bab 2 revisi
DESCRIPTION
Tinjauan PustakaTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak seperti
bahan makronutrien lain (lemak dan karbohidrat), protein ini berperan lebih penting
dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Namun demikian
apabila organisme sedang kekurangan energi, maka protein ini terpaksa dapat juga
dipakai sebagai sumber energi. Kandungan energi protein rata-rata 4 kilokalori/gram
atau setara dengan kandungan energi karbohidrat (Sudarmadji dkk., 1996).
Ada empat tingkat struktur dasar protein, yaitu struktur primer, sekunder,
tersier, dan kuartener. Struktur primer menunjukkan jumlah, jenis dan urutan asam
amino dalam molekul protein. Oleh karena ikatan antara asam amino ialah ikatan
peptida, maka struktur primer protein juga menunjukkan ikatan peptida yang
urutannya diketahui (Poedjiadi, 1994).
Menurut Poedjiadi (1994), untuk mengetahui jenis, jumlah dan urutan asam
amino dalam protein dilakukan analisis yang terdiri dari beberapa tahap yaitu:
1. Penentuan jumlah rantai polipeptida yang berdiri sendiri.
2. Pemecahan ikatan antara rantai polipeptida tersebut.
3. Pemecahan masing-masing rantai polipeptida, dan
4. Analisis urutan asam amino pada rantai polipeptida.
Ditinjau dari strukturnya protein dapat dibagi dalam dua golongan besar,
yaitu golongan protein sederhana dan protein gabungan. Yang dimaksud dengan
protein sederhana ialah protein yang hanya terdiri atas molekul-molekul asam amino,
sedangkan protein gabungan ialah protein yang terdiri atas protein dan gugus bukan
protein. Gugus ini disebut gugus prostetik dan terdiri atas karbohidrat, lipid atau
asam nukleat. Protein sederhana dapat dibagi dalam dua bagian menurut bentuk
molekulnya, yaitu protein fiber dan protein globular. Protein fiber mempunyai bentuk
molekul panjang seperti serat atau serabut sedangkan protein globular berbentuk
bulat (Poedjiadi, 1994).
Ada beberapa cara yang digunakan untuk penentuan protein dalam bahan
makanan, salah satunya yaitu cara Biuret. Cara Biuret yaitu reaksi pembentukan
kompleks berwarna untuk gugus peptida (-CO-NH-) dan protein. Reaksi positif
ditandai dengan terbentuknya warna ungu, karena terbentuk senyawa kompleks
antara Cu2+ dan N dari ikatan peptida pada molekul protein. Selain digunakan dalam
analisis kualitatif, cara Biuret dapat digunakan untuk analisis kuantitatif yang
didasarkan pada reaksi antara Cu2+ dengan peptida dalam lingkungan alkali yang
membentuk kompleks ungu. Ion Cu2+ membentuk kompleks koordinasi dengan
empat gugus –NH dari rantai polipeptida. Kedua, cara Lowry yaitu reaksi antara Cu2+
dengan ikatan peptida dan reduksi asam fosfomolibdat dan asam fosfotungstat oleh
tirosin dan triptofan (merupakan residu protein) yang akan menghasilkan warna biru.
Warna yang terbentuk terutama dari hasil reduksi fosfomolibdat dan fosfotungstat,
oleh karena itu warna yang terbentuk tergantung pada kadar tirosin dan triptofan
dalam protein. Metode Lowry mempunyai keuntungan karena 100 kali lebih sensitif
dari metode Biuret (Fajriati dan Royadi, 2009).
Pada metode Lowry ini protein dengan asam fosfotungstat-fofomolibdat
pada suasana alkalis akan memberikan warna biru yang intensitasnya bergantung
pada konsentrasi protein yang tertera. Konsentrasi protein yang diukur berdasarkan
optikal density pada panjang gelombang 600 nm (OD terpilih). Untuk mengetahui
banyaknya protein dalam larutan, lebih dahulu dibuat kurva standar yang melukiskan
hubungan antara Bovine Serum Albumin (BSA) atau albumin serum darah sapi.
Larutan Lowry ada dua macam yaitu larutan A yang terdiri dari fosfotungstat-
fosfomolibdat (1 : 1) dan larutan Lowry B yang terdiri dari Na-karbonat 2 % dalam
NaOH 0,1 N, kupri sulfat dan Na-K-Tartrat 2 %. Cara penentuannya adalah 1 mL
larutan protein ditambah 5 mL Lowry B, dokocok dan dobiarkan selama 10 menit.
Kemudian ditambahkan 0,5 mL Lowry A, dikocok dan dibiarkan 20 menit,
selanjutnya diamati OD-nya pada panjang gelombang 600 nm. Cara Lowry ini 10-20
kali lebih sensitif daripada cara UV atau cara Biuret (Sudarmadji dkk., 1996).
Padi merupakan bahan makanan pokok di negara-negara Asia, yang kaya
akan protein maupun pati. Bahan makanan yang kaya akan kandungan protein
tersebut telah dikembangkan menjadi tepung beras. Kandungan protein dan
komposisi lain sangat mempengaruhi kualitas dari bahan olahan oleh karena itu
analisa protein sangatlah penting. Analisa kimia (metode Kjeldahl) adalah metode
yang sangat tradisional yang digunakan untuk menentukan kadar protein. Namun,
metode ini sangat memakan banyak waktu (Chen dkk., 2008).
Tanin merupakan senyawa poliphenol dengan bobot molekul tinggi dan
mempunyai kemampuan mengikat protein. Albumin berdasarkan strukturnya
termasuk protein sederhana dengan bentuk molekul globular. Optimalisasi
pengikatan tanin daun nangka dengan protein Bovine Serum Albumin (BSA)
dilaksanakan dalam dua tahap penelitian. Penelitian tahap pertama adalah penentuan
kadar tanin daun nangka dan penentuan kadar tanin kondensasi daun nangka
yang berasal dari lokasi dengan jenis tanah mediteran. Penelitian tahap kedua
adalah optimalisasi pengikatan tanin daun nangka dengan protein bovine serum
albumin. Penelitian tahap kedua dilakukan dengan dua metode pengukuran,
yaitu dengan metode presipitasi protein oleh senyawa phenolik dan penentuan
kadar protein menggunakan metode Lowry (Sasongko dkk., 2010).