analisis pendapat wahbah al-zuhaili tentang asuransi...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS PENDAPAT WAHBAH AL-ZUHAILI TENTANG ASURANSI DALAM KITAB AL-FIQH AL-ISLȂM WA ADILLATUHU
OLEH SYAMSUDIN
NIM. 152131090
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
MATARAM 2017
ii
ANALISIS PENDAPAT WAHBAH AL-ZUHAILI TENTANG ASURANSI DALAM KITAB AL-FIQH AL-ISLȂM WA
ADILLATUHU
SKRIPSI Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Mataram
untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum
oleh SYAMSUDIN
NIM. 152131090
JURUSAN MU’AMALAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
MATARAM 2017
iii
iv
v
vi
vii
MOTTO
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.1
1 Qs al-Māidah (5):2.
viii
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, puji syukur selalu terucap atas kehadirat Allah SWT,
dengan Rahmat dan nikmat-Nya, maka terpancarlah pendengaran pada
telinga, penglihatan pada mata, dan hati. Shalawat serta teriring salam
senantiasa kita persembahakan dihadapan ikutan kita Nabiullah Rasul
Muhammad SAW. yang telah membawa agama yang haq.
Dengan penuh cinta, kupersembahkan karya tulis (skripsi) ini, untuk
dan atas nama kepada:
Ayahanda tercinta ISHAKA BIN ABU yang telah bersusah
payah dan telah bekerja keras tanpa mengenal lelah untuk
meyekolahkanku, semoga setiap tetesan keringat yang telah Engkau
cucurkan menjadi barokah
Serta bernilai ibadah di sisi-Nya Amiiin.
Ibunda tercinta JATIAH BINTI AHMAD yang tiada pernah
lelah berdoa demi kesuksesan anaknya Do'amu adalah cahaya bagiku.
Salam takzimku untukmu Bunda
Kakakku tercinta Nur hajri, yang telah banyak membantu, berjuang
demi kesuksesanku dan selalu memeberi motifasi buatku dalam belajar
agar tidak putus harapan.
Kakakku tercinta Salmah dan Misbah yang selalu memberikan
dorongan atau motifasi untuk tetap semangat dalam belajar menuntut
ilmu agar menjadi pribadi yang sukses.
Kakakku tersayang Hadiah, Halimah, Ismail, dan Rifaid yang telah
memeberikan semangat untukku agar segera menyelesaikan study ini.
Dan seluruh segenap sahabat-sahabatku Saprul Khiri dan Munazir
Azis yang memberikan motivasi sehingga skripsi ini bisa diselesaikan
Almamaterku tercinta Mu’amalah Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Mataram.
ix
KATA PENGANTAR
Maha suci Allah, yang telah menganugerahkan nikmat kepada hamba-Nya. Sehingga dengan anugerah tersebut manusia dapat melakukan berbagai macam aktifitas kehidupan, menjalankan kewajibannnya sebagai Abdullah (hamba Allah), menjalankan amanahnya sebagai Khalifatulloh Fil Ardi. Sehingga mampu menempatkan manusia pada posisi yang sempurna (Insan Kamil).
Salawat teriring salam senantiasa penulis persembahkah dihadapan ikutan kita Nabiyullah Rasul Muhammad SAW yang telah mengeluarkan umatnya dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang, dengan kata lain Minadzulumati Ilannur. Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung dengan memperoleh syafaatnya diakhirat kelak. Amiin.
Dengan untaian syukur kepada Allah SWT yang tiada henti-hentinya, saat ini penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Pendapat Wahbah al-Zuhaili Tentang Asuransi Dalam Kitab Al -Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuhu dalam rangka melengkapi syarat untuk meneyelesaikan kuliah Strata satu (S-1) di Fakultas Syari‟ah dan Ekonomi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Selama penyususnan skripsi ini, penyususn menyadari dengan penuh hati bahwa skripsi ini tidak bisa lepas dari bantuan beberapa pihak. Penyususun juga menyadari bahwa dalam skripsi ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Maka kritik yang membangun dan saran yang baik sangat penulis harapkan.
Dengan segala kerendahan hati penyusun mengucapkan terimakasih yang tiada batas kepada; Bapak Dr.Zaenuddin Mansyur, M.Ag selaku pembimbing I dan Bapak H. Zulyadain, MA selaku pembimbing II yang tiada kenal lelah dalam membimbing serta memberikan masukan yang membangun terhadap peneliti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Mataram, 24 Juli 2017
Penulis,
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 05936/U/1987. I. Konsonan Tunggal
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط
ظ
Alif
Ba‟
Ta‟
Sa‟
Jim
Ha‟
Kha‟
Dal
Zal
Ra‟
Za‟
Sin
Syin
Sad
Dad
Ta‟
Za
a
b
t
ts
j
h
kh
d
dz
r
z
s
sy
sh
dl
th
zh .
tidak dilambangkan
be
te
te dan es
je
ha (dengan garis di bawah)
ka dan ha
de
d dan zet
er
zet
es
es dan ye
es dan h
de dan el
te dan ha
zet dan ha
xi
ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي
„ain
gain
fa‟
qaf
kaf
lam
mim
nun
waw
ha‟
hamzah
ya
„
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
‟
Y
koma terbalik di atas
ge
ef
qi
ka
el
em
en
we
ha
aposrof
ye
II. Konsonan Rangkap Karena Syaddah ditulis rangkap
متعددة
Ditulis
muta‟addidah
III. Ta’marbutah di akhir kata
a. Bila dimatikan ditulis h
مة ح
Ditulis
Hikmah
b. Bila diikuti denga kata sandang „al‟ serta bacaan kedua itu terpisah,
maka ditulis h
لياء امة اأ ك
Ditulis
Karâmah al-auliya
xii
c. Bila ta‟marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan dammah ditulis t
الفط كاة
Ditulis
Zakâh al-fitri
IV. Vokal Pendek
___ _
___ _
____
fathah
kasrah
dammah
ditulis
ditulis
ditulis
a
i
u
V. Vokal Panjang
1 2 3 4
Fathah + alif جاهلية
Fathah + ya‟ mati تنسى Kasrah + ya‟ mati يم ك Dammah + wawu mati ف
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
jâhiliyyah
tansâ
karîm
furûd
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ........................................................................ i
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... iii
NOTA DINAS PEMBIMBING ......................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................ v
PENGESAHAN ................................................................................................. vi
MOTTO.............................................................................................................. vii
PERSEMBAHAN .............................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiii
ABSTRAK ......................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7
1. Tujuan Penelitian ............................................................................. 7
2. Manfaat Penelitian ........................................................................... 7
D. Telaah Pustaka ....................................................................................... 8
E. Kerangka Teori....................................................................................... 15
F. Metode Penelitian................................................................................... 27
G. Sistematika Penulisan............................................................................. 31
xiv
BAB II KONSEP ASURANSI MENURUT WAHBAH AL-ZUHAILI ...... 32
A. Biografi dan Pemikiran Wahbah al-Zuhaili .......................................... 32
B. Konsep Asuransi Yang Halal Menurut Wahbah al-Zuhaili ................... 37
C. Alasan Wahbah al-Zuhaili Tidak Membolehkan Asuransi Bisnis (Al-
Ta‟mîn bi qist sabit) ............................................................................... 37
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................ 46
A. Analisis pendapat Wahbah al-Zuhaili Tentang Konsep Asuransi Yang
Diperbolehkan Dalam Islam .................................................................. 46
B. Analisis alasan penolakan Wahbah Al-Zuhaili Terhadp Asuransi Bisnis
(Al-Ta‟mîn bi qist sabit) ......................................................................... 53
BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 61
A. Kesimpulan ............................................................................................ 61
B. Saran ....................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 63
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 66
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... 67
KARTU KONSULTASI .................................................................................. 68
xv
ABSTRAK
Asuransi merupakan suatu hal yang baru dalam praktek bermu‟amalah walaupun sebelumnya praktek asuransi sudah pernah diterapkan pada masa Nabi dan Romawi kuno akan tetapi berdirinya suatu lembaga asuransi yang diakui dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat baru sekitar pada abad ke 14 Masehi kemudian dilemparkan dalam kehidupan masyarakat Islam sehingga praktek asuransi memiliki banyak penafsiran apakah bertentangan dengan syari‟at Islam atau tidak sehingga muncul berbagai macam statemen tentang status hukumnya. setidaknya ada dua pendapat yang saling bertentangan antara satu sama lain terkait status hukum asuransi ada yang mengharamkan dan ada yang menghalalkan.
Setiap pendapat memiliki argumentasi yang sama-sama kuat dalam menentukan status hukum asuransi, adapun ulama yang membolehkan dengan tegas mengatakan bahwa asuransi merupakan suatu sarana untuk saling tolong menolong dalam kegiatan bermu‟amalah, asuransi bukan alat untuk menolak takdir Tuhan akan tetapi asuransi sebagai alat untuk memberikan alternatif apabila seseorang ditimpa oleh musibah atau bencana, asuransi yang dibolehkan tentunya asuransi yang berpegang pada nilai-nilai Syari‟ah sehingga tidak ada akad yang bertentangan dengan mu‟amalah yang diperbolehkan.
Adapun ulama yang tidak membolehkan asuransi berpendapat bahwa asuransis merupakan salah satu alat untuk menolak takdir Tuhan, di dalam asuransi yang berbasis bisnis tidak lagi dijadikan sebagai wadah untuk tolong menolong dalam kebaikan melainkan sebagai alat untuk meraut keuntungan sehingga menggeser nilai tolong-menolong yang sebenarnya sebagaimana prinsip dasar asuransi dalam Islam itu sendiri. Selain itu gharar dan riba dalam asuransi sangat sulit untuk ditiadakan karena di antara para peserta ausuransi bisa mendapatkan klaim premi yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah premi yang disetorkan oleh para peserta sehingga sifatnya untung-untungan.
Problem asurasi yang menimbulkan pro dan kontra terkait boleh atau tidaknya asuransi bukan suatu hal yang baru terjadi melainkan polemik tersebut sudah terjadi sekian lama. Dewasa ini asuransi sangat dibutuhkan oleh masyarakat terutama orang Islam sehingga muncul asurani yang berlandaskan Syari‟at Islam sebagai suatu alternatif untuk menjawab persoalan yang terjadi di kalangan masyarakat muslim. Asuransi yang mencoba menerapkan akad-akad yang dibolehkan dalam Islam agar semuanya berjalan di atas ketentuan-ketentuan syari‟at Islam.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Asuransi konvensional muncul pertama kali di negara Barat tepatnya di
Italia pada abad ke-14 Masehi dalam bentuk asuransi laut. Asuransi
konvensional merupakan perjanjian antara kedua belah pihak atau lebih dengan
mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada pihak tertanggung, dengan
menerima premi asuransi untuk tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan sesuatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.2
Dari uraian mengenai rumusan definisi asuransi di atas, maka paling tidak
ada tiga unsur pokok atau konsep penting berkenaan dengan asuransi, yaitu;
pertama adanya pihak penjamin (verzekeraar), yaitu pihak yang berjanji akan
membayar uang kepada pihak terjamin. Pembayaran tersebut baik dilaksanakan
secara sekaligus atau bahkan dengan berangsur-angsur. Pembayaran tersebut
dilakukan bila terlaksana unsur ketiga. Kedua pihak terjamin (verzekerde),
yaitu pihak yang berjanji akan membayar premi kepada pihak penjamin. Sama
halnya dengan pembayaran klaim asuransi dapat dilakukan sekaligus maupun
berangsur-angsur. Sedangkan unsur yang ketiga adalah suatu peristiwa yang
2Kuat Ismanto, Asuransi Syari‟ah Tinjauan Asas-asas Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), h 23
2
semula belum jelas akan terjadi, yang disebut dengan resiko. Jadi berdasarkan
uraian di atas bahwa asuransi wajib memenuhi tiga unsur yaitu penjamin,
terjamin dan resiko. Selain melekat dalam diri asuransi konvensional tiga unsur
tersebut juga melekat dalam asuransi syari‟ah.3
Di dalam sejarah Islam praktek asuransi pernah dilakukan pada masa Nabi
Yusuf As yaitu pada saat ia menafsirkan mimpi dari Raja Firaun. Tafsiran yang
ia sampaikan adalah bahwa Mesir akan mengalami masa 7 tahun panen yang
melimpah dan diikuti dengan masa 7 tahun paceklik. Untuk menghadapi masa
kesulitan (paceklik) itu, Nabi Yusuf as. Menyarankan agar menyisihkan
sebagian dari hasil panen pada masa 7 tahun pertama. Saran dari Nabi Yusuf
as. Ini diikuti oleh Raja Firaun, sehingga masa paceklik dapat ditangani dengan
baik.4
Asuransi disebut juga Al-Ta'mîn dalam Bahasa Arabnya yang bermakna
perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, dan
penanggung disebut Mu'ammîn, sedangkan yang tertanggung disebut
Mu‟amman Lahu atau Musta‟mîn. Hal ini seperti yang tersebut dalam QS.
Quraisy (106): 4,
…….
yaitu "Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan." 5
Pengertian al-Ta'âmin adalah seseorang membayar atau menyerahkan
uang cicilan agar ia ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana
3Ibid., h 25 4Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2013), h. 155 5Qs. Quraisy (106): 4.
3
yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang
hilang.6
Di dalam sistem pengoperasionalnya asuransi konvensional berlaku sistem
transfer of risk, di mana resiko dipindahkan atau dibebankan oleh tertanggung
(peserta asuransi) kepada pihak perusahaan asuransi yang bertindak sebagai
penanggug sehingga konsekuensinnya adalah pihak pemberi asuransi
bertanggung jawab akan memberikan kompensasi atas bahaya yang akan
menimpa pihak penerima asuransi. Bila bencana tidak menimpa pihak
penerima asuransi, maka bayaran atau premi yang disetorkan oleh peserta
asuransi kepada lembaga asuransi akan mutlak jadi milik perusahaan asuransi,
jadi apabila resiko yang diperjanjikan tidak terjadi maka premi tersebut hangus
dan tidak dikembalikan.7
Sedangkan dalam asuransi syari‟ah pengelolaan resiko menggunakan
prinsip sharing of risk, di mana resiko dibebankan atau dibagi kepada
perusahaan dan peserta asuransi. Dengan perkembangannya saat ini asuransi
syari‟ah dianggap sebagai salah satu lembaga perekonomian ummat. Di mana,
pihak lembaga asuransi mengelola uang premi yang disetorkan oleh peserta
asuransi, premi yang disetorkan akan dimasukkan ke dalam rekening tabungan
peserta dan rekening khusus tabarru‟ yakni rekening yang diniatkan derma dan
6Andes saputra, “Asuransi Syari‟ah”, dalam http://and3stra92.blogspot.co.id/2016/12/bab-i-
pendahuluan-asuransi-sebagai.html,diambil tanggal 10 Januari 2017, pukul 09.25 WITA 7Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuhu, (Jakarta: Terjemahan Gema Insani
Preess, 2011), h.109
4
digunakan untuk membayar klaim kepada ahli waris, apabila ada di antara
peserta yang ditakdirkan meninggal dunia atau mengalami musibah lainnya.8
Premi yang terkumpul dari peserta asuransi akan disatukan ke dalam
kumpulan dana peserta yang selanjutnya akan diinvestasikan dalam
pembiayaan proyek-proyek syari‟ah kemudian keuntungan yang diperoleh dari
dana investasi tersebut akan dibagi lagi sesuai dengan kesepakatan. Bagian
keuntungan milik peserta akan ditambahkan ke dalam rekening tabungan dan
rekening khusus secara proporsional. Rekening tabungan akan dibayarkan
apabila pertanggungan berakhir atau mengundurkan diri dalam masa
pertanggungan. Sedangkan rekening khusus akan dibayarkan apabila peserta
meninggal dunia dalam waktu pertanggungan atau pertanggungan berakhir,
itupun kalau ada. apabila pihak perasuransian tidak membayar maka peseta
asuransi tidak akan dapat apa-apa dari tabungan khusus tersebut yaitu tabungan
tabarru‟. Jadi dapat dilihat bahwa perbedaan antara asuransi konvensional dan
asuransi syari‟ah itu terletak pada konsep pengelolaan atau prosedur
pelaksanaannya saja.9
Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuhu
mengutip pendapat Ibnu Abidin asuransi dengan premi bayaran tetap atau yang
dikenal dengan asuransi bisnis haram hukumnya. Persoalannya yang membuat
penelitian ini menarik adalah baik asuransi konvensional maupun asuransi
yang berbasis syari‟ah sama-sama lembaga bisnis lalu asuransi seperti apa yang
dipahami oleh Wahbah al-Zuhaili, lebih jauh beliau mengatakan tidak boleh
8Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankkan dan Perasuransian Syari‟ah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h.154.
9Ibid., h.155.
5
mengkategorikan asuransi sebagai kongsi mudhârabah yaitu dua pihak saling
berkongsi dimana salah satu pihak memiliki modal dan yang lainnya mengatur
(bekerja), karena dua alasan.
1. Karena premi (bayaran cicilan) yang diberikan oleh penerima asuransi
kepada pihak pemberi asurani menjadi milik perusahaan asuransi secara
otomatis. Lantas perusahaan asuransi bebas memanfaatkan uang itu sesuai
kehendaknya. Kemudian pihak penerima asuransi akan kehilangan premi
yang dibayarnya bila tidak terjadi bencana atau musibah.
2. Salah satu syarat mudhârabah adalah adanya keuntungan yang diproleh
antara pemilik modal dan pekerja, seperti seperempat atau sepertiga,
sementara dalam asuransi, pihak penerima asuransi disyaratkan menerima
keuntungan dalam jumlah tertentu. Yaitu tiga atau empat porsen, maka
mudhârabah seperti ini tidak sah.10
Menurut Wahbah al-Zuhaili asuransi itu hanya ada dua macam yaitu,
asuransi kooperatif (Al-ta‟mîn al-ta‟wuni) atau dengan kata lain Mutual
Insurance dan asuransi dengan bayaran tetap (Al-Ta‟mîn bi qis Tsabit). Adapun
yang dimaksud dengan asuransi kooperatif (Al-ta‟mîn al-ta‟wuni) adalah
beberapa orang sepakat agar masing-masing dari mereka membayar saham
uang dalam jumlah tertentu dengan tujuan untuk memberi kompensasi bagi
anggota yang terkena musibah tertentu. Dalam asuransi kooperatif (Al-ta‟mîn
al-ta‟wuni) bukanlah sebuah organisasi yang berdiri sendiri dan terpisah dari
orang-orang penerima asuransi. Anggotanya yang terlibat dalam asuransi ini
10Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh A- Islâm, h. 107.
6
tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan, namun bertujuan untuk
meringankan beban kerugian yang ditimbulkan oleh bencana yang menimpa
sebagian anggotannya.11
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa ketiga unsur yang disinggung
pada awal pembahasan yang harus ada baik dalam asuransi konvensional dan
asuransi syari‟ah yaitu penjamin, terjamin dan resiko, juga terdapat dalam
sistem asuransi yang dipahami oleh Wahbah al-Zuhaili akan tetapi yang
menjadi perbedaannya adalah penjamin adalah berasal dari kelompok orang-
orang yang mengeluarkan premi tersebut bukan dari lembaga yang berdiri
sendiri atau dengan kata lain bukan dari orang di luar kelompok yang
berkongsi tersebut begitupun halnya dengan terjamin yaitu salah seorang yang
mendapat musibah dari kelompok yang berkongsi itu sendiri. Adapun asuransi
dengan sistem pembayaran tetap (Al-Ta‟mîn bi qis Tsabit) atau asuransi bisnis
adalah orang yang diberi jaminan keamanan (asuransi) bertanggung jawab
untuk memberi bayaran tertentu kepada pihak pemberi asuransi. Adapun pihak
pemberi asuransi adalah sebuah perusahaan asuransi yang terdiri dari sejumlah
orang yang memiliki saham tertentu. Berdasarkan jumlah pembayaran yang
diberikan pihak penerima asuransi betanggung jawab untuk memberikan jasa
asuransi tertentu ketika terjadi bahaya atau bencana pada penerima asuransi.
Asuransi ini pelaku utamanya adalah sebuah perusahaan yang tujuan utamanya
11Ibid., h. 109
7
adalah memperoleh keuntungan dari orang-orang yang ingin diberi jaminan
asuransi.12
Berdasarkan uraian di atas bahwa asuransi syari‟ah dan konvensional itu
sebagai pihak penjamin sama-sama perusahaan yang berdiri sendiri di luar dari
para anggota yang berkongsi berbeda dengan asuransi seperti yang dipahami
oleh Wahbah al-Zuhaili, Menurut beliau asuransi seperti itu tidak dibolehkan.
Berangkat dari perbedaan dalam memahami asuransi tersebut saya tertarik
melakukan research atau penelitian terhadap pemikiran Wahbah al-Zuhaili
khususnya tentang asurani dengan mengankat judul skripsi yang berjudul
“Analisis Pendapat Wahbah Al-Zuhaili Tentang Asuransi Dalam Kitab
Al-Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuhu”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, dapat
dirumuskan beberapa pokok masalah, yaitu:
1. Bagaimana konsep asuransi yang halal menurut Wahbah al-Zuhaili?
2. Apa saja alasan-alasan ketidakbolehan asuransi menurut Wahbah al-
Zuhaili?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujun dari penelitian ini adalah:
12Ibid.,h.105-106
8
a. Untuk mengetahui konsep asuransi yang halal menurut Wahbah al-
Zuhaili
b. Untuk mengetahui alasan ketidakbolehan asuransi menurut Wahbah al-
Zuhaili
2. Manfat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1) Dapat menjadi media dalam kegiatan ilmiah dan akademik tentang
kajian kontrak asuransi.
2) Sebagai kontribusi ilmiah untuk memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan umumnya dan disiplin bidang ilmu mu‟amalah khususnya
dalam bidang asuransi.
b. Manfaat Praktis
1) Untuk mengembangkan pola pikir dan mengetahui kemampuan penulis
dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan.
2) Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat
pada umumnya dan semua pihak yang berkepentingan dengan asuransi
pada khususnya.
D. Telaah Pustaka
Telaah pustaka bertujuan untuk mebedakan bahwa penelitian yang peneliti
lakukan berbeda dengan penilitian yang dilakukan oleh orang lain sehingga
dengan demikian penelitian yang dilakukan dapat dibuktikan bukan hasil
jiplakan atau dalam bahasa hukumnya adalah plagiat.
9
Perbedaan pendapat mengenai asuransi sebenarnya bukan hal yang baru
dalam khazanah pemikiran Islam. Sudah banyak dilakukan penelitian ilmiah
yang dalam kajiannya mengungkap permasalahan-permasalahan yang
berkaitan erat dengan persoalan mu‟amalah, terutama tentang asuransi. Namun
untuk menggali ide tersebut dari tokoh ulama kontemporer yang sangat
berpengaruh pemikirannya terhadap para cendekiawan muslim lain yaitu
Wahbah al-Zuhaili masih dalam hitungan jari jumlah penulisan karya ilmiah
yang membahasnya.
Untuk mendukung penulisan yang lebih integral, maka penyusun berusaha
untuk melakukan penelitian lebih awal terhadap pustaka berupa karya-karya
ilmiah berupa skripsi dan buku-buku yang memiliki keterkaitan terhadap topik
yang diteliti guna mendukung penelitian ini. Karya-karya ilmiah tersebut
diantaranya adalah:
1. Penelitian Siti Maimunah lestari (Universitas Islam Negeri Jakarta) dengan
judul skripsi “analisis klaim asuransi kendaraan bermotor pada PT.
Asuransi takaful umum” dalam penelitiannya beliau membahas asuransi
lebih mengarah pada prosedur pengajuan klaim asuransi kendaraan
bermotor pada PT. Asuransi Takaful Umum, proses pengambilan keputusan
klaim. Artinya pembahasan dalam penelitiannya membahas prosedur atau
mekanisme asuransi takaful umum bukan berbicara masalah hukum boleh
atau tidaknya asuransi. Dalam penelitiannya beliau mengangkat fokus
masalah atau kajiannya antara lain; pertama bagaimana prosedur pengajuan
klaim asuransi kendaraan bermotor pada PT. Asuransi Takaful Umum,
10
kedua bagaimana proses pengambilan keputusan klaim pada PT. Asuransi
Takaful Umum, dan yang ketiga bagaimana perhitungan klaim pada
kendaraan bermotor pada PT. Asuransi Takaful Umum.13
Dari hasil penelitiannya beliau menyimpulkan beberapa masalah
diantaranya: pertama asuransi kendaraan bermotor adalah suatu
pertanggungan yang memberikan perlindungan kepada pihak pemilik
kendaraan bermotor atau kepada pihak-pihak yang berkepentingan atas
kendaraan bermotor tersebut yang disebabkan oleh kerugian dan kerusakan
fisik atas kendaraan bermotor serta kerugian akibat tanggung gugat yang
harus ditanggung oleh pemilik atau yang memiliki kepentingan atas
kendaraan itu atau sebab-sebab lainnya yang ditegaskan dalam polis
berdasarkan akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Kedua prosedur
pengajuan klaim pada PT. Asuransi Takaful Umum dimulai saat seseorang
tertanggung yang mengalami musibah memberitahukan kepada penanggung
(Perusahaan Asuransi) perihal klaim yang dimaksud, dengan melengkapi
persyaratan klaim yang telah ditentukan oleh penanggung sesuai dengan
produk yang diambil. Setelah menerima surat pengajuan klaim dari
tertanggung maupun Customer Service, bagian klaim memeriksa untuk
mendapatkan informasi yang tepat mengenai data dan kondisi polis
tertanggung. Disetujui atau tidaknya pengajuan klaim tertanggung pada
kelengkapan persyaratan yang telah ditetapkan penanggung. Ketiga faktor
penentu dalam proses keputusan klaim pada PT. Asuransi Takaful Umum
13Siti Maimunah Lestari,”Analisis Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor pada PT. Asuransi
Takaful Umum” (Skripsi, Uin Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010 ), h. 76
11
antara lain: kelengkapan dokumen yang diperlukan dan kebenaran (sah
menurut hukum dari data-data yang diajukan). keempat untuk perhitungan
klaim dilakukan dengan cara menghitung jumlah kerugian/kerusakan pada
kendaraan yang terkena musibah, perhitungannyapun dilakukan oleh pihak
klaim dan bengkel, sedangkan tertanggung hanya menunggu sampai
kendaraannya selesai diperbaiki.14
2. Penelitian yang dilakukan oleh Heri Nurjaman Kontrak Asuransi“Studi
Pemikiran Murtadha Muthahhari dan Muhammad Muslehuddin” (UIN)
Sunan Kalijaga Jogjakarta). Adapun fokus masalah dalam penelitian beliau
antara lain: pertama bagaimana pandangan Murtadha Muthahhari dan
Muhammad Muslehuddin tentang kontrak atau akad asuransi. Kedua apa
dalil dan bagaimana metode pengambilan hukum kedua tokoh tersebut
terhadap kontrak asuransi.15
Dari penelitiannya Heri Nurjaman menarik beberapa kesimpulan
antara lain: yang pertama menurut Murtadha Muthahhari bahwa substansi
asuransi adalah sebagai proteksi untuk masa depan dan menghilangkan
kecemasan maka hukumnya boleh, namun di sisi lain dia juga
mengharamkan asuransi jiwa dan asuransi yang mengandung unsur gharar.
Sedangkan Muhammad Muslehuddin memutuskan asuransi yang bersifat
komersial seperti yang dilakukan perusahan asuransi konvensional
mengandung unsur maisir, riba dan gharar yang menyalahi hukum Islam,
hukumnya haram. Kedua dalil-dalil al-Qur‟an dan-Hadits sebagai sumber
14Ibid., h. 76 15Heri Nurjaman, “Kontrak Auransi Moderen“Studi Pemikiran Murthada Muthahhari
danMuhamad Muslehuddin”(Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2008), h. 81
12
hukum yang digunakan kedua tokoh tersebut, terutama dalil-dalil yang
berkaitan dengan kontrak atau akad. adapun pengambilan hukum (istinbat)
Murtadha Muthahhari berkaitan dengan Al-Qur‟an: menggunakan perangkat
Am dan Khas, Maqâsid as-Syari‟ah dan linguistik serta landasan utama
Muthahhari dalam menentukan status hukum asuransi juga memakai dalil
normatif (al-Qur‟an dan Sunnah / al-Bayan asy-Syr‟i) dan juga dalil
filososfis (al-Idrak al-„Aqli).16
Sedangkan Muhammad Muslehuddin selain mengacu pada Al-
Qur‟an dan al-Hdits dia juga menggunakan teknik pengambilan hukum
asuransi yang dipakai adalah berdasarkan metode ijtihad yaitu maslahah
mursalah dan qiyas. Maslahah digunakan dalam penetapan hukum asuransi
dengan lebih mengutamakan manfaat dari asuransi dalam masyarakat, hal
ini ditunjukkan pada pemikiran Muhammad Muslehuddin tentang kebolehan
asuransi sosial, namun tetap menghindari hal-hal yang bertentangan dengan
syara‟ seperti unsur-unsur riba, gharar, maisir dan eksploitasi yang terdapat
dalam asuransi.17
Muhammad Muslehuddin mengambil nilai-nilai positif atau kebaikan
dengan melakukan qiyas terhadap sistem aqilah yang dibolehkan Nabi
Muhammad SAW. Ketiga dalam melakukan proses pengambilan hukum,
Murtadha Muthahhari dan Muhammad Muslehuddin sama-sama masih
memfungsikan dalil-dalil al-Qur‟an dan al-Hadits sebagai sumber hukum.
Mengenai status hukum asuransi, keduanya sepaham dalam kaitannya
16Ibid., h. 81 17Ibid., h. 81
13
dengan kewajiban memenuhi prinsip-prinsip mua‟amalat dalam kegiatan
asuransi. Perbedaanya adalah selain latar belakang kedua tokoh itu,
Murtadha Muthahhari mengkategorikan akad asuransi sebagai akad yang
berdiri sendiri dan tidak termasuk ke dalam akad-akad yang telah ada dalam
fiqh, sedangkan Muhammad Muslehuddin memasukan asuransi
konvensional sebagai akad jual beli sesuai dengan polis dan mengajukan
alternatif asuransi dikelola dengan sistem mudhârabah.18
3. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Siti Saifiyatun Nasikhah dengan
skripsinya yang berjudul Studi Analisis Pemikiran Sayid Sabiq Tentang
Asuransi, pada intinya skripsi ini mengungkapkan bahwa Sayyid Sabiq
dalam Fiqhus-Sunnah, setelah mengutarakan pandangan Syekh Ahmad
Ibrahim tersebut, Sayyid Sabiq menggarisbawahi bahwa asuransi tidak
dapat dimasukkan sebagai mudhârabah yang shahih tetapi mudhârabah
yang rusak.19
Dari ketiga hasil penelitian di atas sangat berbeda dengan apa yang
penyusun teliti. Yang pertama penelitian yang dilakukan oleh Siti Maimunah
Lestari lebih menekankan pada prosedur pengajuan klaim kendaraan bermotor
pada PT. Asuransi takaful umum sehingga pendekatan penelitian yang
digunakan oleh beliau adalah studi lapangan yaitu penelitian dengan
menggunakan pedoman wawancara, pengamatan, maupun partisipatif.
Kemudian yang kedua penelitian yang dilakukan oleh Heri Nurjaman dalam
penelitian beliau lebih terarah kepada studi komparatif mengenai pemikiran
18Ibid., h. 81 19Siti Saifiyatun Nasikhah, Analisis Pemikiran Sayid Sabiq Tentang Asuransi(skripsi, UIN
Walisongo, Semarang,)
14
kedua tokoh cendekiawan muslim tersebut, artinya penelitiannya lebih
menekankan pada suatu perbandingan pemikiran terhadap kontrak asuransi.
Ketiga penelitian yang dilakukan oleh Siti Saifiyatun Nasikhah lebih
menekankan pada analisis pemikiran Sayyid Sabiq dalam memahami asuransi
tersebut.
Sedangkan penelitian yang penulis lakukan bagaimana upaya memahami
tentang pemikiran salah satu guru besar muslim ternama yang dalam hal ini
adalah Wahbah al-Zuhaili tentang konsep asuransi dalam Islam serta apa alasan
ketidakbolehan asuransi dengan premi bayaran tetap (Al-Ta‟âmîn bi qis Tsabit)
bisnis.
15
E. Kerangka Teori
1. Pengertian Asuransi
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris yaitu insurance yang dalam
bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang populer dan telah diadopsi
kedalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan padanan kata
“pertanggungan”.20
Muhammad Muslehuddin memberikan gambaran umum terhadap
asuransi yaitu: asuransi pada awalnya adalah suatu kelompok yang
bertujuan membentuk arisan untuk meringankan beban kerugian individu
dan menghindari kesulitan pembiayaan. Dengan demikian konsep asuransi
adalah persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing
menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga.
Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi
anggota perkumpulan tersebut, maka kerugian akan ditanggung bersama
oleh mereka.21
Wirjono Prodjodikoro memaknai asuransi sebagai: suatu persetujuan
dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk
menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin
akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari sesuatu peristiwa yang
belum jelas.22
20Ibid, h.57. 21Muhammad Muslehuddin, Insuranse And Islamic Law, (Terj. Oleh Wira Subrata)
Menggugat Asuransi Moderen: Mengajukan Suatu Alternatif Baru Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Lentera, 1999),Cet. Ke-1 h.3
22Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (jakarta: Intermasa,1987), h.1
16
Menurut Robert El-Mehr, sebagaimana dikutip Ahmad Wardi Muslich:
Asuransi adalah suatu alat untuk mengurangi resiko dengan menggabungkan
sejumlah unit-unit yang beresiko, agar kerugian individu secara kolektif
dapat diprediksi kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian dibagi
dan didistribusikan secara proposional diantara semua unit dalam gabungan
tersebut.23
Di Indonesia, definisi asuransi telah ditetapkan dalam kitab undang-
undang hukum dagang pasal 246 yang berbunyi sebagai berikut. “Asuransi
atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang
penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung dengan
menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu”.24
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam asuransi ada tiga hal
yang menjadi masalah pokok, yaitu premi, resiko, tanggungan atau jaminan.
a. Premi
Premi adalah bayaran asuransi atau harga sebagai jaminan
penanggung asuransi untuk bertanggung jawab. Dalam asuransi, premi
mungkin juga mempunyai nilai tanggungan untuk tambahan kepada
anggota lain dalam masyarakat yang mengalami kerugian, sehingga
dengan demikian peserta (anggota) juga menjadi penanggung.
23Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mu‟amalat, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 549 24Kitab undang-undang hukum dagang pasal 246
17
b. Resiko
Resiko, sebagaimana dikemukakan oleh A.Hasymi Ali adalah
ketidakpastian mengenai kerugian. Dalam kehidupan manusia banyak
sekali bahaya yang mengancam keselamatannya. Ancaman tersebut bisa
mengenai kekayaan, jiwa dan raga manusia. Ancaman bahaya tersebut
berlangsung sepanjang masa. Selama manusia itu masih hidup, dan
selama ia memiliki kekayaan, selama itu pula ancaman bahaya akan terus
berlangsung. Ancaman bahaya yang menyebabkan timbulnya kerugian,
tetapi belum pasti itulah yang dalam hukum asuransi disebut dengan
resiko.
c. Tanggungan atau jaminan
Perjanjian asuransi bisa ditafsirkan sebagai perjanjian jaminan
terhadap kerugian. Apabila seseorang bersedia menerima pembayaran
iuran atau premi dari tertanggung maka sebagai imbalnnya ia harus
menanggung kerugian yang menimpa tertanggung. Namun, tidak semua
kerugian bisa diganti oleh penanggung. Kriteria kerugian yang bisa
diganti oleh penanggung antara lain. Kerugian yang berasal dari
peristiwa yang tidak pasti, peristiwa yang tidak pasti tersebut ditanggung
oleh penanggung, terdapat hubungan kausalitas antara peristiwa tidak
pasti dengan kerugian, penggantian kerugian didasarkan kepada asas
keseimbangan.25
25Ibid, h.540-546
18
Lebih jauh Wahbah al-Zuhaili yang dikenal sebagi Ulama ahli Fiqh,
Guru Besar Universitas Damaskus Syiria pada hakikatnya selain menggeser
nilai sosial sebagai acuan dasar asuransi itu sendiri yaitu tolong menolong
atau dikenal dengan ta‟min akad asuransi termasuk dalam akad gharar yaitu
akad yang tidak jelas tentang ada tidaknya sesuatu yang diakadkan. Ahli
Syari‟ah memasukan dalam kelompok akad gharar disebabkan karena akad
asuransi itu sendiri adalah resiko yang dijadikan jamainan belum pasti
berlaku dan tidak diketahui terjadinya, karenanya gharar melekat dan
menyatu dalam praktik dan akad asuransi. Unsur gharar yang terkandung
dalam asuransi memberi indikasi bahwa asuransi juga mengandung unsur
ketidakjelasan atau kekaburan (jahalah). Unsur ketidakjelasan sangat
terlihat dengan jelas dalam asuransi, yaitu ketidakjelasan mengenai jumlah
uang yang akan diberikan masing-masing dari pihak penerima dan pemberi
asuransi. Jumlah yang dimaksud tidak ketahuan karena bisa banyak dan bisa
juga sedikit. Bahkan kompensasi yang akan diberikan pihak pemberi
sifatnya spekulatif, begitupun halnya bahaya yang diasuransikan bisa terjadi
dan bisa juga tidak.26
2. Teori Dasar Asuransi
Dalam kegiatan bisnis asuransi segala sesuatu diarahkan untuk
memproteksi keadaan dimasa yang akan datang yang belum pasti atas
sebuah resiko yang berkaitan dengan nilai aktivitas ekonomi seseorang.
Menghadapi masa yang akan datang (Future Time) merupakan sesuatu yang
26Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâm, h. 114
19
tidak dapat dipungkiri oleh manusia, walaupun dalam wujudnya keadaan
yang akan terjadi di masa yang akan datang tersebut belum jelas realitanya.
Hal ini disebabkan karena kehidupan manusia itu linier yang tidak terlepas
dari tiga fase. yaitu masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
Masa lalu yaitu masa yang sudah dilewati oleh manusia dalam menjalani
hidupnya, masa yang dimana sudah dilewati oleh orang dalam hidup. Masa
sekarang merupakan masa yang sedang dijalani oleh manusia dan masa
yang akan datang adalah masa dimana manusia belum menempuh jalan
hidupnya masa yang penuh dengan ketidakjelasan dan ketidakpastian
(uncertainty). Seseorang tidak akan mampu memastikan apakah dia akan
hidup diwaktu yang akan datang ataukah dia akan sakit dan meninggal,
ataukah harta yang dimiliki oleh seseorang akan tetap terhindar dari
musibah maupun bencana. Ini merupakan sebuah pertanyaan yang
sederhana dan tidak akan mampu menjawabnya.27
Oleh karena itu manusia hanya mampu merencanakan dan
memprediksikan kejadian di masa yang akan datang, sedang kepastian
hanya Allah yang maha tahu. Oleh karenanya manusia disuruh untuk
membaca iqra‟ membaca keadaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi
dimasa lalu dan masa sekarang untuk mengukur dan mengkaji bagaimana
seharusnya dia melangkah ke depan dengan membawa harapan yang lebih
baik.28
27 Hasan Ali, Asuransi dalam Perpektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2004), h.94 28Hasan Ali, Asuransi dalam, h.94
20
Semua asuransi bertujuan untuk mengadakan persiapan menghadapi
kemungknan bahaya dalam kehidupan dan hubungan perdagangan manusia.
Mereka yang menjalankan usaha akan berupaya untuk menghindari diri dari
bencana yang melanda mereka dengan cara mengalihkan kerugian sedapat
mungkin kepada tanggungan orang lain yang sanggup membayar uang ganti
rugi karena mengambil alih tanggungan resiko tersebut29.
3. Prinsip Dasar Asuransi
Dalam dunia perasuransian ada enam macam prinsip dasar yang harus
di penuhi yaitu insurable interest, utmost good faith, proximate cause,
indemnity, subrogation dan contribution.
a. Insurable Interest
Merupakan hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu
hubungan keuangan, antara tertanggung dengan yang diasuransikan dan
diakui secara hukum. Maksudnya adalah seorang peserta asuransi
dikatakan memiliki kepentingan atas objek yang diasuransikan apabila
peserta menderita kerugian keuangan seandainya terjadi musibah yang
menimbulkan kerugian atau kerusakan atas objek tersebut. Kepentingan
keuangan ini memungkinkan peserta asuransi mengasuransikan harta
benda atau kepentingannya. Apabila terjadi musibah atas objek yang
diasuransikan dan terbukti tidak memiliki kepentingan keuangan atas
objek tesrsebut, Maka tidak berhak menerima ganti rugi.
29Muhammad Muslehuddin, Insurance In Islam (Terj. Oleh Wardana) Asuransi Dalam
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h.30
21
b. Utmost Good Faith
Suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap,
semua fakta yang material (material fact) mengenai sesuatu yang akan
diasuransikan baik diminta maupun tidak. Artinya adalah si penanggung
harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang
luasnya syarat atau kondisi dari asuransi dan si tertanggung juga harus
memberikan keterangan yang jelas dan benar atas objek atau kepentingan
yang dipertanggungkan.
Jadi dapat dipahami bahwa peserta berkewajiban memberitahukan
sejelas-jelasnya dan teliti mengenai fakta-fakta penting yang berkaitan
dengan objek yang diasuransikan. Prinsip ini pun menjelaskan resiko-
resiko yang dijamin maupun yang dikecualikan, segala persyaratan dan
kondisi pertanggungan secara jelas dan teliti.
c. Proximate Cause
Proximate Cause adalah suatu penyebab aktif, efisien yang
menimbulkan rantaian kejadian yang menimbulkan suatu akibat tanpa
adanya intervensi suatu yang mulai dan secara aktif dari sumber yang
baru dan independen.
Jadi apabila kepentingan yang diasuransikan mengalami musibah
atau kecelakaan, maka pertama-tama dicari sebab-sebab yang aktif dan
efisien yang menggerakkan suatu rangkaian peristiwa tanpa terputus
sehingga pada akhirnya terjadilah musibah atau kecelakaan tersebut.
22
Prinsip ini merupakan suatu prinsip yang digunakan untuk mencari
penyebab kerugian yang aktif dan efisien yaitu suatu rangkaian mata
rantai peristiwa yang tidak terputus “Unbroken Chain Of Events”.
d. Indemnity
Suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi
finansial dalam upayanya menempatkan tertanggung dalam posisi
keuangan yang ia miliki sesaat sebelum terjadinya kerugian (KUHD
pasal 252, 253 dan dipertegas dalam pasal 278).
e. Subrogation
Pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah
klaim dibayar. Prinsip subrogasi diatur dalam pasal 284 kitab Undang-
Undang Hukum Dagang, yang berbunyi: “apabila seorang penanggung
telah membayar ganti rugi sepenuhnya kepada pihak tertanggung, maka
penanggung akan menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hal
untuk menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian pada
tertanggung”.
f. Contribution.
Contribution adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung
lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak harus sama
kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan indemnity.
Maksudnya adalah peserta dapat mengasuransikan harta benda yang
sama atau dengan kata lain objek yang sama pada beberapa perusahaan
23
asuransi. Namun bila terjadi kerugian atas objek yang diasuransikan
maka secara otomatis berlaku prinsip kontribusi.30
4. Pro Kontra terhadap Asuransi
Ulama pertama yang berbicara tentang asuransi adalah Muhammad
Amin bin Umar yang terkenal dengan sebutan Abidin, seorang ulama
Hanafiah. Dalam kitabnya yang terkenal Hasyiyah Ibnu Abidin ia
mengangkat asuransi keselamatan barang yang diangkut dengan kapal laut,
dimana para pedagang menyewa kapal dari seorang kafir harbi. Mereka
disamping membawa upah pengangkutannya juga membayar sejumlah uang
untuk seorang harbi yang berada di negeri asal penyewa kapal yang disebut
“sukarah” atau premi asuransi, dengan ketentuan apabila barang-barang
yang diangkut itu musnah karena kebakaran, bajak laut, atau kapalnya
tenggelam maka penerima uang premi menjadi penanggung, sebagai
imbalan dari uang yang diambil dari para pedagang tersebut. Menurut Ibnu
Abidin dari kasus itu para pedagang tidak dibolehkan mengambil uang
pengganti atas barang-barang yang musnah, karena tindakan tersebut
termasuk “mewajibkan sesuatu yang tidak lazim/wajib”.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh beberapa ulama lain seperti
Syaikh Muhammad Bakhit, mufti Mesir, Syaikh Muhammad Al-Ghazali,
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Qardhawi, Syaikh Abu Zahrah, Muhammad
Muslehuddin, Wahbah al-Zuhaili, guru besar Universitas Damaskus, dan
K.H Ali Yafie dari Indonesia, lebih jauh Wahbah al-Zuhaili misalnya
30Ida Fitriyani, “Prinsip-prinsip Asuransi” http://ida-fitriyani.blogspot.co.id/2013/10/
prinsip-prinsip-asuransi.html, diambil tanggal 13 Januari 2017, pukul 13.15 WITA.
24
mengatakan bahwa pada hakikatnya akad asuransi termasuk dalam aqad
gharar, yaitu suatu aqad yang tidak jelas ada tidaknya sesuatu yang
diakadkan. Muhammad Muslehuddin mengatakan perjanjian asuransi
moderen ditentang oleh ulama atau cendekiawan Islam dengan alasan-
alasan.
a. Asuransi merupakan kontrak perjudian
b. Asuransi hanyalah pertaruhan
c. Asuransi bersifat tidak pasti
d. Asuransi jiwa adalah alat dengan mana suatu usaha dilakukan untuk
mengganti kehendak Tuhan
e. Di dalam asuransi jiwa, jumlah premi tidak tentu, karena peserta asuransi
tidak tahu berapa kali cicilan yang akan dibayarnya sampai ia meninggal
f. Perusahaan asuransi menginvestasikan uang yang dibayarkan oleh
peserta asuransi dalam surat-surat berharga (sekuritas) berbunga. Dalam
hal asuransi jiwa, si peserta suransi, atas kematiannya, berhak
mendapatkan jauh lebih banyak dari jumlah yang telah dibayarkanya,
yang merupakan riba (bunga).
g. Seluruh bisnis asuransi didasarkan pada riba yang hukumnya haram.
Disamping pendapat para ulama tersebut, terdapat pula pandangan-
pandangan yang dituangkan dalam pendapat lembaga internasional dan
nasional, mu‟tamar atau fatwa oleh majelis, majma‟ dan ormas Islam, antara
lain:
25
a. Mu‟tamar Ekonomi Islam, yang bersidang pertama kali pada tahun 1976
di Mekkah, dihadiri oleh sekitar 200 ulama, profesor syari‟ah, dan pakar-
pakar ekonomi dari berbagai negara muslim. Dalam keputusannya
tentang asuransi, mu‟tamar berkesimpulan bahwa asuransi konvensional
hukumnya haram karena mengandung riba dan gharar.
b. Majma‟ Al-Fiqh Al-Islami, yang bersidang pada tahun 1979 di mekkah
memutuskan mayoritas ulama berpendapat asuransi jenis perniagaan
hukumnya haram, baik asuransi jiwa maupun yang lainnya.
c. Majma‟ Al-Fiqh AL-Islami, dalam sidangnya yang kedua pada tanggal
28 Desember 1985 di Jeddah memutuskan asuransi jenis perniagaan
hukumnya tetap haram. Majma‟ menyerukan agar seluruh umat Islam
dunia menggunakan asuransi ta‟awun.
d. Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang ditandatangani oleh Ketua Umum
K.H. Sahal Mahfudhda Sekretaris Umum H.M. Din Syamsudin, pada
prinsipnya menolak asuransi konvensional, tetapi menyadari realita
dalam masyarakat bahwa asuransi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu,
DSN MUI dalam fatwanya memutuskan tentang pedoman umum
Asuransi Syari‟ah, antara lain tidak boleh mengandung gharar, maisir,
riba, zhulm, risywah (suap), barang haram dan maksiat.
Dalam menjawab semua keberatan ini, kaum modernis mengatakan
bahwa:
a. Asuransi bukan perjudian, juga bukan pertaruhan, karena didasarkan
pada mutualitas (kebersamaan) dan kerja sama. Perjudian adalah suatu
26
permainan keberuntungan dan karenanya merusak maysarakat. Asuransi
adalah suatu anugerah bagi umat manusia, karena ia melindungi mereka
dari bahaya yang mengancam jiwa dan harta mereka dan memberikan
keuntungan bagi perdagangan dan industri.
b. Ketidakpastian dalam transaksi dilarang dalam Islam karena
menyebabkan perselisihan. Jelas dari ucapan-ucapan Nabi saw bahwa
kontrak penjualan dilarang jika penjual tidak sanggup menyerahkan
barang yang dijanjikan kepada pembeli karena sifatnya yang tidak
tentu.
c. Asuransi jiwa bukan alat untuk menolak kekuasaan tuhan atau
menggantikan kehendak-Nya, karena asuransi ini tidak menjamin suatu
peristiwa yang tidak terjadi tapi, sebaliknya mengganti kerugian
kepada peserta asuransi terhadap akibat-akibat dari suatu peristiwa
atau resiko yang sudah ditentukan.31
d. Keberatan mengenai tidak tentunya asuransi jiwa dalam arti bahwa
peserta asuransi tidak mengetahui berapa banyak jumlah cicilan yang
dibayarnya sampai kematiannya adalah tidak beralasan.
Keberatan mengenai riba, dalam asuransi jiwa, tak berguna, karena
asuransi ini membolehkan peserta asuransi untuk tidak menerimah
lebih dari yang telah dibayarnya.32
31Ibid., h. 148 32Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2005), h.547-550
27
F. Metode Penelitian
1. Jenis Pengumpulan Data
Jenis pengumpulan data dalam penlitian ini adalah data yang
dikumpulkan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan. Yakni
sumber datanya diperoleh melalui buku-buku baik sumber data primer
maupun data sekunder atau sering kali disebut dengan penelitian
kepustakaan. Yakni penelitian yang menelaah buku-buku kepustakaan
dengan tipologi deskriptif interpretatif, artinya suatu sistem pemikiran yang
berusaha menggambarkan keadaan dan peristiwa dengan memberikan
deskripsi analisis komparatif sehingga menimbulkan signifikasi teoritis yang
memadai yang relevan dengan persoalan yang akan dibahas dalam
penelitian ini.33
Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan
pemikiran para tokoh cendekiawan muslim maupun pemikiran ulama-ulama
kontemporer tentang asuransi, khususnya Wahbah al-Zuhaili yang terdapat
dalam bukunya yang berjudul Al-Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuhu, sebagai
sumber data primer. Adapun data sekundernya adalah buku-buku yang lain
yang membahas tentang asuransi baik yang sejalan dengan pemikiran
Wahbah al-Zuhaili maupun yang bertentangan dengan pemikiran beliau,
selain itu sebagai pendukungnya juga penulis mengutip berbagai macam
bacaan yang dituangkan di jurnal-jurnal yang berkaitan dengan asuransi dan
33P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1991), h. 109.
28
tulisan-tulisan yang terdapat di media online sebagai rujukan tambahan
dalam penelitian ini. Hal tersebut dilakukan agar terhindar dari kesan fiktif.
2. Proses Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
telaah pustaka, yakni penelitian yang menelaah buku-buku, majalah, artikel,
esai, dan hasil penelitian orang lain, yang memiliki relasi dengan penelitian
ini. Data yang diperoleh dari penelitian ini menggambarkan hasil pemikiran
tokoh, keadaan hidup tokoh, dan peristiwa-peristiwa yang menimpanya
dengan memberikan diskripsi analisis komparatif sehingga menemukan
signifikasi teoritis terhadap kajian ini.
Dalam aplikasinya penulis membaca, menelaah buku-buku fiqh dan
buku-buku yang membahas tentaang asuransi maupun literatur-literatur
lainnya yang memiliki signifikasi yang relevan dengan kajian.
Pada tahapan ini peneliti mencari landasan teoritis dari permasalahan
pada kajian yang akan diteliti, sehingga penelitian bukanlah aktifitas yang
bersifat membenarkan atau menyalahkan, walaupun akan diberikan analisis
terhadap data. Tahapan ini merupakan tahapan yang sangat penting, karena
semua kajian menggunakan bentuk kajian pustaka.34
3. Sumber Data
Sebagai pertanggungjawaban secara metodologis. Dalam melakukan
kegiatan penelitian ini, penulis berusaha menggunakan sumber data primer.
Sumber data primer merupakan sumber data yang diambil dari literatur-
34Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2015) , h. 112.
29
literatur atau buku-buku karangan Wahbah al-Zuhaili terutama buku hasil
karya beliau yang berjudul Al-Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuhu, yang
membahas mengenai data-data yang memuat materi berkaitan dengan kajian
ini.
Sedangkan sumber data sekunder, penulis mengambil dari buku-buku,
artikel-artikel, majalah-majalah, esai-esai yang relevan dengan kajian ini.
Sumber-sumber umum secara langsug juga penulis kategorikan sebagai data
penunjang kajian yang berupa buku-buku, dokumentasi maupun wawancara
yang mampu memprerkaya kajian ini sehingga menjadi lebih layak dan
komprehensif.
4. Analisa data
Data yang telah diperoleh dari bahan-bahan pustaka, tentunya
membutuhkan teknik analisa yang ampuh memberikann interpretasi
deskriptif dan hipotesis sebagai metode telaah guna mendapatkan
kesimpulan.
Adapun metode-metode yang digunakan oleh penulis dalam
menunjang skripsi ini adalah:
a. Metode Deduktif
Metode deduktif yaitu metode yang mengandalkan potensi berfikir
dari persoalan yang abstrak kepada persoalan yang kongkrit, dari kaidah
yang umum membentuk keputusan-keputusan yang khusus, atau dari
putusan umum ke bentuk putusan yang khusus.
30
Tujuan penulis menggunakan metode deduktif adalah untuk
menyimpulkan data-data yang didapatkan dari deskripsi-deskripsi yang
umum dengan mencatat keterangan-keterangan yang khusus yang ada
kaitannya denga kajian yang dijadikan sebagai kesimpulan yang
memadai.35
b. Metode Induktif
Metode induktif yaitu cara berfikir yang berangkat dari fakta-fakta
atau persoalan yang kongkrit kepada persoalan yang abstrak, atau dari
persoalan yang khusus kemudian digeneralisasi atau persoalan yang
umum.
Penulis menggunakan metode induktif untuk membuat generalisasi
sekaligus kesimpulan-kesimpulan terhadap bahan-bahan pustaka yang
digunakan dalam kajian ini.
c. Metode Komparatif
Metode komparatif adalah suatu teknik yang berusaha mencari
persamaan dan perbedaan melalui analisis tentang, sebab akibat, yakni
meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi,
fenomena yang diselidiki dan membandingkan satu faktor dengan yang
lain, dan digunakan intrik menganalisis data dengan menggunakan
perbandingan yang dibuat setelah masing-masing pendapat diuraikan
secara lengkap.36 Pada umumnya metode ini dipergunakan dalam
35Heri Jauhari, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah,, (Bandung: Pustaka Setia, 2008). h. 123 36Ibid., h. 123
31
membandingkan antara pendapat Wahbah al-Zuhaili dengan pendapat
Ulama maupun cendekiawan muslim lainya.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini maka
skripsi disusun dalam Empat Bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang
satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu disususn sistematika sedemikian
rupa sehingga dapat memberikan gambaran kearah mana tujuan dari tulisan ini.
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang merupakan garis besar
dari keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas serta
padat.
Bab kedua berisi tentang pengertian asuransi menurut pendapat Wahbah
al-Zuhaili serta meliputi biografinya, dan pemikirannya, serta konsep asuransi
yang dibolehkan dan pandangan Wahbah al-Zuhaili tentang alasan
ketidakbolehan asuransi (Al-Ta‟mîn bi qis Tsabit) atau dikenal dengan asuransi
bisnis.
Bab ketiga berisi tentang analisis pendapat Wahbah al-Zuhaili tentang
asuransi yang meliputi konsep asuransi yang diperbolehkan dalam Islam dan
analisis alasan penolakannya terhadap asuransi dengan bayaran tetap/bisnis (al-
ta‟mîn al-ta‟wuni).
Bab keempat merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
32
BAB II
KONSEP ASURANSI MENURUT WAHBAH AL-ZUHAILI
A. Biografi Hidup, Karya, dan Pemikiran Wahbah al-Zuhaili
Wahbah al-Zuhaili merupakan salah satu tokoh Islam kontemporer yang
terkemuka pada zamannya, beliau terkenal dengan pemikirannya yang sedikit
kontroversi di Syiria dan merupakan seorang tokoh cendekiawan Islam khusus
di bidang perundangan Islam (syari‟ah).37
Prof Dr. Wahbah al-Zuhaili dilahirkan pada tahun1351 H. bersamaan 6
Maret 1932 M. Di sebuah desa Dir Atiyyah, daerah Qalmun, Damsyiq, Syiria.
Beliau dilahirkan dari kalangan orang-orang yang berlatar belakang profesi
sebagai petani dan peniaga. Bapaknya bernama Haji Mustafa al-Zuhayli
merupakan seorang yang terkenal dengan kesolehan dan ketakwaan dan
senantiasa memberi semangat kepada anak-anaknya untuk menuntut ilmu.
Ibunya bernama Hajah Fatimah bin Mustafa Sa‟adah, seorang yang kuat
berpegang kepada ajaran agama. Wahbah al-Zuhaili mendapat didikan dan
tarbiyah sejak kecil dari kedua orang tuanya. Dia juga belajar di sekolah
rendah dan tamat di perkampunganya sebelum berpindah ke Kota Damsyiq
atas dorongan ibunya.38
Setelah itu Wahbah al-Zuhaili melanjutkan studinya ke Damsyk untuk
mendalami ilmu syaria‟ah Selama 6 tahun dan lulus pada tahun 1952, dengan
cemerlang. Kemudian beliau melanjutkan studinya ke pendidikan tinggi di
37Wikipedia, ensiklopedia bebas, biografi wahbah al-Zuhaili, https://ms.wikipedia.
org/wiki/Wahbah al-Zuhaili, diambil tanggal 08 mei 2017 pukul 08.35WITA 38http://kenaliulama.blogspot.co.id/2011/11/prof-dr-wahbah-al-zuhayli-mufassir-dan.
html, diambil tgl 08 mei 2017 pukul 08.35 WITA
33
Universitas Al-Azhar Fakultas Syari‟ah dan tamat pada tahun 1956. Beliau
menyandang gelar megister pada tahun 1959 pada bidang Syari‟ah Islam di
Universitas Al-Azhar Kairo, dan Pada tahun 1963, beliau menerima
kedoktoran (Ph.D) dengan kepujian dalam Syari‟ah Islam menerusi tesis beliau
"Pengaruh Peperangan Dalam Perundangan Islam: Sebuah Kajian
Perbandingan Meliputi 8 Mazhab dan Undang-undang Sekular Antar bangsa".
Pada tahun yang sama yaitu pada tahun 1963 beliau mengajar di Universiti
Damsyik (Damascus University) di mana beliau telah meraih gelaran Profesor
sejak tahun 1975, di sana beliau mendalami ilmu fiqh serta ushu fiqh dan
mengajarkannya di Fakultas Syari‟ah.39
Sebagai guru besar, ia juga menjadi dosen tamu pada sejumlah universitas
di negara-negara Arab, seperti pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum serta
Fakultas Adab Pasca sarjana Universitas Benghaji, Libya. Pada Universitas
Ummu Darman, Universitas Afrika dan pernah mengajar di Universitas Emirat
Arab. selain menjalankan profesinya sebagai tenaga pengajar beliau juga kerap
mengisi seminar dan acara di televis di Damaskus, Emirat Arab, Kuwait dan
Arab Saudi. Beliau menjadi ahli dalam Royal Society untuk penyelidikan
tamadun Islam Yayasan Aal al-Bayt di Amman Jordan serta banyak lagi
badan-badan Islam di seluruh dunia termasuk Majlis Syria al-IFTA, Akademi
Fiqh Islam di Jeddah, Arab Saudi dan Akademi Fiqh Islam Amerika Syarikat,
India dan Sudan. Beliau juga merupakan Pengerus Institut Penyelidikan bagi
Institusi Keuangan Islam. Selain itu, beliau turut berkhidmat sebagai
39Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islâm, h. sampul depan.
34
perundang dalam bidang Syariah Islam kepada syarikat-syarikat dan institusi
keuangan Islam termasuk Bank Islam Antar bangsa. Beliau turut dikenali
sebagai pendakwah Islam yang terkenal yang kerap muncul dalam program
televisi dan radio. Dulu, beliau merupakan Imam dan pendakwah di Masjid
Usman di Damsyik. Beliau meninggal dunia pada tahun 2015 M.40
Selama hidupnya beliau telah menulis beberapa karya-karya besar antara
lain; Al-Fiqh Al-Islâm wa Adillatuhu, kitab ini merupakan kitab fiqh
kontemporer yang sangat penting dalam pengkajian fiqh komparatif. Buku ini
untuk pertama kalinya dicetak oleh percetakan Dar al-Fikr di Damaskus pada
tahun 1984, awalnya terdiri dari Sembilan jilid, namun, untuk cetakan terakhir,
buku ini telah disempurnakan hingga menjadi 10 jilid. Buku ini adalah buku
yang paling monumental dari Wahbah al-Zuhaili, karena beliau sendiri adalah
pakar hukum Islam, selain menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dipahami
buku ini juga memiliki sistematika penulisan yang sangat rapi, ilmiah, sehingga
memudahkan para pembaca untuk menikmatinya.41
Selain dari pada itu buku ini juga dilengkapi dengan kutipan yang
terpercaya dari setiap mazhab yang ada. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Wahbah
al-Zuhaili dalam muqaddimah bukunya tersebut. Adapun pembahasan-
pembahasan yang ditulis dalam buku ini adalah di dalam jilid satu memuat
40Hidayatullah.com “ulama kontemporer Dunia Syeikh wahah zuhaili berpulang”, dalam
http://m.hidayatulloh.com/berita/internasional/read/2015/08/09/75463/ulama-kontemporerdunia -syeikh-wahbah-zuhaili-berpulang.html, diambil tanggal 08 mei 2017, pukul 11.39 WITA
41Ibid., diambil tanggal 08 mei 2017, pukul 11.39 wita
35
materi tentang; pengantar ilmu fiqh, tokoh-tokoh mazhab fiqh, Niat, Thaharah,
dan Shalat.42
Jilid dua membahas tentang; Shalat Wajib, Shalat Sunnah, Qunut dalam
Shalat, Shalat Jama‟ah. Shalat Jamak dan Qashar. Jilid tiga membahas; Puasa,
I‟itikaf, Zakat, Haji dan Umrah. Jilid empat membahas; Sumpah, Nazar, Hal-
hal yang dibolehkan dan dilarang, Kurban dan Aqqiqah, dan Teori-teori hukum
(fiqh). Jilid lima membahas; Hukum transaksi keuangan, Transaksi Jual-Beli,
Asuransi, Khiyar, Macam-macam Transaksi Jual-Beli, dan Akad Ijarah
(penyewaan). Jilid enam membahas; Jaminan (Al-Kafalah), pengalihan hutang
(Al-Hawalah), Gadai (Rahn), Paksaan (Al-Ikrâh), dan Kepemilikan (Al-
Milkiyyah). Jilid tujuh membahas; Sistem Ekonomi Islam, Pasar, Keuangan,
Hukum Hadd Zina, Qazaf dan Pencurian. Jilid delapan membahas; Jihad,
Pengadilan dan Mekanisme Pengambilan Keputusan, dan Pemerintahan Dalam
Islam. Jilid Sembilan membahas; Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-iila‟ Istri,
Li‟an, Zhihar, dan Masa Iddah. Jilid sepuluh membahas; Hak-hak Anak.
Seperti yang telah penulis uraikan di atas bahwa pembahasan mengenai
asuransi terdapat di jilid lima yang di mana pembahasan ini sangat penting
karena beliau juga alumni fakultas syari‟ah sekaligus dosen di fakultas tersebut
memiliki ilmu dan pemahaman yang memadai tentang hukum Syari‟ah
sehingga hasil karyanya dapat memberikan kontribusi dalam dunia Islam
sampai sekarang.43
42Ibid., diambil tanggal 08 mei 2017, pukul 11.39 wita 43Muhammad Arifin Studi Tafsir”, dalam http://studitafsir.blogspot.co.id/2012/12/prof-dr-
wahbah-az-zuhaily-dan-tafsir.html, diambil Tanggal 05 Juni 2017, Pukul 10.50 WITA
36
Kemudian karyanya yang lain antara lain adalah; At Tafsir Al Munir, Al
Fiqhul Islam Fi Uslubih Al Jadid, Nadhorariyatudh Dhorurot Asy Syari‟yah,
Al „Alaqod ad-Dauliyah Fil Islam, Juhud Taqnin Al Fiqh Al Islami, Al-Fiqhul
Hanbali Al Muyassar, Al Fiqhul Hanafi Al-Muyassar, Al Fiqhus Syafi‟i Al
Muyassar.44
44Ibid., diambil Tanggal 05 Juni 2017, Pukul 10.50 WITA
37
B. Konsep Asuransi yang Halal Menurut Wahbah Al-Zuhaili
Asuransi dalam pandangan Wahbah al-Zuhaili hanya ada dua jenis yaitu
asuransi kooperatif (Mutual Insurance) atau dalam istilahnya adalah Al-ta‟mîn
al-ta‟wuni. dan asuransi dengan bayaran tetap (Al-Ta‟mîn bi qis Tsabit).
Adapun yang dimaksud dengan asuransi kooperatif (Al-ta‟mîn al-ta‟wuni)
adalah beberapa orang sepakat agar masing-masing dari mereka sepakat
membayar saham uang dalam jumlah tertentu dengan tujuan untuk memberi
kompensasi bagi anggota yang terkena musibah tertentu dan asuransi seperti ini
jarang diterapkan.45
Pelaku dalam asuransi koperatif (Al-ta‟mîn al-ta‟wuni) bukanlah sebuah
organisasi yang berdiri sendiri dan terpisah dari orang-orang penerima
asuransi. Anggotanya yang terlibat dalam asuransi ini tidak bertujuan untuk
memperoleh keuntunngan, namun bertujuan untuk meringankan beban
kerugian yang ditimbulkan oleh bencana yang menimpa sebagian anggotanya.
Asuransi seperti yang telah dijelaskan sudah pasti boleh dalam Islam, karena
asuransi seperti ini termasuk dalam kategori transaksi sumbangan, juga
termasuk dalam kategori tolong-menolong dalam kebaikan.46 Sebagaimana
firman Allah
…....
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
45Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâm, h. 105 46Ibid., h. 105
38
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (Qs al-Māidah/5:2).47
Adapun alasan asuransi kooperatif (Al-ta‟mîn al-ta‟wuni) diperbolehkan
karena, setiap anggota dari asuransi membayar sejumlah uang tertentu dengan
keikhlasan hatinya untuk meringankan kerugian dari bencana yang menimpa
sebagian anggotannya. Bencana dalam bentuk apa pun, baik bencana yang
menimpa jiwa, badan, atau barang-barang, maupun karena kebakaran,
pencurian, atau kematian hewan, atau kecelakaan lalu lintas, dan kecelakaan
dalam dunia kerja.48
Sedangkan asuransi dengan premi bayaran tetap (Al-Ta‟mîn bi qis Tsabit)
adalah orang yang diberi jaminan keamanan (asuransi) bertanggung jawab
untuk memberi bayaran tertentu kepada pihak pemberi asuransi. Adapun pihak
pemberi asuransi adalah sebuah perusahaan asuransi yang terdiri dari sejumlah
orang yang memiliki saham tetentu. Berdasarkan jumlah pembayaran yang
diberikan pihak penerima asuransi maka pihak pemberi asuransi bertanggung
jawab untuk memberikan jasa asuransi tertentu ketika terjadi bahaya atau
bencana pada penerima asuransi. Tipe asuransi inilah yang banyak berkembang
di dunia saat ini. Kompensasi akan diberikan kepada orang tertentu yang telah
dipercaya yang disebutkan namanya dalam transaksi asuransi, atau pihak
penerima asuransi itu sendiri, ataukah ahli warisnya. Jadi, transaksi asuransi
adalah salah satu bentuk transaksi tukar-menukar yang memberikan hak dan
kewajiban bagi kedua belah pihak. Adapun asuransi dengan sistem pembayaran
47Qs al-Māidah (5):2. 48Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islâm Wa Adillatuhu, h. 106
39
tetap maka pelaku utamanya adalah sebuah perusahaan yang bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari orang-orang yang ingin diberi jaminan asuransi.49
Perlu dicatat bahwa penerima asuransi terkadang tidak menerima apa-apa,
namun itu tidak serta merta membuat transaksi asuransi keluar dari status
transaksi tukar-menukar kompensasi. Karena, salah satu karakter transaksi
ihtimaly (hal-hal kemungkinan) adalah salah seorang dari kedua belah pihak
terkadang tidak memperoleh imbalan.50
C. Alasan Wahbah al-Zuhaili tidak membolehkan asuransi
Mengutip fatwa Ibnu Abidin, dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islâm wa
Adillatuhu Wahbah al-Zuhaili mengatakan tidak boleh mengkategorikan
asuransi sebagai kongsi mudhârabah, yaitu dua pihak saling berkongsi, dimana
salah satu pihak memiliki modal dan yang lainnya mengatur modal (pekerja),
karena dua alasan.51
Alasan pertama, karena premi atau (cicilan) yang diberikan oleh penerima
asuransi kepada pihak pemberi asuransi menjadi milik perusahaan asuransi
secara otomatis. Lantas, perusahaan asuransi bebas memanfaatkan uang
tersebut sesuai kehendaknya. Kemudian, pihak penerima akan kehilangan
premi yang dibayarnya bila tidak terjadi bencana atau musibah. Alasan kedua,
salah satu syarat mudhârabah adalah adanya keuntungan yang diperoleh antar
pemilik modal dan pekerja, seperti seperempat atau sepertiga. Sementara dalam
asuransi, pihak penerima asuransi disyaratkan menerima keuntungan dalam
49Ibid., h. 105 50Ibid., h. 106 51Ibid., h. 107
40
jumlah tertentu, yaitu tiga atau empat persen, maka mudhârabah semacam itu
tidak sah. Akan tetapi bila pihak asuransi, baik penerima maupun pemberi
asuransi mengindahkan sebab yang kedua ini, maka sebab yang pertama tetap
akan menjadi masalah. Begitupun halnya, ketika penerima asuransi meninggal
dunia maka dalam aturan transaksi boleh jadi kompensasi tidak diserahkan
kepada ahli waris pihak penerima asuransi, tetapi kepada orang yang telah
disebutkan namanya dalam transaksi asuransi. Hal ini sangat berbeda dengan
sistem mudhârabah bahwa bila pihak pemodal atau penerima asuransi
meninggal dunia maka bisa berpindah kepada ahli warisnya.52
Begitu pula, tidak bisa menganggap asuransi sebagai bentuk dari jaminan
atau tanggungan (kâfalah) karena asuransi bukanlah salah satu sebab dari
empat sebab wajib adanya jaminan. Pada intinya asuransi merupakan salah satu
bentuk transaksi yang mengandung gharar, yaitu transaksi yang mengandung
kemungkinan adanya barang atau sebaliknya (tidak ada). Sedangkan Nabi saw.
Telah melarang jual beli yang mengandung gharar. Larangan jual beli yang
mengandung gharar juga berlaku pada transaksi kompensasi-kompensasi
keuangan, karena gharar mempengaruhi transaksi ini, sebagaimana
terpengaruh pada jual beli. Jadi, transaksi asuransi dengan perusahaan-
perusahaan asuransi adalah termasuk transaksi kompensasi keuangan, dan
karennya gharar berpengaruh di dalamnya sebagaimana mempengaruhi
transaksi-transaksi kompensasi lainnya. Pakar hukum konvensioal telah
menempatkan transaksi asuransi dalam pembahasan “transaksi-transaksi yang
52Ibid., h. 107
41
mengandung gharar”, karena transaksi asuransi berlaku pada kecelakaan-
kecelakaan yang terjadi di kemudian hari yang tidak pasti terjadinya, atau tidak
diketahui kejadiannya, dengan demikian, gharar merupakan unsur penting
dalam hal asuransi.53
Unsur gharar pada asuransi sangat banyak, tidak sedikit dan bukan juga
sedang. Karena, salah satu pilar asuransi adalah musibah, sementara bencana
adalah kejadian yang belum tentu terjadi dan tidak tergantung pada kehendak
kedua belah pihak; yaitu pemberi dan penerima asuransi. Prinsip “kebutuhan”
yang menjadi dasar bolehnya melakukan transaksi yang menandung gharar,
meskipun gharar-nya menonjol, yaitu seorang harus berada pada kondisi
dimana jika ia tidak mengambil antisipasi maka ia akan kesulitan dan sangat
membutuhkan, tetapi tidak sampai hancur. Jadi, harus berupa kebutuhan yang
berlaku umum, atau khusus menimpa golongan terentu, atau kebutuhan itu
menjadi nyata.Yang perlu dipahami bahwa kebutuhan umum merupakan
kebutuhan yang menimpa semua orang, sedangkan kebutuhan khusus adalah
kebutuhan yang hanya menimpa sebagian kalangan seperti penduduk sebuah
daerah atau profesi tertentu. Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan nyata
adalah kebutuhan yang harus terpenuhi karena tidak ada jalan lain yang harus
ditempuh kecuali dengan melakukan transaksi yang mengandung gharar.
Kalau kita menerima adanya kebutuhan umum maka asuransi dewasa ini, maka
perlu ditegaskan bahwa kebutuhan ini belum mencapai kebutuhan yang nyata.
Sebab, sasaran yang ingin dicapai oleh asuransi itu sendiri bisa tercapai dengan
53Ibid., h. 108
42
cara lain, yaitu dengan menerapkan asuransi kooperatif yang berdasarkan
sumbangan sukarela, dan tidak mengandalkan perantara yang mengeksploitasi
kebutuhan orang dimana tujuan utamanya adalah mencari keuntungan semata,
dalam hal ini adalah perusahaan penjamin. Berdasarkan hal ini, asuransi adalah
sebuah transaksi kompensasi yang megandung banyak unsur gharar tanpa
adanya kebutuhan terhadapnya, karenanya asuransi tidak dibolehkan dalam
Islam.54
Selain itu Wahbah al-Zuhaili dalam memperkuat argumentasinya, beliau
juga mengutip keputusan mayoritas fuqaha dan ini telah menjadi keputusan
konferensi internasional pertama ekonomi Islam di Mekkah tahun 1396 H/
1976 M. tentang pelarangan asuransi bisnis atau asuransi dengan sistem
bayaran tetap (Al-Ta‟mîn bi qis Tsabit) tidak dibolehkan dalam Islam.
Pelarangan asuransi disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu karena asuransi
ini mengandung riba dan gharar. Unsur riba yang terkandung dalam asuransi
adalah hal yang tidak bisa dielakan, karena kompensasi asuransi datang dari
sumber yang mengandung syubhat. Hal ini disebabkan karena semua
perusahaan asuransi menginvestasikan modalnya di perusahaan-perusahaan
yang menggalakan riba. Kadang-kadang dalam kasus asuransi jiwa, perusahaan
asuransi memberi bunga. Sementara riba diharamkan secara pasti dalam Islam.
Terjadinya riba dalam asuransi juga sangat jelas kelihatan dari segi jumlah
yang didapat oleh kedua belah pihak dalam transaksi asuransi yaitu, pihak
penerima dan pemberi asuransi. Karena tidak ada pemerataan atau persamaan
54Ibid., h. 108
43
antara jumlah bayaran cicilan yang diberikan oleh penerima asuransi dengan
jumlah kompensasi yang diberikan oleh pemberi asuransi. Kompensasi
asuransi bisa lebih banyak atau lebih sedikit dari premi yang diberikan oleh
penerima, atau jumlah kompensasi sama dengan jumlah premi yang disetorkan
oleh penerima asuransi akan tetapi perlu diketahui bahwa hal seperti ini jarang
terjadi. Kalau ada yang berpendapat bahwa dalam asuransi bisnis (Al-Ta‟mîn bi
qis Tsabit) juga terdapat prinsip tolong menolong untuk mengatasi bahaya dan
memulihkan musibah dan bencana, dan karenanya riba atau syubhat yang ada
di dalamnya menjadi tidak berarti, maka pendapat ini tidak benar. Karena,
pihak penerima asuransi seringkali memaksudkan keberuntungan riba, lagi
pula unsur riba tetap saja ada pada kompensasi asuransi karena ia merupakan
akumulasi bunga-bunga riba. Selain unsur riba, unsur gharar pun sangat jelas
kelihatan dalam asuransi bisnis. Karena pada dasarnya, transaksi asuransi
berstatus transaksi yang mengandung unsur gharar yaitu transaksi spekulatif
dimana objek transaksi (barang atau harga) ada kemungkinan diperoleh atau
tidak diperoleh. Sementara ada hadis shahih yang diriwayatkan oleh perawi-
perawi tsiqah dari banyak sahabat nabi yang menyatakan.55
: ة قا ي ا عن ابي ه سلم عن بيع الح ي رس ه صلي ه عليه ر ةن عن بيع الغ
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah saw. Melarang (kita) dari (melakaukan) jual beli (dengana cara lemparan batu kecil) dan jual beli barang secara gharar”. (shahih; Muktashar Muslim no: 939, Muslim no. 1513, Tirmidzi no. 1248, Ibnu Majah no. 2194).
55Ibid., h. 111
44
Hadits di atas hanya menyebutkan jual beli tetapi berlaku juga untuk
semua jenis transaksi kompensasi finansial karena unsur gharar berpengaruh di
dalamnya seperti ia berpengaruh dalam transaksi jual beli.56
Unsur gharar yang terkandung dalam asuransi bisnis (Al-Ta‟mîn bi qis
Tsabit) memberi indikasi bahwa asuransi juga mengandung unsur
ketidakjelasan atau kekaburan (jahalah). Ketidakjelasan sangat jelas kelihatan
dalam asuransi, yaitu ketidakjelasan mengenai jumlah uang yang akan
diberikan masing-maing dari pihak penerima dan pemberi asuransi. Jumlah
yang dimaksud tidak ketahuan karena bisa banyak dan bisa juga sedikit.
Bahkan kompensasi yang akan diberikan pihak pemberi sifatnya spekulatif,
begitupun halnya bahaya yang diasuransikan bisa terjadi dan bisa juga tidak.
Inilah semua yang membuat ketidakjelasan yang terjadi pada asuransi sangat
menonjol yang mengakibatkan transaksi asuransi bisa menjadi batal.57
Ada lima faktor yang menyebabkan asuransi menjadi haram. Yang
pertama, riba. Kompensasi yang diberikan oleh perusahaan asuransi jumlahnya
melebihi semua premi yang diberikan oleh pihak penerima asuransi, dan
kelebihan yang diberikan tanpa ada imbalan timbal balik dianggap riba yang
diharamkan. Ditambah dengan kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan
asuransi menginvestasi modalnya pada proyek-proyek yang menggalakan riba,
serta memberlakukan bunga atas pihak penerima asuransi bila terjadi
penunggakan pembayaran cicilan premi yang harus dibayar.58
56Ibid., h. 112 57Ibid., h. 114 58Ibid., h. 114
45
Kedua, asuransi mengandung gharar imbalan asuransi berupa sesuatu
yang spekulatif, tidak tetap, tidak pasti adanya, dan ini adalah bentuk gharar.
Perusahaan-perusahaan asuransi harus membayar kompensasi kepada pihak
penerima tanpa ada imbalan setimpal berdasarkan gharar. Ketiga, asuransi
mengandung unsur tipuan (gaban) karena barang dan harga menjadi tidak
jelas. Pasalnya, pengetahuan secara pasti mengenai barang dan harga adalah
syarat sahnya sebuah transaksi. Keempat, asuransi mengandung unsur Qimar.
Perjanjian asuransi bisnis ini tergolong salah satu bentuk perjudian, karena ada
untung-untungan dalam kompensasi finansial, dimana pihak penerima asuransi
membayar iuran yang jumlahnya sedikit dan menunggu keuntungan yang
besar, inilah hakikat judi. Kelima, asuransi mengandung unsur jahalah. Jumlah
premi yang akan diberikan oleh pihak penerima kepada pihak pemberi asuransi
tidak jelas, seperti yang tampak jelas pada asuransi jiwa. Kemudian kedua
belah pihak dalam asuransi merujuk kepada transaksi yang tidak memberi
tahukan seberapa banyak kerugian dan keuntungan yang akan diperoleh kedua
belah pihak pelaku asuransi.59
59Ibid., h. 115
46
BAB III
PEMBAHASAN
A. Analisis Pendapat Wahbah Al-Zuhaili Tentang Konsep Asuransi yang
Diperbolehkan dalam Islam
Asuransi menurut Wahbah al-Zuhaili sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Muslehuddin dalam bukunya yang berjudul Menggugat Asuransi
Moderen mengatakan bahwa asuransi adalah iuran bersama untuk meringankan
beban individu kalau beban tersebut dapat menghancurkan hidupnya. Asuransi
merupakan suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang untuk
menghadapi kemungkinan resiko atau musibah yang menimpa salah seorang
dari anggota yang berkongsi tersebut, apabila kerugian menimpa salah seorang
diantara mereka yang berkongsi itu maka iuran atau premi yang terkumpul
akan diberikan kepada salah seorang yang terkena musibah.60
Dari penjelasan di atas akan lebih terlihat jelas apa yang dipahami oleh
Wahbah al-Zuhaili tentang asuransi. Bahwa asuransi itu adalah beberapa orang
yang bersepakat untuk mengeluarkan uang dalam jumlah tertentu untuk
memberi kompensasi bagi anggota yang terkena musibah tertentu. Dan itu
yang disebut sebagai asuransi kooperatif (Al-ta‟mîn al-ta‟wuni) serta
dibolehkan dalam Islam.61
Berdasarkan pernyataan di atas penulis bisa menganalisis apa yang
dimaksud dengan asuransi dan bagaimana konsep asurani sesuai dengan
pemahaman Wahbah al-Zuhaili. Menurut Wahbah al-Zuhaili, asuransi adalah
60Muhammad Muslehuddin, Menggugat Asuransi Moderen, (Jakarta: lentera, 1999). Hal. 3 61Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâm, h. 105
47
kerja sama sekelompok orang dan sepakat untuk mengeluarkan uang secara
sukarela tanpa ada pemaksaan dari pihak lain dari maing-masing anggota
kemudian uang tersebut akan diberikan kepada salah seorang di antara mereka
yang terkena musibah atau bahaya.62
Jadi pijakan utamanya adalah tolong menolong. Karena, yang menarik
adalah pihak pemegang iuran dari anggota bukan merupakan lembaga yang
berdiri sendiri di luar kelompok yang berasuransi melainkan orang-orang yang
ada dalam kelompok tersebut sehingga tidak ada paksaan bagi anggota untuk
mengeluarkan premi atau iuran sesuai jangka waktu karena dalam asuransi
kooperatif (Al-ta‟mîn al-ta‟wuni) berlandaskan rasa ikhlas dalam tolong-
menolong antar anggota. Akibatnya tidak ada hak dan kewajiban yang melekat
dalam diri masing-masing pihak untuk mengeluarkan uang setiap jangka waktu
yang ditentukan sebagaimana seperti yang diterapkan dalam asuransi dengan
bayaran tetap atau asuransi bisni. Asuransi kooperatif (Al-ta‟mîn al-ta‟wuni)
atau dalam istilah lain dikenal sebagai asuransi yang bersifat kolektif, yaitu
pihak pemberi pertanggungan (perusahaan) dan penerima jasa (peserta)
seluruhnya berada dalam satu pihak sebagai pengelola asuransi. Caranya
adalah dengan mengadakan perjanjian bersama sejumlah orang yang bisa
menghadapi hal-hal yang berbahaya dengan komitmen akan memberikan
sejumlah uang sebagai kompensasi kepada setiap anggota yang tertimpa
bahaya (musibah).63
62Muhammad Muslehuddin, Menggugat Asuransi, h. 4 63Wirdyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), h. 197
48
Perbedaan yang paling mendasar asuransi bisnis (Al-Ta‟mîn bi qis Tsabit)
dan asuransi kooperatif (Al-ta‟mîn al-ta‟wuni) adalah, asuransi bisnis (Al-
Ta‟mîn bi qis Tsabit) merupakan asuransi yang dikelola oleh lembaga yang
berdiri sendiri di luar dari kelompok peserta yang menyetor premi. Jadi dapat
dibedakan secara detail bahwa dalam asuransi ini ada dua pihak yang berperan
yaitu, pihak lembaga pengelola asuransi (penjamin) dan pihak peserta asuransi
(terjamin) yang dimana orientasi dari asuransi ini adalah keuntungan.64
Sedangkan asuransi kooperatif (Al-ta‟mîn al-ta‟wuni) adalah pihak
tertanggung maupun penanggung berada dalam satu kelompok itu sendiri.
Artinya pihak yang memegang uang atau dalam istilah asuransinya dikenal
sebagai premi adalah orang yang berkongsi tersebut bukan dari pihak lain yang
berdiri sendiri seperti halnya asuransi bisnis. Tentunya orientasi utama dari
asuransi ini adalah tolong menolong dengan kerelaan hati, jadi konsep asuransi
seperti inilah yang diperbolehkan dalam Islam menurut Wahbah al-Zuhaili.65
Kalau kita benar-benar memahami konsep asuransi yang dipahami oleh
Wahbah al-Zuhaili. Di era moderen di mana lembaga keuangan syari‟ah
semakin dikenal dikalangan masyarakat serta sudah dilegalkan hampir seluruh
negara terkait legalitasnya sebagai lembaga keuangan syari‟ah khususnya
lembaga keuangan syari‟ah yang berupa asuransi sudah menjadi kebutuhan
bagi masyarakat. Artinya baik lembaga asuransi syari‟ah maupun konvensional
itu sama-sema lembaga keungan yang ruang geraknya tentunya mengarah ke
64Ibid., h. 196 65Ibid., h. 197
49
bisnis. Sekarang kita kembali menengok ke belakang, penulis berusaha
membedakan asuransi menurut Wahbah al-Zuhaili dengan asuransi syari‟ah.
1. Asuransi syari‟ah yang berkembang di dunia moderen saat ini, secara teori
asuransi syari‟ah memang menggunakan landasan utama dengan konsep
takaful, ta‟âwun tetapi ada interfensi bisnis dalam menjalankan roda
perasuransian, dengan adanya interfensi bisnis tentu akan menutup tujuan
utama dari asuransi itu sendiri yaitu ta‟âwun. Perlu penulis tegaskan bahwa
dalam penerapannya baik asuransi syari‟ah maupun asuransi konvensional
sama-sama mengenal istilah underwriting. Dalam mekanisme ini
perusahaan asuransi mencoba memberikan penafsiran terhadap jangka hidup
seseorang yaitu peserta asuransi sehingga disana dapat dilihat apakah calon
peserta itu diterima sebagai peserta asuransi atau tidak, apakah dia pantas
atau tidak. Jadi dengan adanya mekanisme underwriting akan menggeser
nila tolong menolong dengan suka rela itu.
2. Kemudian konsep asuransi dalam pandangan Wahbah al-Zuhaili adalah
tidak ada pihak atau lembaga asuransi yang berhak mengelola uang tersebut
di luar orang-orang yang berkongsi dan bersepakat mengeluarkan dana
untuk menghadapi resiko yang dialami oleh masing-masing anggota yang
berkongsi. Sedangkan asuransi sekarang baik syari‟ah maupun konvensioal,
pihak yang mengelola premi atau dana yang disetorkan oleh peserta asuransi
itu di luar dari kelompok orang-orang yang mengeluarkan premi sehingga
orientasi dari ini adalah keuntungan.66
66Ibid., h. 197
50
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep
asuransi syari‟ah maupun asuransi yang berbasis konvensional di era moderen
ini yang berlandaskan bisnis tidak sama dengan konsep asuransi yang dipahami
oleh Wahbah al-Zuhaili akan tetapi Kalau dilihat dari pinsipnya asuransi
kooperatif dalam pandangan Wahbah al-Zuhaili dengan asuransi syari‟ah yang
berbasis bisnis terdapat persamaan namun letak perbedaan yang mendasar
antara asuransi keduanya adalah asuransi menurut Wahbah al-Zhaili bukan
dijadikan sebagai bisnis melainkan tolong menolong secara sukarela.67
Asuransi yang diusulkan oleh Wahbah al-Zuhaili mencakup musibah atau
resiko yang berskala kecil sehingga tidak membutuhkan lembaga asuransi
bisnis dalam mengelola premi peserta sedangkan asuransi syri‟ah berbasis
bisnis mencakup resiko yang berskala besar akibatnya membutuhkan tenaga
ahli yang harus digaji dalam mengelola premi asuransi agar benar-benar
berjalan sesuai koridor Islam.68
Menarik dari permasalahan di atas penulis berusaha memberikan
pandangan yang berbeda dengan Wahbah al-Zuhaili, yang pertama, penulis
ingin menyinggung bahwa dasar hukum asuransi secara tegas tidak ada dalam
Al - Qur‟an dan Hadits karena asuransi adalah masalah baru dalam dunia
moderen saat ini dalam mengembangkan ekonomi masyarakat sehingga ada
peluang dari para ulama untuk berijma‟ membicarakan persoalan ini lebih
serius lagi. Al -Qur‟an hanya mengakomodir beberapa ayat yang mempunyai
muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktek asuransi seperti nilai dasar
67Ibid., h. 197 68Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari‟ah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan
Agama, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014), h. 245
51
tolong-menolong, kerja sama atau semangat untuk melakukan proteksi
terhadap peristiwa kerugian yang diderita di masa yang akan datang.69
Dengan demikian, praktek asuransi tidak dilarang dalam syari‟at Islam,
karena prinsip dalam praktek asuransi dalam Islam adalah mengajak kepada
kebaikan sesama manusia.70
Kemudian yang kedua, perlu dipahami bahwa dalam asuransi syari‟ah
yang saat ini merupakan lembaga bisnis yang berdasrkan syari‟ah memiliki
prinsip-prinsip antara lain:
1) Saling bertanggung jawab
Asuransi Syari‟ah memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk
membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musibah dengan niat
Ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas itu merupakan
ibadah kepada Allah SWT. Timbul sebuah pertanyaan mengapa yang
mengelola premi dari peserta harus lembaga asuransi yag berbasis bisnis
tentu jawabanya selain asuransi sebagai salah satu peluang untu
mengembangkan ekonomi masyarakat juga lembaga asuransi memiliki
beban yang besar dalam mengelola premi sehingga membutuhkan dana
untuk mengelola premi tersebut apa lagi yang ditangguhkan adalah resiko
dari sekian banyak peserta yang mungkin akan diderita atau dialami oleh
peserta suatu saat nanti, selain itu sudah jarang orang yang mau mengelola
dana premi yang jumlahnya masuk dalam skala besar secara sukarela maka
69Ibid., h. 245 70Ibid., h. 245
52
perlu adanya lembaga yang betul-betul mengelola dana premi agar
semuanya berjalan sesuai dengan keinginan para pihak yang bersangkutan.
2) Saling bekerja sama (tolong-menolong)
Para peserta asuransi syari‟ah diharapkan saling bekerja sama dan
saling bantu-membantu dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena
suatu musibah yang dideritanya.
3) Saling melindungi dari segala penderitaan
Para peserta asuransi syari‟ah diharapkan dapat berperan sebagai
pelindung bagi peserta lain yang sedang menderita kerugian atau terkena
musibah.71
Ketiga, sistem underwriting atau menyeleksi anggota dalam sebuah
perusahaan asuransi syari‟ah adalah suatu keharusan bagi sebuah perusahaan
karena dengan demikian perusahaan asuransi tidak terlalu menanggung
beban harus membayar ganti rugi kepada peserta yang memang sudah tidak
mampu lagi secara fisik sebab perusahaa asuransi bertanggung jawab kepada
peserta yang jumlahnya sangat banyak dan itu termasuk dalam asas
perjanjian Islam al-âdalah (adil) di mana segala sesuatunya harus
ditempatkan pada porsinya masing-masing. Dengan adanya sistem
underwriting dalam asuransi tidak mengengurangi rasa tolong-menolong
diantara sesama.72
71Ibid., h. 264 72Ibid., h 267
53
B. Analisis Alasan Penolakan Wahbah Al-Zuhaili Terhadap Asuransi dengan
Bayaran Tetap (Al-Ta’mîn bi qis Tsabit).
Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islâm wa Adilllatuhu
menjelaskan bahwa tidak boleh mengkategorikan asuransi sebagai kongsi
mudhârabah, yaitu kerja sama kedua belah pihak atau lebih di mana salah satu
pihak berperan sebagai pemberi modal dan pihak lain berperan sebagai
pengelola modal, dasar penolakan ini dilandasi dengan dua alasan. Alasan
pertama, karena premi (bayaran cicilan) yang diberikan oleh peserta asuransi
(terjamin) kepada pihak pengelola asuransi (penjamin) dalam hal ini misalnya
sebuah perusahaan asuransi, secara otomatis akan menjadi milik perusahaan
asuransi disebabkan oleh tidak terjadinya resiko yang diasuransikan, dan
tentunya pihak perusahaan asuransi bebas mengelola uang tersebut sesuai
keinginannya. Alasan kedua, mudhârabah itu memiliki syarat, baru bisa
dikatakan sebagai perbuatan mu‟amalah yang sah salah satu syaratnya adalah
adanya keuntungan yang diperoleh oleh kedua pihak yang berkongsi yaitu
pemilik modal dan pekerja, keuntungan yang diberikan biasanya seperempat
atau sepertiga. Sementara kebanyakan perusahaan asuransi membagi
keuntungan itu kadang-kadang tidak adil bahkan peserta asuransi hanya
mendapatkan keuntungan beberapa persen saja.73
Selain kedua alasan sebagaimana penulis uraikan di atas, ada lima faktor
yang menyebabkan asuransi bisnis menjadi haram.
73Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâm, h. 105
54
1. Riba
Riba merupakan suatu larangan yang sangat keras dalam Islam.
kompensasi yang diberikan oleh perusahaan asuransi jumlahnya melebihi
semua premi yang diberikan oleh pihak penerima asuransi dan kelebihan
yang diberikan tanpa ada imbalan timbal balik dianggap riba yang
diharamkan.74
Dari mana riba itu ada dalam asuransi bisnis (Al-Ta‟mîn bi qis Tsabit),
untuk menjawab itu dalam asuransi misalnya, seorang peserta (tertanggung)
mengalami musibah sesuai yang diperjanjikan dan mendapatkan
kompensasi lebih besar jumlahnya dari premi yang dikeluarkannya, hal ini
sering terjadi sebab pada saat promosi untuk menarik pelanggan atau
peserta, itu yang digunakan oleh perusahaan asuransi yaitu berupa jaminan
kompensasi yang memberikan nilai lebih walaupun premi yang disetorkan
baru sedikit. Ini merupakan bentuk riba yang yang jelas-jelas diharamkan
oleh Allah Swt.75
Ditambah dengan kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan asuransi
menginvestasi modalnya pada proyek-proyek yang meggalakkan riba, serta
memberlakukan bunga atas pihak peneima asuransi bila terjadi penunggakan
pembayaran cicilan premi yang harus dibayar.76
Tahap pertama larangan berbuat riba adalah, menolak anggapan
bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka
74Ibid., h. 105 75Ibid., h. 105 76Ibid., h. 105
55
yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada
Allah. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an Surat Ar-Rum: 39
Artinya: dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).77
Ayat di atas dengan jelas mengatakan bahwa walaupun manusia
mememiliki tujuan memberikan tambahan harta kepada orang lain sedang
tambahan yang diberikan itu berupa riba, maka sesungguhnya perbuatan
yang demikian tidak menambah di sisi Allah. Hal ini sejalan dengan sistem
yang dioperasionalkan oleh lembaga asuransi bisnis dalam meberikan
kompensasi ketika peserta asuransi mendapatkan musibah. karena,
seseorang dapat saja menerima imbalan yang lebih besar dan bahkan lebih
sedikit dari premi yang disetorkannya terhadap lembaga pengelola asuransi
(penjamin). Berdasarkan ayat di atas perbuatan demikian tidak
diperbolehkan karena di sisi Allah tidak akan bertambah pahala dan bahkan
menimbulkan dosa bagi para pelaku yang berbuat demikian.
2. Gharar
Imbalan yang diberikan oleh perusahaan asuransi yang bersifat
spekulatif, tidak tetap, tidak pasti adanya. Ini merupakan bentuk gharar. Hal
77Qs ar-Rum (30):39
56
ini dikarenakan pihak yang akan menerima manfaat asuransi pada saat
perjanjian dilakukan tidak mengetahui jumlah uang yang akan ia berikan
dan yang akan ia terima.78
3. Gaban
Asuransi mengandung unsur tipuan (gaban), karena barang dan harga
tidak menjadi jelas. Transaksi baru bisa dikatakan sah apabila kedua belah
pihak mengetahui barang dan harga.
4. Qimar
Perjanjian asuransi bisnis ini tergolong salah satu bentuk perjudian,
karena ada untung-untungan dalam kompensasi finansialnya, dimana pihak
penerima asuransi menyetor dana premi yang jumlahnya sedikit dan
menunggu keuntungan yang besar, inilah hakikat judi.
5. Jahalah
Jumlah premi yang akan diberikan oleh pihak penerima kepada pihak
pemberi asuransi tidak jelas atau ada indikasi kekaburan, kemudian kedua
pihak asuransi merujuk pada transaksi yang tidak memberitahukan seberapa
banyak kerugian dan keuntungan yang akan diperoleh kedua pihak pelaku
asuransi. Sedangkan menrut ulama hanafiyah, sebagaimana yang dikutip
oleh Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, syarat sahnya akad apabila terhindar
dari enam hal, yaitu: al-Jahalah (ketidakjelasan tentang harga, jenis dan
spesifikasinya, waktu pembayaran, atau lamanya opsi dan penanggung atau
penanggung jawab); al-Ikrâh (keterpaksaan), al-Tauqît (pembatasan
78Wirdyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), h. 197
57
waktu); al-Gharar (ada unsur kemudharatan); al-Syarthu al-fasid (syarat-
syaratnya rusak)79.
Berbicara tentang alasan ketidakbolehan asuransi bisnis (Al-Ta‟mîn bi
qis Tsabit) menurut Wahbah al-Zuhaili, penulis sedikit menegaskan
pendapat beliau bahwa seluruh asuransi baik syari‟ah maupun konvensional
seperti yang berkembang pada masa sekarang adalah tidak dibolehkan
karena dilihat dari alasan-alasan beliau yang mengatakan asuransi bisnis
tidak bisa disamakan dengan mudhârabah dan mengandung unsur-unsur
transaksi yang batil lainnya. Akan tetapi kedudukan penulis sebagai seorang
peneliti tidak mebenarkan dan menyalahkan hasil pemikiran tokoh yang
diteliti sehingga penulis mencoba memahami asuransi seperti apa yang
diinginkan oleh Wahbah al-Zuhaili. Untuk mempertegas pendapat Wahbah
al-Zuhaili penulis akan meberikan analisis terhadap pemikiran tokoh yang
penulis teliti, dari beberapa argumentasi tentang penolakan asuransi bisnis di
atas bisa disimpulkan beberapa poin. Yang Pertama, asuransi hanya
kontribusi dengan penuh kerelaan oleh sekelompok orang kemudian hasil
dari kontribusi akan di derma atau diberikan kepada pihak yang
membutuhkan dalam kelompok tersebut. Jadi dapat dilihat diantara semua
orang yang ada dalam kelompok itu dengan sukarela saling bantu dan
tolong-menolong antar sesama sehingga tidak ada lagi paksaan dan
keharusan bagi setiap orang dalam kelompok tersebut menyetorkan uang
sesuai dengan batas waktu atau janngka waktu tertentu yang sudah
79Mardani, Hukum Perikatan Syari‟ah di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 53
58
disepakati bersama seperti yang diterapkan oleh lembaga asuransi sekarang
yang orientasi utamanya jatuh pada keuntungan. Kedua unsur-unsur
transaksi yang dilarang dalam Islam seperti halnya riba, gharar, gaban,
qimar, jahalah, maisyr dan lain sebagainya melekat dalam diri semua
asuransi yang berbasis bisnis walaupun dipoles sedemikian rupa sehingga
muncul asuransi-asuransi yang berbasis syari‟ah padahal nyatanya transaksi-
transaksi yang batal itu tetap ada terutama unsur riba dan gharar.
Hadirnya peneliti dalam mengkaji masalah ini bukan untuk
membenarkan dan menyalahkan hasil pemikiran tokoh yang peneliti
research akan tetapi memberikan kontribusi atau alternatif baru sebagai
bahan pertimbangan agar tidak saling mengaharamkan dan menyalahkan
satu sama lain. Pertama penulis ingin mennggapi pernyataan Wahbah al-
Zuhaili dengan tegas mengatakan bahwa asuransi tidak bisa disamakan
dengan kongsi almudhârabah.
Dalam bisnis asuransi syari‟ah mutlak menerapkan prinip
mudhârabah alasan pertama, premi yang terkumpul dari peserta asuransi
tidak mutlak menjadi milik perusahaan asuransi melainkan perusahaan
asuransi hanya berhak mengelola premi tersebut saling bertanggung jawab,
saling membantu, dan saling melindungi di antara peserta. Perusahaan
asuransi diberi kepercayan (amanah) oleh para peserta untuk mengelola
premi, mengembangkan dengan jalan yang halal dan memberikan santunan
kepada peserta yang mengalami musibah sesuai dengan isi akta perjanjian
tersebut, perusahaan asuransi syari‟ah sama sekali tidak berhak mengambil
59
premi sebagai hak milik dan bebas mengelola premi terebut sesuai
keinginannya.80 Keuntungan perusahaan asuransi syari‟ah diperoleh dari
bagian keuntungan dana dari para peserta yag dikembangkan dengan prinsip
mudârabah. Para peserta berkedudukan sebagai pemilik modal (shahibul
mâl) dan perusahaan asurnsi syari‟ah sebagai pihak yang mengelola dana
(mudharib). Untuk itu maka keuntungan yang diperoleh dari pengembangan
dana itu dibagi antara peserta dan perusahaan sesuai ketentuan yang telah
disepakati.81
Asuransi Syari‟ah dalam pengoperasionalnya menerapkan prinsip
shering of risk di mana resiko dibebankan atau dibagi kepada perusahaan
dan peserta asuransi. Ada beberapa ketentua dalam menjalankan bisnis
syari‟ah oleh perusahaan asuransi agar terhindar dari akad-akad yang
dilarang oleh syari‟ah antara lain:
1. Asuransi Syari‟ah (Ta‟min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk aSet dan/atau tabarru‟ yang mengembalikan pola
pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan)
yang sesuai dengan syari‟ah
2. Akad yang tidak sesuai dengan syari‟ah yang dimaksud pada poin (1)
adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian),
riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
80Kuat Ismanto, Asuransi Syari‟ah Tinjauan Asas-Asas Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar 2009), h. 60 81Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari‟ah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan
Agama, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014), h. 274
60
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan
komersial.
4. Akad tabarru‟ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah
dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.82
82Mardani, Hukum Bisnis Syari‟ah, (Jakarta: Prenada Media Group 2014), h. 197
61
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis paparkan di atas dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Wahbah al-Zuhaili asuransi ada dua macam yaitu asuransi
kooperatif (Al-ta‟mîn al-ta‟wuni) dan asuransi dengan bayaran tetap (Al-
Ta‟mîn bi qis Tsabit) atau asuransi bisnis. Asuransi yang dibolehkan dalam
Islam adalah asuransi kooperatif (mutual insurance) atau (Al-ta‟mîn al-
ta‟wuni) asuransi jenis ini merupakan asuransi yang semata-mata memiliki
orientasi yang memiliki kemanfaatan bagi masyarakat tanpa ada mudharat
kerena asuransi ini mementingkan prinsip tolong menolong tanpa
mengharapkan imbalan apapun apalagi mengharapkan keuntungan.
2. Ada lima faktor yang menyebabkan asuransi dengan premi bayaran tetap
(Al-Ta‟mîn bi qis Tsabit) menjadi haram antara lain: Riba, dalam asuransi
kompensasi yang diberikan pada peserta asuransi itu bisa banyak dan bisa
sedikit dari premi yang dibayarkan atau disetorkan oleh peserta asuransi
ditambah lagi dengan menginvestasikan modalnya kepada perusahaan lain
yang menggalakkan riba. Gharar, resiko yang diperjanjikan dalam asuransi
itu bisa terjadi dan juga bisa tidak sehingga objek yang diperjanjikan sama
sekali tidak jelas. Gaban, Asuransi mengandung unsur tipuan (gaban),
karena barang dan harga tidak menjadi jelas. Transaksi baru bisa dikatakan
sah apabila kedua belah pihak mengetahui barang dan harga. Qimar,
62
Perjanjian asuransi bisnis ini tergolong salah satu bentuk perjudian, karena
ada untung-untungan dalam kompensasi finansialnya, dimana pihak
penerima asuransi menyetor dana premi yang jumlahnya sedikit dan
menunggu keuntungan yang besar, inilah hakikat judi. Jahalah, Jumlah
premi yang akan diberikan oleh pihak penerima kepada pihak pemberi
asuransi tidak jelas atau ada indikasi kekaburan, kemudian kedua pihak
asuransi merujuk pada transaksi yang tidak memberitahukan seberapa
banyak kerugian dan keuntungan yang akan diperoleh kedua pihak pelaku
asuransi.
B. Saran
Dari hasil pemikiran Wahbah al-Zuhaili tentang konsep asuransi dapat
dijadikan sebagai acuan utuk memberikan kontribusi ilmu kepada mahasiswa
dan masyarakat pada umumnya sebagai wacana keilmuan dalam rangka
memperluas cakrawala berpikir. Selain itu pendapat beliau dapat dijadikan
sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan hukum asuransi yang
berkembang saat ini sehingga dalam kehidupan bermua‟malah, masyarakat
dapat menjalankan kegiatan yang bebas dari akad-akad yang dilarang oleh
Syari‟at Islam agar masyarakat muslim berjalan sesuai dengan konteks syari‟ah
yang sebenarnya selain itu asuransi kooperatif juga memberikan kontribusi
positif untuk masyarakat karena konsepnya adalah sumbangan atau iuran
sukarela oleh sekumpulan orang dengan niat untuk menolong sesama.
63
DAFTAR PUSTAKA
Al -Qur‟an Surah al-Māidah (5):2.
Al -Qur‟an surah ar-Rum (30):39
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mu‟amalat. Jakarta: Amzah, 2005.
Andes saputra, Asuransi Syari‟ah. http://and3stra92.blogspot.co.id/2016/12/bab-i-
pendahuluan-asuransi-sebagai.html,diambil tanggal 10 Januari 2017.
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syari‟ah dalam Perspektif Kewenangan
Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar). Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2015.
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Tranaksi di Lembaga
Keuangan Syari‟ah. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankkan dan Perasuransian
Syari‟ah di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Heri Nurjaman, “Kontrak Auransi Moderen“Studi Pemikiran Murthada
Muthahhari dan Muhamad Muslehuddin” Skripsi, UIN Sunan Kalijaga,
Jogjakarta: 2008.
Hasan Ali, Asuransi Dalam Perpektif Hukum Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2004.
Heri Jauhari, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Dalam http://kenaliulama.blogspot.co.id/2011/11/prof-dr-wahbah-al-
zuhayli-mufassir-dan.html, diambil tgl 08 mei 2017.
64
Hidayatullah.com, ulama kontemporer Dunia Syeikh wahbah zuhaili berpulang.
http://m.hidayatulloh.com/berita/internasional/read/2015/08/09/75463/ulama
-kontemporerdunia -syeikh-wahbah-zuhaili-berpulang.html, diambil tanggal
08 Mei 2017.
Ida Fitriyani, Prinsip-prinsip Asuransi. Dalam http://ida-
fitriyani.blogspot.co.id/2013/10/prinsip-prinsip-asuransi.html, diambil
tanggal 13 Januari 2017.
Kuat Ismanto, Asuransi Syari‟ah Tinjauan Asas-asas Hukum Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Muhammad Muslehuddin, Insurance In Islam (Terj. Oleh Wardana) Asuransi
Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Muhammad Arifin, Studi Tafsir. dalam http://studitafsir.blogspot.co.id/2012/12/
prof-dr-wahbah-az-zuhaily-dan-tafsir.html, diambil Tanggal 05 Juni 2017.
Mardani, Hukum Bisnis Syari‟ah. Jakarta: Prenada Media Group 2014
Mardani, Hukum Perikatan Syari‟ah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta, 1991.
Siti Saifiyatun Nasikhah, Analisis Pemikiran Sayid Sabiq Tentang Asuransi.
skripsi, UIN Walisongo, Semarang.
Siti Maimunah Lestari, ”Analisis Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor pada PT.
Asuransi Takaful Umum” Skripsi, Uin Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2010.
65
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Al-Islâm Wa adillatuhu. Jakarta: Terjemahan
Gema Insani Preess, 2011.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Di Indonesia. Jakarta: Intermasa,1987
Wikipedia, ensiklopedia bebas, biografi wahbah al-Zuhaili,
https://ms.wikipedia.org/wiki/Wahbah al-Zuhaili, diambil tanggal 08 mei
2017.
Wirdyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2006.
66
LAMPIRAN-LAMPIRAN
67
Curriculum vitae
DATA PRIBADI
Nama : Syamsudin
Pendidikan : S1 Mu‟amalah (Hukum Bisnis Islam)
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat/Tanggal Lahir : Raba Wawo 04 April 1995
Umur : 23 Tahun
Alamat : Raba Wawo Kabuten Bima
Email : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
SD/MI : Madrasah Ibtidaiyah Negeri Raba Wawo
SMP : Madrasah Tsanawiyah Wawo
SMA : Madrasah Alyah Al-Mubarak Wawo
S1 : Universitas Islam Negeri Mataram
68
69
70
71