pedoman pengkajian fenotip kualitatif
Post on 02-Jul-2015
1.122 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
PEDOMAN PENGKAJIAN FENOTIP KUALITATIF DALAM UNIT PEMBENIHAN IKAN
Oleh: Bruri Melky Laimeheriwa, S.Pi., M.Si
(Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura,
Jl. Mr. Chr. Soplanit – Ambon; email: akbsei@gmail.com ) (Materi dipublikasikan pada website Masyarakat Akuakultur Indonesia
www.aquaculture-mai.org Mulai tanggal 28 Januari sampai dengan 10 Pebruari 2012)
1. Pendahuluan
Dalam suatu unit perbenihan ikan berlangsung suatu proses untuk
menghasilkan benih ikan untuk keperluan akuakultur. Dalam proses tersebut,
benih ikan merupakan hasil perkawinan antara tetua ikan betina (induk) dan
tetua ikan jantan. Pada dasarnya perkawinan itu adalah untuk menentukan
waktu yang paling tepat dalam pembuahan telur oleh spermatozoa (sperma).
Pada proses pembuahan inilah terbentuk pasangan kromosom pada
individu ikan yang baru (keturunannya). Setiap pasang kromosom berasal dari
induk betina dan dari tetua jantan. Jumlah kromosom ikan bervariasi sesuai
spesimennya, demikian pula dengan karyotipnya adalah tetap. Kromosom
berada di dalam inti sel.
Di dalam kromosom tersebut terdapat apa yang biasa disebut gen (genes:
jamak). Satu gen atau suatu set gen berisi cetak biru (blue prints) atau
instruksi-instruksi kimiawi untuk memproduksi suatu potensi tertentu, yang
nantinya akan menghasilkan berbagai fenotipe seperti warna, jenis kelamin,
Jumlah jari-jari sirip, pola sisik, panjang sirip, panjang badan dan sebagainya. Di
dalam ilmu genetik, proses tersebut dapat dikatakan bahwa suatu genotipe
menentukan suatu fenotipe. Yang dimaksud dengan genotipe disini adalah satu
atau lebih gen yang mengendalikan pembentukan fenotipe tertentu.
2
Suatu gen dapat terdiri atas lebih dari satu bentuk. Macam-macam bentuk
tersebut adalah yang biasa sebagai allel. Pada suatu kelompok atau populasi
ikan, satu gen dapat berada dalam satu bentuk saja yang berarti bahwa gen itu
hanya terdiri atas satu allel dalam lokus tertentu (lokus gen) atau dapat juga
satu gen itu terdiri atas beberapa bahkan belasan allel dalam satu lokusnya.
Pada ikan diploid, kromosom selalu dalam bentuk berpasangan. Bila
pasangan allel dalam satu lokus adalah identik, maka dapat dikatakan bahwa
individu ikan itu sebagai homozigot (homo zygous) pada lokus tersebut. Apabila
pasangan atau allel pada lokus tersebut tidak identik maka disebut heterozigot
(hetero zygous) pada lokusnya.
Alasan yang utama perbedaan individu atas homozigot dan heterozigot,
karena bentuk gen yang berbeda (allel) akan menghasilkan bentuk-bentuk yang
berbeda pula protein dari gennya. Umpamanya beragam warna ikan dihasilkan
juga oleh beragam allel yang mengendalikan warna tersebut. Perbedaan-
perbedaan ini bila dipahami dengan baik akan dapat dimanfaatkan untuk suatu
program seleksi dalam hal warna atau bahkan kecepatan tumbuh atau sifat-sifat
lainnya yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Dalam makalah ini hanya akan diuraikan bagaimana pengelola suatu unit
perbenihan dapat mengkaji dan memahami tentang genetik fenotip kualitatif.
Fenotipe kualitatif adalah sifat-sifat yang dikendalikan hanya oleh satu atau
beberapa gen saja, yaitu seperti warna, pola sisik, dan jenis kelamin.
2. Genetika Mengenai Fenotipe Kualitatif
2.1. Gen autozome tunggal
Gambar 1 menunjukkan contoh fenotipe kualitatif yang dikendalikan oleh
gen autozome tunggal. Contoh yang paling umum untuk fenotipe ini adalah
3
warna pada ikan konsumsi atau ikan hias (kecuali ikan koi).
Gambar 1. Contoh Fenotipe Kualitatif yang dikendalikan
oleh gen autosome tunggal
Gambar 1 menunjukkan bahwa gen A mengendalikan warna hitam yang
bersifat dominan lengkap, sedangkan gen (x yang menentukan warna putih
sebagai gen yang positif. Dengan demikian bila ikan dengan genotipe AA
tersebut dikawinkan dengan ikan genotipe aa, keturunnya adalah semua
berwarna hitam dengan genotipe Act (heterozigot).
Pada gen B (genetipe B hitam) yang disini dikatakan sebagai bersifat
dominan tidak lengkap, biia dikawinkan dengan ikan memiliki gen b (genotipe
bb, resesif), maka keturunannya adalah bergenotif Bb yang berwarna agak
hitam (warna hitam Bb lebih lernah dari warna hitam genotipe BB).
Gen C dan gen c' mengendalikan warna hitam dan putih yang bersifat
aditif. Kedua-duanya tidak ada yang dominan, karena itu genetipe Cc'
4
menghasilkan warna baru yang intermediet dari warna hitam dan putih, yaitu
abu-abu, atau warna yang lain dari warna kedua tetuanya.
Gambar 2. Warna pada tipe lain atau pigmen normal dan warna merah ungu
(pink) pada ikan nila (Wile tilapie).
Gambar 2 menunjukkan tentang warna pada tipe lain atau pigmen normal
dan warna merah ungu (pink) pada ikan nila (Wile tilapie). Fenotipe ini
dikendalikan oleh gen autozome tunggal yang bersifat dominan lengkap
(sempurna) yang disini disebutsebagai gen B. Gen B menghasilkan warna
pigmen normal, sedangkan gen b yang resesif mengendalikan warna merah
ungu (pink). Karena gen B bersifat dominan lengkap terhadap gen b, maka
keturunannya yang semua bergenotipe Bb adalah fenotipe pigmen normal.
5
Warna merah MUda hanya akan muncul pada ikan nila homosigot resesif (bb).
Gambar 3. Kejadian warna hitam, hitam kuning (bronze) dan warna keemasan
(golden) pada ikan mujair (Tilepie. mossambica),
Gambar 3 memperlihatkan tentang kejadian warna hitam, hitam kuning
(bronze) dan warna keemasan (golden) pada ikan mujair (Tilepie. mossambica),
Warna ini dikendalikan oleh gen autozome tunggal juga, tapi adalah gen
dominan tidak lengkap yaitu gen G. Karena allel g yang resesif, maka genotype
6
heterosigot (Gg) menghasilkan warna yang tidak seperti genotipe GG yang
berwarna hitam, tetapi warna hitam kekuningan (Gg). Dan genotipe gg (resesif)
menghasilkan fenottipe keemasan.
2.2. Gen Autozome Ganda
Contoh yang paling populer mengenai gen autozome ganda adalah pola
sisik pada ikan mas. Pola sisik ditentukan oleh interaksi epistatis antara gen S
clan gen N. Gen S adalah gen yang menentukan bahwa ikan rnas itu bersisik
penuh (genotipe SS clan genotipe Ss) ataukah bersisik jarang (genotipe ss).
Kemudian keberadaan sisik itu ditentukan juga oleh gen N. Gen N merupakan
gen yang memodifikasi fenotipe bersisik menjadi kurang atau bahkan telanjang
(tanpa sisik sama sekali). Genotipe pola sisik yang mengandung genotipe NN
menyebabkan genotipe yang letal atau kematian pada fase awal (embrio atau
larva), misalnya genotipe SS, NN, Ss NN, ss, NN. Selanjutnya genotipe Nn
merubah fenotipe pola sisik menjadi pola sisik garis yaitu genotipe SS, Nn, Ss,
Nn. Genotipe Nn merubah pola sisik jarang/menyebar (ss, nn) menjadi pola
tanpa sisik sama sekali (nude, leather) yaitu genotipe ss, Nn. Dalam bentuk
gambar untuk genotipe-genotipe tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
7
Gambar 4. Pola sisik pada ikan Mas sebagai contoh gen autosome ganda
2.3. Populasi Ikan Galur Murni (Breeds true)
Yang dimaksud dengan populasi galur murni disini adalah populasi yang
dapat menghasilkan keturunan (offsprings), memiliki karakteristik tertentu yang
mana fenotipe sama seperti induknya, umpamanya dapat dilihat dalam hal
warna atau pola sisik. Dengan bekal pemahaman mengenai fenotipe dan
genotipe maka dapat dibuat suatu program untuk membuat galur murni untuk
fenotipe tertentu. Beberapa contoh dikemukakan berikut ini.
8
(1) Ikan nila merah muda (pink)
Bila pigmen yang terdapat pada populasi ikan nila, terdiri dari yang
berpigmen normal dan yang merah muda (pink), kemudian ingin membuat
populasi yang merah muda semua, maka dapat dilakukan hal-hal berikut. Ikan-
ikan yang berpigmen normal (allel B dominan) disisihkan dari populasi. Ini
berarti semua ikan yang memiliki allel B dikeluarkan dari populasi. Sisanya
adalah ikan yang berwarna merah muda (fenotipe resesif) yaitu ikan-ikan yang
resesif homozigot (bb). Karena itu ikan nila merah muda hasil seleksi tersebut
bila dipijahkan di antara mereka akan memberikan keturunan yang semuanya
berwarna merah muda (pink) (Gambar 5).
9
Gambar 5. Pemilihan Populasi Galur Murni
Cara yang sama dapat dilakukan juga pada ikan warna lain, misalnya
untuk ikan mujair berwarna keemasan (gold mozambique tilapie) atau yang
berpigmen normal (genotipe BB). Dengan demikian populasi galur murni hanya
dapat dibuat dari populasi yang memiliki genotipe homozigot dominan atau
homozigot resesif (Gambar 6) seperti genotipe GG yang berwarna hitam, tetapi
warna hitam kekuningan (Gg) dan genotipe gg (resesif) menghasilkan fenotipe
keemasan.
10
Gambar 6. Populasi galur murni dari genotipe homozigot doninan atau homozigot resesif
Contoh lain adalah untuk ikan mas galur murni pola sisik jarang
(menyebar, mirror, scattered) atau pola sisik penuh (scaled) yang
bergenotipe homozigot (SS, nn, ss, nn) yang dapat dilihat pada gambar 6
dan 7.
11
Gambar 7. Galur murni dari pola sisik jarang
Dengan demikian, ini berarti bahwa fenotipe yang dikendalikan oleh
genotipe yang heterozigot tidak dapat dijadikan sebagai galur murni (cannot
breed true), dapat dilihat pada gambar 8 dan 9.
12
Gambar 8. Pemilihan populasi galur murni dari Genotipe heterozigot
Gambar 9. Pemilihan populasi galur murni dari Genotipe heterozigot
13
3. Genetika Fenotipe Kuantitatif
Yang dimaksud dengan fenotipe kuantitatif adalah fenotipe yang dapat
diukur atau dihitung seperti bobot, panjang, jumlah jari-jari sirip, jumlah
vertebrae dan sebagainya. Fenotipe kuantitatif biasanya dikendalikan oleh
banyak gene (poligenik). Karena itu strategi pengkajian untuk fenotipe
kuantitatif tidak dapat dianalisis secara sederhana seperti fenotipe kualitatif
yang hanya dikendalikan oleh satu atau dua gen.
Fenotipe kuantitatif pada ikan yang penting di antaranya adalah
pertambahan bobot atau kecepatan tumbuh. Fenotipe ini biasanya merupakan
karakter yang menjadi tujuan utama program seleksi atau peuliaan ikan, baik
seleksi individu maupun seleksi famili.
4. Indikator-indikator genetik
Di dalam suatu unit perbenihan yang memperhatikan secara baik kualitas
benih yang dihasilkannya harus memperhatikan beberapa indikator terjadinya
inbreeding.
Indikator-indikator terjadinya inbreeding dalam suatu pembenihan di
antaranya adalah munculnya fenotipe yang resesif dan fenotipe abnormal.
Fenotipe resesif yang muncul karena terjadinya inbreeding diantaranya adalah
warna albino atau putih. Munculnya sejumlah benih yang albino merupakan
indikator telah terjadinya inbreeding yang terus menerus. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas benih, khususnya penurunan
kualitas tumbuh dan melemahnya daya tahan terhadap penyakit atau perubahan
lingkungan. Indikator lain adalah abnormalitas morfologis yang dapat berupa
munculnya sebagian sirip punggung atau sirip lainnya. Kemudian abnormalitas
dapat diukur juga dengan asimetri, artinya adalah bila makin tinggi jumlah
14
individu yang asimetri dalam populasi ikan, maka makin kuat indikasi terjadinya
inbreeding dalam unit pembenihan tersebut.
5. Penutup
Demikianlah pokok-pokok pikiran yang sederhana mengenai strategi
pengkajian genetika dalam unit pembenihan ikan. Kiranya dapat bermanfaat
bagi pengelola atau pihak manajemen dalam mengatasi berbagai permasalahan
genetika yang sering terjadi dalam unit pembenihan ikan.
DAFTAR RUJUKAN
Ayala, F. and J.A. Kiger. 1984. Modern Genetics. The Benjamin
Cummings, Menlo Park. 923 p. (tidak ada)
Falconer, D.S. 1981. Introduction to quantitative genetics. John Wiley and Sons, 438 p. (tidak ada)
King, R.C. and W.D. Stansfield. 2002. A dictionary of genetics. 6th Ed..
Oxford University Press Inc., New York. 530 p.
Ryman, N. and F. Utter (Eds.). 1987. Population genetics anf fishery management. University of Washington Press, Seatlle. 420 p.
(ada)
Stansfield, W.D. 1989. Schum’s outline of genetics. McGraw-Hill, New York. 392 p.
Strickberger, M.W. 1985. Genetics. Macmillan Publisher Co. Inc, New York.
Tave, D. 1993. Genetics for fish hatchery managers. Van Nostrand
Reinhold, New York. 415 p.
top related