron untuk membayar 8,6 milyar USD atas pencemaran lingkungan di hutan
Amazon. Lalu, pada Januari 2012, Pengadilan Tinggi Ekuador memperkuat keputusan
pengadilan negeri itu. Presiden Ekuador Rafael Correa menyebut pertarungan rakyat Ekuador
dengan Chevron itu mirip pertarungan “David versus Goliath”.
Tetapi Chevron tidak tinggal diam. Korporasi AS itu menuding pengadilan Ekuador telah
mempolitisasi kasus pencemaran itu. Chevron juga meminta bantuan Arbitrase Internasional.
Ekuador juga terus berkampanye melawan pengadilan Ekuador. Baru-baru ini, pengadilan
Arbitrase di The Hague meminta penundaan hukuman terhadap Chevron.
“Kami masih menderita warisan panjang neokolonialisme, kegelapan neoliberalisme, dalam
kasus perjanjian perdagangan yang kriminal ini,” kata Presiden Ekuador Rafael Correa
mengomentari keputusan itu.
Menurut Rafael Correa, keputusan pengadilan arbitrase itu telah mengakhiri kedaulatan dan
kemerdekaan Ekuador. “Kami telah menjadi negara koloni akibat keputusan pengadilan
internasional itu,” tambahnya.
Terkait tekanan dari Pengadilan internasional itu, Rafael Correa telah meminta dukungan dari
negara-negara Amerika Latin, khususnya ALBA ( Alternatif Bolivarian untuk Amerika) dan
UNASUR (Perhimpunan Negara-Negara Amerika Selatan).
“Kami akan mempertahankan negara kami dengan segala cara. Kami akan memberi tahu
dunia mengenai penyimpangan ini. Perusahaan multinasional hanya menganggap kami
sebagai koloninya,” ungkap Correa.
Correa beranggapan, dunia sekarang ini dikuasai oleh modal besar, yang telah membawa
krisis di AS dan Amerika, yang membuat kepentingan pasar lebih tinggi dibanding kehidupan
manusia. “Kami berjuang untuk mengakhiri semua ini,” ujar Correa.
Untuk diketahui, Rafael Correa kembai memenangi pemilu Presiden Ekuador pada 17
Februari lalu. Ia meraih suara 58 persen, sedangkan pesaingnya, Guillermo Lasso, seorang
bekas bankir, hanya meraih 24 persen.
Ia pun berjanji memperdalam Revolusi Warga, yaitu sebuah revolusi yang dijalankan oleh
rakyat biasa melawan melawan para elit, bankir, dan politisi korup di Ekuador.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20130301/ketika-rakyat-
ekuador-menggugat-chevron.html#ixzz3DuIgibyN
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
di kawasan Amazonia di Ekuador (1972-1998) dan di Delta Niger, Nigeria (1998).
Salah satu tempat yang paling tercemar oleh limbah minyak Texaco (Cehvron) di
kawasan Lago Agio di Ekuador (ATAS); dan contoh lapisan tanah yang sangat tercemar oleh
limbah hidrokarbon dari pengeboran minyak Texaco-Chevron di daerah itu, diperlihatkan
oleh salah seorang pegiat Koalisi Mempertahankan Amazon, Donald Moncayo (REPRO: NEW
INTERNATIONALIST).
Kasus di Ekuador diawali oleh pengeboran minyak oleh Texaco pda tahun 1972 di kawasan
Lago Agio. Sejak saat itu, perusahaan yang kemudian diambil-alih oleh Chevron tersebut
telah menggelontori kawasan Amazon Ekuador dengan 18 milyar galon limbah beracun
(lihat gambar). Menurut data dari Koalisi Mempertahankan Amazon (Amazon Defence
Coalition) dan Jaringan Hutan Hujan Sedunia (Rainforest Action Network), sekitar 30.000
warga masyarakat adat lokal di sana menderita oleh pencemaran tersebut dan tercatat sekitar
1.400 orang meninggal dunia sebagai akibatnya. Setelah berjuang sekian lama menggugat
Chevron, barulah pada bulan Februari 2011, pengadilan Ekuador memenuhi gugatan para
pegiat lingkungan dan masyarakat adat Amazonia dengan menjatuhkan hukuman bersalah
kepada Chevron yang diwajibkan membayar denda kerugian sebesar US$ 8,6 milyar.
Tetapi, bukan Chevron jika tak berusaha mengelak dengan segala cara. Para jurubicara
perusahaan raksasa itu berdalih apa saja, termasuk yang konyol, seperti "Limbah minyak
sama sekali tidak beracun" atau "Tidak berarti hanya karena kami membeli Texaco pada
tahun 2001 maka kami harus bertanggungjawab membersihkan kotoran yang mereka
tinggalkan di sana". (Mike G dalam New Internationalist, 5 Januari 2012). Para petinggi
Chevron terus saja berdalih bahwa setoran bagi-hasil yang pernah mereka bayarkan ke
pemerintah Ekuador sudah melebihi jumlah denda tersebut. Walhasil. sampai sekarang pun,
Chevron terus berkelit dan tidak menunaikan hukuman denda yang dijatuhkan pengadilan
Ekuador itu (Irene Caselli dalam New Internationalist, 21 Februari 2011).
Dengan kekuatan uang dan lobinya, tak mustahil memang Chevron lagi-lagi memainkan
kartunya dalam kasus ini. Wajar jika banyak yang mencurigai ada 'permainan kotor' Chevron
di belakang layar. Tengok saja kejanggalan yang terjadi dalam kasus Delta Niger. Pada bulan
Agustus 2007, Hakim Distrik di California, Susan Y. Illston, mengabulkan gugatan terhadap
Chevron atas kasus yang menewaskan dua perempuan pengunjuk rasa, Jola Ogungbeje dan
Aroleka Irowaninu, dan melukai puluhan orang lainnya, termasuk anak-anak, yang
memprotes pencemaran oleh Chevron Nigeria Limited (CNL) di kawasan ulayat mereka.
Hakim Illston menegaskan bukti keterlibatan Chevron menyediakan angkutan keoada tentara
Nigeria yang melakukan penembakan. Anehnya, beberapa bulan kemudian, Maret 2008,
pengacara Barbara Hadsell malah mengundurkan diri dari proses gugatan lanjut melawan
Chevron itu. Pada bulan Desember 2008, Dewan Juri Pengadilan Federal malah
membebaskan Chevron dari tuduhan, berdasarkan pembelaan pengacara Chevron bahwa
perusahaan raksasa minyak itu terpaksa meminta campur-tangan tentara Nigeria demi
membela keselamatan nyawa para karyawannya yang terancam oleh para pengunjuk rasa.
(Bob Egelko dalam San Fransisco Chronicle, 15 Agustus 2007; 12 Maret 2008; dan 3
Desember 2008). Padahal, menurut rekaman kejadian oleh Friends of the Earth Nigeria, para
pengunjuk rasa itu hanyalah sekitar 15-20 orang ibu, 8 orang anak-anak, dan 25 orang anak
muda suku Ilaje yang datang dengan tangan kosong, berkaos oblong, dan hanya membawa
poster-poster. (Sokari Ekine dalam New Internationalist, 12 Desember 2008).
Apa yang menarik dari kasus Chevron di Ekuador dan Nigeria ini adalah sekali lagi
penampakan kemunafikan Chevron dan juga pemerintah Amerika Serikat. Tengok saja
faktanya. Ketika Chevron dinyatakan bersalah oleh pengadilan Amerika Serikat dalam kasus
pencemaran di Richmond, California, perusahaan itu menunaikan hukuman denda mereka
sebesar US$ 540.000. Demikian pula dalam kasus kilang El Segundo, juga di California,
dimana Chevron membayar US$ 7 juta untuk pemulihan lingkungan yang telah mereka
cemari serta tambahan biaya US$ 500.000 untuk memasang alat baru di kilang mereka yang
bocor. Chevron juga mengeluarkan US$ 275 juta untuk memasang teknologi baru yang
mengurangi buangan gas sulfur dioksida dan nitrogen dioksida (NOx) dari kilang-kilang
mereka di San Fransisco (Newsroom US EPA, 15 Oktober 1998).
Pertanyaannya adalah: mengapa ada perlakukan berbeda pada kesalahan Chevron di negara
lain dengan di Amerika Serikat sendiri?
Mungkin fakta berikut bisa menjelaskannya: Chevron mengeluarkan dana besar untuk
membiayai lobi-lobi politik mereka di Washington. Sejak Januari 2011 saja, Chevron sudah
mengeluarkan dana sebesar US$ 15 juta untuk membiayai lobi-lobi di ibukota Amerika
Serikat itu. Pada tanggal 7 Oktober 2012, Chevron menyumbang US$ 500,000 ke dalam
Pundi Kepemimpinan Kongres Partai Republik (Republican Congressional leadership Fund)
(laporan Dan Eggen dalam Washington Post, 26 Oktober, 2012). Selain itu, para mantan
petinggi Chevron pernah masuk dalam lingkaran inti Gedung Putih. Di masa Presiden George
W.Bush, Penasehat Keamanan Nasional (2001-2005) dan kemudian diangkat sebagai Menteri
Luar Negeri (2005-2009), Condoleezza Rice, tiada lain adalah salah seorang mantan anggota
Dewan Direktur Chevron. Tetapi, kita keliru jika menganggap hanya Partai Republik yang
konservatif itu yang menjalin hubungan erat dengan para konglomerat seperti Chevron. Partai
Demokrat sama saja. Ketika berkampanye untuk masa jabatan pertamanya dulu, Senator
Barrack Obama 'menyindir' pesaingnya, Senator John McCain dari Partai Republik, terlalu
dekat dengan konglomerat minyak, termasuk Chevron. Ketika terpilih jadi Presiden, Obama
malah juga mengangkat seorang mantan anggota Dewan Direktur Chevron, Jenderal Marinir
(Purn) James Jones, sebagai Penasehat Keamanan Nasional (2009-2010). Jadi, "setali tiga
uang".
Apapun di baliknya, semua fakta tersebut penting diketahui dan patut dijadikan pelajaran
bagi warga masyarakat dimana perusahaan raksasa minyak seperti Chevron sudah dan akan
beroperasi, termasuk para warga masayarakat adat lokal Sunda Wiwitan di kawasan Cigugur,
Kuningan, Jawa Barat. Karena, Chevron bukan tidak pernah punya rekam jejak kelam di
negeri ini. Yang paling heboh, tentu saja, adalah kasus penghindaran pajak (tax evasion)
senilai US$ 3,25 milyar antara tahun 1970 sampai 2000 melalui permainan harga minyak
dengan PERTAMINA, melalui anak perusahaan mereka, Caltex. (CNN Money, 13 September
2002)
Jadi, tak terlalu salah kalau penulis Nigeria tadi, Sokari Ekine, mem-pleset-kan nama dan dan
logo Chevron menjadi 'Chewrong' (Chev yang salah, berdosa!)(lihat gambar)
Menurut kelompok kami, hal ini merupakan sebuah kasus pelanggaran yang telah dilakukan
oleh sebuah perusahaan terutama dalam aspek pencemaran lingkungan. Jika dilihat dari sisi
masyarakat sekitar, tentu pencemaran ini sangat merugikan bagi kelangsungan hidup mereka,
karena sungai-sungai tempat mereka mencari makan dan beraktivitas kini telah tercemar oleh
limbah perusahaan Texaco inc. Memang perusahaan ini tadinya mempunyai maksud dan
tujuan yang baik yaitu mereka ingin mengembangkan sumber daya alam Ekuador dan
mendorong kolonosasi wilayah ini, tetapi mereka kurang memikirkan secara detail mengenai
aspek-aspek penting yang sekiranya bisa merugikan pihak lain terutama dalam aspek
lingkungan. Pemilihan lokasi penambangan yang baik seharusnya tidak melibatkan pihak
masyarakat. Lapangan pekerjaan yang sekiranya diperuntukkan masyarakat sekitar malah
membuat petaka yang besar terhadap lingkungan tersebut.
Pengolahan sumber daya alam khususnya pengeboran minyak yang dilakukan oleh
perusahaan Texaco Inc kurang memilih peralatan yang baik untuk melakukan pengeboran
tersebut. Pencemaran yang terjadi murni akibat kecerobohan pekerja tambang, peralatan
tambang yang sudah tidak layak pakai, tersebut dan bukan disebabkan oleh bencana alam.
Pencemaran ini membuat kontaminasi terhadap sungai-sungai dan danau di Amazon.
Masyarakat menuntut perusahaan tersebut agar bertanggung jawab terhadap pencemaran
yang dilakukannya tersebut.
Sebuah organisasi san Fransisco mengatakan bahwa produksi tanaman di daerah menjadi
sedikit, invasi tanah masyarakat, banyaknya peleceahan seksual yang dilakukan oleh para
pekerja minyak, dan hilangnya hewan ternak yang diburu oleh pekerja tambang tersebut.
Ekskutif di Fugro-McClelland, melaksanakan audit di Ekuador. Audit dilakukan untuk
mengatasi dampak operasi pada tanah, air, dan udara dan untuk menilai kepatuhan terhadap
undang-undang lingkungan, peraturan, dan praktek yang berlaku umum dalam operasi. Hal
ini diakui secara internasional oleh perusahaan konsultan independen, AGRA bumi &
lingkungan.
Masing-masing secara independen menyimpulkan bahwa Texaco Inc. bertanggung jawab atas
semua kerugian dan menyatakan bahwa tidak ada dampak lingkungan panjang atau signifikan
dari bekas operasi tersebut.
textz o-g:��a �Fa ine-height:150%’>Duncan sebagai mitra AA tidak menghentikan
keputusan yang cacat karena Duncan merasa tidak mampu menolak mitra pengendali kualitas
atas keinginannya sendiri, mungkin Duncan merasa posisi dia dalam kemitraan tersebut tidak
bisa menunjang atau merasa tidak mempunyai hak untuk berpendapat.
top related