bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/chapter...

25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna (volwaardig). 1 Perkawinan itu sendiri mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, karena didalamnya ada unsur-unsur hak dan kewajiban masing-masing pihak, menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi, baik hak dan kewajiban suami isteri maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak, kekayaan, waris dan faktor kependudukan di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Bagi para pemeluk agama, perkawinan bersifat sakral yang mengandung ajaran-ajaran agama bagi para pemeluknya. Ritual perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbullah ikatan perkawinan antara suami dan isteri. Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok 1 Titik Triwulan dan Trianto, Poligami Perspektif, Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007), hal. 2. Universitas Sumatera Utara

Upload: vuhanh

Post on 07-Mar-2018

219 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam

kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari

kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis,

melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara

anak-anak tersebut menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna

(volwaardig).1

Perkawinan itu sendiri mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia,

karena didalamnya ada unsur-unsur hak dan kewajiban masing-masing pihak,

menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi, baik hak dan

kewajiban suami isteri maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak,

kekayaan, waris dan faktor kependudukan di dalam tatanan kehidupan

bermasyarakat.

Bagi para pemeluk agama, perkawinan bersifat sakral yang mengandung

ajaran-ajaran agama bagi para pemeluknya. Ritual perkawinan tidak hanya

dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbullah ikatan

perkawinan antara suami dan isteri. Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok

1 Titik Triwulan dan Trianto, Poligami Perspektif, Perikatan Nikah, (Jakarta : PrestasiPustaka, 2007), hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

2

dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih. Seorang

pria dan wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum,

namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri.

Ikatan yang ada diantara mereka merupakan ikatan lahiriah, rohaniah, spiritual dan

kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini menimbulkan akibat hukum terhadap diri

masing-masing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban.

Pasangan seorang pria dan seorang wanita yang membentuk rumah tangga

atau keluarga dalam suatu ikatan perkawinan pada dasarnya merupakan naluri

manusia sebagai makhluk sosial guna melangsungkan kehidupannya.

Pengelompokan kehidupan manusia tersebut dalam realitanya dapat dilihat dengan

adanya berbagai bentuk kesatuan sosial di dalam kehidupan masyarakat.

Keluarga merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk atas dasar ikatan

perkawinan, yang unsur-unsurnya terdiri dari suami, isteri, dan anak-anaknya.

Sedangkan sifat-sifat keluarga sebagai suatu kesatuan sosial meliputi rasa cinta dan

kasih sayang, ikatan perkawinan, pemilikan harta benda bersama, maupun tempat

tinggal bagi seluruh anggota keluarganya.2 Keluarga merupakan satu unit

masyarakat terkecil, masyarakat keluarga yang akan menjelma menjadi suatu

masyarakat besar sebagai tulang punggung negara.

Dalam peristiwa perkawinan diperlukan norma hukum dan tata tertib yang

mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam peristiwa perkawinan terutama

2 Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, (Surabaya : Usaha Nasional, 1994),Hal. 19.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

3

diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-

masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan

sejahtera.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah

satu wujud aturan tata tertib perkawinan yang dimiliki oleh negara Indonesia

sebagai bangsa yang berdaulat dan negara hukum, dilengkapi dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan peraturan-peraturan lainnya

mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

seperti Hukum Adat dan Hukum Agama.

Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai

golongan Warga Negara di Indonesia, yakni antara lain:3

1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukumagama yang telah diresepsi kedalam hukum adat. Pada umumnya, bagiorang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakanperkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai pria dengan wali darimempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini telahmerupakan budaya hukum bagi orang Indonesia yang beragama Islamhingga sekarang.

2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat. Misalnyabagi orang Bali yang beragama Hindu dimana adat dan agama telahmenyatu, maka pelaksanaan perkawinannya dilaksanakan menuruthukum adat yang serangkai upacaranya dengan upacara agama Hindu-Bali yang dianutnya.

3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlakuhuwelijks ordonnantie christen indonesia (HOCI) S.1933 nomor 74.

3 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundangan, Hukum Adat,Hukum Agama, (Bandung : CV.Mandar Maju, 2007), hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

4

Aturan ini sekarang sejauh sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi.

4. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesiaketurunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. Aturan ini sekarangsejauh sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi.

5. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indonesiaketurunan asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka. Jadi bagiketurunan India, Pakistan, Arab dan lainnya, berlaku hukum adatmereka masing-masing yang biasanya tidak terlepas dari agama dankepercayaan yang dianutnya.

6. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropadan yang disamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-UndangHukum Perdata. Termasuk dalam golongan ini orang Jepang atau orang-orang lain yang menganut asas-asas hukum keluarga yang sama denganasas-asas hukum keluarga Belanda.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

merumuskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Substansi pasal tersebut

sangat jelas menunjukkan bahwa perkawinan tidak semata-mata merupakan

hubungan perdata saja, tetapi perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga atau

keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau

berdasarkan Hukum Agama.

Pengertian perkawinan menurut hukum adat adalah suatu ikatan antara

seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga yang

dilaksanakan secara adat dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak, saudara

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

5

maupun kerabat.4 Sedangkan didalam hukum adat Tionghoa tidak ada memberikan

pengertian secara gamblang mengenai definisi dari perkawinan. Namun dalam adat

Tionghoa itu sendiri, perkawinan merupakan suatu sarana bagi seorang laki-laki dan

seorang wanita untuk hidup bersama, membentuk rumah tangga yang bahagia dan

mendapatkan keturunan yang pada akhirnya akan meneruskan marga dari sang

ayah.

Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat mempertahankan prinsip

kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan (darah), maka fungsi perkawinan adalah

merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan

silsilah dan kedudukan keluarga yang bersangkutan. Disamping itu ada kalanya

suatu perkawinan merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan

kekerabatan yang telah jauh dan retak, ia merupakan sarana pendekatan dan

perdamaian antar kerabat dan begitu pula dengan perkawinan itu bersangkut paut

dengan masalah kedudukan, harta kekayaan dan masalah pewarisan.5 Melihat arti

dan fungsi perkawinan menurut hukum adat, maka pengertian perkawinan menurut

hukum adat lebih luas dari pengertian perkawinan menurut hukum perundang-

undangan.

Sebuah perkawinan menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, yang dipertegas dalam

4 Soerojo Wignjodipoero, Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta : Gunung Agung, 1988), hal. 55.5 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam kajian kepustakaan), (Bandung :

Penerbit Alfabeta, 2009), hal.222.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

6

Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan tersebut, yakni bahwa “dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1)

ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud

dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk

ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan

kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam

Undang-Undang ini”. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi

syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) dan

pendeta/pastur/biksu telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang

non Muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan

kepercayaan masyarakat.

Bagir Manan berpendapat bahwa perkawinan menurut masing-masing agama

dan kepercayaan (syarat-syarat) merupakan syarat tunggal sahnya suatu

perkawinan, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Pertama, Pasal 2 ayat (1) dengan tegas menyebutkan, “suatu perkawinan sahapabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dankepercayaannya itu”. Suatu rumusan yang sangat jelas (plain meaning),sehingga tidak mungkin ditafsirkan, ditambah atau dikurangi.Kedua, Penjelasan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, “Pencatatan tiap-tiapperkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwapenting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian.6

6 Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan antar orang Islam menurut UUNo. 1 Tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukum Keluargadalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, yang diselenggarakanMahkamah Agung Republik Indonesia, di Hotel Redtop, pada hari Sabtu, tanggal 1 Agustus 2009,hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

7

Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak

dicatatkan sebagaimana diamanatkan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain

ketidaktahuan masyarakat7 mengenai hukum perkawinan Indonesia, sosialisasi

pencatatan perkawinan yang kurang dari Pemerintah, persyaratan dan prosedur

pencatatan perkawinan yang rumit dan berbelit-belit, serta mahalnya biaya

pencatatan perkawinan, baik resmi maupun tidak resmi, ataupun untuk

menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari

atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi Pegawai Negeri Sipil

dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Perkawinan yang tidak dicatatkan ini

dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah siri.8

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

menentukan: "tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang

berlaku", namun di dalam penjelasan tidak dijelaskan lebih lanjut tentang

pendaftaran ini. Harus diakui ketentuan yang mengatur tentang sah dan pencatatan

perkawinan kurang jelas, sehingga dalam praktik sering sekali menimbulkan

berbagai interpretasi, yang menyebabkan kepastian hukum menjadi taruhannya.

Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula

7 khususnya Masyarakat Tionghoa Indonesia.8 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta, Pentingnya Pencatatan Perkawinan,

diakses dari http://www.lbh-apik.or.id/fact-14%20penct.%20perkawinan.htm, pada tanggal 08 April2011.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

8

pencatatan perkawinan sekadar dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan

suatu peristiwa hukum.9 Akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan

satu-satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan,

karena itu akta nikah dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti tetapi

bukan alat bukti yang menentukan. Karena yang menentukan keabsahan suatu

perkawinan adalah perkawinan menurut agama.10 Maka dengan demikian, alat bukti

perkawinan juga harus tidak bertentangan dengan agama.

Perkawinan bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan hanya menurut

ajaran agama dan kepercayaannya maupun adat, akan tetapi tidak dilakukan

pencatatan perkawinan sehingga tidak mempunyai bukti otentik dan tidak

mempunyai kekuatan hukum didalamnya.

Perkawinan yang dilakukan secara bawah tangan tersebut akan membawa

akibat hukum bagi pasangan suami istri, anak yang dilahirkan dan harta benda

dalam perkawinan, karena perkawinan yang dilakukan secara bawah tangan tersebut

tidak memiliki alat bukti yang otentik sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pencatatan perkawinan walaupun bukan menjadi rukun nikah, akan tetapi

merupakan hal yang sangat penting terutama sebagai alat bukti yang dimiliki

seseorang, apabila terjadi suatu permasalahan dikemudian hari.

9 Bagir Manan, Op.Cit, hal. 5.10 Ibid, hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

9

“Pasangan yang berkahwin tanpa melalui aturan yang digariskan oleh adat

adalah tidak sah daripada pandangan orang Cina.”11 Dalam hal melaksanakan

perkawinan, masyarakat Tionghoa pada umumnya melaksanakan perkawinan hanya

berdasarkan adat-istiadat Tionghoa serta agama dan kepercayaan yang dianut saja,

sehingga sebagian besar perkawinan masyarakat Tionghoa tidak dicatatkan menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Kantor Catatan Sipil.

Hal ini merupakan fenomena sosial yang banyak dijumpai pada masyarakat

Tionghoa dan merupakan salah satu masalah serius yang sampai saat ini masih

kerap terjadi dalam masyarakat Tionghoa. Hal tersebut bukan hanya dijumpai pada

kalangan masyarakat Tionghoa bergolongan ekonomi menengah ke bawah saja,

melainkan juga dijumpai pada masyarakat Tionghoa bergolongan ekonomi

menengah ke atas. Hal ini mempunyai makna bahwa tingkat ekonomi bukan

merupakan faktor mutlak yang mempengaruhi tidak dicatatnya perkawinan dalam

masyarakat Tionghoa.

Faktor utama yang menyebabkan perkawinan tidak dicatatkan pada

masyarakat Tionghoa lebih cenderung disebabkan oleh ketidaktahuan, keawaman,

dan cara berpikir masyarakat Tionghoa terhadap pentingnya pencatatan perkawinan,

fungsi dan akibat-akibat hukum yang timbul dikemudian hari. Masyarakat Tionghoa

yang memegang teguh adat istiadat berpendapat bahwa suatu perkawinan adalah sah

dan telah diakui oleh kedua belah pihak keluarga suami/isteri apabila perkawinan

11 Aan Wan Seng, Adat dan Pantang Larang Orang Cina, (Kuala Lumpur : Penerbit FajarBakti, 1994), hal. 30.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

10

tersebut telah dilaksanakan menurut adat Tionghoa dan menjalani serangkaian ritual

keagamaan, maka perkawinan tersebut telah sah, tidak mempedulikan dicatat atau

tidak perkawinan tersebut menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Bagi keluarga mempelai yang mampu akan mengadakan suatu acara resepsi

pernikahan dengan mengundang segenap keluarga kedua belah pihak mempelai

suami/isteri, tetangga dan para sahabat. Acara resepsi pernikahan tersebut secara

tidak langsung juga berfungsi sebagai pemberitahuan atau pengumuman kepada

khalayak ramai bahwa telah terikatnya seorang laki-laki sebagai suami dan seorang

wanita sebagai isteri dalam suatu ikatan perkawinan. Namun perlu diingat bahwa

acara resepsi pernikahan ini bukan merupakan suatu acara yang mutlak harus

dilaksanakan, melainkan tergantung kepada tingkat kemampuan ekonomi suatu

keluarga yang melaksanakan perkawinan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari

adanya pelaksanaan nikah tamasya melalui pemberitahuan atau pengumuman di

surat kabar setempat tentang pelaksanaan nikah tamasya ini, yang memiliki tujuan

yang sama yakni memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa telah

dilaksanakannya pernikahan bersangkutan dan telah terikatnya dalam perkawinan

pasangan suami/isteri tersebut. Adat dan pandangan inilah yang dipegang teguh

oleh masyarakat Tionghoa Indonesia hingga saat ini.

Keengganan dan ketidaktahuan hukum masyarakat Tionghoa atas pencatatan

perkawinan tanpa disadari akan membawa kesulitan dan akibat hukum yang tidak

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

11

diinginkan, baik bagi pasangan suami isteri tersebut, anak-anaknya dan juga kepada

familinya (keluarga-keluarganya). Fenomena ini sering dihadapi oleh Notaris dalam

menjalankan jabatannya sehari-hari serta menjadi masalah dan kendala yang

sepantasnya mendapat perhatian besar.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, timbul ketertarikan untuk

menelaah lebih lanjut mengenai ”TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

PENETAPAN PENGESAHAN PERKAWINAN ADAT TIONGHOA OLEH

HAKIM”.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas

secara lebih mendalam adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana akibat hukum dari perkawinan yang dilangsungkan menurut

hukum adat Tionghoa dan tidak dicatatkan?

2. Bagaimana prosedur permohonan penetapan pengesahan perkawinan yang

dilangsungkan menurut adat Tionghoa?

3. Apa akibat hukum yang timbul dari Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat

Tionghoa oleh hakim?

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

12

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai

dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui akibat hukum dari perkawinan yang dilangsungkan

menurut hukum adat Tionghoa dan tidak dicatatkan.

2. Untuk mengetahui prosedur permohonan penetapan pengesahan perkawinan

yang dilangsungkan menurut adat Tionghoa.

3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari Penetapan Pengesahan

Perkawinan Adat Tionghoa oleh hakim.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara

teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini, akan menguatkan teori bahwa suatu norma hukum wajib

ditaati karena norma hukum itu sendiri dibentuk untuk kepentingan manusia.

Namun norma hukum itu akan menjadi bermanfaat apabila benar-benar diterapkan

atau dilaksanakan.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan masukan kepada

masyarakat, para praktisi hukum, dan pemerintah dalam mengembangkan

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

13

pengetahuan Hukum Perkawinan, khususnya tentang pencatatan perkawinan dan

permohonan penetapan pengesahan perkawinan perkawinan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan dan pemeriksaan yang telah

penulis lakukan, baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum,

maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan

ditemukan beberapa hasil penulisan yang menyangkut dengan Perkawinan Adat

Tionghoa, diantaranya :

1. Tesis berjudul “Kedudukan Anak Terhadap Harta Warisan Dari Orang Tuanya

Yang Perkawinannya Tidak Dicatatkan di Dinas Kependudukan: Pada

Masyarakat Tionghoa Kota Medan”, oleh Rehbana, NIM 017011052, Program

Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Mengapa etnis Tionghoa di Kota Medan tidak mencatatkan perkawinannya

di Dinas Kependudukan?

b. Bagaimana tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak yang lahir dari

perkawinan yang tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan?

c. Bagaimana hak anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan di

Dinas Kependudukan terhadap harta peninggalan dari orang tua

biologisnya?

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

14

2. Tesis berjudul “Problematika Pencatatan Perkawinan Bagi Warga Negara

Indonesia Keturunan Tionghoa”, oleh Vincent, NIM 087011013, Program Studi

Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Apakah yang menjadi problematika pencatatan perkawinan bagi Warga

Negara Indonesia keturunan Tionghoa?

b. Bagaimanakah akibat hukum perkawinan bagi Warga Negara Indonesia

keturunan Tionghoa yang tidak dicatatkan?

c. Upaya apakah yang dilakukan dalam mengatasi masalah pencatatan

perkawinan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang belum

dicatatkan?

Namun demikian, dari keduanya tidak ada yang membahas permasalahan

yang sama dengan penelitian ini. Oleh karena itu, sejauh yang diketahui, penelitian

tentang “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENETAPAN PENGESAHAN

PERKAWINAN ADAT TIONGHOA OLEH HAKIM”, belum pernah dilakukan

sehingga penelitian ini adalah asli adanya. Artinya, secara akademik penulisan ini

dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan

penulisan yang sama dengan judul penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

15

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat

mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan

perbandingan dan pegangan teoritis. Kerangka teori merupakan susunan dari

beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan

yang logis menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan,12

sedangkan teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia

fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan

secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.13

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang

dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat

ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyatan-pernyataan yang

saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan ini harus cukup

menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus

mengarahkan diri kepada unsur hukum. Teori juga merupakan sebuah desain

langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan

maupun narasumber penting lainnya. Sebuah teori harus diuji dengan

menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukkan

kebenarannya.

12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,2004), hal. 72-73.

13 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV Bandar Maju, 1994), hal.27.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

16

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan

pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14

Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada, adapun teori yang akan

digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah Teori Kepastian

Hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama

adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa

yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi

individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum

yang bersifat umum itu, individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan

atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

Menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum merupakan fenomena psikologi

daripada hukum. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam

Undang-Undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang

satu dengan yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.15

Kepastian hukum adalah tujuan utama dari hukum.16

Menurut Hans Kelsen, setiap tata kaedah hukum merupakan suatu susunan

daripada kaedah-kaedah (stufenbau). Di puncak stufenbau tersebut terdapat

14 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002),hal. 35.

15 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Pranada Media Group,2008), hal. 158.

16 J.B. Daiyo, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta : PT.Prennahlindo, 2001), hal. 120.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

17

”grundnorm” atau kaedah dasar atau kaedah fundamental, yang merupakan hasil

pemikiran secara yuridis.17

Tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtgerechtigheid),

kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid)18. Dalam hal

mewujudkan keadilan, menurut W. Friedman, suatu Undang-Undang haruslah

memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-

perbedaan diantara pribadi-pribadi tersebut.19

Roscoe Pond dalam bukunya Scope and Purpose of Sociological

Jurisprudence,20 menyebutkan ada beberapa kepentingan yang harus mendapat

perlindungan atau dilindungi oleh hukum, yaitu Pertama, kepentingan terhadap

negara sebagai suatu badan yuridis; Kedua, kepentingan negara sebagai penjaga

kepentingan sosial; Ketiga, kepentingan terhadap perseorangan terdiri dari pribadi,

hubungan-hubungan domestik, kepentingan substansi.

Dari pendapat Roscoe Pond tersebut, dapat dilihat bahwa sangat

diperlukannya suatu perlindungan hukum terhadap kepentingan perseorangan,

karena dengan adanya perlindungan hukum akan tercipta suatu keadilan.

Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Peraturan

17 Ibid, Hal. 12718 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta : PT.

Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85.19 W.Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori

Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 7.

20 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2000), hal.298.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

18

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, menghendaki setiap perkawinan dicatat oleh

petugas yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari

maraknya pernikahan siri atau pernikahan dibawah tangan yang terjadi di tengah

masyarakat.

Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan menurut Bagir Manan adalah

untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen

kepastian hukum, kemudahan hukum, disamping sebagai salah satu alat bukti

perkawinan. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa

perkawinan itu menjadi jelas bagi yang bersangkutan, keluarga maupun bagi

masyarakat, misalnya kapan pihak yang satu menjadi ahli waris pihak yang lain,

kapan harta bersama dianggap mulai ada yang dapat dipertanggungjawabkan

terhadap hubungan perjanjian yang diadakan oleh mereka atau salah satu dari

mereka.21

Adapun akibat hukum dari tidak dicatatnya perkawinan adalah :

a. Perkawinan Dianggap tidak Sah.

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata

negara perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan

Agama atau Kantor Catatan Sipil.

21 Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dariSegi Hukum Islam, (Bandung : Alumni, 1976), hal. 27.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

19

b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu.

Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak

tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata

antara si anak dengan ayahnya tidak ada.

c. Anak dan ibunya Tidak Berhak Mendapatkan Waris dan Nafkah.

Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri

maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak

menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.

Berhubungan dengan akibat yang sangat penting dari perkawinan inilah,

maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan untuk mengatur perkawinan yaitu:

syarat-syarat perkawinan, pelaksanaan perkawinan, kelanjutan dan terhentinya

perkawinan.22

2. Konsepsi

Konsep adalah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan

sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang

disebut dengan operational definition.23 Pentingnya definisi operasional adalah

22 Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.23 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993),hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

20

untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari

suatu istilah yang dipakai.24

Dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau

definisi operasional sebagai berikut :

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.25

2. Pencatatan Perkawinan adalah suatu tindakan dari instansi yang diberikan tugas

untuk mencatat perkawinan dan perceraian dalam buku register dan dilakukan

menurut ketentuan yang berlaku.26

3. Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat atau

mendaftar setiap peristiwa yang diamati oleh warga masyarakat, misalnya

perkawinan, dengan tujuan untuk mendapatkan data selengkap mungkin, agar

status perkawinan warga masyarakat dapat diketahui.27

4. Masyarakat Tionghoa adalah orang-orang keturunan Tionghoa yang lahir dan

menetap di Indonesia, hidup dan berbaur dengan masyarakat Indonesia lainnya

selama beberapa dasawarsa dan telah berkewarganegaraan Indonesia.

24 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan PutusanPengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, (Medan : PPs-USU, 2002), hal.35.

25 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.26 Arso Sastroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta :

Bulan Bintang, 1974), hal. 31.27 Nico Ngani, Cara Untuk Memperoleh Catatan Sipil, (Yogyakarta : Liberty, 1984), hal.6.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

21

5. Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif,

meliputi peraturan hidup yang meskipun tidak dikitabkan oleh yang berwajib,

namun dihormati dan didukung oleh rakyat berdasar atas keyakinan

bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.28

6. Hukum adat Tionghoa adalah adat-istiadat / kebiasaan yang dilaksanakan oleh

masyarakat Tionghoa secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi

berikutnya dan berulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari.

7. Perkawinan Bawah Tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan

agama atau adat istiadat calon suami dan/atau calon isteri, dan pada dasarnya

secara agama dan adat perkawinan tersebut telah sah, akan tetapi secara hukum,

perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara.

8. Kumpul Kebo adalah hidup bersama antara seorang pria dan wanita tanpa

adanya ikatan perkawinan secara sah berdasarkan undang-undang.29

9. Pengesahan Perkawinan adalah permohonan pengesahan Perkawinan yang

diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan tentang

sahnya Perkawinan agar bisa dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil.

10. Penetapan Hakim adalah suatu putusan yang mengandung penetapan atau

menetapkan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum atau

Undang-Undang.

28 Soepomo, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1981),hal. 20.

29 M.Marwan & Jimmy P, Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete Edition), (Surabaya :Reality Publisher, 2009), hal. 393.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

22

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yang dalam hal ini peneliti

dituntut untuk mengkaji kaedah hukum yang berlaku. Hasil dari kajian ini bersifat

deskriptif analisis. Seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, bahwa

penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat

gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta,

sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.30

Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif

(penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma

hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai

pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu

kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran

baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini

merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau

dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan

permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek

normatif.

30 Soerjono Soekamto, Metodologi Research, (Yogyakarta : Andi Offset, 1998), hal 3.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

23

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori

atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang

berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan

perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya.

3. Sumber Data

Sumber data yang berupa bahan hasil penelitian kepustakaan diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perkawinan, Hukum

Perkawinan, Pencatatan Perkawinan dan sebagainya.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang

bahan hukum primer, antara lain berupa buku atau literatur, tulisan atau

pendapat para pakar yang dituangkan dalam makalah-makalah (artikel)

tentang Hukum Perkawinan, Penetapan Pengadilan Pengesahan Perkawinan

Adat, dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan pembahasan yang

akan ditulis, yang diperoleh dari instansi-instansi atau lembaga-lembaga

terkait baik secara langsung ke instansi atau lembaga tersebut, maupun

melalui website atau internet.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

24

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan

yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan

sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum.

4. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan metode pendekatan penelitian ini, maka alat pengumpulan data

yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi segala jenis peraturan

perundang-undangan (hukum normatif) yang terkait dengan masalah yang

sedang diteliti. Bahan hukum sekunder meliputi pendapat para pakar hukum

yang bersumber pada buku-buku berisi teori yang ditulis oleh pakar hukum.

b. Wawancara (interview), yang dibantu dengan pedoman wawancara, yaitu

dengan mengadakan wawancara dengan narasumber atau informan yang

berhubungan dengan materi penelitian ini, seperti Pejabat/Staff Pengadilan,

Pengetua Adat Tionghoa dan/atau Notaris untuk mengetahui lebih mendalam

dan rinci tentang hal-hal yang tidak mungkin dijelaskan dan ditemukan

jawaban nantinya. Sehingga dengan adanya wawancara diharapkan dapat

memperoleh data yang lebih luas dan akurat.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter I.pdf · mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

25

5. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan

data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema

dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.31

Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik,

kemudian diolah dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif, sehingga dapat

ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir deduktif.

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang

terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah,

peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media

cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi

kepustakaan. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis

penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalam dilakukan secara

kualitatif, setelah selesai pengolahan data baru ditarik kesimpulan dengan

menggunakan metode deduktif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat

menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.

31 Lexy J. Moleong, Op.Cit., hal. 101.

Universitas Sumatera Utara