poverty & health
Post on 06-Aug-2015
140 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Permasalahan kesehatan merupakan permasalahan yang
sangat kompleks karena banyaknya faktor-faktor yang
mempengaruhi kondisi kesehatan baik perseorangan maupun
masyarakat. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah sosial
dan ekonomi. Oleh karena itu, dalam upaya mewujudkan suatu
keadilan dan kemerataan (equity dan equality) dalam bidang
kesehatan harus selalu mempertimbangkan determinan-
determinan sosial dan ekonomi tersebut.
Salah satu variabel di dalam determinan sosial dan ekonomi
yang mempengaruhi status kesehatan adalah kemiskinan.
Secara umum masyarakat miskin menghadapi permasalahan
kesehatan yang jauh lebih nyata terkait dengan adanya
ketidakadilan dan ketidakmerataan (inequity dan inequality)
akibat status sosial dan ekonomi mereka. Hubungan di antara
ketiga hal ini (sosial dan ekonomi, kemiskinan, serta kesehatan)
merupakan suatu hubungan yang terkait dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Baik di skala global maupun
nasional, persoalan yang timbul akibat hubungan ini amat
beragam dan penyelesaiannya membutuhkan kerjasama dari
banyak pihak.
1.2. Tujuan
1.2.1.Mengetahui inequity dan inequality sosial ekonomi
khususnya kemiskinan yang berpengaruh dalam status
kesehatan
1.2.2.Mengetahui masalah yang timbul akibat inequity dan
inequality tersebut dan solusi yang bisa diambil untuk
mengatasinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Equity dan Equality
Equity adalah keadilan berdasarkan kebutuhan, sedangkan
equality maknanya lebih kepada persamaan manfaat yang
diperoleh tanpa merujuk pada kebutuhan (Picket, 1990). Dalam
bidang kesehatan, Kawachi menyatakan bahwa equity berarti
pelayanan diberikan berdasarkan kebutuhan dan setiap orang
dengan kebutuhan yang sama harus diperlakukan secara sama.
Sedangkan equality lebih mengacu pada situasi dimana semua
orang mendapat perlakuan yang sama (Maharani, 2009).
Kebalikan dari equity dan equality adalah inequity dan
inequality. Konsep inequity dipahami sebagai adanya perbedaan-
perbedaan yang sesungguhnya tidak diperlukan dan dapat
dihindari, dan ditunjukkan dengan adanya perasaan mendapat
ketidakadilan (unfairness dan unjustness). Dengan kata lain
istilah inequity memiliki dimensi moral dan etika. Sedangkan
konsep inequality lebih mengacu pada kuantitas yang dapat
diukur dari perbedaan-perbedaan dan variasi tersebut tanpa
melibatkan penilaian moral.
Menurut Shin dan Kim (2010) inequity menyangkut
perbedaan dalam mendapatkan akses, jangkauan, dan kualitas
pelayanan kesehatan sehingga timbul ketimpangan status
kesehatan antara kelompok masyarakat yang berbeda.
Inequality dalam kesehatan sebagian mengacu pada
pemanfaatan pelayanan kesehatan yang timpang antara
kelompok-kelompok yang berbeda secara sosial demografi.
2.2.Determinan Sosial dan Ekonomi Kesehatan
Determinan sosial dan ekonomi kesehatan adalah kondisi
sosial ekonomi dimana masyarakat hidup yang menentukan
status kesehatan mereka. Determinan ini lebih berupa kondisi-
kondisi yang berisiko sosial daripada faktor-faktor yang berisiko
perseorangan. Kondisi-kondisi ini dapat meningkatkan maupun
menurunkan risiko serangan penyakit.
Raphael (2008) mengutarakan konsep mengenai determinan
sosial kesehatan sebagai kondisi sosial dan ekonomi yang
membentuk kesehatan individu, komunitas dan yuridiksinya
secara menyeluruh. Determinan sosial kesehatan adalah
determinan utama dalam menentukan apakah seseorang akan
tetap sehat atau menjadi sakit. Tidak hanya itu, determinan
sosial kesehatan juga meluas pada sumber daya fisik, sosial dan
personal yang dimiliki seseorang untuk mengenali dan mencapai
kepuasan akan kebutuhannya terkait dengan lingkungan.
Determinan sosial kesehatan adalah juga tentang jumlah dan
mutu dari berbagai sumber daya yang dimiliki masyarakat yang
tersedia bagi anggotanya.
Di dalam Social Determinants of Health: The Solid Facts
(World Health Organization) disebutkan bahwa pada awalnya
kebijakan kesehatan kebanyakan hanya menyinggung tentang
peraturan dan pendanaan pelayanan kesehatan, sedangkan
mengenai determinan sosial kesehatan hanya dibahas di dunia
akademik. Namun sekarang hal ini telah berubah. Beberapa
determinan sosial dan ekonomi kesehatan yang disebutkan di
dalam Solid Facts tersebut antara lain stress, masa kehidupan
awal, larangan sosial, pekerjaan, pengangguran, dukungan
sosial, ketergantungan (addiction), pangan, dan transportasi.
Sementara pelayanan kesehatan dapat memperpanjang
ketahanan hidup dan meningkatkan prognosis (ramalan)
beberapa penyakit serius, satu hal yang lebih penting di dalam
kesehatan masyarakat sebagai suatu kesatuan adalah kondisi-
kondisi sosial ekonomi yang membuat orang menjadi sakit dan
membutuhkan pelayanan kesehatan. Dengan demikian jelaslah
bahwa akses universal (tidak membeda-bedakan kondisi sosial
ekonomi) ke berbagai pelayanan kesehatan merupakan salah
satu determinan sosial kesehatan.
2.4.Kemiskinan
Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan
kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan
hidup. Chambers di dalam Suryawati (2005) mengatakan bahwa
kemiskinan adalah suatu konsep terintergrasi yang memiliki lima
dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan
(powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of
emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5)
keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam
kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga
banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan dan pendidikan
rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap
ancaman tindak kriminal, ketidak berdayaan dalam menentukan
jalan hidupnya sendiri (Suryawati, 2005).
Kemiskinan dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
1. Kemiskinan absolut, kondisi dimana seseorang memiliki
pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan,
kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang dibutuhkan
untuk bisa hidup dan bekerja.
2. Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat
sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
3. Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap
seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor
budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada
bantuan dari pihak luar.
4. Kemiskinan struktural, situasi miskin yang disebabkan oleh
rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam
suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak
mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali
menyebabkan suburnya kemiskinan.
Menurut Nasikun dalam Chriswardani Suryawati (2005),
beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan,
yaitu:
a. Policy induces processes, yaitu proses pemiskinan yang
dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu
kebijakan, di antaranya adalah kebijakan antikemiskinan,
tetapi relitanya justru melestarikan. Contohnya, pada pola
produksi kolonial, petani menjadi marjinal karena tanah yang
paling subur dikuasai petani sekala besar dan berorientasi
ekspor.
b. Population growth, prespektif yang didasari oleh teori Malthus,
bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan
pertambahan pangan seperti deret hitung.
c. Resaurces management and the environment, adalah unsure
mismanagement sumber daya alam dan lingkungan, seperti
manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan
produktivitas.
d. Natural cycle and processes, kemiskinan terjadi karena siklus
alam. Misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan tersebuut
jika turun hujan akan terjadi banjir, akan tetapi jika musim
kemarau kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan
produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.
e. The marginalization of woman, peminggiran kaum perempuan
karena masih dianggap sebagai golongan kelas kedua,
sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang lebih
rendah dari laki-laki.
f. Cultural and ethnic factors, bekerjanya faktor budaya dan
etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya pada pola
konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta
adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau
keagamaan.
g. Exploratif intermediation, keberadaan penolong yang menjadi
penodong, seperti rentenir.
h. Internal political fragmentation and civil stratfe, suatu
kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang
fragmentasi politiknya kuat, dapat menjadi penyebab
kemiskinan.
i. International processes, bekerjanya sistem internasional
(kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara
menjadi miskin.
Indikator Kemiskinan
Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada
pendapatan seseorang. Seseorang yang memiliki pendapatan
kurang dari US$ 1 per hari masuk dalam kategori miskin
(Suryawati, 2005).
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat kemiskinan
didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu
2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang
dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di
lapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis
komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak
dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan
kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis
kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta
perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini sering disebut
dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan
di bawah garis kemiskinan dikatakan dalam kondisi miskin.
2.5.Indikator Sehat
Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah
membangun sumber daya manusia yang bekualitas yang sehat,
cerdas, dan produktif. Pencapaian pembangunan manusia yang
diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) belum
menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam tiga dasawarsa
terakhir. Pada tahun 2003, IPM Indonesia masih rendah yaitu
berada pada peringkat 112 dari174 negara, lebih rendah dari
negara-negara tetangga. Tiga komponen yang digunakan untuk
mengukur IPM yaitu faktor ekonomi (pendapatan per kapita),
pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), dan
kesehatan (usia harapan hidup, angka kematian ibu dan angka
kematian bayi).
Dari komponen kesehatan, dewasa ini Angka Kematian Ibu
(AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tinggi
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI di
Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per
1.000 Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI), AKI di Indonesia masih tinggi jika dibandingkan dengan
negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar 228 per 100.000 kelahiran
hidup. Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada Tujuan
Jaminan Persalinan(Jampersal) ini adalah meningkatnya akses
terhadap pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter atau
bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB melalui jaminan
pembiayaan untuk pelayanan persalinan.
Kemiskinan dan status kesehatan merupakan suatu
fenomena yang saling terkait, oleh karena itu untuk
meningkatkan status kesehatan suatu masyarakat erat
kaitannya dengan upaya peningkatan ekonomi. Beberapa
penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa proporsi bayi
dengan BBLR berkurang seiring dengan peningkatan pendapatan
nasional suatu negara.
Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan ekonomi
sebagai dampak dari berkurangnya kurang gizi dapat dilihat dari
dua sisi, pertama berkurangnya biaya berkaitan dengan
kematian dan kesakitan dan di sisi lain akan meningkatkan
produktivitas. Paling kurang manfaat ekonomi yang diperoleh
sebagai dampak dari perbaikan status gizi adalah: berkurangnya
kematian bayi dan anak balita, berkurangnya biaya perawatan
untuk neonatus, bayi dan balita, produktivitas meningkat karena
berkurangnya anak yang menderita kurang gizi dan adanya
peningkatan kemampuan intelektualitas, berkurangnya biaya
karena penyakit kronis serta meningkatnya manfaat
“intergenerasi” melalui peningkatan kualitas kesehatan.
2.6.Hubungan Kemiskinan dan Kesehatan
Keadaan sosial ekonomi masyarakat mempengaruhi
kesehatan secara keseluruhan. Di antara bermacam-macam
faktor sosial ekonomi yang menentukan kesehatan masyarakat,
pendapatan adalah determinan yang paling menonjol.
Pendapatan yang lebih tinggi, terutama di negara-negara maju,
akan memacu lingkungan yang lebih sehat (Vafei et al, 2010).
Masyarakat berpenghasilan rendah menghadapi
permasalahan kesehatan yang lebih nyata, yakni tingginya
angka kelahiran, kematian dan dependency. Kemiskinan dan
rendahnya tingkat pendidikan mempengaruhi dimensi biologis
melalui malnutrisi dan residu dari penyakit-penyakit yang
terakumulasi selama masa kehidupan seseorang. Selain itu,
kemiskinan memiliki dampak yang kuat terhadap dimensi
lingkungan, antara lain terkait dengan (1) kualitas pemukiman,
(2) peningkatan risiko kecelakaan/luka-luka, dan (3) paparan
berlebihan dari bahaya-bahaya lingkungan, seperti polutan dan
hewan sebagai vektor penyakit. Kemiskinan juga dapat
mengubah dimensi perilaku, contohnya, kebanyakan perokok
adalah masyarakat miskin daripada masyarakat yang mampu.
Masyarakat miskin cenderung mengabaikan dan kurang
menghargai tindakan pencegahan (preventif) penyakit karena
bagi mereka yang lebih penting adalah mampu bertahan hidup
dari hari ke hari. Meskipun secara organisasi masyarakat miskin
telah memiliki sejumlah sistem pendukung kesehatan yang
disediakan pemerintah, secara umum akses terhadap sistem
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tersebut dinilai kurang
efektif (Picket and Handlon, 1990).
Sebuah teori sederhana mengenai rendahnya perilaku sehat
pada masyarakat sosial ekonomi rendah dapat disusun dengan
asumsi sebagai berikut:
1. Ada faktor primer yang mempengaruhi secara langsung
kesehatan masyarakat sosial ekonomi rendah yang tidak
dapat dihindari karena mereka sering terpapar dengan
lingkungan berbahaya sepanjang hidup mereka.
2. Karena faktor primer ini, pelaksanaan perilaku sehat berupa
tindakan pencegahan akan berkurang karena mereka mau
tidak mau terus terpapar. Ini akan menimbulkan efek
sekunder dimana masyarakat sosial ekonomi rendah akan
jarang berperilaku sehat.
3. Karena efek primer dan sekunder ini saling bergabung, maka
perbedaan sosial ekonomi akan memiliki dampak pada
kesehatan yang lebih besar dibandingkan dengan perbedaan
kondisi lingkungan yang awal tadi. Ini merupakan lingkaran
yang semakin memperburuk kondisi kemiskinan.
Inequality pendapatan telah lama dihubungkan dengan
perbedaan dalam dampaknya terhadap kesehatan, mencakup
kematian, kesehatan fisik dan mental, serta efeknya pada
reproduksi. Penelitian meyakini ada dua jalur dimana inequality
pendapatan mempengaruhi kesehatan masyarakat:
1. Kurangnya investasi masyarakat pada infrastruktur yang
diperlukan untuk peningkatan kesehatan di lingkungannya
yang timpang secara ekonomi.
2. Dampak psikologis akibat inequality pendapatan pada mereka
yang tidak mampu, seperti kurangnya ikatan sosial dan
merasa mendapat perlakuan tidak adil.
Inequality tingkat pendapatan dan inequity pemanfaatan
pelayanan kesehatan berbeda antara masyarakat desa dan kota
karena perbedaan yang besar dari komposisi demografi, status
kesehatan penduduknya, distribusi pendapatan, serta pola
penggunaan pelayanan kesehatan. Dibandingkan dengan
nonpedesaan, penduduk desa lebih tua dan aktivitasnya
terbatas, serta dilaporkan memiliki kesehatan yang lebih buruk
(Shin & Kim, 2010).
Sementara penelitian terhadap inequity di Indonesia dengan
kesehatan gigi yang dilakukan oleh Maharani (2009)
menyimpulkan bahwa pada penduduk dengan sosial ekonomi
tinggi, tinggal di pulau jawa, serta mempunyai asuransi, memiliki
hubungan positif dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi.
Jika kemampuan membayar menjadi determinan pemanfaatan
layanan kesehatan gigi, dapat disimpulkan bahwa individu
dengan kebutuhan yang sama (equal) tapi memiliki kemampuan
membayar yang berbeda, tidak akan mendapatkan perawatan
gigi yang sama.
Di Kanada, tingkat status kesehatan akan tinggi pada daerah
dengan pendapatan tetap yang tinggi, banyaknya penduduk
berpendidikan tinggi, serta sedikitnya peminum berat di wilayah
tersebut. Kelas sosial, yang diukur dengan pekerjaan,
pendapatan, atau pendidikan, juga memiliki dampak yang
signifikan pada mortalitas dan morbiditas. Penggunaan ratio
mortalitas standar Inggris dan Amerika menunjukkan bahwa
ketimpangan antara manfaat yang didapat kelas sosial ekonomi
tinggi dan kerugian yang diperoleh masyarakat sosial ekonomi
rendah, termasuk kesehatan, semakin melebar dari tahun 1930
ke 1980. Penjelasan dari adanya inequality dalam status
kesehatan karena status sosial ekonomi ini mengacu pada empat
faktor: peradaban, seleksi sosial, budaya/perilaku, dan kondisi
material/struktural. Kesimpulan dari beberapa referensi
menyatakan bahwa ketimpangan materi dan sosial merupakan
faktor penting utama yang berpengaruh pada inequality dalam
kesehatan (Cornell, 1995).
Dalam negara yang ekonominya sedang berkembang,
terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam efek
kesehatan jangka panjang antara masyarakat dengan perbedaan
status sosial ekonomi. Besarnya perbedaan tersebut tidak
berubah seiring waktu, menjadikannya prioritas utama untuk
kebijakan publik. Penelitian menunjukkan bahwa tindakan
preventif merupakan faktor yang berpengaruh pada inequality
status kesehatan. Orang-orang dari status sosial ekonomi rendah
ditemukan lebih sering merokok, jarang berolahraga, memiliki
diet yg buruk, kurang responsive terhadap terapi (pengobatan),
jarang memanfaatkan layanan kesehatan, sedikit mengadopsi
saran-saran keselamatan, sering mengabaikan saran-saran
medis, dan secara keseluruhan memiliki kesadaran akan
kesehatan yang kurang dibandingkan kelompok lainnya yang
lebih kaya. Beberapa perilaku tersebut pada intinya terkait
dengan keterbatasan finansial, seperti misalnya pada diet yang
sehat, akan mengeluarkan biaya lebih besar daripada makanan
yang tidak sehat. Namun faktor sosial ekonomi tetap ada
mengesampingkan perbedaan pendapatan sebagai
penjelasannya. Inequity sosial ekonomi dalam berperilaku sehat
tidak begitu saja diatasi dengan memberikan informasi.
Pemberian informasi kesehatan cenderung hanya mengubah
perilaku dari para sukarelawan dari kelas sosial ekonomi yang
lebih tinggi saja, tidak pada yang lebih rendah, yang kemudian
akan memperparah inequality sosial ekonomi dalam kesehatan.
Pada intinya, masyarakat dari sosial ekonomi rendah mengalami
lingkaran pemburukan kemiskinan: masyarakat menghadapi
hambatan sosial ekonomi yang besar, jauh dari kemungkinan
untuk mengurangi hambatan tersebut dengan perubahan pola
hidupnya melainkan mereka berperilaku yang akan membuat
kondisi semakin buruk, bahkan jika mereka diberikan
kesempatan untuk berbuat sebaliknya.
Perbedaan sosial ekonomi mempengaruhi sikap dan
psikologi seseorang terhadap kesehatan. Mereka yang berasal
dari sosial ekonomi rendah cenderung lebih pesimis, sangat
meyakini pemikiran bahwa sehat dipengaruhi oleh kesempatan,
dan lebih menekankan dampak yang terjadi saat ini daripada
untuk masa mendatang (Nettle, 2010).
Secara keseluruhan, hubungan antara rendahnya status sosial
ekonomi, kemiskinan, serta dampaknya pada inequity dan
inequality kesehatan tampak pada bagan berikut:
Status Sosial Ekonomi Rendah
Pendapatan Rendah/Kemiskinan (Determinan utama status sehat)
Inequity & Inequality dalam Kesehatan (Dibandingkan status Sosek
yang lebih tinggi)
Pemerintah
- Jaminan kesehatan
belum merata
- Perbedaan perlakuan
pelayanan kesehatan
Masyarakat
- Sikap dan pemikiran
tak sehat
- Perilaku tidak sehat
Lingkungan
- Lebih sering terpapar
bahaya (lingkungan
kerja, tempat tinggal)
Perbedaan Status
Kesehatan
- IMR tinggi
- MMR tinggi
- Life Expectancy
rendah
BAB III
PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
3.1.Kemiskinan dan Kesehatan
3.1.1. Kemiskinan dan Penyakit Tak Terpisahkan
Kemiskinan dan penyakit terjadi saling kait-mengkait,
dengan hubungan yang tidak akan pernah putus terkecuali
dilakukan intervensi pada salah satu atau kedua sisi, yakni pada
kemiskinannya atau penyakitnya. Hal itu dapat dijelaskan
dengan skema berikut.
Kemiskinan mempengaruhi kesehatan sehingga orang
miskin menjadi rentan terhadap pelbagai macam penyakit,
karena mereka mengalami gangguan sebagai berikut:
1. menderita gizi buruk
2. pengetahuan kesehatan kurang
3. perilaku kesehatan kurang
4. lingkungan pemukiman buruk
5. biaya kesehatan tidak tersedia
Sebaliknya kesehatan mempengaruhi kemiskinan.
Masyarakat yang sehat menekan kemiskinan karena orang yang
sehat memiliki kondisi sebagai berikut:
1. produktivitas kerja tinggi
2. pengeluaran berobat rendah
3. Investasi dan tabungan memadai
4. tingkat pendidikan maju
5. tingkat fertilitas dan kematian rendah
6. stabilitas ekonomi mantap
Beberapa data empiris global menemukan hubungan sebagai
berikut:
Kematian bayi keluarga miskin tiga kali lebih tinggi dari
keluarga tidak miskin
Kematian balita keluarga miskin lima kali lebih tinggi dari
keluarga tidak miskin
Pertumbuhan ekonomi negara dengan tingkat kesehatan lebih
baik (IMR antara 50-100/1000 kelahiran hidup) adalah 37 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan negara dengan tingkat
kesehatan lebih buruk (IMR>150/1000 kelahiran hidup)
Keterkaitan yang erat antara penyakit dan kemiskinan
adalah permasalahan kompleks yang sudah berlangsung sejak
lama dan hingga saat ini belum ditemukan solusi yang paling
efektif untuk memecahkan masalah tersebut. Solusi yang ada
selama ini baru sebatas regulasi yang implementasinya belum
berjalan optimal. Padahal dua komponen ini sangat menentukan
terhadap status kesehatan masyarakat, karena salah satu cara
untuk meningkatkan status kesehatan tersebut adalah dengan
mengatasi kemiskinan sebagai akibat adanya ketidakadilan dan
ketidakmerataan di bidang sosial ekonomi.
Di sisi lain, saking erat keterkaitannya, kedua komponen ini
sudah sangat sulit dipisahkan. Tidak jarang timbul persepsi orang
miskin sudah sewajarnya sakit, dan orang miskin selayaknya
untuk sakit. Sehingga jikan ingin dilakukan intervensi, tidak bisa
hanya satu persatu, melainkan sekaligus keduanya.
3.1.2. Sikap
Masyarakat miskin dan terutama yang tinggal di pedesaan
memiliki sikap pesimis dan meyakini bahwa sehat terjadi karena
adanya kesempatan, bukan atas usaha mereka sendiri. Inequity
dan inequality sosial ekonomi yang terjadi sudah mereka anggap
sebagai suatu kewajaran, tertanam dalam sikap mental,
sehingga berpengaruh pada rendahnya status kesehatan
masyarakat miskin itu sendiri. Pemerintah sendiri merasa
kesulitan merubah pola pikir masyarakat tersebut; namun di lain
sisi ini bisa menjadi keuntungan karena pemerintah belum
mampu menjadikan kesehatan sebagai prioritas akibat
kurangnya dana untuk mewujudkan equity tersebut.
3.1.3. Sosial dan Ekonomi
Walau diprioritaskan pada kemiskinan dalam mewujudkan
equity dan equality di bidang kesehatan, namun tidak semata-
mata hanya faktor ekonomi yang menjadi perhatian, faktor sosial
juga sangat berperan menentukan baik itu secara langsung
kepada inequity dan inequality kesehatan ataupun secara tidak
langsung kepada ekonomi individu atau masyarakat.
Determinan sosial ekonomi termasuk kemiskinan
merupakan faktor-faktor utama dalam pendistribusian
kesempatan masyarakat untuk memperoleh kesehatan. Di pihak
lain, ada yang berpendapat bahwa ekonomi berkaitan erat
dengan kemampuan seseorang membiayai dan mendapatkan
pelayanan kesehatan, sehingga solusi-solusi mengenai
permasalahan ekonomi termasuk kemiskinan masyarakat yg
diutamakan, karena pada akhirnya ketika kondisi ekonomi
membaik maka tingkat sosial orang tersebut akan meningkat
juga.
3.2.Sistem Kesehatan
3.2.1. Kebijakan
Besaran perbedaan sosial ekonomi pada dampaknya
terhadap kesehatan bervariasi antar masyarakat yang berbeda,
dan juga berbeda dari satu waktu ke waktu. Hal ini yang menjadi
kendala dalam mengatasi permasalah inequity dan inequity
sosial ekonomi khususnya kemiskinan pada kesehatan karena
solusi yang dilakukan oleh masyarakat dan terutama pemerintah
hampir selalu sama dari tahun ke tahun, meneruskan program
yang sudah ada sebelumnya. Apakah program jamkesmas masih
sesuai di masa sekarang dengan semakin berubahnya pola pikir
masyarakat mengenai kelayakan pelayanan kesehatan yang
ingin masyarakat terima? Ataukah program tersebut tidak
mengalami kendala saat diterapkan di daerah yang berbeda?
Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian memunculkan investigasi
mengenai faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap
status sosial ekonomi dan kesehatan, juga dengan cara apa
faktor tersebut mempengaruhinya. Jawaban atas hal ini akan
menjadi dasar dalam penurunan inequality kesehatan.
Bagi yang setuju dengan masalah ini, mereka akan
menyetujui bahwa kondisi masyarakat yang berpengaruh pada
status sosial ekonomi akan berbeda dari waktu ke waktu, dan
akan berbeda pula dari satu kelompok dengan kelompok lain,
sehingga program-program terkait peningkatan status kesehatan
baik oleh kelompok itu sendiri atau oleh pemerintah harus selalu
disesuaikan. Kelompok yang tidak setuju menyatakan bahwa
satu program tidak akan mempunyai dampak apabila hanya
diterapkan sesaat, melainkan harus dalam jangka waktu lama
supaya efek atau tujuannya terhadap kesehatan masyarakat
akan lebih terasa.
3.2.2. Pembiayaan Kesehatan
Secara organisasi masyarakat miskin telah memiliki
sejumlah sistem pendukung kesehatan yang disediakan oleh
pemerintah, namun secara umum akses terhadap sistem
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tersebut dinilai kurang
efektif. Salah satu bagian terpenting di dalam sistem kesehatan
masyarakat adalah pembiayaan kesehatan.
Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan
Undang-Undang Nomor 23/ 1992 tentang Kesehatan,
menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan
masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap
kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar
terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi
masyarakat miskin dan tidak mampu. Derajat kesehatan
masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi
(AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup
tinggi, yaitu AKB sebesar 26,9 per 1000 kelahiran hidup dan AKI
sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup serta Umur Harapan
Hidup 70,5 Tahun (BPS 2007). Derajat kesehatan masyarakat
miskin yang masih rendah tersebut diakibatkan karena sulitnya
akses terhadap pelayanan kesehatan. Kesulitan akses pelayanan
ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tidak adanya
kemampuan secara ekonomi dikarenakan biaya kesehatan
memang mahal. Untuk menjamin akses penduduk miskin
terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945, sejak tahun 2005 telah diupayakan
untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui
pelaksanaan kebijakan Program Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat Miskin.
Meskipun Negara telah menetapkan program Jaminan
kesehatan bagi warga miskin, masih banyak penduduk yang
belum memiliki jaminan pembiayaan kesehatan tersebut
dikarenakan belum tepatnya data sasaran sehingga tidak
mampu mengakses pelayanan kesehatan yang ada. Undang-
undang Sistem Jaminan Sosial Nasional pun baru sebatas
kebijakan yang implementasi belum optimal.
Jaminan kesehatan sangat dibutuhkan sehingga tidak akan
terjadi individu dengan kebutuhan yang sama (equal) tapi
memiliki kemampuan membayar yang berbeda, tidak akan
mendapatkan perawatan yang sama pula. Sedangkan pendapat
lain menyatakan bahwa jaminan sosial menyeluruh belum
dibutuhkan karena masyarakat Indonesia yang besar dan
majemuk sulit untuk menerapkannya segera, namun begitu
pemerintah berargumen bahwa mereka sudah memberikan
jaminan kesehatan khusus bagi warga yang tidak mampu dalam
rangka mewujudkan equality pelayanan kesehatan.
3.2.3. Fasilitas dan Tenaga Kesehatan
Semakin miskin daerahnya maka fasilitas dan tenaga
kesehatan di daerah itu akan lebih sedikit dibanding daerah
dengan penduduk kelas sosial ekonomi lebih tinggi, padahal di
daerah miskin itulah masalah-masalah kesehatan paling banyak
timbul, sehingga masuk akal apabila status kesehatan warga di
daerah miskin lebih rendah. Ketika sumber daya sosial
didistribusikan tidak sama rata berdasarkan kelas dan ras, maka
kesehatan populasi akan terdistribusi pula secara tidak merata
berdasar garis sebelumnya.
Permasalahan di sini adalah pemerintah belum mampu
memberikan pemerataan kesehatan ke semua daerah, padahal
peran pemerintah adalah yang paling utama dalam menentukan
kebijakan untuk membuat pemerataan pembangunan, akses,
cakupan, kualitas dan pemberian jaminan kesehatan bagi
masyarakat. Namun beberapa berpendapat supaya masyarakat
sendiri yang harus proaktif mengusahakan sarana kesehatan
masing-masing apabila belum disediakan pemerintah seperti
yang dilakukan beberapa daerah atau orang yang menjadi
sukarelawan kesehatan, karena pemerintah sendiri belum
mampu untuk secara cepat mewujudkan pembangunan fisik dan
psikis yang merata dan menyeluruh.
3.2.4. Inequity dan Inequality Pelayanan Kesehatan
bagi Masyarakat Miskin
Uraian tentang alasan pentingnya pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin, merupakan dorongan untuk mempercepat
penanggulangan kemiskinan dan keharusan mutlak untuk
melaksanakan upaya peningkatan status kesehatan penduduk
miskin. Apalagi, memasuki era globalisasi ini, untuk
pertumbuhan ekonomi suatu negara dituntut daya saing yang
memerlukan sumberdaya manusia dengan kuantitas dan kualitas
tinggi.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin mempunyai arti penting karena 3 alasan pokok:
1. Menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat
miskin, sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin mutlak mengingat kematian bayi dan kematian
balita 3 kali dan 5 kali lebih tinggi dibanding pada
keluarga tidak miskin. Di sisi lain penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat miskin,
dapat mencegah 8 juta kematian sampai tahun 2010.
2. Untuk kepentingan politis nasional yakni menjaga
keutuhan integrasi bangsa dengan meningkatkan upaya
pembangunan (termasuk kesehatan) di daerah miskin
dan kepentingan politis internasional untuk menggalang
kebersamaan dalam memenuhi komitmen global guna
mnurunkan kemiskinan melalui upaya kesehatan bagi
keluarga miskin.
3. Hasil studi menunjukan bahwa kesehatan penduduk yang
baik, pertumbuhan ekonomi akan baik pula dengan
demikian upaya mengatasi kemiskinan akan lebih
berhasil.
Upaya-upaya pelayanan kesehatan penduduk miskin,
memerlukan penyelesaian menyeluruh dan perlu disusun strategi
serta tindak pelaksanaan pelayanan kesehatan yang peduli
terhadap penduduk miskin. Pelayanan kesehatan peduli
penduduk miskin meliputi upaya-upaya sebagai berikut:
1. Membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan
masalah-masalah kesehatan yang banyak diderita
masyarakat miskin seperti TB, malaria, kurang gizi, PMS
dan pelbagai penyakit infeksi lain dan kesehatan
lingkungan.
2. Mengutamakan penanggulangan penyakit penduduk
tidak mampu
3. Meningkatkan penyediaan serta efektifitas pelbagai
pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat non
personal seperti penyuluhan kesehatan, regulasi
pelayanan kesehatan termasuk penyediaan obat,
keamanan dan fortifikasi makanan, pengawasan
kesehatan lingkungan serta kesehatan dan keselamatan
kerja.
4. Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan
penduduk tidak mampu
5. Realokasi pelbagai sumber daya yang tersedia dengan
memprioritaskan pada daerah miskin
6. Meningkatkan partisipasi dan konsultasi dengan
masyarakat miskin. Masalah kesehatan masyarakat
bukan masalah pemerintah saja melainkan masalah
masyarakat itu sendiri karena perlu dilakukan
peningkatan pemberdayaan masyarakat miskin.
Sudah bukan issue baru lagi jika masyarakat miskin kurang
mendapatkan pelayanan dalam kesehatan sebagaimana
mestinya. Dari kesulitan mengakses pelayanan kesehatan itu
sendiri, pembedaan dalam perlakuan oleh petugas kesehatan,
hingga mutu pelayanan yang rendah. Padahal sesuai dengan
prinsip equity dan equality, semua orang dengan kebutuhan
kesehatan yang sama berhak mendapatkan perlakuan yang
sama dan sesuai. Namun belum semua menerima pemahaman
mengenai equity dan equality tersebut. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa pembedaan pelayanan kesehatan karena
status sosial ekonomi tampak begitu jelas, dan tidak ada usaha
untuk memperbaikinya, karena baik dari si penyedia dan
penerima layanan seolah-olah sudah menerima persepsi yang
menyatakan bahwa hak orang miskin dalam mendapat
pelayanan tidak sebesar orang yang status sosial ekonominya
lebih tinggi.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kemiskinan merupakan salah satu determinan sosial
ekonomi yang sangat mempengaruhi status kesehatan
masyarakat. Oleh karena itu dalam upaya mewujudkan equity
dan equality di bidang kesehatan, faktor ini harus menjadi
pertimbangan yang penting. Kemiskinan dan kesehatan memiliki
kaitan yang sangat erat, terutama dalam hal hubungan
kemiskinan dengan penyakit, faktor sosial ekonomi dan sikap
terhadap kesehatan. Pada sistem penyelenggaraan kesehatan
bagi masyarakat miskin, dalam rangka mewujudkan equity dan
equality di dalam bidang kesehatan terdapat empat hal yang
harus diperhatikan yakni kebijakan kesehatan, fasilitas dan
tenaga kerja kesehatan, pembiayaan kesehatan dan pelayanan
kesehatan.
4.2. Saran
Komitmen dari pemerintah untuk segera menyiapkan
perangkat implementasi UU SJSN meliputi regulasi jaminan
kesehatan untuk semua, pengalokasian anggaran, BPJS, serta
mekanisme pengumpulan dana Premi.
Komitmen dari pemerintah untuk pengentasan kemiskinan
melalui program yang mempunyai daya ungkit dengan
masyarakat miskin dengan melibatkan berbagai pihak
(Akademisi, LSM), seperti : KUR, KUKM, PNPM, P2WKSS.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, A. Masalah Gizi dan Kesehatan serta Tantangan di
Masa Depan. Dirjen Binkesmas Kementerian Kesehatan:
Jakarta.
Fein, O. 1995. The influence of social class on health status:
American and British research on health inequalities. J Gen
Intern Med. 1995 Oct;10(10):577-86.
Maharani, D.A. 2009. Inequity in Dental Care Utilization in the
Indonesian Population with a Self-Assessed Need for Dental
Treatment. Tohoku J. Exp. Med., 2009, 218 (3), 229-239.
Marmot, M., Feeney, A. General Explanations for Social
Inequalities in Health. IARC Sci Publ. 1997;(138):207-28.
Mortality in the Whole Population of Scania, Sweden. BMC
Public Health 2006, 6:79.
Nettle, D. 2010. Why Are There Social Gradients in
Preventative Health Behavior? A Perspective from Behavioral
Ecology. PLoS ONE 5(10): e13371.
Pickett, G., Hanlon, J.J. 1990. Public Health: Administration and
Practice. Times Mirror/Mosby College Publishing: St. Louis.
Rosvall, M., et al. 2006. Contribution of main causes of death
to social inequalities in
Shin, H., Kim, J. 2010. Differences in income-related inequality
and horizontal inequity in ambulatory care use between rural
and non-rural areas: using the 1998-2001 U.S. National Health
Interview Survey data. International Journal for Equity in
Health 2010, 9:17.
Siregar, H., Wahyuniarti, D. 2008. Dampak Pertumbuhan
Ekonomi
Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin.
Suryawati, C. 2005. Memahami Kemiskinan Secara
Multidimensional.
Tobias, M.I., Cheung, J. 2003. Monitoring health inequalities:
life expectancy and small area deprivation in New Zealand.
Public Health Directorate, Ministry of Health, Wellington, New
Zealand. Population Health Metrics 2003, 1:2.
Yoon, C.K., Kim, J.K.1987. A study on health indicator and
health affecting factors]. Ingu Pogon Nonjip. 1987 Jul;7(1):89-
107.
http://www.who.int/social_determinants
World Bank. 2006. Era baru dalam Pengentasan Kemiskinan di
Indonesia. The World Bank Office: Jakarta.
top related