the document was created from a file 'g:cdcd fiksskripsi...
Post on 06-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SD
Peserta didik di masa yang akan datang akan menghadapi tantangan berat,
karena kehidupan masyarakat global selalu mengalami perubahan setiap saat,
yang tercantum dalam KTSP Standar Isi 2006. Mata pelajaran IPS dirancang
untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis
terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat
yang dinamis.
Istilah “Ilmu Pengetahuan Sosial” (IPS), merupakan nama mata pelajaran
di tingkat sekolah dasar dan menengah atau nama program studi di perguruan
tinggi identik dengan istilah “social studies”. Sapriya (2009:19). Istilah IPS di
sekolah dasar merupakan nama mata pelajaran yang berdiri sendiri sebagai
integrasi dari sejumlah konsep disiplin ilmu sosial, humaniora, sains bahkan
berbagai isu dan masalah sosial kehidupan. Sapriya (2009:20).
IPS adalah suatu bahan kajian terpadu yang merupakan penyederhanaan,
adaptasi, seleksi dan modifikasi diorganisasikan dari konsep-konsep
keterampilan-keterampilan Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi dan
Ekonomi. Puskur (2001:9). Adanya mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar para
siswa diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan wawasan tentang konsep-
konsep dasar ilmu sosial dan humaniora, memiliki kepekaan dan kesadaran
terhadap masalah sosial di lingkungannya, serta memiliki keterampilan mengkaji
dan memecahkan masalah-masalah sosial tersebut.
Pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek pendidikan dari pada
transfer konsep karena dalam pembelajaran IPS siswa diharapkan memperoleh
pemahaman terhadap sejumlah konsep dan mengembangkan serta melatih sikap,
nilai, moral dan keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya.
9
IPS juga membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Lingkungan masyarakat dimana anak didik tumbuh dan berkembang sebagai
bagian dari masyarakat dan dihadapkan pada berbagai permasalahan di
lingkungan sekitarnya.
Somantri (Sapriya, 2008:9) menyatakan IPS adalah penyederhanaan atau
disiplin ilmu-ilmu social humaniora serta kegiatan dasar manusia yang
diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan
pendidikan. Sementara itu Zuraik (Ahmad Susanto 2013:137) mengemukakan
bahwa IPS merupakan harapan untuk mampu membina suatu masyarakat yang
baik di mana para anggotanya benar-benar berkembang sebagai insan sosial yang
rasional dan penuh tanggung jawab, sehingga oleh karenanya diciptakan nilai-
nilai. Hakikat IPS di sekolah dasar memberikan pengetahuan dasar dan
ketrampilan sebagai media pelatihan bagi siswa sebagai warna negara sedini
mungkin. Karena pembelajaran IPS tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan
semata , tetapi harus berorientasi pada pengembangan keterampilan berpikir kritis,
sikap, dan kecakapan-kecakapan dasar siswa yang berpijak pada kenyataan
kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan bagi
kehidupan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan bagi kehidupan sosial siswa di
masyarakat. IPS pendidikan dasar dan menengah dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa tingkat kesukaran bahan harus sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan minat peserta didik.
Sejalan dengan pemikiran Zuraik dan Soemantri, Banks (Ahmad Susanto
2013:140) berpendapat bahwa pendidikan IPS merupakan bagian dari kurikulum
di sekolah yang bertujuan untuk membantu mendewasakan siswa supaya dapat
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai dalam rangka
berpartisipasi di dalam masyarakat, negara, dan bahkan di dunia. Banks
menekankan begitu pentingnya pembelajaran IPS diterapkan di sekolah-sekolah,
mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi, terutama di sekolah dasar dan
menengah.
Pendidikan IPS untuk tingkat sekolah sangat erat kaitannya dengan
disiplin ilmu-ilmu sosial yang terintegrasi dengan humaniora dan ilmu
10
pengetahuan alam yang dikemas secara ilmiah dan pedagogis untuk kepentingan
pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu Sapriya (2009:12) menegaskan bahwa
IPS di tingkat sekolah pada dasarnya bertujuan untuk menguasai pengetahuan
(knowledge), ketrampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat
digunakan sebagai kemampuan mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan kemasyarakatan agar menjadi warga negara yang baik. Untuk
jenjang SD/MI, pengorganisasian materi mata pelajaran IPS menganut pendekatan
terpadu (integreted), artinya materi pelajaran dikembangkan dan disusun tidak
mengacu pada disiplin ilmu yang terpisah melainkan mengacu pada aspek
kehidupan nyata (factual/real) peserta didik sesuai dengan karakteristik usia,
tingkat pengembangan berpikir, dan kebiasaan bersikap dan berperilakunya.
Dalam dokumen Permendiknas (2006) dikemukakan bahwa IPS mengkaji
seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan isu sosial.
Dari ketentuan ini maka secara konseptual, materi pelajaran IPS di SD belum
mencakup dan mengakomodasi seluruh disiplin ilmu sosial.
Penulis menyimpulkan bahwa IPS adalah ilmu sosial yang bertujuan untuk
mendewasakan peserta didik agar mampu beradaptasi di dalam masyarakat. Di
dalam IPS terdapat berbagai macam ilmu, seperti geografi, sejarah, ekonomi,
sosiologi, antropologi dan lain sebagainya yang disederhanakan dengan tujuan
agar materi mudah untuk dipelajari. Dengan demikian, peranan IPS sangat penting
untuk mendidik siswa mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
agar dapat mengambil bagian secara aktif dalam kehidupannya kelak sebagai
anggota masyarakat dan warga negara yang baik.
Tujuan utama pembelajaran IPS menurut Ahmad Susanto (2013:145) adalah
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial
yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan
segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi masalah yang terjadi
sehari-hari baik yang menimpa dirinya maupun yang menimpa masyarakat.
11
Secara rinci, Ahmad Susanto ( Mutakin, 2013:145-146) merumuskan tujuan
pembelajaran IPS di sekolah , sebagai berikut :
1. Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkunganya, melaluipemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.
2. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunkan metode yangdiadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkanmasalah-masalah sosial.
3. Mampu menggunakan model-model dan proses berfikir serta membuat keputusanuntuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.
4. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampumembuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.
5. Mampu mengembangkan berbaai potensi sehingga mampu mengembangkan dirisendiri agar survive yang kemudian bertanggungjawab membangun masyarakat.
Demikian pula dalam kaitannya dengan KTSP Standar Isi 2006 (Ahmad
Susanto 2013: 149), pemerintah telah memberikan arah yang jelas pada
tujuanpembelajaran IPS, yaitu:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat danlingkungannya.
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir kritis dan logis, rasa ingin tahu, inkuiri,memecahkan masalah, dan ketrampilan dalam kehidupan sosial.
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusian,4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetensi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
Berdasarkan tujuan di atas, dengan mempelajari kondisi masyarakat seperti
yang dimuat dalam pembelajaran IPS, maka siswa akan dapat mengamati dan
mempelajari norma-norma atau peraturan serta kebiasaan-kebiasaan baik yang
berlaku dalam masyarakat, sehingga siswa mendapat pengalaman langsung
adanya hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara kehidupan
pribadi dan masyarakat.
Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu
dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam
kehidupan di masyarakat. Adapun ruang lingkup mata pelajaran IPS di SD/MI
tercantum dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi meliputi
(a) manusia, tempat, dan lingkungan, (b) waktu, keberlanjutan, dan perubahan, (c)
sistem sosial dan budaya, dan (d) perilaku ekonomi dan kesejahteraan.
12
Secara rinci, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS untuk SD/MI
kelas 4 Semester 2 sebagai berikut.
Tabel 2.1
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS Kelas III
Standar Kompetensi Konpetensi Dasar
2. Memahami jenis pekerjaan dan
penggunaan uang
Mengenal jenis-jenis pekerjaan
Memahami pentingnya semangat
kerja
Memahami kegiatan jual beli di
lingkungan rumah dan sekolah
Mengenal sejarah uang
Mengenal penggunaan uang
sesuai dengan kebutuhan
Sumber : Permendiknas No. 22 Tahun 2006
Dalam pelaksanaan pembelajaran, seorang guru perlu membuat rancangan
pembelajaran. Rancangan pembelajaran tersebut dinamakan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP). RPP diatur dalam Standar Proses Permendiknas No. 41
Tahun 2007. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai
standar kompetensi lulusan.
Fungsi pembelajaran IPS adalah untuk menanamkan sikap ilmiah dan
melatih siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi, mengembangkan daya
kreatif dan inovatif siswa serta memberi bekal pengetahuan dasar untuk
melanjutkan pada jenjang pendidikan lebih tinggi.
13
2.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran merupakan sebuah model pembelajaran terkait
dengan teori pembelajaran tertentu. Miftahul Huda (2013:73) mengemukakan
bahwa model pembelajaran dirancang untuk tujuan tertentu yaitu pengajaran
konsep-konsep informasi, cara-cara berpikir, studi nilai-sosial, dengan meminta
siswa untuk terlibat aktif dalam tugas-tugas kognitif dan sosial tertentu.
Berdasarkan teori tersebut dikembangkan tahapan pembelajaran, sistem sosial,
prinsip reaksi dan sistem pendukung untuk membantu siswa dalam
membangun/mengontruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan sumber
belajar. Model pembelajaran memiliki : 1) sintaks (fase pembelajaran); 2) sistem
sosial; 3) prinsip reaksi; 4) sistem pendukung; dan 5) dampak. Ridwan Abdullah
Sani (2013:97).
Joyce dan Weil (Ridwan Abdullah Sani 2013:98) mengemukakan bahwa
model pembelajaran dibagi dalam empat kelompok, yakni : 1) kelompok model
pembelajaran perilaku (behavioral systems family); 2) kelompok model
pembelajaran pemrosesan informasi (information proccesing family); 3)
kelompok model pembelajaran interaksi sosial (social family); 4) kelompok model
pembelajaran personal (personal family). Model pembelajaran ini didasarkan atas
rasional teoritis yang logis, landasan pemikiran tentang apa yang dipelajari dan
bagaimana cara belajar, perilaku dalam proses belajar mengajar agar
pelaksanaannya berhasil. Tujuan utama menggunakan pembelajaran ini adalah : 1)
membantu peserta didik bekerja bersama untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah; 2) mengembangkan ketrampilan berhubungan dengan
orang lain; dan 3) menyadari nilai-nilai pribadi dan sosial.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang model pembelajaran,
maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan pola atau
perilaku umum yang digunakan dalam pembelajaran yang dipakai untuk mencapai
tujuan pembelajaran tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut guru dapat memilih
model atau pola pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk diterapkan sesuai
dengan komponen-komponen pembelajaran tertentu. Model pembelajaran dapat
dilihat berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu,
14
mempunyai misi, dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan pembelajaran,
memiliki dampak sebagai akibat dari penerapan model pembelajaran tertentu, dan
adanya prinsip-prinsip tertentu serta adanya urutan syntax atau langkah-langkah
pembelajaran
Pembelajaran Kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham konstruktivis. Menurut Slavin (Isjoni 2012:12) pembelajaran
kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja
dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang
dengan struktur kelompok heterogen.
Isjoni (2012:12) mengungkapkan bahwa pembelajaran kooperatif
merupakan strategi belajar dengan jumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil
yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok,
setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu
untuk memahami materi pelajaran. Sedangkan Anita Lie (2007:28) pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan siswa lain
dalam tugas-tugas yang terstruktur.
Isjoni (2012:13) berpendapat bahwa belajar dengan model kooperatif ini
dapat diterapkan untuk memotivasi siswa agar berani mengemukakan
pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling memberikan pendapat
(sharing ideas). Selain itu dalam belajar biasanya siswa dihadapkan pada latihan
soal-soal atau pemecahan masalah. Oleh sebab itu, pembelajaran kooperatif sangat
baik untuk dilaksanakan karena siswa dapat bekerja sama dan saling tolong-
menolong mengatasi tugas yang dihadapinya. Selain itu, belajar dengan model
kooperatif ini tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang
sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis,
bekerja sama dan membantu teman. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa terlibat
aktif pada proses pembelajaran sehingga memberikan dampak positif terhadap
kualitas interaksi dan komunikasi yang berkualitas, dapat memotivasi siswa untuk
meningkatkan prestasi belajarnya.
15
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran kooperatif merupakan stategi belajar dengan beberapa jumlah siswa
sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda dimana
dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap siswa anggota kelompok harus
saling bekerja sama dan saling membantu guna mencapai tujuan dalam
pembelajaran tertentu. Dalam pembelajaran kooperatif ini, dikatakan belum
selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Unsur-unsur dalam pembelajaran kooperatif menurut Lungdren (Isjoni
2012:13) sebagai berikut :
a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa “tenggelam atau berenang sama”.b. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain
dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalammempelajari materi yang dihadapi.
c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.d. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab diantara para anggota
kelompok.e. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh
terhadap evaluasi kelompok.f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan
bekerja sama selama belajar.g. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi
yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Thompson (Isjoni, 2012:14) mengemukakan, pembelajaran kooperatif
turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran. Pembelajaran
kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling
membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari
campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk
melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan tman yang berbeda latar
belakangnya.
Pembelajaran kooperatif yang diajarkan adalah keterampilan-keterampilan
khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti
menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi
pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja
kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan. Keterampilan
kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan, kerja dan tugas. Peranan
hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar
16
anggota kelompok, sedangkan peranan tuga dilakukan dengan membagi tugas
antar anggota kelompok selama kegiatan.
Menurut Wina Sanjaya (2006:249) keunggulan-keunggulan dalam
pembelajaran kooperatif, berikut ini kelebihan dalam pembelajaran kooperatif
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Melalui pembelajaran kooperatif siswa tidak terlalu menggantungkanpada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuanberpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, danbelajar dari siswa yang lain.
2. Dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan idea atau gagasandengan kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ideorang lain.
3. Membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari akansegala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.
4. Dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggungjawab dalam belajar.
5. Pembelajaran kooperatif ampuh untuk meningkatkan prestasi akademiksekaligus kemampuan sosial, termasuk mengembangkan rasa harga diri,hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain, mengembangkanketrampilan me-manage waktu dan sikap positif terhadap sekolah.
6. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamansendiri, menerima umpan balik.
7. Meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dankemampuan belajar abstrak menjadi riil.
8. Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasidan memberikan rangsangan untuk berpikir.
Selain mempunyai kelebihan, pembelajaran kooperatif juga mempunyai
kelemahan yang harus dihindari, yakni adanya anggota kelompok yang tidak aktif.
Ini dapat terjadi jika hanya ada satu permasalahan saja. Kelemahan ini dapat
dihindari dengan cara seperti di bawah ini:
1. Untuk memahami dan mengerti filosofis pembelajaran kooperatifmemang butuh waktu. Untuk siswa yang dianggap memiliki kelebihan,contohnya mereka akan merasa terhambat oleh siswa yang dianggapkurang memiliki kemampuan.
2. Ciri utama dari pembelajaran kooperatif adalah bahwa siswa salingmembelajarkan. Jika tanpa peer teaching yang efektif maka sesuatuyang seharusnya dipelajari dan dipahami tidak akan dicapai siswa.
3. Penilaian yang diberikan didasarkan pada hasil kerja kelompok.Meskipun demikian guru perlu menyadari bahwa hasil yang diharapkanadalah hasil individu setiap siswa.
17
4. Pengembangan kesadaran berkelompok memerlukan waktu yangpanjang dan tidak mungkin dicapai dengan penerapan modelpembelajaran yang tidak berkesinambungan.
5. Selain mampu bekerja sama siswa juga harus mempunyai kepercayaandiri untuk melakukan aktivitas secara individu dan bukan hal yangmudah untuk mencapai keduanya.
Berdasarkan beberapa pemaparan tentang kelebihan dan kekurangan
pembelajaran kooperatif yang telah dijelaskan di atas, maka dalam menerapkan
pembelajaran kooperatif guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip, karakteristik,
serta prosedur dari pembelajaran kooperatif itu sendiri dengan benar. Dengan
begitu guru dapat memaksimalkan penggunaan model pembelajaran kooperatif
dalam proses belajar mengajar sehingga guru dapat mengatasi kelemahan dari
pembelajaran kooperatif.
2.1.3 Model Pembelajaran Role Playing (Bermain Peran)
Menurut Fogg (Miftahul Huda 2013:209) bahwa Role Playing atau
bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang di dalamnya ada tujuan,
aturan, dan edutainment. Sementara itu, Husein Achmad (Hidayati, 2004: 93)
mengemukakan bahwa role playing adalah salah satu bentuk permainan
pendidikan yang dipakai untuk menjelaskan peranan, sikap, tingkah laku, dan
nilai dengan tujuan menghayati perasaan, sudut pandang dan cara berpikir orang
lain. Sama halnya menurut Sugihartono (2006:83) bahwa model role playing
adalah metode pembelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan
siswa dengan cara siswa memerankan suatu tokoh baik tokoh hidup maupun
tokoh mati, sehingga siswa berlatih untuk penghayatan dan terampil memakai
materi yang dipelajari.
Santoso (2011) mengatakan bahwa model role playing adalah adalah suatu
cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan
penghayatan siswa. Ginnot (dalam Eka, 2008) menegaskan bahwa bermain peran
merupakan seperangkat prosedur yang digunakan untuk melakukan konseling
dengan anak melalui penggunaan secara sistematis dari metode bermain,
permainan, dan alat permainan.
Sejalan teori diatas, Corsini (dalam Tatiek, 1989) menyatakan bahwa
bermain peran dapat digunakan sebagai alat untuk mendiagnosis dan mengerti
18
seseorang dengan cara mengamati perilakunya waktu memerankan dengan
spontan situasi-situasi atau kejadian yang terjadi dalam kehidupan yang
sebenarnya. Menurut Mulyasa (2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari
pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai
sosial, yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya.
Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
a. Secara implisit bermain peran mendukung situasi belajar berdasarkan
pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat
ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk
menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Terhadap analogy yang
diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan
respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
b. Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk
mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada
orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional
merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih
menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan
penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan
psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa
diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama
dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan
keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya,
dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot
intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan
yang sangat penting dalam pembelajaran.
c. Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke
taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan
tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi
pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dengan demikian, para
peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara
memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik
dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah
19
yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara
optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru
yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model
bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan
masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara
mengenai masalah yang sedang dihadapi.
d. Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi,
berupa sikap, nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf
sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para
pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain,
apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa
bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang
dimilikinya.
2.1.3.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Role Playing
Langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran bermain peran (role
playing) agar berhasil dengan baik menurut Sunarto (2013: 418) yaitu:
1. Guru harus menerangkan dan memperkenalkan kepada siswa
tentangteknik pelaksanaan metode bermain peran ini.
2. Guru menunjuk beberapa siswa yang akan bermain peran dimana masing-
masing akan mencari pemecahan masalah sesuai
dengan perannya sementara siswa yang lain menjadi penonton dengan
tugas-tugas tertentu pula.
3. Guru harus memilih masalah yang urgen sehingga menarik minat siswa.
4. Guru harus dapat menceritakan peristiwa yang akan diperankan sambil
mengatur adegan yang pertama agar siswa memahami peristiwanya,
5. Guru memberikan penjelasan kepada pemeran dengan sebaik-
baiknya,agar mengetahui tugas peranannya, menguasai masalahnya dan
pandai berekspresi maupun berdialog.
6. Siswa yang tidak bermain peran menjadi penonton yang aktif, disamping
mendengar dan melihat, siswa harus memberikan saran dan kritik kepada
siswa yang telah bermain peran.
7. Bila siswa belum terbiasa, perlu dibantu guru dalam menimbulkan
kalimat pertama dalam dialog.
20
8. Setelah bermain peran mencapai situasi klimaks, maka harus dihentikan
agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan
secara umum. Sehingga para penonton ada kesempatan untuk
berpendapat, menilai permainan dan sebagainya. Bermain peran juga
dapat dihentikan bila sedang menemui jalan buntu.
9. Sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi, dilakukan tanya jawab, diskusi
atau membuat karangan yang berbentuk sandiwara.
2.1.3.2 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Role Playing
Menurut Bobby De Porter (2000:12) kelebihan dan kelemahan
model role playing sebagai berikut:
a. Kelebihan
Kelebihan model role playing melibatkan seluruh siswa berpartisipasi,
mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerja sama.
Siswa juga dapat belajar menggunakan bahasa dengan baik dan benar. Selain itu,
kelebihan metode ini adalah, sebagai berikut:
1. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.
2. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam
situasi dan waktu yang berbeda.
3. Guru dapat mengevaluasi pengalaman siswa melalui pengamatan pada waktu
melakukan permainan.
4. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping
merupakan pengaman yang menyenangkan yang saling untuk dilupakan
5. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis
dan penuh antusias
6. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta
menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi
7. Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat
memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan
penghayatan siswa sendiri
8. Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan dapat
menumbuhkan / membuka kesempatan bagi lapangan kerja.
21
b. Kelemahan
Hakekatnya sebuah ilmu yang tercipta oleh manusia tidak ada yang
sempurna. Semua ilmu ada kelebihan dan kekurangan.Jika kita melihat
model Role Playing dalam dalam cakupan cara dalam proses mengajar dan
belajar dalam lingkup pendidikan tentunya selain kelebihan terdapat
kelemahan.
1. Model bermain peranan memelrukan waktu yang relatif panjang/banyak
2. Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru
maupun murid. Dan ini tidak semua guru memilikinya
3. Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk
memerlukan suatu adegan tertentu
4. Apabila pelaksanaan sosiodrama dan bermain pemeran mengalami
kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi
sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai
5. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini.
2.1.3.3 Sintagmatik
Menurut Winataputra (2001: 8), sintagmatik adalah tahap-tahap kegiatan dari
sebuah model. Dengan mengutip dari Shaftel, Mulyasa (2003) mengemukakan
tahapan pembelajaran bermain peran meliputi:
1. Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik.
Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik
terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah,
menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran
yang akan dimainkan. Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk
memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah karena itu tahap ini
sangat penting dalam bermain peran dan paling menentukan keberhasilan.
Bermain peran akan berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan
memperhatikan masalah yang diajukan guru.
22
2. Memilih peran
Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru
mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka,
bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan,
kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk
menjadi pemeran.
3. Menyusun tahap-tahap peran
Menyusun tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis-
garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada
dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan
berbicara secara spontan.
4. Menyiapkan pengamat
Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang
dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik
turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif
mendiskusikannya.
5. Pemeranan
Tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan
peran masing-masing. Pemeranan dapat berhenti apabila para peserta didik
telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya mereka perankan telah dicoba
lakukan. Ada kalanya para peserta didik keasyikan bermain peran sehingga
tanpa disadari telah memakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini
guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan.
6. Diskusi dan evaluasi
Diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat
dalam bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual.
Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera
terpancing untuk diskusi.
7. Pemeranan ulang
Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi
mengenai alternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang
23
dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam
upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi
peran lainnya.
8. Diskusi dan evaluasi tahap dua
Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama
seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil
pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah
lebih jelas.
9. Membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan
Tahap ini para peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya
dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya.Semua
pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.
2.1.3.4 Kriteria Keefektifan Model
Sebuah kegiatan pembelajaran dikatakan efektif apabila dapat memenuhi
beragam kriteria yang telah ditetapkan.Kegiatan pembelajaran yang efektif
merupakan hasil dari manajemen kelas yang efektif pula. Hal ini diwujudkan oleh
guru melalui beragam strategi yang dapat meningkatkan kebiasaan-kebiasaan baik
dalam diri siswa misalnya disiplin, antusias, aktif, dan kreatif. Aktivitas-aktivitas
pembelajaran di kelas mulai dari kegiatan awal sampai dengan akhir diharapkan
mampu membantu siswa memahami materi pembelajaran yang disampaikan,
misalnya menggunakan kegiatan apersepsi yang mendukung, menggunakan media
yang cocok bagi materi pembelajaran tersebut, memberikan tugas-tugas mandiri.
Manajemen kelas, aktivitas pembelajaran siswa dan cara pengelompokan
siswa merupakan beberapa aspek yang terdapat di dalam komponen-komponen
model pembelajaran. Joyce, Weil dan Calhoun (2009:104-106) menyebutkan
bahwa sebuah model terdiri dari komponen sintaks atau struktur suatu model,
komponen prinsip reaksi atau tugas guru, komponen sistem sosial atau situasi
kelas pada saat model berlangsung, daya dukung yang terdiri dari bahan dan alat
yang diperlukan untuk melaksanakan model, serta dampak instruksional yaitu
hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dan dampak
24
pengiring sebagai akibat dari terciptanya suasana belajar dalam model tertentu.
Apabila kriteria-kriteria di dalam komponen-komponen model tersebut dapat
terpenuhi dengan baik maka sebuah model dapat dikatakan sebagai model
pembelajaran yang efektif. Dengan kata lain, model pembelajaran role playing
dalam penelitian ini akan berjalan dengan efektif apabila setiap kriteria dalam
komponen model role playing dapat terpenuhi dengan baik selama proses
pembelajaran berlangsung.
2.1.4 Hasil belajar
Menurut M Thobroni (2015:20) hasil belajar merupakan perubahan
perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar perolehan
aspek-aspek perubahan perilaku tersebut tergantung pada pada yang dipelajari
oleh pembelajar. Hasil belajar yang dicapai oleh siswa di sekolah merupakan
tujuan dari kegiatan belajarnya. Sama halnya yang dikemukakan oleh Thobroni,
Suprijono (2009:5-6) “hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai,
pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan”.
Merujuk pada pemikiran Gagne, hasil belajar berupa hal-hal berikut:
1.1 Informasi verbal, yaitu pengungkapan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik
lisan maupun tertulis.
Purwanto (2013:46) mendefinisikan bahwa hasil belajar merupakan pencapaian
tujuan pendidikan pada siswa yang mengikuti proses belajar mengajar. Tujuan
pendidikan bersifat ideal, sedangkan hasil belajar bersifat aktual. Hasil belajar
merupakan realisasi tercapainya tujuan pendidikan, sehingga hasil belajar yang
diukur sangat tergantung kepada tujuan pendidikannya.
2.1.5 Hubungan Role Playing Dengan Hasil Belajar
Role playing mengutamakan kerja sama dalam memainkan permainan lakon
dalam pembelajaran untuk menerapkan pengetahuan dan ketrampilan dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran. Pada penerapan pembelajaran ini dengan
menggunakan media pembelajaran berupa video dapat memupuk kerjasama siswa
dalam pemahaman materi dan menjawab pertanyaan yang disediakan dalam
materi tersebut. Melalui bantuan video maka mereka dalam proses pembelajaran
lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses
25
pembelajaran, dan kegiatan siswa tampak sekali pada saat siswa menggunakan
media dan memerankannya.. Hal ini membuat siswa menjadi aktif dan tertarik
untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar serta menimbulkan rasa ingin tahu
siswa.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian dengan metode Role Playing ini bukanlah yang pertama
dilaksanakan, melainkan sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
Peneliti melakukan penelitian kembali menganai metode role playing karena
metode pembelajaran tersebut terbukti efektif meningkatkan hasil belajar siswa
pada penelitian sebelumnya. Penelitian yang relefan terhadap penelitian ini yaitu
hasil penelitian Tien Kartini dalam Jurnal Pendidikan Dasar Nomor: 8- Oktober
2007, dengan judul Penggunaan Metode Role Playing untuk Meningkatkan Minat
Siswa Dalam Pembelajaran Pengetahuan Sosial di Kelas V SDN Cileunyi 1
Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung. Diperoleh kesimpulan penggunaan
metode bermain peran (role playing) efektif digunakan dalam pembelajaran IPS.
Siswa tampak lebih berminat dan antusias untuk belajar. Tingkat partisipasi siswa
lebih baik serta kemampuan menggunakan pendapat dan saran juga menjadi lebih
baik.
Dilaksanakan juga Penelitian yang menerapkan metode role playing oleh
Shery Novita Purwandari (2012) dengan judul penelitian “Keefektifan Penerapan
Metode Bermain Peran (Role Playing) pada Pembelajaran Bahasa Indonesia
Materi Pesan melalui Telepon di Kelas IV Sekolah Dasar Negeri Purbalingga
Kidul 1 Kabupaten Purbalingga. ”Populasi dalam penelitian ini yaitu peserta
didik kelas IV SD Negeri 1 Purbalingga Kidul tahun ajaran 2010/2011 dengan
jumlah seluruhnya 64 peserta didik. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 56 peserta didik yang terbagi ke dalam kelompok eksperimen 27
peserta didik dan kelompok kontrol 29 peserta didik. Hasil penelitian
menunjukan hasil penghitungan uji independent sample t-test menggunakan
SPSS versi 17, nilai t hitung > t tabel yaitu 2,515 > 2,005 serta nilai signifikan
yang kurang dari 0,05 yaitu 0,015. Kesimpulannya yaitu Ho ditolak dan Ha
diterima. Kedua hasil tersebut dapat disimpulkan, bahwa penerapan metode
26
bermain peran (role playing) terbukti efektif dalam meningkatkan hasil
belajar dan aktivitas peserta didik dalam pembelajaran dibandingkan dengan
penerapan metode pemberian tugas.
Untuk membuktikan efektif atau tidaknya metode role playing dalam
pembelajaran, penulis menambahkan bukti yang relevan dari Penelitian tindakan
kelas yang dilakukan oleh Fajar Dayu Saputra (2012) dengan judul penelitian
“Peningkatan Aktivitas Dan Hasil Belajar Drama Melalui Metode Bermain Peran
(Role Playing) Pada Siswa Kelas V Madrasah Ibtidaiyah (Mi) Gapura
Watukumpul Kabupaten Pemalang”. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada
18 peserta didik, hasil rata-rata kelas pada siklus I adalah 67,13 jumlah yang
memenuhi KKM 12 siswa (66,66%), aktivitas siswa 6,28 (69,78%) dan
performansi guru 76,43 (B). Pada siklus II mengalami peningkatan rata-rata kelas
menjadi 84,53 jumlah yang memenuhi KKM sebanyak 18 siswa (100%), aktivitas
siswa 7,72 (85,78%) dan performansi guru 89,04 (A). Peningkatan siklus I
kesiklus II rata-rata kelas 5,58 dan persentase tuntas belajar klasikal 17,4
(33,34%), aktivitas siswa 1,14 (16%) dan performansi guru 12,61%. Dari
penelitian diatas disimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran Role
Playing dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa pada materi drama
kelas V MI Gapura Kecamatan Watukumpul Kabupaten Pemalang tahun ajaran
2011/2012. Keberhasilan penerapan metode pembelajaran role playing pada
penelitian di atas, menjadi salah satu faktor pendorong bagi peneliti untuk
melakukan penelitian ini. Penelitian-penelitian di atas memiliki kesamaan pada
metode pembelajaran yang digunakan yaitu metode role playing. Perbedaannya
penelitian yang dilakukan kali ini merupakan penelitian eksperimen untuk
melakukan pengujian lebih lanjut mengenai keefektifan metode role playing
terhadap hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan Materi Keputusan Bersama
siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 3 Randugunting Kota Tegal.
27
2.3 Kerangka Berfikir
Gambar 2.1 Pola Kerangka Berfikir
Kegiatan belajar mengajar di SDN Randulawang 03 lebih berpusat pada
guru, siswa cenderung pasif. Siswa merasa bosan sehingga respon siswa selama
pembelajaran ada yang hanya diam saja, bermain sendiri, mengobrol dengan
teman, dan mengantuk. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial akan berjalan
dengan baik, apabila guru dapat menerapkan pembelajaran yang melibatkan siswa
secara aktif, salah satunya dengan model Role Playing. Dalam Role Playing guru
berperan sebagai fasilitator. Guru berusaha agar semua siswa berpartisipasi dalam
pembelajaran dan melakukan eksplorasi pengetahuan dan pengalaman baru agar
tujuan tercapai secara optimal.
Hasil belajar siswarendah
Dilakukantindakan
Guru menggunakanmodel pembelajaran role
playing denganmelakukan permainan
peran yaitumengkondisikan siswa
pada keadaansebenarnya.
Kondisi AwalPembelajaran bersifat
konvensional yang hanyaberpusat pada Guru
Siswa malasmemperhatikan
dan bosan
Siswa berpikiraktif dan lebihtertarik dalam
prosespembelajaran
Kemampuanmengingat dan
memahami materilebih baik
Hasil belajarsiswa meningkat
28
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka pikir telah dikemukakan, maka hipotesis tindakan
sebagai jawaban sementara dalam peneitian adalah:
1. Pembelajaran IPS dengan menerapkan model pembelajaran role playing
berbantuan media benda konkrit diduga dapat meningkatkan hasil belajar IPS
pada siswa kelas III SDN Randulawang 03 Kecamatan Jati, Kabupaten Blora
Semester II Tahun Ajaran 2015/2016.
2. Penerapan langkah-langkah model pembelajaran role playing berbantuan
media benda konkrit diduga dapat meningkatkan hasil belajar IPS pada siswa
kelas III SDN Randulawang 03 Kecamatan Jati, Kabupaten Blora Semester II
Tahun Ajaran 2015/2016.
top related