apendisitis
DESCRIPTION
makalah apendiditisTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit inflamasi pada sistem pencernaan sangat banyak, diantaranya appendisitis
dan divertikular disease. Apendisitis adalah suatu penyakit inflamasi pada apendiks yang
diakibatkan oleh terbuntunya lumen apendiks. Kedua penyakit ini merupakan penyakit
inflamasi tetapi memiliki etiologi yang berbeda. Apendisitis disebabkan terbuntunya
lumen apendiks dengan fecalit, benda asing atau karena terjepitnya apendiks. Apendiks
merupakan suatu bagian seperti kantong non fungsional dan terletak di bagian inferior
sekum (Smeltzer, 2002). Sedangkan divertikular disease disebabkan karena massa feses
yang terlalu keras dan membuat tekanan dalam lumen usus besar sehingga membentuk
tonjolan-tonjolan divertikula dan apabila terjepit maka akan memnyebabkan diverticulitis.
Berdasarkan data WHO tahun 2005 didapatkan bahwa jumlah penderita apendisitis
berjumlah sekitar 50%. Adapun jumlah penderita penyakit apendisitis pada tahun 2009 di
Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah penduduk Indonesia, di Kalimanatan Timur
berjumlah 26% dari jumlah penduduknya dan di Samarinda berjumlah 25% dari
penduduk Samarinda.menurut data epidemiologi apendisitis akut jarang terjadi pada
balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-
an, sedangkan angka ini akan menurun pada saat menjelang dewasa.
Pembedahan segera dilakukan, untuk mencegah terjadinya rupture (pecah),
terbentuknya abses atau peradangan pada selaput rongga perut (peritonitis). Pada hamper
15% pembedahan apendiks, apendiksnya ditemukan normal. Tetapi penundaan
pembedahan sampai ditemukan penyebab nyeri perutnya, dapat berkibat fatal. Sehingga
penatalaksaan yang baik dan tepat akan meningkatkanm derajat kesehatan pasien.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi dari apendiks?
1.2.2 Apa definisi apendisitis?
1.2.3 Apa etiologi dari apendisitis?
1.2.4 Apa manifestasi klinik dari apendisitis?
1
1.2.5 Bagaimana patofisiologi apendisitis?
1.2.6 Apa saja pemeriksaan diagnosis yang dilakukan pada apendisitis?
1.2.7 Apa penatalaksanaan dari apendisitis?
1.2.8 Bagaimana Web Of Cautation dari apendisitis?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi pada klien dengan
apendisitis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan anatomi dan fisiologi
dari apendiks
1.3.2.2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi apendisitis
1.3.2.3 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi dari apendisitis
1.3.2.4 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinik dari
apendisitis
1.3.2.5 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi apendisitis
1.3.2.6 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan diagnosis
yang dilakukan pada apendisitis
1.3.2.7 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan dari
apendisitis
1.3.2.8 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Web Of Cautation dari
apendisitis
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks
2.1.1 Definisi
1. Appendiks adalah organ tambahan kecil yang mempunyai jari, melekat
pada sekum tepat dibawah katub ileocekal (Smeltzer & Bare, 2002)
2. Apendiks (umbai cacing) merupakan perluasan sekum yang rata-rata
panjangnya adalah 10cm. Ujung apendiks dapat terletak diberbagai lokasi,
terutama dibelakang sekum. Arteri apendisialis mengalir dalam ke apendiks
dan merupakan cabang dari arteri ileokontika (Gruendeman,2006)
3. Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (4
inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup leosekal. Apendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum karena
normalnya apendik itu tidak terisi oleh apapun. Jika terisi oleh sesuatu dan
tersumbat secara paten ,maka akan mengakibatkan apendisitis. Karena
pengosongan tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cendrung menjadi
tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi (apendisitis). (Brunner &
suddarth, 1997).
2.1.2 Letak
3
kiri: anatomi dasar pada posisi apendiks dan tanda psoas, inflamasi apendiks di
dalam retroperineal akan bersentuhan dengan otot psoas pada saat merentang
(stretched manuver). kanan: anatomi dasar dari tanda osturator di dalam pelvis,
inflamasi apendiks akan bersentuhan dengan otot obturator internus pada saat otot
ini merentang (stretched maneuver). (Tzanakis N.E., Efstathiou S.P., Danulidis K.
et al, 2005).
Penentuan letak pangkal dan ujung appendix yang normal adalah :
1. Menurut garis Monroe Pichter
Garis yang menghubungkan SIAS dan umbilicus. Pangkal appendix terletak
pada 1/3 lateral dari garis ini (titik Mc Burney).
2. Menurut garis Lanz
Diukur dari SIAS dextra sampai SIAS sinistra. Ujung appendix adalah pada
titik 1/6 lateral dextra.
2.1.3 Karakteristik Apendiks
Apendiks memiliki gambaran karakteristik berikut:
1. Memiliki mesentrium kecil yang menurun di belakang ileum terminalis. Satu-
satunya pasokan darah apendiks, arteri apendikularis (salah satu cabang
ileokolika). Berjalan dalam mesenterium. Pada kasus apendisitis, akhirnya
terjadi thrombosis arteri apendikularis. Bila terjadi hali ini, komplikasi
gangrene dan perforasi apendiks tidak terelakkan.
2. Apendiks memiliki lumen yang relative lebar pada bayi dan perlahan-lahan
menyempit dengan bertambahnya usia, sering kali menghilang pada manula.
3. Teniae koli sekum mencapai pangkal apendiks.
4. Lipatan Treves tak berdarah (lipatan ileosekal) adalah nama yang diberikan
pada refleksi peritoneal kecil yang berjalan dari ileum terminal anterior ke
apendiks. Walaupun namanya demikian namun strukturnya tidak avaskular.
2.1.4 Lapisan Apendiks
Komposisi histologis dari apendiks serupa dengan usus besar, terdiri dari
empat lapisan yakni mukosa,submukosa,muskularis eksterna, dan lapisan serosa.
1. Mukosa apendiks terdiri dari selapis epitel di permukaan. Pada epitel ini
terdapat sel-sel absorbtif,sel-sel goblet,sel-sel neuroendokrin, dan beberapa sel
4
paneth. Lapisan terluar dari mukosa adalah muskularis mukosa, yang
merupakan lapisan fibromuskular yang kurang berkembang pada apendiks.
2. Lapisan submukosa memisahkan mukosa dengan muskularis eksterna. Lapisan
ini tersusun longgar oleh jaringan serat kolagen dan elastin, serta fibroblast.
Lapisan submukosa juga dapat mengandung sel-sel mogratori seperti
makrofag,sel-sel limfoid,sel-sel plasma,serta sel mast. Di lapisan ini juga
terdapat struktur neural berupa pleksus Meissner. Pleksus saraf ini terdiri dari
ganglia,sel-sel ganglion, kumpulan neuron dengan prosesusnya, dan sel
Schwann yang saling berinterkoneksi membentuk jaringan saraf di lapisan
submukosa.
3. Lapisan otot polos yang tebal berada diantara submukosa dan
serosa,merupakan lapisan muskularis eksterna dari apendiks. Lapisan ini
terpisah menjadi 2 bagian, yakni lapisan sirkular di dalam dan lapisan
longitudinal di sebelah luar. Diantara dua lapisan otot ini terdapat pleksus
myenterik atau pleksus Auerbach, yang serupa secara morfologi dan fungsi
dengan pleksus Meissner di lapisan submukosa. Sebagai tambahan, pembuluh
limfatik dan pembuluh darah juga terdapat pada lapisan ini.
4. Lapisan terluar dari apendiks adalah lapisan serosa. Diantara lapisan serosa dan
muskularis eksterna terdapat regio subserosal,yang terdiri dari jaringan
penyambung longgar, pembuluh darah,limfe, dan saraf. Lapisan serosa sendiri
merupakan selapis sel-sel mesotelial kuboidal,yang terdapat pada lapisan tipis
jaringan fibrosa.
2.1.5 Sistem Persarafan dan Perdarahan Apendiks
Appendiks dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior
dan a. appendicularis. persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X. Karena itu
nyeri viseral pada appendicitis bermula disekitar umbilicus.
Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang dari a.ileocolica, cabang dari
a. mesenterica superior yang merupakan arteri tanpa kolateral.
2.1.6 Fisiologi Apendiks
Fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam
sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) dimana memiliki/berisi kelenjar
limfoid. Apendiks menghasilkan suatu imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue), yaitu Ig A. Imunoglobulin ini
5
sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi, tetapi jumlah Ig A yang
dihasilkan oleh apendiks sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah Ig A yang
dihasilkan oleh organ saluran cerna yang lain.
Jadi pengangkatan apendiks tidak akan mempengaruhi sistem imun tubuh,
khususnya saluran cerna.
2.2 Definisi Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Apendisitis merupakan salah satu penyakit peradangan appendiks (usus
buntu), yaitu sebuah umbai yang berbentuk jari tangan dan melekat pada usus besar di
sebelah kanan bawah rongga perut. Peradangan usus buntu ini dapat mengalami pecah
dan terbuka.
Apendisitis akut adalah peradangan dari appendiks vermiformis yang merupakan
penyebab umum dari akut abdomen (Junaidi, dkk, 1982). Sedangkan menurut Baratajaya,
1990, appendisitis akut adalah keadaan yang disebabkan oleh peradangan yang mendadak
pada suatu appendiks. Apendisitis akut merupakan appendicitis dengan onset gejala akut
yang memerlukan intervensi bedah dan biasanya dengan nyeri di kuadran abdomen kanan
bawah dan dengan nyeri tekan tekan dan alih, spasme otot yang ada di atasnya, dan
dengan hiperestesia kulit. Sedangkan appendicitis kronis ditandai dengan nyeri abdomen
kronik (berlangsung terus menerus ) di dearah fossa illiaca dextra,tetapi tidak terlalu
parah, dan bersifat continue atau intermittent, nyeri ini terjadi karena lumen appendix
mengalami partial obstruk.
Apendisitis memerlukan intervensi bedah selama masa kanak-kanak. Disebabkan oleh
obstruksi lumen apendiks dan menimbulkan edema, inflamasi, bendungan vena, dan
peningkatan tekanan intralumen. Apendisitis merupakan penyebab abdomen akut yang
paling sering. Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah,
usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan
menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar
kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus
lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan
lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007)
6
2.3 Etiologi Apendisitis
Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen appendikeal oleh
apendikolit, hyperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material garamkalsium,
debris fekal), atauparasit (Katz, 2009). Pada awalnya kongesti darah vena jelek menjadi
thrombosis, nekrosis, dan perforasi. Secara klinis, obstruksi lumen merupakan penyebab
utama apendisitis. Obstruksi lumen disebabkan oleh fekolit (pengerasan bahan tinja).
Bahan yang mengeras ini bisa mengapur, terlihat pada foto rontgen sebagai apendikolit
(15-20%). Obstruksi karena edema mukosa dapat disertai dengan virus atau bakteri
(Yersinia, Salmonella, Shigella) sistemik. Mukus yang tidak normal sebagai penyebab
meningkatnya insiden apendisitis padaanak dengan Cistic fibrosis. Selain itu penyebab
apendisitis juga bisa karena hipertrofi limfoid, barium kering, biji, atau cacing usus.
Appendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada faktor-faktor
prediposisi yang menyertai. Faktor tersering yang muncu ladalah obtruksi lumen.
1. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena:
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen apendiks
c. Adanya benda asing seperti biji–bijian, contoh: biji lombok, biji jeruk, dll.
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2. Infeksi kuman dari kolon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
3. Laki – laki lebih banyak dari wanita.Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa
tersebut.
4. Tergantung pada bentuk apendiks
Apendiks yang terlalu panjang maupun apendiks yang pendek.
5. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen apendiks
6. Kelainan katup di pangkal apendiks.
7
2.4 Manifestasi Klinik Apendisitis
Menurut Baughman (2000), manifestasi klinis apendisitis yaitu:
1. Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual, dan
seringkali muntah.
2. Pada titik Mc Burney (terletak di pertengahan antara umbilicus dan spina anterior
dari ilium) nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian bawah
otot rektus kanan.
3. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nyeri tekan,
spasme otot, dan konstipasi atau di area kambuhan.
4. Tanda Rosving (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah, yang
menyebabkan nyeri pada kuadran kiri bawah).
5. Jika terjadi rupture apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi
distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.
SedangkanmenurutSuzanne C (2001), manifestasi klinis apendisitis bervariasi
tergantung stadiumnya:
1. Penyakit Radang Usus Buntu Akut (mendadak)
Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan mengalami panas tinggi.
Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius, mual-muntah, nyeri perut kanan bawah,
jika dibuat berjalan sakit sehingga agak terbongkok, namun tidak semua orang akan
menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau mual-muntah
saja.
2. Penyakit Radang Usus Buntu kronik
Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag dimana terjadi
nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang
timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri
itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada
apendisitis akut yaitu nyeri pada titik Mc Burney (titik tengah antara umbilicus dan
krista iliaka kanan).
Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada arah posisi/letak usus buntu itu sendiri
terhadap usus besar, Apabila ujung usus buntu menyentuh saluran kencing ureter,
nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih, dan mungkin ada
8
gangguan berkemih. Bila posisi usus buntunya kebelakang, rasa nyeri muncul pada
pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus buntu yang lain, rasa
nyeri mungkin tidak spesifik.
2.5 Patofisiologi Apendisitis
Penyakit Apendisitis memiliki banyak etiologi terjadi apendisitis, sehingga
menimbulkan banyak patofisiologi terjadinya apendisitis yang akan diuraikan dibawah
ini. Penyebab utama appendisitis adalah obstruksi yang dapat disebabkan oleh hiperplasia
dari folikel limfoid, yang merupakan penyebab apendisitis terbanyak. Pada keadaan
normal, hiperplasia limfoid ditemukan pada anak, seiring dengan bertambahnya usia,
folikel – folikel limfoid pada usus akan berkurang.
Infeksi virus seringkali menginduksi hiperplasia folikel limfoid. Apendiks dengan
hiperplasia folikel limfoid akibat infeksi virus seharusnya tidak dioperasi, kecuali terjadi
tanda – tanda klinik apendisitis akut, karena biasanya proses ini bersifat self-limited.
Obsrtuksi apendiks oleh hiperplasia akan menyebabkan produksi mukus yang terus
menerus oleh mukosa, makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan
meningkatkan tekanan intraluminal. Tekanan ini secara progresif akan menghambat aliran
limfa. Kondisi obstruksi akan meningkatkan tekanan intraluminal dan peningkatan dan
perkembangan bakteri. Hal lain akan terjadi peningkatan kongesti dan penurunan perfusi
pada dinding apendiks yang berlanjut pada nekrosis dan inflamasi apendiks (Atassi,
2002).
Pada fase ini, pasien akan mengalami nyeri pada area periumbilikal. Dengan
berlanjutnya proses inflamasi, maka pembentukan eksudat akan terjadi pada permukaan
serosa apendiks. Ketika eksudat ini berhubungan dengan parietal peritoneum, maka
intesitas nyeri yang khas akan terjadi (Santacroe, 2009). Dengan berlanjutnya proses
obstruksi, bakteri akan berproliferasi dan meningkatkan tekanan intraluminal dan
membentuk infiltrat pada mukosa dinding apendiks yang disebut dengan apendisitis
mukosa, dengan menifestasi ketidaknyamanan abdomen. Adanya penurunan perfusi pada
dinding akan menimbulkan iskemia dan nekrosis yang disertai peningkatan tekanan
intraluminal yang disebutapendisitis nekrosis, juga akan meningkatkan risiko perforasi
dari apendiks. Proses fagositosis terhadap respon berlawanan pada bakteri memberikan
manifestasi pembentukan nanah atau abses yang terakumulasi pada lumen apendiks yang
9
disebut dengan apendisitis supuratif.
Mukosa dari apendiks mempunyai sifat khusus yaitu dapat terus melakukan sekresi
pada tekanan tinggi sehingga distensi dari lumen akan terus meningkat. Distensi ini akan
merangsang ujung saraf viseral yang mensarafi apendiks sehingga muncul nyeri. Nyeri
awalnya dirasakan pada umbilikal dan kwadran bawah epigastrum dengan sensasi myeri
yang tumpul dan difus. Nyeri ini dirasakan pada umbilikal karena persarafan apendiks
berasal dari thorakal ke-10 yang lokasinya pada daerah umbilikal. Mukus yang terkumpul
dapat pula terinfeksi oleh bakteri sehingga menjadi nanah.
Tekanan dalam lumen yang semakin meningkat dapat meningkatkan aliran vena dan
menyebabkan oklusi (penyumbatan) vena dan kapiler. Walaupun pada vena dan kapiler
terdapat oklusi, aliran arteriol tidak terganggu sehingga dapat menimbulkan kongesti
vaskular apendiks. Kongesti ini akan menimbulkan refleks nausea dan muntah diikuti
dengan nyeri viseral yang semakin meningkat.
Peradangan yang timbul meluas akan mengenai peritomium parietal setempat,
sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan appendisitis
supuratif akut. Apabila aliran arteri terganggu dapat menimbulkan gangren, keadaan ini
disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut pecah,
dinamakan appendisitis perforasi. Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi
apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut
sebagai apendisitis abses.
Pada anak-anak, omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks
lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang menjadi kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Pada orang tua perforasi mudah terjadi karena ada
gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
Adanya faekolit dalam lumen appendiks
Intervensi bedah selama masa kanak-kanak. Salah satu penyebab dari apendisitis
adalah penonjolan jaringan limfoid dalam lumen apendiks. Di dalam apendiks terdapat
jaringan limfoid. Fungsi dari jaringan limfoid ini sebagai pertahanan atau kekebalan
tubuh. Penonjolan jaringan limfoid dapat terjadi jika terjadi obstruksi pada usus. Jika
telah terjadi obstruksi usus maka refleks tubuh adalah nyeri epigastrium. Nyeri
epigastrium menyebabkan tekanan meningkat. Saat tekanan meningkat akan menghambat
limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis, bakteri, dan ulserasi mukosa. Tekanan akan
10
meningkat lagi jika sekresi usus berlanjut. Pada tahap selanjutnya, edema akan bertambah
serta bakteri akan menembus dinding sehingga peradangan semakin luas dan mencapai
peritoneum. Jika peradangan telah mencapai peritoneum dan menimbulkan nyeri pada
daerah kanan bawah maka disebut apendisitis suparaktif akut.
Bila aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut apendisitis gangrenosa. Bila dinding tesebut pecah akan
terjadi apendisitis perforasi. Bila semua mekanisme berjalan lambat maka omentum serta
usus yang berdekatan akan bergerak ke apendiks. Peristiwa tersebut akan menyebabkan
apendisitis hilang.
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat tersumbat, kemungkinan
oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor atau benda asing. Proses inflamasi
meningkatkan tekanan intraluminal yang akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa menimbulkan nyeri
abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi
dikuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya appendiks yang terinflamasi berisi pus.
(Smeltzer, 2001).Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat
menyebabkan peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri kanan bawah disebut apendisitis supuratif akut. Bila
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren yang disebut apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah akan
terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang dsebut
infiltrat apendikularis. Peradangan appendiks dapat menjadi abses atau menghilang.
Apendiks yang terlalu panjang termasuk faktor genetik yang dapat menimbulakan
apendisitis dengan kecenderungan familiar. Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya
malformasi yang herediter dari organ apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang
tidak baik dan letaknya yang memudahkan terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan
dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat
memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
Akibat terlipat atau tersumbat kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari feces) atau
benda asing, apendiks terinflamasi dan mengalami edema. Proses inflamasi tersebut
menyebabkan aliran cairan limfe dan darah tidak sempurna, meningkatkan tekanan
11
intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif,
dalam beberapa jam terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya
apendiks yang terinflamasi berisi pus. Appendiks mengalami kerusakan dan terjadi
pembusukan (gangren) karena sudah tak mendapatkan makanan lagi. Pembusukan ini
menghasilkan cairan bernanah, apabila tidak segera ditangani maka akibatnya akan pecah
(perforasi/robek) dan nanah tersebut yang berisi bakteri menyebar ke rongga perut.
Dampaknya adalah infeksi yang semakin meluas, yaitu infeksi dinding rongga perut
(Peritonitis).
2.6 Pemeriksaan Diagnosis Apendisitis
2.6.1 Anamnesis
Pada saat dilakukan anamnesa, biasanya keluhan utama yang dialami klien
yaitu nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah, maupun timbul
keluhan nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri
di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu. Sifat keluhan
nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang
lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah,
panas. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah
kesehatan klien sekarang. Klien yang mengalami apendisitis biasanya memiliki
kebiasaan pola makan makanan yang rendah serat sehingga klien mengalami
gangguan pada saat eliminasi.
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pasien apendisitis jarang memperlihatkan tanda toksisitas sistemik. Ia bisa
berjalan dalam cara agak membungkuk. Sikapnya diranjang cenderung tak
bergerak, sering dengan tungkai kanan. Status generalis dari pasien biasanya:
1. Tampak kesakitan
2. Demam (≥37,7 oC)
3. Perbedaan suhu rektal > ½ oC
4. Fleksi ringan art coxae dextra
12
Ada 2 cara memeriksa klien dengan apendisitis, yaitu :
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulatio coxae kanan maka akan terjadi nyeri perut kanan
bawah.
2. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, nyeri
perut kanan bawah
Pada pemeriksaan fisik biasanya pada saat dilakukan inspeksi langsung
abdomen tak jelas serta auskultasi atau perkusi tidak sangat bermanfaat untuk
pasien apendisitis. Palpasi abdomen yang lembut kritis dalam membuat
keputusan, apakah operasi diidikasikan pada pasien yang dicurigai apendisitis.
Palpasi seharusnya dimulai dalam kuadran kiri atas, kuadran kanan atas dan
diakhiri dengan pemeriksaan kuadran bawah. Kadang-kadang pada apendisitis
yang lanjut, dapat dideteksi suatu massa. Adanya nyeri tekan kuadran kanan
bawah dengan spasme otot kuadran kanan bawah merupakan indikasi untuk
operasi, kecuali bila ada sejumlah petunjuk lain bahwa apendisitis mungkin bukan
diagnosis primer.
Pemeriksaan rektum dan pelvis harus dilakukan oleh semua pasien apendisitis.
Pada apendisitis atipik, nyeri mungkin tidak terlokalisasi dari daerah
periumbilikus, tetapi nyeri tekan rectum kuadran kanan bawah dapat
dibangkitkan. Adanya nyeri tekan atau sekret cervix pada wanita muda dengan
nyeri kuadran kanan bawah membawa ke arah diagnosis penyakit peradangan
pelvis. Tanda rovsing bisa positif dengan adanya apendisitis supuratif. Tanda
psoas dan obturator bisa juga ada dalam apendisitis, tetapi ia kurang dapat
diandalkan dibandingkan dengan tanda Rovsing.
1. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
2. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik
pada peritonitis generalisata akibat appendicitis perforate
13
3. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing
(Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan
terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg
sign).
Tanda-tanda khas yang didapatkan pada palpasi apendisitis yaitu:
a. Nyeri tekan (+) Mc.Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik
Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
b. Nyeri lepas (+)
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang hebat
(dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney.
4. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak
apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini
terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis.
Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika. Nyeri tekan
biasanya dirasakan pada jam 9-12
5. Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang
meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan
dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika (Akhyar Yayan, 2008 ).
14
a. Psoas sign (+) → m. Psoas ditekan maka akan terasa sakit di titik
McBurney (pada appendiks retrocaecal) karena merangsang peritonium
sekitar app yang juga meradang.
b. Obturator Sign (+)
Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar (endorotasi
articulatio coxae) secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan
apendiks terletak pada daerah hipogastrium.
1. Peritonitis umum (perforasi)
2. Nyeri diseluruh abdomen
3. Pekak hati hilang
4. Bising usus hilang.
6. Defenmuskuler (+) → m. Rectus abdominis
Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
7. Rovsing sign (+) → pada penekanan perut bagian kontra McBurney (kiri)
terasa nyeri di McBurney karena tekanan tersebut merangsang peristaltic usus
dan juga udara dalam usus, sehingga bergerak dan menggerakkan peritonium
sekitar apendiks yang sedang meradang sehingga terasa nyeri.
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang untuk apendikitis diantaranya dibagi
menjadi 2 yaitu pemeriksaan Laboratorium dan pemeriksaan radipologi
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test
protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan
jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil
diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang
meningkat.
b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di
dalam urin. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan
bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
15
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu
ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan
apendisitis.
2. Radiologis
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang
mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.adapula pemeriksaan
lainya seperti dibawah ini.
3. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendicitis.Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak
4. Foto polos abdomen
Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi
(misalnya peritonitis)
a. Scoliosis ke kanan
b. Psoas shadow tak tampak
c. Bayangan gas usus kananbawah tak tampak
d. Garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
e. 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak
5. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan, ektopik,
adnecitis dan sebagainya.
6. Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi
dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada appendicitis akut
16
memperlihatkan tidak adanya pengisian apendiks dan efek massa pada tepi
medial serta inferior dari seccum; pengisisan menyingkirkan appendicitis.
7. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
8. Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang
dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara
langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada
saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka
pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks.
2.7 Penatalaksanaan Apendisitis
1. Non bedah (non surgical)
Penatalaksanaan ini dapat berupa :
a. Batasi diet dengan makan sedikit dan sering (4-6 kali perhari)
b. Minum cairan adekuat pada saat makan untuk membantu proses fase makanan
c. Makan perlahan dan mengunyah sempurna untuk menambah saliva pada
makanan
d. Hindari makan pedas, berlemak, alkohol, kopi, coklat, dan jus jeruk
e. Hindari makan dan minum 3 jam sebelum istirahat untuk mencegah masalah
refluks nonturnal
f. Tinggikan kepala tidur 6-8 inchi untuk mencegah refluks nonturnal
g. Turunkan berat badan bila kegemukan untuk menurunkan gradient tekanan
gastro esophagus
h. Hindari tembakan, salisilat, dan fenibutazon yang dapat memperberat esofagistis
2. Pembedahan
a. Sebelum operasi :
1. Observasi : dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
apendisitis seringkali belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu
dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif
17
tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk
peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan
darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto abdomen dan
toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain.
Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di
daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
2. Antibiotik : ampicillin, gentamisin, klindamicin
b. Tindakan operatif : Operasi Appendiktomi
Terapi yang standar adalah pembedahan dini. Apendektomi (operasi
pengangkatan usus buntuuntuk mengobati apendisitis) dilakukan secepat
mungkin untuk mengurangi risiko perforasi. Metodanya insisi abdominal bawah
di bawah anestesi umum atau spinal. Pada kasus ringan atau bila pembedahan
dikontraindikasikan, perbaikan dapat dicapai dengan pemberian cairan IV dan
antibiotik, namun pemantauan yang cermat adanya deteriorisasi atau tanda-
tanda perforasi sangatlah penting. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa
ditegakan. Massa yang terfiksasi menunjukkan pembentukan abses akibat
perforasi yang dirapatkan kembali dan pengobatan yang tepat adalah
pengobatan konservativ dan menunda operasi. Perforasi menyebabkan angka
kematian yang bermakna dan resolusi dari abses apendiks mungkin memerlukan
waktu beberapa minggu.
Penatalaksanaan yang lain adalah pengangkatan apendiks secara bedah. Apabila
apendiks pecah sebelum tindakan bedah, diperlukan pemberian antibiotik untuk
mengurangi risiko peritonitis (peradangan yang biasanya disebabkan oleh
infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum) dan sepsis (kondisi medis serius
di mana terjadi peradangan di seluruh tubuh yang disebabkan oleh infeksi).
c. Tindakan post operatif:
Satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar
kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.
18
2.8 Web Of Cautation Apendisitis
19
Pertumbuhan Lumen disebabkan oleh
fekalit, benda asing, neoplasma
Inflamasi pada kuadran bawah
kanan
Mukus >>
Peningkatan tekanan intralumen
Nyeri perutMK : Intoleransi aktivitas
Demam ringan
Anoreksi Mual Muntah
MK : Gangguan Nutrisi
MK : Kekurangan volume cairan
Edema Ulserasi mukosaDiapedisis bakteri
Apendisitis
Obstruksi berlanjut
Hangat Perforasi Eksudat tertutup
Gangren
Nekrosis
Tindakan bedah
Insisi bedah
Nyeri akut
MK : Resti infeksi
MK : Gg. rasa nyaman nyeri
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Apendisitis merupakan salah satu penyakit peradangan appendix (usus buntu),
yaitu sebuah umbai yang berbentuk jari tangan dan melekat pada usus besar di sebelah
kanan bawah rongga perut. Peradangan usus buntu ini dapat mengalami pecah dan
terbuka. Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen appendikeal oleh
apendikolit, hyperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material garamkalsium,
debris fekal), atauparasit (Katz, 2009). Asupan diet yang rendah serat juga dapat
mengindikasi terjadinya apendisitis.
Untuk penatalaksanaan dari apendisitis biasanya dilakukan pembedahan bagian
apendiks, namun perlu diperhatikan derajat keseriusan dari penyakitnya.
20
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Appendix Mass. GP Note Book
Anonim, 2006. Appendicitis.
Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedia Keperawatan halaman 569. Jakarta: EGC
Brunner dan Suddarth. 1996. Keperawatan Medikal-Bedah : Buku Saku Dari Brunner &
Suddarth. Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Burner and Suddarth, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol. 2. Jakarta :
EGC
Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi, Ed.3 . Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Craig Sandy, Lober Williams. Appendicitis, Acute. Diakses dari www.emedicine.com,
diakses pada 25 Desember 2013
Faiz,Omar., David Moffat. 2004. At a Glance Anatomi Edisi Terjemahan. Jakarta: Erlangga.
Grace, Pierce. A., Neil R. Borley. 2007 At a Glance, Edisi 3. Jakarta: Erlangga
Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Haq, 2011. http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840-Kep%20Pencernaan-
Askep%20Apendisitis.html diakses pada 25 Desember 2013 16.27
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-agustinnur-5451-2-babii.pdf,
diakses pada 25 Desember 2013 pukul 21.00
http://www.sridianti.com/apakah-fungsi-usus-buntu-apendiks.html, diakses pada 25
Desember 2013 pukul 22.00
Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis Akut.
Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-emir%20jehan.pdf.
Jones. 2006. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif, Vol.2 Praktik. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
21
Katz S Michael, Tucker Jeffry. Appendicitis. Diakses dari: www.emedicine.com diakses pada
25 Desember 2013.
Leoona, Dwi. 2008. Sehat Luar Dalam. Yogyakarta: Jingga.
Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta: Penerbit
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien : Edisi 3. Penerbit Buku Kedoketran EGC.
Jakarta.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika. Hal 499
Perawat_heri. 2009. Apendisitis. http://perawatheri.blogspot.com/ Diakses pada 26 Desember
2013
Price A, Sylvia & Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta. EGC
Sabiston, David C. .2002. Buku Ajar Bedah bagian 1. Jakarta : EGC
Santacroce R, Craig S. 2007. Appendicitis. Available
from: http://emedicine.medscape.com diakses pada 26 Desember 2013
Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-Graw
Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.
Sjamsuhidajat, R dan de Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth Vol. 2. Jakarta : EGC
Sowden. Linda A dan Betz Cecyli Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Halaman 5
Edisi 5. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC
22