appendiceal mass

56
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendiks merupakan suatu organ berbentuk kantung ‘buntu’ yang berpangkal di sekum pada usus besar 1 . Peradangan pada apendiks disebut juga dengan apendisitis. Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang dapat disebabkan oleh obstruksi lumen atau ulserasi pada mukosa akibat terjadi infeksi bakteri. Apendisitis dapat menyerang semua kalangan usia mulai dari balita hingga usia tua, dengan rasio pria dibandingkan dengan wanita adalah 2:1 dan paling sering dijumpai di negara-negara berkembang walaupun pada awalnya penyakit ini sering juga dijumpai di negara-negara maju 2,3 .Insidens tertinggi terdapat pada kelompok usia 20-30 tahun 3 . Kesulitan membedakan antara apendisitis dengan penyebab nyeri perut lainnya serta meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan perforasi menyebabkan apendisitis merupakan masalah penting bagi petugas kesehatan 4 . Konsultasi dini dengan petugas kesehatan dapat mencegah keterlambatan diagnosis dari penyakit ini. Diagnosa terkait apendisitis didapat dari anamnesa dan pemeriksaan fisik serta dari tanda dan gejala yang 1

Upload: meutiaayudila

Post on 11-Jan-2016

85 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makalah appendiceal mass

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendiks merupakan suatu organ berbentuk kantung ‘buntu’ yang

berpangkal di sekum pada usus besar1. Peradangan pada apendiks disebut juga

dengan apendisitis. Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang dapat

disebabkan oleh obstruksi lumen atau ulserasi pada mukosa akibat terjadi infeksi

bakteri. Apendisitis dapat menyerang semua kalangan usia mulai dari balita

hingga usia tua, dengan rasio pria dibandingkan dengan wanita adalah 2:1 dan

paling sering dijumpai di negara-negara berkembang walaupun pada awalnya

penyakit ini sering juga dijumpai di negara-negara maju2,3.Insidens tertinggi

terdapat pada kelompok usia 20-30 tahun3. Kesulitan membedakan antara

apendisitis dengan penyebab nyeri perut lainnya serta meningkatnya angka

morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan perforasi menyebabkan

apendisitis merupakan masalah penting bagi petugas kesehatan4.

Konsultasi dini dengan petugas kesehatan dapat mencegah keterlambatan

diagnosis dari penyakit ini. Diagnosa terkait apendisitis didapat dari anamnesa dan

pemeriksaan fisik serta dari tanda dan gejala yang dialami oleh pasien.

Penggunaan media imaging seperti USG, CT Scan, laparoskopi dapat dilakukan3.

Salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada kasus-kasus apendisitis

adalah terbentuknya massa apendikular (appendiceal mass). Appendiceal mass

dapat ditemukan dengan perabaan pada regio kanan bawah abdomen yang

merupakan suatu bentuk pertahanan tubuh sendiri oleh omentum5.

Penatalaksanaan apendisitis serta massa apendikular dapat meliputi

tindakan konservatif serta tindakan operasi. Penanggulangan konservatif

dilakukan dengan pemberian antibiotik sesuai dengan infeksi bakteri yang

menyertai serta perbaikan keadaan umum dengan pemberian cairan dan perbaikan

elektrolit. Apendisitis merupakan salah satu dari penyebab utama nyeri abdomen

(abdominal pain) dan merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan

tindakan pembedahan segera. Terdapat berbagai macam teknik pembedahan

1

dalam penanganan kasus-kasus appendisitis. Pembedahan yang lazim dilakukan

antara lain open appendectomy, apendektomi dengan laparoskopi, serta interval

appendectomy. Teknik pembedahan yang dilakukan sesuai dengan indikasi serta

ketersediaan sarana dan prasarana6.

1.2. Tujuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca mengenai

appendiceal mass sebagai salah satu komplikasi dari apendisitis.

2. Mengetahui defenisi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosa, penatalaksanaan

apendisitis serta appendiceal mass.

3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Apendiks

Apendiks terbentuk dari divertikulum yang terletak di sekum pada

minggu ke 8 masa gestasi sebagai bagian dari caudal midgut. Panjang apendiks

bervariasi antara 2hingga 20 cm dan dapat mengalami inflamasi serta membesar

akibat impakasi fekal maupun inflamasi. Mesoapendiks menghubungkan ileum

terminal dan mengandung pembuluh darah dan limfatik.1

Lapisan jaringan terdiri dari mukosa, lamina propia, inner circular, dan

outer longitudinal otot polos, dan adventitia (peritoneum dan mesenterium).

Mukosa bagian bawah terdiri dari sel goblet, kelenjar interstisial, dan kripta

Lieberkühn. Taenia coli ( pita longitudinal dari sekum ) bersatu menjadi sebuah

lapisan luar dari otot apendiks. Lamina propria mengandung massa lymphoid

nodul dengan inti germinal.1

Apendiks terletak di retrosekal-retrokolik, pelvis descendens, subsekal,

ileosekal (anterior terhadap ileum, ileosekal (posterior terhadap sekum). Arteri

yang memeperdarahi apendiks adalah arteri cabang dari arteri ileokolik atau

cabang ileal atau kolik dari arteri ileokolik. Basis dari apendiks kemungkinan

dapat diperdarahi oleh arteri sekal anterior maupun posterior. Arteri apendiks

biasanya akan melewati ileum terminal, sekitar meseapendiks. Vena apendiks

akan bergabung dengan vena ileocolik dan bergabung dengan vena superior

mesenterik ke vena porta hepatika. 1

3

2.2. Apendisitis

Apendisitis merupakan suatu reaksi inflamasi akut dan infeksi dari

apendiks vermiform.1 Definisi lain Apendisitis merupakan peradangan pada

appendiks, sebuah kantung buntu yang berhubungan dengan bagian akhir secum

yang umumnya disebabkan oleh obstruksi pada lumen appendiks. Apendisitis

merupakan salah satu dari penyebab utama nyeri abdomen (abdominal pain) dan

merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan pembedahan segera

khususnya pada anak-anak. Apendisitis dapat terjadi disebabkan oleh proses

infeksi, proses inflamasi ataupun merupakan suatu proses inflamasi kronik yang

dapat mengarahkan menuju tindakan apendektomi.6

Apendisitis dapat menyebabkan beberapa komplikasi. Komplikasi terjadi

akibat keterlambatan penangan apendisitis. Faktor keterlambatan dapat berasal

dari penderita dan tenaga medis. Factor penderita meliputi pengetahuan dan biaya,

sedangkan dari tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa,

terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan.

Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas

apendisitis. Proporsi komplikasi apendisitis 10-32% paling sering terjadi pada

anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2

tahun dan 40-75% pada orang tua. Anak-anak memiliki dinding apendiks yang

masih tipis, omentum lebih pendek, dan belum berkembang sempurna yang

4

memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan

pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:6

Perforasi

Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri

menyebar kerongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama

sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat

diketahui praoperatif pada 70% kasusdengan gambaran klinis yang timbul

lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C,tampak toksik, nyeri

tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear(PMN).

Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat

menyebabkan peritonitis.

Peritononitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi

berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila

infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya

peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurangsampai timbul ileus

paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit

mengakibatkandehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.

Peritonitis disertai rasa sakit perut yangsemakin hebat, muntah, nyeri

abdomen, demam, dan leukositosis.

Abses

Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa

lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula

berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus.

Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh

omentum. Abses ini disebut juga dengan Apendiceal Mass.

Massa apendikular terjadi setelah serangan apendisitis akut yang

menyebabakan terbentuknya flegmon ataupn abses sehingga dapat dipalpasi pada

regio kanan bawah dari abdomen. Hal ini terjadi apabila terjadi mekanisme

pertahanan tubuh oleh omentum. Massa terdiri atas campuran apendiks yang

5

mengalami inflamasi dan jaringan granulasi. Apabila tidak terjadi perforasi

ataupun ruptur pada apendiks massa akan terbentuk pada regio kanan fossa liliaca

dalam waktu 48 jam. Apabila hal ini tidak dapat mencegah terjadinya perforasi

apendiks maka akan terjadi pembetukan abses atau flegmon.

2.2.1. Epidemiologi

Apendisitis merupakan salah satu kegawatdaruratan bedah yang sering

terjadi dan merupakan penyebab nyeri perut yang paling umum dijumpai. Dahulu

dikatakan bahwa insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di

negara berkembang. Hal ini dapat dilihat dari angka kejadian apendisitis di

negara-negara Asia dan Afrika yang lebih rendah bila dibandingkan dengan

negara di Amerika (10 kasus tiap 100.000 penduduk). Perbedaan ini mungkin

disebabkan pola diet tinggi serat oleh masyarakat yang tinggal di negara Asia dan

Afrika. Namun pada beberapa tahun terakhir frekuensi apendisitis di negara barat

dilaporkan menurun dengan adanya konsumsi serat yang mulai meningkat. Hal ini

menandakan kejadian apendisitis erat kaitannya dengan konsumsi serat

seseorang.9

Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang

dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens apendisitis meningkat secara gradual

semenjak kelahiran dan mencapai puncak pada usia remaja akhir, dan kemudian

menurun secara gradual pada usia geriatri. Usia rata-rata apendisitis pada anak

adalah 6-10 tahun, sedangkan pada dewasa muda insidens tertinggi pada

kelompok usia 20-30 tahun. Namun anak-anak merupakan kelompok usia yang

paling rentan mengalami perforasi (50-85%).7 Insidens pada laki-laki dan

perempuan umumnya sebanding (faktor risiko 1,4), kecuali pada rentang usia 20-

30 tahun, insidens pada laki-laki lebih tinggi.8

2.2.2. Etiologi

Etiologi apendisitis yang terjadi antara lain disebabkan oleh obstruksi

lumen apendiks. Obstruksi lumen pada appendiks yang menyebabkan

apendisitisantara lain karena; material feses yang keras (fecalith), hyperplasia

jaringan limfoid, dan infeksi virus8. Pada anak-anak sendXiri obstruksi paling

6

sering terjadi akibat hiperplasia jaringan limfoid pada submukosa folikel.

Penyebab hiperplasia ini sendiri masih kontroversial, namun dehidrasi dan infeksi

virus diduga menjadi penyebab utama). Penyebab lainnyadari apendisitis antara

lain; benda asing (foreign body), infeksi bakteri, parasit, dan tumorappendiks atau

sekum.6

Apendisitis akut sendiri disebabkan oleh infeksi dari bakteri. Hal-hal yang

dapat menyebabkan terjadinya infeksi bakteri di apendiks adalah adanya sumbatan

luman, adanya cacing askaris, dan erosi mukosa yang disebabkan oleh E.

hystolitica dan parasit lain. 1

Tabel 2.1. Organisme yang sering dijumpai pada Apendisitis Akut (Scwarts)Aneaerobik dan Fakultatif Aneorobik

Basil Gram Negatif Basil Gram Negatif

E. coli Bacteriodes fragillis

Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.

Klebsiella sp. Fusobacterium sp.

Kokus Gram Positif Kokus Gram Positif

Streptococcus anginosus Peptostreptokokus sp.

Enterococcus sp. Kokus Gram Positif

Streptococcus sp. Clostridium sp.

2.2.3. Patofisiologi dan Perjalanan Penyakit

Peningkatan tekanan dalam sekum pada katup ileosekalyang kompeten

serta pengkatan flora kuman di kolon akibat sembelit dapat menyebabakan

radang pada mukosa apendiks. Radang mokpsa yang diperberat dengan erosi

selaput lendir dan hambatan pengososngan apendiks menyebabkan apendisitis

komplet. Waktu yang dibutuhkan dari reaksi pada mukosa hingga melibatkan

seluruh lapisan dinding apendiks memakan waktu 24-48 .Apendisitis

kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh feses yang

terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa

apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah.3

7

Ketika obstruksi telah terjadi di apendiks, bakteri yang terperangkap di

dalam lumen appendiceal mulai bermultipikasi, menyebabkan apendiks menjadi

distensi. Peningkatan tekanan intraluminal menyebabkan juga terjadinya obstruksi

drainase vena serta aliran darah arteri sehingga apendiks mengalami kongesti dan

iskemik. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan

apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis danmenjadi gangren.

.

Gambar 2.3. Patofisiologi Apendisitis

Pada stadium awal apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.

Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular

dan serosa (peritoneal). Pada stadium awal pasien akan mengalami nyeri abdomen

di daerah periumbilikal akibat rangsangan oleh serabut saraf T10 dari apendiks.9

Inflamasi yang semakin berat cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada

permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang

bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal

dan menyebabkan nyeri semakin intens.

8

Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam

lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Perforasi terjadi akibat adanya cairan

inflamasi serta bakteri yang keluar hingga mencapai cavitas abdomen. Kejadian

ini menginflamasi lapisan peritoneal secara luas dan peritonitis semakin hebat.

Lokasi peritonitis sendiri (diffuse atau localized) tergantung oleh derajat

dimana omentum dan adjacent bowel loop mampu menampung konten dari

luminal itu sendiri. Jika cairan inflamasi dan bakteri tersebut dibungkus omentum,

nyeri dan ketegangan (tenderness) akan terjadi secara lokal. Namun jika cairan

inflamasi dan bakteri tidak terbungkus omentum dan menyebar menuju

peritoneum, nyeri akan terasa di seluruh regio abdomen.1

Staging dari apendisitis dapat dibagi menjadi 8 tahap, yaitu:3,7

1. Early Stage Appendicitis

Obstruksi pada lumen apendiks menyebabkan terjadinya edema mukosa,

ulserasi mukosa, diapedesis bakteri, distensi apendiks dan mengarah menuju

terjadinya akumulasi dan peningkakan tekanan intraluminal. Serabut saraf

aferen viseral terstimulasi dan pasien akan merasakan nyeri periumbilikal dan

nyeri epigastrik yang ringan, berlangsung selama 4-6 jam.

2. Suppurative Appendicitis

Peningkatan tekanan intraluminal pada akhirnya akan melebihi tekanan

perfusi kapiler, berkaitan dengan obstruksi limfatik dan drainase vena dan

menyebabkan invasi bakteri serta cairan-cairan inflamasi pada dinding

apendiks. Masuknya bakteri menyebabkan acute suppurative appendicitis.

Ketika bagian appendiks yang terinflamasi kontak dengan parietal peritonium,

pasien akan mengalami tanda nyeri klasik, yaitu berpindahnya rasa nyeri dari

periumbilikal ke bagian kanan bawah abdomen (right lower abdominal

quadrant (RLQ)) yang berkepanjangan dan terasa semakin nyeri.

3. Gangrenous Appendicitis

9

Vena intramural dan trombosis arteri terjadi, berakibat pada terjadinya

gangren apendisitis.

4. Perforated Appendicitis

Iskemik jaringan apendiks yang terus menerus berakibat pada keadaan infark

dan perforasi, baik perforasi lokal ataupun general.

5. Phlegmonous Appendicitis

Lapisan apendiks yang meradang atau perforasi dapat berdinding omentum

yang besar, mengakibatkan radang usus apendiks phlegmonous atau abses

fokal.

6. Spontaneously Resolving Appendicitis

Jika obstruksi lumen apendiks teratasi, apendisitis akut juga akan hilang secara

spontan. Hal ini terjadi saat hiperplasia limfatik atau fekalit terbuang keluar

dari lumen.

7. Recurrent Appendicitis

Insidensnya sekitar 10%. Didiagnosa saat pasien mengalami nyeri RLQ pada

beberapa waktu yang berbeda setelah pada pasien pernah dilakukan

apendektomi.

8. Chronic Appendicitis

Kronik apendisitis memiliki insidens 1% dan didefinisikan dengan keadaan:

a. Pasien dengan riwayat nyeri RLQ setidaknya 3 minggu tanpa diagnosis

alternatif lain,

b. Setelah dilakukannya apendektomi pasien mengalami tanda dan gejala yang

benar-benar hilang

c. Secara histopatologi, dibuktikan dengan gejala inflamasi aktif yang kronik

dari dinding apendiks atau fibrosis dari dinding apendiks2,6.

2.2.4. Diagnosis

2.2.4.1. Gejala Klinis

Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh

radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai

maupun tidak rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri

10

samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di

sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah.

Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke

kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih

jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.3

Apendisitis biasanya dimulai dengan rasa tidak nyaman yang menetap dan

progresif di bagian tengah abdomen, di daerah epigastrium di sekitar umbilikalis.

Hal ini disebabkan oleh obstruksi dan distensi apendiks yang merangsang saraf

otonom aferen viseral dan membuat nyeri alih pada daerah periumbilikal

(distribusi dari nervus T8 – T10). Apendisitis diikuti dengan anoreksia dan juga

demam ringan (<38,5° C). Dengan berlanjutnya sekresi cairan musinosa

fungsional, terjadilah peningkatan tekanan intralumen yang menyebabkan

kolapsnya vena drainase. Hal ini mengakibatkan timbulnya sensasi kram yang

segera diikuti oleh mual dan muntah. Sembilan puluh persen pasien anoreksia,

tujuh puluh persen menjadi mual dan muntah, dan sepuluh persen diare. Ketika

inflamasi dari apendiks terus berlanjut dan mencapai bagian luar apendiks, serabut

saraf dari peritoneum parietal akan membawa informasi spasial tepat ke korteks

somatosensori dan setelah peritoneum parietal terlibat, nyeri yang dihasilkan lebih

intens, konstan, dan nyeri somatik akan terlokalisasi di fossa iliaka kanan, di

daerah apendiks yang mengalami inflamasi tersebut.9

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini

terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh

saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau

rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk

mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah

demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi,

diduga sudah terjadi perforasi.10

2.2.4.2. Pemeriksaan Fisik

Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh

radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai

11

maupun tidak rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri

samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di

sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah.

Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke

kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih

jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.3

Apendisitis biasanya dimulai dengan rasa tidak nyaman yang menetap dan

progresif di bagian tengah abdomen, di daerah epigastrium di sekitar umbilikalis.

Hal ini disebabkan oleh obstruksi dan distensi apendiks yang merangsang saraf

otonom aferen viseral dan membuat nyeri alih pada daerah periumbilikal

(distribusi dari nervus T8 – T10). Apendisitis diikuti dengan anoreksia dan juga

demam ringan (<38,5° C). Dengan berlanjutnya sekresi cairan musinosa

fungsional, terjadilah peningkatan tekanan intralumen yang menyebabkan

kolapsnya vena drainase. Hal ini mengakibatkan timbulnya sensasi kram yang

segera diikuti oleh mual dan muntah. Sembilan puluh persen pasien anoreksia,

tujuh puluh persen menjadi mual dan muntah, dan sepuluh persen diare. Ketika

inflamasi dari apendiks terus berlanjut dan mencapai bagian luar apendiks, serabut

saraf dari peritoneum parietal akan membawa informasi spasial tepat ke korteks

somatosensori dan setelah peritoneum parietal terlibat, nyeri yang dihasilkan lebih

intens, konstan, dan nyeri somatik akan terlokalisasi di fossa iliaka kanan, di

daerah apendiks yang mengalami inflamasi tersebut.9

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini

terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh

saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau

rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk

mengedan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah

demam yang tidak terlalu tinggi yaitu antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih

tinggi, diduga sudah terjadi perforasi.10

12

2.2.4.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-

reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah

leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%,

sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah

satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya

proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka

sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

Pemeriksaan radiologiterdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan

Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan

bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan

pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan

perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran

sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas

yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%

dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.

Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan

infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.

Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa

adanya kemungkinan kehamilan.

Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa

peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.

Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan

Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk

kemungkinan karsinoma colon.

Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti

appendicitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis

dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

2.2.5. Penatalaksanaan

13

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis

meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.

Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak

mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian

antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis

perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta

pemberian antibiotik sistemik.

Operasi

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang

dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan

appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan

perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

Pencegahan apendisitis secara menyeluruh yang dapat dilakukan

diantaranya:13

Diet tinggi serat

Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan

insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan

bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit

saluran pencernaan. Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat

air, selulosa, dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk

diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan

penekanan pada dinding kolon.

14

Defekasi yang teratur

Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces.

Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces

dan makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada

waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon

fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di

kolon.

Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang

lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan

intracaecal sehingga terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya

pertumbuhan flora normal kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya

bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks dan menjadi media

kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan

peradangan pada appendiks.

Terdapat empat modalitas dalam penatalaksanaan massa apendiks:

1. Penanganan kovensional dan interval apendektomi dalam waktu 6-8 minggu.

2. Terapi konservatif total.

3. Apendektomi secara agresif dan cepat.

4. Managemen dengan laparoskopik

2.2.5.1. Penatalaksanaan Secara Konservatif

Pada jaman dahulu, dipercaya operasi pada fase apendisitis akut dengan

massa berpotensial menjadi berbahaya dan dapat mengakibatkan komplikasi yang

mengancam jiwa. Sehingga Ocschner, pada tahun 1901, mempublikasikan

manajemen non-operatif sebagai salah satu penatalaksanaan massa apendiks

(appendiceal mass) yang pada masa sekarang dikenal dengan Regimen Oschner-

Sherren. Beberapa komponen yang penting dari regimen ini adalah:11

15

Tidak adanya makanan yang diberikan secara oral selama 24-48 jam.

Pasien diberikan cairan melalui intravena sebagai satu-satunya cara

pemberian nutrisi.

Pemberian antibiotic secara intravena dengan monitoring tanda-tanda vital

dan ukuran massa appendiks.

Jika keadaan umum pasien menunjukkan perbaikan, ukuran massa

apendiks mengecil, demam, dan nafsu makan meningkat, pasien

diperbolehkan minum secara oral kemudian perlahan-lahan diberikan

makanan secara oral.

Sebaliknya, jika keadaan pasien memburuk, ukuran massa membesar,

peningkatan denyut nadi atau terjadi peritonitis general, bahkan terjadi

sepsis, segera pertimbangkan untuk operasi.

Penatalaksanaan secara konservatif yang berhasil dapat diikuti dengan

apendektomi interval atau tidak. Apendektomi interval dapat dilakukan 6-8

minggu setelah penatalaksanaan konservatif berhasil dilakukan. Tujuan dari

tindakan ini adalah untuk mencegah rekurens apendisitis akut dan menghindari

kesalahan diagnosis dengan penyakit lain seperti keganasan.12 Periode waktu yang

berisiko untuk terjadi rekurens apendisitis adalah 6 bulan pertama setelah

penatalaksanaan konservatif yang berhasil.11

Apendektomi interval wajib dilakukan pada pasien rekurens apendisitis

akut.12 Namun pada kondisi dimana tidak ada muncul gejala-gejala apendisitis

lagi, tindakan apendektomi interval boleh tidak dilakukan. Karena menurut

beberapa ahli bedah, tindakan apendektomi interval tergolong sulit dan terkadang

apendiks yang fibrosis tidak ditemukan pada saat operasi.11

16

Gambar 2.1. Algoritma Manajemen Massa Apendiks12

2.2.5.2. Penatalaksanaan Secara Surgical

Open Apendectomy14

Apendektomi terbuka dilakukan dengan sayatan Mc Burney (oblique) atau

Rocky-Davis ( transverse) di kuadran bawah dengan memisahkan otot pada pasien

yang dicurigai mengalami apendesitis. (Scwartz) Insisi lain yang dapat dilak sesuai

dengan anatomy dinding abdomen adalah insisi Lanz dan Pararectus (Jalaguier,

Kammerer, Lennader, Senn). Insisi Mc Burney dilakukan pada sepertiga jarak Spina Iliaca

Anterior superior ke umbilicus. Insisi dilakukan sedalam 1,5 hingga 5 cm sesuai dengan

usia pasien. Insisi terletak di antara sepertiga dan duapertiga jarak SIAS dan umbilicus,

sesuai dengan garis Langer. (emedicin open apendectomy)

17

Gambar 2.2. Insisi yang terletak pada titik Mc Burney. Insisi memanjang

sepanjang 3-5 cm sepanjang lipatan kulit (insisi Lanz).

Gambar 2. Sayatan pada Apendektomi Terbuka

Insisi dilakukan di atas massa yang teraba. Apabila lokasi masih belum

jelas sayatan dapat diperlebar. Apendiks dapat ditentukan letaknya dengan

berbagai cara seperti menggeser dari lateral ke medial karena biasanya sekum

dapat terlihat pada insisi.Setelah apendiks ditemukan, dilakukan Z stitch atau

purse –string pada pangkal apendiks. Apabila apendiks tidak bermasalah

makapangkal apendiks dapat langsung diligasi dengan jahitan benang yang tidak

diserap.Apabila terjadi perforasi peritoium harus diirigasi baru dilakukan

18

penutupan luka. Pada kasus gaggrene harus dilakukan perawatan luka terbuka

dan luka bar dijahit 4-5 hari kemudian. Insisi dilakukan dengan scapel no. 10

dengan Bovie electrocautery untuk menginsisi melalui fasia superfisial (Camper)

dan fasia profunda (Scarpa).

Gambar 2.3. Insisi melewati Fsia Camper dan Scarpa. Aponeurosis eksternal

oblique terpapar dan insisi dilakukan searah serat otot.

Gambar 2.4. Muskulus eksternal oblique dipisahkan dengan klamp Kelly atau

retractor Roux

19

Setelah aponeurosis dari external oblique terlihat, insisi dilakukan dengan

arah sesuai serat otot dan dipisahkan dengan klamp Kelly atau ekstraktor Roux.

Setelah otot dipisahkan tanpa insisi,fasia transfversalis dapat terlihat dan juga

peritoneum.

Gambar 2.5. Insisi peritoneum dilakakukan dengan arah craniocaudal dengan

gunting Metzembaum, sehingga akses menuju rongga peritoneum terbentuk,

setelah rongga terpapar cairan yang ada harus dikirimkan untuk pewarnaan gram

dan kultur.

Gambar 2.6. Fasia transversalis dan peritoneum dijepit dengan dua klamp, dengan

palpasi menggunakan jari-jari dokter bedah, untuk mencegah terjepitnya jaringan

yang berada di bawah fasia. Insisi dibuat dengan gunting Metzembaum dan

20

rongga peritoneal dapat di masuki.

Apendiks dapat dilepaskan menggunakan teknik antegran maupun

retrograde. Ketika melakuka teknik antegrad, kolon ascendens harus ditemukan

terlebih dahulu kemudian menemukan taenia coli, menggunakan klamp Babcock

taenia coli disusuri untuk menidentifikasi basis apendiks. Mesoapendiks

dibebaskan dari perlekatannya, biasanya mesoapendiks mengalami inflamasi dan

menuju ke daerh yang mengalami perlukaan. Terdapat arteri apendisial pada

mesoapendiks yang diligasgi dan dipisahkan dari apendiks.

Gambar 2.7. Cara Antegrad

Kolon ascenden dan taenia coli diidentifikasi dan dilakukan dengan

menyusurinya hingga menemukan basis apendiks. Apendiks-mesoapendiks

kemudian dibebaskan dengan perlekatannya biasanya mengalami inflamasi.

Arteri apendiks di ligase menggunakan 3-0 Vicryl sebanyak 2 kali dan

dibebaskan dari apendiks. Apendiks dapat dibebaskan dengan berbagai cara

seperti ligase sederhana, purse string,dan apendektomi inversi.

21

Gambar 2.8. Apendektomi dengan memotong diantara ke 2 ligasi yang terletak

dekat dengan sekum.

Teknik retrograde digunakan dalam kasus dibawah ini:

o Apendiks mengalami inflamasi berat yang mengakibatkan perforasi.

o Apendiks berda pada posisi retropenitoneal

o Apendiks dikelilingi jaringan yang mengalami inflamasi, omentum atau

keduanya sehingga identfikasi sulit dilakukan.

Dalam teknik retrograde, basis apendiks diidentifikasi terlebih dahulu

kemudian diligasi dan dilakukan transeksi. Ketika membalik mesoapendiks,harus

diperhatikan bahwa mesoapendiks harus diligasi belakangan. Setelah selesai

melakukan apendektomi, luka dicuci dengan normal saline dan peritoneum dijepit

dengan klamp lurus dan dijahit dengan 3-0 Vicryl. Otot dijahit dengan 3-0 vicryl

pada setiap bagian dan 4-0 Monocryl digunakan untuk menutup kulit.

Jika kontaminasi luka dikhawatirkan terjasi tutp luka hingga setentang

muskulofascial dan biarkan terbuka selama 3-5 harri kemudia baru ditutup. Pilihar

lain dengan menggunakan drainPenrose yang dilepaskan 2-3 hari kemudian. Jika

terjadi plegmon luka harus diirigasi dengan saline normal.

22

Laparoscopy14

Apendektomi dengan laparoskopi dilakukan dengan melakukan

penempatan trokar pada umbilikus dan di regiosuprapubik. Trokar ke tiga

diletakan di daerah epigastrium. Apendiks ditentukan dengan menemukan

anterior taeniae atau basisi apendiks. Mesenterium apendiks kemudian dipisahkan

dan apabila terjadi inflamasi pada mesoapendiks maka apendiks harus dibegi

dengan stapler linear kemudian dilakukan pemotongan dan basis apendiks tidak

dilakukan inversi. Kemuadian Apendiks yang telah dipotong dikeluarkan dengan

menggunkan trokar.

Laparaskopi dilakukan jika hemodinamik stabil dantenaga ahli tidak

tersedia. Sementara kontraindikasi relatif adalah, peritonitis generalisata, operasi

berulang, penyakit paru yang berat, obesitas ekstrim, dan kehamilan.

Jika sulit dilakukan apendektomi makan harus dilakukan konversi menjadi

apendektomi terbuka. Konversi dilakukan dalam keadaan:

o Perlengketan akibat inflamasi pada operasi sebelumnya.

o Apendisitis perforasi dan gangrenosa.

o Basis apendiks yang mengalami nekrosis dan gangrene

o Peritonitis generalisata

o Apendiks retrosekal

o Kesulitan menemukan apendiks

o Perdarahan tidak terkontrol

o Tumor pada apendiks hingga ke basis apendiks

o Perdarahan Retrocecal appendix

o Penyakit lain seperti malrotasi, carcinoma, diverticula sekum, pelvic

inflammatory disease dan torsi kista tuba ovarium.

23

Interval Appencetomy14

Interval apendektomi dilakukan dengan pemberian antibiotik intravena

dan pengistirahatan lambung. Interval apenedektomi dilakukan apabila adanya

massa yang memiliki asosiasi dengan abses atau flegmon. Setelah pemberian

antibiotik dilakukan maka tahap kedua adalah dilakukan operasi.

24

BAB IIILAPORAN KASUS

3.1. Anamnesis

Identitas Pasien

Nama : TH

Tgl lahir/Umur : 5 mei 1991/ 34 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. Karya Bakti LK I KEL. Tanjung Rejo KEC.

Medan Sunggal

Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah

Telaah :Hal ini dialami OS sejak 1 minggu yang lalu.

Pasien sebelumnya mengalami nyeri di ulu hati yang menyebar ke daerah

perut kanan bawah. OS juga mengeluhkan nyeri apabila ditekan. Demam

dijumpai sejak ± 1 minggu ini, demam naik turun. OS juga mengeluhkan

mual dan muntah yang dilami sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit

dan memberat dalam seminggu ini. Sesak (-), Riwayat sulit BAB (-), BAB

berdarah (-). BAK (+) normal. Pasien sempat berobat ke RS Mitra Sejati

dan dirujuk ke RSUPHAM tiga hari kemudian . Tiga hari setelah dirawat

di RSUPHAM pasien mengeluhkan adanya benjolan yang nyeri di perut

kanan bawah.

RPT : -

RPO : tidak jelas

Status Presen:

Sensorium: Compos Mentis, Temperatur: 38,1oC, HR: 152 x/minute, RR:

30 x/minute. Anemis (+), ikteris (-), sianosis (-), edema (-), dyspnea (-).

25

Status Generalisata

Kepala : Mata : konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), ikterik

(-/-), RC (+/+), pupil isokor, d: 3mm/3mm.

T/H/M dalam batas normal

Leher : Pembesaran KGB (-), TVJ R+2 cmH2O

Thoraks : Inspeksi : Simetris fusiformis, ketinggalan nafas (-)

Palpasi : Stem fremitus kiri=kanan

Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi : SP: vesikuler; ST: -

Abdomen : Inspeksi : Simetris, distensi (-)

Palpasi : nyeri tekan (+), defans muskular (+),

McBurney (+), teraba massa di perut

kanan bawah

Perkusi : Timpani

\ Auskultasi : normoperistaltik

Ekstremitas : Edema (-)

Hasil Laboratorium

Parameter Unit Hasil Nilai

Haemoglobin (Hb) g% 11,6 11,3-14,1

Eritrosit 106/mm3 4,07 4,40-4,48

Leukosit 103/mm3 22,45 4,5-13,5

Hematocrit % 35,4 37-41

Trombosit 103/mm3 537 150-450

MCV Fl 87,0 81-95

MCH Pg 28,50 25-29

MCHC g% 32,8 29-31

RDW % 13,2 11,6-14,8

Hitung jenis

Neutrofil % 85,2 37-80

26

Limposit % 6,4 20-40

Monosit % 7,70 2-8

Eosinofil % 0,40 1-6

Basofil % 0,300 0-1

Neutrofil Absolut 103/L 29,71 2,4-7,3

Limfosit Absolut 103/L 2,24 1,7-5,1

Monosit Absolut 103/L 2,67 0,2-0,6

Eosinofil Absolut 103/L 0,13 0,10-0,30

Basofil Absolut 103/L 0,09 0-0,1

Metabolisme karbohidrat

Blood Glucose mg/dL 84,6 <200

Elektrolit

Na mEq/L 129 135-155

K mEq/L 4,3 3,6-5,5

Cl mEq/L 104 96-106

Hati

Albumin g/dL 2,3 3,5-5

Diagnosis : Apendiceal mass

Tindakan: : - IVFD RL 20gtt/i

- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam

- Inj. Ketorolac 30mg/8 jam

- Ranitidin 50 mg/12 jam

- Inj. Metronidazole 500mg/8 jam

27

Follow up Ruangan

Tanggal S O A PTerapi Diagnostik

07/05/2015 Nyeri perut kanan bawah

- Sens : CM

- TD : 120/70 mmHg

- Pols : 98 x/i

- RR : 20 x/i

- T : 370C

- Mata: Konj. anemis (+/+), sclera ikterik (-/-)

- Leher : TVJ R-2 cmH20

- Thorax : S1 & S2 (+)N, Gallop (-), murmur (-)

- Pulmo: simetris, SP: vesikulerST : -

- Abdomen :Simetris, mild

- Appendicial mass

- Tirah baring

- O2 2-4 L/i

- IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i makro

- Injeksi ceftriaxone 1gr/12jam

- Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam

- Injeksi ketorolac 30 mg/8jam

- Injeksi ranitidine 50 mg/12jam

- USG appendiks

1

distension, nyeri tekan (+), timpani peristaltik (+) melemah

- Ekstremitas: edem (-)

Tanggal S O A PTerapi Diagnostik

08-10/05/2015 Nyeriperutkananbawah

- Sens : CM

- TD : 120/80 mmHg

- Pols : 100 x/i

- RR : 22 x/i

- T : 370C

- Mata: Konj. anemis (+/+),

- Appendicial mass

- Tirah baring

- O2 2-4 L/i

- IVFD RL 20gtt/i makro

- Injeksi cifrofloxacin

- USG appendiks

Hasil :Pada daerah Mc. Burney tampak gambaran doughnut sign ukuran +/- 7,66 mm. Tampak massa anekoik berbatas tegas ukuran +/- 26 x

2

sclera ikterik (-/-)

- Leher : TVJ R-2 cmH20

- Thorax : S1 & S2 (+)N, Gallop (-), murmur (-)

- Pulmo: simetris, SP: vesikulerST : -

- Abdomen :Simetris,mild distension,nyeritekan (+), timpani peristaltik (+) melemah,

- Ekstremitas: edem (-)

200 mg/12jam

- Injeksi gentamycin 80 mg/8 jam

- Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam

- Injeksi ketorolac 30 mg/8jam

- Injeksi ranitidine 50 mg/12jam

36 mm disekitarnya

3

USG Abdomen (8/05/2015)

S O A PTerapi Diagnostik

11/05/2015 Nyeri perut kanan bawah

- Sens : CM - Appendiceal mass

- Tirah baring - Cek Lab darah lengkap,

4

- TD : 120/80 mmHg

- Pols : 100 x/i

- RR : 22 x/i

- T : 370C

- Mata: Konj. anemis (+/+), skleraikterik (-/-)

- Leher : TVJ R-2 cmH20

- Thorax : S1 & S2 (+)N, Gallop (-), murmur (-)

- Pulmo: simetris, SP: vesikulerST : -

- Abdomen : Simetris, distensi (+)berkurang,nyeritekan (+), terabamassa di abdomen kananukuran 8x6 cm,

- O2 2-4 L/i

- Diet MII

- IVFD RL 20gtt/i makro

- Injeksi cifrofloxacin 200 mg/12jam

- Injeksi gentamycin 80 mg/8 jam

- Injeksimetronidazole 500 mg/8 jam

- Injeksi ketorolac 30 mg/8jam

- Injeksi ranitidine 50 mg/12jam

elekrolit, albumin

Hasil :Hb / Ht / WBC /PLT : 11,4/34,2/37.63/444E/B/N/L/M : 0/0.1/87,6/5,2/7,1Na/K/Cl/Albumin : 127/4,3/97/2,4

5

timpani,peristaltik (+) melemah

- Ekstremitas: edem (-)

6

Tanggal S O A PTerapi Diagnostik

12/05/2015 Nyeri perut kanan bawah

- Sens : CM

- TD : 120/80 mmHg

- Pols : 100 x/i

- RR : 22 x/i

- T : 370C

- Mata: Konj. anemis (+/+), sclera ikterik (-/-)

- Leher : TVJ R-2 cmH20

- Thorax : S1 & S2 (+)N, Gallop (-),

- Appendicial mass

- Tirah baring

- O2 2-4 L/i

- IVFD RL 20gtt/i makro

- Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

- Injeksi ketorolac 30 mg/8jam

- Injeksi ranitidine 50 mg/12jam

7

murmur (-)

- Pulmo: simetris, SP: vesikulerST : -

- Abdomen : simetris, defans muscular (+), nyeri tekan (+), teraba massa di perut kanan ukuran 8x6,timpani, peristaltic (+) melemah

- Ekstremitas: edem (-)

8

Tanggal S O A PTerapi Diagnostik

13/05/2015

Nyeri perut kanan bawah

- Sens : CM

- TD : 120/80 mmHg

- Pols : 100 x/i

- RR : 22 x/i

- Appendicial mass - Tirah baring

- O2 2-4 L/i

- IVFD RL 20gtt/i makro

9

- T : 370C

- Mata: Konj. anemis (+/+), sclera ikterik (-/-)

- Leher : TVJ R-2 cmH20

- Thorax : S1 & S2 (+)N, Gallop (-), murmur (-)

- Pulmo: simetris, SP: vesikulerST : -

- Abdomen : simetris, defans muscular (+), nyeritekan (+), teraba massa di perut kanan ukuran 7,5x6 cm, timpani, peristaltic (+) melemah

- Ekstremitas: edem (-)

- Injeksiceftriaxone 1 gr/12 jam

- Injeksi ketorolac 30 mg/8jam

- Injeksi ranitidine 50 mg/12jam

10

11

BAB IV

KESIMPULAN

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang dapat disebabkan

oleh obstruksi lumen atau ulserasi pada mukosa akibat terjadi infeksi bakteri.

Kesulitan membedakan antara apendisitis dengan penyebab nyeri perut lainnya

serta meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan

perforasi menyebabkan apendisitis merupakan masalah penting bagi petugas

kesehatan.

Salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada kasus-kasus apendisitis

adalah terbentuknya massa apendikular (appendiceal mass).

Penatalaksanaan apendisitis serta massa apendikular dapat meliputi

tindakan konservatif serta tindakan operasi. Apendisitis merupakan salah satu

dari penyebab utama nyeri abdomen (abdominal pain) dan merupakan kondisi

gawat darurat yang memerlukan tindakan pembedahan segera. Teknik

pembedahan yang dilakukan sesuai dengan indikasi serta ketersediaan sarana dan

prasarana

1

DAFTAR PUSTAKA

1. Delaney C, Netter F. Netter's surgical anatomy and approaches.

2. Minkes, RK. 2014. Pediatric Appendicitis. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/926795-overview . Accessed on 1

May 2015.

3. Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.

Jakarta:EGC, 639-645

4. Stephen et al. 2003. The Diagnosis of Acute Appendicitis in a Pediatric

Population. Vol.38

5. Riwanto, Ign. et al., 2010. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. In:

Sjamsudihajat, R. et al., ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:EGC, 755

– 762.

6. Minkes, RK. 2014. Pediatric Appendicitis. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/926795-overview . Accessed on 1

May 2015.

7. Craig, S. Appendicitis. July 2014. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/773895. Accessed on: 15th May

2015.

8. Riwanto, I., et al. 2012. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.

Dalam: Sjamsuhidajat, et al. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3; 356. Jakarta:

EGC.

9. Keshav, Satish, 2004. Caecum and Appendix. In: Keshav, Satish, ed. The

Gastrointestinal System at Glance. First Edition. USA:Wiley -Blackwell, 36 –

38

10. Departemen Bedah UGM. 2010. Apendik. Available from:

http://www.bedahugm.net/tag/appendix. Accessed on 29 April 2015.

11. Arshad M, Noshad A. Recent Trends in the Treatment of the Appendicular

Mass. Pakistan: Liaquat University of Medical and Health Sciences. 2012.

12. Garba E, Ahmed A. Management of Appendicial Mass. Annals of African

Medicine. 2008; 7: 200-204.

2

13. Riwanto, Ign. et al., 2010. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. In:

Sjamsudihajat, R. et al., ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:EGC, 755

– 762

14. Schwartz S, Brunicardi F. Schwartz's manual of surgery. New York:

McGraw-Hill Medical Pub. Division; 2006.

3