apendisitis

34
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit inflamasi pada sistem pencernaan sangat banyak, diantaranya appendisitis dan divertikular disease. Apendisitis adalah suatu penyakit inflamasi pada apendiks yang diakibatkan oleh terbuntunya lumen apendiks. Kedua penyakit ini merupakan penyakit inflamasi tetapi memiliki etiologi yang berbeda. Apendisitis disebabkan terbuntunya lumen apendiks dengan fecalit, benda asing atau karena terjepitnya apendiks. Apendiks merupakan suatu bagian seperti kantong non fungsional dan terletak di bagian inferior sekum (Smeltzer, 2002). Sedangkan divertikular disease disebabkan karena massa feses yang terlalu keras dan membuat tekanan dalam lumen usus besar sehingga membentuk tonjolan-tonjolan divertikula dan apabila terjepit maka akan memnyebabkan diverticulitis. Berdasarkan data WHO tahun 2005 didapatkan bahwa jumlah penderita apendisitis berjumlah sekitar 50%. Adapun jumlah penderita penyakit apendisitis pada tahun 2009 di Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah penduduk Indonesia, di Kalimanatan Timur berjumlah 26% dari jumlah penduduknya dan di Samarinda berjumlah 25% dari penduduk Samarinda.menurut data epidemiologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada 1

Upload: riainairtif

Post on 29-Dec-2015

132 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

makalah apendiditis

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit inflamasi pada sistem pencernaan sangat banyak, diantaranya appendisitis

dan divertikular disease. Apendisitis adalah suatu penyakit inflamasi pada apendiks yang

diakibatkan oleh terbuntunya lumen apendiks. Kedua penyakit ini merupakan penyakit

inflamasi tetapi memiliki etiologi yang berbeda. Apendisitis disebabkan terbuntunya

lumen apendiks dengan fecalit, benda asing atau karena terjepitnya apendiks. Apendiks

merupakan suatu bagian seperti kantong non fungsional dan terletak di bagian inferior

sekum (Smeltzer, 2002). Sedangkan divertikular disease disebabkan karena massa feses

yang terlalu keras dan membuat tekanan dalam lumen usus besar sehingga membentuk

tonjolan-tonjolan divertikula dan apabila terjepit maka akan memnyebabkan diverticulitis.

Berdasarkan data WHO tahun 2005 didapatkan bahwa jumlah penderita apendisitis

berjumlah sekitar 50%. Adapun jumlah penderita penyakit apendisitis pada tahun 2009 di

Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah penduduk Indonesia, di Kalimanatan Timur

berjumlah 26% dari jumlah penduduknya dan di Samarinda berjumlah 25% dari

penduduk Samarinda.menurut data epidemiologi apendisitis akut jarang terjadi pada

balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-

an, sedangkan angka ini akan menurun pada saat menjelang dewasa.

Pembedahan segera dilakukan, untuk mencegah terjadinya rupture (pecah),

terbentuknya abses atau peradangan pada selaput rongga perut (peritonitis). Pada hamper

15% pembedahan apendiks, apendiksnya ditemukan normal. Tetapi penundaan

pembedahan sampai ditemukan penyebab nyeri perutnya, dapat berkibat fatal. Sehingga

penatalaksaan yang baik dan tepat akan meningkatkanm derajat kesehatan pasien.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi dari apendiks?

1.2.2 Apa definisi apendisitis?

1.2.3 Apa etiologi dari apendisitis?

1.2.4 Apa manifestasi klinik dari apendisitis?

1

1.2.5 Bagaimana patofisiologi apendisitis?

1.2.6 Apa saja pemeriksaan diagnosis yang dilakukan pada apendisitis?

1.2.7 Apa penatalaksanaan dari apendisitis?

1.2.8 Bagaimana Web Of Cautation dari apendisitis?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi pada klien dengan

apendisitis.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan anatomi dan fisiologi

dari apendiks

1.3.2.2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi apendisitis

1.3.2.3 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi dari apendisitis

1.3.2.4 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinik dari

apendisitis

1.3.2.5 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi apendisitis

1.3.2.6 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan diagnosis

yang dilakukan pada apendisitis

1.3.2.7 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan dari

apendisitis

1.3.2.8 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Web Of Cautation dari

apendisitis

2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks

2.1.1 Definisi

1. Appendiks adalah organ tambahan kecil yang mempunyai jari, melekat

pada sekum tepat dibawah katub ileocekal (Smeltzer & Bare, 2002)

2. Apendiks (umbai cacing) merupakan perluasan sekum yang rata-rata

panjangnya adalah 10cm. Ujung apendiks dapat terletak diberbagai lokasi,

terutama dibelakang sekum. Arteri apendisialis mengalir dalam ke apendiks

dan merupakan cabang dari arteri ileokontika (Gruendeman,2006)

3. Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (4

inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup leosekal. Apendiks berisi

makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum karena

normalnya apendik itu tidak terisi oleh apapun. Jika terisi oleh sesuatu dan

tersumbat secara paten ,maka akan mengakibatkan apendisitis. Karena

pengosongan tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cendrung menjadi

tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi (apendisitis). (Brunner &

suddarth, 1997).

2.1.2 Letak

3

kiri: anatomi dasar pada posisi apendiks dan tanda psoas, inflamasi apendiks di

dalam retroperineal akan bersentuhan dengan otot psoas pada saat merentang

(stretched manuver). kanan: anatomi dasar dari tanda osturator di dalam pelvis,

inflamasi apendiks akan bersentuhan dengan otot obturator internus pada saat otot

ini merentang (stretched maneuver). (Tzanakis N.E., Efstathiou S.P., Danulidis K.

et al, 2005).

Penentuan letak pangkal dan ujung appendix yang normal adalah :

1. Menurut garis Monroe Pichter

Garis yang menghubungkan SIAS dan umbilicus. Pangkal appendix terletak

pada 1/3 lateral dari garis ini (titik Mc Burney).

2. Menurut garis Lanz

Diukur dari SIAS dextra sampai SIAS sinistra. Ujung appendix adalah pada

titik 1/6 lateral dextra.

2.1.3 Karakteristik Apendiks

Apendiks memiliki gambaran karakteristik berikut:

1. Memiliki mesentrium kecil yang menurun di belakang ileum terminalis. Satu-

satunya pasokan darah apendiks, arteri apendikularis (salah satu cabang

ileokolika). Berjalan dalam mesenterium. Pada kasus apendisitis, akhirnya

terjadi thrombosis arteri apendikularis. Bila terjadi hali ini, komplikasi

gangrene dan perforasi apendiks tidak terelakkan.

2. Apendiks memiliki lumen yang relative lebar pada bayi dan perlahan-lahan

menyempit dengan bertambahnya usia, sering kali menghilang pada manula.

3. Teniae koli sekum mencapai pangkal apendiks.

4. Lipatan Treves tak berdarah (lipatan ileosekal) adalah nama yang diberikan

pada refleksi peritoneal kecil yang berjalan dari ileum terminal anterior ke

apendiks. Walaupun namanya demikian namun strukturnya tidak avaskular.

2.1.4 Lapisan Apendiks

Komposisi histologis dari apendiks serupa dengan usus besar, terdiri dari

empat lapisan yakni mukosa,submukosa,muskularis eksterna, dan lapisan serosa.

1. Mukosa apendiks terdiri dari selapis epitel di permukaan. Pada epitel ini

terdapat sel-sel absorbtif,sel-sel goblet,sel-sel neuroendokrin, dan beberapa sel

4

paneth. Lapisan terluar dari mukosa adalah muskularis mukosa, yang

merupakan lapisan fibromuskular yang kurang berkembang pada apendiks.

2. Lapisan submukosa memisahkan mukosa dengan muskularis eksterna. Lapisan

ini tersusun longgar oleh jaringan serat kolagen dan elastin, serta fibroblast.

Lapisan submukosa juga dapat mengandung sel-sel mogratori seperti

makrofag,sel-sel limfoid,sel-sel plasma,serta sel mast. Di lapisan ini juga

terdapat struktur neural berupa pleksus Meissner. Pleksus saraf ini terdiri dari

ganglia,sel-sel ganglion, kumpulan neuron dengan prosesusnya, dan sel

Schwann yang saling berinterkoneksi membentuk jaringan saraf di lapisan

submukosa.

3. Lapisan otot polos yang tebal berada diantara submukosa dan

serosa,merupakan lapisan muskularis eksterna dari apendiks. Lapisan ini

terpisah menjadi 2 bagian, yakni lapisan sirkular di dalam dan lapisan

longitudinal di sebelah luar. Diantara dua lapisan otot ini terdapat pleksus

myenterik atau pleksus Auerbach, yang serupa secara morfologi dan fungsi

dengan pleksus Meissner di lapisan submukosa. Sebagai tambahan, pembuluh

limfatik dan pembuluh darah juga terdapat pada lapisan ini.

4. Lapisan terluar dari apendiks adalah lapisan serosa. Diantara lapisan serosa dan

muskularis eksterna terdapat regio subserosal,yang terdiri dari jaringan

penyambung longgar, pembuluh darah,limfe, dan saraf. Lapisan serosa sendiri

merupakan selapis sel-sel mesotelial kuboidal,yang terdapat pada lapisan tipis

jaringan fibrosa.

2.1.5 Sistem Persarafan dan Perdarahan Apendiks

Appendiks dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan

parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior

dan a. appendicularis. persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X. Karena itu

nyeri viseral pada appendicitis bermula disekitar umbilicus.

Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang dari a.ileocolica, cabang dari

a. mesenterica superior yang merupakan arteri tanpa kolateral.

2.1.6 Fisiologi Apendiks

Fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam

sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) dimana memiliki/berisi kelenjar

limfoid. Apendiks menghasilkan suatu imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan

oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue), yaitu Ig A. Imunoglobulin ini

5

sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi, tetapi jumlah Ig A yang

dihasilkan oleh apendiks sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah Ig A yang

dihasilkan oleh organ saluran cerna yang lain.

Jadi pengangkatan apendiks tidak akan mempengaruhi sistem imun tubuh,

khususnya saluran cerna.

2.2 Definisi Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing

(apendiks). Apendisitis merupakan salah satu penyakit peradangan appendiks (usus

buntu), yaitu sebuah umbai yang berbentuk jari tangan dan melekat pada usus besar di

sebelah kanan bawah rongga perut. Peradangan usus buntu ini dapat mengalami pecah

dan terbuka.

Apendisitis akut adalah peradangan dari appendiks vermiformis yang merupakan

penyebab umum dari akut abdomen (Junaidi, dkk, 1982). Sedangkan menurut Baratajaya,

1990, appendisitis akut adalah keadaan yang disebabkan oleh peradangan yang mendadak

pada suatu appendiks. Apendisitis akut merupakan appendicitis dengan onset gejala akut

yang memerlukan intervensi bedah dan biasanya dengan nyeri di kuadran abdomen kanan

bawah dan dengan nyeri tekan tekan dan alih, spasme otot yang ada di atasnya, dan

dengan hiperestesia kulit. Sedangkan appendicitis kronis ditandai dengan nyeri abdomen

kronik (berlangsung terus menerus ) di dearah fossa illiaca dextra,tetapi tidak terlalu

parah, dan bersifat continue atau intermittent, nyeri ini terjadi karena lumen appendix

mengalami partial obstruk.

Apendisitis memerlukan intervensi bedah selama masa kanak-kanak. Disebabkan oleh

obstruksi lumen apendiks dan menimbulkan edema, inflamasi, bendungan vena, dan

peningkatan tekanan intralumen. Apendisitis merupakan penyebab abdomen akut yang

paling sering. Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah,

usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan

menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar

kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus

lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan

lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007)

6

2.3 Etiologi Apendisitis

Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen appendikeal oleh

apendikolit, hyperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material garamkalsium,

debris fekal), atauparasit (Katz, 2009). Pada awalnya kongesti darah vena jelek menjadi

thrombosis, nekrosis, dan perforasi. Secara klinis, obstruksi lumen merupakan penyebab

utama apendisitis. Obstruksi lumen disebabkan oleh fekolit (pengerasan bahan tinja).

Bahan yang mengeras ini bisa mengapur, terlihat pada foto rontgen sebagai apendikolit

(15-20%). Obstruksi karena edema mukosa dapat disertai dengan virus atau bakteri

(Yersinia, Salmonella, Shigella) sistemik. Mukus yang tidak normal sebagai penyebab

meningkatnya insiden apendisitis padaanak dengan Cistic fibrosis. Selain itu penyebab

apendisitis juga bisa karena hipertrofi limfoid, barium kering, biji, atau cacing usus.

Appendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada faktor-faktor

prediposisi yang menyertai. Faktor tersering yang muncu ladalah obtruksi lumen.

1. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena:

a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.

b. Adanya faekolit dalam lumen apendiks

c. Adanya benda asing seperti biji–bijian, contoh: biji lombok, biji jeruk, dll.

d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.

2. Infeksi kuman dari kolon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus

3. Laki – laki lebih banyak dari wanita.Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun

(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa

tersebut.

4. Tergantung pada bentuk apendiks

Apendiks yang terlalu panjang maupun apendiks yang pendek.

5. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen apendiks

6. Kelainan katup di pangkal apendiks.

7

2.4 Manifestasi Klinik Apendisitis

Menurut Baughman (2000), manifestasi klinis apendisitis yaitu:

1. Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual, dan

seringkali muntah.

2. Pada titik Mc Burney (terletak di pertengahan antara umbilicus dan spina anterior

dari ilium) nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian bawah

otot rektus kanan.

3. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nyeri tekan,

spasme otot, dan konstipasi atau di area kambuhan.

4. Tanda Rosving (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah, yang

menyebabkan nyeri pada kuadran kiri bawah).

5. Jika terjadi rupture apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi

distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.

SedangkanmenurutSuzanne C (2001), manifestasi klinis apendisitis bervariasi

tergantung stadiumnya:

1. Penyakit Radang Usus Buntu Akut (mendadak)

Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan mengalami panas tinggi.

Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius, mual-muntah, nyeri perut kanan bawah,

jika dibuat berjalan sakit sehingga agak terbongkok, namun tidak semua orang akan

menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau mual-muntah

saja.

2. Penyakit Radang Usus Buntu kronik

Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag dimana terjadi

nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang

timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri

itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada

apendisitis akut yaitu nyeri pada titik Mc Burney (titik tengah antara umbilicus dan

krista iliaka kanan).

Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada arah posisi/letak usus buntu itu sendiri

terhadap usus besar, Apabila ujung usus buntu menyentuh saluran kencing ureter,

nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih, dan mungkin ada

8

gangguan berkemih. Bila posisi usus buntunya kebelakang, rasa nyeri muncul pada

pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus buntu yang lain, rasa

nyeri mungkin tidak spesifik.

2.5 Patofisiologi Apendisitis

Penyakit Apendisitis memiliki banyak etiologi terjadi apendisitis, sehingga

menimbulkan banyak patofisiologi terjadinya apendisitis yang akan diuraikan dibawah

ini. Penyebab utama appendisitis adalah obstruksi yang dapat disebabkan oleh hiperplasia

dari folikel limfoid, yang merupakan penyebab apendisitis terbanyak. Pada keadaan

normal, hiperplasia limfoid ditemukan pada anak, seiring dengan bertambahnya usia,

folikel – folikel limfoid pada usus akan berkurang.

Infeksi virus seringkali menginduksi hiperplasia folikel limfoid. Apendiks dengan

hiperplasia folikel limfoid akibat infeksi virus seharusnya tidak dioperasi, kecuali terjadi

tanda – tanda klinik apendisitis akut, karena biasanya proses ini bersifat self-limited.

Obsrtuksi apendiks oleh hiperplasia akan menyebabkan produksi mukus yang terus

menerus oleh mukosa, makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan

meningkatkan tekanan intraluminal. Tekanan ini secara progresif akan menghambat aliran

limfa. Kondisi obstruksi akan meningkatkan tekanan intraluminal dan peningkatan dan

perkembangan bakteri. Hal lain akan terjadi peningkatan kongesti dan penurunan perfusi

pada dinding apendiks yang berlanjut pada nekrosis dan inflamasi apendiks (Atassi,

2002).

Pada fase ini, pasien akan mengalami nyeri pada area periumbilikal. Dengan

berlanjutnya proses inflamasi, maka pembentukan eksudat akan terjadi pada permukaan

serosa apendiks. Ketika eksudat ini berhubungan dengan parietal peritoneum, maka

intesitas nyeri yang khas akan terjadi (Santacroe, 2009). Dengan berlanjutnya proses

obstruksi, bakteri akan berproliferasi dan meningkatkan tekanan intraluminal dan

membentuk infiltrat pada mukosa dinding apendiks yang disebut dengan apendisitis

mukosa, dengan menifestasi ketidaknyamanan abdomen. Adanya penurunan perfusi pada

dinding akan menimbulkan iskemia dan nekrosis yang disertai peningkatan tekanan

intraluminal yang disebutapendisitis nekrosis, juga akan meningkatkan risiko perforasi

dari apendiks. Proses fagositosis terhadap respon berlawanan pada bakteri memberikan

manifestasi pembentukan nanah atau abses yang terakumulasi pada lumen apendiks yang

9

disebut dengan apendisitis supuratif.

Mukosa dari apendiks mempunyai sifat khusus yaitu dapat terus melakukan sekresi

pada tekanan tinggi sehingga distensi dari lumen akan terus meningkat. Distensi ini akan

merangsang ujung saraf viseral yang mensarafi apendiks sehingga muncul nyeri. Nyeri

awalnya dirasakan pada umbilikal dan kwadran bawah epigastrum dengan sensasi myeri

yang tumpul dan difus. Nyeri ini dirasakan pada umbilikal karena persarafan apendiks

berasal dari thorakal ke-10 yang lokasinya pada daerah umbilikal. Mukus yang terkumpul

dapat pula terinfeksi oleh bakteri sehingga menjadi nanah.

Tekanan dalam lumen yang semakin meningkat dapat meningkatkan aliran vena dan

menyebabkan oklusi (penyumbatan) vena dan kapiler. Walaupun pada vena dan kapiler

terdapat oklusi, aliran arteriol tidak terganggu sehingga dapat menimbulkan kongesti

vaskular apendiks. Kongesti ini akan menimbulkan refleks nausea dan muntah diikuti

dengan nyeri viseral yang semakin meningkat. 

Peradangan yang timbul meluas akan mengenai peritomium parietal setempat,

sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan appendisitis

supuratif akut. Apabila aliran arteri terganggu dapat menimbulkan gangren, keadaan ini

disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut pecah,

dinamakan appendisitis perforasi. Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi

apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut

sebagai apendisitis abses. 

Pada anak-anak, omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks

lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang menjadi kurang

memudahkan terjadinya perforasi. Pada orang tua perforasi mudah terjadi karena ada

gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

Adanya faekolit dalam lumen appendiks

Intervensi bedah selama masa kanak-kanak. Salah satu penyebab dari apendisitis

adalah penonjolan jaringan limfoid dalam lumen apendiks. Di dalam apendiks terdapat

jaringan limfoid. Fungsi dari jaringan limfoid ini sebagai pertahanan atau kekebalan

tubuh. Penonjolan jaringan limfoid dapat terjadi jika terjadi obstruksi pada usus. Jika

telah terjadi obstruksi usus maka refleks tubuh adalah nyeri epigastrium. Nyeri

epigastrium menyebabkan tekanan meningkat. Saat tekanan meningkat akan menghambat

limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis, bakteri, dan ulserasi mukosa. Tekanan akan

10

meningkat lagi jika sekresi usus berlanjut. Pada tahap selanjutnya, edema akan bertambah

serta bakteri akan menembus dinding sehingga peradangan semakin luas dan mencapai

peritoneum. Jika peradangan telah mencapai peritoneum dan menimbulkan nyeri pada

daerah kanan bawah maka disebut apendisitis suparaktif akut.

Bila aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan

gangren. Stadium ini disebut apendisitis gangrenosa. Bila dinding tesebut pecah akan

terjadi apendisitis perforasi. Bila semua mekanisme berjalan lambat maka omentum serta

usus yang berdekatan akan bergerak ke apendiks. Peristiwa tersebut akan menyebabkan

apendisitis hilang.

Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat tersumbat, kemungkinan

oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor atau benda asing. Proses inflamasi

meningkatkan tekanan intraluminal yang akan menghambat aliran limfe yang

mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa menimbulkan nyeri

abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi

dikuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya appendiks yang terinflamasi berisi pus.

(Smeltzer, 2001).Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat

menyebabkan peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat

sehingga menimbulkan nyeri kanan bawah disebut apendisitis supuratif akut. Bila

kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan

gangren yang disebut apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah akan

terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus

berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang dsebut

infiltrat apendikularis. Peradangan appendiks dapat menjadi abses atau menghilang.

Apendiks yang terlalu panjang termasuk faktor genetik yang dapat menimbulakan

apendisitis dengan kecenderungan familiar. Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya

malformasi yang herediter dari organ apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang

tidak baik dan letaknya yang memudahkan terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan

dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat

memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

Akibat terlipat atau tersumbat kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari feces) atau

benda asing, apendiks terinflamasi dan mengalami edema. Proses inflamasi tersebut

menyebabkan aliran cairan limfe dan darah tidak sempurna, meningkatkan tekanan

11

intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif,

dalam beberapa jam terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya

apendiks yang terinflamasi berisi pus. Appendiks mengalami kerusakan dan terjadi

pembusukan (gangren) karena sudah tak mendapatkan makanan lagi. Pembusukan ini

menghasilkan cairan bernanah, apabila tidak segera ditangani maka akibatnya akan pecah

(perforasi/robek) dan nanah tersebut yang berisi bakteri menyebar ke rongga perut.

Dampaknya adalah infeksi yang semakin meluas, yaitu infeksi dinding rongga perut

(Peritonitis).

2.6 Pemeriksaan Diagnosis Apendisitis

2.6.1 Anamnesis

Pada saat dilakukan anamnesa, biasanya keluhan utama yang dialami klien

yaitu nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah, maupun timbul

keluhan nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri

di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu. Sifat keluhan

nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang

lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah,

panas. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah

kesehatan klien sekarang. Klien yang mengalami apendisitis biasanya memiliki

kebiasaan pola makan makanan yang rendah serat sehingga klien mengalami

gangguan pada saat eliminasi.

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pasien apendisitis jarang memperlihatkan tanda toksisitas sistemik. Ia bisa

berjalan dalam cara agak membungkuk. Sikapnya diranjang cenderung tak

bergerak, sering dengan tungkai kanan. Status generalis dari pasien biasanya:

1. Tampak kesakitan

2. Demam (≥37,7 oC)

3. Perbedaan suhu rektal > ½  oC

4. Fleksi ringan art coxae dextra

12

Ada 2 cara memeriksa klien dengan apendisitis, yaitu :

1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien

memfleksikan articulatio coxae kanan maka akan terjadi nyeri perut kanan

bawah.

2. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, nyeri

perut kanan bawah

Pada pemeriksaan fisik biasanya pada saat dilakukan inspeksi langsung

abdomen tak jelas serta auskultasi atau perkusi tidak sangat bermanfaat untuk

pasien apendisitis. Palpasi abdomen yang lembut kritis dalam membuat

keputusan, apakah operasi diidikasikan pada pasien yang dicurigai apendisitis.

Palpasi seharusnya dimulai dalam kuadran kiri atas, kuadran kanan atas dan

diakhiri dengan pemeriksaan kuadran bawah. Kadang-kadang pada apendisitis

yang lanjut, dapat dideteksi suatu massa. Adanya nyeri tekan kuadran kanan

bawah dengan spasme otot kuadran kanan bawah merupakan indikasi untuk

operasi, kecuali bila ada sejumlah petunjuk lain bahwa apendisitis mungkin bukan

diagnosis primer.

Pemeriksaan rektum dan pelvis harus dilakukan oleh semua pasien apendisitis.

Pada apendisitis atipik, nyeri mungkin tidak terlokalisasi dari daerah

periumbilikus, tetapi nyeri tekan rectum kuadran kanan bawah dapat

dibangkitkan. Adanya nyeri tekan atau sekret cervix pada wanita muda dengan

nyeri kuadran kanan bawah membawa ke arah diagnosis penyakit peradangan

pelvis. Tanda rovsing bisa positif dengan adanya apendisitis supuratif. Tanda

psoas dan obturator bisa juga ada dalam apendisitis, tetapi ia kurang dapat

diandalkan dibandingkan dengan tanda Rovsing.

1. Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga

pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.

2. Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik

pada peritonitis generalisata akibat appendicitis perforate

13

3. Palpasi

Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila

tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut kanan bawah

merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah

akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing

(Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan

terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg

sign).

Tanda-tanda khas yang didapatkan pada palpasi apendisitis yaitu:

a. Nyeri tekan (+) Mc.Burney

Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik

Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

b. Nyeri lepas (+)

Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang hebat

(dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat

tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan

penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney.

4. Pemeriksaan colok dubur

Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak

apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini

terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis.

Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika. Nyeri tekan

biasanya dirasakan pada jam 9-12

5. Uji psoas dan uji obturator

Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang

meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat

hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila

apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan

tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan

gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila

apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan

dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.

Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika (Akhyar Yayan, 2008 ).

14

a. Psoas sign (+) → m. Psoas ditekan maka akan terasa sakit di titik

McBurney (pada appendiks retrocaecal) karena merangsang peritonium

sekitar app yang juga meradang.

b. Obturator Sign (+)

Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut

difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar (endorotasi

articulatio coxae) secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan

apendiks terletak pada daerah hipogastrium.

1. Peritonitis umum (perforasi)

2. Nyeri diseluruh abdomen

3. Pekak hati hilang

4. Bising usus hilang.

6. Defenmuskuler (+) → m. Rectus abdominis

Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang

menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.

7. Rovsing sign (+) → pada penekanan perut bagian kontra McBurney (kiri)

terasa nyeri di McBurney karena tekanan tersebut merangsang peristaltic usus

dan juga udara dalam usus, sehingga bergerak dan menggerakkan peritonium

sekitar apendiks yang sedang meradang sehingga terasa nyeri.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan penunjang untuk apendikitis diantaranya dibagi

menjadi 2 yaitu pemeriksaan Laboratorium dan pemeriksaan radipologi

1. Laboratorium

a. Pemeriksaan darah terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test

protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan

jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil

diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang

meningkat.

b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di

dalam urin. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan

bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam

15

menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu

ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan

apendisitis.

2. Radiologis

Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan

ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi

inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan

bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang

mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.adapula pemeriksaan

lainya seperti dibawah ini.

3. Abdominal X-Ray

Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab

appendicitis.Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak

4. Foto polos abdomen

Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi

(misalnya peritonitis)

a. Scoliosis ke kanan

b. Psoas shadow tak tampak

c. Bayangan gas usus kananbawah tak tampak

d. Garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak

e. 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak

5. USG

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,

terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat

dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan, ektopik,

adnecitis dan sebagainya.

6. Barium enema

Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon

melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi

dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan

diagnosis banding.

Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada appendicitis akut

16

memperlihatkan tidak adanya pengisian apendiks dan efek massa pada tepi

medial serta inferior dari seccum; pengisisan menyingkirkan appendicitis.

7. CT-Scan

Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat

menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.

8. Laparoscopi

Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang

dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara

langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada

saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka

pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks.

2.7 Penatalaksanaan Apendisitis

1. Non bedah (non surgical)

Penatalaksanaan ini dapat berupa :

a. Batasi diet dengan makan sedikit dan sering (4-6 kali perhari)

b. Minum cairan adekuat pada saat makan untuk membantu proses fase makanan

c. Makan perlahan dan mengunyah sempurna untuk menambah saliva pada

makanan

d. Hindari makan pedas, berlemak, alkohol, kopi, coklat, dan jus jeruk

e. Hindari makan dan minum 3 jam sebelum istirahat untuk mencegah masalah

refluks nonturnal

f. Tinggikan kepala tidur 6-8 inchi untuk mencegah refluks nonturnal

g. Turunkan berat badan bila kegemukan untuk menurunkan gradient tekanan

gastro esophagus

h. Hindari tembakan, salisilat, dan fenibutazon yang dapat memperberat esofagistis

2. Pembedahan

a. Sebelum operasi :

1. Observasi : dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala

apendisitis seringkali belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu

dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif

17

tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk

peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan

darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto abdomen dan

toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain.

Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di

daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.

2. Antibiotik : ampicillin, gentamisin, klindamicin

b. Tindakan operatif : Operasi Appendiktomi

Terapi yang standar adalah pembedahan dini. Apendektomi (operasi

pengangkatan usus buntuuntuk mengobati apendisitis) dilakukan secepat

mungkin untuk mengurangi risiko perforasi. Metodanya insisi abdominal bawah

di bawah anestesi umum atau spinal. Pada kasus ringan atau bila pembedahan

dikontraindikasikan, perbaikan dapat dicapai dengan pemberian cairan IV dan

antibiotik, namun pemantauan yang cermat adanya deteriorisasi atau tanda-

tanda perforasi sangatlah penting. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa

ditegakan. Massa yang terfiksasi menunjukkan pembentukan abses akibat

perforasi yang dirapatkan kembali dan pengobatan yang tepat adalah

pengobatan konservativ dan menunda operasi. Perforasi menyebabkan angka

kematian yang bermakna dan resolusi dari abses apendiks mungkin memerlukan

waktu beberapa minggu.

Penatalaksanaan yang lain adalah pengangkatan apendiks secara bedah. Apabila

apendiks pecah sebelum tindakan bedah, diperlukan pemberian antibiotik untuk

mengurangi risiko peritonitis (peradangan yang biasanya disebabkan oleh

infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum) dan sepsis (kondisi medis serius

di mana terjadi peradangan di seluruh tubuh yang disebabkan oleh infeksi).

c. Tindakan post operatif:

Satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur

selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar

kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.

18

2.8 Web Of Cautation Apendisitis

19

Pertumbuhan Lumen disebabkan oleh

fekalit, benda asing, neoplasma

Inflamasi pada kuadran bawah

kanan

Mukus >>

Peningkatan tekanan intralumen

Nyeri perutMK : Intoleransi aktivitas

Demam ringan

Anoreksi Mual Muntah

MK : Gangguan Nutrisi

MK : Kekurangan volume cairan

Edema Ulserasi mukosaDiapedisis bakteri

Apendisitis

Obstruksi berlanjut

Hangat Perforasi Eksudat tertutup

Gangren

Nekrosis

Tindakan bedah

Insisi bedah

Nyeri akut

MK : Resti infeksi

MK : Gg. rasa nyaman nyeri

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing

(apendiks). Apendisitis merupakan salah satu penyakit peradangan appendix (usus buntu),

yaitu sebuah umbai yang berbentuk jari tangan dan melekat pada usus besar di sebelah

kanan bawah rongga perut. Peradangan usus buntu ini dapat mengalami pecah dan

terbuka. Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen appendikeal oleh

apendikolit, hyperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material garamkalsium,

debris fekal), atauparasit (Katz, 2009). Asupan diet yang rendah serat juga dapat

mengindikasi terjadinya apendisitis.

Untuk penatalaksanaan dari apendisitis biasanya dilakukan pembedahan bagian

apendiks, namun perlu diperhatikan derajat keseriusan dari penyakitnya.

20

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006. Appendix Mass. GP Note Book

Anonim, 2006. Appendicitis.

Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedia Keperawatan halaman 569. Jakarta: EGC

Brunner dan Suddarth. 1996. Keperawatan Medikal-Bedah : Buku Saku Dari Brunner &

Suddarth. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Burner and Suddarth, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol. 2. Jakarta :

EGC

Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi, Ed.3 . Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Craig Sandy, Lober Williams. Appendicitis, Acute. Diakses dari www.emedicine.com,

diakses pada 25 Desember 2013

Faiz,Omar., David Moffat. 2004. At a Glance Anatomi Edisi Terjemahan. Jakarta: Erlangga.

Grace, Pierce. A., Neil R. Borley. 2007 At a Glance, Edisi 3. Jakarta: Erlangga

Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Haq, 2011. http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840-Kep%20Pencernaan-

Askep%20Apendisitis.html diakses pada 25 Desember 2013 16.27

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-agustinnur-5451-2-babii.pdf,

diakses pada 25 Desember 2013 pukul 21.00

http://www.sridianti.com/apakah-fungsi-usus-buntu-apendiks.html, diakses pada 25

Desember 2013 pukul 22.00

Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis Akut.

Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.

http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-emir%20jehan.pdf.

Jones. 2006. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif, Vol.2 Praktik. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC

21

Katz S Michael, Tucker Jeffry. Appendicitis. Diakses dari: www.emedicine.com diakses pada

25 Desember 2013.

Leoona, Dwi. 2008. Sehat Luar Dalam. Yogyakarta: Jingga.

Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta: Penerbit

Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan

dan Pendokumentasian Perawatan Pasien : Edisi 3. Penerbit Buku Kedoketran EGC.

Jakarta.

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan

Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika. Hal 499

Perawat_heri. 2009. Apendisitis. http://perawatheri.blogspot.com/ Diakses pada 26 Desember

2013

Price A, Sylvia & Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit Edisi 6. Jakarta. EGC

Sabiston, David C. .2002. Buku Ajar Bedah bagian 1. Jakarta : EGC

Santacroce R, Craig S. 2007. Appendicitis. Available

from: http://emedicine.medscape.com diakses pada 26 Desember 2013

Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-Graw

Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic

Publication.

Sjamsuhidajat, R dan de Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner dan Suddarth Vol. 2. Jakarta : EGC

Sowden. Linda A dan Betz Cecyli Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Halaman 5

Edisi 5. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC

22