bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penyelundupan dan perdagangan manusia merupakan salah satu bagian dari
kejahatan transnasional yang sangat sulit untuk diprediksi dan tidak cukup sanksi
pada pelakunya dibandingkan dengan kejahatan-kejahatan transnasional lainnya
seperti halnya penyelundupan obat-obatan terlarang. Pada kenyataannya hal ini
diperburuk dengan lemahnya kesadaran negara anggota ASEAN dalam
meminimalisir tindak kejahatan semacam ini. Fakta menunjukkan bahwasanya
kejahatan ini melibatkan pula perdagangan buruh illegal dari Indonesia dan Philipina
ke Malaysia dan dari Asia Selatan1.
Secara umum kita ketahui perempuan dan anak-anak paling sering menjadi
korban dalam kasus ini. Fenomena perdagangan manusia khususnya perempuan dan
anak pada umumnya adalah untuk tujuan eksploitasi seksual, mereka banyak
dijadikan sebagai pekerja seks komersial (eksploitasi tenaga kerja dan diperlakukan
secara seksual) untuk kepentingan lainnya dengan mengabaikan kepentingan korban
dan meperlakukan mereka bukan lagi sebagai manusia seutuhnya tetapi cenderung
sebagai komoditas.2 Thailand dan Kamboja merupakan tujuan utama, tidak hanya di
Asia Tenggara namun juga salah satu tujuan bagi para pedagang wanita dan anak di
seluruh belahan dunia lainnya.
1 Bambang Cipto, 2010, Hubungan Internasional di Asia Tenggara – Teropong Terhadap Dinamika,
Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2 Budi Winarno, 2011, Isu-Isu Global Kontemporer, Jakarta : PT. Buku Seru.
2
Selain dipekerjakan dalam prostitusi, korban perdagangan manusia yang
terjadi di Thailand juga dipekerjakan sebagai buruh dengan upah rendah. Pada
umumnya yang menjadi korban adalah penduduk dari negara Thailand itu sendiri.
Pada tahun 2010, 23% penduduk Kamboja yang menjadi korban perdagangan
manusia di deportasi oleh Pemerintah Thailand di perbatasan Poipet. Berdasarkan
hasil dari salah satu studi dari UNIAP (United Nations Inter-Agency Project on
Human Trafficking) mencatat bahwa setiap tahunnya Pemerintah Thailand melakukan
deportasi terhadap lebih dari 23.000 penduduk Kamboja yang menjadi korban
perdagangan manusia. Disaat yang sama 57% pekerja migran Myanmar mengalami
kekerasan di sektor perikanan.3
Indonesia sendiri menunjukkan bahwa data dari lembaga International
Labour Organization (ILO) terdapat 218 juta anak terjerat dalam eksploitasi tenaga
anak pada tahun 2004. Data tersebut diklasifikasikan dalam persentase yakni usia 5-
11 tahun, anak laki-laki 49% dan anak perempuan 51% dan kelompok usia 12-14
tahun, anak laki-laki 55% dan anak perempuan 45%.4
Walaupun semua negara anggota ASEAN telah meratifikasi konvensi ataupun
protokol PBB terkait pencegahan dan perlawanan kejahatan transnasional ini, namun
pada kenyataannya proses realisasi dari hukum dan aturan itu tidak begitu mampu di
3Anti Labor Trafficking,2012.Thailand Tier 2 Watch List [Online] dalam http://anti-labor-
trafficking.org/component/content/article/17-News/143-THAILAND-%28Tier-2-Watch-List%29.html [Diakses pada 11 Juni 2014]. 4International Labour Organization,Fakta tentang pekerja anak perempuan,pada
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_160832.pdf diakses tanggal 9 Oktober 2014 Pukul 15.20. WIB
3
adaptasi dan di maksimalkan daya gunanya sebagai sebuah bentuk aturan atau norma
di masing-masing negara. Penulis merasa setiap negara tidak hanya Indonesia sama-
sama memiliki tujuan dan kepentingan dalam mensejahterakan masyarakatnya untuk
tidak secara serta merta mereka melegalkan kejahatan yang terjadi di negara mereka
masing-masing, apalagi berkenaan dengan kejahatan transnasional yang secara
gamblang kita ketahui dampaknya sangat merugikan dan sangat signifikan terhadap
aspek yang ada dalam suatu negara itu.
Melihat dari banyak sudut pandang yang berbeda membuat permasalahan ini
kemudian menjadi sangat penting bagi penulis untuk mengkaji perwujudan atas
tujuan negara bangsa Indonesia dalam mencapai penyelesaian atau keselarasan dari
permasalahan yang kian lama kian meresahkan masyarakat internasional itu sendiri.
Pasalnya adalah walaupun tiap bangsa dan negara di setiap belahan dunia berusaha
memperkuat sistem keamanan dan pertahanan negaranya untuk meminimalisir
terjadinya tindak kejahatan transnasional terorganisir ini namun semakin kuat sebuah
tameng negara itu maka tidak menutut kemungkinan semakin kuat dan berkembang
pula kejahatan terorganisir ini, karena banyaknya problematika di era globalisasi ini
membuat negara terkadang menjadi tidak mampu mengimbangi antara permasalahan
dan solusi dalam setiap permasalahan itu bagi kesejahteraan individu didalamnya,
dalam arti lain negara akan bersikap tidak fokus kepada satu problem yang lama
demi menindak lanjuti problem baru yang lebih krusial mengingat komplektisitas
problematika era globalisasi saat ini sangat meningkat, itu mengapa penulis juga
ingin mencoba melihat bahwasanya negara tidak akan mampu mengontrol individu,
sistem dan bahkan keamaan negara bangsanya sendiri tanpa peran serta negara lain
4
atau bahkan organisasi terkait seperti PBB yang bergerak dalam setiap bidang
promblematika yang krusial di setiap negara annggotanya demi mewujudkan
kepentingan nasionalnya dalam mencapai keamanan dan kesejahteraan
masyarakatnya di semua bidang atau aspek yang ada.
Contoh kasus nyata terkait human trafficking itu sendiri yakni menurut
laporan ILO menyebutkan bahwa seorang anak perempuan yang masih berumur
belasan tahun haus mengalami nasib buruk akibat tidak adanya perlindungan bagi
anak tersebut. Sebut saja namanya Wati yang dijelaskan oleh ILO sebagai nama
samaran, sejak berusia 10 tahun Wati telah putus sekolah dan menjadi pedagang
asongan, namun selang beberapa waktu, Wati bertemu dengan oknum yang mengaku
sebagai pencari agen guide di Bali, namun pada kenyataannya selain memandu wisata
para turis dan pelancong mancanegara tersebut Wati juga menjadi budak, pasalnya
adalah Wati harus menuruti nafsu para pelaku dan oknum-oknum nakal terkait
kejahatan transnasional tersebut.5 Kasus Wati disini mampu menunjukkan realita
yang ada di sekitar kita terkait kasus human trafficking yang melibatkan wanita dan
anak-anak untuk diperlakukan tidak layak sebagai pelaku seks komersial.
Data UNICEF menunjukkan data dan fakta bahwasanya masih ada perempuan
dibawah umur terbukti melakukan perbuatan illegal yang ditaksir mencapai 30%
akhirnya menjadi pekerja seks komersial yang seharusnya mereka yang berumur 18
tahun tidak melakukan hal yang demikian, jangankan umur 18 tahun bahkan kasus
yang ada di lapangan juga menunjukkan adanya anak berumur berkisar 10 tahunan-
pun terjerat kasus yang demikian. Hal ini kemudian dilaporkan bahwasanya sekitar
5Ibid.
5
40.000-70.000 anak benar-benar dijerumuskan kedalam kehidupan kelam yang kita
kenal sebagai eksploitasi seks. Dibuktikan pula kurang lebih 100.000 anak
dikorbankan sebagai komoditas setiap tahunnya. Semakin besar dan berkembangnya
fenomena kejahatan yang demikian menjadikan hal ini semakin marak terjadi hingga
lintas negara seperti fakta yang ada dikatakan bahwasanya tujuan dari korban ini
paling utama yakni di perdagangkan ke Malaysia, Singapura, Brunei, Taiwan, Jepang
dan Arab Saudi. 6
Telah banyak protokol-protokol PBB yang telah di adopsi oleh negara-negara
dibelahan dunia ini, khususnya beberapa negara Asia Tenggara yang merupakan
kelompok negara dunia ketiga yang mana setiap negara anggotanya memiliki banyak
kelemahan dalam proses kekebalan dari kejahatan baik dari dalam dan bahkan dari
luar (kejahatan transnasional). Indonesia merupakan negara anggota ASEAN dan
anggota PBB yang secara berkesinambungan berupaya untuk meminimalisir atau
bahkan mencegah segala kejahatan transnasional tersebut terjadi di dalam negeri
Indonesia itu sendiri atau secara langsnng mampu menertibkan setiap anggota lain di
Asia Tenggara untuk mulai bangkit dan memerangi kejahatan trannsnasional dan
nasional itu sendiri. Maka dengan inilah penulis merasa tertantang untuk mencoba
merealisasikan asumsinya mengenai hukum dan UU yang telah berhasil di ratifikasi
beberapa negara anggota ASEAN dan Indonesia pada khususnya yang terlebih
dahulu meratifikasi Protocol United Nation Convention Againts Transnational
6Data unicef : di akses pada tanggal 20 oktober 2014, pukul 9.15 di :
http://www.unicef.org/indonesia/id/Factsheet_CSEC_trafficking_Indonesia_Bahasa_Indonesia.pdf
6
Organized Crime7 yang telah direalisasikan dalam bentuk UU No.5 Tahun 2009
yang sangat terikat sekali dengan tujuan utama kepentingan Indonesia dalam
mencapai kemananan nasional dalam mensejahterakan masyarakatnya yang hal ini
kemudian menjadi penting untuk diteliti menjadi sebuah skripsi yang berjudul
“Upaya Indonesia dalam Mendorong Negara-Negara Asia Tenggara Agar
Mengoptimalkan Protocol UNTOC Terkait Human Trafficking dalam Prostitusi
dan Perdagangan Anak”
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana upaya Indonesia dalam mendorong Negara-Negara Asia Tenggara
agar mengoptimalkan protokol UNTOC ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Mengamati apa saja upaya-upaya yang dilakukan Indonesia terkait usahanya
dalam meminimalisir ancaman fenomena human trafficking di Indonesia dan Asia
Tenggara.
1.3.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat akademis
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan penulis adalah mampu
menganalisa fenomena maraknya Human Trafficking serta cara dan upaya
Indonesia dalam meminimalisir tindak kejahatan transnasional dalam
7Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2009, di akses 24 april 2014. Pukul 05:00 WIB
dihttp://www.bpkp.go.id/uu/file/2/26.bpkp.
7
prostitusi dan perdagangan anak yang terorganisisr yang terjadi di Asia
Tenggara pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan
penulis dan khalayak banyak terhadap pola keterkaitan hukum dan keamanan
di negara-negara anggota Asia Tenggara.
1.4 Penelitian Terdahulu
Anissa Jihan Andari dalam Jurnalnya yang berjudul Analisa Viktimisasi
Struktural Terhadap Tiga Korban Perdagangan Perempuan dan Anak8 tersebut
penulisnya menganalisis dari kacamata kriminal yang dikaitkan dengan bagaimana
sudut pandang kriminolog dalam memandang setiap kasus kejahatan yang marak
terjadi lebih-lebih di era globalisasi yang semakin lama semakin tiada batasan antara
negara, tiada batasan waktu dan tiada batasan individu dan individu, penulisnya pun
berusaha berargumen dalam konteks secara global dimana dalam prespektif
kriminologis setidaknya ada 4 isu yang dibahas yakni (1) kejahatan, (2) pelaku
kejahatan, (3) korban kejahatan dan (4) reaksi sosial masyarakat. Hal ini memiliki
sudut pandang kajian yang sama pembahasan skripsi ini. Namun ada perbedaan
mendasar yakni secara gamblang penulis jurnal ini menjelaskan permasalahan ini
dengan menggunakan eksplanatif karena penulisnya menjelaskan secara jelas dan
runtut asal muasal permasalahan hingga proses penyelesaian konflik atau masalah
yang tertuai di dalam jurnal ini. Dalam jurnal ini juga menggunakan penelitian secara
8Annisa Jihan Andari, Analisis Viktimisasi Struktural Terhadap Tiga Korban Perdagangan Perempuan
Dan Anak Perempuan, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 7 No.Iii Desember 2011 : 307 – 319.
8
kualitatif dimana setiap data yang diperoleh sebagian besar didapatkan dari hasil
tulisan atau kutipan penelitian orang terdahulu mengenai pembahasan ini, dan di
orisinilkan ke dalam jurnal dalam kajian kasus yang berbeda dan menarik. Topik
ataupun kasus yang dibahas dalam jurnal ini mengenai tindak kejahatan transnasioal
yang semakin marak terjadi dalam skala global, yang secara jelas sangat berbeda
dengan sudut dan batasan masalah dalam penelitian skripsi ini.
Dalam jurnal ini penulisnya juga memandang kasus ini dari kacamata
kriminologi realis, yang melihat adanya dua isu besar yang diabaikan yaitu isu
mengenai kejahatan kekerasan dan isu perempuan sebagai korban kejahatan. Ini
dibuktikan dari adanya laporan dari United Office on Drugs and Crime (UNODC)
yang mengungkapkan bahwa pada tahun 2006 dari 136 negara yang melaporkan
tindak pidana perdagangan perempuan dua pertiga dari korban tersebut adalah
perempuan dan 79 persen merupakan korban untuk tujuan eksploitasi seksual. Hal ini
juga didukung data korban dari International Organization for Migration (IOM) yang
telah diolah oleh United States Government Accountability Office (GAO) yang
menunjukkan bahwa korban perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual
sebesar 81 persen, dan untuk tujuan ekonomi atau perburuhan sebesar 14 persen dan
sebesar 5 persen untuk tujuan ekspolitasi lainnya. Dari hasil pengumpulan data di atas
asumsi penulis mengarah pada hasil persentasi itu mampu membuktikan arah dari
tindak kejahatan itu berujung pada pengeksploitasian massa yang dijadikan korban
tindakan bejat tersebut.
Dalam asumsi dasarnya pun dijelaskan bahwasanya walaupun secara implisit
faktor kemiskinan dan ketidaksetaraan gender menjadi poin utama dalam kejahatan
9
ini, namun ditariklah keselarasan dari konsep feminism yang pada akhirnya
membuktikan bahwasanya penyebab anak-anak dan perempuan rentan menjadi
korban perdagangan manusia adalah pertama, menguatnya ideologi patriarki dalam
masyarakat dan Negara. Ideologi ini melihat posisi anak dan perempuan sebagai
objek, dan bukan subjek patriarki, sehingga mereka mendapatkan posisi kedua atau
subordinat di mana anak dan perempuan tidak memiliki posisi tawar terhadap
keinginan orang tuanya. Dua, tingkat pendidikan yang rendah bagi perempuan, lalu
kekerasan terhadap perempuan yang merupakan alat bagi laki-laki untuk
menunjukkan kekuasaannya, dan juga pernikahan dini (early marriage).
Kemudian pada pemaparan Thamrin A. Tomagola dalam jurnal ini berasumsi
bahwasanya kekerasan terhadap perempuan terjadi karena posisi vertikal laki-laki dan
perempuan di dalam masyarakat. Persamaan yang paling mencolok antara masyarakat
yang mengenal, menerima, mentolerir, bahkan merestui kekerasan terhadap
perempuan adalah meluasnya pola-pola hubungan vertikal-dominatif dan pola
hubungan diagonal-dominatif dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik antara laki-
laki dan perempuan. Maksudnya adalah laki-laki menempati posisi superordinat
dimana laki-lakilah yang mendominasi perempuan dalam setiap aspek, baik itu aspek
ekonomi, aspek sosial, dan bahkan aspek politik.
Dalam buku karangan Bambang Cipto ini terdapat sub-bab yang bertema
Perdagangan Obat-Obatan9, dimana didalamnya dipaparkan tentang bagaimana
ASEAN menjadi pusat perdagangan obat-obatan terlarang di dunia, dalam buku ini
penulisnya melihat permasalahan ini kemudian dijabarkan dengan sangat jelas yang
9 Bambang Cipto, Op.Cit. hal.228.
10
bermula dari sejarahnya terlebih dahulu, maka dengan demikian dapat dikatakan
penulisnya memakai metode eksplanatif untuk merangkai tulisannya, dan setidaknya
dalam problematika ini ASEAN secara langsung mengajak organisasi bangsa yakni
PBB dan bahkan China untuk secara formal membahas permasalahan ini dan
berusaha mencari titik temu permasalahan ini, dimana dalam kacamata hubungan
internasional hal yang demikian disebut dengan konsep liberal, dimana negara
bangsa berusaha memecahkan masalahnya baik dalam sekala nasional maupun skala
regional atau bahkan internasional dengan menegosisasikannya dengan negara lain
sebagai bentuk saling peduli antar bangsa dan atau dengan mengajukan permohonan
terhadap PBB untuk disegerakannya bertindak demi keamanan dan ketentraman
negara yang berkonflik tersebut. Dalam pembahasan buku ini sangat jalas ada
perbedaan sudut pandang penelitiannya dengan proposal skripsi ini, karena dalam
buku ini penulisnya lebih kearah penjabaran secara eksplanatif sedangkan dalam
kajian skripsi ini penulis lebih pada deskriptif analitik, walaupun demikian memiliki
sedikitnya kemiripan terhadap konsepsi secara liberalis dan juga pembahasan dalam
karangan buku inimengangkat fenomena kejahatan transnasional namun dari segi
perdagangan obat-obatan terlarang.
Di dalam buku tersebut dikatakan bahwasanya The Golden Triangle atau
segitiga emas adalah sebuah kawasan yang terletak di Asia Tenggara. Segitiga emas
ini terdiri dari daerah Thailand utara, Laos bagian barat, dan Myanmar bagian timur.
Di kawasan inilah narkotika, heroin, dan amphetamine diproduksi dan disebarkan
keseluruh penjuru dunia. Bisnis dengan keuntungan berlipat-lipat ini membuat
pelaku-pelaku utamanya, khususnya di kawasan Myanmar sangat sulit ditaklukkan.
11
Junta Myanmar bahkan cederung mengambil garis lunak dan memberi otonomi bagi
etnis Wa yang dikenal sebagai produsen utama amphetamine. Dari kawasan segitiga
emas ini obat-obatan terlarang kemudian disalurkan ke Thailand. Jalur lain melalui
Yunan, Guang Dong, Hongkong dan Makau. Jalur transit lain adalah Vietnam,
Kamboja, dan Philipina dan dari kawasan ini obat-obatan terlarang tersebut akan
diedarkan keseluruh dunia termasuk ke Asia, yang mulai meningkat daya serapnya
terhadap amphetamin.
Dalam kajian buku ini dijelaskan pula bahwasanya dalam rangka menertibkan
problematika obat-obatan terlarang ini negara-negara ASEAN tidak hanya melibatkan
negara-negara anggotanya, namun persoalan ini mendorong ASEAN untuk bertindak
hingga mengajak PBB, dalam hal ini United Nation Office of Drug Control and
Crime Prevention (UNDP). Kemudian pertemuan ini menghasilkan Bangkok
Politikal Declaration in Persuit of a Drug-Free ASEAN 2015. Bukan hanya itu
namuan ASEAN juga telah mengembangkan kerjasamanya untuk penyelesaian kasus
ini dengan melayangkan kerjasama khusus dengan China guna menanggulangi
ancaman kejahatan transnasional ini melalui ACCORD (ASEAN and China
Cooperative Operations in Response to Dangerous Drugs). Dengan kerjasama ini
pula dapat meningkatkan wilayah kegiatan dari ASEAN ke kawasan Asia Timur,
khususnya lewat pelewatan Cina di dalamnya. Rencana aksi yang yang dicakup oleh
kerjasama regional ini adalah sebagai berikut : (1) pro-aktif meningkatkan kesadaran
publik tentang bahaya obat-obatan terlarang, (2) memperkuat kepastian hukum
dengan memperluas jaringan pengawasan dan meningkatkan kerjasama penegakan
hukum, (3) membangun konsensus dan berbagi pengalaman praktik baik
12
pengurangan permintaan atas obat-obatan terlarang, (4) menghancurkan suplai obat-
obatan terlarang dengan mendorong program pembangunan alternatif dan partisipasi
masarakat dalam pemusnahan tanaman obat terlarang.
Irdayanti dalam jurnalnya yang berjudul Penguatan Hubungan Kerjasama
Indonesia-Malaysia Dalam Menangani Kejahatan Transnasional10
, dalam jurnal
ini di jelaskan mengenai bagaimana kondisi saat sekarang ini yang semakin marak
akan kasus-kasus kriminalitas baik lingkup nasional maupun internasional, baik yang
awalnya bipolar menjadi multipolar dimana semua tatanan secara politik, sosial, dan
budaya mampu dilampaui hanya dengan perkembangan zaman dalam lingkup
teknologi modern. Banyaknya dan maraknya saluran, chanel dan situs bahkan sarana
dan prasarana yang difasilitasi oleh globalisasi ini menjadikan angka kriminalitas
semakin bertambah setiap tahunnya, ini terlihat dengan bagaimana sebuah individu
ataupun kelompok dengan mudah menjadikan internet dan saluran lainnya sebagai
sebuah sarana pencetus kriminalitas baik itu nasional ataupun internasional yang
sering kita sebut kejahatan transnasional. Semakin maraknya hal yang demikian
menjadikan setiap negara yang memiliki kedekatan geografis menjadi sangat intens
dan saling menjaga dalam ketergantungan kebutuhan akan sekuritisasi negaranya baik
dengan cara dibentuknya kerjasama atau bahkan opini atau kesepakatan antar state
actor.
10
Irdayanti, Kerjasama Indonesia-Malaysia Dalam Menangani Kejahatan Transnasional (Irdayanti) 915 Penguatan Hubungan Kerjasama Indonesia-Malaysia Dalam Menangani Kejahatan Transnasional, Jurnal Transnasional, Vol. 5, No. 1, Juli 2013.
13
Kejahatan yang melintasi batas negara ternyata memberikan ancaman bagi
stabilitas suatu negara, kawasan bahkan sistem internasional. Salah satu munculnya
kejahatan transnasional adalah kedekatan geografis sebuah wilayah negara. Hal inilah
yang sedang dialami Indonesia dan Malaysia dimana kejahatan transnasional telah
mengancam pembangunan kehidupan sosial dua negara tersebut. Dengan maraknya
serangkaian kejahatan transnasional yang terjadi melewati batas wilayah Indonesia
dan Malaysia seperti perdagangan manusia, narkotika, terorisme yang terjadi tidak
serta merta sebuah negara mampu menanganinya sendiri karena kejahatan seperti ini
melibatkan lebih dari satu negara yang memiliki regulasi dan aturan yang berbeda-
beda dalam menangani kasus ini dalam hukum nasional masing-masing negara
sehingga butuh kerjasama yang efektif guna menanggulangi kejahatan transnasional,
seperti kerjasama bilateral yaitu scope yang paling kecil terjadinya kejahatan
transnasional.
Pembahasan dalam jurnal ini lebih menitik beratkan pada bagaimana
kemudian Indonesia dan Malaysia mampu menginkat diri mereka dalam hubungan
bilateral dalam meminimalisisr tingkat kejahatan transnasional yang terjadi antar
negara tersebut. Kemudian dijelaskan bagaimana setelah berkembangnya teknologi
dewasa ini mampu memudahkan para pelaku dalam melaksanakan aksinya, dalam
kajian disini diperjelas bagaimana tindak kejahatan yang terjadi berkenaan dengan
kejahatan transnasional adalah tidak hanya pada human trafficking saja, namun
banyak sekali indikasi baru dalam perkembangan istilah kejahatan transnasional,
dimana pola pikir atau mindset seseorang telah bermetamorfosa untuk menolak dan
tidak patuh akan adanya hukum. Malaysia dan Indonesia adalah dua kubuh yang
14
mana Indonesia sering sekali menjadi korban dalam kasus kejahatan transnasional itu
sendiri.
Dinamika interaksi Indonesia-Malaysia sesungguhnya tidak terlepas dari
ketergantungan mereka satu sama lainnya. Keuntungan bekerjasama lebih besar
pengaruhnya dibanding konflik yang terjadi akibat kedekatan geografis. Namun tidak
demikian semakin maraknya hal yang demikian terjadi kemungkinan akan
menyebabkan kedua negara akhirnya berontak dan mampu menimbulkan ketegangan
jika keduanya tidak mampu menjaga negaranya dengan sifat yang saling optimis satu
sama lain demi terciptanya visi dan misi kerjasama antar dua negara tersebut.
Maka dengan demikian dapat terlihat perbedaan antara penelitian yang
dilakukan oleh Irdayanti ini dengan penelitian penulis dalam skripsi ini, yakni
berbeda dari sisi pemaparan fenomenanya yang hanya terbatas pada upaya Indonesia
dan Malaysia dalam menjalani kerjasama untuk memenuhi keamanannya masing-
masing. Namun terdapat persamaan pada kajiannya yakni sama-sama mengkaji
tentang kejahatan transnasional atau perdagangan manusia secara lintas batas.
Robinson dalam tesisnya yang berjudul Kejahatan Perdagangan Anak
Sebagai Predicate Crime Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang11
. Tesis ini menjelaskan beberapa bahasan, namun secara jelas penulis tesis
bertujuan mengangkat bagaimana kemudian dengan adanya tindak pidana pada salah
satu elemen, baik itu secara sengaja atau tidak akan mampu berimbas pada
11
Robinson Perangin-Angin (077005021), 2009, Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
15
problematika yang akhirnya akan menjadi sangat rumit. Dalam Tesis ini dijelaskan
bahwasanya Penelitian tentang kajian hukum perdagangan orang akan lebih sempurna
apabila dianalisis dengan menggunakan teori yang mengatakan bahwa sistem hukum
terdiri dari materi hukum (substance of law), struktur hukum (structure of law) dan
budaya hukum (legal of culture). Materi hukum (substance of law) adalah peraturan-
peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-
perbuatan serta hubungan-hubungan hukum. Struktur hukum (structure of law)
adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut
ketentuan formalnya yakni memperlihatkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum
dan lain-lain badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Sangat terlihat
bahwasanya kemudian secara normatif hukum positif di Indonesia akan sangat
berperan penting dalam prosesnya menuju kemaksimalan usaha dalam meminimalisir
tindak pidana perdagangan anak yang akhirnya merujuk pada keamanan nasional,
maka disusunlah UU dalam pelaksanaannya meminimalisir hal tersebut dengan
berbagai variasi dan rujukan, baik yang terbentuk karena proses ratifikasi hukum
yang kemudian menjadi saran untuk membentuk dasar hukumnya. Disamping
undang-undang tersebut terdapat Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Ratifikasi Konvensi Hak Anak Tahun 1986.
Salah satu bentuk kontrol pada anak yang cenderung dijadikan sebagai sarana
untuk mencapai tujuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab adalah pekerja
anak, dimana anak-anak yang seharusnya mendapatkan masa mudanya harus rela di
sabotase hidupnya demi keinginan nafsu orang-orang tersebut. Dan Indonesia telah
meratifikasi Konvensi ILO No. 138 dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1999
16
yang menetapkan tentang batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, dalam
undang-undang tersebut dilampirkan Deklarasi Pemerintah Indonesia bahwa batas
usia minimum untuk bekerja di Indonesia adalah 15 tahun. Dalam konteks ini dapat
terlihat kemiripan pembahasan ataupun kajiannya yakni tesis tersebut mengkaji
mengenai tindak kejahatan pelanggaran HAM dan beberapa kilasan terhadap
ratifikasi beberapa protokol, namun disamping itu perbedaannya terlihat ketika dalam
pemaparannya penulis mengkaji dari pendekatan kajian hukum positif Indonesia
secara kontekstual.
17
1.4.1 Tabel Penelitian Terdahulu
NO JUDUL DAN NAMA
PENELITI
JENIS
PENELITIAN DAN
ALAT ANALISA
HASIL
1 E-Jurnal : Analisa
Viktimisasi Struktural
Terhadap Tiga Korban
Perdagangan
Perempuan dan Anak
Oleh: Annisa Jihan
Andari
Pendekatan:
kriminologis
- Terlihat bahwasanya
semakin maraknya
kegiatan prostitusi pada
wanita dan bahkan anak.
- Globalisasi mulai
merabah kerana rentan
kriminalitas yang dilihat
dari berbagai bukti nyata
dalam persentasi tahun
ke tahun.
- Munculnya
gerakan/organisasi
transnasional yang
secara terang-terangan
dilakukan sebagai
kebiasaan.
- PBB mengeluarkan
aturan dan batasan
hukum dalam menindak
lanjuti dan
meminimalisir tindak
pidana ini.
- Perbedaan : dengan
penelitian ini yakni di
dalam kajiannya lebih
mengglobal, beda
halnya dalam penelitian
ini hanya berkisar
Indonesia dan kawasan
Asia Tenggara.
- Persamaan : Sudut dan
fokus serta topiknya
sama-sama mengkaji
human trafficking
terhadap perempuan dan
anak.
18
2 Buku : Hubungan
Internasional di Asia
Tenggara” Perdagangan
Obat-Obatan”
Oleh: Bambang Cipto
Pendekatan:
konsep liberal
- Dalam Penelitian
tersebut dikatakan
bahwasanya The Golden
Triangle atau segitiga
emas adalah sebuah
kawasan yang terletak di
Asia Tenggara. Segitiga
emas ini terdiri dari
daerah Thailand utara,
Laos bagian barat, dan
Myanmar bagian timur
- Jalur lain melalui Yunan,
Guang Dong, Hongkong
dan Makau. Jalur transit
lain adalah Vietnam,
Kamboja, dan Philipina
dan dari kawasan ini
obat-obatan terlarang
tersebut akan diedarkan
keseluruh dunia
termasuk ke Asia, yang
mulai meningkat daya
serapnya terhadap
amphetamine.
- Perbedaan : penelitian ini
lebih kepada kajian
kejahatan perdagangan
obat-obatan.
- Persamaan : sama-sama
membahas mengenai
kejahatan lintas batas di
daerah kawasan Asia
Tenggara.
3 E-Jurnal : Penguatan
Hubungan Kerjasama
Indonesia-Malaysia
Dalam Menangani
Kejahatan
Transnasional
Oleh : Irdayanti
Pendekatan :
Transnational crimes,
cooperation and
interdependence
- sarana dan prasarana
yang di fasilitasi oleh
globalisasi ini
menjadikan angka
kriminalitas semakin
bertambah setiap
tahunnya.
- menjadikan setiap negara
yang memiliki kedekatan
geografis menjadi sangat
19
intens dan saling
menjaga dalam
ketergantungan
kebutuhan akan
sekuritisasi negaranya
baik dengan cara
dibentuknya kerjasama
atau bahkan opini atau
kesepakatan antar state
actor.
- Salah satu munculnya
kejahatan transnasional
adalah kedekatan
geografis sebuah wilayah
negara.
- Keuntungan
bekerjasama lebih besar
pengaruhnya dibanding
konflik yang terjadi
akibat kedekatan
geografis.
- Perbedaan : kajian
penelitian ini berbatas
hanya pada lingkup dua
negara dalam melihat
fenomena trafficking ini.
- Persamaan : ruang
lingkup penelitian ini
memiliki kesamaan
dalam mengkaji human
trafficking.
4 Tesis : Kejahatan
Perdagangan Anak
Sebagai Predicate Crime
Dalam Undang-Undang
Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Oleh: Robinson
Perangin-Angin
(077005021),
deskriptif analisis
Pendekatan :
Predicate Crime
- Secara normatif hukum
positif di Indonesia akan
sangat berperan penting
dalam prosesnya menuju
kemaksimalan usaha
dalam meminimalisir
tindak pidana
perdagangan anak yang
akhirnya merujuk pada
keamanan nasional.
- Disamping undang-
undang tersebut terdapat
20
Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990
tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Anak
Tahun 1986.
- Indonesia telah
meratifikasi Konvensi
ILO No. 138 dengan
Undang-Undang No. 20
Tahun 1999 yang
menetapkan tentang
batas usia minimum
untuk diperbolehkan
bekerja, dalam undang-
undang tersebut
dilampirkan Deklarasi
Pemerintah Indonesia
bahwa batas usia
minimum untuk bekerja
di Indonesia adalah 15
tahun.
- Perbedaan : kajian ini
hanya membahas tentang
bagaimana anak yang
dilindungi secara
nasional masih menjadi
korban perdagangan
anak dengan beragam
motif.
- Persamaan : sama-sama
membahas dan mengkaji
sebuah kerangka hukum
baik nasioanl dan
Internasional dalam
memberantas kejahatan
serupa.
21
1.5 Kerangka Teori dan Konsep
Konsep Transnational Organized Crime
Pendapat yang dikemukakan M. Cherif Bassiouni, penulis buku International
Criminal Law, berpendapat bahwasanya kejahatan transnasional merupakan
kejahatan yang diklasifikasikan kedalam tiga unsur yakni (1) unsur Internasional
yang mana datangnya kejahatan ini mampu mengancam keamanan dan perdamaian
dunia secara tidak langsung, (2) unsur transnasional yang mana kejahatan ini mampu
memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara, kemudian yang (3) unsur
kebutuhan yang mana maksudnya merupakan kebutuhan negara dalam membentuk
kerjasama dalam menindak lanjuti hal demikian. 12
Dalam pengertian ini maka bisa dikatakan bahwa kejahatan transnasional atau
Transnational Crime merupakan tindak pidana kejahatan yang dilakukan baik secara
terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi yang kaitannya dengan tidak
adanya batasan tindak pidana kejahatan transnational hanya pada satu negara saja,
namun sudah menjadi fokus kajian lintas negara dalam pelaksanaannya. Secara
konsep13
, transnational crime dikatakan tindak pidana lintas batas yang kemudian di
publikasikan secara internasional pada era 1990-an saat pertemuan bangsa-bangsa
yang membahas pencegahan kejahatan.
Kemudian hal ini juga mampu direlevansikan dengan yang dikemukakan oleh
Winarno dalam bukunya yang mengungkapkan bahwa :
12
Haris Semendawai, Abdul, S.H,.LL.M,Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012,Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hal 4-5 13
Ibid.
22
“Manusia dijadikan sebagai komoditas, memindahkan
dengan semena-mena dengan berbagai pelanggaran dan
tindak kejahatan dan kesewenang-wenangan yang
berlandaskan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi tenaga
kerja untuk berbagai kepentingan yang merugikan korban
dan menguntungkan pihak lain. Jual beli manusia
semacam ini banyak melibatkan anak dan perempuan
untuk kemudian dipergunakan sebagai pekerja seks
komersial, perdagangan organ, penjualan bayi dan
eksploitasi fisik yang variatif ”.14
Manusia bekerja sebagai pelayan dan pekerja rumah tangga itu sudah biasa
kita jumpai, namun dalam fenomena ini bisa kita lihat kemudian bagaimana semakin
zaman fungsi dan makna pekerja sudah jauh melenceng, dalam arti lain secara jelas
bisa kita lihat fenomena perdagangan manusia untuk dan sebagai pekerja seks
ataupun eksploitasi prostitusi yang saat ini tidak hanya wanita, namun juga anak-anak
telah diperjual belikan sebagai sasaran dagang di rana internasional sebagai
komoditas.
Definisi kejahatan transnasional terorganisir ini tidak diartikan secara asal-
asalan, namun telah benar-benar dikaji oleh badan PBB yang mana PBB kemudian
membentuk konvensi yang berkenaan dengan pemberian sanksi bagi pelaku kejahatan
tersebut. Pasalnya adalah dalam konvensi PBB ini menyatakan bahwasanya ruang
lingkup konvensi ini yakni membahas terkait upaya, pencegahan, penyidikan serta
penuntutan terhadap tindak pidana yang pada kenyataannya telah di atur dalam pasal-
pasal konvensi UNTOC ini. Selain itu pula di dalam pokok konvensi ini mengatur
dan menjabarkan bahwasanya kejahatan transnasional inilah yang kemudian menjadi
penting untuk dikaji karena kompleksnya kasus-kasus semacam ini yang tidak hanya
14
Budi Winarno. Opcit .hal 303
23
melibatkan satu negara saja namun lebih. Konvensi juga mengemukakan bahwa ada
beberapa indikasi dalam menentukan suatu kejahatan itu termasuk kedalam kerangka
kejahatan transnasional atau sebaliknya, yang mana seperti pemaparan dalam berkas
UU No. 5 Tahun 2009 yakni meliputi :
a. Di lebih dari satu wilayah negara;
b. Di suatu negara, tetapi persiapan, perencanaan,
pengarahan atau pengendalian atas kejahatan tersebut
dilakukan di wilayah negara lain;
c. Di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu
kelompok pelaku tindak pidana yang terorganisasi yang
melakukan tindak pidana di lebih dari satu wilayah
negara; atau
d. Di suatu wilayah negara, tetapi akibat yang ditimbulkan
atas tindak pidana tersebut dirasakan di negara lain15
.
Maka dengan demikian relevan-lah fenomena yang dikaji peneliti terkait
dengan konseptualisasi yang peneliti compare dengan kajian ini dalam
mengklasifikasikan apa-apa saja yang masuk dalam kategori kejahatan transnasional
secara rinci dan jelas. Human trafficking pada awalnya memang merupakan kajian
sempit dimana tindak kejahatan ini kerap kali terjadi antar wilayah dalam suatu
negara, namun dengan seiring berkembangnya zaman di era millennium ini tidak
hanya teknologi informasi yang mengalami pertumbuhan pesat, nmaun sindikat
kejahatan yang demikian pula senantiasa memngalami pola yang semakin
berkembang dan tumbuh mengikuti perkembangan teknologi dan jaringan yang
semakin kompleks yang pada akhirnya menjadikan ruang lingkup perdagangan
manusia ini juga mulai berkembang ke kanca intra negara atau yang sekarang dikenal
dengan kejahatan transanasional.
15
Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2009. Op cit.
24
Konsep Kepentingan Nasional
Dalam mendalami kasus-kasus dan fenomena dari politik internasional,
permaslahan utama yang paling tepat untuk dikaji yakni unsur-unsur dari kepentingan
nasional dan kekuatan nasional dari negara bangsa yang terkait. Kepentingan nasional
suatau negara-bangsa timbul akibat terbatasnya sumber daya nasional, atau kekuatan
nasional.16
Maka relevansi kepentingan nasional akan membentuk sebuah korelasi
antara usaha dan upaya sebuah negara dalam memenuhi kepentingan nasional itu
sendiri sesuai kebutuhan masing-masing negara.
Menurut Hans J. Morgenthau dunia ini terdiri dari banyak sekali persaingan
dan pertentangan dari tiap-tiap negara bangsa di dunia ini demi kekuasaan yang di
nilai sebagai sebuah nilai minimum dalam keberlangsungan hidup. Maka dengan
demikian negara senantiasa akan melakukan segala upaya untuk mencapai
kepentingannya masing-masing dengan cara melindungi semua aspek baik itu aspek
fisik, politik dan budaya mereka terhadap gangguan negara-negara lain.17
Hal ini juga sangat relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Holsti yang di
kutip dari skripsi Noor Rahmah Yulia mahasiswa UIN Jakarta dimana Holsti lebih
menekankan bahwasanya kepentingan nasional-lah yang nantinya menjadi dasar akan
peranan negara dalam berinteraksi dengan banyaknya aktor lebih-lebih aktor
Internasional. Namun, selain itu juga kepentingan nasional juga menjadi support
16
Tulus Warsito, 1998, Teori-Teori Politik Luar Negeri Relevansi dan Keterbatasannya, Yogyakarta : BIGRAF Publishing. Hal.29 17
Ken Kiyono, “A Study On The Concept Of The National Interest Of Hans J. Morgenthau: As The Standard Of American Foreign Policy”, Nagasaki University’s Accademic Otput SITE.hal.2
25
utama dalam pengimplementasian kebijakan dalam hal ini kebijakan luar negeri
sebuah negara itu sendiri. 18
Dalam skripsi Nanik Zubaidah dipaparkan tentang pendapat yang
dikemukakan Juwono Sudarsono bahasanya kepentingan nasional darat dapat di
klasifikasikan dalam tiga acuan yaitu kepentingan fisik atau material, kepentingan
politik, agama atau ideologi atau ide lain dan kepentingan devaratif.19
Namun dalam
kajian penelitian ini peneliti akan lebih memfokuskan alat kajian berdasarkan konsep
kepentingan nasional dalam acuan kepentingan fisik atau material yakni :
a) Keutuhan wilayah nasional, dimana setiap titik dalam sebauh wilayah ini
merupakan sebuah asset penting yang sejatinya tidak ada yang boleh
mengusik, mengganggu dan lebih-lebih merusak dan mencemarkannya.
b) Keselamatan dan keamanan warga negara disini merupakan sebuah nilai
akhir dalam pencapaian kepentingan nasional Indonesia.
c) Kesejahteraan bangsa merupakan sebuah tolak ukur sebuah kepentingan
nasional bangsa Indonesia ini dalam mengkrangkai setiap kepentingannya.
Dengan kata lain tidak ada satu negara-pun yang mampu menindak lanjuti
problematika yang ada dengan hanya mengandalkan kapasitas dari negaranya
masing-masing, namun karena adanya desakan akibat munculnya fenomena-
fenomena yang semakin berkembang di ranah Internasional ini menyebabkan
18
Noor Rahmah Yulia, 108083000080, “Diplomasi Kebudayaan Republic of Korea Melalui Film dan Drama : Pencapaian Kepentingan Citra dan Ekonomi Republic of Korea di Indonesia”,Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Di akses dari laman http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24304/1/Noor%20Rahmah%20Yulia_108083000080.pdf pada 11 Desember 2014, pukul 08.00 WIB. 19
Nanik Zubaidah, 05260077, “Kebijakan Pemerintah Indonesia Menandatangani Defence Cooperational Agreement (DCA) Dengan Singapura” , Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.
26
berkembanglah pula dinamika ancaman itu pula, selain itu di waktu yang bersamaan
sektor-sektor seperti komunikasi dan teknologi yang mengalami perkembangan yang
pada akhirnya menjadi konektor kerjasama antar negara dalam mencapai kepentingan
nasionalnya.20
Seperti halnya juga negara akan senantiasa menjadi sebuah garis depan dalam
membentengi masyarakat-masyarakatnya dari ancaman yang ada dengan mengambil
tindakan-tindakan yang dirasa cukup relevan dalam menanggapi ancaman-ancaman
yang ada, hal ini juga dipertegas oleh Hans J Morgenthau yakni :
“In a world consisting of many competing and opposing
nations for power, their survivals are their necessary and
minimum requisites. "Thus all nations do what they cannot
help but do: protect their physical, political and cultural
identity against encroachments by other nations."21
Dengan demikian Hal ini kemudian sangat relevan dengan fenomen human
trafficking yang akan dijabarkan dalam penelitian ini terkait bagaimana kemudian
kepentingan nasional Indonesia dalam mensejahterakan masyarakatnya atau civil
society yang ada di Indonesia dengan cara dan upaya-upaya yang diambil oleh negara
bangsa Indonesia dengan upaya kerjasama antar bangsa dalam lingkup kerjasama
bilateral ataupun dengan banyak negara yang hal ini masuk dalam lingkup kerjasama
Multilateral ataupun dengan kerjasama antara negara Indonesia dengan organisasi
regional ataupun PBB dalam memenuhi kepentingan nasional Indonesia dalam
merespon fenomena human trafficking di Asia Tenggara demi mewujudkan
20
Edy Prasetyono, Perkembangan Internasional dan Kepentingan Nasional Indonesia, dikutip dari : http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Indonesia/perkembangan_internasional_dan_kennas_indo_ep.pdf , pada 10 Desember 2014, pukul 18.24 WIB. 21
Ken Kiyono.loc.cit.hal-2
27
kepentingan Indonesia untuk memerangi dan melawan tindak pidana perdagangan
orang (human trafficking) dalam proses mensejahterakan masyarakat Indonesia baik
di dalam negeri maupun yang saat ini berada di luar negeri dari ancaman negara-
negara lain yang tidak terkecuali negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Terlepas
dari itu pula kajian human trafficking ini juga merupakan salah satu bentuk fenomena
yang masuk dalam salah satu concern study keamanan non-tradisional yang mana
aspek keamanan telah banyak sekali berubah dan beragam.
First Track Diplomacy
Dalam mencapai sebuah tujuan, sebuah negara sudah tentu akan
mengaplikasikan sebuh kebijakan dan power demi mewujudkan kepentingan nasional
dari masing-masing negara, namun dalam mencapai sebuah kepentingan nasional
disini dibutuhkan sebuah alat dimana yang nantinya akan berfungsi sebagai
penunjang atau koneksi dalam ketercapaian kepentingan nasional tersebut. Dalam
hubungan Internasional kita mengenal istilah “diplomasi” yang mana diplomasi ini
sendiri merupakan tools untuk mengkomunikasikan ataupun memberikan penjelasan
terkait sebuah kebijakan luar negeri sebuah negara yang nantinya bisa menghasilkan
sebuah perjanjian formal ataupun sebaliknya hal ini lah yang dijelaskan oleh
Endmund Burke yang pada akhirnya dikenal dengan “negotiation”22
.
Dewasa ini kita tidak hanya mengenal diplomasi secara luas, namun seiring
berkembangnya zaman dan promblematika yang semakin kompleks, diplomasi yang
awalnya hanya berkisar antara diplomacy track one dan diplomacy track two, namun
22
G. R. Bridge, 2002, Diplomacy Theory and Practice, New York : PALGRAVE
28
sekarang telah berkembang menjadi Sembilan track yang lebih dikenal dengan
sebutan Multi-Track Diplomacy. Dalam hal ini peneliti akan mengkaji sebuah
fenomena menggunakan track one diplomacy yang mana lingkupnya diplomasi track
one ini menjelaskan tentang proses menuju perpolitikan yang damai yang melibatkan
peranan antar negara, dimana nantinya negara-lah yang akan berusaha menemukan
struktur dan pola tata kelola dari masa ke masa tentang sistem hubungan Internasional
dalam rangka menjaga kepentingan suatu bangsa.23
Karena dipercaya bahwa
diplomasi merupakan aktivitas yang bertujuan menjadi peacebuilding dan
peacemaking process. Dalam kekuatan politik, negara yang memiliki kelebihan akan
menggunakan cara untuk mencapai kepentingan nasionalnya dengan cara memaksa,
mengancam, mengontrol sumber daya dan memberikan hukuman sesuai dengan apa
yang telah disepakati.24
Untuk penelitian kali ini terkait isu human trafficking yang terjadi di tingkat
nasional dalam hal ini yakni Indonesia dan regional yakni ASEAN yang semakin
lama semakin marak terjadi yang kemudian hal ini membutuhkan respon besar-
besaran oleh negara terkait yang khususnya Indonesia disini yang secara
berkesinambungan memberikan respon terhadap isu fenomena human trafficking
yang terjadi dewasa ini. Dengan Bali Process yang merupakan sebuah forum yang
kemudian menjadi penting bagi setiap negara anggotanya yang khususnya negara-
negara Asia Tenggara yang nantinya akan mampu mendorong untuk saling
menciptakan dan menjaga kemanan kawasan yang sejatinya telah di rumuskan dalam
23
Dr. Louis Diamond (Ambassador John McDonald), 1996, Multi-Track Diplomacy :A System Approch to Peace, USA : Kumarin Press. 24
Ibid.hal-26
29
naskah protocol palermo yang sebenarnya merupakan implementasi dari forum ini
merupakan tools Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya dengan adanya
kebijakan-kebijakan luar negeri yang diaplikasikan dengan sangat baik oleh
Indonesia.
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan penulis adalah metode deskriptif-analitik,
dimana penulis bermaksud untuk menjelaskan fenomena yang sedang marak terjadi
yang didasarkan dengan data berkenaan dengan pembahasan dalam skripsi ini yang
kemudian akan dijelaskan secara kompleks. Namun tidak hanya berhenti dalam
penggambaran dan penjabaran fenomenanya saja, akan tetapi terlebih penulis akan
menganalisa setiap data dan fenomena terkait dengan kajian penelitian dalam skripsi
ini.
1.6.2 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan adalah deduktif, dimana maksudnya
adalah peneliti mencari teori terlebih dahulu kemudian meneliti ataupun menganalisa
fenomenanya, maka dengan teori ataupun konsep penulis akan mampu memetakan
penelitian dan mencari data dengan acuan teori ataupun konsep yang telah mampu
dipahaminya dan kemudian di komparasikan dengan fenomena yang dimaksudkan.
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan literature review dalam pengumpulan data dalam
penelitian ini. Maksudnya adalah setiap data yang ada di peroleh dari Internet ( situs-
30
situs terpercaya dan dapat dipetanggung jawabkan ) dan juga dari buku, jurnal dan
surat kabar yang terkait dengan penelitian yang diangkat oleh penulis.
1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian
a. Batasan Waktu
Dari hasil pengamatan sementara pembahasan mengenai perdagangan
manusia, maka penulis membatasi penelitiannya dalam kurun waktu tahun 2000
hingga 2014, karena peneliti ingin mengkaji sejauh mana upaya Indonesia sejak di
ditanggapinya kajian tentang United Nations Convention against Transnational
Organized Crime di Palermo Itali pada Desember tahun 2000 yang kemudian kita
kenal dengan Protocol Palermo. Karena pada kurun waktu tahun 2000-2014
Indonesia banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait proses minimalisasi
fenomena human trafficking yang terjadi di Indonesia dan Asia Tenggara. Pada tahun
2002 Indonesia merumuskan dan mengesahkan UU Perlindungan Anak25
, begitu juga
dengan tahun 2007 Indonesia merumuskan dan mengesahkan UU tentang PTPPO
(Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang)26
, kemudian pada kurun waktu
2002 hingga 2014 Indonesia gencar mengadakan pertemuan setingkat menteri dari
beberapa negara yang kemudian konsisten mengupayakan proses minimalisir tindak
kejahatan transnasional dan khususnya fenomena human trafficking itu sendiri yang
dikenal dengan Bali Process.
25
UU No 23 Tahun 2002 : http://www.ipadi.or.id/ipadi/wp-content/uploads/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK.pdf Diakses tanggal 22 Oktober 2002, pukul 08.08 WIB 26
UU No. 23 Tahun 2007 :http://www.depkop.go.id/attachments/article/1465/04.%20UU-21th2007-pemberantasan%20tindak%20pidana%20perdagangan%20orang.pdf , Diakses pada 22 Oktober 2014, pukul 08.16 WIB
31
b. Batasan Materi
Batasan materi pada penelitian ini berkisar antara upaya yang dilakukan
Indonesia baik dalam proses realisasi terkait protokol UNTOC dalam fenomena
Human Trafficking yang marak terjadi dalam prostitusi dan perdagangan anak serta
maupun konvensi atau forum terkait yang memiliki kemiripan secara substansial
dalam kajiannya.
1.7 Argumen Pokok
Argumen pokok penelitian ini yakni dalam memenuhi kepentingan nasionalnya
(national interest), Indonesia senantiasa melakukan upaya untuk mencapai
kepentingan-kepentingan yang dimaksud yakni untuk meningkatkan perlindungan
terhadap warga negara Indonesia (WNI) dengan mencegah, penuntutan, dan
perlindungan khususnya dalam fenomen human trafficking dalam prostitusi dan
perdagangan anak yang menyangkut WNI baik di dalam maupun diluar negeri. Bali
Process merupakan upaya Indonesia dalam mendorong negara-negara Asia Tenggara
untuk sama-sama memerangi tindak kejahatan transnasional terorganisir khususnya
human trafficking dalam prostitusi dan perdagangan anak. Hal ini di gagas oleh
Indonesia mengingat human trafficking saat ini tidak hanya menjadi fenomena lintas
kawasan di dalam negeri saja namun saat ini semakin kompleksnya permasalahan
global menjadikan hal ini semakin lama semakin berkembang hingga lintas negara
yang pada akhirnya disebut kejahatan transanasional yang terorganisir atau yang lebih
di kenal Transnational Organized Crime (TOC).
32
1.8 Sistematika Penulisan
BAB I. Pada bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, table penelitian terdahulu,
teori dan konsep, metode penelitian, teknik analisa data, teknik pengumpulan
data, batasan materi, argumen pokok.
BAB II. Human Trafficking dalam Kajian UNTOC
Dalam BAB II ini penulis akan mengkaji human trafficking dalam perspektif
TOC (Transnational Organized Crime) dan selain itu juga penulis akan menjabarkan
konvensi PBB terkait kejahatan transnasional yakni United Nation Against
Transnational Organized Crime.
2.1 Human Trafficking dalam Prespektif TOC
Dalam sub bab ini akan dijabarkan definisi dari human trafficking
dalam
2.2 Protokol United Nation Convention Against Transnational
Organized Crime
2.2.1 Latar belakang lahirnya UNTOC
Sub bab ini akan menjelaskan tentang asal usul munculnya
UNTOC.
2.2.2 Tujuan UNTOC
Sub bab ini akan memaparkan mengenai tujuan daripada
terciptnya UNTOC.
33
2.2.3 Pokok dari UNTOC
Sub bab ini akan menjabarkan dan menuangkan isi dari
UNTOC.
BAB III. Analisa Upaya Indonesia dalam Mendorong Negara-Negara Asia
Tenggara Agar Mengoptimalkan Protokol UNTOC.
Didalam BAB III ini penulis akan mengembangkan analisanya terkait
kepentingan nasional Indonesia dalam memerangi dan memberantas human
trafficking di ASEAN serta Bali Process sebagai upaya Indonesia mendorong
negara-negara Asia Tenggara mengoptimalkan Protokol UNTOC.
3.1 Kepentingan Nasional Indonesia dalam Memerangi dan Memberantas
Human Trafficking di Asia Tenggara
3.2 Bali Process Sebagai Upaya Indonesia Mendorong Negara-Negara Asia
Tenggara Mengoptimalkan Protokol UNTOC
BAB IV. PENUTUP (Kesimpulan dan Saran)