restorative - unsyiah
Post on 22-Oct-2021
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
RESTORATIVE
JUSTICE
PARADIGMA BARU HUKUM PIDANA
Editor:
Ferry Fathurokhman, SH, MH, Ph.D
Dr. Rena Yulia, SH, MH
INCA Publishing
Judul Buku
Restorative Justice:
Paradigma Baru Hukum Pidana
Penulis :
Brian Steels dkk
Editor : Ferry Fathurrokhman dan Rena Yulia
Desain Isi dan Sampul
Tim Penerbit
INCA PUBLISHING
Jl. Perum Permata Cimanggis
Blok E 11 No. 11 Depok
Cetakan Pertama, 2016
x + 186 hlm., 14,8 x 21 cm
ISBN: 978-602-97460-1-3
Restorative Justice: Kajian Implementasi | 95
Restorative Justice
Pengalaman Cara Berhukum Aceh
Sulaiman Tripa1
Latar Belakang
Catatan tentang restorative justice, masih lumayan terbatas.
Pemosisian restorative justice pun, beragam. Umumnya
restorative justice diposisikan sebagai pendekatan. Salah satunya
adalah Septa Candra yang menyebutkan pendekatan restorative
justice sebagai pendekatan yang lebih menitikberatkan pada
kondisi terciptanya suatu keadilan bagi pelaku tindak pidana dan
korban. Dengan pendekatan demikian, mekanisme pemidanaan
pun diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan
kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan
seimbang bagi korban dan pelaku. Di samping itu, restorative
justice memiliki makna keadilan yang merestorasi.2
Menurut Makarao dkk, restorative justice merupakan reaksi
terhadap teori retributif yang berorientasi pada pembalasan dan
teori neoklasik yang berorientasi pada sanksi pidana dan sanksi
tindakan.3
Konsep lain disebutkan Prayitno. Menurutnya, restorative
justice adalah peradilan yang menekankan perbaikan atas kerugian
yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana. Dalam hal ini,
1 Mengajar “Hukum Peradilan Adat” dan “Hukum dan Masyarakat” pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala; sulaiman.fh@unsyiah.ac.id. 2 Septa Candra, “Restorative Justice: Suatu Tinjauan terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”, Rechtsvinding, Vol. 2 (2)
2013. Bandingkan, Reyner Timothy Danielt, “Penerapan Restorative
Justice terhadap Tindak Pidana Anak Pencurian oleh Anak di Bawah Umur”, Lex et Societatis, Vol. 2 (6), 2014. 3 M. Taufik Makarao dkk, Pengkajian Hukum tentang Penerapan
Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak-anak, (Jakarta: BPHN, 2013).
96 | Restorative Justice: Kajian Implementasi
restorative justice dilakukan melalui proses kooperatif yang
melibatkan semua pihak.4
Kata kunci dari restoratif justice adalah empowerment, bahkan
empowerment ini adalah jantungnya restoratif (the heart of the
restorative ideology).5
Ada tiga prinsip dasar untuk membentuk restorative justice,
yakni: Pertama, trjadinya pemulihan kepada mereka yang
menderita kerugian akibat kejahatan. Kedua, pelaku memiliki
kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi).
Ketiga, pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan
masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.6
Cara Berhukum
Dengan melihat konsep, pendekatan, dan prinsip tersebut,
tulisan ini ingin melihat secara khusus terkait cara berhukum Aceh
yang dijalankan selama ini.
Barangkali terlalu sederhana apabila “cara berhukum” tersebut
langsung dianalogkan kepada konsep restoratove justice. Akan
tetapi sepertinya, sejumlah bagian-bagian kecil dari cara-cara
berhukum Aceh yang akan dijelaskan, memiliki beberapa
kesamaan dengan konsep tersebut. Sebagai bahan pembelajaran
dari pengalaman Aceh, membuat tulisan ini penting untuk dibagi.
Istilah cara berhukum ditemukan dalam Satjipto Rahardjo.
Menurutnya, cara berhukum adalah bagaimana cara menjalankan
hukum. Selama ini, menjalankan hukum di negeri ini masih
didominasi dengan cara-cara berhukum tertentu yang dipaksakan.
Cara kita berhukum masih menggambarkan suasana pemaksaan
dari suatu cara berhukum tertentu, yaitu hukum yang didatangkan
dan dipaksakan (transformed and imposed) dari luar, terhadap
4 Kuat Puji Prayitno, “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia
(Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto)”,
Dinamika Hukum, Vol. 12 (3) 2012. 5 Ibid. 6 M. Taufik Makarao dkk, Op. Cit.
Restorative Justice: Kajian Implementasi | 97
tatanan sosial Indonesia yang lebih asli dengan sekalian nilai-
nilainya.7
Dengan bersandar pada pendapat demikian, dapat dipahami
bahwa cara berhukum bisa dilaksanakan dengan adanya
pemahaman bahwa penyelesaian masalah, tidak hanya bisa
dilakukan melalui ruang formal semata. Pada saat yang sama,
dalam masyarakat terdapat peradilan adat yang cukup elegan
menyelesaikan masalah yang timbul dalam masyarakat.8
Saya lebih ingin menggunakan kata yang lebih tepat, yakni
“penyelesaian secara damai”. Konsep penyelesaian secara damai
tersebut, terutama dengan cara-cara yang bersumber dari
masyarakat dan hukum adat, merupakan salah satu jalan
penyelesaian masalah dari masyarakat majemuk Indonesia.
Hukum adat sebagai suatu sistem memiliki pola tersendiri dalam
menyelesaikan sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas
dan unik bila dibandingkan dengan sistem hukum lain. Hukum
adat lahir dan tumbuh dari masyarakat, sehingga keberadaannya
bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hukum
adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah, norma yang
disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat
adat. Hukum adat memiliki relevansi kuat dengan karakter, nilai,
dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat adat. Dengan
demikian, hukum adat merupakan wujud juris fenomenologis dari
masyarakat hukum adat.9
Hukum adat Indonesia merupakan penjelmaan dari
kebudayaan masyarakat Indonesia. Hukum adat bersandar pada
alam pikiran bangsa Indonesia yang tidak samadengan alam
pikiran yang menguasai sistem hukum barat atau sistem hukum
7 Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan
Manusia,Kaitannya dengan Profesi Hukum dan pembangunan Hukum
Nasional, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009). 8 Sulaiman Tripa, Hukum Peradilan Adat di Indonesia, (Depok: Pale
Media, 2013). 9 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Prenada-Kencana, 2009).
98 | Restorative Justice: Kajian Implementasi
lainnya. Soedarsono menyebutkan, bahwa tata hukum adat
Indonesia berbeda dengan tata hukum lainnya yang ada di
Indonesia seperti tata hukum Romawi yang dibawa kolonial
Belanda ke Indonesia (Barat), tata hukum Hindu India, tata hukum
Islam, dan berbagai tata hukum lainnya.10 Perbedaan tata hukum
adat Indonesia dengan tata hukum lainnya wajar terjadi, karena
masyarakat Indonesia sebagai pendukung budaya mempunyai
pandangan dan falsafah hidup masyarakat tersendiri. Soepomo
menyebutkan bahwa hukum adat merupakan penjelmaan dan
perasaan hukum yang nyata bagi rakyat.11 Hukum adat dibangun
dari bahan kebudayaan baik yang bersifat riil maupun idiil dari
bangsa Indonesia, khususnya dan bangsa Melayu pada
umumnya.12
Hukum adat sebagai suatu sistem yang bersandar pada alam
pikiran bangsa Indonesia memiliki konsepsi-konsepsi dasar,
unsur, bagian, konsistensi, dan kelengkapan yang kesemuanya itu
merupakan satu kesatuan yang terangkai. Van Vollen Hoven
menyebutkan konstruksi pembidangan hukum adat berupa: bentuk
masyarakat hukum adat, badan pribadi, pemerintahan dan
peradilan, hukum keluarga, perkawinan, waris, tanah, utang
piutang, delik, dan sistem sanksi. Sistematika dan konstruksi
bertitik tolak pada nilai dan kenyataan yang ada pada masyarakat.
Masyarakat hukum adat adalah kerangka tempat hukum adat
bekerja, sehingga akan banyak pengaruh terhadap bagian-bagian
yang lain, dan tentu saja berpengaruh terhadap lakunya hukum
adat.13
Untuk mengukur sejauh mana aturan-aturan hukum adat itu
masih mempunyai kekuatan material, menurut Hilman
10 RH. Soedarsono, “Studi Hukum Adat”, dalam M. Syamsuddin dkk
(Penyunting), Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, (Yogyakarta: FH UNII, 1998). Syahrizal Abbas, Mediasi.. 11 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta: Prandya Paramita,
1996). 12 Syahrizal Abbas, Mediasi. 13 Syahrizal Abbas, Mediasi.
Restorative Justice: Kajian Implementasi | 99
Hadikusuma, maka harus dipenuhi beberapa hal sebagai berikut :
(a) Apakah struktur masyarakat adatnya masih tetap dipertahankan
ataukah sudah berubah; (b) Apakah kepala adat dan perangkat
hukum adatnya masih tetap berperan sebagai petugas adat; (c)
Apakah masih sering terjadi penyelesaian perkara dengan
keputusan-keputusan serupa; (d) Apakah kaidah-kaidah hukum
adat yang formal masih dipertahankan ataukah sudah bergeser dan
berubah; (e) Apakah hukum adat itu tidak bertentangan dengan
Pancasila, UUD serta politik hukum nasional.14
Secara umum, keberadaan hukum adat di Indonesia diakui
oleh Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen kedua yang
disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Pasal 18 B ayat (2)
menyebutkan “negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
di atur dalam Undang-undang”. Pengakuan negara tersebut secara
tersurat memberi arti penting bagi keberlangsungan hukum adat
yang secara turun temurun masih hidup dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia.
Penyelesaian Sengketa Peradilan Adat
Bila kita lihat kajian-kajian tentang penyelesaian sengketa,
maka tergambar bahwa dalam masyarakat hukum adat sudah sejak
lama sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara
musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat seperti
peradilan adat. Dalam peradilan seperti itu, biasanya yang menjadi
hakim adalah tokoh-tokoh adat atau tokoh-tokoh dalam
masyarakat hukum adat. Mengenai kewenangan yang dimiliki,
umumnya tidak terbatas pada perdamaian saja, namun juga
kekuasaan untuk memutuskan sengketa dalam semua bidang
hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana, perdata,
14 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1992).
100 | Restorative Justice: Kajian Implementasi
publik, dan lain-lain.15 Dalam hal ini proses penyelesaian sengketa
dilakukan berdasarkan tiga asas kerja untuk menghadapi perkara-
perkara adat, yaitu asas rukun, patut dan keselarasan.16
Hidup bersama dapat dipertahankan dengan ketiga prinsip
tersebut, yang menjadi ajaran hidup bersama.17 Dalam masyarakat
adat hidup rukun ditegaskan bahwa hubungan semua warga dalam
kehidupan kelompok saling mengabdi, menjaga, mencintai, dan
menghargai. Menurut Syahrizal Abbas, di sinilah lahir etika yag
sangat luhur yakni pengorbanan kebersamaan yang merupakan
panggilan suci. Dengan menjalankan pengorbanan kebersamaan,
akan terwujud masyarakat yang tertib, tentram, damai, makmur,
dan sejahtera. Hal ini dinyatakan secara tegas, pandangan hidup
yang dianut oleh masyarakat hukum adat.18
Pandangan hidup masyarakat adat yang berasal dari nilai, pola
pikir, dan norma telah melahirkan ciri masyarakat hukum adat.
Imam Sudiyat menyebutkan masyarakat hukum adat memiliki ciri
religius, komunal, demokrasi, mementingkan nilai moral spritual,
dan bersahaja/sederhana.19
Pola penyelesaian sengketa terkait dengan ciri dan
karakteristik tersebut. Dalam memahami tradisi penyelesaian
sengketa dalam masyarakat hukum adat, perlu dipahami filosofi di
15 Hilman Hadikusuma, Pengantar. 16 Moh. Koesnoe, Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, (Surabaya:
Erlangga University Press, 1974). 17 Hilman Hadikusuma, Pengantar. 18 Syahrizal Abbas, Mediasi. Menurutnya, pengorbanan adalah pangkal
dari tata tertib masyarakat untuk mengarahkan masyarakat agar tentram,
tertib, dan teratur. Pengorbanan merupakan kewajiban yang harus dimiliki setiap anggota dalam masyarakat. Pengorbanan adalah dasar ketertiban
dan siapa yang berkorban akan mendapat imbalan. Dalam masyarakat adat
dikenal adagium “siapa yang menanam, akan mengambil hasilnya”. Jadi kalau kita mengamati bahwa masyarakat adat mengenal hak dan
kewajiban. Hak adalah imbalan yang didapat oleh masyarakat adat setelah
melakukan pengorbanan (kewajiban). 19 Imam Sudiyat, dalam M. Syamsuddin dkk, Op. Cit. Syahrizal Abbas,
Mediasi.
Restorative Justice: Kajian Implementasi | 101
balik terjadinya sengketa dan dampak-dampak yang terjadi akibat
sengketa terhadap nilai dan komunitas masyarakat hukum adat.
Filosofi ini sangat penting diketahui agar dapat memahami
keputusan-keputusan yang diambil oleh pemegang adat dalam
menyelesaikan sengketanya.20
Tradisi penyelesaian sengketa masyarakat hukum adat
didasarkan pada nilai filosofi kebersamaan (komunal),
pengorbanan, nilai supernatural, dan keadilan. Dalam masyarakat
hukum adat kepentingan bersama merupakan filosofi hidup setiap
manusia. Sengketa yang terjadi antar individu atau kelompok
adalah tindakan yang mengganggu kepentingan bersama, makanya
harus segera diselesaikan secara arif.21 Di samping itu, tradisi
penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat cenderung
menggunakan pola adat atau pola kekeluargaan. Esensi
penyelesaian sengketa dalam hukum adat adalah mewujudkan
damai, bukan hanya bagi para pihak, tapi juga masyarakat secara
keseluruhan.22
Model Peradilan Adat Aceh
Pengalaman ini yang sudah berlangsung di Aceh, terutama
tingkat gampong dan mukim. Provinsi Aceh memiliki 669 Mukim
dan 6464 gampong.23 Keberadaan mukim dan gampong sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat, telah ditetapkan dengan Qanun
Aceh Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dan
Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan
Gampong. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, memosisikan gampong
dan mukim lebih kuat.
Keuchik sebagai hakim di Aceh. Dalam kepemimpinan
keuchik, mencakup tiga bidang yang diemban, yakni eksekutif
20 Syahrizal Abbas, Mediasi. 21 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Penerbit
Prandya Paramita, 1995). 22 Syahrizal Abbas, Mediasi. 23 Anonimious, Aceh Dalam Angka 2013, (Banda Aceh: BPS, 2014).
102 | Restorative Justice: Kajian Implementasi
(melaksanakan pemerintahan), legislatif (membahas peraturan
gampong bersama tuha peut), dan yudikatif (menyelesaikan
sengketa). Dalam upaya menyelesaikan sengketa, keuchik
bertugas: (a) sebagai penyidik, menyelidiki delik atau peristiwa
hukum yang terjadi dalam wilayah desa; (b) sebagai penuntut
umum, menuntut tersangka atau pihak yang dianggap bersalah
supaya dihukum; (c) sebagai penutup perkara, Hakim.
Dasar hukum formal adalah Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa penyelesaian
maslah sosial kemasyarakatan harus ditempuh terlebih dahulu
melalui lembaga Adat. Lembaga Adat dimaksud dalam hal ini
termasuk Keuchiek bersama Perangkat Desa.
Untuk menerapkan hukum, Keuchiek harus berhadapan
terlebih dahulu dengan sistem hukum yang sangat berbeda
karakternya, masing-masing adalah: (1) Sistem Hukum Qanun
Syariat (Islam), berkarakter semi kolektif, semi kompromis, sebab
dalam perkara Hukum tertentu keluarga atau kerabat pihak si
korban turut dilibatkan. Tujuan penerapan hukum dari kedua
sistem hukum tersebut diatas kurang lebih adalah sama, yakni
untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum. Dalam kenyataan
dilapangan diantara kedua tujuan hukum tersebut tidaklah
selamanya singkron, bahkan kadang kala terjadi benturan atau
pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum. (2) Sistem
Hukum Adat, mempunyai karakter yang jauh berbeda apabila
dibandingkan dengan sistem Hukum Pidana (Berat) maupun
dengan sistem Hukum Qanun Syariat (Islam). Letak perbedaan,
antara lain adalah: (a) Hukum Adat tidak membedakan antara
bidang hukum pidana dan bidang hukum perdata; (b) Hukum Adat
tidak berkarakter individualistis, tetapi bersifat kolektif,
kompromis dan koperatif; (c) Pihak yang terlibat dalam suatu
delik, tidaklah hanya individu pelaku dan korban saja tetapi
tersangkut juga keluarga atau kerabat, bahkan gampong dari kedua
belah pihak; (d) Hukum Adat tidak membedakan antara delik
dolus (sengaja) dan culpa (khilaf), yang penting akibat yang
ditimbulkan dari tindak pidana itu. (f) Terjadi delik atau perbuatan
melawan hukum dalam suatu desa atau gampong berakibat timbul
Restorative Justice: Kajian Implementasi | 103
kegoncangan dalam masyarakat. Kegoncangan ini dianggap telah
merusak keseimbangan hukum yang selama ini harmonis, serasi,
aman, damai, rukun dan tenteram.24
Tujuan penerapan hukum, menurut hukum Adat adalah
memulihkan keseimbangan hukum yang telah rusak akibat
perbuatan melawan hukum oleh pelaku. Keuchiek selaku Hakim
desa berupaya dengan cara bagaimanapun juga supaya keadaan
masyarakat desa atau gampongnya dapat pulih kembali seperti
sedia kala yakni harmonis, serasi, aman dan tenteram.25
Peradilan adat merupakan solusi terhadap permasalahan
penyelesaian masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat,
dengan lebih memberikan rasa keadilan tanpa menimbulkan
sebuah masalah baru. Namun kapasitas pemangku adat yang akan
menjalankan peradilan tersebut nantinya tentu menjadi sebagai
tonggak utama terhadap baik buruknya hasil penyelesaian adat itu
sendiri.
Tujuan tersebut yang tercermin dari keinginan membentuk
Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan
Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun Aceh Nomor 10
Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Dalam Qanun Nomor 9
Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat, pertimbangannya: (a) bahwa Adat dan Adat Istiadat yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu
hingga sekarang melahirkan nilai-nilai budaya, norma adat dan
aturan yang sejalan dengan Syariat Islam dan merupakan
kekayaan budaya bangsa yang perlu dibina, dikembangkan dan
dilestarikan; (b) bahwa pembinaan, pengembangan dan pelestarian
Adat dan Adat Istiadat perlu dilaksanakan secara
berkesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya sehingga
dapat memahami nilai-nilai adat dan budaya yang berkembang
dalam kehidupan masyarakat Aceh.
24 TI. Elhakimy, “Fungsi Keuchik selaku Penegak Hukum terkait Delik
Pencabulan”, Makalah dalam Pertemuan Pemangku Adat, (Banda Aceh:
Majelis Adat Aceh, 10 September 2009). 25 Ibid.
104 | Restorative Justice: Kajian Implementasi
Dalam qanun disebutkan, bahwa ruang lingkup pembinaan
dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat meliputi
segenap kegiatan kehidupan bermasyarakat. Pembinaan,
pengembangan, pelestarian, dan perlindungan terhadap adat dan
adat istiadat berpedoman pada nilai-nilai Islami.
Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat
istiadat dimaksudkan untuk membangun tata kehidupan
masyarakat yang harmonis dan seimbang yang diridhai oleh Allah
SWT, antara hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan
lingkungannya, dan rakyat dengan pemimpinnya. Pembinaan
tersebut untuk meningkatkan fungsi dan peran adat dan adat
istiadat dalam menata kehidupan bermasyarakat.
Pembinaan, pengembangan dan pelestarian adat dan adat
istiadat meliputi: (a) tatanan adat dan adat istiadat; (b) arsitektur
Aceh; (c) ukiran-ukiran bermotif Aceh; (d) cagar budaya; (d) alat
persenjataan tradisional; (f) karya tulis ulama, cendikiawan dan
seniman; (g) bahasa-bahasa yang ada di Aceh; (h) kesenian
tradisional Aceh; (i) adat perkawinan; (j) adat pergaulan; (k) adat
bertamu dan menerima tamu; (l) adat peutamat darueh (Khatam Al
Qur’an); (m) adat mita raseuki (berusaha); (n) pakaian adat; (o)
makanan/ pangan tradisional Aceh; (p) perhiasan-perhiasan
bermotif Aceh; (q) kerajinan-kerajinan bermotif Aceh; (r) piasan
tradisional Aceh; dan (s) upacara-upacara adat lainnya.
Penyelesaian sengketa/perselisihan adat meliputi: (a)
perselisihan dalam rumah tangga; (b) sengketa antara keluarga
yang berkaitan dengan faraidh; (c) perselisihan antar warga; (d)
khalwat meusum; (e) perselisihan tentang hak milik; (f) pencurian
dalam keluarga (pencurian ringan); (g) perselisihan harta
sehareukat; (h) pencurian ringan; (i) pencurian ternak peliharaan;
(j) pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; (k)
persengketaan di laut; (l) persengketaan di pasar; (m)
penganiayaan ringan; (n) pembakaran hutan (dalam skala kecil
yang merugikan komunitas adat); (o) pelecehan, fitnah, hasut, dan
pencemaran nama baik; (p) pencemaran lingkungan (skala
ringan); (q) ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman);
Restorative Justice: Kajian Implementasi | 105
dan (r) perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat
istiadat.
Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat
tersebut diselesaikan secara bertahap. Aparat penegak hukum
memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan
terlebih dahulu secara adat di Gampong atau nama lain.
Penyelesaian secara adat meliputi penyelesaian secara adat di
Gampong atau nama lain, penyelesaian secara adat di Mukim dan
penyelesaian secara adat di Laot. Penyelesaian secara adat di
Gampong atau nama lain dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang
terdiri atas: Keuchik atau nama lain; imeum meunasah atau nama
lain; tuha peut atau nama lain; sekretaris gampong atau nama lain;
dan ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong atau
nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
Penyelesaian secara adat di mukim dilaksanakan oleh tokoh-
tokoh adat yang terdiri atas: imeum mukim atau nama lain; imeum
chik atau nama lain tuha peut atau nama lain; sekretaris mukim;
dan ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di mukim yang
bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan
dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong
atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-
tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain dan Imeum
Mukim atau nama lain. Penyelesaian secara adat di Laot
dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas: panglima
laot atau nama lain; wakil panglima laot atau nama lain; 3 orang
staf panglima laot atau nama lain; dan sekretaris panglima laot
atau nama lain.
Dalam hal penyelesaian secara adat di Laot Lhok atau nama
lain tidak bisa menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antara
dua atau lebih panglima laot lhok atau nama lain, maka
sengketa/perselisihan tersebut dilaksanakan melalui penyelesaian
secara adat laot kab/kota. Penyelesaian secara adat laot
kabupaten/kota dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri
atas: panglima laot kab/kota atau nama lain; wakil panglima laot
atau nama lain; 2 orang staf panglima laot kab/kota atau nama
106 | Restorative Justice: Kajian Implementasi
lain; dan 1 orang dari dinas Dinas Kelautan dan Perikanan
dan/atau tokoh nelayan. Sidang musyawarah penyelesaian
perselisihan/ sengketa dilaksanakan di Meunasah atau nama lain
pada tingkat Gampong atau nama lain, di Mesjid pada tingkat
Mukim, di laot pada balee nelayan dan di tempat-tempat lain yang
ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain, Imeum Mukim atau nama
lain, dan Panglima Laot atau nama lain.
Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian
sengketa adat sebagai berikut: nasehat; teguran; pernyataan maaf;
sayam; diyat; denda; ganti kerugian; dikucilkan oleh masyarakat
gampong atau nama lain; dikeluarkan dari masyarakat gampong
atau nama lain; pencabutan gelar adat; dan bentuk sanksi lainnya
sesuai dengan adat setempat.
Di samping itu, ada juga Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008
tentang Lembaga Adat. Dasar pertimbangannya: (a) bahwa
lembaga adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
Aceh sejak dahulu hingga sekarang mempunyai peranan penting
dalam membina nilai-nilai budaya, norma-norma adat dan aturan
untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, ketentraman, kerukunan
dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh sesuai dengan nilai
islami; (b) bahwa keberadaan lembaga adat perlu ditingkatkan
perannya guna melestarikan adat dan adat istiadat sebagai salah
satu wujud pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh di
bidang adat istiadat.
Dalam qanun tersebut disebutkan, bahwa Lembaga adat
berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan
masyarakat, dan penyelesaian masalah-masalah sosial
kemasyarakatan.
Lembaga-lembaga adat adalah Majelis Adat Aceh; imeum
mukim atau nama lain; imeum chik atau nama lain; keuchik atau
nama lain; tuha peut atau nama lain; tuha lapan atau nama lain;
imeum meunasah atau nama lain; keujruen blang atau nama lain;
panglima laot atau nama lain; pawang glee/uteun atau nama lain;
petua seuneubok atau nama lain; haria peukan atau nama lain; dan
syahbanda atau nama lain. Lembaga adat tersebut bersifat otonom
Restorative Justice: Kajian Implementasi | 107
dan independen sebagai mitra Pemerintah sesuai dengan
tingkatannya.
Setiap lembaga adat dapat berperanserta dalam proses
perumusan kebijakan oleh Pemerintah sesuai dengan tingkatannya
yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dan wewenang masing-
masing lembaga adat.
Pemangku Adat mengatur kebijakan dan tata cara
pelaksanaan adat dan adat istiadat sesuai dengan tugas dan fungsi
lembaga adat masing-masing. Pemangku Adat berfungsi sebagai
pendamai dalam menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan
sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Semua lembaga adat tersebut di atas berada di bawah
pembinaan Wali Nanggroe. Pembinaannya dilaksanakan melalui
Majelis Adat Aceh. Pembinaan Lembaga Adat dalam bidang
administrasi dan keuangan dilaksanakan oleh pemerintah Aceh,
dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota menyediakan bantuan dana pembinaan Lembaga-
lembaga Adat sesuai dengan kemampuan daerah.
Pengalaman dari Panteraja (Pidie Jaya)
Sebagai bahan pembelajaran, ada satu kasus yang diselesaikan
dan menjadi best practice bagi Majelis Adat Aceh, yakni kasus
penganiayaan ringan di Gampong Mukablang, Kecamatan
Panteraja, Kabupaten Pidie Jaya.26
Kasus terjadi kira-kira suatu hari di bulan Oktober 2011. Pada
hari itu, mungkin karena emosi dengan sebab tertentu, MY (45
tahun) masuk ke rumah Nur (43 tahun) dan melempar sandal ke
arah anak Nur, IF. Lemparan itu dilakukan bertubi-tubi dengan
beberapa pasang sandal. Perilaku tersebut menyebabkan IF harus
diobati.
Dengan kejadian tersebut, Nur langsung melaporkan kejadian
tersebut kepada Keusyik. Keusyik menerima laporan tersebut, dan
menyebutkan bahwa akan diselesaikan secara baik-baik.
26 Taqwaddin Husein, Sulaiman Tripa, Teuku Muttaqin Mansur, “Peradilan Adat Aceh”, Hasil Penelitian, (Banda Aceh: LKHA, 2012).
108 | Restorative Justice: Kajian Implementasi
Bagi Nur, tanggapan Keusyik dianggap terlalu lamban.
Melihat keusyik tidak langsung mengambil kebijakan untuk
proses penyelesaikan, Nur menganggap keusyik tidak
menindaklanjuti laporannya. Kondisi tersebut menyebabkan Nur
mencoba mengambil jalan lain, yaitu melapor ke Polisi.
Sebenarnya langkah yang mau diambil Nur juga disampaikan
kepada Keusyik. Pada waktu itu, Keusyik sudah menyampaikan
bahwa bila satu laporan sudah disampaikan kepada keusyik, maka
keusyik pasti akan menyelesaikan dan bersabarlah. Karena
ketidaksabaran akhirnya Nur benar-benar melaporkan kasus ini ke
Polisi.
Ketika sampai di Kantor Polisi, dilihat bahwa jenis kasus yang
disampaikan harus diselesaikan pada tingkat gampong dulu. Maka
Polisi meminta Nur kembali ke gampong untuk menjumpai dan
melaporkannya pada keusyik.
Nur kemudian pulang ke kampung, dan kembali
menyampaikan hal tersebut kepada keusyik. Pada waktu itu,
keusyik sendiri ingin memberikan semacam nasehat agar bila
terjadi suatu kasus haruslah dimulai dengan kesabaran agar
kasusnya mudah diselesaikan.
Keusyik waktu itu menanyakan, apakah Nur bersedia
mengikuti proses penyelesaian gampong sepenuhnya. Nur dan
keluarganya menjawab bersedia dan menyerahkan sepenuhnya
kepada Keusyik dan Orang Tua Gampong. Lalu keusyik
mengatakan agar apa yang dialami tersebut sepenuhnya
diselesaikan oleh tokoh gampong.
Dalam kasus tersebut, tetua adat gampong melakukan
pertemuan hingga enam kali agar mendapatkan gambaran kasus
dan menerima informasi dari masing-masing pihak.
Proses yang dilakukan secara bertahap, diharapkan dapat
berlangsung dengan kepala dingin. Kasus yang ditindaklanjuti
pada hari kejadian dengan pada hari-hari setelah kejadian, akan
terdapat perbedaan para pihak dalam menghadapi kasus tersebut.
Setelah beberapa hari kejadian, masing-masing pihak memiliki
waktu untuk merenungi mendalam mengenai apa yang telah
dilakukan. Dengan demikian jalan masuk menjadi lebih mudah.
Restorative Justice: Kajian Implementasi | 109
Pada akhirnya mereka memutuskan bahwa pihak yang
bersalah adalah MY. Karena ia yang bersalah, maka
konsekuensinya adalah mengeluarkan berbagai keperluan untuk
menyelesaikan masalah tersebut, yakni biaya pengobatan IF
sebesar Rp500.000. Kemudian biaya denda Rp400.000 dan biaya
sayam / peusijuek sebesar Rp100.000. Dengan demikian MY
membayar seluruhnya Rp1.000.000,-
Dalam kasus tersebut, MY menerima putusan dan
melaksanakan berbagai hal yang dipersyaratkan, yakni berjanji
damai dan meminta maaf kepada korban dan keluarga korban.
Upacara itu sendiri dilaksanakan di meunasah pada hari
diberikan putusan yakni tanggal 4 November 2011. Di dalam
meunasah, semua pihak saling menerima putusan yang diberikan
dan berjanji tidak akan mengulangi perilaku yang sama di
kemudian hari.
Atas kejadian tersebut, kedua pihak berjanji tidak akan
mengulangi. Dalam putusan di meunasah dibacakan bahwa pihak
(baik pelaku maupun korban) yang memulai mengungkit lagi
masalah tersebut, maka harus membayar seberapapun nanti yang
diputuskan dalam Majelis Adat.
Di luar proses yang tampak, sesungguhnya dalam kasus
tersebut banyak sekali proses di belakang layar yang dilakukan,
yang itu semua tidak mungkin ditulis. Proses tersebut misalnya
keusyik yang meminta orang tertentu untuk menanyakan dari hati
ke hati apa yang diharapkan korban. Demikian juga dengan
pelaku, mengapa ia melakukan itu dan putusan apa yang setimpal
bagi pelaku menurut pelaku sendiri.
Dalam masa penyelesaian kasus tersebut, keusyik juga intens
berkomunikasi dengan berbagai pihak dalam penyelesainnya.
Satu hal lagi yang sering tidak bisa dicatat adalah peran
penting perempuan dalam menyelesaikan kasus. Secara nyata,
dalam majelis sama sekali tidak terdapat anggota perempuan.
Namun di balik penyelesaian itu, peran perempuan sangat penting,
baik dari keluarga pelaku maupun keluarga korban. Perempuan
inilah yang meyakinkan bahwa ketika perselisihan terjadi, maka
semua mereka akan menanggung malu yang tidak terhingga.
top related