penyusunan pola pusluh
Post on 21-Nov-2015
22 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
LAPORAN AKHIR
TIM PENYUSUNAN POLA PENYULUHAN HUKUM
Disusun oleh Tim Dibawah Pimpinan
S R I B A D I N I, S.H., M.H.
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA R.I
JAKARTA, 2005
-
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................... 1
B. Identifikasi Masalah.............. 5
C. Maksud Dan Tujuan................. 6
D. Metode Kerja...................... 6
E. Tahap Pelaksanaan................. 6
F. Jangka Waktu Pelaksanaan.......... 7
G. Personalia Tim.................... 7
H. Jadwal Pelaksanaan................ 8
BAB II : TINJAUAN UMUM
A. Sejarah Penyuluhan Hukum.......... 9
B. Metode Penyuluhan Hukum........... 22
C. Metode Pendekatan................. 22
D. Tata Laksana...................... 24
BAB III : PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.... 25
BAB IV : PENUTUP ....................... 41
LAMPIRAN
-
- RANCANGAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAM RI
TENTANG PENYULUHAN HUKUM
- NOTA KESEPAKATAN ANTARA MENTERI HUKUM DAN HAM RI
DENGAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PELAKSANAAN
KEGIATAN PENYULUHAN HUKUM DAN PEMBINAAN PROGRAM
LEGISLASI DAERAH
-
KATA PENGANTAR
Sesuai penugasan Tim Penyusunan Pola Penyuluhan
Hukum yang tercantum di dalam Keputusan Menteri Hukum
dan HAM RI Nomor Nomor: G.44-PR.09.03 Tahun 2004
Tanggal 21 Pebruari 2005 telah dilakukan penyusunan
Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang
Pola Penyuluhan Hukum.
Upaya Penyusunan Rancangan Peraturan Menteri
Hukum dan HAM RI ini merupakan upaya yang kesekian
kali sejak diprogramkan pembuatan Pola Penyuluhan
Hukum dengan bentuk Peraturan Menteri tahun 2002.
Berbagai kendala dialami Tim Penyusunan Pola antara
lain Peraturan Perundang-undangan yaitu Undang-undang
Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang diacu sebagai cantolan pola
yang akan dibuat menggunakan istilah lain dari istilah
penyuluhan hukum. Kemudian Peraturan Presiden yang
merupakan Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor
10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan tak kunjung keluar. Namun dengan kendala-
kendala itu upaya penyempurnaan pola tetap dilakukan.
-
Baru pada tahun 2005 ini setelah melalui
pembahasan dan diskusi melalui 4 kali rapat Tim,
Forum konsultasi dengan Kepala Kantor Wilayah dan
Kepala Divisi Pelayanan Hukum Departemen Hukum dan HAM
RI seluruh Indonesia, serta konsinyasi Tim Penyusunan
Pola, Tim telah dapat menyelesaikan konsep
Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang
Pola Penyuluhan Hukum dan konsep MOU antara Menteri
Hukum dan HAM RI dengan Menteri Dalam Negeri.
Laporan ini merupakan hasil akhir pembahasan dan
diskusi dalam acara dimaksud diatas dari seluruh
personil Tim, yang masih harus ditindaklanjuti, yaitu
konsep Rancangan Menteri segera akan dikirim kepada
Menteri Hukum dan Ham RI untuk dimintakan persetujuan
dan konsep MOU akan ditindaklanjuti dengan mengundang
pihak Departemen dalam Negeri untuk membahas MOU
dimaksud.
Jakarta, 21 Desember 2005
Ketua Tim
SRI BADINI, SH.,MH.
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai tahun 2005 penyuluhan hukum masih
berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor:
M.05-PR.08.10 tahun 1988 tentang Pola Pemantapan
Penyuluhan Hukum. Peraturan menteri ini merupakan
pelaksanaan TAP MPR No. IV tahun 1988 yang berkaitan
dengan penyuluhan hukum, berbunyi : Penyuluhan hukum
perlu dimantapkan untuk mencapai kadar kesadaran hukum
yang tinggi dalam masyarakat, sehingga setiap anggota
masyarakat menyadari dan menghayati hak dan
kewajibannya sebagai warga negara dalam rangka
tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman
dan kepastian hukum serta terbentuknya perilaku setiap
warga negara Indonesia yang taat hukum.
Sebagaimana diketahui bahwa TAP MPR yang
berkaitan dengan GBHN hanya berlaku 5 tahun, dengan
demikian Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.05-
PR.08.10 tahun 1988 tentang Pola Pemantapan Penyuluhan
Hukum seharusnya hanya berlaku sampai tahun 1993, dan
-
selanjutnya harus diganti dengan pola baru berdasarkan
arahan GBHN berikutnya setiap 5 tahun. TAP.MPR
mengenai GBHN berikutnya yaitu tahun 1993, tahun 1998,
tahun 1999 dan bahkan sampai munculnya arahan mengenai
penyuluhan hukum dalam PERPRES nomor 7 tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Tahun 2004/2009, belum diikuti Pola Penyuluhan Hukum
yang baru. Jadi selama 12 tahun dari tahun 1993 sampai
tahun 2005 belum mempunyai pedoman penyuluhan hukum
yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Inilah
kondisi yang merupakan kendala yang sangat urgen .
Kondisi seperti tersebut diatas menimbulkan suatu
pemikiran baru dimulai tahun 2002, yang pertama,
mengapa Pola Penyuluhan Hukum mendasarkan dari
peraturan perundang-undangan dari UUD dan Tap MPR
(GBHN) kemudian dijabarkan dengan produk-produk
Peraturan Menteri. Idealnya tentunya diatur dengan
undang-undang atau setidak-tidaknya dengan Perpres.
Yang kedua, program penyuluhan hukum dapat
dikatakan berskala nasional yang melibatkan berbagai
komponen yang ada seperti berbagai Departemen, Lembaga
Pemerintah Non Departemen, Organisasi Kemasyarakatan,
Perguruan Tinggi dan lain-lain sudah seyogyanya diatur
-
dengan peraturan-peraturan yang tingkatannya lebih
tinggi.
Pemikiran-pemikiran tersebut kemudian diambil
langkah-langkah konkrit, pada tahun 2002 pada acara
bimbingan teknis yang pesertanya terdiri dari para
Kepala Bidang Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan
Hak Asassi Manusia dan Kepala Bagian Hukum Pemda di
seluruh Indonesia, diadakan konsultasi mengenai pola
penyuluhan hukum yang telah ada. Dari konsultasi
tersebut diperoleh suatu rekomendasi dari para peserta
agar dibentuk pola penyuluhan hukum dengan peraturan
perundang-undangan setingkat undang-undang atau
serendah-rendahnya dengan Keppres. Langkah selanjutnya
pada acara temu konsultasi yang diadakan BPHN pada
bulan Mei 2003 di Bogor (Hotel Safari) yang
pesertanya terdiri dari Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman dan HAM seluruh Indonesia, salah
satu rekomendasinya adalah juga pembentukan Pola
Penyuluhan Hukum dengan Undang-undang atau Keppres.
Langkah-langkah tersebut diikuti dengan pembentukan
tim pola penyuluhan hukum yang anggotanya terdiri dari
Kepala Pusat dilingkungan BPHN ditambah seorang pakar
dari perguruan tinggi. Langkah-langkah pembentukan tim
tersebut ditingkatkan lebih konkrit pada bulan
-
Desember tahun 2003 dilakukan konsultasi kembali
dengan anggota yang sama ditambah dengan mantan
pejabat Pusat Penyuluhan Hukum, Pejabat dari Ditjen
Peraturan perundang-undangan dan seorang pakar
peraturan perundang-undangan. Hasilnya sangat konkrit
diperoleh suatu rancangan Keppres Penyuluhan Hukum.
Pada tahun 2004 pada saat konsep KEPPRES telah
jadi, muncul Undang-undang Nomor 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( UU
P.3 ) yang dalam salah satu pasalnya mengisyaratkan
adanya suatu arahan tentang penyuluhan hukum yang
lebih lanjut akan diatur dalam PERPRES tentang
Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan
Perundang-undangan. Dalam menyikapi hal tersebut BPHN
telah membentuk Tim yang akan bekerja menyusun kembali
pola penyuluhan hukum dengan bentuk Peraturan Menteri
dengan mendasarkan pada kedua peraturan perundang-
undangan yang ada.
Karena itu Peraturan Menteri Kehakiman R.I Nomor:
M.05-PR.07.08 Tahun 1988 Tentang Pola Pemantapan
Penyuluhan Hukum perlu disempurnakan / diganti
disesuaikan dengan 2 (dua) peraturan perundang-
undangan tersebut diatas, disertai dengan Petunjuk
Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis.
-
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut
diatas, maka terdapat permasalahan-permasalahan
yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Tidak adanya pedoman penyuluhan hukum sebagai
pelaksanaan Undang-undang Nomor 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
2. Pola pemantapan Penyuluhan Hukum sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia Nomor : M.05-PR.07.08 Tahun
1988 sudah tertinggal dari perkembangan
masyarakat.
3. Instruksi-instruksi Menteri Kehakiman Republik
Indonesia yang memuat materi Penyuluhan Hukum
status hukumnya terlalu rendah.
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Dengan adanya Pedoman Penyuluhan Hukum yang telah
sesuai dengan perkembangan masyarakat, maka
pelaksanaan kegiatan penyuluhan hukum lebih efektif
sehingga tujuan penyuluhan hukum untuk menciptakan
-
kesadaran hukum dan mengembangkan budaya hukum dalam
kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum
akan tercapai.
D. METODE KERJA
1. Pertemuan tim untuk mendapatkan gagasan-
gagasan dan membicarakannya dalam rangka
perumusan Pedoman Penyuluhan Hukum.
2. Pertemuan tim untuk merumuskan materi muatan
Pedoman Penyuluhan Hukum secara sistematis.
E. TAHAP PELAKSANAAN
Tahap 1 : Pembuatan Proposal
Tahap 2 : Pemandangan Umum
Tahap 3 : Perumusan Materi Muatan
Tahap 4 : Pengetikan
Tahap 5 : Pengkoreksian
Tahap 6 : Penyusunan Laporan Akhir.
F. JANGKA WAKTU PELAKSANAAN
Penyusunan Pedoman Penyuluhan Hukum dilaksanakan
dalam jangka waktu satu tahun dari tanggal 2 Januari
sampai dengan 31 Desember 2005.
G. PERSONALIA TIM
-
Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia R.I. Nomor:G-44-PR.09.03 Tahun 2005 tentang
Pembentukan Tim Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum Tahun
Anggaran 2005 tanggal 21 Pebruari 2005 , personalia
tim terdiri dari :
Ketua : SRI BADINI, S.H., M.H.
Sekretaris: PUJIONO TRI WALUYO, S.H., M.H.
Anggota :
1. L. SUMARTINI, S.H.
2. SRI HARININGSIH, S.H., M.H.
3. ADJAB KHAN, S.H.
4. ANIES SHAHAB, S.H.
5. RR. YULIAWIRANTI, S.H., C.N.
Asisten : 1. ELIS WIDYANINGSIH, S.H., C.N.
2. IVO HETTY NOVITA, S.H.
Pengetik : 1. SUKARI
2. SUDARYADI,S.Ag.
I. Jadwal Pelaksanaan
No Waktu Kegiatan
APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOV DES
1 Penyusunan Proposal 2 Pengumpulan Bahan 3 Pembahasan 4 Penyusunan Lap Akhir 5 Penggandaan
-
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. SEJARAH PENYULUHAN HUKUM
Kegiatan penyuluhan hukum berlandaskan pada
Undang-Undang Dasar 1945 dan mengikuti arahan yang
ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) setiap tahun. Penjelasan Undang-Undang Dasar
1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas
hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (machtstaat). Pernyataan ini merupakan
kesepakatan bangsa Indonesia melalui wakilnya yaitu
pembuat Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945.
Sudah pasti bahwa pernyataan tersebut bukan
dimaksudkan sekedar sebagai slogan atau semboyan
tertulis belaka, tetapi merupakan suatu kebulatan
tekad yang harus diwujudkan menjadi kenyataan. Guna
-
mewujudkan pernyataan tersebut, pasal-pasal Undang-
Undang Dasar 1945 telah memberikan ketentuan-ketentuan
yang harus diterapkan, salah satu yang terpenting dan
ada hubungannya dengan penyuluhan hukum adalah pasal
27 ayat 1 yang menyatakan :
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
Ketentuan tersebut dengan tegas menetapkan tentang hak
dan kewajiban terpenting bagi semua warga negara tanpa
kecuali dalam negara hukum Indonesia yaitu :
- Hak bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan
- Kewajiban menjunjung Hukum dan Pemerintahan.
Dari ketentuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak negara kita merdeka, mengatur negara dan pemerintahan sendiri, bukan hanya diperlukan adanya jaminan terhadap hak kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan saja, akan tetapi harus disertai dengan kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa kecuali bagi semua anggota masyarakat.
Kata menjunjung mengandung arti yang luas
yaitu meliputi menghormati, menjadikan sebagai pedoman
bertingkah laku, melaksanakan, mematuhi dan mentaati
sungguh-sungguh. Menjunjung hukum sangat erat
kaitannya dengan kesadaran hukum, bahkan boleh
-
dikatakan bahwa kesadaran hukumlah yang mendorong
seseorang itu untuk menjunjung hukum.
Sementara itu, Garis-garis Besar Haluan Negara
Tahun 1973 menyatakan perlunya memupuk kesadaran hukum
dalam masyarakat. Arahan ini rupanya belum dapat
menggerakkan suatu usaha nyata untuk melaksanakan
pemupukan kesadaran hukum. Lima tahun kemudian Garis-
garis Besar Haluan Negara Tahun 1978 menyatakan
perlunya meningkatkan kesadaran hukum dalam
masyarakat, sehingga menghayati hak dan kewajiban,
diiringi suatu rumusan Asas Kesadaran Hukum yang
menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia harus
selalu sadar dan taat kepada hukum dan mewajibkan
negara untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum.
Asas Kesadaran Hukum tersebut yang merupakan salah
satu Asas Pembangunan Nasional, telah memperkokoh
ketentuan pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
yang berarti bahwa setiap gerak langkah dalam
pembangunan di Indonesia harus ditopang oleh asas
kesadaran hukum disamping asas pembangunan nasional
lainnya. Berdasarkan arahan Garis-garis Besar Haluan
Negara Tahun 1978 tersebut, maka pemerintah dalam hal
ini Departemen Kehakiman yang sekarang menjadi
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mulai merintis
-
usaha untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
dengan cara melaksanakan penyuluhan hukum pada tahun
1981. Kegiatan penyuluhan hukum ini merupakan bagian
dari Badan Pembinaan Hukum Nasional dan bulan Maret
1982 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman bekerjasama dengan Universitas Sebelas Maret
di Surakarta menyelenggarakan suatu Lokakarya
penyuluhan hukum membahas sebuah konsep Pola Dasar
Penyuluhan Hukum.
Pada tahun 1982 di Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM dibentuk wadah baru yaitu Pusat Penyuluhan Hukum ( berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 27 Tahun 1981) yang bertugas untuk merencanakan, mengelola dan melaksanakan penyuluhan hukum. Selanjutnya Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 menyatakan perlu meningkatkan penyuluhan hukum untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat, sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam rangka tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat, manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai Undang-undang Dasar 1945.
Dari arahan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 tersebut, dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Tujuan penyuluhan hukum adalah mencapai kadar kesadaran hukum yang
tinggi dalam masyarakat; 2. Tercipta kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat apabila setiap
anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara;
3. Pencapaian kadar kesadaran hukum yang tinggi itu adalah dalam rangka tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, serta kepastian hukum sesuai Undang-undang Dasar 1945. Dengan adanya arahan tersebut, bukan saja tujuan penyuluhan hukum
akan tetapi juga fungsi dan peranan penyuluhan hukum manjadi lebih jelas. Arahan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 itu telah mendorong peningkatan kegiatan penyuluhan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, dan peningkatan kegiatan penyuluhan hukum tersebut adalah semata-mata menjadi tugas Departemen Hukum dan HAM saja akan tetapi merupakan tugas instansi pemerintah lainnya dan seluruh anggota masyarakat termasuk organisasi - organisasi kemasyarakatannya, yang dilakukan dengan penuh semangat.
-
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.05-PR.07.10 Tahun 1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman, Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional dipindahkan ke Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan menjadi Direktorat Penyuluhan Hukum yang telah ditimbang terimakan pada tanggal 11 Juni 1984.
Meskipun Pusat Penyuluhan Hukum berubah nama menjadi Direktorat Penyuluhan Hukum, tetapi kegiatan penyuluhan hukum terus di tingkatkan pada tahap-tahap Pelita berikutnya, baik secara langsung yang melibatkan Departemen Kehakiman, Kejaksaan Agung, Jajaran ABRI, Kepolisian dan Perguruan Tinggi serta organisasi kemasyarakatan maupun secara tidak langsung melalui wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga dalam kurun waktu lima tahun kemudian perlu dimantapkan. Pengesahan pernyataan perlunya penyuluhan hukum itu dimantapkan dituangkan dalam Garis-garis Besar haluan Negara Tahun 1988 yang menyatakan bahwa penyuluhan hukum perlu dimantapkan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat, sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam rangka tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum serta terbentuknya perilaku setiap warga negara Indonesia yang taat pada hukum.
Dengan adanya pengarahan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1988, maka metode penyuluhan hukum yang tertuang dalam Pola Dasar Penyuluhan Hukum (Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.06.02 Tahun 1983) dan Pola Operasional Penyuluhan Hukum ( Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.10-UM.06.02 Tahun 1983) serta beberapa keputusan lainnya disesuaikan agar kegiatan penyuluhan hukum dapat dilaksanakan secara terpadu dengan berbagai pihak, baik instansi pemerintah maupun swasta dan perorangan.
Sebagai langkah penyesuaian itu, dirintislah pencanangan Pembentukan Keluarga Sadar Hukum (KADARKUM) pada tanggal 1 Agustus 1988, sebagai wadah untuk menghimpun anggota masyarakat. Dengan adanya pencanangan ini dimaksudkan untuk memudahkan sistem pengawasan dan pelaporan. PUSKUMNAS dihapus, begitu juga Program Hakim masuk desa yang berakhir pada tahun anggaran 1989/1990, agar hakim dapat lebih memusatkan perhatiannya pada tugas yudisiil.
Kemudian sebagai realisasi Pembentukan Keluarga Sadar Hukum ( Kadarkum ), Menteri Kehakiman RI pada Tanggal 6 Agustus 1988 mengeluarkan : 1. Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-PR.08.10 Tahun 1988 tentang
Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum;
2. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-PR.07.08 tahun 1988 tentang
Pembentukan dan Pembinaan Keluarga Sadar Hukum ( KADARKUM).
-
Peraturan dan Keputusan Menteri Kehakiman RI tersebut dijadikan pedoman atau landasan bagi kegiatan penyuluhan hukum dan Program Keluarga Sadar Hukum di seluruh Indonesia.
Pembinaan Keluarga Sadar Hukum dilaksanakan dengan Temu Sadar Hukum yang telah dilakukan di beberapa desa dan kota seluruh Indonesia dan menunjukan hasil yang baik sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum, maka kemudian Temu Sadar Hukum ini pelaksanaannya dianggap perlu untuk dimantapkan. Pemantapan pelaksanaan Temu Sadar Hukum tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04-UM.06.02 Tahun 1990 tanggal 13 Februari 1990.
Dengan pemantapan penyuluhan hukum sebagaimana diarahkan Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1988, kadar kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat, masyarakat menjadi kritis dan tanggap terhadap sesuatu yang ada hubungannya dengan hukum terutama mengenai hak dan kewajibannya. Lima tahun kemudian Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1993 mengarahkan bahwa kemampuan penyuluhan hukum dan keteladanan aparat hukum terus ditingkatkan agar tercapai kemantapan kadar kesadaran hukum masyarakat sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati secara serasi hak dan kewajibannya sebagai warga negara, serta terbentuknya perilaku warga negara Indonesia yang taat hukum . Selain itu dirumuskan pula asas hukum sebagai salah satu dari 9 (sembilan) asas Pembangunan Nasional yang menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan Pembangunan Nasional setiap warga negara harus taat pada hukum yang berintikan keadilan, serta negara diwajibkan untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum.
Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1993 menyebutkan pula bahwa sasaran akhir pembangunan hukum dalam pembangunan jangka panjang tahap kedua adalah terwujudnya dan berfungsinya sistem hukum nasional secara mantap. Sehubungan dengan itu Menteri Kehakiman RI dalam kebijaksanaan perencanaan dan pembangunan hukum sebagai implementasi Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1993 dan antisipasi Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1998, antara lain menyatakan bahwa peningkatan penyuluhan hukum, kesadaran hukum masyarakat dan aparatur pemerintah, pembinaan wawasan kebangsaan dan P4 sebagai upaya pembinaan budaya hukum nasional.
Dalam perkembangannya selanjutnya dalam hal penyelenggaraan ketatanegaraan terjadi reformasi dengan diganti kannya pemerintahan orde baru pada tahun 1998, secara relatif mendorong berbagai perubahan, yang pada hakekatnya ingin menegakkan sistem demokrasi dengan baik dinegara kita.
Penyelenggaraan ketatanegaraan dalam era reformasi berlanjut dan kemudian diselenggarakan Sidang Istimewa Majelis Permuyawaratan Rakyat pada Tahun 1998 dan Pemilihan Umum Tahun 1999. Sidang Umum Majelis Permuyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum Tahun 1999 antara lain menghasilkan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, yang memberi arah bangsa dan negara Indonesia menuju Indonesia baru.
-
Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara ini disebutkan antara lain yang berkaitan dengan penyuluhan hukum di Bab IV , Arah Kebijakan yang dapat dikutip sebagai berikut : 1. Mengembangkan budaya hukum disemua lapisan masyarakat untuk
terciptanya kesadaran hukum dan kepatuhan hukum dan tegaknya negara
hukum.
2. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan
perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia dalam
seluruh aspek kehidupan.
Selanjutnya disebutkan pula tentang menata sistem hukum nasional, menegakkan hukum secara konsisten, melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun, mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan ekonomi, menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka serta bebas Kolusi Korupsi dan Nepotisme dan menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, yang belum ditangani secara tuntas.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas Menteri Kehakiman mengadakan penataan kembali fungsi-fungsi Departemen yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.03-PR.07.10 Tahun 1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman, tanggal 26 Maret 1999, dimana Direktorat Penyuluhan Hukum dikembalikan lagi ke Badan Pembinaan Hukum Nasional menjadi Pusat Penyuluhan Hukum, yang sejak bulan Juni 1999 sudah pindah ke Badan Pembinaan Hukum Nasional dan mulai aktif melaksanakan kegiatan penyuluhan hukum.
Kurang lebih setahun kemudian nama Departemen Kehakiman diganti menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Untuk menyesuaikan dengan nama Departemen Baru tersebut, maka Menteri Hukum dan Perundang-undangan mengeluarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.03-PR.07.10 Tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan Perundang-undangan, tanggal 5 April 2000 dan Pusat Penyuluhan Hukum masih tetap berada di Badan Pembinaan Hukum Nasional. Perubahan nomenklatur selanjutnya bahwa Departemen Hukum dan Perundang-undangan diganti kembali menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan sekarang dimasa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono kembali berganti nama menjadi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta pola yang menjadi pedoman pelaksanaan penyuluhan hukum ialah Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum (Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-PR.07.08 Tahun 1988) dan peraturan-peraturan lainnya yang merupakan
-
pengembangan dari Peraturan dan Keputusan tersebut diatas seperti yang mengatur tentang Kadarkum Binaan, Desa Binaan, Lomba Kadarkum, Ceramah Penyuluhan Hukum Terpadu dan Desa Sadar Hukum.
B. METODE PENYULUHAN HUKUM
Pelaksanaan penyuluhan hukum dapat dilaksanakan dengan berbagai cara atau metoda. Secara garis besar metoda penyuluhan hukum terbagi dua (2) yaitu :
1. Penyuluhan Hukum Langsung adalah kegiatan penyuluhan hukum yang
dilaksanakan secara langsung (penyuluh dan yang disuluh bertemu langsung dapat
berdialog), metoda yang digunakan antara lain : ceramah, diskusi, sarasehan, temu
wicara, peragaan, simulasi dan lain sebagainya.
2. Penyuluhan Hukum Tidak Langsung adalah kegiatan
penyuluhan hukum yang dilakukan secara tidak langsung
yaitu penyuluh tidak berhadapan dengan yang disuluh
melainkan melalui media atau perantara, misalnya melalui
radio, televisi, video, pentas panggung, bahan bacaan dan
lain sebagainya.
C. METODE PENDEKATAN
Sehubungan dengan beragamnya masyarakat yang
harus disuluh, pelaksanaan penyuluhan hukum yang
dilaksanakan selama ini menggunakan metode pendekatan
yang disebut PEKA. Istilah pendekatan ini telah
mempunyai definisi otentik dalam Peraturan Menteri
Nomor. M.05-PR.08.10 Tahun 1988 yang mendefinisikan
PEKA sebagai berikut:
-
- Persuasif artinya bahwa penyuluh hukum dalam
melaksanakan tugasnya harus mampu meyakinkan
masyarakat yang disuluh, sehingga mereka merasa
tertarik dan menaruh perhatian serta minat terhadap
hal-hal yang disampaikan oleh penyuluh.
- Edukatif artinya bahwa penyuluh harus bersikap dan
bertingkah laku sebagai pendidik yang dengan penuh
kesabaran dan ketekunan membimbing masyarakat ke
arah tujuan .
- Komunikatif artinya bahwa penyuluh hukum harus mampu
berkomunikasi dan menciptakan iklim serta suasana
sedemikian rupa sehingga tercipta suatu pembicaraan
yang bersikap akrab, terbuka dan timbal balik.
- Akomodatif artinya bahwa dengan diajukannya
permasalahan-permasalahan hukum oleh masyarakat,
penyuluh hukum harus mampu mengakomodasikan,
menampung dan memberikan jalan pemecahannya dengan
bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami oleh
masyarakat.
D. TATA LAKSANA
Tata laksana penyuluhan hukum meliputi
perencanaan, pelaksanaan, laporan dan evaluasi. Adapun
-
pembagian tugas mengenai tata laksana adalah sebagai
berikut :
1. Perencanaan berupa penyusunan program tahunan
dilakukan oleh:
a. Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
untuk program kegiatan penyuluhan hukum
nasional;
b. Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia untuk program kegiatan penyuluhan hukum
di Propinsi dan Kabupaten/Kota;
2. Pelaksanaan Penyuluhan Hukum
a. Pelaksanaan penyuluhan hukum secara nasional dilakukan oleh Pusat
Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia bekerjasama dengan Lembaga Pemerintah, Organisasi
Kemasyarakatan, Organisasi Profesi dan Lembaga Swasta di tingkat Pusat.
Pelaksanaan penyuluhan hukum di Daerah Propinsi dilakukan oleh Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bekerjasama dengan
Lembaga Pemerintah di Daerah Propinsi (Pengadilan Tinggi, Pengadilan
Tinggi Agama, Kantor Pemerintah Daerah Propinsi, Kejaksanaan Tinggi dan
lain-lain) dan Organisasi Kemasyarakatan, Organisasi Profesi serta
Lembaga Swasta.
b. Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia melaporkan
pelaksanaan kegiatan penyuluhan hukum dengan pertanggung jawaban
keuangan yang dibuat oleh Pemimpin Proyek Penyuluhan Hukum pada Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Kepala Pusat
-
Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia untuk tiap triwulan dan satu tahun anggaran.
Kepala Pusat Penyuluhan Hukum melaporkan pelaksanaan kegiatan
penyuluhan hukum beserta pertanggungjawaban keuangannya yang dibuat
oleh Pemimpin Proyek Penyuluhan Hukum pada Pusat Penyuluhan Hukum
kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional tiap triwulan dan satu
tahun anggaran.
Sedang laporan administrasi proyek tetap dibuat oleh Pemimpin Proyek
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c. Setiap akhir tahun anggaran Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia membuat evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan dan
pencapaian tujuan penyuluhan hukum untuk bersama laporan tahunan
dikirim kepada Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian Kepala Pusat
Penyuluhan Hukum membuat evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan dan
pencapaian tujuan penyuluhan hukum bersama laporan tahunan disampaikan
kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional.
-
BAB III
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan perundang-undangan nasional yang
mengatur penyuluhan hukum cukup banyak namun tersebar.
Dari berbagai ketentuan tersebut khususnya yang
mengatur pelaksanaan penyuluhan hukum pada Departemen
Kehakiman (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia)
tidak ada ketentuan setingkat Undang-undang, sebagian
terbesar setingkat dengan peraturan/keputusan menteri
bahkan yang lebih rendah dari itu misalnya berupa
instruksi menteri.
Berikut ini berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang penyuluhan hukum berdasarkan kronologis dan hierarkhis: 1. Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa "segala
warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya"
sebagai pelengkap penjelasan UUD 1945 menyatakan
lebih lanjut bahwa "negara Indonesia berdasar
atas hukum (rechstaat) dan tidak berdasar atas
kekuasaan belaka (Machtstaat)". Dengan ketentuan
tersebut jelas bahwa setiap warga mempunyai
-
kedudukan yang sama di depan hukum dan untuk
membuat hal tersebut, maka kewajiban semua pihak
terutama pemerintah untuk menciptakan upaya agar
rakyat sadar akan hak dan kewajibannya.
2. Tap MPR Nomor.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN).
GBHN menyatakan bahwa arah kebijakan bidang hukum adalah
mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya
kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya
negara hukum. Adanya arahan GBHN yang menginginkan tumbuhnya budaya hukum
dalam masyarakat, salah satunya melalui penyuluhan hukum. Oleh karena itu
peranan penyuluhan hukum dalam mewujudkan hal tersebut sangat besar dan
penting.
3. Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-PR.08.10 Tahun 1988 tentang
Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum.
Dalam peraturan menteri ini diatur berbagai
ketentuan mengenai penyuluhan hukum pada Pusat
Penyuluhan Hukum Departemen Kehakiman sejak
tenaga penyuluh hukum, tata laksana, metoda
penyuluhan hukum dan lain sebagainya.
4. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-PR.07.08 Tahun 1988 tentang
Pembentukan dan Pembinaan Keluarga Sadar Hukum.
-
Keputusan menteri ini mengatur mengenai cara
bagaimana keluarga sadar hukum dibentuk dan
siapa-siapa saja yang dapat membentuk keluarga
sadar hukum (KADARKUM). KADARKUM merupakan wadah
bagi anggota masyarakat yang dengan kemauan
sendiri berusaha untuk meningkatkan kesadaran
akan hak dan kewajibannya di bidang hukum. Awal
pencanangan KADARKUM dilaksanakan pada tanggal 1
Agustus 1988.
5. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04-UM.06.02 Tahun 1990 tentang
Pemantapan Pelaksanaan Temu Sadar Hukum.
Pembinaan KADARKUM dilaksanakan melalui Temu
Sadar Hukum yang sebelumnya telah dilakukan baik
di beberapa daerah. Untuk pemantapan temu sadar
hukum yang ada maka dibuatlah Keputusan Menteri
Kehakiman tersebut.
6. Instruksi Menteri Kehakiman RI Nomor M.04-PR.07.08 Tahun 1994 tentang
Kadarkum Binaan.
Sebagai bagian dari pembinaan kadarkum, maka
dibentuk kadarkum binaan yang anggotanya dipilih
dari orang-orang yang telah mengikuti kadarkum
-
dengan tujuan membina atau menjadi motor bagi
pembinaan kadarkum yang ada di daerah tersebut.
7. Instruksi Menteri Kehakiman RI Nomor M.05.07.08 Tahun 1994 tentang
Pembinaan Desa Sadar Hukum.
Sebagai ukuran keberhasilan pelaksanaan
penyuluhan hukum adalah diakuinya suatu desa
sebagai Desa Sadar Hukum. Dalam Instruksi Menteri
tersebut ditetapkan kriteria-kriteria suatu desa
diakui sebagai desa sadar hukum yaitu :
a) Pelunasan kewajiban membayar Pajak Bumi dan
Bangunan mencapai 90 % (sembilan puluh persen)
atau lebih;
b) Tidak terdapatnya perkawinan di bawah usia
berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan;
c) Tidak adanya tindak pidana kriminalitas.
8. Instruksi Menteri Kehakiman RI Nomor M.16-UM.06.01 Tahun 1994 tentang
Ceramah Penyuluhan Hukum Terpadu.
Pelaksanaan penyuluhan hukum pada Departemen
Kehakiman dilakukan bukan hanya oleh
Pusat/Direktorat Penyuluhan Hukum, akan tetapi
-
dilaksanakan pula oleh Kantor Wilayah Departemen
Kehakiman di daerah, agar tercipta keterpaduan
dalam pelaksanaan penyuluhan hukum di pusat dan
daerah maka intruksi tersebut dibuat.
9. Instruksi Menteri Kehakiman RI Nomor M.34-UM.06.02 Tahun 1994 tentang
Lomba Kadarkum.
Sebagai rangsangan agar kadarkum yang ada di
berbagai pelosok daerah terus meningkatkan
pengetahuannya dibidang hukum, maka
dilaksanakanlah lomba kadarkum. Pelaksanaan lomba
kadarkum dimulai sejak tingkat kecamatan yang
diikuti oleh kadarkum desa hingga lomba kadarkum
tingkat nasional.
10. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.03-PR.07.10 Tahun 1999 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman RI.
Salah satu ketentuan keputusan menteri
tersebut adalah mengembalikan Pusat Penyuluhan
Hukum dari Direktorat Jenderal Hukum dan
Perundang-undangan ke Badan Pembinaan Hukum
Nasional.
-
11. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.03-PR.07.10
Tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan Perundang-
Undangan tanggal 5-4-2000.
Melalui keputusan menteri tersebut keberadaan Pusat Penyuluhan Hukum
pada Badan Pembinaan Hukum Nasional tetap dipertahankan sehingga Keputusan
Menteri Kehakiman Nomor. M.04-PR.07.10 Tahun 2004 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Selama keberadaan Pusat Penyuluhan Hukum di Badan
Pembinaan Hukum Nasional, terus dilakukan
penyempurnaan peraturan Perundang-undangan yang
mengatur tentang penyuluhan hukum. Fokus perubahan
peraturan perundang-undangan dimaksud adalah yang
mengatur tentang pola penyuluhan hukum. Harapan dari
Tim Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum adalah adanya
pola penyuluhan hukum dengan produk peraturan diatas
peraturan Menteri. Setelah melalui beberapa kali
perubahan dalam beberapa tahun anggaran, pada tahun
2004 Tim Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI
telah selesai menyusun pola penyuluhan hukum dengan
bentuk Rancangan Peraturan Presiden dan Rancangan
-
Peraturan Menteri. Pada tahun 2004 juga Rancangan
Peraturan Presiden diajukan ke Sekretariat Negara.
Ternyata konsep rancangan Peraturan Presiden
tersebut ditolak dan usaha-usaha pembuatan Peraturan
Presiden dihentikan, tinggal konsep Rancangan
Peraturan Menteri tentang penyuluhan hukum.
Menginjak tahun 2005 konsep Rancangan Peraturan
Menteri kembali beberapa kali disempurnakan.
Penyempurnaan ini mengacu pada Undang-undang Nomor 10
tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Dalam penyempurnaan ini Tim menghadapi
kendala-kendala, yaitu :
1. Mengenai peristilahan pasal yang diacu dalam
Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 digunakan
istilah penyebarluasan Peraturan Perundang-
undangan, sedangkan konsep pola yang dibuat Tim
menggunakan istilah penyuluhan hukum ;
2. Pada waktu penyusunan konsep Rancangan
Peraturan Menteri, Peraturan Presiden yang
merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang
Nomor 10 tahun 2004 belum keluar.
Walaupun menghadapi kendala-kendala itu, Tim
Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum yang terdiri dari
-
unsur BPHN, Pakar Peraturan Perundang-undangan dan
dari Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan,
terus berupaya menyempurnakan konsep Rancangan
Peraturan Menteri tersebut. Dalam tahun 2005, kegiatan
penyempurnaan pola penyuluhan hukum dimaksud melalui
4 kali rapat /pertemuan Tim Penyusunan Pola
Penyuluhan Hukum, 1 kali temu konsultasi dengan
Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Divisi Pelayanan
Hukum Dep. Hukum dan HAM RI seluruh Indonesia, dan 1
kali konsinyasi Tim Pola Penyuluhan Hukum ditambah
Pakar dan Kepala-kepala Pusat dilingkungan Badan
Pembinaan Hukum Nasional. Kegiatan-kegiatan
penyempurnaan pola penyuluhan hukum dimaksud secara
kronologis adalah sebagai berikut :
I. Rapat I (pertama) Tim Penyusunan Pola
Penyuluhan Hukum, diadakan pada hari Senin 11
April 2005 diruang rapat H Lantai IV BPHN
dimulai pukul 10.00 sampai dengan 12.00 Wib.
Dalam rapat diputuskan :
1) Bahwa setelah keluarnya Pengadilan Negeri dari
sistem pembinaan organisasi, administrasi dan
keuangan dari Departemen Hukum dan HAM RI sesuai
dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, maka perlu dicari alternatif
-
pengganti sebagai pelaksana penyuluhan hukum di
Kabupaten/Kota. Rapat memutuskan pelaksanaan
diarahkan bekerjasama pemerintah Kabupaten/Kota
sambil menunggu pola penyuluhan hukum yang baru.
BPHN akan membuat surat edaran pelaksanaan
penyuluhan hukum di Kabupaten/ Kota dimaksud.
2) Dalam rapat timbul suatu wacana untuk membuat
Memorandum Of Understanding (Nota kesepakatan)
dengan Menteri Dalam Negeri.
II. Rapat II (kedua) Tim Penyusunan Pola Penyuluhan
Hukum, diadakan pada hari Senin 11 Juli 2005 di
ruang rapat H lantai IV BPHN, dimulai pukul 13.00
sampai dengan 15.00 Wib.
Dalam rapat diputuskan :
Rapat masih membahas masalah pelaksanaan penyuluhan
hukum di Kabupaten/Kota.
Hasil dari pembahasan ini diakomidir dalam pasal-
pasal, yaitu dengan menambah pasal 47 yang
dikembangkan menjadi pasal 47 , 48 dan 49.
III. Forum Konsultasi dengan Kepala Kantor Wilayah dan
Kepala Divisi Pelayanan Hukum seluruh Indonesia,
-
diadakan pada tanggal 28 sampai dengan 31 Juni
2005 di Hotel Safari Garden Cisarua Bogor.
Dari hasil Forum Konsultasi ini merekomendasikan
sebagai berikut :
1) Merubah rumusan tujuan Penyuluhan Hukum dalam
pasal 2;
2) Merubah rumusan pasal 3 tentang Materi
Penyuluhan Hukum ;
3) Merubah rumusan pasal 52 tentang laporan yang
dibuat Kepala Kantor Wilayah
4) Merubah kriteria Desa Sadar Hukum yang selama
ini dibuat BPHN ;
5) Mengusulkan pasal-pasal baru mengenai
pendelegasian Peraturan Pelaksanaan ;
6) Mengusulkan penunjukan pengganti Pembina Kadarkum
yang selama ini dilaksanakan Pengadilan Negeri ;
7) Mengusulkan dibuat MOU antara Menteri Hukum dan
HAM RI dengan Menteri dalam Negeri .
IV. Rapat III (ketiga) Tim Penyusunan Pola
Penyusunan Hukum, diadakan pada hari Jumat 28
Oktober 2005 di ruang rapat H lantai IV
-
BPHN, dimulai pukul 13.00- sampai dengan 15.00
Wib.
Dalam rapat diputuskan :
1) Merumuskan kembali pasal-pasal dalam Pola
Penyuluhan Hukum sesuai dengan rekomendasi dalam
Forum Konsultasi dengan kanwil Dep.Hukum dan HAM
RI dan Kepala Divisi Hukum Seluruh Indonesia,
sepanjang rekomendasi itu dapat dituangkan dalam
pasal-pasal Pola Penyuluhan Hukum. Sedangkan yang
tidak dapat dituangkan dalam Pola Penyuluhan
Hukum akan dituangkan dalam Juklak atau Juknis
Pola Penyuluhan Hukum itu.
2) Membahas masalah Draft Rancangan Peraturan
Presiden Tentang Pengesahan, Pengundangan dan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan yang
tidak mencantumkan kata Penyuluhan Hukum, hal ini
menyulitkan Penyuluhan Hukum dalam mencari
cantolan untuk Peraturan Menteri Tentang Pola
Penyuluhan Hukum yang akan dikeluarkan. Dalam
rapat ini belum diputuskan solusinya dan
direncanakan akan dibahas dalam konsinyasi yang
akan dilaksanakan pada bulan Nopember 2005 dengan
mengundang pejabat dari Direktorat Peraturan
Perundang-undangan.
-
3) Merencanakan pembuatan konsep MOU dengan Mendagri
yang akan dibahas dalam konsinyasi.
V. Konsinyasi Tim Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum,
diadakan pada tanggal 14 sampai dengan 16 Nopember
2005 di Hotel Ciloto Puncak. Acara dalam konsinyasi
tersebut adalah menghaluskan / menyempurnakan
dengan merumuskan kembali pasal-pasal yang telah
dirumuskan pada rapat-rapat terdahulu, dengan
merubah, mengurangi atau menambah. Acara kedua
adalah membahas MOU yang telah direncanakan pada
rapat ke III Tim Penyusunan Pola. Hasilnya telah
terbentuk konsep MOU dimaksud.
VI. Rapat IV (keempat) Tim Penyusunan Pola Penyuluhan
Hukum, diadakan pada hari Jumat tanggal 16 Desember
2005 di ruang rapat G Lantai IV BPHN dimulai pukul
13.00-15.00 Wib.
Dalam rapat diputuskan :
1) Menyusun konsideran mengingat, disusun
berdasarkan urutan keluarnya peraturan perundang-
undangan dan hierarkhie tingkatan peraturan
perundang-undangan.
-
2) Rumusan pengertian bantuan hukum diambil
berdasarkan Orta Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Hak Asasi Manusia RI.
3) Menambah redaksi pasal 58.
4) Merencanakan pertemuan dengan Depdagri dalam
rangka pembuatan MOU.
-
BAB IV
PENUTUP
Dari rangkaian upaya-upaya penyempurnaan Pola
Penyuluhan Hukum, rapat tim, Temu Konsultasi dengan
Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Divisi Pelayanan
Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI Seluruh Indonesia, serta konsinyasi Tim
Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum, maka pada tahun 2005
Tim Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum telah
menyelesaikan :
1. Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI
tentang Pola Penyuluhan Hukum, yang diharapkan
dapat diproses lebih lanjut menjadi Peraturan
Menteri yang sudah definitif. Rancangan Peraturan
Menteri ini untuk beberapa substansi masih
diperlukan petunjuk pelaksanaannya maupun
petunjuk teknisnya.
2. Rancangan MOU antara Menteri Hukum dan HAM RI
dengan Menteri Dalam Negeri tentang kerjasama
pelaksanaan penyuluhan hukum. MOU ini masih
diperlukan proses lebih lanjut sebelum
persetujuan Menteri juga dilanjutkan pertemuan-
pertemuan dengan pihak Departemen Dalam Negeri.
-
Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI
tentang Pola Penyuluhan Hukum segera akan dikirim
kepada Menteri untuk diperiksa dan mohon
persetujuannya. Sedangkan konsep MOU antara Menteri
Hukum dan HAM RI dengan Menteri Dalam Negeri masih
memerlukan proses yaitu mengundang pihak Departemen
Dalam Negeri untuk membicarakan konsep MOU dimaksud.
-
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN
TENTANG POLA PENYULUHAN HUKUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat agar dapat tercipta kesadaran dan kepatuhan hukum demi tegaknya supremasi hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan penyuluhan hukum secara nasional;
b. bahwa agar pelaksanaan penyuluhan hukum secara nasional dapat berjalan secara tertib, terarah, dan terpadu, perlu didasarkan pada Pola Penyuluhan Hukum;
c. bahwa Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M.05-PR.08.10 Tahun 1988 tentang Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum yang selama ini berlaku, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat oleh karena itu perlu dicabut dan diganti yang baru;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu ditetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tentang Pola Penyuluhan Hukum;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
-
8; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);
2. Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
5. Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 2004 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Bersatu.
7. Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I Nomor M.04-PR.07.10 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA TENTANG POLA PENYULUHAN HUKUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
-
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Penyuluhan Hukum adalah salah satu kegiatan penyebarluasan
informasi dan pemahaman terhadap norma hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku guna mewujudkan dan mengembangkan kesadaran hukum masyarakat sehingga tercipta budaya hukum dalam bentuk tertib dan taat atau patuh terhadap norma hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku demi tegaknya supremasi hukum.
2. Kesadaran Hukum Masyarakat adalah nilai yang hidup dalam masyarakat dalam bentuk pemahaman dan ketaatan atau kepatuhan masyarakat terhadap norma hukum dan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
3. Penyuluhan Hukum Terpadu adalah kegiatan Penyuluhan Hukum yang diselenggarakan oleh berbagai instansi pemerintah dan swasta serta Organisasi Kemasyarakatan secara bersama-sama dan terpadu mengenai penyuluh, sasaran, dan/atau materi penyuluhan.
4. Metode Penyuluhan Hukum adalah cara penyampaian informasi hukum dari penyuluh hukum kepada sasaran penyuluhan hukum.
5. Pusat adalah wilayah penyuluhan hukum di Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang sasaran penyuluhannya di luar kewenangan administratif Pemerintah Daerah tersebut.
6. Keluarga Sadar Hukum yang selanjutnya disingkat Kadarkum adalah wadah yang berfungsi menghimpun warga masyarakat yang dengan kemauannya sendiri berusaha untuk meningkatkan kesadaran hukum bagi dirinya.
7. Kadarkum Binaan adalah Kadarkum yang berperan menggerakkan, membimbing, dan menjadi teladan bagi
-
Kadarkum lainnya.
8. Desa Binaan atau Kelurahan Binaan adalah desa atau kelurahan yang dipilih untuk dibina menjadi Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum.
9. Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum adalah desa atau kelurahan yang telah dibina atau karena swakarsa dan swadaya, memenuhi kriteria sebagai Desa Sadar Hukum dan Kelurahan Sadar Hukum.
10. Temu Sadar Hukum adalah pertemuan berkala antara para anggota dalam satu Kadarkum atau antara Kadarkum yang satu dengan Kadarkum lainnya atau antara Kadarkum yang satu dengan kelompok lain yang ada dalam masyarakat, dengan melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran hukum bagi mereka.
11. Lomba Kadarkum adalah suatu sarana untuk memilih kelompok Kadarkum yang berprestasi dalam pemahaman hukum.
12. Konsultasi Hukum adalah pemberian pelayanan jasa hukum berupa nasihat, penjelasan, informasi atau petunjuk kepada anggota masyarakat yang mempunyai permasalahan hukum untuk memecahkan masalah yang dihadapinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
13. Bantuan hukum adalah pelayanan jasa pemberian bantuan hukum melalui penasehat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Universitas atau Lembaga-lembaga Bantuan Hukum lainnya untuk membela perkara masyarakat yang kurang mampu yang ingin memperoleh keadilan di pengadilan.
14. Anubhawa Sasana Desa dan Anubhawa Sasana Kelurahan adalah penghargaan Pemerintah kepada daerah yang mempunyai Desa
-
Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum.
15. Pembinaan adalah suatu upaya peningkatan kualitas bagi tenaga penyuluh, kelompok sasaran penyuluhan hukum dan materi penyuluhan hukum.
BAB II TUJUAN PENYULUHAN HUKUM
Pasal 2
Penyuluhan Hukum diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan kesadaran hukum masyarakat yang lebih baik sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan mewujudkan budaya hukum dalam sikap dan perilaku yang sadar, patuh, dan taat terhadap hukum serta menghormati hak asasi manusia.
BAB III MATERI PENYULUHAN HUKUM
Pasal 3
Materi hukum yang disuluhkan meliputi peraturan perundang-undangan tingkat Pusat dan Daerah dan norma hukum.
Pasal 4
-
Materi hukum yang disuluhkan ditentukan berdasarkan hasil evaluasi, peta permasalahan hukum, kepentingan negara, dan kebutuhan masyarakat.
Pasal 5
(1) Setiap tahun ditetapkan prioritas peraturan perundang-undangan dan norma hukum yang dijadikan bahan pokok materi Penyuluhan Hukum.
(2) Penentuan prioritas materi Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan hasil evaluasi, peta permasalahan hukum, kepentingan negara, dan kebutuhan masyarakat.
(3) Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional dapat menetapkan Prioritas materi penyuluhan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 6
Materi Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat berbentuk : a. naskah untuk ceramah, diskusi, simulasi, pentas panggung, dialog
interaktif dan wawancara radio; b. skenario untuk sandiwara, sinetron, fragmen dan film; c. kalimat dan desain grafis untuk spanduk, poster, brosur, leaflet,
filler, tellop, running text, booklet dan billboard; d. artikel untuk surat kabar dan majalah; e. permasalahan hukum yang secara spontan timbul dalam kegiatan
Temu Sadar Hukum atau Lomba Kadarkum.
BAB IV METODE DAN SASARAN PENYULUHAN HUKUM
Pasal 7
(1) Penyuluhan Hukum diselenggarakan dengan metode:
-
a. Penyuluhan Hukum langsung; b. Penyuluhan Hukum tidak langsung;
(2) Penyuluhan Hukum langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara bertatap muka secara langsung antara penyuluh dan yang disuluh.
(3) Penyuluhan Hukum tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Penyuluhan Hukum yang dilakukan melalui media elektronik dan media cetak.
Pasal 8
Penyuluhan Hukum langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan secara terpadu dengan berbagai instansi dan/atau organisasi kemasyarakatan yang terkait baik mengenai penyelenggaraannya, materi yang disuluhkan, maupun sasaran yang disuluh.
Pasal 9
Metode Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilaksanakan dengan pendekatan: a. persuasif yakni penyuluh hukum dalam melaksanakan
tugasnya harus mampu meyakinkan masyarakat yang disuluh, sehingga mereka merasa tertarik dan menaruh perhatian serta minat terhadap hal-hal yang disampaikan oleh penyuluh;
b. edukatif yakni penyuluh hukum harus bersikap dan berperilaku sebagai pendidik yang dengan penuh kesabaran dan ketekunan membimbing masyarakat yang disuluh ke arah tujuan penyuluhan hukum;
c. komunikatif yakni penyuluh hukum harus mampu berkomunikasi dan menciptakan iklim serta suasana sedemikian rupa sehingga tercipta suatu pembicaraan yang bersifat akrab, terbuka dan timbal balik; dan
-
d. akomodatif yakni penyuluh hukum harus mampu mengakomodasikan, menampung dan memberikan jalan pemecahannya dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang diajukan oleh masyarakat.
Pasal 10
Sasaran Penyuluhan Hukum meliputi seluruh lapisan masyarakat, termasuk penyelenggara negara.
BAB V
PELAKSANAAN PENYULUHAN HUKUM
Pasal 11
Penyuluhan Hukum dilakukan oleh tenaga fungsional penyuluh hukum dan/atau orang yang mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan mampu menyampaikan informasi atau penjelasan tentang materi yang disuluhkan, secara jelas dan benar, kepada masyarakat yang disuluh.
Pasal 12
Pelaksanaan penyuluhan hukum di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, dikoordinasikan oleh Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Pasal 13
(1) Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam melaksanakan penyuluhan hukum dapat melakukan kerja sama dengan
-
instansi terkait atau organisasi kemasyarakatan di tingkat pusat.
(2) Bentuk kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan dalam peraturan bersama, kesepakatan bersama atau instrumen hukum lainnya.
Pasal 14
(1) Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) dapat diselenggarakan dalam bentuk : a. ceramah; b. diskusi; c. temu sadar hukum; d. pameran; e. simulasi; f. lomba kadarkum; g. konsultasi hukum; h. bantuan hukum; dan/atau i. dalam bentuk lain.
(2) Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (3) dapat diselenggarakan dalam bentuk : a. dialog interaktif; b. wawancara radio; c. pentas panggung; d. sandiwara; e. sinetron; f. fragmen; g. film; h. spanduk; i. poster; j. brosur; k. leaflet; l. booklet; m. billboard;
-
n. surat kabar; o. majalah; p. running text; q. filler; dan/atau r. dalam bentuk lain.
Pasal 15
Penyuluhan Hukum dalam bentuk ceramah diselenggarakan untuk memberikan penjelasan tentang materi hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3.
Pasal 16
(1) Penyuluhan Hukum dalam bentuk diskusi diselenggarakan untuk pendalaman materi hukum tertentu yang disuluhkan.
(2) Dalam diskusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai panelis adalah tenaga ahli sesuai dengan bidangnya.
Pasal 17
(1) Penyuluhan Hukum dalam bentuk Temu Sadar Hukum diselenggarakan untuk membina Kadarkum, Kadarkum Binaan, Desa Binaan atau Kelurahan Binaan, Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum, dan kelompok masyarakat lainnya;
(2) Temu Sadar Hukum diselenggarakan di tempat yang terbuka untuk umum.
(3) Dalam pelaksanaan Temu Sadar Hukum harus ada narasumber dan pemandu.
Pasal 18
-
Penyuluhan Hukum dalam bentuk simulasi diselenggarakan untuk membina Kadarkum, Kadarkum Binaan, Desa Sadar Hukum, Kelurahan Sadar Hukum dan kelompok masyarakat lainnya melalui kegiatan yang menggunakan alat peraga.
Pasal 19
Penyuluhan hukum dalam bentuk pameran diselenggarakan untuk memamerkan hasil kegiatan penyuluhan hukum dan mempromosikan instansi yang melakukan penyuluhan hukum, baik melalui panel, foto, grafik, buku, leaflet, brosur, booklet, maupun audio-visual.
Pasal 20
(1) Penyuluhan Hukum dalam bentuk Lomba Kadarkum diselenggarakan untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan Penyuluhan Hukum yang telah dilaksanakan.
(2) Lomba Kadarkum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, pusat, dan/atau di tingkat nasional.
Pasal 21
(1) Lomba Kadarkum tingkat kecamatan diikuti oleh peserta dari desa atau nama lain yang setingkat atau kelurahan yang ada di wilayah kecamatan tersebut.
-
(2) Lomba Kadarkum tingkat kabupaten/kota diikuti oleh pemenang pertama Lomba Kadarkum tingkat kecamatan yang ada di wilayah kabupaten/kota tersebut.
(3) Lomba Kadarkum tingkat provinsi diikuti pemenang pertama Lomba Kadarkum tingkat kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi tersebut.
(4) Lomba Kadarkum tingkat pusat diikuti oleh Kadarkum wakil dari instansi/organisasi tingkat pusat.
(5) Lomba Kadarkum tingkat nasional diikuti pemenang pertama Lomba Kadarkum tingkat provinsi dan pemenang pertama Lomba Kadarkum tingkat pusat.
Pasal 22
(1) Penyelenggaraan Lomba Kadarkum tingkat kecamatan, kabupaten/kota dan/atau tingkat provinsi dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bekerjasama dengan instansi lainnya di daerah setempat.
(2) Penyelenggaraan Lomba Kadarkum tingkat pusat dan tingkat nasional dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 23
(1) Penyuluhan Hukum dalam bentuk konsultasi dan bantuan hukum diberikan kepada anggota masyarakat yang membutuhkan untuk permasalahan hukum yang dihadapi.
(2) Konsultasi dan bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan tanpa dipungut biaya.
-
Pasal 24
Konsultasi dan bantuan hukum diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 25
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melaksanakan konsultasi dan/atau bantuan hukum dapat melakukan kerjasama dengan fakultas hukum perguruan tinggi dan lembaga bantuan hukum.
Pasal 26
Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerjasama.
Pasal 27
Setiap anggota masyarakat yang membutuhkan konsultasi dan bantuan hukum, dapat menghubungi Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau fakultas hukum yang telah melakukan kerja sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
-
Pasal 28
Penyuluhan Hukum yang dilakukan melalui media elektronik dapat dilaksanakan bekerja sama dengan stasiun televisi, radio, penyedia layanan internet, dan/atau media elektronik lainnya.
Pasal 29
Penyuluhan Hukum yang dilakukan melalui media cetak dapat dilaksanakan bekerja sama dengan perusahaan di bidang media cetak.
BAB VI
KADARKUM
Pasal 30
(1) Kadarkum dapat dibentuk di pusat dan di daerah.
(2) Setiap anggota masyarakat dapat menjadi anggota Kadarkum.
(3) Setiap Kadarkum mempunyai anggota sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang.
Pasal 31
-
(1) Pembentukan Kadarkum tingkat pusat ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(2) Pembentukan Kadarkum di daerah ditentukan sebagai berikut: a. di provinsi dengan keputusan gubernur;
b. di kabupaten/kota dengan keputusan bupati/walikota; atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Pasal 32
Untuk menggerakkan, membina, dan menjadi teladan bagi Kadarkum lainnya, di setiap kabupaten/kota, provinsi atau di pusat dapat dibentuk Kadarkum Binaan.
Pasal 33
(1) Pembentukan Kadarkum Binaan di pusat ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(2) Pembentukan Kadarkum Binaan di daerah ditentukan sebagai berikut:
a. di provinsi dengan keputusan gubernur; b. di kabupaten/kota dengan keputusan bupati/walikota; atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Pasal 34
(1) Anggota Kadarkum Binaan di pusat sekurang-kurangnya berjumlah 25 (dua puluh lima) orang anggota tetap dan
-
terdaftar pada Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(2) Anggota Kadarkum Binaan di provinsi dan kabupaten / kota sekurang-kurangnya berjumlah 25 (dua puluh lima) orang anggota tetap dan terdaftar pada Pemerintah Daerah dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
BAB VII DESA BINAAN ATAU KELURAHAN BINAAN
DAN DESA SADAR HUKUM ATAU KELURAHAN SADAR
HUKUM
Pasal 35
(1) Camat dapat mengusulkan kepada bupati/walikota agar suatu desa atau kelurahan yang telah mempunyai Kadarkum dapat ditetapkan menjadi Desa Binaan atau Kelurahan Binaan.
(2) Desa Binaan atau Kelurahan Binaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati / Walikota atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 36
(1) Desa Binaan atau Kelurahan Binaan dapat ditetapkan menjadi Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum jika diusulkan oleh bupati/walikota yang membawahi wilayah desa atau kelurahan yang bersangkutan setelah desa atau kelurahan tersebut memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional.
-
(2) Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(3) Penetapan Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum dapat ditinjau kembali jika di kemudian hari tidak memenuhi lagi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 37
(1) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia memberikan penghargaan Anubhawa Sasana Desa atau Anubhawa Sasana Kelurahan kepada gubernur, bupati/walikota, camat, dan kepala desa atau lurah, yang desanya atau kelurahannya ditetapkan sebagai Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum.
(2) Penghargaan Anubhawa Sasana Desa atau Anubhawa Sasana Kelurahan yang diberikan kepada gubernur, bupati/walikota dalam bentuk piagam.
(3) Penghargaan Anubhawa Sasana Desa atau Anubhawa Sasana Kelurahan yang diberikan kepada camat dan kepala desa atau lurah dalam bentuk medali.
(4) Tanda penghargaan lainnya disediakan oleh Pemerintah Daerah yang mempunyai Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum.
BAB VIII
PEMBINAAN PENYULUHAN HUKUM
Pasal 38
-
(1) Pembinaan Penyuluhan Hukum dilakukan terhadap penyuluh hukum dan sasaran penyuluhan hukum atau materi penyuluhan hukum.
(2) Dalam melakukan pembinaan penyuluhan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional dapat membentuk tim ahli sesuai dengan bidang keahliannya.
Pasal 39
(1) Pembinaan terhadap penyuluh hukum dilakukan dengan cara menyelenggarakan bimbingan teknis Penyuluhan Hukum.
(2) Bimbingan teknis Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan di tingkat nasional, pusat, dan daerah.
Pasal 40
(1) Bimbingan teknis Penyuluhan Hukum tingkat nasional dan pusat diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(2) Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam menyelenggarakan bimbingan teknis Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Perguruan Tinggi dan Organisasi Kemasyarakatan.
Pasal 41
(1) Bimbingan teknis Penyuluhan Hukum tingkat daerah diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
-
(2) Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam menyelenggarakan bimbingan teknis penyuluhan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerjasama dengan instansi terkait, perguruan tinggi dan organisasi kemasyarakatan.
Pasal 42
Bimbingan teknis Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 dilaksanakan berdasarkan kurikulum yang di tetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 43
Pembinaan terhadap kelompok sasaran penyuluhan hukum ditujukan kepada Kadarkum, Kadarkum Binaan, Desa Binaan atau Kelurahan Binaan, dan Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum yang dilakukan dalam bentuk kegiatan Temu Sadar Hukum.
Pasal 44
(1)Pembinaan terhadap kelompok sasaran penyuluhan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 di tingkat pusat
-
dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(2) Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Perguruan Tinggi, dan Organisasi Kemasyarakatan.
Pasal 45
(1) Pembinaan terhadap kelompok sasaran penyuluhan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 di tingkat daerah dilakukan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(2) Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Instansi terkait, Perguruan Tinggi, dan Organisasi Kemasyarakatan.
BAB IX
TATA LAKSANA PENYULUHAN HUKUM
Pasal 46
Tata laksana Penyuluhan Hukum meliputi penyusunan program,
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan laporan.
Pasal 47
-
(1) Program Penyuluhan Hukum tingkat nasional dan tingkat pusat disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(2) Program Penyuluhan Hukum tingkat provinsi dan kabupaten/kota disusun oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 48
(1) Penyuluhan Hukum di tingkat nasional dan tingkat pusat dilaksanakan dan dikoordinasikan secara terpadu oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(2) Pelaksanaan Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerjasama dengan instansi terkait dan atau Organisasi Kemasyarakatan.
Pasal 49
(1) Penyuluhan hukum di provinsi dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(2) Pelaksanaan Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerjasama dengan instansi terkait dan atau Organisasi Kemasyarakatan.
Pasal 50
(1) Penyuluhan Hukum di Kabupaten/ Kota dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum
-
dan Hak Asasi manusia.
(2) Pelaksanaan Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerjasama dengan instansi terkait dan organisasi kemasyarakatan di daerah setempat.
Pasal 51
(1) Pemantauan Penyuluhan Hukum dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pelaksanaan program penyuluhan hukum
yang telah ditetapkan.
(2) Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia melakukan pemantauan
terhadap kegiatan penyuluhan hukum yang
dilaksanakan di tingkat Nasional, pusat
dan provinsi.
(3) Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan pemantauan
terhadap kegiatan penyuluhan hukum yang
dilaksanakan di kabupaten/kota.
Pasal 52
(1) Evaluasi penyuluhan hukum dilakukan untuk mengetahui perkembangan,
-
keberhasilan dan permasalahan
pelaksanaan Penyuluhan Hukum.
(2) Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia setiap akhir tahun membuat laporan hasil evaluasi pelaksanaan penyuluhan hukum untuk disampaikan kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(3) Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional setiap akhir tahun membuat laporan hasil evaluasi pelaksanaan penyuluhan hukum untuk disampaikan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 53
(1) Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
Penyuluhan Hukum di Provinsi dan
Kabupaten/kota kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan
tembusan kepada Gubernur dan
Bupati/Wali kota.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap triwulan, tengah tahun, dan akhir tahun anggaran.
-
(3) Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
setiap akhir tahun anggaran
menyampaikan laporan pelaksanaan
penyuluhan hukum Pusat dan Daerah
kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
Pasal 54
Bentuk dan materi laporan evaluasi pelaksanaan Penyuluhan Hukum ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional.
BAB X
BIAYA
Pasal 55
Seluruh biaya yang diperlukan untuk
pelaksanaan Penyuluhan Hukum dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 56
Biaya pelaksanaan Penyuluhan Hukum selain
berasal dari anggaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55, juga dimungkinkan bantuan pihak ketiga yang tidak mengikat.
-
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Kadarkum, Kadarkum Binaan, Desa Binaan dan
Desa Sadar Hukum yang telah terbentuk
sebelum berlakunya Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia ini dinyatakan tetap
sebagai Kadarkum, Kadarkum Binaan, Desa
Binaan dan Desa Sadar Hukum, sepanjang masih memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri ini beserta dalam
peraturan pelaksanaannya.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M.05-PR.08.10 Tahun 1988 tentang Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 59
Peraturan Pelaksanaan atas Peraturan Menteri
Kehakiman Nomor : M.05-PR.08.10 Tahun 1988
-
tentang Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Peraturan
Menteri ini.
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal
17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24, Pasal 30, Pasal 35, Pasal 36,
Pasal 37, dan Pasal 39 diatur dengan
Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum
Nasional.
Pasal 61 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
HAMID AWALUDDIN
-
NOTA KESEPAKATAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
DENGAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN PENYULUHAN HUKUM DAN
PEMBINAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH Nomor : ------------------------
Pada hari ini . Tanggal . Bulan tahun yang bertanda tangan di bawah ini :
1. Nama : HAMID AWALUDDIN Jabatan : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Alamat : Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Jalan HR Rasuna Said Kav. 6-7 Jakarta Selatan,
yang selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA
2. Nama : MOHAMMAD MARUF Jabatan : Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Alamat : Departemen Dalam Negeri RI
Jalan Medan Merdeka Utara No. 7 Jakarta Pusat,
yang selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA
Kedua belah pihak telah sepakat melakukan kerjasama dalam kegiatan Penyuluhan Hukum dan dalam Penyusunan serta Pengelolaan Program Legislasi Daerah dengan ketentuan sebagai berikut :
BAB I
PENYULUHAN HUKUM
Pasal 1
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat melakukan kerjasama dalam kegiatan penyuluhan hukum yang diselenggarakan di Provinsi dan Kabupaten/Kota.
-
Pasal 2
Penyuluhan hukum di Provinsi dan Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh kantor wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 3
(1) Penyuluhan hukum di Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaksanakan secara terpadu dengan Pemerintah Daerah
(2) Pelaksanaan Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan kerjasama dengan Instansi terkait, Perguruan Tinggi, Organisasi Kemasyarakatan.
Pasal 4
Pelaksanaan Penyuluhan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor .. Tahun..tentang Pola Penyuluhan Hukum.
Pasal 5
Pelaksanaan lebih lanjut Nota Kesepakatan ini diatur dalam perjanjian tersendiri antara Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Gubernur dan/atau Bupati/Walikota.
BAB II
PROGRAM LEGISLASI DAERAH
Pasal 6
PIHAK PERTAMA melalui Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia membantu dalam penyusunan dan pengelolaan program legislasi daerah.
-
Pasal 7
Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat berupa Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi mengenai program legislasi daerah.
Pasal 8
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah di Provinsi dan Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh masing-masing Pemerintah Daerah.
Pasal 9
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 dapat mengikutsertakan praktisi, akademisi, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, dan/atau anggota masyarakat yang memiliki keahlian di bidang tertentu sesuai dengan materi yang diatur.
Pasal 10
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 11
Pelaksanaan lebih lanjut Nota Kesepakatan ini diatur dalam perjanjian tersendiri antara Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Gubernur dan/atau Bupati/Walikota.
-
BAB III PEMBIAYAAN
Pasal 12
Pembiayaan kerjasama mengenai pelaksanaan Penyuluhan Hukum dan Penyusunan serta Pengelolaan Program Legislasi Daerah dibebankan pada DIPA Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan DIPA Pemerintah Daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
BAB IV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Nota Kesepakatan ini mulai berlaku sejak ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Jakarta, .
MENTERI DALAM NEGERI MENTERI HUKUM DAN HAM RI
MOHAMMAD MARUF HAMID AWALUDDIN
top related