bab 2 landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/asli/bab2/2006-2-00862-mn-bab 2.pdf2.4...
TRANSCRIPT
7
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Perusahaan
2.1.1 Pengertian Perusahaan
Perusahaan adalah organisasi berbadan hukum yang mengadakan transaksi atau
usaha (Tim KBBI, 2002, p.1254). Kosa kata "perusahaan" dalam bahasa Inggris disebut
"corporation". Dalam Kamus Inggris-Indonesia, John M Echols dan Hassan Shadily (2001,
p.148), corporation berarti badan hukum. Menurut Djokosantoso Moeljono (2005, p.14),
istilah "corporate" dari segi etimologis merupakan turunan dari bahasa Latin corpus yang
berarti sekumpulan peraturan dan undang-undang, serta erate yang berarti sesuatu yang
dihargai atau dipatuhi.
Perseroan adalah suatu badan hukum tersendiri yang terpisah dari para pemiliknya
dan dapat berperan dalam bisnis, membuat kontrak, menggugat dan digugat serta
membayar pajak.
Keuntungan perseroan:
• kewajiban terbatas dari pemegang saham
• kemampuan mengumpulkan modal
• kemampuan untuk berlangsung selamanya
• pemindahan kepemilikan
Kerugian perseroan:
• biaya dan waktu yang diperlukan dalam proses pendirian perseroan
• pajak ganda
• kemungkinan merosotnya insentif manajerial
• persyaratan hukum dan peraturan pemerintah
8
• kemungkinan pendiri kehilangan kendali perusahaan. (Zimmerer dan Scarborough,
2004, p69).
2.1.2 Pemegang Kepentingan Utama Dalam Perusahaan
Jeff Madura (2001, p.2) menyatakan bahwa ada lima jenis pemegang kepentingan
utama yang terlibat dalam bisnis:
1. Pemilik (wiraswasta)
orang yang mengorganisasi, mengelola, dan mengasumsikan risiko yang dihadapi
untuk memulai bisnis.
2. Karyawan
orang yang bekerja pada suatu perusahaan tertentu dengan mendapatkan gaji.
3. Kreditor
institusi keuangan atau individu yang memberikan pinjaman.
4. Pemasok
perusahaan yang menyediakan bahan baku atau bahan setengah jadi bagi perusahaan
lain.
5. Pelanggan
orang yang menggunakan barang atau jasa dari suatu perusahaan.
2.2 Sistem Organisasi
2.2.1 Struktur Organisasi
Menurut Stephen Robbins (2002b, p.132), struktur organisasi adalah cara tugas
pekerjaan dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasi secara formal. Ada enam unsur kunci
yang perlu disampaikan kepada manajer bila mereka merancang struktur organisasinya.
Elemen-elemen tersebut adalah: spesialisasi pekerjaan, departementalisasi, rantai
komando, rentang kendali, sentralisasi, desentralisasi serta formalisasi.
9
2.3 Nilai dan Kepuasan Kerja
2.3.1 Nilai
Nilai adalah keyakinan dasar bahwa suatu modus perilaku atau keadaan akhir
eksistensi yang khas lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan modus perilaku
atau keadaan akhir eksistensi kebaikan atau lawannya. Nilai mengandung suatu unsur
pertimbangan dalam arti nilai mengemban gagasan-gagasan seorang individu mengenai
apa yang benar, baik, atau diinginkan. Nilai penting untuk mempelajari perilaku
keorganisasian karena nilai meletakkan dasar untuk memahami sikap dan motivasi serta
karena nilai mempengaruhi persepsi kita. (Stephen Robbins, 2002a, p.130).
2.3.2 Sikap
Sikap adalah pernyataan atau pertimbangan evaluatif mengenai obyek, orang atau
peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu. Sikap tidak
sama dengan nilai, tetapi keduanya saling berhubungan. Ada tiga komponen dari suatu
sikap: pengertian, keharuan, dan perilaku. Seseorang dapat memiliki banyak sikap, tetapi
perilaku organisasi memfokuskan perhatiannya pada sikap yang berkaitan dengan
pekerjaan. Kebanyakan riset dalam perilaku organisasi telah memperdulikan tiga sikap:
kepuasan kerja, keterlibatan kerja, dan komitmen pada organisasi. (Stephen Robbins,
2002a, p.138).
2.3.3 Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya.
Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap
kerja itu, seorang yang tak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif
terhadap pekerjaan itu. Keterlibatan kerja merupakan sampai tingkat mana seseorang
memihak pada pekerjaannya, berpartisipasi aktif dalamnya, dan menganggap kinerjanya
penting bagi harga diri. Sedangkan komitmen pada organisasi didefinisikan sebagai suatu
10
keadaan di mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan
tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu.
Hal-hal yang menentukan kepuasan kerja:
• Kerja yang secara mental menantang.
• Ganjaran yang pantas.
• Kondisi kerja yang mendukung.
• Rekan sekerja yang mendukung.
• Jangan lupakan kesesuaian antara kepribadian-pekerjaan. (Stephen Robbins (2002a,
p.139).
2.4 Etika Bisnis
2.4.1 Etika
Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam dunia bisnis adalah etika dan
moral bisnis. Dalam buku Character Building IV : Relasi Dengan Dunia, Antonius Atosokhi
Gea (2005, p.4) menyatakan bahwa kata 'etika' berasal dari bahasa Yunani kuno 'ethos'
(bentuk jamaknya 'ta etha'), yang berarti: adat kebiasaan, cara berpikir, akhlak, sikap,
watak, dan cara bertindak. Dari kata Yunani itu diturunkan kata ethics (Inggris) dan etika
(Indonesia). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2002, p.309), etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk,
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Jadi etika adalah nilai-nilai dan norma-
norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur
tingkah lakunya.
Ronald J Ebert and Ricky M Griffin (2000, p.80), menyatakan etika bisnis adalah suatu
istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan perilaku etika dari seorang manajer
atau karyawan suatu organisasi. Menurut Zimmerer dan Scarborough (2005, p.492), etika
bisnis adalah tatanan nilai moral dan standar perilaku yang membentuk dasar bagi orang-
11
orang dalam suatu organisasi sewaktu mereka membuat keputusan dan berinteraksi
dengan pihak yang berkepentingan dalam organisasi.
2.4.2 Norma Etika
Selain etika bisnis, yang juga harus diperhatikan dalam bisnis adalah norma etika.
Menurut Zimmerer yang dikutip oleh Suryana (2003, p.181) ada tiga tingkatan norma
etika, yaitu:
• Hukum.
Hukum berlaku bagi masyarakat secara umum yang mengatur mana perbuatan yang
boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Hukum hanya mengatur
standar perilaku minimum.
• Kebijakan dan Prosedur Organisasi.
Kebijakan dan prosedur organisasi memberi arahan khusus bagi setiap orang dalam
organisasi dalam mengambil keputusan sehari-harinya. Para karyawan akan bekerja
sesuai dengan kebijakan dan prosedur perusahaan / organisasi.
• Moral Sikap Mental Individual.
Sikap mental individual sangat penting untuk menghadapi suatu keputusan yang tidak
diatur oleh aturan formal. Nilai moral dan sikap mental individual biasanya berasal dari
keluarga, agama, dan sekolah. Sebagian lagi yang menentukan etika perilaku adalah
pendidikan, pelatihan dan pengalaman. Kebijakan dan aturan perusahaan sangat
penting terutama untuk membantu, mengurangi, dan mempertinggi pemahaman
karyawan tentang etika perilaku.
2.4.3 Kerangka Kerja Etika
Menurut Zimmerer dan Scarborough (2005, p.494), kerangka kerja etika dapat
dikembangkan melalui tiga tahap:
12
• Tahap pertama, mengakui dimensi-dimensi etika yang ada sebagai suatu alternatif
atau suatu keputusan. Artinya sebelum pemilik menginformasikan suatu keputusan
etika yang dibuat, lebih dahulu ia harus mengakui etika yang ada.
• Tahap kedua, mengidentifikasi stakeholder kunci yang terlibat dalam pengambilan
keputusan. Setiap keputusan bisnis akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
berbagai stakeholder. Karena konflik dalam stakeholder dapat mempengaruhi
pembuatan keputusan, maka sebelum keputusan itu dibuat terlebih dahulu harus
dihindari konflik antar-stakeholders.
• Tahap ketiga, membuat pilihan alternatif dan membedakan antara tanggapan etika
dan bukan etika. Ketika membuat pilihan alternatif tanggapan etika dan bukan etika,
serta mengevaluasi mana dampak negatif dan dampak positifnya, manajer akan
menemukan beberapa hal sebagai berikut:
a. Prinsip-prinsip dan etika perilaku.
b. Hak-hak moral.
c. Keadilan.
d. Konsekuensi dan hasil.
e. Pembenaran publik.
f. Intuisi dan pengertian / wawasan.
2.4.4 Sudut Pandang Etika Bisnis
Menurut Stephen Robbins dan Mary Coulter (2002, pp.151-154), ada empat sudut
pandang yang berbeda mengenai etika bisnis, yaitu: pandangan utilitarian tentang etika,
pandangan hak-hak tentang etika, pandangan teori keadilan tentang etika, dan teori
kontrak sosial terpadu.
I. Pandangan ulitarian tentang etika
Keputusan-keputusan dibuat hanya berdasarkan hasil-hasilnya atau akibat-akibatnya.
Teori ulitarian berusaha untuk memberikan metode kuantitatif bagi pembuatan
13
keputusan-keputusan etis. Sasaran utilitarianisme adalah memberikan manfaat
terbesar bagi jumlah terbesar. Di satu pihak, utilitarianisme mendorong efisiensi dan
produktivitas dan sesuai dengan sasaran memaksimalkan laba. Namun di pihak lain,
pandangan itu dapat menyebabkan melencengnya alokasi sumber daya, terutama
apabila beberapa orang yang kena dampak keputusan itu tidak memiliki perwakilan
atau suara dalam keputusan tersebut. Utilitarianisme juga dapat menyebabkan hak-
hak sejumlah orang yang berkepentingan menjadi terabaikan.
II. Pandangan Hak-Hak Tentang Etika
Pandangan ini peduli terhadap penghormatan dan perlindungan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan individu, termasuk hak-hak terhadap kerahasiaan, kebebasan
suara hati, kemerdekaan berbicara, dan proses yang seharusnya. Ini akan meliputi,
misalnya, melindungi hak-hak para karyawan terhadap kebebasan berbicara manakala
mereka melaporkan pelanggaran undang-undang oleh atasan mereka. Segi positif
sudut pandang hak-hak ini adalah bahwa sudut pandang tersebut melindungi
kerahasiaan dan kebebasan individu-individu. Tetapi pandangan tersebut memiliki sisi
negatif dalam organisasi. Pandangan itu dapat menimbulkan hambatan-hambatan
terhadap produktivitas dan efisiensi yang tinggi dengan menciptakan iklim kerja yang
lebih memperhatikan perlindungan legal hak-hak individu daripada menyelesaikan
pekerjaan.
III. Pandangan Teori Keadilan Tentang Etika
Ini menuntut para manajer untuk menerapkan dan memaksakan peraturan-peraturan
secara adil dan tidak memihak. Seorang menajer akan menggunakan sudut pandang
teori keadilan dalam menentukan pembayaran seorang karyawan baru tingkat dasar
diatas upah minimum, karena ia berpendapat bahwa upah minimum itu tidak memadai
untuk memungkinkan karyawan-karyawan memenuhi kewajiban-kewajiban dasar
keuangan mereka. Menerapkan standar-standar keadilan juga memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Sikap itu melindungi kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang
14
berkepentingan yang barangkali tidak mempunyai perwakilan atau tidak mempunyai
kekuasaan; tetapi pandangan tersebut dapat mendorong suatu perasaan mempunyai
hak yang boleh jadi membuat para karyawan mengurangi usaha menempuh risiko,
berinovasi dan produktivitas.
IV. Teori Kontrak Sosial Terpadu
Suatu pandangan yang mengusulkan penggabungan pendekatan empiris (apa yang
ada) dengan pendekatan normatik (apa yang seharusnya) terhadap etika bisnis itu.
Pandangan etika ini didasarkan pada penggabungan dua kontrak: kontrak sosial umum
di antara peserta-peserta ekonomi yang merumuskan aturan-aturan dasar untuk
berbisnis dan kontrak yang lebih khusus di antara anggota-anggota komunitas tertentu
yang mencakup cara-cara berperilaku yang dapat diterima. Pandangan etika bisnis ini
berbeda dengan ketiga yang lain dalam pandangan tersebut menyarankan bahwa para
manajer harus melihat norma-norma etis yang ada di industri-industri dan
perusahaan-perusahaan untuk menentukan apa yang merupakan tindakan-tindakan
dan keputusan-keputusan yang benar dan yang salah.
2.4.5 Prinsip Etika
Menurut pendapat Michael Josephson (1988) yang dikutip oleh Zimmerer (2004,
pp.27-28), secara universal, ada 10 prinsip etika yang mengarahkan perilaku, yaitu:
1. Kejujuran, yaitu penuh kepercayaan, bersifat jujur, sungguh-sungguh, terus terang,
tidak curang, tidak mencuri, tidak menggelapkan, dan tidak berbohong.
2. Integritas, yaitu memegang prinsip, melakukan kegiatan yang terhormat, tulus hati,
berani dan penuh pendirian atau keyakinan, tidak bermuka dua, tidak berbuat jahat
dan saling percaya.
3. Memelihara janji, yaitu selalu manaati janji, patut dipercaya, penuh komitmen, patuh,
jangan mengintepretasikan persetujuan dalam bentuk teknikal atau legalistik dengan
dalih ketidakrelaan.
15
4. Kesetiaan, yaitu hormat dan loyal kepada keluarga, teman, karyawan, dan negara,
janagan menggunakan atau memperlihatkan informasi yang diperoleh dalam
kerahasiaan; begitu juga dalam suatu konteks profesional, jaga atau lindungi
kemampuan untuk membuat keputusan profesional yang bebas dan teliti, hindari hal
yang tidak pantas dan konflik kepentingan.
5. Kewajaran atau keadilan, yaitu berlaku adil dan berbudi luhur, bersedia untuk
mengakui kesalahan, dan perlihatkan komitmen keadilan, persamaan perlakuan
individual dan toleran terhadap perbedaan, jangan bertindak melampaui batas atau
mengambil keuntungan yang tidak pantas dari kesalahan atau kemalangan orang lain.
6. Suka membantu orang lain, yaitu saling membantu, berbaik hati, belas kasihan,
tolong-menolong, kebersamaan, dan menghindari segala sesuatu yang
membahayakan orang lain.
7. Hormat kepada orang lain, yaitu menghormati martabat manusia, menghormati
kebebasan dan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi semua orang, bersopan
santun, jangan merendahkan orang lain, jangan mempermalukan orang lain, dan
jangan merendahkan martabat orang lain.
8. Warga negara yang bertanggung jawab, yaitu selalu menaati hukum atau aturan,
penuh kesadaran sosial, menghormati proses demokrasi dalam mengambil keputusan.
9. Mengejar keunggulan, yaitu mengejar keunggulan dalam segala hal, baik dalam
pertemuan personal maupun pertanggungjawaban profesional, tekun, dapat dipercaya
atau diandalkan, rajin penuh komitmen, melakukan semua tugas dengan kemampuan
terbaik, mengembangkan dan mempertahankan tingkat kompetensi yang tinggi.
10. Dapat dipertanggungjawabkan, yaitu memiliki tanggung jawab, menerima tanggung
jawab atas keputusan dan konsekuensinya, dan selalu memberi contoh.
16
2.4.6 Mempertahankan Standar Etika
Sepuluh cara untuk mempertahankan standar etika:
1. Ciptakan kepercayaan perusahaan.
Kepercayaan perusahaan dalam menetapkan nilai-nilai perusahaan yang mendasari
tanggung jawab etika bagi stakeholder.
2. Kembangkan kode etik.
Kode etik merupakan suatu catatan tentang standar tingkah laku dan prinsip-prinsip
etika yang diharapkan perusahaan dari karyawan.
3. Jalankan kode etik secara adil dan konsisten.
Manajer harus mengambil tindakan apabila mereka melanggar etika. Bila karyawan
mengetahui, bahwa yang melanggar etika tidak dihukum, maka kode etik menjadi
tidak berarti apa-apa.
4. Lindungi hak perorangan.
Akhir dari semua keputusan setiap etika sangat tergantung pada individu. Melindungi
seseorang dengan kekuatan prinsip-prinsip moral dan nilai-nilainya merupakan
jaminan yang terbaik untuk menghindari penyimpangan etika.
5. Adakan pelatihan etika.
Balai kerja merupakan alat untuk meningkatkan kesadaran para karyawan.
6. Lakukan audit etika secara periodik.
Audit merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi efektivitas sistem etika. Hasil
evaluasi tersebut akan memberikan suatu sinyal kepada karyawan bahwa etika bukan
sekadar bercanda.
7. Pertahankan standar yang tinggi tentang tingkah laku, jangan hanya aturan. Tidak ada
seorangpun yang dapat mengatur etika dan moral. Akan tetapi, manajer bisa saja
memperbolehkan orang untuk mengetahui tingkat penampilan yang mereka harapkan.
Standar tingkah laku sangat penting untuk menekankan bahwa betapa pentingnya
17
etika dalam organisasi. Setiap karyawan harus mengetahui bahwa etika tidak bisa
dinegosiasi atau ditawar-tawar.
8. Hindari contoh etika yang tercela setiap saat, etika diawali dari atasan.
Atasan harus memberi contoh dan menaruh kepercayaan kepada bawahannya.
9. Ciptakan budaya yang menekankan komunikasi dua arah.
Komunikasi dua arah sangat penting, yaitu untuk menginformasikan barang dan jasa
yang kita hasilkan dan untuk menerima aspirasi untuk perbaikan perusahaan.
10. Libatkan karyawan dalam mempertahankan standar etika.
Para karyawan diberi kesempatan untuk memberikan umpan balik tentang bagaimana
standar etika dipertahankan. (Suryana, 2003, p.183).
2.4.7 Tanggung Jawab Kepada Pemegang Saham
Perusahaan bertanggung jawab untuk memuaskan pemilik mereka (pemegang
saham). Karyawan, termasuk juga para manajer mungkin tergoda untuk membuat
keputusan yang memuaskan kepentingannya saja daripada kepentingan pemiliknya.
Misalnya, beberapa karyawan mungkin memakai uang perusahaan untuk membeli
komputer untuk keperluan pribadi daripada kepentingan perusahaan. Salah satu cara
perusahaan dalam meyakinkan tanggung jawab adalah dengan menggunakan internet
untuk memberikan kepada para investor informasi rinci mengenai kinerja keuangan
perusahaan. (Jeff Madura, 2001, p.80).
Dari pihak pemegang saham, telah banyak aktivitas pemegang saham, yaitu usaha
aktif dari pemegang saham dalam mempengaruhi kebijakan manajemen perusahaan.
Pemegang saham yang telah sangat aktif adalah investor institusi, atau institusi keuangan
yang membeli sejumlah besar saham. Jika investor institusional percaya bahwa
perusahaan dikelola dengan buruk, mereka akan mencoba menemui para eksekutif
perusahaan dan mengutarakan ketidakpuasannya. (Jeff Madura, 2001, p.80).
18
2.5 Budaya Perusahaan
2.5.1 Pengertian Budaya Organisasi (Perusahaan)
Budaya adalah "sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah"
(Tim Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, p.169). Djokosantoso Moeljono (2005, p.16)
menulis: The American Heritage Dictionary mendefinisikan budaya secara lebih formal,
yaitu sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan
sosial, seni ragam, kelembagaan, dan segala hasil kerja serta pemikiran manusia dari
suatu kelompok manusia.
Pada seluruh bagian skripsi ini, penggunaan kata "budaya organisasi" selalu
diintepretasikan dalam konteks "budaya perusahaan", karena pada hakikatnya
perusahaan juga merupakan suatu organisasi dan pada skripsi ini objek penelitiannya
adalah perusahaan. Sehingga diharapkan agar pembaca tidak rancu terhadap dua istilah
tersebut.
Webster's Dictionary seperti yang dikutip oleh Antonius Atosokhi Gea (2005, p.316),
mendefinisikan budaya perusahaan sebagai "Behavior typical of a group or class. Howard
Schult, seorang CEO Starbucks, mengatakan bahwa budaya perusahaan adalah kebiasaan
kerja seluruh manajemen dan karyawan suatu perusahaan yang telah diterima sebagai
standar perilaku kerja, serta membuat mereka terikat secara emosional kepada
perusahaan (Silalahi, 2004, p.35). Menurut Stephen Robbins (2002b, p.305), budaya
perusahaan mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota
yang membedakan orang-orang itu dari orang-orang lain.
Kotter dan Heskett (1992) mengemukakan bahwa budaya perusahaan memiliki dua
tingkat. Pada tingkat yang lebih dalam dan kurang dapat diamati, budaya perusahaan
diartikan sebagai nilai-nilai yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota di dalam suatu
kelompok dan cenderung untuk menetap bahkan apabila anggota-anggota kelompok
telah berganti. Pada tingkat yang lebih dapat diamati, budaya perusahaan
menggambarkan pola perilaku atau gaya kerja di suatu perusahaan yang secara otomatis
19
dianjurkan oleh karyawan lama untuk diikuti rekan-rekan kerja mereka yang baru.
(Djokosantoso Moeljono, 2005, p.40).
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya perusahaan adalah sistem nilai-
nilai yang diyakini oleh semua anggota perusahaan dan yang dipelajari, diterapkan, serta
dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat
dijadikan acuan berperilaku dalam perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan yang
telah ditetapkan.
2.5.2 Hakikat Budaya Organisasi
Dalam buku Character Building IV Relasi Dengan Dunia, Antonius Atosokhi Gea (2005,
p.318) yang mengutip Robbins dan Coulter, menulis bahwa riset mengemukakan bahwa
ada tujuh dimensi yang secara keseluruhan menangkap hakikat budaya sebuah
organisasi.
Dimensi-dimensi budaya organisasi:
1. Inovasi dan mengambil risiko,
tingkat dimana para karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan mengambil risiko.
2. Perhatian ke rincian,
tingkat di mana para karyawan diharapkan untuk menampilan ketepatan, analisis, dan
perhatian terhadap rincian.
3. Orientasi hasil,
tingkat dimana para manajer memusatkan perhatian pada hasil-hasil bukannya pada
teknik-teknik dan proses-proses yang digunakan untuk mencapai hasil-hasil itu.
4. Orientasi orang,
tingkat di mana keputusan-keputusan manajemen memperhitungkan pengaruh hasil-
hasil terhadap manusia di dalam organisasi itu.
20
5. Orientasi tim,
tingkat di mana kegiatan-kegiatan kerja disusun sekitar tim-tim bukan individu-
individu.
6. Keagresifan,
tingkat di mana orang bersifat agresif dan bersaing bukannya ramah dan bekerja
sama.
7. Kemantapan,
tingkat dimana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan usaha mempertahankan
status quo bukan pertumbuhan.
2.5.3 Fungsi Budaya Organisasi
Stephen Robbins (2002b, p.253) menuliskan bahwa budaya menjalankan empat fungsi
di dalam sebuah organisasi, yaitu:
1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas.
2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada
kepentingan pribadi seseorang.
4. Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial.
Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu
dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan
dilakukan oleh para karyawan.
5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan
membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
21
2.5.4 Proses Pembentukan Budaya
Gambar 2.1 Proses Pembentukan Budaya
Sumber: Stephen Robbins, 2002b, p.262
Budaya suatu perusahaan biasanya berasal dari para pendiri perusahaan. Pendiri
memiliki peran yang sangat besar bagi awal terbentuknya budaya organisasi, karena
bagaimana visi dan misi organisasi yang bersangkutan tidak terlepas pada bagaimana
nilai-nilai pendiri tersebut. Pendiri organisasi tidak dikendalai oleh kebiasaan atau ideologi
sebelumnya. Ukuran kecil yang lazimnya mencirikan organisasi baru mempermudah
pemaksaan pendiri akan visinya pada semua anggota perusahaan.
2.5.5 Pentingnya Budaya Organisasi
Chris Lowney (2005, p.341) menyatakan: dari hasil riset yang diselenggarakan oleh
para konsultan manajemen McKinsey & Co. untuk melancarkan strategi membantu
perusahaan menarik dan mempertahankan para karyawan berbakat yang langka,
McKinsey bertanya kepada para eksekutif puncak, apa yang telah memotivasi para
karyawan mereka yang paling berbakat. Berikut ini adalah ringkasan di antara 200
eksekutif puncak mengenai peringkat faktor yang mutlak essensial untuk memotivasi
karyawan berbakat:
Filosofi pendiri Perusahaan
Kriteria Seleksi
Manajemen Puncak
Sosialisasi
Budaya Perusahaan
22
Tabel 2.1 Peringkat Faktor Untuk Memotivasi Karyawan
Nilai-Nilai Budaya 58%
Kebebasan Otonomi 56%
Tugaas mengandung tantangan 51%
Pengelolaan yang baik 50%
Kompensasi yang tinggi 23%
Misi yang mengilhami 16%
Sumber: Chris Lowney, 2005, p.341
Hasil riset diatas menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam budaya organisasi sangat
mempengaruhi motivasi para anggota dalam bekerja.
Supaya seseorang dapat menjalankan fungsinya secara efektif dalam suatu organisasi,
seseorang perlu tahu bagaimana mengerjakan atau harus mengerjakan sesuatu,
termasuk bagaimana berperilaku sebagai anggota organisasi, khususnya dalam
lingkungan organisasinya. Dengan adanya budaya organisasi yang jelas, maka seseorang
dapat mengerti aturan main yang harus dijalankan, baik dalam mengerjakan tugas-
tugasnya, maupun dalam berinteraksi dengan sesama anggota dalam organisasi. Ketidak
raguan dalam menjalani hal ini akan membawa peneguhan bagi seseorang, yang
membuatnya mengerti apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Budaya akan
meningkatkan komitmen organisasi dan meningkatkan konsistensi dari perilaku karyawan.
Dari sudut pandang karyawan, budaya memberitahu mereka bagaimana segala sesuatu
dilakukan dan apa yang penting (Antonius Atosokhi Gea, 2005, p.326).
Menurut Chris Lowney (2005, p.295), ada 3 ciri khas budaya orgainsasi yang dapat
memberikan hasil optimal:
1. Kuatnya budaya bukan hanya diatas kertas, melainkan secara nyata memandu
perilaku sehari-hari karyawan.
2. Budaya itu secara strategis telah sesuai dengan kondisi perusahaan.
23
3. Budaya itu tidak menghalangi perubahan tetapi mendukung perubahan.
2.5.6 Cara Karyawan Mempelajari Budaya
Budaya diteruskan kepada karyawan dalam sejumlah ragam; yang paling ampuh
adalah cerita, ritual, lambang-lambang yang bersifat kebendaan dan bahasa. Cerita yang
khususnya berisi dongeng dari peristiwa mengenai pendiri organisasi, pelanggaran aturan,
sukses dari miskin ke kaya, pengurangan angkatan kerja, lokasi karyawan, reaksi
terhadap kesalahan masa lalu, dan mengatasi masalah organisasi. Cerita-cerita ini
menautkan masa kini pada masa lampau dan memberikan penjelasan dan pengesahan
untuk praktek-praktek dewasa ini. (Stephen Robbins, 2002b, p.261).
Ritual merupakan deretan berulang dari kegiatan yang mengungkapkan dan
memperkuat nilai-nilai utama organisasi, tujuan apakah yang paling penting, orang-orang
yang manakah yang penting dan mana yang dapat dikorbankan. (Stephen Robbins,
2002b, p.262).
Tata letak dari markas besar perusahaan, tipe mobil yang diberikan kepada eksekutif
puncak, dan ada-tidaknya pesawat terbang korporasi merupakan beberapa contoh dari
lambang materi. Contoh lain adalah ukuran dan tata letak kantor, keanggunan perabot,
penghasilan tambahan eksekutif, dan pakaian. Lambang materi ini menyampaikan kepada
para karyawan siapa yang penting, sejauh mana egaliteranisme yang diinginkan oleh
eksekutif puncak, dan jenis perilaku (misalnya, pengambilan risiko, konservatif, otoriter,
partisipatif, individualistis, sosial) yang tepat. (Stephen Robbins, 2002b, p.263).
Bahasa organisasi dan unit di dalam organisasi menggunakan bahasa sebagai suatu
cara untuk mengidentifikasi anggota suatu budaya atau sub-budaya. Dengan mempelajari
bahasa ini, anggota membuktikan penerimaan mereka akan budaya itu, dan dengan
berbuat seperti itu akan membantu melestarikannya. (Stephen Robbins, 2002b, p.264).
24
2.5.7 Cara Mempertahankan Budaya
Ada empat kekuatan yang memainkan bagian sangat penting dalam mempertahankan
suatu budaya, yaitu praktek seleksi, tindakan manajemen puncak, sosialisasi dan
internalisasi.
Proses seleksi memberikan informasi kepada para pelamar mengenai perusahaan itu.
Para calon belajar menganai perusahaan itu, dan jika mereka merasakan suatu konflik
antara nilai mereka dan nilai perusahaan, mereka dapat menyeleksi diri keluar dari
kumpulan pelamar. Oleh karena itu, seleksi menjadi jalan dua arah, dengan
memungkinkan pemberi kerja atau pelamar untuk memutuskan perkawinan jika
tampaknya ada ketidakcocokan. Dengan cara ini, proses seleksi mendukung budaya suatu
perusahaan dengan menyeleksi keluar individu-individu yang mungkin menyerang atau
menghancurkan nilai-nilai intinya. (Stephen Robbins, 2002b, p.255).
Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya organisasi.
Melalui apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berperilaku, eksekutif senior
menegakkan norma-norma yang merembes ke bawah sepanjang organisasi, misalnya
apakah pengambilan risiko diinginkan, berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan
oleh para manajer kepada bawahan mereka; pakaian apakah yang pantas; dan tindakan
apakah akan dihargai dalam kenaikan upah, promosi dan ganjaran lain. (Stephen
Robbins, 2002b, p.257).
Sosialisasi adalah proses yang mengadaptasikan para karyawan pada budaya
organisasi itu. Sosialisasi dapat dikonsepkan sebagai suatu proses yang terdiri atas tiga
tahap: prakedatangan, perjumpaan, dan metamorfosis. Tahap prakedatangan adalah
kurun waktu pembelajaran dalam proses sosialisasi yang terjadi sebelum seorang
karyawan baru bergabung dengan organisasi itu. Tahap perjumpaan merupakan tahap
dalam proses sosialisasi dalam mana seorang karyawan baru menyaksikan seperti apa
sebenarnya organisasi itu dan menghadapi kemungkinan bahwa harapan dan kenyataan
dapat berbeda. Tahap metamorfosis yaitu tahap dalam proses sosialisasi yang melaluinya
25
seorang karyawan baru menyesuaikan diri pada nilai dan norma kelompok kerjanya.
(Stephen Robbins, 2002b,p.258)
Menurut Taliziduhu Ndraha, internalisasi budaya adalah proses menanamkan dan
menumbuh-kembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri orang yang
bersangkutan. Jika sosialisasi lebih ke samping dan lebih kuantitatif, maka internalisasi
lebih bersifat vertikal dan kualitatif. Penanaman dan penumbuh-kembangan nilai tersebut
dilakukan melalui berbagai didaktik-metodik pendidikan dan pengajaran, seperti:
pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain-washing, dan lain sebagainya. (Antonius
Atosokhi Gea, 2005, p.332).
2.6 Good Corporate Governance
2.6.1 Latar Belakang Good Corporate Governance
Gagasan Good Corporate Governance muncul pada awalnya sebagai kritik terhadap
praktek bisnis modern yang berkembang dengan cepat. Praktek bisnis yang ada saat ini
mempunyai karakteristik semakin dipisahkannya fungsi kepemilikan dan manajemen
pengelolaan perusahaan. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan kemampuan pemilik
dalam mengelola perusahaan sedangkan di sisi lain para professional yang menawarkan
kemampuannya untuk mengelola perusahaan dengan tujuan memaksimalkan keuntungan
perusahaan. Hal ini memunculkan agency problems akibat pemilik perusahaan
menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada para professional (disebut agents) yang
lebih mengerti dalam menjalankan praktek bisnis sehari-hari. Untuk mereduksi agency
problems tersebut para pemilik memberikan insentif kepada para profesional tersebut dan
memastikan bahwa mereka akan bekerja sepenuhnya untuk kepentingan perusahaan.
Adanya pendelegasian pengelolaan dan kekuasaan kepada para profesional tersebut
diharapkan dapat mendorong mereka untuk memaksimalkan laba perusahaan. Namun
kekuasaan tersebut dapat juga disalahgunakan untuk memaksimalkan kepentingan
mereka sendiri dengan beban dan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik perusahaan.
26
Konsep Good Corporate Governance muncul untuk meminimalkan potensi kecurangan
akibat agency problem tersebut. Prakteknya berupa adanya sistem dan struktur yang
efektif untuk mendorong dipenuhinya hak dan kewajiban masing-masing organ
perusahaan. Pemegang saham dapat melakukan kontrol yang efektif terhadap
pengelolaan perusahaan melalui dewan komisaris. Di sisi lain, direksi sebagai pengelola
perusahaan mempunyai batasan yang jelas tentang tanggung-jawab, wewenang dan hak-
kewajibannya.
Di samping itu, konsep Good Corporate Governance muncul untuk mengakomodasi
tuntutan banyak pihak tentang tanggung-jawab perusahaan (corporate responsibility).
Selama ini, banyak perusahaan berbisnis sekedar mengejar keuntungan (single bottom
concept) namun melupakan aspek kelangsungan usaha (going concern) dan aspek
tanggung jawab sosial. Motif sekedar mengejar keuntungan terbukti banyak menimbulkan
masalah dan menyebabkan perusahaan tidak bertahan lama. (Sofyan Djalil, 2005).
2.6.2 Pengertian Good Corporate Governance
Good Corporate Governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan
antara pemegang saham, pengelola perusahaan, pihak kreditor, pemerintah, karyawan
serta pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak
dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan. (YYPMI, 2002, p.21).
Malaysian High Level Finance Committee on Good Corporate Governance
mendefinisikan Good Corporate Governance sebagai suatu proses dan struktur yang
digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan urusan-urusan perusahaan
dalam rangka meningkatkan kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan dengan
tujuan utama mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholder yang lain. (Sofyan Djalil, 2005).
27
Good Corporate Governance adalah efektivitas yang bersumber dari Budaya
Perusahaan, Etika, Nilai, Sistem, Proses bisnis, Kebijakan dan Struktur Organisasi
Perusahaan yang bertujuan untuk mendukung dan mendorong pengembangan
perusahaan, pengelolaan sumber daya dan resiko secara lebih efektif, efisien dan
profitable, pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan stakeholders
lainnya yang memenuhi prinsip-prinsip praktek bisnis yang baik dan penerapannya sesuai
dengan peraturan yang berlaku, serta peduli terhadap lingkungan.
2.6.3 Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance
Menurut YPPMI (2002, pp.4-19) ada 13 prinsip mengenai Good Corporate Governance:
2.6.3.1. Pemegang Saham
1. Hak Pemegang Saham
Hak pemegang saham harus dilindungi, agar pemegang saham dapat
melaksanakannya berdasarkan prosedur yang benar yang ditetapkan oleh
Persoroan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Setiap pemegang saham berhak memperolah penjelasan lengkap dan informasi
yang akurat mengenai prosedur yang harus dipenuhi berkenaan dengan
penyelenggaraaan RUPS agar pemegang saham dapat berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan mengenai hal-hal yang mempengaruhi eksistensi perseroan
dan hak pemegang saham.
3. Perlakuan yang setara terhadap para pemegang saham
Pemegang saham yang memiliki saham dengan klasifikasi yang sama harus
diperlakukan setara (equitably) berdasarkan azas bahwa pemegang saham yang
memiliki saham degan klasifikasi yang sama mempunyai kedudukan yang setara
terhadap perseroan.
28
4. Akuntabilitas pemegang saham
Pemegang saham yang memiliki kepentingan pengendalian di dalam perseroan
harus menyadari tanggung jawabnya pada saat ia menggunakan pengaruhnya atas
manajemen perseroan, baik dengan menggunakan hak suara mereka atau dengan
cara lain. Campur tangan dalam manajemen perseroan yang melanggar hukum,
harus ditanggulangi dengan cara meningkatkan keterbukaan perseroan dan
akuntabilitas manajemen perseroan, serta pada akhirnya harus diselesaikan melalui
proses hukum yang berlaku. Pemegang saham minoritas juga mempunyai
tanggung jawab serupa, yakni mereka tidak boleh menyalahgunakan hak mereka
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Pengangkatan dan sistem penggajian dan pemberian tunjangan anggota Dewan
Komisaris serta Direksi
Dalam suatu RUPS, pemegang saham harus menetapkan sistem tentang;
a. pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan Dewan Direksi,
b. penetapan gaji dan tunjangan anggota Dewan Komisaris dan Direksi perseroan,
dan
c. penilaian kinerja mereka.
2.6.3.2 Dewan Komisaris
1. Fungsi Dewan Komisaris
Dewan Komisaris bertanggung jawab dan berwenang mengawasi tindakan Direksi,
dan memberikan nasehat kepada Direksi jika dipandang perlu oleh Dewan
Komisaris. Untuk membantu Dewan Komisaris dalam melaksanakan tugas tersebut,
Dewan Komisaris, sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh Dewan
Komisaris, dapat menggunakan jasa penasehat profesional yang mandiri dan atau
membentuk komite khusus. Setiap anggota Dewan Komisaris harus berwatak
29
amanah dan mempunyai pengalaman dan kecakapan yang diperlukan untuk
menjalankan tugasnya.
Setiap anggota Dewan Komisaris dan Dewan Komisaris selaku organ harus
melaksanakan tugas mereka dengan baik, demi kepentingan Perseroan, dan harus
juga memastikan bahwa Perseroan melaksanakan fungsi tanggung jawab sosialnya
dan memperhatikan kepentingan berbagai pihak yang berkepentingan
(stakeholders) terhadap Perseroan.
2. Komposisi Dewan Komisaris
Komposisi Dewan Komisaris harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan
pengambilan putusan yang efektif, tepat dan cepat serta dapat bertindak secara
independen dalam arti tidak mempunyai kepentingan yang dapat menganggu
kemampuannya untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri dan kritis dalam
hubungan satu sama lain dan terhadap Direksi. Tergantung dari sifat khusus suatu
perseroan, seyogyanya paling sedikit 20% (dua puluh perseratus) dari anggota
Dewan Komisaris harus berasal dari kalangan di luar.
Anggota yang berasal dari kalangan di luar itu harus bebas dari pengaruh Direksi
dan Pemegang Saham Pengendali.
Dalam proses pencalonan dan pengangkatan Komisaris dari kalangan di luar
Perseroan harus diupayakan agar pendapat pemegang saham minoritas
diperhatikan sebagai wujud perlingungan terhadap kepentingan pemegang saham
minoritas dan pihak yang berkepentingan.
Laporan Tahunan Perseroan harus memuat tidak saja nama-nama anggota Dewan
Komisaris, tetapi juga pekerjaan mereka, dan perkerjaan utama mereka di luar
perseroan, sejauh pekerjaan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan tugas mereka
sebagai anggota Dewan Komisaris.
30
3. Kepatuhan pada Anggaran Dasar dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Dewan Komisaris harus mematuhi Anggaran Dasar Perseroan dan peraturan
perundan-undangan yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya dan harus
mengawasi agar Direksi juga mematuhi Anggaran Dasar Perseroan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Anggota Dewan Komisaris juga perlu memahami Anggaran Dasar Perseroan dan
perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Dewan
Komisaris yang berlaku dari waktu ke waktu.
4. Rapat Dewan Komisaris
Rapat Dewan Komisaris harus diadakan secara berkala, yaitu pada prinsipnya
sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan, tergantung sifat khusus Perseroan
masing-masing.
Dewan Komisaris harus menetapkan tata tertib Rapat Dewan Komisaris dan
mencantumkannya dengan jelas dalam catatan Rapat Dewan Komisaris di mana
tata tertib tersebut ditetapkan. Seorang Dewan Komisaris hanya dapat diwakili oleh
anggota Dewan Komisaris lainnya dalam suatu rapat Dewan Komisaris. Risalah
Rapat Dewan Komisaris harus dibuat untuk setiap Rapat Dewan Komisaris. Dalam
risalah rapat tersebut harus dicantumkan pendapat yang berbeda (dissenting
Comments) dengan apa yang diputuskan dalam Rapat Dewan Komesaris (bila ada).
Setiap anggota Dewan Komisaris berhak menerima salinan risalah Rapat Dewan
Komisaris, terlepas apakah anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan hadir
atau tidak hadir dalam Rapat Dewan Komisaris tersebut.
Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pengiriman
risalah rapat tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris yang hadir dan atau
diwakili dalam Rapat Dewan Koisaris yang bersangkutan harus menyampaikan
persetujuan atau keberatannya dan atau usul perbaikannya, bila ada, atas apa
31
yang tercantum dalam Risalah Rapat Dewan Komisaris kepada pimpinan Rapat
Dewan Komisaris tersebut.
Jika keberatan dan atau usul perbaikan tidak diterima dalam jangka waktu
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa memang tidak ada keberatan dan atau
perbaikan terhadap risalah asli dari setiap Rapat Dewan Komisaris yang
bersangkutan. Risalah asli dari setiap Rapat Dewan Komisaris harus dijilid dalam
kumpulan tahunan dan disimpan oleh perseroan serta harus tersedia bila diminta
oleh setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi.
5. Informasi untuk Dewan Komisaris
Dewan Komisaris berhak memperoleh akses atas informasi Perseroan secara tepat
waktu dan lengkap. Berhubung Dewan Komisaris tidak mempunyai kewenangan
untuk mengurus perseroan, maka Direksi bertanggung jawab untuk memastikan
agar informasi mengenai perseroan diberikan kepada Dewan Komisaris secara tepat
waktu dan lengkap.
6. Hubungan usaha lain antara anggota Dewan Komisaris dan atau Direksi dengan
Perseroan.
Dalam Laporan Tahunan, Direksi harus secara tegas mencantumkan jika terdapat
hubungan usaha antara anggota Dewan Komisaris dan atau Direksi dengan
perseroan dan penjelasan mengenai hubungan usaha tersebut.
7. Larangan mengambil keuntungan pribadi ("No Personal Gain").
Anggota Dewan Komisaris dilarang mengambil keuntungan pribadi dari kegiatan
perseroan selain gaji dan tunjangan yang diterimanya sebagai anggota Dewan
Komisaris.
8. Sistem pengangkatan para eksekutif yang tidak menjabat sebagai anggota Direksi,
penetuan gaji dan tunjangan para eksekutif tersebut dan penilaian kinerja mereka.
Dewan Komisaris harus menentukan suatu sistem yang transparan untuk;
a. pengangkatan para eksekutif
32
b. penentuan gaji dan tunjangan para eksekutif tersebut, dan
c. penilaian kinerja mereka.
9. Komite yang dapat dibentuk Dewan Komisaris
Dewan Komisaris harus mempertimbangkan untuk membentuk Komisaris yang
anggotanya berasal dari anggota Dewan Komisaris, guna menunjang pelaksanaan
tugas Dewan Komisaris. Dewan yang dibentuk tersebut harus melaporkan
pelaksanaan tugasnya termasuk rekomendasi yang berkaitan, jika ada, kepada
Dewan Komisaris. Pembentukan Komite tersebut serta hasil pelaksanaan tugasnya
termasuk dalam Laporan Tahunan.
Beberapa Komite yang dapat dibentuk oleh Dewan Komisaris adalah :
1. Komite Nominasi
Menyusun kriteria seleksi dan prosedur nominasi bagi anggota Dewan
Komisaris, Direksi dan para eksekutif lainnya di dalam Perseroan, membuat
sistem penilaian dan memberikan rekomendasi tentang jumlah anggota Dewan
Komisaris dan Direksi Perseroan.
2. Komite Remunerasi
Menyusun sistem penggajian dan pemberian tunjangan serta rekomendasi
tentang:
i. penilaian terhadap sistem tersebut;
ii. opsi yang diberikan, antara lain opsi atas saham;
iii. sistem pensiun; dan
iv. sistem kompensasi serta manfaat lainnya dalam hal pengurangan karyawan.
3. Komite Asuransi
Melakukan penilaian secara berkala dan memberikan rekomendasi tentang jenis
dan jumlah asuransi yang ditutup oleh Perseroan
4. Komite Audit.
33
2.6.3.3 Direksi
1. Peran Direksi
Direksi bertugas mengelola Perseroan. Direksi wajib mempertanggung-jawabkan
pelaksanaan tugasnya kepada pemegang saham melalui RUPS. Untuk membantu
pelaksanaan tugasnya, sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkannya. Direksi
dapat menggunakan jasa profesional yang mandiri sebagai penasehat.
Setiap anggota Dewan haruslah orang yang berwatak baik dan ber-pengalaman
untuk jabatan yang didudukinya.
Direksi harus melaksanakan tugasnya dengan baik demi kepentingan Perseroan
dan Direksi harus memastikan agar Perseroan melaksanakan tanggung jawab
sosialnya serta memperhatikan kepentingan dari berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholders). Direksi wajib senantiasa mengupayakan untuk
dipatuhinya Pedoman ini.
2. Komposisi Direksi
Komposisi Direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan mengambilan
putusan yang efektif, tepat dan cepat serta dapat bertindak secara independen
dalam arti tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya
untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri dan kritis.
Tergantung dari sifat khusus suatu Perseroan, seyogyanya paling sedikit 20% (dua
puluh perseratus dari jumlah anggota Direksi harus berasal dari kalangan di luar
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam butir 2.0 guna meningkatkan efektifitas
atas peran manajemen, dan transparansi dari pertimbangannya.
Anggota yang berasal dari kalangan di luar Perseroan itu harus bebas dari
pengaruh anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi lainnya serta Pemegang
Saham Pengendali.
Dalam proses pencalonan dan pengangkatan Direksi dari kalangan di luar
Perseroan harus diupayakan agar pendapat pemegang saham minoritas
34
diperhatikan sebagai wujud perlindungan terhadap kepentingan pemegang saham
minoritas dan pihak yang berkepentingan.
3. Kepatuhan pada Anggaran Dasar dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi harus mematuhi Anggaran Dasar Perseroan
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, setiap anggota
Direksi wajib memahami Anggaran Dasar Perseroan dan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Direksi yang berlaku dari
waktu ke waktu.
4. Larangan mengambil keuntungan pribadi ("No Personal Gain")
Para anggota Direksi dilarang mengambil keuntungan pribadi dari kegiatan
perseroan selain gaji, tunjangan dan kompensasi berbasis saham yang diterimanya
sebagai anggota Direksi berdasarkan keputusan RUPS.
5. Rapat Direksi
Rapat Direksi harus diadakan secara berkala, yaitu sekurang-kurangnya sekali
sebulan, tergantung dari sifat khusus perseroan.
Direksi harus menetapkan tata tertib Rapat Direksi dan mencantumkannya dengan
jelas dalam risalah Rapat Direksi dimana tata tertib tersebut ditetapkan. Risalah
Rapat Direksi harus dibuat untuk setiap Rapat Direksi. Dalam risalah rapat tersebut
harus dicantumkan pendapat yang berbeda (dissenting Comments) dengan apa
yang diputuskan dalam Rapat Direksi (bila ada). Setiap anggota Direksi berhak
menerima salinan risalah Rapat Direksi, terlepas apakah anggota Dewan Komisaris
yang bersangkutan hadir atau tidak hadir dalam Rapat Direksi tersebut.
Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pengiriman
risalah rapat tersebut, setiap anggota Direksi yang hadir dan atau diwakili dalam
Rapat Direksi yang bersangkutan harus menyampaikan persetujuan atau
35
keberatannya dan atau usul perbaikan-nya, bila ada, atas apa yang tercantum
dalam Risalah Rapat Direksi kepada pimpinan Rapat Direksi tersebut.
Jika keberatan dan atau usul perbaikan atas risalah rapat tidak diterima dalam
jangka waktu tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa memang tidak ada
keberatan dan atau perbaikan terhadap Risalah Rapat Direksi yang bersangkutan.
Risalah asli dari setiap Rapat Direksi harus dijilid dalam kumpulan tahunan dan
disimpan oleh Perseroan serta harus tersedia bila diminta oleh setiap anggota
Dewan Komisaris dan Direksi.
6. Pengawasan Internal
Direksi harus menetapkan suatu sistem pengawasan internal yang efektif untuk
mengamankan investasi dan aset Perseroan.
Direksi juga harus membuat suatu sistem pengendalian informasi internal, dengan
tujuan:
a. mengamankan informasi Perseroan yang penting, dan
b. agar informasi Perseroan dapat dengan cepat disampaikan kepada Sekretaris
Perusahaan, jika ada.
Pengawasan internal adalah suatu proses yang bertujuan untuk mencapai
kepastian berkenaan dengan :
a. kebenaran informasi keuangan
b. efektifitas dan efisiensi proses pengelolaan Perseroan; dan
c. kepatuhan pada peraturan perundang-undangan yang terkait.
7. Peran Direksi dalam Akuntansi
Direksi wajib memberitahukan Komite Audit jika Direksi memerlukan pendapat
kedua (second opinion) mengenai masalah akuntansi yang penting.
8. Penyelenggaraan daftar-daftar oleh Direksi
Direksi wajib menyelenggarakan dan menyimpan Daftar Pemegang Saham dan
Daftar Khusus sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Daftar
36
Pemegang Saham dan Daftar Khusus wajib disediakan di kantor Perseroan.
Pemegang Saham, anggota Dewan Komisaris, dan Direksi Perseroan berhak
membaca daftar tersebut. Daftar tersebut masing-masing harus dijilid. Semua
pencatatan dalam Daftar tersebut harus ditandatangai sesuai Anggaran Dasar.
2.6.3.4 Sistem Audit
1. Eksternal Auditor
Eksternal Auditor harus ditunjuk oleh RUPS dari calon yang diajukan oleh Dewan
Komisaris berdasarkan usul Komite Audit. Komite Audit melalui Dewan Komisaris
wajib menyampaikan kepada RUPS alasan pencalonan tersebut dan besarnya gaji
dan tunjangan yang diusulkan untuk Eksternal Auditor tersebut. Eksternal Auditor
tersebut harus bebas dari pengaruh Dewan Komisaris, Direksi dan pihak yang
berkepentingan di perseroan (stakeholders).
Perseroan harus menyediakan bagi Eksternal Auditor semua catatan akuntansi dan
data penunjang yang diperlukan sehingga memungkinkan Eksternal Auditor
memberikan pendapatnya tentang kewajaran, ketaat-azasan, dan kesesuaian
laporan keuangan Perseroan dengan standar akuntansi keuangan Indonesia. Para
Eksternal Auditor harus memberitahu Perseroan melalui Komite Audit mengenai
kejadian dalam perseroan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, (bila ada).
2. Komite Audit
Dewan Komisaris wajib membentuk Komite Audit yang beranggotakan satu atau
lebih anggota Dewan Komisaris. Dewan komisaris dapat meminta kalangan luar
dengan berbagai keahlian, pengalaman, dan kualitas lain yang dibutuhkan untuk
duduk sebagai anggota Komite Audit guna mencapai tujuan Komite Audit. Komite
Audit harus bebas dari pengaruh Direksi, Eksternal Auditordan dengan demikian
hanya bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris.
37
Penggantian anggota Komite Audit harus mendapat persetujuan lebih dari 50%
(lima puluh perseratus) jumlah anggota Dewan Komisaris. Tugas dan tanggung
jawab Komite Audit harus dirinci dalam peraturan tersendiri. Tugas dan tanggung
jawab Komite Audit, antara lain meliputi:
a. mendorong terbentuknya struktur pengawasan internal yang memadai
b. meningkatkan kualitas keterbukaan dan pelaporan keuangan
c. mengkaji ruang lingkup dan ketepatan Eksternalaudit, kewajaran biaya eksternal
audit serta kemandirian dan obyektifitas Eksternalauditor.
d. mempersiapkan surat (yang ditandatangani oleh ketua Komite Audit) yang
menguraikan tugas dan tanggung jawab Komite Audit selama tahun buku yang
sedang diperiksa oleh eksternal auditor, surat tersebut harus disertakan dalam
laporan tahunan yang disampaikan kepada pemegang saham Komite Audit
harus memiliki fasilitas dan kewenangan yang cukup untuk dapat melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya.
3. Informasi
Dewan Komisaris dan Direksi harus memastikan bahwa eksternal auditor, maupun
internal auditor dan Komite Audit memiliki akses informasi mengenai Perseroan
yang perlu untuk melaksanakan tugas audit mereka.
4. Kerahasiaan
Kecuali diisyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik
eksternal auditor dan internal auditor maupun Komite Audit harus merahasiakan
informasi yang diperoleh sewaktu melaksanakan tugasnya.
5. Peraturan Audit
RUPS harus menetapkan peraturan internal yang bersifat mengikat dan mengatur
berbagai aspek audit termasuk kualifikasi, hak dan kewajiban, tanggung jawab dan
kegiatan Eksternal Auditordan internal auditor.
38
2.6.3.5 Sekretaris Perusahaan
1. Fungsi Sekretaris Perusahaan
Dengan memperhatikan sifat khusus masing-masing perusahaan, pada dasarnya
Direksi dianjurkan agar mengangkat seorang Sekretaris Perusahaan yang bertindak
sebagai pejabat penghubung ("liaison officer") dan dapat ditugaskan oleh Direksi
untuk menatausahakan serta menyimpan dokumen perseroan, termasuk tetapi
tidak terbatas pada, Daftar Pemegang Saham, Daftar Khusus Perseroan dan risalah
rapat Direksi maupun RUPS.
2. Kualifikasi
Sekretaris Perusahaan harus memiliki kualifikasi akademis yang memadai agar
dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Fungsi Sekretaris
Perusahaan dapat dijalankan oleh seorang anggota Direksi Perusahaan.
3. Akuntabilitas
Sekreataris Perusahaan bertanggung jawab kepada Direksi perseroan.
4. Peran Sekretaris Perusahaan dalam Pengungkapan hal-hal tertentu
Sekretaris Perusahaan harus memastikan bahwa perseroan mematuhi peraturan
tentang persyaratan keterbukaan yang berlaku. Sekretaris Perusahaan wajib
memberikan informasi yang berkaitan dengan tugasnya kepada Direksi secara
berkala kepada Dewan Komisaris apabila diminta Dewan Komisaris.
2.6.3.6. Pihak-Pihak Yang Berkepentingan (Stakeholders)
1. Hak Pihak Yang Berkepentingan
Hak Pihak Yang Berkepentingan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan atau kontrak yang dibuat oleh perseroan dengan karyawan, pelanggan,
pemasok, dan kreditur, maupun masyarakat sekitar tempat usaha Perseroan, dan
pihak yang berkepentingan lainnya, harus dihormati perseroan. Selanjutnya kepada
39
Pihak Yang Berkepentingan diupayakan suatu cara yang memadai untuk
memulihkan hak mereka jika terbukti terjadi pelanggaran terhadap hak mereka.
2. Keikutsertaan pihak yang berkepentingan dalam pemantauan atau pemenuhan
peraturan perundang-undangan oleh Direksi
Pihak yang berkepentingan diberi kesempatan untuk mematuhi pemenuhan
peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh Direksi dan untuk
menyampaikan masukan mengenai hal tersebut kepada Direksi. Sedangkan
Perseroan harus memberikan kepada pihak yang berkepentingan informasi terkait
yang diperlukan untuk melindungi hak mereka. Perseroan akan bekerjasama
dengan pihak yang berkepentingan demi kepentingan bersama.
2.6.3.7 Keterbukaan
1. Keterbukaan yang tepat waktu dan akurat
Perseroan wajib mengungkapkan informasi penting dalam Laporan Tahunan dan
Laporan Perseroan kepada pemegang saham, dan instansi Pemerintah yang terkait
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tepat waktu,
akurat, jelas dan secara obyektif.
2. Hal-hal penting dalam pengambilan keputusan
Selain dari yang tercantum dalam Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan
sebagaimana disyarakat oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku,
perseroan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah
yang diisyaratkan oleh peraturan perundang-undangan namun juga hal yang
penting untuk pengambilan keputusan oleh pemodal, pemegang saham, kreditur,
dan pihak yang berkepentingan lainnya.
3. Pengungkapan atas kepatuhan terhadap pedoman
Perseroan harus secara aktif mengungkapkan bagaimana perseroan telah
menerapkan prinsip Good Corporate Governance yang dimuat dalam Pedoman ini
40
dan adanya penyimpangan dari dan atau ketidakpatuhan terhadap prinsip tersebut,
termasuk alasannya.
Hal ini harus meliputi pernyataan mengenai masalah corporate governance yang
khususnya dihadapi oleh perseroan sehingga pemodal dapat memahami bagaimana
suatu persetoran tertentu menghadapi masalah tersebut.
4. Pengungkapan informasi yang dapat mempengaruhi harga
Perseroan harus memastikan bahwa semua informasi yang dapat mempengaruhi
harga saham perseroan dan atau suatu produk perseroan dirahasiakan sampai
pengumuman mengenai harga tersebut dilakukan kepada masyarakat. Namun, jika
kerahasiaan tidak dapat dipertahankan sampai transaksi atau hal yang
bersangkutan terjadi, suatu pengumuman peringatan mungkin diperlukan untuk
mencegah terciptanya informasi yang menyesatkan, dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.6.3.8 Kerahasiaan
Anggota Dewan Komisaris dan Direksi yang memiliki saham dalam perseroan serta
setiap "orang dalam" (sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal yang berlaku), dilarang menyalahgunakan informasi penting
yang berkaitan dengan Perseroan. Informasi sehubungan dengan rencana
pengambilalihan, penggabungan usaha dan pembelian kembali saham pada umumnya
dianggap sebagai "informasi orang dalam". Anggota Dewan Komisaris, Direksi dan
para eksekutif perseroan yang bersangkutan dalam pelaksanaan rencana tersebut,
harus memberlakukan semua pemegang saham secara adil.
2.6.3.9 Etika Berusaha dan Anti Korupsi
Anggota Dewan Komisaris, Direksi dan karyawan Perseroan dilarang untuk
memberikan atau menawarkan, baik langsung ataupun tidak langsung, sesuatu yang
41
berharga kepada pelanggan atau seorang pejabat Pemerintah untuk mempengaruhi
atau sebagai imbalan atas apa yang telah dilakukannya dan tindakan lainnya sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Suatu tanda terima kasih dalam
kegiatan usaha, seperti hadiah, sumbangan atau "entertainment", sekali-kali tidak
boleh dilakukan pada suatu keadaan yang dapat dianggap sebagai perbuatan yang
tidak patut. Perseroan wajib membuat suatu pedoman tentang prilaku etis yang pada
dasarnya memuat nilai-nilai etika berusaha kepada siapa pedoman itu ditujukkan.
2.6.3.10 Donasi
Dana, aset, atau keuntungan perseroan yang terhimpun untuk kepentingan donasi
politik. Donasi politik oleh perseroan ataupun pemberian suatu aset Perseroan kepada
partai politik atau orang lebih calon anggota badan legislatif hanya boleh dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam batas kepatutan,
donasi untuk tujuan amal dapat dibenarkan.
2.6.3.11 Kepatuhan Kepada Peraturan Perundang-undangan Tentang Proteksi
Kesehatan, Keselamatan Kerja Dan Pelestarian Lingkungan
Direksi wajib memastikan bahwa perseroan, pabrik, toko, kantor dan lokasi usaha
serta fasilitas Perseroan lainnya, memenuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku berkenaan dengan pelestarian lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja.
Direksi wajib mengambil tindakan yang tepat untuk menghindari terjadinya kecelakaan
dan gangguan kesehatan di tempat kerja. Karyawan harus memperoleh tempat kerja
yang aman dan sehat. Dalam melaksanakan tugas ini, Direksi wajib memperhatikan
pengembangan proses industri yang selalu dapat berubah dari waktu ke waktu,
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan norma standar kehati-
hatian yang wajar.
42
2.6.3.12 Kesempatan Kerja Yang Sama
Direksi wajib menggunakan kemampuan bekerja, kualitas dan kriteria yang terkait
dengan hubungan kerja sebagai dasar satu-satunya dalam mengambil keputusan
mengenai hubungan kerja antara Perseroan dan karyawan.
Direksi harus mempekerjakan, menetapkan besarnya gaji, memberikan pelatihan,
menetapkan jenjang karir, serta menentukan persyaratan kerja lainnya, tanpa
memperhatikan latar belakang etnik seseorang, agama, jenis kelamin, usia, cacat
tubuh yang dipunyai seseorang, atau keadaan khusus lainnya yang dilindungi oleh
peraturan perundang-undangan.
Direksi wajib menyediakan lingkungan kerja yang bebas dari segala bentuk tekanan
(pelecehan) yang mungkin timbul sebagai akibat perbedaan watak, keadaan pribadi,
dan latar belakang kebudayaan seseorang.
2.6.4 Aspek-Aspek Good Corporate Governance
Menurut Djokosantoso Moeljono (2005, p.19), ada 5 aspek dari Good Corporate
Governance:
1. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan
dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan;
2. Kemandirian, yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional, tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat;
3. Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ
sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;
4. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;
43
5. Kewajaran, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
Menurut Sofyan Djalil (2005), ada empat aspek dalam Good Corporate Governance,
yaitu:
1. Transparansi (Transparacy)
Transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan.
Kepercayaan investor akan sangat tergantung dengan kualitas informasi yang
disampaikan perusahaan. Oleh karena itu perusahaan dituntut untuk menyediakan
informasi yang jelas, akurat, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan indikator-
indikator yang sama. Penyampaian informasi kepada publik secara terbuka, benar,
kredibel dan tepat waktu akan memudahkan untuk menilai kinerja dan risiko yang
dihadapi perusahaan. Beberapa praktek yang dikembangkan dalam rangka
transparansi diantaranya perusahaan diwajibkan untuk mengungkapkan transaksi-
transaksi penting yang berkait dengan perusahaan, keterbukaan dalam malaksanakan
proses pengambilan keputusan, risiko-risiko yang dihadapi dan rencana atau kebijakan
perusahaan (corporate action) yang akan dijalankan. Selain itu, perusahaan juga perlu
untuk menyampaikan kepada seluruh pihak struktur kepemilikan perusahaan serta
perubahan-perubahan.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas berhubungan dengan adanya sistem yang mengendalikan hubungan
antara organ-organ yang ada di perusahaan. Akuntabilitas diperlukan sebagai salah
satu solusi mengatasi agency problem yang timbul antara pemegang saham dan
direksi serta pengendaliannya oleh Komisaris. Oleh karena itu, akuntabilitas dapat
diterapkan dengan mendorong seluruh organ perusahaan menyadari tanggung-jawab,
wewenang dan hak-kewajibannya. Praktek-praktek yang diharapkan muncul dalam
menerapkan akuntabilitas diantaranya pemberdayaan Dewan Komisaris, memberikan
jaminan perlindungan kepada pemegang saham khususnya pemegang saham
44
minoritas dan pembatasan kekuasaan yang jelas di jajaran direksi. Pengangkatan
Komisaris Independen merupakan bentuk implementasi prinsip akuntabilitas, dengan
tujuan untuk meningkatkan pengendalian oleh pemegang saham terhadap kinerja
perusahaan.
3. Tanggungjawab (Responsibility)
Prinsip tanggung jawab menekankan pada ada sistem yang jelas untuk mengatur
mekanisme pertanggung-jawaban perusahaan kepada shareholder dan stakeholder.
Hal tersebut untuk merealisasikan tujuan yang hendak dicapai dalam Good Corporate
Governance yaitu mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkait dengan
perusahaan seperti masyarakat, pemerintah, asosiasi bisnis dan sebagainya. Prinsip
tanggung jawab juga berkait dengan kewajiban perusahaan untuk mematuhi semua
peraturan dan hukum yang berlaku. Kepatuhan terhadap ketentuan yang ada akan
menghindarkan dari sangsi baik sangsi hukum maupun sangsi moral masyarakat
akibat dilanggarnya kepentingan mereka.
4. Keadilan (Fairness)
Prinsip ini menekankan pada jaminan perlindungan hak-hak para pemegang saham,
termasuk hak-hak pemegang saham minoritas dan para para pemagang saham asing
serta perlakuan yang setara terhadap semua investor. Praktek fairness ini juga
mencakup adanya sistem hukum dan peraturan serta penegakannya yang jelas dan
berlaku bagi semua pihak. Hal ini penting untuk melindungi kepentingan pemegang
saham khususnya pemegang saham minoritas dari praktek kecurangan (fraud) dan
praktek-praktek insider trading.
2.6.5 Manfaat Good Corporate Governance
Implementasi Good Corporate Governance banyak memberikan manfaat baik bagi
perusahaan maupun pihak lain yang mempunyai hubungan langsung dan tak langsung
45
dengan perusahaan. Menurut Sofyan Djalil (2005), bagi perusahaan keuntungan yang
diperoleh dari penerapan good Good Corporate Governance adalah:
a. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan
yang lebih baik, meningkatkan efisiensi dan terciptanya budaya kerja yang sehat.
b. Meminimalkan kerugian akibat penyalahgunaan wewenang oleh Direksi (agency cost)
dan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan.
c. Meningkatkan kepercayaan investor dan pada akhirnya meningkatkan pula value
saham perusahaan.
d. Dengan adanya peningkatan kinerja perusahaan akan meningkatkan pula
shareholders's value dan dividen. Khususnya bagi BUMN hal ini akan membantu
penerimaan APBN untuk anggaran pembangunan baik dari bagian keuntungan
maupun pajak yang dibayarkan perusahaan.
e. Praktek Good Corporate Governance menempatkan karyawan sebagai salah satu
stakeholder yang harus dikelola dengan baik. Pengelolaan yang baik akan
meningkatkan motivasi dan kepuasaan kerja karyawan. Hal ini penting untuk
meningkatkan produktivitas perusahaan.
f. Meningkatkan citra positif perusahaan sekaligus meminimalkan cost akibat tuntutan
stakeholder kepada perusahaan.
2.6.6 Dampak Tidak Menerapkan Good Corporate Governance
Dampak sosial dari tidak menerapkan Good Corporate Governance bagi suatu
perusahaan:
1. Ketidakpercayaan pemegang saham, dengan indikasi merosotnya harga saham
Perusahaan yang bertalian di pasar modal yang dapat berakibat pemegang saham
mencabut mandatnya terhadap eksekutif Perusahaan tersebut;
46
2. Ketidakpercayaan karyawan, yang berindikasi pada tidak dipatuhinya kebijakan-
kebijakan yang telah ditetapkan oleh pimpinan, terjadinya demotivasi atau degradasi
moral karyawan, yang berakibat pada stagnasi aktivitas Perusahaan yang bertalian;
3. Ketidakpercayaan publik, yang berindikasi publik tidak mau memakai produk/jasa
Perusahaan yang bertalian atau melakukan gugatan/aksi massa (class action), yang
dapat berakibat pada kebangkrutan Perusahaan yang bertalian;
4. Ketidakpercayaan kreditur/mitra kerja, dengan indikasi kreditur/mitra kerja tidak
bersedia melakukan kerja sama dengan Perusahaan yang bertalian;
5. Ketidakpercayaan pemerintah, yang berakibat pada timbulnya kebijakan-kebijakan
pemerintah yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup Perusahaan yang bertalian
atau mempengaruhi kondisi perekonomian secara luas. (Sofyan Djalil,2005).
2.6.7 Peraturan Mengenai Good Corporate Governance
Menurut YYPMI (2002, p.23), Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas (UUPT) merupakan kerangka paling penting bagi perundang-
undangan mengenai Corporate Governance yang ada di Indonesia.
2.7 Hubungan Antara Budaya Perusahaan dan Good Corporate Governance
2.7.1 Budaya Perusahaan Sebagai Inti dari Good Corporate Governance
Djokosantoso Moeljono (2005, p.10) menyatakan bahwa budaya perusahaan menjadi
inti dari empat konteks, yaitu Good Corporate Governance, Manajemen, Corporate Sosial
Responsibilities, dan Etika Bisnis. Dikemukakan demikian, karena perusahaan yang unggul
dan terpuji biasanya memiliki ciri empat keunggulan tersebut. Pertama manajemennya
unggul sehingga perusahaan dapat mengkreasikan kinerja yang tinggi dan laba usaha
yang optimal. Kedua, proses manajemen yang unggul dijaga oleh praktik Good Corporate
Governance yang terdiri atas lima aspek pokok, yakni transparansi, independensi,
akuntabilitas, responsibilitas, dan keadilan. Good Corporate Governance merupakan
47
prasyarat kualitas pengelolaan korporasi yang disyaratkan dalam persaingan global.
Korporasi yang melaksanakan Good Corporate Governance memperoleh akseptansi yang
lebih tinggi. Korporasi yang menjunjung tinggi tanggung jawab sosial akan memperoleh
citra kelembagaan yang positif. Praktik ini sebenarnya digerakan oleh nilai perusahaan
yang mengatakan bahwa tanggung jawab sosial bukanlah tugas, melainkan "bagian dari
kehidupan korporasi". Akhirnya korporasi yang berbisnis dengan melandaskan diri pada
etika adalah korporasi yang mempunyai akseptansi yang tinggi, baik dalam lingkungan
bisnis, sosial, maupun politik.
Gambar 2.2 Budaya Perusahaan-Inti Empat Konteks
Sumber: Djokosantoso Moeljono, 2005, p.10
Menurut Djokosantoso Moeljono (2005, pp.74-75), budaya perusahaan merupakan sisi
dalam atau sisi nilai dari pengelolaan korporasi, atau menjadi bagian hulu dari Good
Corporate Governance dengan muatannya yang fokus pada basic values dari pengelolaan
korporasi yang kemudian diturunkan melalui sistem. Corporate Governance memberikan
perhatian pada bentuk fisik dan perilaku dari suatu perusahaan. Bentuk ini dapat
Profit & Performance
Public Imagery
Global New Imperative
Institution's acceptepness
Corporate Social Responsibilities
Ethics
Good Corporate Governance
Management
Corporate Culture
48
dikembangkan melalui peningkatan kemampuan (skill) dan peningkatan pengetahuan
(knowledge). Sementara itu, budaya perusahaan memberikan konsentrasi pada bentuk
sikap. Bentuk sikap ini merupakan kepribadian dari individu-individu dalam perusahaan,
sehingga kumpulan sikap dan interaksi kepribadian antarindividu dalam perusahaan akan
memunculkan karakter perusahaan. Oleh karena itu, sangat vital bagi suatu perusahaan
untuk membangun budaya perusahaan didalam dirinya. Tanpa itu, perusahaan ibarat
sebuah wadah tanpa nyawa. Perusahaan-perusahaan yang besar, kuat, dan hidup beratus
tahun sambil tetap menjadi idola dan pujaan adalah perusahaan-perusahaan yang
kompeten yang menggerakkan seluruh bagian tubuhnya atas perintah dari dalam
tubuhnya. Penggerak itu adalah budaya perusahaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
budaya perusahaan merupakan inti dari Good Corporate Governance.
2.8 Kerangka Pemikiran Teoritis dan Perumusan Hipotesis
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
Seringkali kebijakan yang diambil oleh suatu perusahaan dalam menghadapi suatu keadaan
tertentu, banyak dipengaruhi oleh kebiasaan yang sering dilakukan perusahaan dalam mengatasi
masalah yang sama pada masa lalu. Kebiasaan ini ada yang diciptakan dari awal berdirinya
perusahaan maupun berkembang dengan sendirinya. PT Astra International Tbk, sejak awal
berdirinya sudah memiliki filosofi perusahaan yang mendasari setiap kebijakan yang akan
Corporate Filosophy
Policies Corporate Culture
Corporate Governance
Kinerja Karyawan
49
dilakukan. Filosofi perusahaan ini berasal dari pendiri perusahaan. Berbagai kebijakan yang
dihasilkan perusahaan selalu didasari oleh filosofi perusahaan. Hal ini terus berkembang sehingga
secara tidak kasat mata terbentuk yang dinamakan budaya perusahaan. PT Astra International
Tbk secara berkesinambungan mendidik para karyawannya dengan budaya perusahaan mereka,
dengan maksud agar setiap karyawan dapat menjiwai dan mengimplementasikan budaya
perusahaan. Tujuannya agar budaya perusahaan dapat menjadi penuntun bagi kinerja karyawan.
Penelitian ini bermaksud untuk meneliti mengenai budaya perusahaan merupakan salah satu alat
yang dapat digunakan oleh perusahaan agar perusahaan memilki Good Corporate Governance.
2.9 Metodologi Penelitian
2.9.1 Jenis dan Metode Penelelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dengan jenis penelitian menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti, kemudian data diolah, diinterpretasikan dan
dianalisis sehingga dapat memberikan gambaran mengenai suatu hal. Menurut
Indriartono dan Bambang Supomo (2002, p.26), penelitian studi kasus merupakan
penelitian dengan karakteristik masalah berkaitan dengan latar belakang dan kondisi
saat ini dari subjek yang diteliti serta interaksinya dengan lingkungan. Tujuan penelitian
studi kasus adalah melakukan penyelidikan secara mendalam mengenai subjek tertentu
untuk memberikan gambaran lengkap mengenai subjek tertentu.
2.9.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (Library research)
dan penelitian lapangan (Field Research).
50
1. Penelitian kepustakaan (Library research)
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca,
mengumpulkan, mencatat, mempelajari textbook dan buku-buku pelengkap atau
referensi, seperti: jurnal, majalah, koran, jurnal ilmiah, website, brosur-brosur dan
media cetak lainnya di perpustakaan atau di tempat lainnya.
2. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian yang dilakukan untuk memperoleh data primer, yaitu yang berasal
langsung dari perusahaan, dalam hal ini PT Astra International Tbk, sehingga
kebutuhan akan data pokok penyusunan skripsi dapat dipenuhi. Untuk
mengumpulkan data, dengan cara:
a. Wawancara (Interview)
Peneliti melakukan tanya jawab dengan pihak perusahaan mengenai segala
sesuatu yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. (Nur Indriartono
dan Bambang Supomo, 202, p.152). Wawancara diadakan secara langsung
dengan staf dari PT Astra International Tbk.
b. Survey / Observasi
Peneliti melihat secara langsung kegiatan perusahaan sehari-hari yang berkaitan
dengan penyusunan skripsi ini.
c. Kuesioner
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan seperangkat
pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk mendapatkan
data. (Sugiono, 202, p.135).
51
2.9.3 Definisi Operasional dan Instrumen Pengukuran
Tabel 2.2 Definisi Operasional dan Instrumen Pengukuran
No. Variabel Dimensi Indikator Instrumen
Pengukuran
1. Budaya
Perusahaan
Budaya Astra Perilaku yang dilakukan
secara kolektif
Observasi,
Wawancara
Penerapan
Budaya Astra
Kejujuran, Bertanggung
jawab, kesetaraan,
Ketaatan pada Peraturan,
Penghindaran Kepentingan
Pribadi
Kuesioner
2. Good
Corporate
Governance
Transparansi
(hal 43)
Keterbukaan dalam
pengambilan keputusan,
dan Akses terhadap
informasi perusahaan
Kuesioner
Responsibilitas
(hal 43)
Taat terhadap peraturan Kuesioner
Akuntabilitas
(hal 44)
kejelasan fungsi,
pelaksanaan dan
pertanggungjawaban
Manajemen
Kuesioner
Kewajaran
(hal 44)
Perlindungan hak-hak
pemegang saham
Kuesioner
Kemandirian
(hal 44)
perusahaan dikelola secara
profesional
Kuesioner
52
2.9.4 Teknik Analisis Data
Data-data yang sudah terkumpul akan dianlisis menggunakan software SPSS (Statistical
Product and Service Solutions) 10.0. Beberapa analisis yang akan dilakukan antara lain:
a. Korelasi Pearson
Menurut Arif Pratisto (2004, p.83), korelasi dapat diartikan sebagai hubungan. Analisis
korelasi bertujuan untuk mengetahui pola dan keeratan hubungan antara dua atau lebih
variabel. Koefisien korelasi dilambangkan dengan huruf ( R ). Koefisien korelasi dinyatakan
dengan bilangan, bergerak antara 0 sampai +1 atau 0 sampai –1. Apabila korelasi
mendekati +1 atau -1 berarti terdapat hubungan yang kuat, sebaliknya korelasi yang
mendekati nilai 0 berarti lemah. Apabila korelasi sama dengan 0, antara kedua variabel
tidak terdapat hubungan sama sekali. Pada korelasi +1 atau -1 terdapat hubungan yang
sempurna anatara kedua variabel. Notasi positif (+) atau negatif (-) menunjukkan arah
hubungan antara kedua veriabel. Pada notasi positif (+), hubungan antara kedua variabel
searah, jadi jika satu variabel naik maka variabel yang lain juga naik. Pada notasi negatif
(-), kedua variabel berhubungan terbalik, artinya jika satu variabel naik maka variabel yang
lain justru turun.
Rumus korelasi Pearson (Arif Pratisto, 2004, p.87) :
-
r=
b. Crosstab
Digunakan untuk melihat hubungan antara variabel satu dengan lainnya.
c. Regresi Linear
Menurut J. Supranto (2001, p.178), apabila dua variabel X dan Y mempunyai hubungan
(korelasi), maka perubahan nilai variabel yang satu akan mempengaruhi nilai variabel
(n Σ XiYi ) n
I = 1
(Σ Xi ) (Σ Yi )
√nΣ Xi 2 - (Σ Xi )2 √nΣ Yi 2 - (Σ Yi )2 n
n n
nnn
I = 1 I = 1
I = 1 I = 1 I = 1 I = 1
53
lainnya. Hubungan variabel dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi, misalnya Y = f (X).
Apabila bentuk fungsinya sudah diketahui, maka dengan mengetahui nilai dari satu variabel
(=X), maka nilai variabel lainnya (=Y) dapat diperkirakan atau diramalkan. Variabel yang
akan diramalkan harus dituliskan pada ruas kiri persamaan dan disebut variabel tidak
bebas, sedangkan variabel yang nilainya dipergunakan untuk meramalkan disebut variabel
bebas. Untuk membuat ramalan Y dengan menggunakan nilai X, maka X dan Y harus
mempunyai hubungan yang kuat. Kuat tidaknya hubungan X dan Y diukur dengan suatu
nilai, yang disebut koefisien korelasi, sedangkan besarnya pengaruh X terhadap Y, diukur
dengan koefisien regresi. Fungsi linear, mempunyai bentuk persamaan sebagai berikut:
Y = A + BX
Dimana A dan B adalah konstanta atau parameter, yang nilainya harus diestimasi.
A = {(ΣYi) (ΣXi2) – (ΣXi) (ΣXi Yi) } : {nΣ Xi2 – (ΣXi)2}
B = n{ΣXi Yi - ΣXi x ΣYi} : {n Σ Xi2 – (ΣXi)2}
c. Matriks CG-CC
Dari hasil perhitungan, maka akan didapatkan peranan dari budaya perusahaan terhadap
pelaksanaan corporate governance. Lalu dianalisis untuk mengetahui langkah yang harus
diambil oleh perusahaan.
Tabel 2.3 Matriks CG- CC
Rendah Tinggi
Tinggi Lebih
Internalisasikan
Budaya
Pertahankan Budaya
Yang Ada
Rendah Tingkatkan
Sosialisasi
Penerapan Budaya
Ubah Budaya
Yang Ada
Hubungan Budaya dengan GCG
Penerapan Budaya Perusahaan
54
Matriks CG-CC ini didapatkan dari diagram pencar. Menurut J. Supranto (2001, p.203),
kumpulan pasangan nilai observasi yang membentuk diagram pencar (scatter diagram)
dibagi menjadi 4 bagian yaitu kuadran I, II, III, IV.
Y
X
Gambar 2.4 Diagram Pencar dengan pasangan (X,Y)
Sumber: J.Supranto, 2001, p.203
X = Σ Xi : n Y = Σ Yi : n
X = Σ X : k Y = Σ Y : k
dimana :
n = banyaknya jumlah sampel
k = banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi
Di dalam penelitian ini, penyusun akan meneliti 2 variabel yaitu budaya perusahaan dan
Good Corporate Governance. Penerapan budaya perusahaan merupakan variabel bebas (X)
dan pelaksanaan Good Corporate Governance sebagai variabel terikat (Y). Data diambil dari
hasil kuesioner yang menggunakan skala Likert. Menurut Sugiono (2003, p.86), skala Likert
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang
tentang fenomena sosial. Dalam penelitian fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik
oleh peneliti, yang selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian. Dengan skala Likert, maka
variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut,
I II
III IV
Y
X
55
dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa
pertanyaan atau pernyataan. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert
mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Untuk penelitian ini, bobot pada
jawaban skala penerapan budaya perusahaan dan hubungan budaya dengan Good Corporate
Governance ditetapkan:
Tabel 2.4 Gradasi Jawaban Kuesioner
Jawaban Bobot
Selalu 5
Sangat Sering 4
Sering 3
Kadang-Kadang 2
Tidak Pernah 1
d. Uji Validitas
Menurut Sinamora (2002, p.58), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan
tingkat kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dianggap valid apabila mampu
mengukur apa yang diinginkan. Dengan kata lain, mampu memperoleh data yang tepat
dari variabel yang diteliti.
Jenis validitas pengukuran dalam penelitian ini, terkait dengan validitas konstruksi.
Validitas konstruksi ini lebih terarah pada pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya
diukur oleh alat pengukur yang ada (Santoso, 2001, p.57).
e. Uji Reliabilitas
Menurut Sinamora (2002, p.63), reliabilitas adalah tingkat keandalan kuesioner.
Kuesioner yang reliabel adalah kuesioner yang apabila dicobakan secara berulang-ulang
kepada kelompok yang sama akan menghasilkan data yang sama. Asumsinya, tidak
terdapat perubahan psikologis pada responden. Memang, apabila data yang diperoleh
sesuai dengan kenyataan, berapakali pun pengambilan data dilakukan hasilnya tetap sama.
56
Pada penelitian ini, alat ukur yang akan digunakan untuk uji reliabilitas adalah
Cronbach Alpha dengan perhitungan dengan SPSS 10.0. Menurut Santoso (2001, p.274),
Cronbach Alpha berguna untuk mengetahui apakah pengukuran yang dibuat reliabel atau
jawaban responden cendeerung sama walaupun diberikan kepada orang lain dan bentuk
pertanyaan yang berbeda.
2.9.5 Kelemahan Teknik Analisis Data
Kelemahan teknik analisa data yaitu hanya memperhatikan variabel-variabel yang diuji,
padahal dalam kenyataannya, suatu peristiwa terjadi bukan hanya disebabkan oleh satu atau
dua faktor saja melainkan melibatkan banyak faktor.