pidato bind
Post on 31-Oct-2015
7 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Saya menonton sebuah tayangan acara televisi swasta, yaitu Bukan jalan-jalan biasa pada
tanggal 4 Maret 2012, yang dimulai pada pukul 15:00 sore hari. Ada hal menarik ketika
host mewawancarai seorang asing, mahasiswa S3 (yang sekarang mungkin sudah lulus)
dari Universitas Yale, seorang yang juga pernah menetap di Indonesia selama 1 tahun
untuk urusan mengumpulkan bahan disertasi S3-nya mengenai nasib nasionalisme
Muslim, dan pernah juga singgah di sebuah universitas ternama di Yogyakarta untuk
berdiskusi secara langsung dengan dosen lokal mengenai sejarah peradaban islam di
Indonesia. Dia adalah Kevin Fogg, seorang kandidat dengan gelar PhD (a PhD candidate
in History at Yale University) pada saat itu.
Hal yang menarik adalah ketika dia secara fasih mengucapkan kata per kata Bahasa
Indonesia layaknya orang lokal, pengucapannya tentang berbicara Bahasa Indonesia pun
tanpa di dominasi oleh lafal lidah yang masih terbata-bata, ia mampu menjawab semua
pertanyaan yang dilontarkan oleh host , jawabannya pun bukan main atau hanya
sekenanya atau seadanya saja. Kevin Fogg mampu menjawab dengan ditambahkan
penjelasan-penjelasan yang tidak panjang lebar tapi cukup akurat alias tepat sasaran, dan
menjadi hal yang luar biasa karena ia berbicara mengenai sejarah panjang Indonesia, baik
peradaban islamnya dan sejarah kesenian tradisionalnya. Mengapa luar biasa? Karena
Kevin Fogg itu orang asing yang mampu mengenal secara dekat beberapa sejarah bangsa
ini. Jika dibandingkan dengan beberapa diantara kita sendiri, alias orang lokal, jika
ditanya demikian tentang hal-hal yang berbau sejarah, pasti akan tersendat dalam
menjawabnya.
Lalu, di dalam apa yang kurasakan, juga kutemukan rasa bangga, senang, tetapi juga
sedih, maka timbul sebuah kalimat pembanding yang keluar begitu saja, bukan melalui
lisan tetapi hanya terlintas di pikiran dan di benak saya saja saat itu : saat dimana
menyaksikan mulut orang-orang asing yang begitu fasih berbicara bahasa Indonesia
layaknya orang Indonesia sambil menyanyikan beberapa tembang tradisional Jawa, saat
menyaksikan kedua tangan orang-orang asing begitu lentur memainkan alat musik
tradisional Indonesia layaknya orang local yang sudah sangat fasih, saat menyaksikan
tubuh orang asing begitu lemah gemulai menari tarian tradisional Indonesia tanpa terlihat
cacat sedikitpun dari gerakan tariannya layaknya orang lokal yang telah ahli, saat
menyaksikan senyum dan gelak tawa orang-orang asing yang melukiskan bahwa mereka
senang melakukan apa yang mereka pilih, yaitu belajar kesenian tradisional yang bukan
berasal dari tanah kelahirannya, kesenian tradisional Indonesia.
Kenapa banyak orang asing bisa begitu jatuh hati dengan beberapa kesenian tradisional
Indonesia, lalu dengan senang hati pula menyibukkan diri untuk belajar guna
memperoleh ilmunya agar dirinya bisa terampil memainkan semua hal itu, seperti
memainkan gamelan, angklung, wayang, karawitan, sampai menari Tari Jawa, Tari Bali,
juga Tarit radisional daerah lainnya, dan juga menjadi sinden, lain halnya jika
dibandingkan dengan sebagian orang Indonesia yang lebih memilih untuk
meninggalkannya.
Dua keadaan yang sedang terjadi sekarang adalah ketika sebagian orang lokal
meninggalkan kesenian tradisional daerahnya, baik secara langsung atau tidak langsung
ini menurutku. Secara langsung, adalah ketika dimana sebagian orang lokal sudah acuh
tak acuh, dan tidak peduli lagi dengan kesenian tersebut. Dan yang lebih extreme adalah
mereka meninggalkan kesenian tersebut meskipun mereka belum pernah sekalipun
memainkannya bahkan menyentuhnya. Hal ini terjadi karena lebih kepada sebuah
persepsi kebanyakan individu, persepsi mereka mempunyai pandangan bahwa kesenian
tradisional tidaklah semenarik musik-musik lainnya, bahkan jika dibandingkan dengan
musik luar (asing) tentu akan kalah pamor. Padahal, orang-orang asing disana
menganggap musik yang dihasilkan dari kesenian tradisional kita itu lebih menarik dan
unik. Seperti terjadi kebalikkan bukan? Mungkin saja saat ketika mereka (orang lokal)
mendengar alunan tembang tradisional yang lemah lembut, dan begitu syahdu sedang
diputar, dinyanyikan, atau dimainkan (baik secara live , atau lewat radio dan tv) pasti ada
saja keinginan untuk menolaknya secara langsung dengan berbagai macam alasan.
Contoh kecilnya adalah:
Zaman sekarang masih mendengarkan tembang keroncong ?.
Maka setelah keluar pertanyaan tersebut diatas, pastilah akan ada berbagai macam
jawaban, baik yang pro atau kontra. Meskipun jika dilihat dari sisi lain, memang itu
adalah hak masing-masing individu untuk memilih apa yang mereka inginkan. Walaupun
itu adalah pilihan, tetapi alangkah baiknya jika kita mau sedikit saja bergerak untuk
mengenal lebih jauh kesenian tradisional kita, bisa dengan ikut serta tergabung di sebuah
organisasi kesenian tradisional ataupun hanya menghadiri dan menyaksikan sebuah
pertunjukkan kesenian tradisional di daerah masing-masing yang terdekat, meskipun
hanya jadi penonton tetapi secara tidak langsung kita seolah juga ambil peduli dengan
kesenian tersebut. Ambil peduli dalam arti ketika kita akan mampu berpikir seperti ini :
Oh.. kesenian tradisional gamelan seperti ini. Alat-alat yang digunakan seperti ini. Ada
sekian orang yang memainkannya. Musik-musik yang dimainkan seperti ini, dan lain
sebagainya.
Aku yakin, setelah menonton pertunjukkan secara live (langsung), kawan pasti akan
berpikir seperti diatas, kawan pasti akan mempunyai sebuah hasrat ingin juga mencoba
untuk memainkannya, ataupun ada keinginan untuk memberitahu keluarga atau teman,
bahwa kesenian tradisional itu sebenarnya menarik lho, dan lain sebagainya. Jangan
sampai kita marah sendiri setelah tahu bahwa ada negara lain yang mengklaim kesenian
tradisional kita menjadi miliknya, lalu hanya bisa mencaci maki tanpa ada usaha
sebelumnya untuk terlibat dalam melestarikan kesenian tradisional tersebut, baik secara
langsung atau tidak langsung. Meskipun hidup yang kita jalani sekarang ini secara
langsung tidak ada kaitannya dengan eksistensi kesenian tradisional tersebut, dalam arti
seperti ikut melestarikannya dengan memainkannya secara rutin, tetapi jika dilihat dari
sisi lain, kita juga terkait karena sesungguhnya kita adalah anak ibu pertiwi yang juga
punya hak untuk melestarikannya. Kalau bukan kita siapa lagi, tidak mungkin kita
meminta orang asing melestarikan kekayaan kita.
Dan secara tidak langsung adalah ketika dimana orang-orang lokal yang sebenarnya juga
berkecimpung di dalam kesenian tradisional tersebut sebelumnya, namun mereka seperti
terperangkap dalam ruang kejenuhan dan mereka menganggap kalau tetap disini mereka
tidak akan bisa berkembang, terutama karena tidak adanya sokongan pihak pemerintah
Indonesia untuk mendanai agar kesenian tradisional tersebut tetap eksis. Mendanai dalam
arti disini adalah, dimana Pemerintah semestinya bisa memberi bantuan dalam hal
perawatan alat-alat tradisional, membuka pertunjukkan di beberapa acara agar individu-
individu yang terkait di dalam kesenian tersebut juga dapat kesempatan untuk
menghasilkan sejumlah uang untuk penghidupannya.
Jika tidak ada uang sedikitpun, anak/istri/orang tua kita mau makan apa? Dan yang lebih
ditekankan disini adalah : penggiat kesenian tradisional tersebut sudah seharusnya seperti
sebuah band yang bisa tampil di berbagai acara, lalu juga bisa mendapatkan bayaran dari
itu. Lalu, bisa juga pihak instansi daerah mempromosikan bahwa daerahnya mempunyai
kelompok kesenian tradisional yang unik, menghibur, dan mampu menarik minat
penonton baik lokal ataupun asing. Ini layaknya seperti iklan guna mendongkrak
kepopuleran para penggiat kesenian tradisional tersebut, dengan demikian alat kesenian
tradisional tersebut juga akan terdongkrak dengan sendirinya. Contoh kecil dari hal diatas
adalah : sudah masuknya sebuah grup gamelan yang selalu mengiringi musik dalam acara
Opera Van Java di sebuah tv swasta, hal ini sebenarnya sangat positif sekali, dan di acara-
acara lainnya.
Jika seandainya, para penggiat kesenian tradisional tersebut tidak mendapatkan support
dari pihak Pemerintah, maka yang akan terjadi adalah sedikit demi sedikit dari mereka
akan melupakannya untuk lebih memprioritaskan kepada uang, lalu pada akhirnya
dengan berat hati meninggalkannya. Maka setelah ini terjadi, tersisa lah sedikit orang
yang masih setia memainkannya, dan itu mungkin tidak mencapai ribuan orang. Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun
2010 yang berjumlah sekitar 236 juta, dan kini tahun 2012 yang pastinya juga bertambah
jumlah penduduknya, maka jumlah ribuan orang atau ratusan ribu orang sekalipun yang
masih terlibat di dalam kesenian tradisional, baik secara langsung atau tidak langsung
masih terbilang sedikit sekali. Harapan yang tidak tinggi sebenarnya, karena saya yakin
hal itu sebenarnya pasti bisa.
Mereka, orang asing yang belajar kesenian tak hanya sekedar didasari keinginan sesaat
saja, namun ada sebuah keinginan tersendiri yang kuat bahwa mereka harus bisa terampil
memainkannya. Kenapa mereka bisa berpikiran seperti itu? Pertanyaan yang bagus.
Karena banyak macam alasan yang melatar-belakanginya, kebanyakan orang asing
mengatakan bahwa mereka sudah jatuh hati ketika pertama kali memainkannya, ada juga
rasa ketagihan, ada juga yang mengatakan bahwa setelah memainkan gamelan, ada
sebuah energi tersendiri untuk melakukan aktivitas rutin selanjutnya, dan masih banyak
lagi alasan lainnya. Beberapa dari mereka belajar kesenian tradisional tersebut ada yang
sampai berbulan-bulan, dan beberapa ada yang sampai berpuluh tahun. Tidak sampai
disitu, ketika mereka telah mahir memainkannya karena diasah terus dengan belajar rutin
dengan menetap di Indonesia hingga bertahun-tahun, maka sekembalinya mereka ke
tempat kelahirannya yaitu asalnya, beberapa dari mereka mendirikan sebuah organisasi
tersendiri, sebuah organisasi pencinta kesenian tradisional Indonesia. Contoh kecilnya
saja seperti yang dikutip dari sosbud.kompasiana.com adalah Warsaw Gamelan Group.
Sebuah grup pencinta gamelan Indonesia yang anggotanya terdiri dari orang-orang
berkebangsaan Austria alias orang asing semua dan Dawid Martin yang kala itu sempat
belajar musik gamelan Jawa di Yogyakarta adalah seorang penggagas terciptanya grup
tersebut.
Warsaw Gamelan Group
Dawid Martin
Lalu, satu lagi adalah sebuah grup gamelan asal Amerika yang sudah terkenal di dataran
Amerika dan mancanegara yang rutin mengadakan pertunjukkan Gamelan di berbagai
macam event , dan juga pernah tampil di Bali, yang dikenal dengan nama Gamelan Sekar
Jaya yang didirikan pada tahun 1979.
Gamelan Sekar Jaya
Gamelan Sekar Jaya
Gamelan Sekar Jaya
Dan masih banyak lagi grup gamelan lainnya yang tersebar di seluruh dunia, seperti yang
dikutip dari bali.antaranews.com di Jepang tercatat 52 grup kesenian Bali juga Jawa,
dan ratusan grup gamelan lainnya tersebar di berbagai negara contohnya saja adalah
Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, Belgia, dan negara lainnya .
Banyaknya sekumpulan orang asing yang membuat grup karawitan sendiri di banyak
negara atau memilih tergabung dalam sebuah grup dimana grup tersebut adalah kumpulan
orang-orang Indonesia tak lepas dari support yang telah dilakukan oleh kantor-kantor
perwakilan Pemerintah Indonesia di banyak negara. Banyak KBRI (Kedutaan Besar
Republik Indonesia) di beberapa negara memang membuat agenda tersendiri untuk
mengadakan sebuah acara yang dimana isinya memperkenalkan kekayaan Indonesia,
seperti kesenian tradisional, sampai juga dengan seni kerajinan tangan lainnya seperti
batik. Meski isi acara tersebut adalah hal-hal lokal, tidak berarti bahwa undangan hanya
tersebar untuk orang lokal saja. Undangan yang hadir pun tak semua orang-orang lokal
yang menetap disana, baik yang sedang melanjutkan studi ataupun yang bekerja disana,
tetapi orang-orang asing dari sekumpulan pelajar/mahasiswa, pejabat negara asing, pihak
swasta, sampai kalangan umum asing pun diundang untuk turut serta menghadiri acara
tersebut. Jika dipresentasikan dari jajak pendapat orang asing yang telah ikut serta
menghadiri dan menyaksikan acara kesenian tradisional tersebut, maka sekian besar
presentase menunjukkan bahwa orang-orang asing tidak ada yang berkomentar miring
mengenai kesenian tradisional & kerajinan tangan Indonesia, mereka semua seolah
seperti satu suara, bahwa kesenian tradisional & kerajinan tangan Indonesia itu unik,
berbeda dengan apa yang negara lain punya, dan beberapa diantaranya ingin mencoba
memainkannya juga. Hal ini juga seharusnya membuat kita bangga, bahwa ternyata
orang-orang asing sendiri begitu mengapresiasi kesenian tradisional kita, dan sudah
seharusnya kita juga berbuat hal yang sama.
Contoh kecilnya saja adalah Wayang. Ya, wayang. Beberapa negara memang mempunyai
kesenian tradisional boneka dari berbagai macam jenis, bentuk, dan rupa, dan bahkan
beberapa negara ada yang mempunyai kemiripan kesenian tradisional boneka satu sama
lain. Namun, Indonesia menampilkan sisi yang berbeda. Indonesia sendiri mempunyai
kesenian tradisional boneka atau yang lebih dikenal dengan Wayang dengan jenis,
bentuk, dan rupa yang berbeda dari negara lainnya. Kenapa berbeda? Karena kesenian
Wayang memiliki gaya tutur dan keunikkan tersendiri dan kemudian, selain karena
Wayang sendiri terbuat dari kulit sapi atau kerbau yang menjadi ciri khas kesenian
tradisional boneka Indonesia, kebanyakkan cerita Wayang juga diangkat dari kisah
Ramayana dan Mahabrata yang syarat akan arti dan nilai yang terkandung didalamnya,
baik berupa nilai-nilai sosial bermasyarakat, nilai-nilai agama, dan lainnya. Dikutip dari
Wikipedia . Maka , UNESCO, sebuah lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB,
pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka yang
tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni
bertutur ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ), untuk itulah
UNESCO memasukan kesenian tradisional Wayang ke dalam Daftar Warisan Dunia pada
tahun 2003. Dan seharusnya kita pun bangga akan hal ini.
Gamelan yang berasal dari bahasa Jawa, menjadi kurikulum mata pelajaran di beberapa
sekolah asing di luar negeri. Khususnya Amerika Serikat, Singapura, dan Jepang yang
sudah menempatkan kesenian tradisional Gamelan dan beberapa Tari Indonesia menjadi
sebuah mata pelajaran seni untuk dipelajari dari taman kanak-kanak hingga perguruan
tinggi. Hal ini ironis, jika dilihat dari kebanyakkan sekolah lokal yang seolah seperti
menyisihkan mata pelajaran seni budaya kesenian tradisional Indonesia. Beruntung sekali
karena tidak semua sekolah menyisihkannya, karena masih ada banyak sekolah-sekolah
daerah yang mengajarkan seni budaya gamelan dan kesenian tradisional lainnya seperti
halnya yang telah dilakukan di beberapa negara maju tersebut. Ini lah salah satu yang
juga perlu kita dukung.
Universitas ternama di belahan dunia yang selalu bertengger di peringkat atas dari
seluruh universitas dunia yang diambil berdasarkan catatan dari Ranking web of world
universities webometrics.info , seperti Californian Institute Of The Art, University of
California Berkeley , San Jose State University , Pittsburgh University, Yale University,
dan lainnya juga Inggris pun juga seperti tak mau kalah, ada Oxford University,
Cambridge University, Durham University, Queens University, Dartington University
dan universitas lainnya memasukkan Gamelan sebagai kurikulum mata kuliah world
music . Ini juga salah satu yang dapat kita banggakan bahwa beberapa kesenian
tradisional kita sangat dan amat dihargai oleh universitas asing ternama.
Kevin Fogg
Dan hal yang menarik lainnya yang pastinya membuat orang-orang Indonesia tersenyum
bangga adalah ketika Kevin Fogg mengatakan bahwa Bahasa Indonesia menjadi salah
satu mata kuliah di Yale University, dan mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia cukup
banyak, karena dalam 1 semester bisa mencapai 40 orang mahasiswa. Ya kesenian
tradisional semakin dtinggalkan oleh generasi muda Indonesia itu. Beberapa orang asing
yang terekam di layar kaca juga tak kaku memainkan gamelan, seperti sudah terbiasa,
terbiasa karena terlatih rutin.
Ada ungkapan menarik dari seorang Indonesia bernama Rasino, lelaki kelahiran 17 Juli
1975, seorang alumnus mahasiswa Jurusan Kerawitan ISI (Institut Seni Indonesia) Solo,
tahun 1999. Seorang yang juga ahli dalam memainkan bonang, bahkan ia juga bisa
memainkan alat gamelan lainnya seperti menabuh kendang, gong, gender, gambang,
saron, slenthem, siter dan suling, terlepas dari kekurangannya yang sudah tidak bisa
melihat, alias tunanetra. Ia mengatakan seperti ini, seperti yang dikutip dari
vivanews.com :
Orang luar saja belajar musik gamelan sedangkan kita justru tidak. Tentu ironis sekali.
Apakah besok kalau kita belajar harus kepada orang asing tersebut?”. kata Rasino.
Rasino
Semoga saja tidak ada unsur kebalikan di masa depan kelak. Ya, seperti halnya ucapan
Rasino, jika bukan dimulai dari kita pribadi, lalu siapa lagi yang akan melestarikan
kesenian tradisional ini, apakah orang asing itu yang justru melestarikannya? Dan jika
demikian, apakah suatu saat nanti ketika kita sadar bahwa kesenian tradisional itu begitu
penting dan berharga karena itu mencerminkan identitas suatu bangsa, ditambah lagi jika
kebanyakkan orang lokal yang mahir memainkan kesenian tradisional tersebut telah
meninggal karena tidak menutup mata kebanyakkan penggiat kesenian tradisional
sekarang adalah orang-orang tua, bukan orang muda, dan terlebih tidak ada yang
mewarisi keahliannya? Lalu, apakah kita justru belajar kesenian tradisional dari orang
asing yang jelas-jelas kita sebagai yang punya dan idealnya kita lah yang lebih mahir
memainkannya? Coba tanya lah pada diri kawan sendiri.
top related